Tampilkan postingan dengan label Salvita Decorte. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Salvita Decorte. Tampilkan semua postingan
JAFF 2019 - ABRACADABRA
Rasyidharry
Pesulap bernama Lukman (Reza
Rahadian) memutuskan pensiun. Di pertunjukkan terakhirnya, ia bertaruh, kalau
triknya gagal, maka ia takkan melakukan sulap lagi. Sebuah alasan semata,
karena di situ, Lukman memang berniat gagal. Triknya adalah menghilangkan bocah
dalam kotak. Alih-alih kotak khusus, ia memakai kotak kayu biasa peninggalan
sang ayah, seorang pesulap tersohor yang hilang pasca pensiun. Tapi, saat
dibuka, kotak itu kosong. Kekosongan yang juga terasa di hati saya selama
menonton Abracadabra.
Berikutnya, orang-orang lain ikut
hilang karena kotak tersebut, dan Lukman melakukan perjalanan guna
mengembalikan mereka, sembari mencari tahu rahasia di balik kotak kayu
bertuliskan “Abracadabra” itu. Perjalanan yang melibatkan kejar-kejaran dengan
trio polisi konyol (Butet Kertaradjasa, Ence Bagus, Imam Darto) hingga
kemunculan wanita berpenampilan glamor (Salvita Decorte) yang bak berasal dari
masa tatkala kabaret Moulin Rouge mencapai puncak kejayaan.
Faozan Rizal (Habibie & Ainun, Say I Love You), selaku sutradara sekaligus
penulis naskah, menjadikan film ini taman bermain. Sejak menit-menit awal
ketika Lukman mengadakan pertunjukan sementara pesulap-pesulap lain—termasuk
Paul Agusta dengan dandanan ala drag
queen dan Ismail Basbeth yang bisa melayang—ikut menonton, absurditas sudah
terbangun. Ini bukan dunia di mana manusia berperilaku seperti realita, kultur
dan teknologi bagai berasal dari dongeng, pun nalar tidak bekerja “sebagaimana
mestinya”.
Kreativitas ide liar Faozan Rizal
dalam membangun dunia memang menarik, sama menariknya dengan bagaimana sang
sutradara, yang lebih dikenal sebagai sinematografer, menjadikan Abracadabra salah satu suguhan visual
paling unik serta memanjakan mata dalam perfilman Indonesia. Terkesan quirky dan banyak dihiasi warna pastel,
tidak salah bila ingatan langsung tertuju pada karya-karya Wes Anderson,
khususnya The Grand Budapest Hotel (2014).
Ragam warna pembungkus latar
termasuk kantor polisi berwarna merah muda di tiap sudut, mise-en-scène yang memperhatikan betul presisi penempatan objek
termasuk aktor secara detail, pesawat dan mobil mainan yang berjalan di atas
sebuah peta untuk menggambarkan perjalanan Lukman, kostum-kostum ala
pertunjukan panggung megah, menciptakan pemandangan pemuas mata, yang
memperlihatkan apa jadinya kalau perkawinan empat departemen, yaitu penyutradaraan,
sinematografi, tata kostum, dan art
direction, berlangsung mulus.
Hampir tiap shot bisa di-capture sebagai
wallpaper, untuk kemudian diamati
terkait luar biasanya Faozan dan tim memperhatikan detail. Visualnya memang
menghipnotis. Tapi seperti orang dihipnotis, hati terasa hampa. Ceritanya
tenggelam dalam eksperimentasi gambar dan gaya. Padahal sejatinya, kisah Abracadabra sederhana saja. Tentang
perjalanan karakternya memahami, mempercayai, lalu akhirnya menerima.
Dikisahkan, kotak milik Lukman terbuat
dari kayu Yggdrasil, pohon dari mitologi Norse, yang menghubungkan sembilan
dunia. Silahkan cari tahu beberapa kisah soal Yggdrasil dan mitologi Norse
secara umum, termasuk tentang konsep waktu yang tidak linear dalam mitologi
itu. Anda akan bisa memecahkan garis besar teki-teki Abracadabra. Tapi adanya makna tersirat dan metafora tidak
berbanding lurus dengan kualitas penceritaan. Terpenting adalah pengemasannya.
Dan di sini, rasa dalam drama kehidupan Lukman lenyap. Bernasib sama adalah
kualitas akting Reza Rahadian.
Jangan salah, Reza tidak pernah
buruk. Hanya saja, kesan spesial yang kerap mengiringi kemunculannya urung
nampak. Dia tak kuasa memperbaiki penokohan membosankan Lukman, seorang pria gloomy di antara dunia sarat keceriaan. Abracadabra mengandung dua sisi yang tak
pernah bisa melebur. Tuturan komersil ringan bersenjatakan lelucon receh yang cukup
efektif memancing tawa berbenturan dengan kontemplasi kelam. Ketimbang saling
mengisi, pertemuan keduanya melahirkan inkonsistensi. Film ini kental pengaruh
Wes Anderson, dan sulit tidak berharap Faozan mau sepenuhnya menempuh jalur
komedik seperti Anderson.
Proses batin protagonisnya gagal
dieksplorasi, sehingga saat akhirnya ia mencapai destinasi, transformasi
internalnya kurang meyakinkan. Sungguh saya ingin menyukai Abracadabra, khususnya karena totalitas para pembuatnya melahirkan parade
visual luar biasa patut diacungi jempol. Tapi patut disadari bahwa urgensi di
industri perfilman kita adalah soal perbikan penulisan naskah, bukan gambar
cantik.
November 20, 2019
Butet Kartaredjasa
,
Comedy
,
Ence Bagus
,
Faozan Rizal
,
Imam Darto
,
Indonesian Film
,
Ismail Basbeth
,
Kurang
,
Paul Agusta
,
REVIEW
,
Reza Rahadian
,
Salvita Decorte
RATU ILMU HITAM (2019)
Rasyidharry
Kimo Stamboel (sutradara) dan Joko
Anwar (penulis naskah) bersatu membuka pintu neraka dalam Ratu Ilmu Hitam, remake film
berjudul sama rilisan tahun 1981 yang dibintangi Suzzanna (membawanya menyabet
nominasi “Pemeran Utama Wanita Terbaik pada Festival Film Indonesia 1982). Batasan didobrak, ketabuan
dikesampingkan, guna melahirkan horor Indonesia terbaik selama 2019.
Dibanding versi lamanya, naskah
Joko menambahkan satu unsur: misteri. Sosok Murni si Ratu Ilmu Hitam masih ada,
tapi ketimbang prolog, motivasi balas dendamnnya diletakkan di akhir selaku twist. Bahkan identitasnya dirahasiakan.
Lebih dulu kita diajak berkenalan dengan Hanif (Ario Bayu), yang membawa
istrinya, Nadya (Hannah Al Rashid), beserta tiga anak mereka, Dina (Zara
JKT48), Sandi (Ari Irham), dan Haqi (Muzakki Ramdhan dalam satu lagi penampilan
yang mencuri perhatian), mengunjungi panti asuhan tempatnya tinggal semasa
kecil.
Kedatangan Hanif bertujuan untuk
menjenguk Pak Bandi (Yayu Unru), si pengurus panti yang tengah sakit keras.
Hadir pula dua sahabat Hanif, Anton (Tanta Ginting) dan Jefri (Miller Khan),
membawa pasangan masing-masing, Eva (Imelda Therinne) dan Lina (Salvita
Decorte). Semua awalnya tampak aman, bahagia, sarat nostalgia. Pun sesekali
kita akan dibuat tersenyum, entah karena celotehan-celotehan polos Haqi, atau banter menggelitik Anton dengan Eva.
Bahkan pasangan Maman (Ade Firman Hakim) dan Siti (Sheila Dara Aisha), dua
kawan lama Hanif yang kini ikut mengurus panti, yang awalnya tampak misterius,
larut juga dalam romantika.
Satu-satunya gangguan adalah saat
di perjalanan menuju panti, mobil Hanif menabrak seekor rusa. Merasa janggal,
ia mengajak Jefri menyatroni lokasi, hanya untuk mendapati ada teror mematikan
tengah mengintai. Sebagaimana versi 1981, teror ini didasari balas dendam,
hanya saja didorong penyebab yang berbeda. Dibanding naskah horor/thriller Joko
lain, Ratu Ilmu Hitam mungkin paling straightforward, meski segelintir detail
tersirat tetap bisa ditemukan. Contoh: Sudahkah anda menemukan karakter LGBT
film ini?
Seperti biasa, kelebihan cerita
tulisan Joko adalah soal menyulut antisipasi. Pertanyaan demi pertanyaan muncul
berkala, tabir teror perlahan disibak, sebelum berakselerasi memasuki parade
kegilaan, yang sekalinya dimulai, menolak untuk berhenti. Satu per satu korban
teluh berjatuhan, sedangkan di sela-sela deretan kematian mengenaskan itu,
beberapa kejutan dilemparkan supaya filmnya tidak terkesan hanya menambah
tumpukan mayat.
Menggunakan fobia (beberapa di
antaranya dimiliki oleh karakternya), teror Ratu
Ilmu Hitam menyambah ranah yang tidak banyak horor kita berani sentuh, baik
karena alasan moral maupun sensor. Hampir semua jenis siksaan ada. Mutilasi?
Cek. Dibakar hidup-hidup? Cek. Digerogoti kelabang? Cek. Jarang pula horor kita
berani membuat karakter bocah berdarah-darah. Berulang kali. Secara gamblang.
Setelah Dreadout yang mendekati kategori “bencana” di awal tahun, Kimo
akhirnya lepas di sini. Energi sekaligus totalitas yang sama perihal presentasi
sadisme, yang membuat duet Mo Brothers angkat nama, kembali Kimo tampilkan.
Kimo cuma butuh pondasi naskah yang memfasilitsi visi gilanya, dan Joko
menyediakan itu. Puncaknya adalah klimaks tatkala sang Ratu Ilmu Hitam berniat
menciptakan neraka dunia. Dan rasanya memang seperti mengunjungi sudut-sudut
neraka yang dipenuhi teriakan manusia akibat menerima siksaan tak terbayangkan.
Serupa siksa neraka pula, ada ketidakberdayaan. Saya tahu, akhirnya protagonis
pasti menemukan jalan keluar, tapi untuk sesaat, rasanya semua harapan sudah
sirna.
Memang ada kekecewaan tertinggal
akibat konklusi terlampau mudah, yang hadir setelah sebuah momen sinting, yang
mengandung referensi terhadap Dukun Ilmu
Hitam (1981). Tapi itu cuma cacat kecil dibandingkan seluruh rasa sakit,
rasa takut, rasa jijik, rasa mual, dan rasa-rasa tak mengenakkan—tapi menyenangkan—lain
yang berhasil dipersembahkan Ratu Ilmu
Hitam.
November 08, 2019
Ari Irham
,
Ario Bayu
,
Bagus
,
Hannah Al Rashid
,
horror
,
Imelda Therinne
,
Indonesian Film
,
Joko Anwar
,
Kimo Stamboel
,
Miller Khan
,
Muzakki Ramdhan
,
REVIEW
,
Salvita Decorte
,
Sheila Dara
,
Tanta Ginting
,
Zara JKT48
Langganan:
Postingan
(
Atom
)