LAMPOR: KERANDA TERBANG (2019)
Rasyidharry
November 01, 2019
Adinia Wirasti
,
Alim Sudio
,
Annisa Hertami
,
Dian Sidik
,
Dion Wiyoko
,
Guntur Soeharjanto
,
horror
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Landung Simatupang
,
Mathias Muchus
,
Nova Eliza
,
REVIEW
,
Steffi Zamora
,
Unique Priscilla
4 komentar
Menonton horor, mudah menebak
apakah seorang sutradara merupakan penggila genre itu atau bukan lewat
bagaimana ia membungkus sekuen teror. Menahkodai Lampor: Keranda Terbang, Guntur Soeharjanto yang selama ini identik
dengan sajian romansa dan religi seperti 99
Cahaya di Langit Eropa (2013), Assalamualaikum
Beijing (2014), hingga Ayat-Ayat
Cinta 2 (2017), kentara belum menguasai genre yang dibawakannya, melahirkan
deretan kecanggungan dalam debutnya menyutradarai horor.
Bukan Guntur seorang yang menjajal
horor untuk kali pertama. Begitu pula Adinia Wirasti. Memerankan wanita bernama
Netta yang mengalami trauma masa kecil saat adiknya digondol Lampor (hantu pembawa
keranda terbang berwujud mirip Dementor), Adinia berusaha menampilkan kesubtilan
kala menangani keresahatan individu yang menyimpan setumpuk rahasia, tapi malah
menghasilkan penampilan tak bernyawa. Pasif, sering merenung, selalu muram, dan
gemar menggumam, meski masih memikat kala dituntut meletupkan emosi, secara
keseluruhan, sebagaimana sutradaranya, debut horor sang aktris berakhir kurang
manis.
Setidaknya, separuh awal Lampor: Keranda Terbang punya pondasi
solid, bersedia bercerita ketimbang menumpuk penampakan belaka. Bersama si
suami, Edwin (Dion Wiyoko), dan kedua anaknya, Agam (Bimasena) dan Sekar
(Angelia Livie), Netta terpaksa pulang ke kampung halamannya di Temanggung,
guna menyampaikan pesan terakhir ibunya, Ratna (Unique Priscilla), kepada sang
ayah, Jamal (Mathias Muchus). Ketika Netta kecil, Ratna membawanya pergi
meninggalkan Jamal karena ia menganut ilmu hitam pemberian Pak Atmo (Landung
Simatupang), si dukun setempat.
Malang, tepat di hari kedatangan
Netta, Jamal mendadak meninggal dunia. Warga pun menyambut sinis kepulangan
Netta, menganggapnya sebagai pembawa bencana. Mereka yakin bahwa keberadaan
Netta mengundang teror Lampor. Benarkah itu? Kalau bukan, apa penyebab utama
kemunculan Lampor, yang konon menyambangi tempat di mana pendosa berada?
Pertanyaan itu jadi basis eksplorasi naskah buatan Alim Sudio (Kuntilanak, Makmum, Twivortiaire).
Remah-remah misteri ditebar secara berkala, sambil pelan-pelan kompleksitas
ditingkatkan lewat kemunculan tokoh-tokoh baru.
Kematian tidak wajar Jamal
memancing kecurigaan bahwa ia sejatinya dibunuh oleh orang yang mengincar
warisannya. Ada sejumlah tersangka. Apakah Esti (Nova Eliza) selaku istri muda
Jamal sekaligus keponakan Pak Atmo? Bimo (Dian Sidik) si tukang pukul? Mitha
(Steffi Zamora) si puteri angkat Jamal dan Esti? Atau Nining (Annisa Hertami)
si pelayan yang senantiasa bersikap baik? Naskahnya mengeksplorasi pertanyaan
itu dengan baik, membuat alur bergerak dinamis, sambil sesekali menyelipkan
pemanis berupa mitos-mitos mistis seperti awan berbentuk naga hingga kucing
hitam sebagai pertanda bencana.
Tapi memasuki paruh akhir,
naskahnya kewalahan sewaktu berusaha menyusun keping-keping kebenaran dan menjelaskan "rules" di balik teror Lampor. Seperti
benang kusut. Belum lagi karakternya kerap melakukan tindakan yang pantas
dipertanyakan. Contohnya Netta, yang kerap meninggalkan anak-anaknya sendiri,
padahal seharusnya ia paling tahu betapa berbahaya hal itu. Beruntung di tengah
keruwetan itu, Dion Wiyoko memberi satu lagi performa kuat. Bukan yang terbaik
dari sang aktor, tapi cukup untuk menghalangi filmnya dari keruntuhan.
Poin terlemah Lampor: Keranda Terbang adalah eksekusi terornya. Padahal,
bayangkan betapa mengerikan makhluk satu ini. Membawa keranda terbang,
berstatus prajurit Nyi Roro Kidul, menculik lalu merenggut nyawa siapa saja
yang terlihat dan melihatnya. Potensinya besar, apalagi ditambah CGI
memadai—walau fakta bahwa Lampor banyak muncul di kegelapan malam cukup
membantu. Tapi seperti telah disebutkan, Guntur Soeharjanto belum piawai
menangani horor.
Pengadeganannya sering menghasilkan
disorientasi apalagi pada momen-momen yang mengetengahkan kekacauan sarat aksi.
Daripada urgency, justru pusing
kepala yang didapat. Bukan saja kekurangcakapan sutradara mengatur fokus adegan,
serupa banyak produksi Starvision, penyuntingan kasar berujung transisi
berantakan lebih sering menghantui ketimbang hantunya sendiri (walau di kasus Lampor: Keranda Terbang saya curiga sutradara
memang tidak menyuplai materi yang cukup).
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Saya pikir Lampor dan kerandanya itu mahluk halus Bang.
Tapi kalo ditabrak Mobil aja kerandanya bisa hancur, berarti ada banyak cara buat musnahinnya.
Bisa dengan disiram bensin, dibakar, diberondong senapan, dsb.
Atau lebih simplenya penduduk setempat bisa bahu membahu keroyokan aja gebukin Lampor pake golok, cangkul, parang, garpu atau gergaji mesin sekalian ya Bang :-D
Saya nonton ini cuma ingin lihat gimana kampung halaman, Temanggung 😁😁😁 salah satu tempat yg jarang kena ekspose untuk dunia film padahal disana hawa horor nya berasa.
mas rasyid,, sdh nonton the farewell??
kok gak tayang di bioskop yah??
kasi review sedikit dong :D
Besok nonton ini.krn ad si anggun dan tangguh.adinia....dan Minggu nonton gadis Priangan si zara
Posting Komentar