Tampilkan postingan dengan label Tom Hiddleston. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tom Hiddleston. Tampilkan semua postingan

AVENGERS: INFINITY WAR (2018)

Avengers: Infinity War bukanlah film pahlawan super pertama yang mencoba menerjemahkan crossover event dari buku komik ke layar lebar. Marvel Studios sendiri telah berulang kali melakukannya sejak The Avengers sampai Captain America: Civil War. Tapi baru Infinity War yang benar-benar memberi definisi sempurna, menontonnya menghadirkan perasaan serupa membaca crossover event. Fakta bahwa filmnya berjalan lancar merupakan buah kesabaran Kevin Feige dan tim membangun puluhan karakter beserta universe luas selama satu dekade lewat 19 film. Tanpanya, ditambah beberapa kekurangan yang tak bisa dihindari, Infinity War bakal berujung kekacauan besar yang mudah terlupakan. This is one of a kind.

Kalau familiar dengan komik superhero, tentu anda pernah menikmati crossover event seperti Infinity Gauntlet, Civil War, Secret Wars, dan lain-lain. Sedikit penjabaran bagi non-pembaca, sebuah even memiliki seri utama yang menuturkan konflik utama pula. Sebagai pengiring, dirilis tie-ins yang mengetengahkan kisah sampingan maupun detail peristiwa yang menimpa masing-masing tokoh. Bagi pembaca komik yang tak terlalu akut seperti saya, demi menghemat waktu, rasanya pernah melewatkan tie-ins dan langsung menyantap seri utama. Alhasil, garis besar cerita tetap bisa dipahami, namun terasa betul ada detail yang terlewat, emosi yang tak maksimal, atau kejadian yang sekelebat lalu. Inifnity War tampil demikian, sehingga bagi penonton yang asing dengan pengalaman membaca seperti itu, mungkin bakal tersisa ketidakpuasan.
Tapi jangan khawatir. Russo Brothers (The Winter Soldier, Civil War) paham betul bagaimana menampilkan momen-momen yang akan terus dikenang hingga tahun-tahun ke depan, dari kemunculan karakter dan aksi keren yang mampu memancing gemuruh tepuk tangan (ketika saya menonton sekitar 4-5 kali tepuk tangan penonton pecah) sampai perasaan tersentak mendapati jagoan-jagoan kita ditempatkan pada bahaya yang belum pernah mereka alami. Dibantu penataan kamera Trent Opaloch yang sudah berkolaborasi bersama Russo Brothers sejak The Winter Soldier, rentetan gambar ikonik pun diciptakan. Tapi sejak awal, tantangan terbesarnya adalah menyatukan sekian banyak tokoh dengan sekian banyak cerita. Dan duo penulis naskah Christopher Markus dan Stephen McFeely menyanggupi tantangan itu.

Avengers dibagi beberapa kelompok. Tim Iron Man (Robert Downey Jr.) menanti Thanos di Planet Titan, kampung halamannya, Captain America (Chris Evans) bersatu dengan Black Panther (Chadwick Boseman) guna menghadapi invasi keempat Black Orders yang menyebut diri sebagai anak-anak Thanos, Thor (Chris Hemsworth) bersama Rocket (Bradley Cooper) dan Groot (Vin Diesel) berusaha menciptakan senjata untuk melawan si Titan Gila, sedangkan Star-Lord (Chris Pratt) memimpin Guardians melakukan serbuan dadakn. Markus dan McFeely melakukan apa yang mereka bisa, menyatukan segala sub-plot serapi mungkin dibantu penyuntingan Jeffrey Ford dan Matthew Schmidt yang menghasilkan transisi mulus. Saya bersyukur kedua penulis naskah tetap memasukkan komedi yang masih efektif memancing tawa, meski penulisan humor mereka belum setajam Gunn atau Waititi. Sebab dengan tokoh-tokoh seperti Guardians of the Galaxy dan Iron Man, sepenuhnya melucuti komedi adalah bentuk menyia-nyiakan potensi. Sebagaimana aliran alur, perpindahan tone pun berlangsung mulus. Sesuatu yang awalnya bak kemustahilan, seperti halnya kesuksesan Russo Brothers mempertahankan ciri masing-masing franchise, misalnya Guardians dengan musik dan celotehannya.
Satu hal pasti, Thanos (Josh Brolin) menjadi sentral segalanya. Enam tahun pasca kemunculan perdananya, Thanos mulai bergerak mengumpulkan Infinity Stones. Power Stone di Xandar, Space Stone yang diam-diam dibawa Loki (Tom Hiddleston), Time Stone di bawah perlindungan Doctor Strange (Benedict Cumberbatch), Reality Stone di koleksi The Collector (Benicio del Toro), Mind Stone yang menghidupkan Vision (Paul Bettany), dan Soul Stone yang keberadaannya masih jadi misteri. Berbagai teori mengenai letak batu terakhir bertebaran di internet, dan semuanya meleset. Bahkan setelah merilis dua trailer plus setumpuk klip promosi, Infinity War masih sanggup menyimpan kejutan, baik soal alur, bagaimana sebuah adegan aksi dieksekusi, dan tentunya kematian (dan kembalinya) karakter.

Bukan spoiler bila saya menyebut ada karakter yang meregang nyawa. Tanpa itu, sulit menegaskan status Thanos sebagai musuh besar yang kehadirannya sudah dibangun bertahun-tahun. Tapi bukan (cuma) itu alasan Thanos layak masuk jajaran villain terbaik MCU, melainkan keberhasilan menjadikan ia sosok dengan kepribadian. Thanos tidak sepenuhnya jahat. Ambisinya bukan menguasai atau menghancurkan dunia, namun menyeimbangkannya, atau kalau boleh disebut, menyembuhkannya. Thanos bukan monster tanpa perasaan. Ada sensitivitas terselubung yang mampu Josh Brolin salurkan lewat ekspresi. Begitu film berakhir, kehilangan serta kehancuran yang Thanos rasakan sama besarnya dengan para superhero. Dia sosok sedih yang gila. Kegilaan selaku produk kekacauan dunia dan bisa kita temukan di keseharian. Bedanya, orang-orang di dunia nyata dengan pola pikir serupa takkan gamblang mengutarakan pemikirannya, sebab mereka akan dianggap gila dan berbahaya. Terlebih lagi, tidak ada infinity stones dalam genggaman untuk merealisasikan niat itu.
Membicarakan enam infinity stones akan terasa problematik. Muncul ambiguitas terkait seberapa jauh kapasitas tiap-tiap batu. Untungnya, Russo Brothers memastikan setiap Thanos memamerkan kekuatan batunya, sekuen yang dikemas apik ikut mengiringi. Karena soal adegan aksi, tiada satu pun yang tersia-sia berkat koreografi menawan yang makin memikat saat Russo Brothers sering menampilkan para superhero bekerja sama sebagai tim, juga kesan mengancam yang senantiasa menggelayuti. Bahkan The Outriders yang menyerbu Wakanda di klimaks bukan pasukan alien lemah macam Chitauri. Walau sejenak, The Outriders mampu menekan Avengers sampai ke titik batas mereka. Pun kualitas CGI-nya sesuai dengan bujet $300-400 juta yang dikeluarkan. Banyak mengunjungi ragam lokasi luar angkasa, masing-masing planet—khususnya jika anda menyaksikan film ini dalam format IMAX 3D—terlihat meyakinkan.

Bermodalkan lingkup besar yang mencakup berbagai sudut alam semesta, konsekuensi yang dipertaruhkan, juga ending yang akan selalu lekat di ingatan, Infinity War memang terasa seperti pertempuran menuju akhir dunia, kulminasi yang sesuai setelah perjalanan satu dekade, tepatnya separuh dari itu. Ya, biar bagaimana, kesan film ini merupakan paruh pertama dari satu babak epic tetap tertinggal. Apabila merujuk gaya drama tiga babak, maka 19 film sebelumnya adalah first act, Infinity War bertindak sebagai second act, sebelum akhirnya Avengers 4 (Avengers: Endgame sepertinya judul yang pas), menjadi third act sekaligus penutup. Avengers: Infinity War, dengan tetap memperhatikan kelemahan-kelemahannya, telah mengubah peta perfilman superhero. Film-film berikutnya, termasuk rilisan Marvel Studios, akan berada di bawah bayang-bayang film ini. 


Ulasan versi vlog bisa ditonton di sini:

EARLY MAN (2018)


Sepak bola bukan berasal dari Inggris, melainkan Cina. Bentuk awalnya bernama cuju (bola sepak), yang mulai dimainkan sejak 2-3 abad SM. Namun karena organisasi resmi pertama, yaitu FA (Football Association) terbentuk di sana tahun 1863, begitu pula Guy’s Hospital selaku klub tertua yang berdiri pada 1843, Inggris berjasa mempopulerkan olah raga ini. Kebanggaan masyarakatnya akan status “negara sepak bola” kerap memicu miskonsepsi di atas. Early Man tidak berniat dan memang tidak perlu peduli akan fakta tersebut. Menurut filmnya, selain memusnahkan populasi dinosaurus, asteroid berperan melahirkan sepak bola.

Pecahan asteroid itu berbentuk bulat dengan tekstur layaknya bola. Diawali ketidaksengajaan, para manusia purba pun menemukan sepak bola. Peristiwa ini terjadi di tempat yang merupakan cikal bakal Manchester. Ditambah sebuah humor wordplay yang menyebut momen persatuan para protagonisnya di lapangan sebagai “Early Man United”, mudah menebak klub mana yang didukung kedua penulis naskahnya, Mark Burton dan James Higgins. Ceritanya sederhana. Manusia gua bernama Dug (Eddie Redmayne) dari suku primitif zaman batu berusaha mendorong teman-temannya untuk merebut kembali lembah hijau mereka yang digusur pasukan modern zaman perunggu.
Sang pimpinan, Lord Nooth (Tom Hiddleston) bersedia mengembalikan lembah itu, asal Dug beserta sukunya berhasil mengalahkan tim zaman perunggu dalam sebuah permainan sakral: sepak bola. Tidak terlalu melebih-lebihkan, sebab bagi banyak rakyat Inggris, sepak bola memang sakral. Setidaknya jadi unsur terpenting hidup mereka. Burton dan Higgins pun bagai mendapat taman bermain untuk menuangkan setumpuk referensi, seperti memberi nama Ratu zaman perunggu Queen Oofeefa (dari FIFA). Tim lawan bernama Real Bronzio, yang terdiri atas gabungan pemain-pemain top dengan bayaran (terlalu) mahal namun sulit menyatu. Saya terkejut tak ada pemain bernama Cristiano di sana.

Tidak semua penonton paham referensi-referensi itu, terlebih anak-anak. Itu sebabnya, ketimbang mengedepankan komedi absurd seperti animasi stop-motion rilisan Aardman sebelumnya (Chicken Run, Wallace & Gromit: The Curse of the Were-Rabbit), deretan slapstick generik dipasang. Hognob si babi hutan melanjutkan tongkat estafet Grommit sebagai hewan peliharaan yang lebih cerdas ketimbang pemiliknya, sementara visual tanah liatnya memperlihatkan detail memikat serta tekstur unik di mana penonton seolah dapat melihat sidik jari sang seniman. Tapi tanpa kreativitas lebih pada departemen komedi, Early Man urung menandingi pesona para pendahulunya.
Pesan supaya tetap berjuang tanpa peduli asal maupun masa lalu bisa dijadikan pelajaran berharga bagi penonton anak. Sedangkan dari karakter Goona (Maisie Williams), seorang gadis penjual panci yang menyimpan impian beraksi di lapangan sepak bola, tuturan women empowerment dapat diserap. Pun perjuangan suku zaman batu melawan kerjaan zaman perunggu yang gemar memeras rakyat sekaligus menggusur tempat tinggal mereka adalah teriakan penolakan untuk pemerintahan tiran yang rasanya bakal senantiasa relevan. Tapi bagi penggemar sepak bola, Early Man punya subteks lain di dalamnya.

Tim Dug bermain mengenakan kostum merah-putih, serupa dengan yang dikenakan Bobby Moore dan kawan-kawan kala memenangkan Piala Dunia 1966 di negeri sendiri. Pemain andalan Real Bronzio adalah Jurgen, yang tak diragukan lagi berasal dari Jerman, yang mana merupakan lawan Inggris di final Piala Dunia 1966 (waktu itu masih Jerman Barat). Hasil akhir kedua pertandingan pun mirip, hanya saja film ini mengubah selisih skor menjadi 1 angka demi menjaga nuansa dramatis. Nuansa yang gagal direalisasikan secara maksimal akibat eksekusi Nick Park terhadap klimaksnya tidak cukup imajinatif, seru, maupun menegangkan.

THOR: RAGNAROK (2017)

Plot-wise, Thor: Ragnarok punya cerita tipis. Ini bukan intrik politik layaknya The Winter Soldier, bukan drama transformasi karakter serupa Iron Man, bukan pula shakesperian soal perebutan tahta kerajaan macam Thor pertama meski hal itu memegang peranan penting dalam konflik utama. Ragnarok adalah komedi yang bersembunyi di balik spectacle seharga $180 juta. Kelompok oposisi MCU akan senang hati mencaci bersenjatakan pernyataan "tiada kesan mengancam di filmnya". Karena di Ragnarok yang sejatinya mengandung kisah kelam, canda tawa selalu dikedepankan.

Kali ini Thor (Chris Hemsworth) mesti menghentikan Ragnarok, yakni "akhir segalanya", serta menghadapi Hela (Cate Blanchett), Dewi Kematian yang berusaha merebut tahta Asgard. Tentu perjalanan sang Dewa Petir tak mudah. Selain Mjolnir-nya dihancurkan oleh Hela, dia juga terdampar di Planet Sakaar yang dikuasai The Grandmaster (Jeff Goldblum), dan terpaksa mengikuti kontes ala Gladiator melawan Hulk (Mark Ruffalo). Lagi-lagi tipu daya Loki (Tom Hiddleston) pun ikut menghalangi. Di antaranya, sutradara Taika Waititi masih sempat menghadirkan adegan Thor melihat penis Hulk sampai istilah "devil's anus" bagi suatu portal antar dimensi.
Fakta bahwa Thor: Ragnarok setia bercanda walau diisi hancurnya senjata si jagoan, tokoh Dewi Kematian yang melakukan pembantaian, dan kiamat, justru membuatnya spesial. Perlu disadari, dunia tempat kita tinggal sekarang tak lagi asing dengan semua itu, dan Waititi bersama Eric Pearson selaku penulis naskah seolah menyediakan penonton tempat berlindung berupa dunia fantasi di mana sederet masalah tadi bisa diselesaikan, bahkan ditertawakan. Meski sulit disangkal keputusan tersebut melucuti bobot Hela, sebatas menjadikannya villain menghibur berkat pesona Blanchett daripada sosok penebar ancaman dahsyat.

Komedinya memang pantas jadi menu utama. Alasan mengapa alumni sinema independen macam Waititi maupun James Gunn cocok menahkodai film Marvel tak lain kreativitas mereka melontarkan lelucon. Di tangan Waititi, nyaris segala situasi dan karakter punya kebodohan, tak terkecuali wanita setangguh Valkyrie (disokong penampilan gemilang Tessa Thompson) yang kegemaran mabuknya kerap menghasilkan tingkah jenaka. Sisanya adalah gelaran slapstick tepat waktu sampai anomali berupa sifat kekanakan Hulk, atau Korg (diperankan Waititi sendiri) dengan tubuh besar nan kokoh dari batu tetapi baik hati pula bersuara "lembut". Beberapa cameo pun dimanfaatkan sebaik mungkin, mulai Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) yang ilmu sihirnya merepotkan Thor dan Loki, hingga sosok kejutan pada suatu drama panggung di Asgard.
Chris Hemsworth yang selama ini bagai terkekang, terkubur daya tarik Loki di dua film pertama kini terfasilitasi potensi komikalnya. Hemsworth akhirnya bersinar di filmnya sendiri, menghadirkan Thor yang di satu waktu perkasa menghantam ratusan anak buah Surtur, tapi di kesempatan lain memancing tawa saat memohon-mohon supaya rambutnya tak dipangkas. Hebatnya, Thor tidak berakhir sebagai produsen tawa saja, sebab Ragnarok sukses melakukan hal penting yang gagal dicapai pendahulunya termasuk dua installment Avengers, yaitu mematenkan Thor sebagai "Dewa Petir" alih-alih "Dewa Martil". Sesuai hakikat babak pamungkas sebuah trilogi, Ragnarok menyempurnakan perjalanan protagonisnya.

Terdapat kekhawatiran Ragnarok berusaha terlampau keras meniru Guardians of the Galaxy. Benar warna mencolok tampil dominan namun penggunaannya berbeda. Dibantu sinematografi Javier Aguirresarobe, warna vibrant plus tata artistik out-of-this-world Waititi pakai demi mengolah nuansa fantasi bercampur sci-fi 80-an ala Flash Gordon di mana pemandangan naga terbang di langit jingga (dan ungu) jadi hal biasa. Waititi bersenang-senang menggarap adegan berbalut musik synth catchy garapan Mark Mothersbaugh (sebenarnya bisa lebih ditonjolkan) juga Immigrant Song-nya Led Zeppelin yang tak ubahnya cue bagi aksi keren yang segera menghentak. Alangkah bijaknya, kita selaku penonton turut tenggelam dalam kesenangan serupa tanpa menagih keseriusan maupun kekelaman yang tidak wajib ada.