MATA DEWA (2018)
Rasyidharry
Maret 10, 2018
Andibachtiar Yusuf
,
Ariyo Wahab
,
Brandon Salim
,
Dodit Mulyanto
,
Drama
,
Indonesian Film
,
Jelek
,
Kenny Austin
,
Nino Fernandez
,
Oka Aurora
,
REVIEW
,
Sports
10 komentar
Tidak butuh mata dewa atau mata batin agar bisa melihat
keburukan film ini. Digarap oleh Andibachtiar Yusuf yang baru beberapa hari
lalu memukau saya lewat Love for Sale
(yang dibuat tanpa tekanan kanan-kiri), Mata
Dewa mengikuti formula film olahraga: perjuangan underdog, mentor misterius yang sempat punya nama besar, hubungan
renggang anak-orang tua, rivalitas, romansa, dan penutup berupa pertandingan
akbar. Tapi tak ada satu pun tampil maksimal. Bahkan, semua digarap di bawah
standar.
Dibuka lewat pertandingan yang mengecewakan bagi tim Jayhawk
dan SMA Wijaya, kita berkenalan dengan Bumi (Brandon Salim), pemain
berkemampuan seadanya yang dijadikan kambing hitam atas kekalahan tim oleh Dewa
(Kenny Austin), si pemain andalan. Bila tidak ada kata “Dewa” di judulnya,
mungkin banyak yang akan mengira Bumi lah protagonisnya. Rupanya, beberapa
waktu berselang porsi Bumi terkikis. Tanpa signifikansi terhadap alur, ia mendadak
berperan sebagai penggerak suporter alih-alih bermain. Apakah ia dikeluarkan?
Atau merasa kemampuannya dangkal lalu memilih mundur? What a message.
Naskah hasil tulisan Andibachtiar bersama Oka Aurora adalah
setumpuk konsep yang dimasukkan dalam satu rangkaian alur tanpa saling
bertautan. Beberapa subplot langsung menginjak resolusi tanpa proses, sisanya
berkebalikan, dilontarkan tanpa penyelesaian. Mengapa Dewa enggan berkomunikasi
dengan sang ibu? Untuk apa si pelatih (Nino Fernandez) diberi pergulatan batin
terkait pengunduran diri di awal cerita? Sedangkan Ariyo Wahab sebagai mentor
Dewa seperti hendak diberi arc tentang
kebangkitannya—yang menghadirkan paralel dengan perjuangan Dewa—hanya untuk
kemudian dilupakan.
Saya paham bahwa Mata
Dewa adalah media promosi DBL (Developmental
Basketball League). Maka ketika alur dinomorduakan demi fokus lebih pada
momen pertandingan, saya sedikit maklum. Masalahnya, aksi di atas lapangan
dikemas demikian malas. Zoom in, zoom
out, shaky cam. Tiga teknik itu terus direpetisi, walau dilihat sekilas pun
jelas betapa intensitas gagal diciptakan. Belum lagi bumper video “Basketball Live
Streaming”, yang entah apa gunanya, selalu diulang. Saya tidak pernah
menonton DBL di televisi (kalau ada). Mungkin memang gayanya begitu, entahlah.
Satu hal pasti, film ini mestinya bukan highlights,
bukan pula reka ulang siaran televisi, melainkan atmosfer asli di lapangan
pertandingan.
Tapi saya masih bersabar, mengira babak final selaku klimaks
bakal lebih seru. Sampai filmnya memperkenalkan satu per satu pemain dari kedua
tim. Total 10 tokoh yang takkan kita pedulikan eksistensinya muncul. Sulit
menghilangkan kecurigaan kalau intorduksi tersebut semata bertujuan mengulur
waktu. Ketika film berdurasi 80 menit coba mengulur waktu, bisa dipastikan tersimpan ketidakberesan. Sama tidak beresnya dengan bibir komat-kamit Kenny Austin kala Indonesia Raya berkumandang. Apakah
protagonis kita tidak hafal lagu kebangsaan?
“Wijaya the Giant
Killer”. Julukan yang diberikan oleh dua komentator (Augie Fantinus dan
Udjo Project Pop) sulit diamini, karena kita tak diajak merasakan perjuangan
mencapai puncak. Setiap pertandingan numpang lewat, dan tiba-tiba sampai titik
akhir. Mestinya final jadi ajang pembuktian Dewa yang penglihatannya terganggu
akibat kecelakaan. Tapi sepanjang laga, cuma dua kali ia berperan: Saat
dijatuhkan lawan, dan memberi assist
pada rekannya dalam angka penentu kemenangan. Ya, bahkan angka itu bukan
dicetak oleh Dewa. Sulit mencari hal positif. Dodit Mulyanto yang
diharapkan menyegarkan suasana pun tak dimaksimalkan akibat timing pengadeganan acap kali meleset.
Selaku alat promosi DBL, Mata Dewa
gagal tersaji inspiratif (seperti beberapa kisah nyata keberhasilan mantan
atlet yang tertuang di akhir), atau sekedar keren.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
10 komentar :
Comment Page:Wow seburuk itukah?? Love for Sale dan Mata Dewa jadi list saya bulan ini karena Andibachtiar Yusuf alasannya.
Mungkin dia lebih piawai di film tentang sepakbola :)
Mungkin andi bachtiar yusuf ibarat bikin 2 masakan dlm 1 meja makan.. satu yg agak "fancy" satunya lagi "selera" org kebanyakan :)
@Panca oh jelas, hatinya di sana. Love For Sale aja bola semua isinya.
@Chan Mata Dewa ini film pesenan. Filmnya produser. Jadi udah ogah-ogahan dia ngerjainnya.
Hahaha.. for a while idealisme disimpan dlu
Bru ngeh.. ni andi bachtiar dlu sering jd komentator bola toh
Oh wajib. Kalau nggak mau mengesampingkan idealisme mana bisa makan :D
Jd inget pitch perfect.... LOL.... I don't know why.....
Lol gak nyangka bakal di review sama bang rasyid,bulan lalu cast-nya lagi tur dan promosi kebetulan di SMA saya,saya yakin lah filmnya bakal cheesy atau jelek tapi toh apa masalahnya jika ada Brandon Salim sama Kenny plus vibe DBL yang digilai sama temen-temen saya(surprisingly,tidak hanya cewek-cewek) wkwkw,se-sekolahan pada chaos waktu itu ampe guru-gurnya juga(maklumin jarang didatengi artis wkwk).Gak nyangka aja Bang Rasyid bakal review ini film,rupanya tak perlu di review juga.
Hahaha sebenernya mutusin nonton karena nggak nyangka bakal sejelek ini sih
Pengen nonton gatau dimana
Posting Komentar