SI MANIS JEMBATAN ANCOL (2019)
Rasyidharry
Desember 27, 2019
Anggy Umbara
,
Arief Didu
,
Arifin Putra
,
Cukup
,
Fajar Umbara
,
horror
,
Indah Permatasari
,
Indonesian Film
,
Isman HS
,
Ozy Syahputra
,
Randy Pangalila
,
REVIEW
4 komentar
Terlepas dari hasil akhirnya, “Anggy
Umbara” dan “main aman” tidak pernah eksis secara bersamaan. Begitu pula di Si Manis Jembatan Ancol, remake dari
film berjudul sama rilisan tahun 1973, yang dibuat berdasarkan urban legend masyarakat Betawi, meski
masyarakat umum mungkin lebih akrab dengan dua musim sinetron yang begitu populer
pada era 90-an, hingga melahirkan satu lagi adaptasi layar lebar di tahun 1994.
Melalui naskah hasil tulisannya bersama Fajar Umbara (Mata Batin, Sabrina) dan Isman HS (5 Cowok Jagoan: Rise of the Zombies, Flight 555), Anggy melakukan
modernisasi.
Berlatar tahun 1973, kisahnya
berpusat pada keretakan rumah tangga Maryam (Indah Permatasari) dan Roy (Arifin
Putra), terlebih setelah bisnis Roy berantakan sampai membuatnya terlilit hutang
besar pada Bang Ozi (Ozy Syahputra), seorang lintah darat. Sebagai istri,
Maryam merasa kurang dihargai, namun tetap berusaha menjaga keharmonisan rumah
tangga, bahkan setelah kedatangan pelukis bernama Yudha (Randy Pangalila) yang
menjadikan Maryam sebagai objek. Si Manis jatuh hati, namun yang hadir justru
tragedi.
Tragedi yang tidak datang secepat
itu, mengingat filmnya lebih banyak berkutat dalam drama sampai sekitar 50
menit durasi (dari total 117 menit), ketika kita akhirnya dibawa mengunjungi
jembatan Ancol yang legendaris. Maksudnya baik. Supaya penderitaan Maryam,
hubungan terlarangnya dengan Yudha, juga kesulitan finansial Roy tergali utuh.
Tapi apakah terlalu panjang? Ya. Bisakah dipadatkan? Sangat bisa. Perjalanan
sejam pertamanya cukup bertele-tele, menampilkan banyak hal tak perlu, seperti
keputusan Bang Ozi terus memberi tambahan waktu bagi Roy atau red herring terkait keangkeran rumah
Yudha.
Setidaknya selama itu, hampir
seluruh departemen berkontribusi maksimal. Anggy semakin matang (kalau tak bisa
disebut dewasa) baik urusan menulis maupun menyutradarai, dengan lebih
berkonsentrasi pada merapikan aliran alur ketimang melempar gimmick. Tata dekorasi plus kostum pembangun
latar masa lalunya pun cukup konsisten dan memanjakan mata, apalagi gaun merah
Maryam yang membuatnya otomatis jadi pusat atensi di tiap kemunculan. Satu
elemen yang mengganggu adalah rambut palsu Randy Pangalila, yang kala digerai jauh
dari kesan alamiah, tapi kalau diikat, sosoknya bak pendekar dari era Angling
Dharma.
Melihat pilihan artistik, tema
balas dendam, serta statusnya sebagai remake
judul klasik, mungkin Si Manis
Jembatan Ancol akan mengingatkan banyak penonton kepada Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur (2018).
Ditambah lagi keberadaan unsur komedi yang sayangnya hanya berhasil memancing
tawa bila banyolannya terlontar dari mulut Arief Didu sebagai Bang Kribo si
pemilik warung.
Paruh kedua sepenuhnya
mengesampingkan plot, untuk merangkai menit-menitnya menggunakan pembantaian
demi pembantaian yang dilakukan arwah Maryam selepas ia tewas di tangan Bang Ozi
dan anak buahnya. Anggy menggabungkan jump scare (termasuk di lima adegan mimpi yang pengulangannya tak
sampai mengesalkan karena punya pemicu jelas: ketakutan dan rasa bersalah) dan elemen
kekerasan. Agak disayangkan saat beberapa sadisme terjadi off-screen (mengacu pada bumper
LSF, kemungkinan terdapat revisi), meski kita tetap disuguhi aftermath brutal yang menampilkan
kondisi jenazah mengenaskan.
Mengandalkan kesan misterius, kesenduan,
serta kemarahan yang menyatu di sorot matanya, Indah Permatasari berhasil
menghapus bayang-bayang para pemeran Si Manis sebelumnya dengan, melahirkan
versinya sendiri yang sejalan dengan modernisasi Anggy. Sementara Ozy Syahputra,
dengan kumis dan berewok ditambah aksi kejam karakternya, melepaskan diri dari kecentilan
sosok Karina dalam sinetronnya dulu. Bahkan di sini Ozy diberikan salah satu
momen paling mencengangkan sepanjang film, yang menegaskan upaya Anggy
bermain-main dengan stereotip gender dalam horor.
Di ranah dunia, menyelipkan empowerment dalam horor bukan perkara
baru, tapi masih langka di perfilman lokal. Anggy dan tim penulisnya berani
melakukan itu, termasuk melalui twist yang
tak kalah berani bahkan berpotensi memecah opini penonton. Saya menyukainya.
Sebuah langkah kreatif meski meninggalkan beberapa lubang alur. Masalah justru
muncul terkait keputusan filmnya tak memberi kesempatan si tokoh utama
menuntaskan segalanya. Selain Maryam berhak mendapatkannya, keputusan tersebut
berlawanan dengan pesan empowerment-nya.
Andai itu dilakukan, niscaya Si Manis
Jembatan Ancol akan jauh lebih memuaskan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Wkkw twist nya bener2 gak kpikir si. Plus bonus twist di akhir film 😂😂
Terima ksih reviewnnya
Saya yang awalnya kurang tertarik nonton
Jadi pengen nonton pas baca2 review cukup positif film Si Manis ini.
wah gak nyangka dapat 3 bintang. :D
Momen paling mencengang'kan-nya apa tuh? 🤣🤣🤣
Itu ada scene korban telanjang bulat kenapa nggk di sensor yak? Malah sempat di zoom..
Posting Komentar