REVIEW - SURGA DI BAWAH LANGIT

1 komentar

Di tengah serbuan horor yang makin melelahkan, Surga di Bawah Langit yang menonjolkan karakter anak dalam kemasan musikal memang terasa menyegarkan. Sungguh, saya benar-benar ingin menyukainya. Sayang, sebagai film musikal, Surga di Bawah Langit justru mencapai titik terlemah tiap ia menghadirkan adegan musikal. 

Sebagai drama seputar hidup rakyat jelata yang agak menyerempet poverty porn, alurnya tidak menawarkan hal baru. Bayangkan Daun di Atas Bantal (1998) versi lebih mainstream, yang mengetengahkan kisah tiga bocah dari area kumuh. Ayu (Neona Ayu) ingin mengikuti jejak sang ibu (Happy Salma) menjadi penari meski mendapat tentangan, Agus (Muzakki Ramdhan) nekat mencopet demi menghidupi neneknya (Jajang C. Noer), sedangkan Laras (Keira Vanaya) mencari nafkah sebagai ojek payung walau punya bakat bernyanyi. 

Ketiganya rutin bercengkerama di atas tumpukan sampah TPA, menanti datangnya pelangi pasca hujan yang memancarkan secercah keindahan dalam beratnya hidup mereka. Kalimat-kalimat dalam naskah buatan Pritagita Arianegara, Rio Silaen, dan Rien Al Anshari (penulis film pendek keren berjudul Membicarakan Kejujuran Diana) lebih terdengar seperti perspektif naif tentang kemiskinan dari orang dewasa dengan kondisi finansial mapan, namun akting tiga pemeran utamanya menambal kekurangan tersebut.

Muzakki selalu bisa diandalkan untuk menghidupkan naskah seburuk apa pun (dalam hal ini ia ibarat "Reza Rahadian kecil"), Keira Vanaya tampil cukup natural, sementara Neona Ayu memunculkan sensitivitas emosi yang matang lewat tutur katanya. Biarpun klise, Surga di Bawah Langit selalu nyaman diikuti setiap menampilkan interaksi tiga bocah tersebut. Tapi tidak ketika mereka diharuskan bernyanyi dan menari. 

Masalah bukan di penampil, melainkan pengadeganan. Pritagita selaku sutradara dan Nur Hidayat sebagai sinematografer muncul dengan tata kamera yang tidak cocok diterapkan di musikal. Alih-alih membangun kesan dinamis, deretan shot statis justru dipakai, lengkap dengan framing yang gagal menangkap estetika koreografi tariannya (yang juga tidak seberapa bagus). 

Salah satu nomor musikalnya memberi sorotan pada karakter guru tarik suara yang diperankan Rio Silaen (menduduki posisi produser, penulis naskah, serta aktor, film ini merupakan vanity project-nya). Rio bernyanyi ditemani barisan penari latar dengan baju compang-camping, di sebuah ruang gelap minim sentuhan estetika, yang ditangkap dengan tata kamera seadanya. Adegan itu nampak bak sebuah video klip murah. 

Saya masih memaklumi pemakaian CGI buruk guna menyelipkan paksa iklan sebuah merek keramik (muncul dua kali), atau bagaimana Reza Rahadian, Acha Septriasa, dan Andien Aisyah yang jadi jualan utama posternya (memerankan versi dewasa trio karakter utama) hanya muncul sekitar 10 menit di babak akhir. Kekurangan yang sukar dimaklumi adalah, ketika sebagai musikal, Surga di Bawah Langit membuat saya berharap adegan musikalnya dihilangkan. 

Sempat ada harapan filmnya menawarkan konklusi menyentuh kala tiga pemeran seniornya menyanyikan Pelangi milik Chrisye, tapi filmnya menolak berhenti. Total ada 2-3 titik yang berpotensi jadi penutup memuaskan, namun Surga di Bawah Langit memilih dua "encore" yang kembali menampilkan video klip murahan sebagai ending-nya. Tentu keduanya memposisikan sang produser sebagai sentral.

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - TEMAN TIDUR

3 komentar

Teman Tidur adalah horor lokal paling aneh tahun ini. Bukan karena ceritanya, mengingat ia punya alur klise mengenai perundungan berlatar SMA. Keanehan terletak pada aspek teknis, baik audio maupun visual. Antara pembuatnya memang punya visi "nyentrik", atau terdapat kerusakan data selama lima tahun penantian rilis (film ini diproduksi pada 2018). 

Karakter utamanya adalah Amanda (Givina Lukitadewi), siswi pindahan yang tinggal di asrama supaya fokus mempersiapkan diri jelang olimpiade biologi. Sewaktu Amanda jadi korban perundungan, bantuan datang dari Claudia (Gesya Shandy), yang merupakan anggota geng Adam (Baskara Mahendra), putera ketua alumni sekolah. Amanda pun berteman dengan Adam dan kawan-kawan, tanpa tahu bahwa mereka dicurigai sebagai penyebab di balik keputusan bunuh diri seorang siswi bernama Kelly (Mutiara Sofya). 

Harus saya akui, keputusan naskah buatan Evelyn Afnila (Keluarga Tak Kasat Mata, Pamali), Gea Rexy (Dear Nathan, Qodrat), dan Asaf Antariksa (Qodrat, Iblis dalam Kandungan), untuk membuat Amanda berteman dengan geng Adam alih-alih menjadikannya korban mereka, cukup unik. Pun di luar satu dosa besar di masa lalu, mereka bukan sosok "pengganggu" bagi siswa lain. Bahkan mereka sendiri jadi korban penindasan oleh tuntutan-tuntutan orang tua. Misal Adam yang dipaksa masuk IPA, atau Claudia yang mengubur cita-cita sebagai atlet renang. 

Sayang, naskahnya mengembangkan elemen-elemen di atas guna melahirkan penelusuran kompleks mengenai isu perundungan. Tapi apa pun kekurangan terkait penceritaan, tidak ada apa-apanya dibanding kejanggalan departemen teknis. 

Ray Nayoan (Jelita Sejuba: Mencintai Kesatria Negara) selaku sutradara gemar betul menerapkan gerak lambat, termasuk di momen yang tak memerlukan itu. Di beberapa adegan dengan gerak lambat, suara dihilangkan, digantikan oleh musik yang lagi-lagi tujuannya patut dipertanyakan. Saking tidak jelas intensinya, saya curiga ada fail audio yang hilang di pasca produksi, lalu untuk mengakalinya, pilihan nyeleneh tadi pun dipakai. 

Atau jangan-jangan sang sutradara memang bercita-cita menjadi Zack Snyder? Karena selain gerak lambat, Teman Tidur sempat secara tiba-tiba memakai lens flare, serta pewarnaan yang cenderung mute di beberapa titik. Pewarnaannya inkonsisten. Kadang normal, dengan warna-warna sebagaimana di dunia nyata, sebelum mendadak (baca: di shot berikutnya) warna itu memudar. 

Di babak kedua, karakternya memutuskan mengunjungi dukun karena teror arwah Kelly telah merenggut nyawa beberapa dari mereka. Sesampainya di kediaman si dukun, saya kaget melihat latarnya yang dibuat menggunakan CGI berkualitas butut. Ini rumah dukun. Bukan gubuk tani Thanos. Apa perlunya CGI? 

Setidaknya Teman Tidur menolak membohongi penonton. Judulnya adalah bentuk kejujuran. Diisi penampakan hantu tak mengerikan, shot demi shot yang berlangsung lebih lama dari kebutuhan, hingga klimaks absurd minim intensitas, membuat film ini pantas dijadikan teman tidur. Walaupun judul "Obat Insomnia" rasanya lebih cocok.

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE DEVIL'S DEAL

1 komentar

Masih adakah harapan di dunia politik? The Devil's Deal garapan sutradara Lee Won-tae (The Gangster, The Cop, The Devil) memberi jawaban tegas: Tidak! Tiada harapan akan datangnya kesatria suci yang (selalu) berjuang atas nama rakyat. Karena saat waktunya tiba, si kesatria bakal menebas iblis dengan pedangnya, terciprat darah si iblis, kemudian ikut berubah menjadi iblis. 

Berlatar tahun 1992 menjelang pemilu legislatif yang berjarak sembilan bulan dari pemilu presiden, filmnya memperkenalkan kita pada Jeon Hae-woong (Cho Jin-woong), kandidat majelis nasional dari Busan. Tatkala politikus lain mendukung program pembangunan, Hae-woong coba merebut suara publik dengan bersikap sebaliknya. 

Walau tetap mengambil beberapa langkah kotor, seperti meminjam uang pada gangster bernama Kim Pil-do (Kim Mu-yeol), tujuan utama Hae-woong tetaplah mengabdi pada masyarakat. Sewaktu kemenangan nyaris diraih, langkahnya justru dijegal oleh Kwon Soon-tae (Lee Sung-min), orang yang mengendalikan politik Korea Selatan dari balik kegelapan. 

Hae-woong tahu politik itu kotor, tapi ia gagal menyadari satu hal: Seberapa kotor? Semestinya Hae-woong menuruti saran istrinya (Son Yeo-eun) supaya berhenti dan menjalani kehidupan normal. Dia terlalu naif untuk merengkuh kekuasaan politis. Tapi Hae-woong malah mengambil langkah berlawanan dengan membuang kenaifan itu secara perlahan. 

Kebohongan mulai terucap. Suara lantang melawan pembangunan berubah menjadi janji memberi apartemen mahal pada warga pasca penggusuran. Taktik kotor dia ambil, yang mungkin awalnya dianggap sebagai "necessary evil". Tetapi tidak ada "necessary evil". Hanya ada"politik". 

Naskah buatan Lee Su-jin menampilkan proses karakternya terjerumus dalam lingkaran setan dengan rapi. Tentu sebagai kisah soal konspirasi politik, The Devil's Deal menawarkan kompleksitas, namun penuturannya mudah diikuti, bahkan bagi penonton yang masih awam dengan film-film serupa. 

The Devil's Deal mampu membuat penonton berada di posisi Hae-woong, yang meskipun sudah tahu segala keburukannya, bakal tetap terkejut kala melihat bisa sebusuk apa dunia politik. Salah satunya terkait manipulasi surat suara, yang di bawah pengarahan Lee Won-tae, tampil bak sebuah tamparan bagi kepercayaan kita (kalau masih ada) terhadap proses demokrasi. 

Poin utama filmnya adalah bahwa politik ibarat permainan catur. Semua soal adu strategi dengan menggerakkan pion dari balik layar. Alurnya pun bergerak seperti pertandingan antara Hae-woong melawan Soon-tae. Masing-masing pihak bergantian menjalankan bidak, dan sayangnya, mencapai pertengahan durasi, pendekatan tersebut membuat filmnya cukup repetitif. Berbeda dengan catur, di film tidak seharusnya penonton tahu siapa yang sedang mendapat giliran melangkah. Akibatnya, selain timbul repetisi, daya kejut kala salah satu pemain melancarkan serangan balik jadi berkurang. 

Beruntung, sewaktu alurnya mulai melemah, tidak dengan akting jajaran pemain. Lee Sung-min jadi penampil terbaik. Dia bersinar dari balik kegelapan karakternya yang intimidatif. Jika belum lama ini kalian menonton drama Reborn Rich, sang aktor membawakan penampilan serupa, hanya saja tidak dibarengi sebersit kebaikan. Kwon Soon-tae adalah iblis yang mewakili konklusi kelam filmnya, yang mengajak untuk melupakan harapan sekecil apa pun yang masih kita simpan mengenai dunia politik. 

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - YOU & ME & ME

3 komentar

Kehebohan Y2K, pula ramalan Nostradamus soal datangnya "Raja Teror" dari langit yang menghasilkan banyak interpretasi termasuk tabrakan asteroid, membuat tahun 1999 dipenuhi ketakutan akan kiamat. Tapi bagi dua protagonis You & Me & Me, bukan asteroid maupun gangguan sistem komputer yang berpotensi mengakhiri dunia mereka, melainkan konflik pemutus ikatan dua saudara.

You dan Me bukan saudara kandung biasa. Mereka kembar identik (Sama-sama diperankan oleh Thitiya Jirapornsilp). Orang-orang pun sukar membedakan keduanya, sebab satu-satunya perbedaan signifikan hanya tahi lalat di pipi You. Sehingga, You dan Me kerap iseng dengan bertukar identitas. Termasuk di sebuah remedi ujian matematika, di mana Me berpura-pura menjadi You, kemudian berkenalan dengan Mark (Anthony Buisseret) si siswa blasteran. 

Ketika liburan sekolah, You dan Me dibawa oleh sang ibu (Supaksorn Chaimongkol) ke rumah nenek (Karuna Looktumthong) di desa, meninggalkan sang ayah (Natee Ngamnaewporm) sendirian. Bukan liburan biasa, sebab saat itu orang tua mereka tengah cekcok dan kemungkinan besar bakal bercerai. Di tengah kekalutan tersebut, Mark yang rupanya juga pindah ke desa itu, memasuki kehidupan si kembar. 

Sekilas, konflik mengenai hadirnya pria yang diperebutkan dua protagonis wanita sampai merusak hubungan mereka mungkin terdengar klise. Baru seminggu lalu kita menemui pola serupa di Soulmate. Tapi Wanweaw Hongvivatana dan Weawwan Hongvivatana selaku sutradara sekaligus penulis naskah, yang kebetulan juga saudara kembar, memang bukan berniat merombak formula. Fokusnya adalah memaksimalkan tiap elemen dalam formula tersebut. 

Baik di penulisan dan pengadeganan, keintiman sederhana diutamakan. Alih-alih kekonyolan over-the-top, komedinya cenderung natural, diisi kelucuan-kelucuan yang bisa terjadi di realita. Dramanya pun sama. Salah satu momen terhangat muncul sewaktu You dan Me mengunjungi pasar malam yang telah tutup. Saya takkan membocorkan detail peristiwanya, tapi momen itu berlangsung indah berkat sorotan terhadap kuatnya ikatan batin saudara kembar. Saking kuatnya, mereka seolah dapat berbagi kenangan. 

Menyaksikan interaksi You dan Me, wajar bila ada penonton yang mengira mereka diperankan oleh aktris kembar sungguhan. Thitiya Jirapornsilp tampak meyakinkan memainkan dua karakter yang punya kepribadian tidak sama persis meski kembar identik. Kombinasi efek split frame serta body double yang filmnya pakai pun berjalan mulus. Sekali lagi, You & Me & Me mengedepankan kesan natural, dan kualitas efek serta akting si pemain membantu tercapainya tujuan tersebut. 

Di fase konklusi, Wanweaw dan Weawwan menawarkan perspektif menyentuh tentang "kehilangan" yang akan meruntuhkan tembok emosi setebal apa pun. Tatkala masyarakat dunia dihebohkan oleh isu kiamat, You dan Me tidak ambil pusing. Bukan akhir semesta yang paling mereka khawatirkan. Menjadi percuma ketika kiamat urung terjadi saat "dunia" mereka sendiri hancur. Apa artinya kehidupan di dunia jika harus dijalani tanpa orang-orang tercinta?

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - DUNGEONS & DRAGONS: HONOR AMONG THIEVES

3 komentar

Dibuat berdasarkan permainan tabletop bergenre fantasi dengan biaya mencapai 150 juta dollar yang lebih dari dua dekade lalu sudah pernah menghasilkan adaptasi layar lebar berkualitas sangat buruk. Dungeons & Dragons: Honor Among Thieves seolah ditakdirkan bakal gagal baik secara kualitas maupun finansial. Tapi kemudian muncul twist: Filmnya bagus. 

Proyeksi pendapatan di akhir minggu pertamanya cuma sekitar 25-30 juta dollar, alias menandakan sebuah flop, namun dengan daya hibur sekuat ini, bukan mustahil word-of-mouth positif bakal mengubah situasi. 

Merupakan mantan anggota Harpers yang membela keadilan tanpa pamrih, Edgin Darvis (Chris Pine) kini menjadi pencuri bersama Holga (Michelle Rodriguez), selepas kematian sang istri di tangan para penyihir merah yang keji. Pasca kegagalan suatu misi yang membuatnya mendekam di penjara, Edgin mendapati sang puteri, Kira (Chloe Coleman), kini membencinya. Semua akibat tipu daya mantan rekannya, Forge (Hugh Grant), seorang penipu yang naik tahta menjadi Lord of Neverwinter berkat bantuan Sofina (Daisy Head), salah satu penyihir merah. 

Dari situlah elemen RPG mengambil alih. Demi meruntuhkan kekuasaan Forge sekaligus merebut puterinya kembali, Edgin membentuk tim berisi empat orang. Selain dirinya dan Holga, ada Simon Aumar (Justice Smith) si penyihir rendah diri, juga druid dengan kemampuan bertransformasi menjadi hewan bernama Doric (Sophia Lillis). 

Di film, genre apa yang punya penokohan serupa RPG? Jawabannya adalah heist. Keduanya sama-sama menampilkan tim berisi individu-individu dengan beragam kemampuan. Naskah yang ditulis Michael Gillio bersama duo sutradara film ini, Jonathan Goldstein dan John Francis Daley, cerdik meleburkan dua genre dari medium berlainan tersebut.

Tiap karakter punya kemampuan yang jelas sekaligus diberi kesempatan bersinar. Seperti heist dan RPG pula, muncul keasyikan menerka-nerka soal taktik apa yang mesti digunakan dalam situasi tertentu, serta karakter mana yang harus turun tangan. 

Tapi keseruan tidak seketika filmnya berikan karena separuh pertamanya berlangsung kurang mulus. Dungeons & Dragons punya dunia unik sarat mitologi menarik, di mana manusia hidup berdampingan dengan hal-hal bernuansa fantasi (sihir, naga, dll.). Sayang, caranya memperkenalkan dunia itu pada penonton, terutama di babak awal, terlalu bergantung pada eksposisi melelahkan yang terkadang membingungkan. Ditambah inkonsistensi pacing (berlama-lama di satu titik, terburu-buru di titik berikutnya), Dungeons & Dragons cenderung dibuka dengan tidak spesial. 

Lambat laun permasalahan di atas membaik. Goldstein dan Daley, berbekal pengalaman mereka membesut Game Night (2018) yang juga menggunakan permainan tabletop (lebih tepatnya board) selaku pondasi, kembali melahirkan tontonan menghibur. Komedinya efektif menyegarkan suasana, dan walaupun dipersenjatai CGI solid, aksinya lebih mengedepankan ide kreatif ketimbang efek artificial. 

Lihat ketika Doric secara bergantian berubah jadi berbagai hewan saat kabur dari kejaran Sofina. Long take-nya tidak seberapa natural (bantuan efek dan trik kamera amat kentara), namun ketika banyak sutradara blockbuster terlalu malas dan memilih membungkus kejar-kejaran seadanya, Goldstein dan Daley bersedia memutar otak untuk membuatnya lebih dinamis. 

Setengah jam terakhir filmnya punya semua elemen yang diperlukan guna menyuguhkan blockbuster kelas satu. Ada aksi seru, komedi lucu, ide-ide kreatif nan mengejutkan, dan terpenting, "rasa". Reuni Holga dengan si mantan suami yang turut menampilkan sebuah cameo, hingga konklusi yang membicarakan keikhlasan hati, memantapkan status Dungeons & Dragons: Honor Among Thieves sebagai blockbuster paket lengkap. 

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - FURIES

1 komentar

Demam John Wick minggu ini mungkin bakal membuat publik melewatkan berita perilisan Furies di Netflix. Sebuah suguhan martial arts lain yang juga mengambil banyak inspirasi dari sinema Hong Kong era 90-an, baik dalam eksekusi aksi maupun estetika visual. 

Sama-sama produksi Vietnam dan melibatkan Veronica Ngo, film ini tidak punya kaitan dengan Furie (2019) yang jadi perwakilan Vietnam di Academy Awards 2020. Kali ini Ngo duduk di kursi sutradara, menulis naskah (bersama empat orang lain), sekaligus tampil di depan kamera sebagai Jacqueline, yang mengumpulkan gadis-gadis tunawisma korban pelecehan seksual.

Tapi bukan Jacqueline karakter utama kita, melainkan Bi (Dong Anh Quynh), yang hidup seorang diri di jalan pasca mengalami tragedi traumatis semasa kecil. Jacqueline menawari Bi tempat tinggal. Sebagai gantinya, ia mesti bergabung dengan Thanh (Toc Tien) dan Hong (Rima Thanh Vy), guna membentuk tim yang bertujuan membersihkan jalanan dari pria-pria pengeksploitasi wanita. Target utamanya adalah Hai (Thuan Nguyen), pelaku perdagangan wanita untuk dijadikan PSK. 

Furies jelas mengedepankan gaya ketimbang substansi. Meski punya lima penulis, alur hampir tidak eksis sepanjang 109 menit durasi, dan sekalinya muncul, sifatnya cuma formalitas. Sebatas selingan yang menjembatani tiap set piece aksi. Jangan harap ada dampak emosional dari perjalanan tokoh-tokohnya bergulat dengan kondisi mereka sebagai korban kekerasan, pelecehan seksual, dan manipulasi psikis. 

Seluruh perhatian pembuatnya diarahkan pada gaya. Misal estetika visual dengan warna-warna neon mencolok yang seperti versi serba berlebih dari sinema Hong Kong (termasuk Wong Kar-wai). Saking berlebihanya, Furies bahkan menggunakan estetika tersebut kala tidak dibutuhkan. Seolah tiada ruang bagi warna "normal", sehingga alih-alih cantik, di beberapa titik justru terasa mengganggu. 

Beberapa estetika audiovisual lain (musik, efek split screen, tata rambut serta busana, dll.) memunculkan kesan cheesy selaku penegas bahwa Furies bukan tontonan yang perlu dianggap terlalu serius. Di babak ketiga, protagonisnya bahkan sempat berhadapan dengan seorang pecandu narkoba yang akibat nyaris overdosis, bertingkah bak zombie ganas. 

Kemasan over-the-top di atas bukan suatu masalah andai Furies tidak memiliki wajah lain, yang coba mencerminkan melankoli kelam nan tragis ala drama kriminal Hong Kong. Hasilnya timbul kontradiksi antar dua tone yang bertolak belakang. 

Tapi lain cerita bila membicarakan bagaimana Veronica Ngo dan tim membungkus aksinya. Dibantu Phunam selaku sinematografer, Ngo menerapkan gerak kamera dinamis (sudah jadi standar baru sinema aksi sejak The Raid mendobrak pakem 12 tahun lalu) untuk menangkap sederet koreografi yang digarap mumpuni, dengan elemen gun fu jadi yang paling menonjol. 

Trio pemain utamanya, Dong Anh Quynh, Toc Tien, dan Rima Thanh Vypun pun tampil meyakinkan melakoni tiap detail koreografi. Tentu saja Veronica Ngo turut ambil bagian di babak puncak dan langsung mencuri perhatian. Satu poin penting yang mampu diperlihatkan para aktris ini lewat penampilannya: Mereka bukan jagoan tanpa tanding. Mereka babak belur, berdarah-darah, berulang kali terpojok di pertarungan, namun kata "menyerah" pantang terucap. Furies bukan soal prajurit nomor satu, melainkan para penyintas yang menolak "berhenti".

Satu-satunya lubang di aksinya muncul dalam sekuen kejar-kejaran motor. Diawali kesenduan ala Fallen Angels-nya Wong Kar-wai, tiba-tiba situasi berubah jadi kekonyolan begitu CGI mengambil alih. Pilihan untuk bergantung pada CGI (yang kualitasnya tak seberapa) daripada stunt atau trik kamera memunculkan distraksi. Padahal pencapaian terbesar Furies sebagai suguhan aksi adalah terkait pemaksimalan kemampuan bela diri pemainnya. Lihat saja baku hantam penutupnya yang epik itu. 

(Netflix)

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - HANTU BARU

3 komentar

Dua minggu selepas Perjanjian Gaib, Hantu Baru kembali membuktikan: 1) Membuat horor itu sulit; 2) Membuat komedi itu sulit; 3) Membuat horor komedi jauh lebih sulit. Saking sulitnya, jajaran cast kelas satu pun tak kuasa memberi pertolongan kala naskahnya lebih banyak memancing kesan canggung ketimbang lucu. 

"Hantu baru" yang dimaksud di judulnya adalah Sasa (Acha Septriasa), yang jadi korban pembunuhan salah sasaran oleh anak buah pebisnis korup (Donny Damara) yang merupakan pesaing Hadi (Rezky Adhitya), tunangan Sasa. Sasa pun meninggalkan tiga adiknya (Calvin Jeremy, Electra Leslie, M. Adhiyat), menjadi kuntilanak dan.....tidak tahu harus melakukan apa. 

Lebih tepatnya, naskah buatan Erwin Wu (Sabar Ini Ujian) dan Hilman Mutasi (5cm, Benyamin Biang Kerok) yang tidak tahu mesti bagaimana memperlakukan status Sasa sebagai hantu baru. Umumnya cerita di atas bakal berujung pada upaya balas dendam si hantu, namun opsi itu tidak digunakan, mungkin demi menjaga tone-nya tetap ringan. Agak "lucu" sebab Sasa mati dibunuh, alias sejak awal filmnya sudah tidak seringan itu. Pun tahun lalu, Mumun yang juga dibintangi Acha, membuktikan kalau elemen balas dendam tetap dapat diterapkan di horor komedi (Praise Lord KKD!). 

Sebagai hantu baru, Sasa harus melewati beberapa penyesuaian. Untungnya dia tidak sendiri. Di rumahnya sudah lebih dulu tinggal dua hantu senior, yaitu Bowo (Totos Rasiti) dan Borjong (Arief Didu). Mereka sempat "membimbing" Sasa dengan mengajarinya cara menakut-nakuti manusia. Sebuah situasi yang menyimpan segudang potensi komedik, namun berlangsung sekejap tanpa meninggalkan kesan berarti. Alhasil karakter Sasa pun semakin tidak punya arah. 

Acha sendiri nampak kebingungan menghidupkan karakter yang sudah mati. Tidak pernah jelas, apakah ia harus terus-terusan datar, atau boleh menampakkan emosi. Inkonsisten. Nama-nama lain seperti Donny Damara dan Sujiwo Tejo sebagai dukun berusaha membangun identitas pada karakter masing-masing, tetapi penokohan dangkal naskahnya menghalangi tercapainya tujuan tersebut. 

Karakter paling menarik justru Nana (Ruth Marini) si ART. Keseimbangan Ruth Marini menangani drama dan komedi merupakan elemen terbaik film ini, meski saya masih berharap sang aktris bisa segera beranjak dari typecast "orang susah". Cukup menyegarkan pula melihat karakter ART mengambil sentral penceritaan alih-alih sebatas muncul sesekali saat penulis naskah ingin mengeksploitasi kenorakannya. 

Tapi bagaimana dengan kualitas komedi Hantu Baru sendiri? Beberapa humornya cukup menggelitik, walau lebih banyak yang meleset. Masalahnya, saat gagal mengenai sasaran, daripada sekadar "tidak lucu", kesan cringey yang begitu besar acap kali mengiringi. Saya pun gagal memahami alasan Adink Liwutang (The Underdogs, Sesuai Aplikasi) selaku sutradara memakai efek suara murahan yang telah ketinggalan zaman untuk mengiringi lawakannya. 

Cringey, second-hand embarrassment, film ini punya semuanya. Tidak hanya di momen komedik, juga dramatik. Contohnya ketika di bandara, secara tiba-tiba Sasa berlari memeluk Hadi dalam balutan gerak lambat. Peristiwa tersebut makin "mencengangkan" akibat penyuntingan buruk (kerap terasa di sepanjang durasi) yang turut ambil bagian. Naskah buruk, penyutradaraan buruk, penyuntingan buruk. Ya, ini film yang buruk. 

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - JOHN WICK: CHAPTER 4

15 komentar

John Wick: Chapter 4 bukan cuma judul terbaik di serinya, tapi film martial arts terbaik sejak The Raid 2 sembilan tahun lalu. Bahkan kalau ada yang memasukkannya dalam daftar film aksi terbaik sepanjang masa pun saya tidak keberatan. Pasca Parabellum (2019) yang menghibur namun mulai terasa repetitif, Chad Stahelski melepas tali kekang eksplorasi, membiarkan filmnya bergerak liar selama 169 menit durasi. 

Cerita dalam naskah buatan Shay Hatten dan Michael Finch amat sederhana. Pasca membunuh The Elder (George Georgiou), John Wick (Keanu Reeves) makin diburu oleh High Table. Vincent de Gramont (Bill Skarsgård) yang memimpin perburuan tersebut mengirim Caine (Donnie Yen), si pembunuh buta sekaligus kawan lama John. New York, Osaka, Berlin, hingga Paris jadi latar kejar-kejaran kedua belah pihak.

Hotel Continental Osaka merupakan panggung pembuka yang seketika menegaskan superioritas filmnya. Tata suaranya bombastis, departemen artistik pun membangun keindahan yang didukung oleh permainan cahaya neon. Hiroyuki Sanada memerankan Shimazu Koji, manajer hotel sekaligus pimpinan pasukan pembunuh dengan beragam kemampuan, termasuk dua pesumo yang bisa mementahkan berondongan peluru. Puterinya, Akira, juga petarung handal. Rina Sawayama melakoni debut aktingnya secara meyakinkan, dan kemungkinan bakal jadi salah satu ujung tombak franchise ini di masa depan.

Sekuen Osaka punya segalanya untuk menghadirkan klimaks kelas satu di film aksi kebanyakan. Aspek teknis luar biasa, koreografi aksi mumpuni sarat variasi, dan tentunya pertarungan John Wick melawan Caine. Donnie Yen adalah MVP. Brutal, gesit, cerdik, tenang, ibarat perpaduan antara Ip Man dan Daredevil yang telah membuang moralitasnya. 

Ketika semua itu justru dijadikan set piece pembuka, apakah intensitas filmnya kemudian menurun? Rupanya tidak. Sebagaimana sinematografi garapan Dan Laustsen yang setia menampilkan kemegahan, entah saat terjadi baku hantam atau tidak, baik di dalam dan luar ruangan, aksinya pun konsisten. Selalu seru, selalu intens, dan terpenting, selalu berusaha memperlihatkan gebrakan baru. 

Di beberapa titik, John Wick: Chapter 4 tampil bak video game. Tengok tampilan top-down ala shooting game (pilihan senjatanya menguatkan kesan itu) dalam sebuah take panjang, sampai kejar-kejaran di jalanan Paris yang terasa bagai salah satu level sulit di permainan platformer. 

Karena durasinya mendekati tiga jam, kesan repetitif otomatis muncul, apalagi tiap John dibuat berjibaku terlampau lama di satu lokasi, namun itu bukan kekurangan besar. Saya lebih suka memandangnya sebagai risiko yang berani diambil agar bisa melahirkan suguhan epik berskala besar. Stahelski menyadari itu. Pun nampaknya ia menyadari film ketiga mulai kehabisan bahan bakar, sehingga kali ini tiada lagi upaya menahan diri. Tiap aksi dikemas se-berlebihan mungkin. Sekali lagi, seperti video game. 

Ceritanya mungkin tipis, tapi bangunan dunia unik khas seri John Wick tetap dapat kita temukan, misal sewaktu karakternya mengatur detail suatu duel menggunakan permainan kartu unik. Duel itulah yang jadi puncak filmnya. Klimaks berani yang alih-alih coba tampil semakin besar, justru mengedepankan adu taktik ala spaghetti western, yang berujung pada konklusi yang amat memuaskan. 

15 komentar :

Comment Page:

REVIEW - SOULMATE

4 komentar

Soulmate, terutama beberapa twist-nya, mengingatkan saya pada horor dan thriller psikologis yang membicarakan soal identitas. Karena itulah filmnya unik. Membawa elemen yang bisa saja digiring ke arah kelam ke dalam drama persahabatan hangat, berujung menghadirkan perspektif yang lebih bermakna mengenai "belahan jiwa". 

Merupakan remake dari film Cina berjudul Soul Mate (2016), kita diajak melihat persahabatan dua wanita, Mi-so (Kim Da-mi) dan Ha-eun (Jeon So-nee), yang terjalin sejak mereka kecil. Ha-eun hidup di keluarga harmonis sekaligus lengkap, sedangkan Mi-so terus berpindah-pindah bersama sang ibu, tanpa sosok ayah. Bahkan di satu titik, ibu Mi-so pindah ke Seoul, meninggalkan puteri tunggalnya di Jeju seorang diri. 

First act filmnya, yang menjabarkan masa kecil dua protagonis, jadi fase favorit saya. Momen-momen intim, iringan musik lembut, sinematografi hangat, hingga tempo yang mengalun pelan tapi pasti, memunculkan kesan bak kenangan. Secara spesifik, kenangan indah akan suatu musim panas. 

Narasi dalam naskah buatan sang sutradara, Min Yong-geun, bersama Kang Hyun-joo, memang berbentuk kenangan. Sebuah flashback yang dihasilkan saat Mi-so dewasa membaca tulisan di blog Ha-eun. Di situ Ha-eun menuangkan memori-memori yang merangkum persahabatan mereka selama bertahun-tahun. 

Memasuki fase SMA, filmnya tampil lebih bertenaga, mewakili letupan-letupan dunia remaja dua karakternya. Di sini kontradiksi antara hidup Mi-so dan Ha-eun makin kentara. Ha-eun memang mesti mengubur mimpi masa kecilnya sebagai pelukis demi memenuhi harapan sang ayah yang ingin melihatnya menjadi guru, namun secara garis besar, hidupnya nyaman. Sebaliknya, Mi-so harus membanting tulang untuk sekadar bertahan. 

Di balik kepribadiannya yang berapi-api, Mi-so memendam kegelapan. Dia merepresentasikan kelas pekerja. Upah minim, tinggal di kamar sempit, mengoleksi CD (What's the Story) Morning Glory? (pilihan bagus!), serta mengidolakan Janis Joplin, dan berharap bakal mati saat berumur 27 tahun seperti sang musisi. 

Walau demikian keduanya tetap bersama. "Aku tidak pernah melihat punggung Mi-so karena kami selalu berjalan beriringan", pikir Ha-eun. Sampai datanglah Jin-woo (Byeon Woo-seok), pria pujaan Ha-eun yang menghadirkan ujian bagi persahabatannya dengan si belahan jiwa. Dari situlah kita menyaksikan Mi-so dan Ha-eun tumbuh, mengalami pasang-surut hubungan persahabatan, dan tentunya, dihantam realita seiring bertambahnya usia. 

Mi-so merasa terus diikuti oleh nasib sial. Walau tak pernah diutarakan secara gamblang, ia sering mendambakan kehidupan orang lain di sekitarnya, termasuk Ha-eun. Tapi apa benar Ha-eun lebih beruntung, atau dia pun diam-diam mendambakan kehidupan Mi-so yang penuh kebebasan? 

Nyatanya hidup tiap manusia punya plus-minus masing-masing. Kalau begitu, bukankah lebih indah apabila dua hidup yang berbeda dapat disatukan guna mendapatkan kesempurnaan? Pertanyaan tersebut jadi pondasi barisan twist yang mengisi babak akhir. Twist yang mampu mendefinisikan "belahan jiwa" secara lebih bermakna, dan membantu menghantarkan dampak emosional kuat pada ceritanya.

Penampilan dua aktris utamanya berperan besar memantik dampak emosi tersebut. Chemistry mereka memudahkan kita meyakini Mi-so dan Ha-eun memang sahabat sejati. Kebersamaan keduanya menghangatkan hati, dan sebaliknya, tangisan yang menandai keretakan persahabatan terasa sangat menusuk.

Sekali lagi, Soulmate adalah kisah soal kenangan, dan seringkali kebenaran suatu kenangan diragukan akibat pengaruh waktu yang mengikis validitas memori seseorang. Karenanya, kenangan ibarat sebuah karya (film, novel, atau curahan perasaan di blog) yang mengaburkan batasan fantasi dengan realita. Ambiguitas itu menjadi pondasi narasi Soulmate. Mungkin ada kalanya kebenaran pahit dibiarkan tersembunyi di belakang sampul fantasi yang jauh lebih indah. Atau justru menandai tragedi?

4 komentar :

Comment Page:

REVIEW - PALM TREES AND POWER LINES

2 komentar

Palm Trees and Power Lines adalah sebuah cautionary tale. Bagi remaja, bagi orang tua, bagi kita semua. Jamie Dack mengadaptasi film pendek berjudul sama buatannya sendiri, untuk memberi peringatan akan risiko menelantarkan remaja bawah umur secara emosional, melalui drama coming-of-age yang mengalun pelan namun menusuk dengan tajam. 

Lea (Lily McInerny), seorang remaja 17 tahun, tengah menjalani sisa liburan musim panasnya. Di rumah, ia tinggal berdua bersama sang ibu, Sandra (Gretchen Mol), yang cuma memedulikan Lea tiap sedang patah hati dan tak memiliki kekasih. Hubungan keduanya renggang, sehingga Lea lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya. 

Tapi itu pun tidak mendatangkan kebahagiaan. Lea menjalin hubungan tanpa status dengan Jared (Timothy Taratchila) yang hanya mengincar seks. Semua orang di sekitar Lea mendatanginya cuma saat ingin memenuhi kebutuhan masing-masing. 

Secara fisik, Lea tak ditelantarkan. Segala keperluannya terpenuhi. Tapi soal psikis lain cerita. Hatinya kosong. Sampai terjadilah pertemuan dengan pria berusia 34 tahun bernama Tom (Jonathan Tucker). Tom menyediakan sandaran emosional yang selama ini Lea cari. Bersama Tom, Lea bisa menjalin komunikasi. Sebuah kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Lea pun jatuh cinta.

Lily McInerny menampilkan debut akting gemilang, memunculkan kepolosan sekaligus kerapuhan remaja pencari kasih sayang, yang membuat kita memahami mengapa dia terjerumus dalam cinta terlarang ini. Mungkin ada juga faktor daddy issue. Lea merasa dibuang oleh sang ayah yang memilih pergi guna tinggal bersama istri barunya. Tom dengan tutur katanya yang mengayomi hadir mengisi kekosongan tersebut. 

Kemudian alihkan perhatian ke Tom, dan kita, sebagai penonton yang tentu bisa berpikir lebih netral ketimbang si protagonis, juga orang dewasa yang lebih waspada, bakal menemukan sederet tanda bahaya dari sosoknya. Di balik tutur kata bijaknya, Tom selalu menyelipkan kalimat-kalimat bernada manipulatif, yang ia samarkan sebagai ekspresi cinta. 

Jonathan Tucker piawai memainkan "monster bertopeng" semacam itu. Ucapan-ucapan bernada posesif dipalsukan melalui gaya bicara lembut, gestur intimidatif dipalsukan sebagai bentuk afeksi. Tengok saat Tom menyentuh wajah Lea di pantai sembari berkata "I don't want you seeing other guys". Penampilan Tucker memungkinkan penonton mengobservasi wajah asli karakternya secara bertahap, sebelum intensi sesungguhnya (yang seharusnya dapat dibaca oleh penonton dewasa dari kejauhan) terungkap.

Jamie Dack, baik sebagai sutradara maupun penulis naskah (bersama Audrey Findlay) menunjukkan kematangan bercerita walaupun ini merupakan film panjang perdananya. Naskahnya luar biasa rapi, pacing tiap adegan pun mengalir begitu mulus. Rasanya seperti sedang diseret secara sukarela oleh sebuah arus. 

Palm Trees and Power Lines bukan suguhan eksploitasi. Lily McInerny sudah berada di usia legal, pun beberapa adegan seksual (termasuk titik balik disturbing di penghujung babak kedua) dijaga agar tidak terlampau vulgar. Bukan berarti filmnya tidak bertaring. Konklusinya menegaskan itu, tatkala dampak dari penelantaran psikis remaja mencapai titik paling berbahaya. 

(iTunes US)

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - COCAINE BEAR

8 komentar

Di film dengan premis soal beruang yang mengamuk setelah mengonsumsi kokain, pertanyaan yang semestinya dilontarkan bukanlah "Secerdas apa ceritanya?" atau "Apa akting pemainnya patut diganjar penghargaan?", melainkan "Seberapa gila filmnya?". 

Cocaine Bear dibuka dengan kalimat yang mendeskripsikan cara menyelamatkan diri apabila bertemu beruang hitam.....yang merujuk pada Wikipedia. Sebuah penegasan bahwa perspektif berbasis sains maupun aturan baku pembuatan film tak semestinya dianut oleh penonton.

Jangan pula memikirkan akurasi sejarah. Naskah buatan Jimmy Warden (The Babysitter: Killer Queen) memang terinspirasi dari peristiwa nyata mengenai seekor beruang (dijuluki "Pablo Eskobear") yang mati akibat overdosis kokain pada 1985, namun pengembangannya amat sangat bebas. Tidak seperti Eskobear, beruang di Cocaine Bear bertahan hidup, ketagihan kokain, dan menghabisi satu per satu pengunjung Hutan Nasional Chattahoochee-Oconee yang jadi habitatnya. 

Dikarenakan sederet kebetulan, beberapa orang berkumpul di hutan tersebut secara bersamaan. Sari (Keri Russell) mencari puterinya, Dee Dee (Brooklynn Prince), yang membolos sekolah bersama sahabatnya, Henry (Christian Convery), untuk melukis air terjun di tengah hutan. Pencarian itu turut melibatkan Liz (Margo Martindale) selaku penjaga hutan dan Peter (Jesse Tyler Ferguson) si aktivis lingkungan. 

Di lain pihak, Syd (Ray Liotta) si pemilik kokain mengutus sang putera, Eddie (Alden Ehrenreich), juga anak buahnya, Daveed (O'Shea Jackson Jr.), guna menemukan barang dagangannya itu, tanpa tahu bahwa jejak mereka telah diendus oleh detektif bernama Bob (Isiah Whitlock Jr.). 

Warden mampu menangani karakter sebegitu banyak dengan baik berkat pemahaman akan cara memunculkan daya tarik. Hampir tiap karakter diberi anomali. Penjaga hutan yang merokok kala bertugas dan lebih tertarik menggoda si pujaan hati ketimbang menolong pengunjung, putera pemimpin gembong narkoba yang memutuskan pensiun dan enggan berbuat tindak kriminal, detektif dengan peliharaan seekor anjing menggemaskan, dan lain-lain. Warden ahli mengecoh ekspektasi penonton melalui penokohannya. 

Selain membuat karakternya lebih berwarna sekaligus memorable, keunggulan di atas turut membantu penghantaran komedi. Amunisinya jadi bervariasi. Apalagi jajaran pemainnya jeli menangani komedi. Mereka tahu anomali di penokohan masing-masing sudah memberi kelucuan tersendiri, kemudian memerankannya secara "serius" (tidak melebih-lebihkan kekonyolan). 

Bagaimana dengan pertanyaan utamanya? Seberapa gila Cocaine Bear? Bagi penonton yang telah familiar dengan judul-judul b-movie "sampah", Cocaine Bear mungkin terasa jinak. Ide "amukan beruang pengguna kokain" masih bisa didorong ke ranah yang jauh lebih ekstrim daripada ini. 

Tapi bila disandingkan dengan sesama horor arus utama Hollywood lain, Cocaine Bear tetap menghadirkan keseruan brutal yang menyegarkan. Sebuah slasher di mana pembunuh bertopeng digantikan seekor beruang teler, dengan mayoritas latar adalah siang hari. Unik. Meski pembantaian bukan dilakukan oleh manusia yang lebih berakal, eksplorasi Warden tak terkekang. Berbagai teknik membunuh kreatif berhasil ditampilkan. Jauh lebih kreatif dari kebanyakan slasher modern yang lebih tertarik tampil cerdas ketimbang mengeksplorasi metode menghabisi nyawa.

Di kursi penyutradaraan, akhirnya Elizabeth Banks menghasilkan karya yang benar-benar pantas disebut "bagus", di saat ia diberi kebebasan menjauh sebisa mungkin dari pakem-pakem industri. Kekerasannya tidak muncul secara malu-malu, intensitas pun cenderung konsisten. Sekuen kejar-kejaran antara beruang dan ambulans merupakan set piece aksi terbaik yang pernah Banks buat. Jauh lebih seru dibanding saat ia mengarahkan film aksi sungguhan. 

(iTunes US)

8 komentar :

Comment Page:

REVIEW - LOSMEN MELATI

4 komentar

Menonton Losmen Melati seperti meminum air keran setelah berlari berkilo-kilo saat siang bolong di tengah musim kemarau. Kita sadar airnya tidak higienis, tapi tetap terasa menyegarkan akibat kehausan dan panas terik matahari. 

Ditinjau dari berbagai sisi, Losmen Melati dipenuhi kekurangan. Tapi di tengah meningkatnya kuantitas horor lokal di bioskop, yang sayangnya tanpa dibarengi peningkatan varian, produksi orisinal pertama Catchplay+ ini harus diakui menawarkan alternatif unik. 

Kisahnya berlatar di Losmen Melati, yang menurut desas-desus adalah tempat terkutuk. Pemiliknya bernama Madam Melati (Alexandra Gottardo), yang cuma dibantu seorang karyawan, Golok (Samuel Panjaitan), dalam mengelola losmen. Sepanjang 98 menit durasinya, kita diajak melihat beberapa orang yang menginjakkan kaki di sana atas berbagai alasan.

Dara (Putri Ayudya) bersama sang suami, Karim (Totos Rasiti), serta puteranya, Gemi (Abirama Putra), menginap semalam selepas nyekar ke makam sang ibu. Maya (Sarah Felicia) dan Rizal (Alexander Wulan) adalah sepasang kekasih yang mencari tempat untuk berhubungan seks. Datang pula dua pencuri (Haydar Salishz dan Ridwan Roull Rohaz) yang berniat merampas barang berharga di losmen. Melalui beragam cara, orang-orang ini bakal dihadapkan pada misteri yang disimpan Losmen Melati. 

Penceritaannya sedikit menyerempet ke format antologi, yang mana wajar, sebab awalnya proyek ini hendak dirilis sebagai serial 10 episode. Transformasi formatnya berjalan tak terlalu mulus. Bukannya tidak ada upaya. Penyuntingan ulang untuk versi baru ini nampak sudah berusaha maksimal, tapi pada dasarnya serial dan film panjang memang jauh berbeda, sehingga penuturannya tetap berantakan.

Dugaan saya ada 4-5 episode yang dipaksa melebur, termasuk flashback terkait latar belakang Melati, yang membawa kita mundur ke tahun 1887,1900, dan 1917. Perjalanan ke masa lalu itu dipecah menjadi beberapa fragmen kecil yang terkadang mengganggu aliran cerita. Dampak serupa pun dapat ditemui di babak ketiga, kala konflik Melati melawan para pencuri dan cerita Maya-Rizal saling tumpang tindih. 

Satu elemen lagi yang kurang berhasil dialihkan ke layar lebar adalah tata suara. Di banyak titik voice over Melati sukar didengar akibat tertutup iringan musik. Ada dua kemungkinan. Pertama, karena mixing yang kurang sesuai, atau kedua, karena voice over tersebut diselipkan belakangan untuk menambal adegan yang mesti dipangkas guna meringkas durasi. 

Saya tetap meyakini Losmen Melati bakal jauh lebih baik sebagai serial. Kesan tanpa arah akibat format episodiknya, penceritaan pun akan lebih rapi tanpa harus berhenti di tengah jalan (Losmen Melati dibagi jadi dua bagian, di mana puncak keseruan masih disimpan untuk sekuelnya). 

Tapi bukan berarti keputusan mengubah format tak bisa dijustifikasi. Layar bioskop adalah tempat sempurna untuk memamerkan departemen visual Losmen Melati, yang juga jadi pembeda utama dengan deretan horor lokal lain. Digawangi oleh duo sutradara Mike Wiluan (Buffalo Boys) dan Billy Christian (The Sacred Riana, Mereka yang Tak Terlihat) yang cenderung mengedepankan prinsip style over substance, film ini memang sedap dipandang.

Terornya tak seberapa mengerikan, dengan masih mengandalkan jump scare generik serta dibumbui segelintir gore, namun setiap kemunculan hantu merupakan panggung pembuktian bagi tim artistik. Desain unik yang mempertemukan mistis khas Indonesia dengan fantasi gelap negara barat mampu dihidupkan oleh efek praktikal mumpuni, juga CGI yang cukup solid. 

Tendensi Mike Wiluan melempar referensi ke film-film Hollywood pun memegang peranan penting. Losmen Melati yang nampak bak Bates Motel dari Psycho (1960), sebuah jump scare yang bak penghormatan bagi momen ikonik chestburster di Alien (1979), hingga tampilan Madam Melati yang seperti kombinasi Eva Green di Miss Peregrine's Home for Peculiar Children (2016) dan Morticia Addams dari seri The Addams Family, semua menghadirkan nuansa yang sejenak membawa kita menjauh dari pemandangan klenik khas horor lokal. 

Di jajaran pemain, Alexandra Gottardo tak ubahnya magnet yang terus menarik atensi penonton; Putri Ayudya tampil kuat mengolah dilema batin karakternya; Ridwan Roull Rohaz nampak intimidatif; Bima Sena kembali menunjukkan potensi selaku aktor cilik berbakat; sedangkan Kiki Narendra sebagai Kusno si dokter sinting adalah...well, Kiki Narendra, yang apa pun perannya senantiasa memikat. Ya, seperti air keran di tengah panas terik, Losmen Melati akan terasa mengganjal saat dinikmati, tetapi biar bagaimanapun, tetap ada kenikmatan yang menyegarkan di dalamnya. 

4 komentar :

Comment Page:

REVIEW - SHAZAM! FURY OF THE GODS

14 komentar

Lupakan soal gesekan internal yang membuat semesta sinema DC bakal dimulai ulang dua tahun lagi lewat Superman: Legacy. Ada atau tidaknya konflik tersebut takkan mengubah identitas Shazam! Fury of the Gods. Sebagaimana film pertamanya empat tahun lalu, ia adalah hiburan ringan yang bukan ditujukan sebagai pengubah status. 

Bisa saja David F. Sandberg dan tim menyuguhkan produk dengan estetika asal jadi hanya untuk menambah pundi-pundi uang. Nyatanya tidak. Meski belum sesegar pendahulunya yang berjasa membuktikan bahwa DC juga bisa berkelakar, Fury of the Gods bukan selipan yang dibikin setengah-setengah. 

Selain Sandberg di kursi sutadara, Henry Gayden pun kembali selaku penulis naskah. Kali ini dia tidak sendiri. Chris Morgan yang merupakan langganan seri Fast & Furious sejak film ketiga turut digaet. Alasannya tidak lain karena Fury of the Gods membicarakan hal yang begitu diagungkan oleh Dominic Toretto: KELUARGA. 

"I don't have friends. I have family", ucap Dom yang diamini oleh seluruh anggota "keluarganya". Sayangnya bagi Billy Batson (Asher Angel) kondisinya tidak segampang itu. Sebagai Shazam (Zachary Levi), kapasitasnya bukan cuma diragukan oleh masyarakat, pula dirinya sendiri, yang merasa tak sehebat jagoan-jagoan lain. 

Sedangkan di rumah, harapan Billy menyatukan seluruh anggota keluarga malah mendapat tentangan. Bagi Billy, ia dan kelima saudara angkatnya yang sama-sama punya kekuatan super harus melakukan segalanya bersama. Tapi Freddy (Jack Dylan Grazer) menikmati beraksi sendirian sebagai bentuk eskapisme dari perundungan yang ia terima di sekolah. Begitu pula Mary (Grace Caroline Currey), yang sebagai anak tertua ingin memiliki dunianya sendiri. 

Sebelum dipandang sebagai satu kesatuan, jangan lupa bahwa keluarga terdiri atas beragam individu. Kelalaian menyadari itu bakal membuat upaya menyatukan justru berujung memisahkan. Sebuah pokok bahasan yang sesungguhnya telah berulang kali diangkat film arus utama Hollywood, namun tak pernah kehilangan kekuatannya berkat masih tingginya relevansi dengan realita. Fury of the Gods menghantarkannya dengan baik. 

Pihak antagonis pun membawa dinamika serupa. Tiga dewa puteri Atlas, Hespera (Helen Mirren), Kalypso (Lucy Liu), dan Anthea (Rachel Zegler), memasuki dunia manusia guna mencari benda yang dahulu mereka miliki. Ketiganya membentuk keluarga disfungsional tatkala luput mengomunikasikan perspektif serta kepribadian mereka yang saling berlainan, biarpun bertindak demi mencapai satu tujuan. 

Layaknya kisah-kisah mitologi Yunani pada umumnya, kita diajak melihat bagaimana para dewa dengan segala kekuatan mereka, nyatanya tak selalu superior dibanding manusia. Ketika tiga dewa film ini perlahan terbelah akibat perbedaan, keenam manusia jagoan kita senantiasa kokoh berkat kesediaan menangani perbedaan itu.

Tapi kalau membicarakan laju penceritaan, sejatinya Fury of the Gods kurang mulus di separuh pertama durasinya. Pacing-nya cenderung draggy, humornya kerap meleset dari sasaran, aksinya pun generik. Begitu memasuki babak ketiga, mendadak semua elemen tersebut bekerja secara maksimal. 

Intensitas otomatis meningkat seiring bertambahnya aksi, yang kembali menunjukkan kebolehan Sandberg menerapkan ilmunya sebagai sineas horor. Ketepatan mengatur intensitas ditambah beberapa aksi yang cukup brutal untuk ukuran film superhero sarat komedi jadi bukti. 

Sandberg juga piawai mengolah visual over-the-top yang senada dengan dua hal yang jadi pondasi utama filmnya, yakni komik superhero dan fantasi mitologi Yunani. Terutama dalam pertarungan Shazam melawan seekor naga yang berlatarkan sambaran-sambaran petir di langit malam. A fantastical superhero showdown in all its glory.  

Terpenting, di tengah kemegahan aksi imajinatif itu, Fury of the Gods sama sekali tak menelantarkan rasa. Menegaskan bahwa seklise apa pun kisahnya, sesering apa pun tema itu dijadikan meme di media sosial, tema keluarga takkan kehilangan tempatnya di layar lebar, dan tentunya di hati penonton. 

14 komentar :

Comment Page:

REVIEW - PERJANJIAN GAIB

12 komentar

Walau baru berjalan dua bulan, tahun 2023 sudah melahirkan 11 judul horor lokal (bakal mencapai 17 selepas Maret berakhir). Beberapa punya kualitas jauh di bawah Perjanjian Gaib, tapi bagi saya, karya terbaru Hadrah Daeng Ratu ini paling mengecewakan. Filmnya menyimpan potensi tinggi lewat sentuhan komedi sebagai penyegar di tengah ke-monoton-an genrenya. Sederet materi promosi pun menjanjikan kesegaran serupa, hanya untuk jatuh sebagai suguhan mentah.

Simak sinopsis berikut: Andri (Dennis Adhiswara) dan Wati (Della Dartyan) merupakan pasutri yang lelah terjerat kemiskinan. Peluang mengeruk uang datang setelah mereka diterima bekerja sebagai perawat seorang nenek kaya raya yang menderita strok (Ayu Laksmi kembali tampil misterius dan menyeramkan). Belum sempat hartanya dicuri, si nenek terlanjur meninggal duluan. Supaya terhindar dari kecurigaan warga, Andri dan Wati mengawetkan tubuh si nenek dengan formalin agar ia dikira masih hidup. 

Brilian, kreatif, liar, dan terpenting, lucu. Begitu kesan yang dibangun oleh sinopsis di atas. Sayangnya, Perjanjian Gaib berakhir sebagai gagasan cerdas semata. Naskah buatan Lele Laila (Danur, KKN di Desa Penari) dipenuhi lelucon canggung yang tak mampu menghadirkan kelucuan berbasis situasi absurd dalam ceritanya. Padahal banyak peristiwa gila nan menggelitik dapat dihasilkan dari premis "pasutri mengawetkan mayat seorang nenek memakai formalin". 

Dua pemeran utamanya telah berusaha keras. Dennis bahkan unjuk gigi memamerkan akting dramatik. Tapi apa daya, amunisi yang naskahnya berikan terlalu lemah. Pun meski kuat secara individu, chemistry Dennis dan Della cenderung kaku. Kurang meyakinkan sebagai partner in crime yang juga berstatus suami-istri. 

Walaupun kali ini menyelipkan bumbu komedi, kelemahan naskah Lele masih sama seperti saat menggarap horor serius. Berbagai poin cerita yang seharusnya digali (Mistisisme di sekitar nenek termasuk alasan kematiannya) dibiarkan teronggok begitu saja, sehingga biarpun punya durasi hampir dua jam, Perjanjian Gaib berjalan penuh kekosongan. 

Penonton bakal lebih banyak melihat dua karakternya melakukan penelusuran di tengah kegelapan yang seolah dipanjang-panjangkan, atau dialog membosankan yang juga dipanjang-panjangkan. Semuanya draggy. Film ini malah lebih menghibur saat latarnya berpindah ke siang hari, tatkala horor generiknya dikesampingkan, dan kita berkesempatan melihat lebih banyak polah aneh karakternya. Tapi di saat bersamaan, itu membuktikan kegagalan naskahnya meleburkan horor dan komedi. Bukannya bersatu untuk saling melengkapi, kedua genre itu bak berdiri sendiri-sendiri.

Selain naskah, penyutradaraan pun turut bertanggung jawab. Cara Hadrah mengolah teror begitu medioker, cuma bergentung pada barisan jump scare berisik yang terasa menyebalkan ketimbang mengejutkan apalagi menyeramkan. Satu-satunya penolong adalah musik buatan Andi Rianto, yang bakal sempurna mengiringi film keluarga bergenre horor atau dark fantasy

Di salah satu adegan, Andri yang menguap karena "tertular" sang istri berkata, "Jadi ngantuk". Persis! Itulah yang saya rasakan selama film ini berlangsung. 

12 komentar :

Comment Page:

REVIEW - SUZUME

7 komentar

Rutinitas monoton melemahkan kepekaan kita. Setiap hari kita melewati jalan yang sama, untuk menuju ke tempat yang sama (kantor, kampus, sekolah, dll.). Kita cuma berlalu dan menghabiskan waktu, tanpa sempat menyadari jalanan tadi mungkin begitu indah. Tidak pula sadar bahwa di tempat yang selalu jadi destinasi setiap hari itu, kita memupuk kenangan. Memori yang takkan lenyap, bahkan tatkala wujud fisik tempat tersebut kelak telah tiada.Melalui Suzume, Makoto Shinkai coba mengingatkan penontonnya akan keindahan yang kerap terlewatkan.

Suzume adalah nama protagonis film ini (disuarakan oleh Nanoka Hara), seorang remaja 17 tahun yang tinggal bersama bibinya, Tamaki (Eri Fukatsu). Ibu Suzume meninggal saat ia masih kecil. Titik balik hidup Suzume terjadi selepas pertemuan dengan pria misterius bernama Sota (Hokuto Matsumura), yang berkeliling Jepang guna menutup pintu dimensi tempat keluarnya cacing raksasa yang konon jadi penyebab terjadinya gempa bumi di Jepang. Gagasan ini Shinkai ambil dari mitologi tentang Namazu, lele raksasa pemicu gempa bumi. 

Jika di mitologinya Namazu disegel menggunakan batu oleh Dewa Takemikazuchi, cacing di film ini kurang lebih sama. Bedanya, saat Suzume mencabut batu segel tersebut, ia berubah menjadi kucing putih yang dipanggil Daijin (Ann Yamane). Daijin kemudian mengutuk Sota, mengubahnya jadi kursi kayu berkaki tiga, sehingga mengharuskan Suzume ikut dalam perjalanan guna menutup pintu-pintu dimensi yang tersebar di penjuru Jepang. 

Suzume mengambil format road movie sebagai cara mengingatkan karakternya (dan penonton) terhadap keindahan semesta yang tak pernah disadari sebelumnya. Berkat sentuhan khas Makoto Shinkai, keindahan itu nampak nyata di layar. Bintang gemerlapan, basuhan hangat cahaya matahari, rintik hujan, hingga langit keunguan yang bak memindahkan surga ke dunia manusia.

Suzume juga membicarakan perihal kenangan. Pintu dimensi yang mesti dua protagonisnya tutup selalu terletak di tempat kosong, dari taman bermain usang sampai sekolah yang tak lagi dipakai akibat gempa. Ritual penguncian pintunya mengharuskan mereka merasakan memori dari orang-orang yang sempat singgah di tempat itu. Karena tidak seperti bentuk fisik, memori bersifat abadi.

Sepanjang perjalanan, Suzume bertemu beberapa kawan baru. Ada Chika (Kotone Hanase) si gadis pengantar jeruk yang seumuran dirinya, juga Rumi (Sairi Ito), seorang ibu tunggal yang mengurus anak kembar sambil mengelola bar. Timbul kesan puitis soal bagaimana perjalanan Suzume membawanya mengunjungi memori orang lain yang sudah lama terkubur, sembari di saat bersamaan membentuk memori baru bagi dirinya sendiri bersama Chika dan Rumi.

Naskah buatan Makoto Shinkai memang diisi berbagai dualitas yang eksistensinya saling melengkapi. Memori lama dan baru, baik dan buruk (Daijin si kucing putih dan Sadaijin si kucing hitam yang bertukar warna sewaktu bertransformasi), hingga hal yang jadi pondasi emosi utama filmnya, yakni trauma. 

Ada dua jenis trauma di sini. Pertama adalah trauma personal yang Suzume alami. Filmnya menyiratkan bahwa sang ibu meninggal akibat tsunami Tohoku tahun 2011 (turut menginspirasi Your Name). Kedua adalah trauma nasional akibat tragedi yang sama. Dua trauma itu sekilas berlawanan namun dinamikanya serupa, dan film ini menggambarkan proses menyembuhkan duka guna lepas dari trauma, baik oleh individu maupun kelompok. 

Penceritaan Suzume memang tak selalu mulus. Memasuki pertengahan durasi, kesan episodik yang repetitif (protagonis mencapai destinasi, bertemu orang baru, mengejar Daijin, menutup pintu dimensi) mulai menguat. Pemaparan mitologinya pun terkadang kurang rapi dan menyulut beberapa pertanyaan yang mengganggu. 

Tapi apa pun permasalahan narasinya menjadi mudah terlupakan berkat kepiawaian Shinkai sebagai sutradara dalam menghantarkan emosi secara indah. Keindahan yang sejatinya dapat diemui setiap hari, asalkan kita mau sejenak meresapi "rasa" yang disimpan oleh semesta.  

7 komentar :

Comment Page: