REVIEW - ON THE ROCKS

2 komentar

Sofia Coppola (Somewhere, The Bling Ring, The Beguiled) melahirkan karyanya yang paling “bersahabat” melalui On the Rocks, sebuah drama-komedi yang meski kerap menyinggung tema-tema seperti keluarga, pernikahan, hingga peran gender, secara garis besar bicara soal kebahagiaan. Bahwa wujud kebahagiaan berbeda-beda bagi tiap individu. Bahwa sumber kebahagiaan seseorang bisa berubah seiring perjalanan hidup. Bahwa kebahagiaan bukan suatu hal hitam-putih yang absolut, di mana untuk merasakannya, seseorang tak perlu (selalu) meniru jalan yang ditempuh orang lain.

Tanpa perlu disebutkan dengan gamblang, kita tahu Laura (Rashida Jones) sedang tidak bahagia. Hari-harinya diisi oleh rutinitas mengantar jemput kedua puterinya ke sekolah dan kursus, yang semakin lama semakin repetitif dan melelahkan. Jangankan menyelesaikan buku terbarunya, Laura tak sempat mengurus dirinya sendiri. Kaus putih berlubang-lubang yang ia kenakan di salah satu adegan, mengonfirmasi itu. Detail yang membuktikan, bahwa selain estetika yang senantiasa muncul di karyanya, latar belakang di bidang fashion membantu Coppola meletakkan pondasi karakter lewat baju yang mereka kenakan.

Sedangkan suami Laura, Dean (Marlon Wayans), merupakan pebisnis muda sukses. Saking suksesnya, Dean jarang di rumah, sering bepergian ke luar kota dan luar negeri, demi rapat-rapat yang tak pernah usai. Tentu Laura senang, namun di sisi lain, ia mulai merasa ditinggalkan. Pernah, di satu pesta perayaan kesuksesan perusahaan Dean, Laura berdiri seorang diri, ditinggalkan sang suami di tengah kerumunan orang-orang asing. Di situlah Laura berkenalan dengan Fiona (Jessica Henwick), gadis muda cantik rekan kerja Dean, sekaligus sosok yang Laura curigai sebagai selingkuhan sang suami.

Benarkah Dean berselingkuh? Apakah tas berisi peralatan mandi kepunyaan Fiona yang tidak sengaja ditemukan Laura di koper Dean cukup menjadi bukti? Masuklah Felix (Bill Murray), ayah Laura, yang walau sudah lanjut usia, tetap melanjutkan petualangannya sebagai pemain cinta. Menurut Felix, semua pria sama saja: mengutamakan seks sehingga sulit berkomitmen. Felix pun menawarkan bantuannya untuk menguntit Dean, guna membongkar perselingkuhannya.

Dari situlah Coppola membangun film paling playful-nya, lewat aksi investigasi dua tokoh utama, yang melibatkan kebut-kebutan mengendarai Alfa Romeo merah di tengah keramaian jalanan New York, hingga perjalanan dadakan menuju Meksiko. Berkat kegemarannya bepergian ke seluruh penjuru dunia, ditambah kekayaan hasil penjualan barang seni, seolah semua mengenal Felix, yang mana, memudahkannya dalam pengumpulan informasi.

Murray sempurna menjadi sentral naskah Coppola, yang tersusun atas obrolan-obrolan menggelitik penuh teori bernada seksis dari mulut Felix, yang berulang kali menyatakan, bahwa sejak dahulu kala, peran wanita adalah pelayan nafsu pria. Tapi kharisma Murray, yang dengan mudah menghipnotis para wanita, membuat penonton takkan membencinya. Sedangkan Rashida Jones merupakan kutub berlawanan, menjadi sosok penuh insekuritas, yang serupa para wanita di sekitar Felix, terbuai, kemudian memercayai kata-kata “meyakinkan” sang ayah.

Mungkin seperti saya,anda berekspektasi On the Rocks bakal langsung mengonfrontasi seksisme Felix. Nyatanya tidak. Sofia Coppola lebih cerdik dari itu. Dibiarkannya Felix berseloroh, sementara Laura terombang-ambing di antara kekhawatiran. Barulah di paruh akhir, Coppola melontarkan bantahan. Bukan dengan amarah maupun antagonisasi. Semua itu tidak perlu, sebab Coppola membantah sambil membawa bukti nyata, yang menunjukkan betapa pria-pria seperti Felix cuma bisa memandang sesuatu lewat satu sudut pandang.

Tapi tiada kebencian. On the Rocks merupakan perspektif hopeful soal cinta, yang tak menutup mata atas realita terkait seksisme para pria. Orientasinya adalah kebahagiaan. Pertama kita bertemu Felix, ia meminta puterinya bersiul. Laura tak mampu. Tepatnya sejak memiliki anak. Bersiul identik dengan kebahagiaan, atau saat seseorang tengah menikmati sesuatu (baca: hidup). Laura kesulitan menikmati hidup sejak membangun keluarga. Pada akhirnya, ia tak perlu membuang segalanya demi mendapatkan lagi kebahagiaan itu. Karena seperti ucapan Felix dalam salah satu momen paling manis (walau sederhana) filmnya, semua orang punya petualangannya masing-masing.


Available on APPLE TV+

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - SEJUTA SAYANG UNTUKNYA

Tidak ada komentar

Diproduksi oleh PT Demi Gisela Citra Sinema milik Deddy Mizwar (juga menjadi aktor utama), tidak sulit menebak film seperti apakah Sejuta Sayang Untuknya. Naskah buatan Klik! Wiraputra Basri, yang selama ini menulis sinetron Para Pencari Tuhan, berusaha menyelipkan sentilan sosial hampir di tiap kesempatan. Satu-dua kali memang menggelitik, tapi setelah beberapa kali (atau untuk Deddy Mizwar, bertahun-tahun), kesan repetitif tak terhindarkan.

Deddy Mizwar memerankan aktor senior bernama Aktor Sagala (ya, saya tidak salah tulis). Walau sudah puluhan tahun menggeluti dunia seni peran, keberuntungan belum berpihak padanya, yang hanya diberikan peran figuran. Tapi Aktor adalah sosok pantang menyerah nan idealis. Begitu idealis, ia membuat satu coretan di lemari, setiap menerima pekerjaan yang berorientasi uang, alih-alih demi “berkontribusi pada seni peran”. Total 253 coretan sudah dibuatnya.

Aktor sungguh jago bicara, gemar melontarkan kalimat bernada motivasional, bahkan mengutip kata-kata Aristoteles. Begitu jago, ia bisa memakai kata-kata nyeleneh guna mengelak saat diminta membayar hutang. Sentuhan menarik khas Deddy Mizwar sejak Naga Bonar (1986), yang menjauhkan filmnya dari kesan “penderitaan tiada akhir” ala poverty porn. Berkat itu pula, sang protagonis, meski tetap penuh kebaikan, bukan  manusia suci nan sempurna.

Aktor terlilit banyak hutang akibat tak kunjung mendapat peran utama. Dia terus ngotot, walau sang puteri, Gina (Syifa Hadju), mendorongnya agar mencari pekerjaan tetap. Padahal kesulitan finansial tersebut turut mempengaruhi Gina, yang kesulitan mengikuti trial ujian akibat tak memiliki handphone dengan koneksi internet. Bukan cuma eksploitasi kemiskinan, persoalan “handphone Gina” juga merupakan kritik yang relevan terhadap kebijakan-kebijakan menggelikan, yang dewasa ini makin memberatkan rakyat.

Kondisi finansial, ditambah keengganan melihat sang ayah terus membanting tulang, membuat Gina menolak untuk melanjutkan ke bangku kuliah, yang tentu saja amat ditentang oleh Aktor. Sejuta Sayang Untuknya bukan cuma menyoroti rumah Gina, pula kehidupan sekolahnya, yang melibatkan Wisnu (Umay Shahab), yang getol ingin mendekatinya. Entah dengan tujuan apa naskahnya menambahkan karakter Doni (Edbert Einstain) sebagai saingan cinta (tak sepadan) bagi Wisnu. Apalagi sebuah potensi konflik yang dipicu oleh Doni langsung disingkirkan, sesaat setelah dimunculkan.

Syifa dan Umay menghadirkan interaksi yang nyaman disimak, berkat kemampuan membuat kalimat-kalimat yang “lebih tua dari usia mereka” terdengar natural. Sedangkan Deddy Mizwar dengan mulus memainkan figur ala Naga Bonar. Ketiganya merupakan dinamo penggerak Sejuta Sayang Untuknya, tatkala alurnya berkutat di formula melodrama, serta gagal memberi daya tarik lebih. Kita cuma pasrah, ikut bergerak mengikuti arus, sambil menunggu ending, ketika masalah finansial dua protagonisnya terselesaikan, dan mereka akhirnya bisa berdamai dengan keadaan, juga satu sama lain.

Beruntung, di kursi penyutradaraan, Herwin Novianto (Tanah Surga...Katanya, Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara) tak tergoda untuk membuat filmnya selalu tampil mengharu biru. Kesederhanaan dipertahankan, setidaknya sampai klimaksnya, yang alih-alih jadi titik puncak emosi, malah terkesan menggelikan, tidak peduli seberapa keras Deddy dan Syifa berjuang menjual momen tersebut. Sedangkan gagasan mengenai “pencapaian anak adalah piala untuk ayah” memang problematik, namun penyampaian yang menekankan pada kasih sayang anak terhadap ayah membuatnya bisa lebih diterima.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - STORY OF KALE: WHEN SOMEONE'S IN LOVE

2 komentar

Suka atau tidak, Kale (Ardhito Pramono) merupakan salah satu karakter paling memorable dari Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Ditambah kesan misterius yang menempel padanya, pembuatan spin-off berjudul Story of Kale: When Someone’s in Love ini sangat beralasan. Masih ditangani Angga Dwimas Sasongko, yang menulis naskahnya bersama M. Irfan Ramli (Surat dari Praha, Love for Sale), ini mungkin bukan karya terkuat sang sutradara, namun kalau penyebab Kale menjadi “fuckboy” adalah apa yang anda cari, filmnya memberikan jawaban memuaskan.....bahkan lebih.

Kita tahu Kale di Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini dibentuk oleh kegagalan hubungan di masa lalu, dan momen pembukanya langsung memperlihatkan berakhirnya hubungan tersebut. Sang gadis bernama Dinda (Aurelie Moeremans). Kalimat pertama yang ia ucapkan berisi ajakan pada Kale untuk putus. Kenapa? Sebelum menjawabnya, kita diajak lebih dahulu mundur ke masa tatkala Dinda masih berstatus manajer band Arah, posisi yang nantinya ditempati oleh Kale.

Dinda berpacaran dengan Argo (Arya Saloka), dalam suatu hubungan tidak sehat, di mana Argo kerap memukuli kekasihnya. Sampai suatu hari, pertengkaran keduanya di belakang panggung mendorong Kale mengambil langkah. Kale menyarankan agar Dinda meninggalkan Argo, dan tidak menerima perlakuan kasarnya. “Lo pantes dapet yang lebih baik”, ucap Kale. Tentu kita tahu, yang Kale maksud dengan “yang lebih baik” adalah dirinya sendiri.

Singkat cerita, Kale dan Dinda akhirnya berpacaran. Apakah Kale sering menyakiti Dinda secara fisik? Tidak. Apakah Kale sepenuhnya berbeda dibanding Argo? Ini yang patut dipertanyakan. Argo manipulatif. Dinda wajib menuruti kemauannya. Jika tidak, ia langsung dicap bersalah, lalu mesti siap menerima teriakan dan pukulan Argo. Tapi bukankah Kale juga manipulatif? Tidak ada teriakan, tidak ada pukulan, namun dengan senyum serta kata-kata yang lebih halus nan tertata, Kale terkesan mendorong Dinda agar tak melakukan apa yang Kale tak ingin Dinda lakukan. Benarkah demikian?

Kita diajak mencari tahu kebenarannya lewat penceritaan non-linear. Gaya penceritaan tersebut membuat penonton terdorong agar menjaga kepekaan mengobservasi, mencari petunjuk-petunjuk, guna memahami alasan keputusan karakternya, yang sudah lebih dulu kita ketahui. Petunjuk itu berasal dari banyak elemen, seperti reaksi subtil karakter hingga kalimat yang mereka ucapkan. Beberapa informasi yang tertanam dalam kalimat sayangnya terkesan repetitif, acap kali mengalami pengulangan dengan hanya sedikit, atau bahkan tanpa modifikasi. Contohnya sewaktu Kale bicara tentang perilaku abusive Argo. Beruntung, kelemahan itu cuma muncul di paruh awal.

Hanya bergulir sekitar 78 menit, durasi pendek itu memang sesuai kebutuhan film, yang berskala kecil, berfokus pada keintiman melalui eksplorasi momen spesifik, yakni berakhirnya sebuah hubungan. Sekali lagi, Angga memang jagonya menangkap keintiman, berkat kemampuannya menyalurkan emosi melalui interaksi sederhana manusia. Sebaliknya, Angga tak terlalu kuat kala menangani adegan berisi lebih banyak aksi, seperti nampak pada staging canggung yang membungkus pertengkaran Kale dan Dinda saat berebut kunci rumah.

Tentu akting memegang peran vital untuk suguhan intim semacam ini. Serupa dengan penampilannya di Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, Ardhito nyaman disaksikan ketika melakoni obrolan kasual. Sebaliknya, di momen lebih dramatis, Ardhito perlu menggali variasi perihal intonasi, juga bentuk luapan amarah yang tetap “menggigit” tanpa harus meledak-ledak. Tapi hal tersebut bakal membaik seiring bertambahnya pengalaman akting.

Aurelie tampil lebih solid, mampu menyampaikan rasa dengan lebih subtil melalui tuturan non-verbal, sebagaimana diperlihatkannya dalam shot penutup adegan “pertengkaran di hotel” jelang akhir film. Melalui sorot mata Aurelie, kita bisa membaca gejolak di hati Dinda. Di situlah awal dari akhir suatu fase, sekaligus titik di mana filmnya, setelah menghabiskan hampir sepanjang durasi menjelaskan soal Kale, akhirnya membuat penonton memahami keputusan Dinda.

Diiringi lagu-lagu Ardhito Pramono, dalam Story of Kale: When Someone’s in Love, musik sebagai pemegang peranan penting di cerita. “Lagu kita udah selesai”, kata Kale, di tengah usahanya membuat Dinda mau bertahan. Sayangnya bukan cuma lagu, hubungan keduanya pun sudah selesai. Di film ini, hubungan romansa ibarat proses penulisan lagu. Kamu mengisinya dengan nada-nada. Beberapa cocok, beberapa tidak. Beragam variasi instrumen pun dicoba demi melahirkan mahakarya. Setelah lagu itu usai, apa yang terjadi selanjutnya? Kamu bisa membuat karya lain, entah dalam jenis berbeda, atau serupa. Apa pun langkah yang diambil, lagu tadi sudah terabadikan, terekam, dan tak pernah mati.


Available on BIOSKOP ONLINE

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - BORAT SUBSEQUENT MOVIEFILM

7 komentar

Berbeda dengan tahun 2006 saat film pertama Borat rilis, 2020 adalah era di mana prank makin menjamur. Beragam kejahilan dilakukan muda-mudi, tapi semata hanya demi konten, yang dibuat dengan tujuan mendongkrak popularitas di media sosial. Tanpa esensi, bahkan menghibur pun tidak. Melalui Borat Subsequent Moviefilm: Delivery of Prodigious Bribe to American Regime for Make Benefit Once Glorious Nation of Kazakhstan, Sacha Baron Cohen bak mengajari cara melakukan prank, menjadikannya eksperimen sosial nyeleneh dengan tujuan melempar kritik tajam.

Borat Sagdiyev (Sacha Baron Cohen) dihukum penjara seumur hidup di gulag, karena aksinya di “US&A” 14 tahun lalu membuat Kazakhstan jadi bahan olok-olok dunia. Sampai sang pemimpin agung, Premier Nazarbayev (Dani Popescu) memberinya misi untuk mengirimkan seekor monyet bernama Johnny the Monkey kepada Mike Pence, selaku orang kepercayaan Donald Trump, guna membersihkan nama Kazakhstan. Bukan sembarang monyet, sebab Johnnny juga berstatus Menteri Kebudayaan.....dan bintang porno ternama.

Sampai sini saja kita sudah bisa menyimpulkan kalau Borat tidak berubah. Masih gila, absurd, dan politically incorrect. Sesampainya di Amerika, saat kargo yang membawa Johnny dibuka, sang monyet sudah tidak ada di sana. Justru Tutar (Maria Bakalova) yang muncul. Dialah puteri Borat, yang selama ini keberadaannya tak diketahui oleh ayahnya. Tutar menghabiskan seumur hidupnya dalam kandang, karena di Kazakhstan, para wanita hidup layaknya hewan ternak. Semua diatur oleh buku panduan, yang juga menyebut, kalau wanita menyentuh vaginanya, vagina itu bakal mengeluarkan taring, lalu menelan seluruh tubuh mereka bulat-bulat.

Rupanya Tutar memakan Johnny, sehingga rencana pun berubah. Mengetahui bahwa para pemimpin Amerika menyukai wanita, Borat berniat menawarkan puterinya sebagai istri Mike Pence. Perjalanan untuk mengajari Tutar sebagai “wanita yang pantas dinikahi” pun dimulai. Perjalanan yang melibatkan deretan prank, kali ini dalam skala yang tak terbayangkan sebelumnya, dengan kenekatan yang cuma dimiliki Sacha Baron Cohen.

Masih bergaya mockumentary, tim produksi dibebani PR besar mengingat sekarang Borat sudah terkenal, sehingga kesulitan untuk berkeliaran di jalan tanpa ada yang mengenalinya. Elemen itu diaplikasikan ke alur filmnya, di mana protagonis kita lebih banyak mengenakan samaran (pakaian, jenggot, dan aksesoris lain). Begitulah, dan Borat Sagdiyev  siap menelanjangi kebodohan masyarakat negara adidaya, yang konon telah memperoleh kembali kehebatannya sejak “McDonald Trump make America great again”.

Borat merupakan sosok seksis, rasis, dan anti-Yahudi. Semua yang bertentangan dengan asas kemanusiaan melekat padanya. Pun dia luar biasa bodoh. Artinya, saat kita menertawakan tingkahnya, kita tengah menertawakan betapa bodohnya seksisme, rasisme, dan anti-semitis. Dan jika masih menganut hal-hal tersebut, kita sama bodohnya dengan Borat. Hanya saja, kemasan hiperbolis membuat para kaum intoleran tak menyadari sedang menertawakan diri sendiri.

Kebodohannya juga berfungsi membuat para target lengah. Misalnya ketika Borat dan Tutar memesan kue bertuliskan “Jews will not replace us”. Si pemilik toko kue menurut saja, tidak terkejut, tidak terganggu, bahkan merespon dengan begitu ramah. Situasi serupa muncul juga di film pertama, namun keunggulan Borat Subsequent Moviefilm adalah keterikatan antara sketsa dengan gagasan besar cerita yang lebih kuat, di mana tiap prank memiliki konteks yang lebih jelas dan relevan dengan problematika dunia nyata. Urgensi masing-masing kritik juga lebih tinggi, mengingat Amerika Serikat tengah memasuki masa krisis. Krisis keadilan, juga kesehatan di tengah pandemi COVID-19.

Film ini diproduksi di tengah masa karantina, yang sejatinya memancing pertanyaan, “Bukankah berarti Sacha Baron Cohen dan tim juga melanggar protokol kesehatan?”. Nilai minus, tapi harus diakui, dampak yang ditimbulkan memang luar biasa, khususnya di 30 menit terakhir, sewaktu level prank-nya ditingkatkan sampai ke titik tak terbayangkan,

Borat sempat menetap bersama dua pria yang percaya Barrack Obama harus dipenjara, sedangkan COVID adalah konspirasi, sebuah virus yang sengaja disebarkan oleh Cina. Menyaksikan bagaimana keduanya menganggap serius tiap perkataan konyol Borat, membuat kita menyadari betapa bodohnya mereka. Lucunya, ketika membaca buku panduan tentang wanita yang dipunyai Borat, keduanya berkata kalau itu hanya teori konspirasi (di saat mereka sendiri menganut teori konspriasi soal COVID).

Dari situ kegilaan Sacha Baron Cohen tak terbendung. Dia mendatangi demonstrasi March for Our Rights, membawakan lagu yang membuat ratusan peserta ikut bernyanyi tentang kepalsuan COVID, dan Obama serta para ilmuwan yang harus dimusnahkan. Puncaknya adalah wawancara palsu dengan pengacara personal Donald Trump, Rudy Giuliani. Silahkan tonton sendiri momen tersebut (juga keseluruhan filmnya), dan bersiap tercengang, baik oleh keliaran Sacha Baron Cohen, maupun realita yang ia tangkap.


Available on PRIME VIDEO

7 komentar :

Comment Page:

REVIEW - CLOUDS

1 komentar

Pada salah satu adegan paling menyentuh dalam Clouds, setelah (secara tidak sengaja) menyatakan cinta pada sahabatnya, Zach Sobiech (Fin Argus), yang mengidap kanker stadium akhir, Sammy (Sabrina Carpenter) mengaku sering berandai-andai tentang masa depan, di mana merekaa akan berkuliah, menjalani hidup masing-masing, sama-sama mempunyai pacar, tapi mungkin, suatu hari nanti, bakal bertemu lagi dan menyadari bahwa keduanya saling mencintai. Saya pun dibuat membayangkan skenario-skenario mengenai imajinasi masa depan itu.

Hal serupa, namun dalam konteks berbeda, juga terjadi pada hubungan Zach dengan sang kekasih, Amy (Madison Iseman). Seperti apa kehidupan Amy sepeninggal Zach? Pasti dia akan mempunyai kekasih lain, bahkan mungkin menikah. Seperti apa perasaan Amy, jika di tengah hubungan bersama pasangan baru itu, ia teringat akan Zach? Apakah Amy yang asli juga memikirkan hal yang sama seperti saya, ketika dahulu menemani Zach melewati hari-hari terakhirnya?

Clouds adalah film yang membuat saya begitu memedulikan tokoh-tokohnya, hingga membayangkan kehidupan mereka di luar film. Fakta bahwa ini diangkat dari kisah nyata, membuat bayangan-bayangan di atas menambah dampak emosional. Dibuat berdasarkan memoar Fly a Little Higher: How God Answered a Mom's Small Prayer in a Big Way milik ibunda Zach, Laura Sobiech (diperankan Neve Campbell di film ini), filmnya menuturkan perjuangan Zach melawan kanker stadium akhir, hingga menelurkan lagu fenomenal berjudul Clouds, yang mampu bertengger  di posisi 26 dalam tangga lagu Billboard Hot 11, pun video klipnya sempat viral dan ditonton sebanyak 15 juta kali di Youtube.

Zach tidak kenal menyerah, menolak membiarkan kanker menghalanginya menjalani hidup secara bahagia. Dia gemar melontarkan dark jokes seputar kondisinya. Setiap pagi dia muntah di kamar mandi, lalu berdandan serapi mungkin, melatih senyuman di depan cermin, sebelum muncul di hadapan keluarganya, seolah tak terjadi apa pun.

Sejak kecil Zach bersahabat dengan Sammy, dan seperti tertulis di paragraf pembuka, Sammy diam-diam menyukai Zach. Cinta itu bertepuk sebelah tangan, karena Zach jatuh hati pada Amy, yang kemudian menjadi kekasihnya. Untungnya tidak ada konflik cinta segitiga. Bahkan Sammy berperan mempersatukan Zach dan Amy. Kedua gadis remaja itu akhirnya malah menjadi teman akrab. Berkat itu, Clouds makin bermakna, menuturkan kisah di mana kematian bukan cuma soal perpisahan, tapi bisa juga mempersatukan.

Clouds memang bernuansa positif, namun tak mengesampingkan kerapuhan protagonisnya. Biar bagaimana pun, mengetahu ajal diri sendiri sudah makin dekat tentu menyulut ketakutan dan kekhawatiran. “Apa gunanya menulis college essay kalau aku takkan pernah kuliah?!”, ungkap Zach. Narasi yang dipakai sebagai pembuka sekaligus penutup film membantu kita memahami pergolakan hatinya: “Most teenagers out there feel like they’re invincible. Not the Superman kind of invincible. The kind of invincible that tricks you into thinking tomorrow might be a better day to start chasing your dreams”. Pada usia di mana ia merasa di puncak dunia, Zach mesti menghadapi akhir.

Sulit menahan luapan emosi selama 121 menit durasinya, ketika Clouds silih berganti menyajikan momen-momen manis (Zach meminta Amy menjadi pasangannya untuk prom di konser Jason Mraz, proses penulisan lirik kala Zach dan Sammy bergantian menulis kalimat di buku catatan), menyentuh (konser di Metro saat seluruh penonton menyanyikan Clouds bersama-sama), dan heartbreaking (dokter memberitahu keluarga Zach bahwa usianya tinggal menghitung hari).

Durasinya memang agak terlalu panjang, pun alurnya bertahan terlalu lama di satu fase, sebelum menemukan dinamika baru ketika Zach dan Sammy (sebagai duo A Firm Handshake) mendapatkan kontrak rekaman. Formulanya amat terbaca, yakni kumpulan momen-momen pemancing haru, yang untungnya dieksekusi secara elegan dengan takaran emosi tepat. Serupa lirik-lirik buatan Zach, naskah hasil tulisan Kara Holden mengandung kalimat-kalimat yang mampu menyuarakan keindahan melalui kesederhanaan, tanpa perlu terdengar puitis. Sementara penyutradaraan Justin Baldoni (Five Feet Apart) tak pernah berlebihan memainkan dramatisasi.

Jajaran pemainnya tak kalah hebat. Baik trio penampil muda (Fin Argus, Sabrina Carpenter, Madison Iseman) maupun para senior (Neve Campbell dan Tom Everett Scott) menuangkan rasa secara meyakinkan, memudahkan penonton tertawa, jatuh cinta, dan menangis bersama mereka.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - DIL BECHARA

2 komentar

Dil Bechara sangat dinantikan karena dua hal. Alasan pertama adalah statusnya sebagai adaptasi terbaru untuk novel The Fault in Our Stars karya John Green (sebenarnya lebih tepat disebut remake dari versi Hollywood, karena dalam prosesnya, Shashank Khaitan dan Suprotim Sengupta mengadaptasi langsung naskah buatan Scott Neustadter dan Michael Weber). Alasan kedua adalah kematian tragis aktor utamanya, Sushant Singh Rajput bulan Juni lalu.

Peraih dua nominasi Filmfare Awards tersebut kembali mempersembahkan penampilan berkesan, namun filmnya sendiri mengecewakan, terlebih jika anda telah menonton versi Hollywoodnya. Ketika Bollywood makin rajin menelurkan drama yang berhasil mengangkat isu kompleks secara ringan tanpa perlu kehilangan bobot, Dil Bechara adalah kebalikannya. Sebuah simplifikasi terhadap situasi kompleks, di mana banyak substansi dikesampingkan.

Kizie Basu (Sanjana Sanghi) adalah penderita kanker tiroid yang selalu menyendiri, mesti membawa tabung oksigen ke mana-mana, dan sering mendatangi pemakaman orang asing, karena merasa bisa berbagi penderitaan bersama mereka. Satu-satunya “teman” Kizie adalah lagu gubahan Abhimanyu Veer (penampilan spesial Saif Ali Khan) yang belum selesai dibuat. Sampai ia bertemu Manny (Sushant Singh Rajput), pria penuh antusiasme, yang terobsesi pada Rajinikanth, membuatnya bermimpi jadi aktor laga.

Manny bersikeras mengajak Kizie agar mau menjadi aktris di film yang ia buat bersama sahabatnya, JP (Sahil Vaid). Awalnya si gadis menolak, bahkan sedikit risih dengan kengototan Manny. Sampai ia tahu kalau Manny menderita osteosarkoma sehingga kakinya diamputasi, sedangkan akibat glaukoma, salah satu mata JP tak lagi berfungsi. Hati Kizie mulai luluh. Pertanyaannya, “bagaimana bisa?”. Jika Gus di The Fault in Our Stars adalah pria karismatik bergaya bak James Dean yang ingin terlihat kuat, maka Manny adalah pria berdarah panas, agresif, pun terkadang sedikit kurang ajar. Tentu intensinya tidak begitu, namun naskah Dil Bechara memang sering kesulitan menyampaikan tujuannya.

Aliran penceritannya kasar, sesuatu yang gagal diperbaiki oleh penyutradaraan Mukesh Chhabra yang juga kerap terbata-bata. Sebutlah Kizie yang awalnya bersikap dingin pada Manny, lalu sejurus kemudian bagaikan terobsesi. Begitu pula sang ibu (Swastika Mukherjee) yang selalu ketus, seolah menolak keberadaan Manny, namun tiba-tiba hangat setibanya di Paris dalam perjalanan mencari Abhimanyu Veer. Atau tengok momen sewaktu kondisi Kizie memburuk sebelum berangkat ke Paris, di mana ketiadaan “jembatan” dari suasana bahagia menuju rasa sakit melemahkan penghantaran emosinya.

Kucinya terletak di “jembatan”. Transisi antara satu poin dan poin berikutnya. Terkait elemen romansa, masalah ketiadaan transisi itu masih bisa dimaafkan, sebab kedua pemeran utamanya berhasil menjalin chemistry manis, yang bisa memancing senyum tiap mereka berinteraksi. Meski awalnya kurang mulus, seiring waktu, Kizie dan Manny mampu mencuri hati saya, sebagai dua sejoli yang saling menghadirkan tawa di tengah kondisi yang jauh dari "menyenangkan".

Lain cerita jika membahas The Fault in Our Stars, baik buku maupun adaptasi filmnya, sebagai kisah bernada positif yang melawan keklisean formula tearjerker dan disease porn. Dil Bechara bagai adaptasi yang memutilasi materi aslinya. Banyak poin-poin esensial lenyap, membuat filmnya hanya berakhir menjadi kisah cinta dua orang dengan penyakit, di mana penyakit itu terkesan trivial, ketimbang soal dua individu yang menemukan cara menghadapi, melawan, lalu menerima kondisi mereka demi kebahagiaan.

Dil Bechara mempertahankan banyak elemen dalam The Fault in Our Stars, tapi penerapannya seolah tak dibarengi pemahaman, mengapa elemen-elemen itu diciptakan. Simplifikasi pun kerap terjadi. Voice over sang protagonis terdengar sepanjang film, tapi berbeda dengan milik Hazel Grace, narasi Kizie hanya eksposisi belaka, tanpa mampu membawa penonton menyelami kompleksitas isi hati dan pikiran si karakter. Contoh lain adalah soal rokok, yang di sini, penjabarannya cuma berhenti pada “rokok yang tidak menyala tidaklah berbahaya”. Masih banyak deretan simplifikasi lain, yang membuat Dil Bechara turun kelas dibandingkan sumbernya, walau masih layak ditonton sebagai romansa berkat penampilan dua pemain utama.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE 40-YEAR-OLD VERSION

2 komentar

Semua orang berusaha terus bergerak maju dalam hidup, hingga tiba pada titik di mana kita mempertanyakan arah serta jalan yang ditempuh. Datanglah tekanan yang menyulitkan gerak maju itu. Tapi terkadang, yang perlu kita lakukan justru “bergerak mundur”, mengingat identitas, akar, dan tujuan kita saat dahulu hendak memulai langkah. Mendekati kepala empat, itulah yang melandasi Radha Blank melahirkan suguhan semi-autobiografi ini, yang terinspirasi dari pengalamannya kala berkarir sebagai dramawan di New York.

Radha memproduseri, menyutradarai, menulis naskah, serta memerankan (versi fiktif) dirinya sendiri. Pun pengambilan gambar dilakukan di apartemen Radha, semakin menekankan nuansa personal di The 40-Year-Old Version. Di sini, Radha adalah dramawan berbakat, yang memenangkan penghargaan “Best Playwright Under 30”. Tapi kini usianya hampir menyentuh 40 tahun. Sudah lama sejak ia menulis naskah dan lebih banyak menghabiskan kesehariannya mengajar kelas drama bagi remaja-remaja pemberontak, yang sebagian, tak menaruh minat pada teater.

Dari situlah Radha mengingat masa mudanya, kala ia terobsesi pada rap dan rajin menulis rima. Kata-kata mulai tertuang lagi, kali ini bukan dalam wujud naskah pertunjukan, melainkan bait-bait. Radha ingin membuat album kompilasi rap yang bercerita tentang kesulitannya menyongsong usia 40 tahun. Niatan tersebut mempertemukannya dengan seorang pencipta lagu bernama D (Oswin Benjamin). Muncul dilema, karena di saat bersamaan, melalui sahabat sekaligus manajernya, Archie (Peter Kim), Radha mendapat tawaran menulis naskah dari J. Whitman (Reed Birney), yang kerap memproduseri drama-drama bertemakan wanita dan ras, namun dalam kemasan white male gaze.

Radha harus memilih, antara menjual idealisme (dan kaum sendiri) demi kesuksesan, atau mengunjungi lagi masa muda, budaya, dan keluarganya (DNA seni Radha menurun dari mendiang ibunya), demi sesuatu dan orang-orang yang ia cinta. Konfliknya memang terdengar klise, tapi penulisan Radha yang tajam namun menggelitik dalam melempar kritik, ditambah kentalnya sentuhan keintiman (foto-foto asli Radha dan keluarganya sesekali diselipkan), membuat The 40-Year-Old Version, meski tak sepenuhnya baru, terasa begitu segar.

Humornya mengajak penonton menertawakan beragam situasi tanpa dilebih-lebihkan. Kita tertawa bukan hanya karena situasi tersebut konyol, tapi karena kekonyolan itu benar-benar terjadi di realita. “Apa benar orang kulit hitam yang menulis ini?”, ucap Whitman, si produser kulit putih, mengomentari naskah mengenai kehidupan kulit hitam, yang tak menyertakan poverty porn. Seolah, di mata orang-orang kulit putih berkantong tebal, drama ras yang relevan wajib menyertakan penderitaan dan kemiskinan hingga tingkat tertinggi. Ketika berakting, Radha mampu memerankan sosok yang terjebak di tengah kekonyolan tersebut. Dia pun tertawa. Dia merasa situasi itu menggelitik. Tapi di balik tawanya ada kebingungan, sakit hati, perasaan miris, bahkan keputusasaan.

Sebagai penulis, Radha paham betul apa yang membuat situasi di atas menggelitik, lalu menerapkannya di penyutradaraan, untuk menciptakan timing komedi yang sempurna. Sesekali ia juga mengolok-olok diri sendiri. Seorang wanita 40 tahun yang sendinya berbunyi setiap hendak duduk. Seorang rapper pemula yang terlalu teler di atas panggung (momen lucu yang sayangnya terkesan dipaksakan sebagai cara membuat protagonisnya menghadapi konflik terkait “selling out”), sehingga cuma bisa bernyanyi “yo, yo, yo”, membuatnya dijuluki “frozen yo-ghurt” dan “the human yo-yo”. Kultur rap modern yang lebih banyak bernyanyi soal keseksian wanita dan omong kosong lain ketimbang menuturkan “cerita sungguhan” juga tak lupa disentil.


Available on NETFLIX

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE TRIAL OF THE CHICAGO 7

3 komentar

Pada aksi Black Lives Matter selepas pembunuhan George Floyd beberapa bulan lalu, opini publik Amerika Serikat terbelah, bahkan di antara mereka yang sama-sama mengutuk rasisme serta tindak kekerasan polisi. Pihak yang kontra, mengecam demonstrasi akibat aksi perusakan, sementara yang pro, menganggap bahwa demi menggoyang para pemegang kekuatan yang sudah terlalu nyaman duduk di singgasana penguasa, reaksi keras perlu dilakukan. Ada faktor-faktor lain, tapi pada intinya, dalam suatu pergerakan, acap kali terjadi perbedaan ideologi yang kerap menyulut perpecahan, walau sejatinya, semua pihak punya satu tujuan. Kondisi serupa terjadi pula di Indonesia dalam protes terkait Omnibus Law.

The Trial of the Chicago 7 yang menandai kali kedua Aaron Sorkin menduduki kursi sutradara setelah Molly’s Game (2017), membahas persoalan di atas, melahirkan paralel antara peristiwa tahun 1968 saat kerusuhan pecah di Konvensi Nasional Partai Demokrat dengan masa kini. Film-film period terbaik memang bukan sebatas perjalanan mengarungi masa lalu, juga membuat penonton membandingkan dengan kondisi sekarang, sehingga menciptakan pertanyaan, “Sudah sejauh apa kita melangkah?”.

Sekuen pembukanya dipakai memperkenalkan satu demi satu protagonis, di mana hanya dengan beberapa kalimat singkat, Sorkin berhasil menjabarkan ideologi yang diusung oleh masing-masing figur. Penyuntingannya membuat mereka seolah menyelesaikan kalimat satu sama lain, bak menyiratkan kalau nantinya kedelapan orang ini bakal saling bersinggungan. Tepatnya, dipaksa bersinggungan dalam rangkaian persidangan panjang yang berlangsung kurang lebih satu tahun.

Delapan orang ditangkap atas tuduhan konspirasi pasca pecahnya kerusuhan di tengah aksi memprotes keputusan Amerika Serikat menambah jumlah prajurit yang dikirim ke Vietnam. Mereka adalah: Abbie Hoffman (Sacha Baron Cohen) dan Jerry Rubin (Jeremy Strong) selaku pentolan Yippies (Youth International Party); David Dellinger (John Carroll Lynch) yang memimpin gerakan pasifisme penentang kekerasan; Tom Hayden (Eddie Redmayne) dan Rennie Davis (Alex Sharp) sebagai penggerak National Mobilization Committee to End the War in Vietnam alias the Mobe; Bobby Seale (Yahya Abdul-Mateen II) sang pemimpin Black Panther Party; serta dua aktivis, John Froines (Daniel Flaherty) dan Lee Weiner (Noah Robbins).

Selama sekitar 130 menit, kita diajak mengikuti persidangan yang oleh Abbie disebut “persidangan politis”. Pengacara mereka, William Kunstler (Mark Rylance) awalnya tidak setuju atas sebutan itu. Tapi seiring waktu, sulit bagi kita maupun Kunstler untuk tak mengamini omongan Abbie, setelah pihak penguasa melakukan segala cara untuk mengkriminalisasi para Chicago Eight (baru menjadi Chicago Seven setelah persidangan untuk Bobby Seale dipisah).

Richard Schultz (Joseph Gordon-Levitt) selaku jaksa penuntut sudah merupakan lawan sepadan. Tapi seolah belum cukup, Hakim Julius Hoffman (Frank Langella) terus melakukan ketidakadilan-ketidakadilan konyol. Belum lagi berbagai kecurangan lain, termasuk saat mengirim surat ancaman kepada keluarga salah satu juri dengan memakai nama Black Panther Party sebagai upaya fitnah.

Sorkin justru menggunakan ketidakadilan-ketidakadilan tadi sebagai media pemersatu delapan orang dengan ideologi berbeda (perbedaan yang kerap memancing perselisihan, khususnya antara Abbie dan Tom). Semakin pihak lawan menggelontorkan senjatanya, semakin tersadar pula para protagonis, bahwa di balik perbedaan ideologi, mereka punya musuh yang sama. Tanpa perlu berceramah, Sorkin juga berhasil menyadarkan penonton, bahwa musuh sebenarnya adalah para pemegang kekuatan yang menampik hak-hak minoritas, juga barisan preman berseragam yang malah bersikap brutal kepada orang-orang yang semestinya mereka layani dan lindungi.

The Trial of the Chicago 7 turut menandai upaya Sorkin melahirkan karya yang lebih bersahabat bagi kalangan penonton di luar penggemarnya. Barisan kalimatnya masih kaya, tajam, sesekali menggelitik, dan tentunya memorable. “Martin’s dead. Bobby’s dead. Jesus is dead. They tried it peacefully. We’re going to try something else”, ucap Bobby. Terdengar nyeleneh, tapi memancing perenungan. Tapi berbeda dengan kebiasaan Sorkin selama ini, penghantaran kalimat-kalimat tersebut tidak secepat lesatan peluru senapan otomatis. Penonton awam takkan kesulitan mengikutinya. Pun Sorkin menawarkan konklusi crowd pleasing, yang membuat saya bisa membayangkan, apa jadinya film ini, bila rencana awal di tahun 2007 untuk memberikan posisi sutradara kepada Steven Spielberg jadi dilakukan.

Terkait penyutradaraan, Sorkin makin matang. Sekuen terbaiknya adalah kerusuhan pertama, ketika demonstran berpawai menuju kantor polisi guna membebaskan Tom. Tempo yang meningkat secara bertahap, penyuntingan dinamis yang bergantian memperlihatkan dua pernyataan kontradiktif dari masing-masing pihak, kombinasi adegan reka ulang dan footage asli, ditambah musik pemacu adrenalin gubahan Daniel Pemberton (Steve Jobs, Spider-Man: Into the Spdier-Verse) Sorkin telah menyempurnakan kemampuannya membangun momentum yang begitu kuat menyetir emosi penonton.

Jajaran pemainnya tak kalah bersinar. Seperti biasa, Redmayne solid memerankan pria rapuh yang berusaha kuat. Pria yang mengucapkan kata-kata bernada keyakinan dengan penuh ketidakyakinan. Pria yang seperti bisa runtuh kapan pun namun menolak berhenti di tengah jalan. Langella adalah antagonis yang gampang dibenci, sedangkan Michael Keaton menjadi glorified cameo yang meninggalkan kesan.

Tapi Sacha Baron Cohen adalah yang terbaik. Abbie adalah aktivis, hippie, sekaligus komika. Kombinasi yang membuatnya sekilas hanya pria konyol yang tak bisa diandalkan, namun semakin banyak sarkasme tajam nan cerdas terlontar dari mulutnya, semakin mengagumkan sosoknya, yang turut menjelaskan, bagaimana bisa, di tengah tekanan dari penguasa, demokrasi menolak berjalan mundur pada 1968.


Available on NETFLIX

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - PELUKIS HANTU

2 komentar

Mengikuti jejak Bene Dion Rajagukguk selaku sesama komika, Arie Kriting melakoni debut penyutradaraan melalui sebuah horor-komedi (sama-sama dibintangi Ge Pamungkas pula). Hasilnya, karya Bene Dion mungkin lebih solid, tapi Arie menggantungkan ambisi lebih tinggi. Ada luka personal dalam lingkup keluarga, ada luka kolektif dalam lingkup kenegaraan, kemanusiaan, dan sosial masyarakat. Arie, yang menulis naskahnya sendiri, menjadikan pertemuan dua alam sebagai metode penyembuh luka.

Ge memerankan Tutur, seorang pelukis muda yang setia memegang idealisme berupa kejujuran. Dia menolak berbohong soal harga serta makna lukisan, membuatnya kesulitan memperoleh uang, baik untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, maupun pengobatan penyakit paru-paru ibunya (Aida Nurmala). Sampai datang tawaran menjadi pelukis hantu di acara televisi horor, yang kita semua tahu, memarodikan program apa.

Awalnya Tutur ragu, karena pekerjaan itu menuntutnya pura-pura bisa melihat hantu. Tapi kesehatan sang ibu yang makin memburuk, membuatnya berubah pikiran. Proses syuting pun tiba. Tutur harus melukis hantu dengan mata tertutup. Di situlah hal mengejutkan terjadi. Tutur dapat melihat hantu. Sesosok kuntilanak (Jenny Zhang), yang juga sempat menampakkan diri di depan Tutur semasa ia kecil. Dibantu Amanda (Michelle Ziudith) si blogger misteri, Tutur coba membongkar alasan di balik kemunculan sang kuntilanak, yang tanpa disangka, berkaitan dengan masa lalunya sendiri.

Salah satu pencapaian terbesar Arie adalah kejelian membagi porsi, kapan harus melucu, kapan tampil serius, dan kapan waktunya meneror. Tidak ada tumpang tindih. Masing-masing genre diberi kesempatan menunjukkan kekuatan, pun tetap terasa sebagai satu kesatuan. Dibantu jajaran komedian dengan porsi kemunculan bervariasi, Arie sanggup menghasilkan komedi yang konsisten memancing tawa. Walau kalau harus disandingkan, humornya belum sepintar Bene Dion di Ghost Writer, yang sanggup menarik kelucuan dari berbagai horror tropes.

Terkait horor, Pelukis Hantu tidak menawarkan banyak keunggulan. Riasan yang dikenakan Jenny Zhang cukup memancing rasa ngeri tiap kamera menaruh fokus di wajahnya, dan Arie berhasil menyelipkan satu jump scare yang efektif menggedor jantung berkat timing kemunculan tak terduga (clue: lukisan), tapi secara keseluruhan, teror sang kuntilanak tak jauh beda dibanding barisan horor lokal formulaik, meski tak bisa disebut buruk.

Sedangkan elemen dramanya, mempertemukan titik terbaik sekaligus terburuk milik Pelukis Hantu. Seperti saya sebutkan di paragraf pembuka, ada ambisi besar dari Arie guna menjadikan debutnya ini lebih dari sekadar hiburan ringan. Ambisi yang melibatkan cabang-cabang penceritaan dengan skala makin membesar seiring bergulirnya kisah, namun Arie memadatkannya secara paksa di paruh akhir, dalam cuplikan-cuplikan singkat yang tak cukup kuat menjalin ikatan emosi antara penonton dengan drama tersebut.

Ge, sebagai salah satu komika yang paling sering diberikan peran dramatis, sayangnya tak cukup mumpuni mengemban kompleksitas dinamika batin Tutur. Apalagi saat dituntut melakoni momen berintensitas emosi tinggi. Dia menangis. Setidaknya ekspresinya terlihat seperti itu. Tapi tidak hatinya. Ge menangis hanya untuk dirinya sendiri. Bukan agar penonton ikut merasakan gejolak serupa. Sedangkan Michelle Ziudith tak cukup diberikan ruang eksplorasi, mengingat naskahnya pun belum cukup matang mengolah penokohan Amanda.

Di balik kejenakaannya, melalui Pelukis Hantu, Arie memaknai mistisisme dari perspektif berbeda. Perihal “arwah dan orang mati” tidak berhenti di ranah menakut-nakuti semata. Ada pertemuan dan perpisahan. Ada tragedi masa lalu dan usaha bangkit demi masa depan. Sensibilitas di gagasan-gagasan tadi belum sepenuhnya muncul di penyutradaraan Arie. Tapi saya rasa ini masalah jam terbang semata. Kelak Arie akan lebih peka, tahu mesti meletakkan fokus kamera di mana, dan bagaimana membungkus detail suatu momen, agar penyaluran rasanya lebih maksimal. Saat hari itu tiba, jalannya sebagai salah satu sineas paling “berbahaya” terbuka lebar.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - BLACKPINK: LIGHT UP THE SKY

2 komentar

Again, in this dark place, light up the sky”. Begitu bunyi petikan lirik lagu How You Like That yang dipakai untuk dokumenter ini. Dan memang, bagi banyak kalangan, baik Kpop secara umum maupun Blackpink secara khusus, membantu memberi cahaya penerang di masa-masa gelap. Melalui debut penyutradaraan Caroline Suh ini, yang mengiringi perilisan album penuh pertama Blackpink, tiba waktunya bagi kita (sekilas) mengunjungi ruang personal empat megabintang global, yang selalu dituntut menjadi cahaya yang sempurna.

Tentu ini bukan investigasi mendalam yang menyibak segalanya, hingga ke sisi tergelap industri. Walau demikian, saya cukup terkejut menemukan beberapa kejujuran. Bukan fakta baru, sebab penggemar Kpop pasti tahu, bahwa yang muncul di sini cuma puncak kecil dari gunung es raksasa. Apa yang mengejutkan adalah kesediaan para anggota Blackpink menceritakannya, juga keputusan YG Entertainment yang terkenal ketat (cenderung kolot) memberi lampu hijau. Alhasil, Light Up the Sky bukan sebatas fan service.

Di awal cerita, kita melihat Jisoo, Jennie, Rosé, dan Lisa, berdiri di atas panggung dalam rangka showcase debut. Mereka tersenyum, namun ada kegugupan. Blackpink yang gugup merupakan pemandangan langka. Jelang akhir, kita melihat situasi serupa. Lisa yang biasanya cerah (anggota lain menganggapnya “vitamin” dalam grup) tampak tegang. Bedanya, itu adalah pemandangan di belakang panggung, sebelum mereka mencatatkan sejarah sebagai group wanita Kpop pertama yang tampil di Coachella, tiga tahun selepas debut.

Dua momen di atas menyiratkan dua hal: bahwa ini perjalanan luar biasa yang pantas dibuatkan dokumenter, dan bahwa seglamor apa pun, Blackpink tetap manusia biasa. “We can do it. It’s fine”, ucap mereka sambil berpelukan sebelum panggung bersejarah itu. Bahkan setelah menjual jutaan keping album, menyambangi ribuan panggung, punya tiga video klip yang menembus satu milyar penonton di Youtube, serta berkolaborasi dengan nama-nama seperti Lady Gaga, Dua Lipa, Selena Gomez, dan Cardi B, keempatnya masih seperti kita. Tidak sempurna.

Masalahnya, industri tempat mereka bernaung, menuntut kesempurnaan. Persoalan itu dibicarakan, sembari filmnya memberi segmen individual bagi tiap personel. Latihan bertahun-tahun, 14 jam selama 13 hari beruntun dengan jatah libur cuma sehari tiap dua minggu. Hasilnya adalah kesuskesan global. Tapi di saat bersamaan, kehidupan personal jadi korban, sesuatu yang disebut Rosé sebagai “lubang di hidupku”. Rutinitas harian mereka luar biasa melelahkan, khususnya kala menjalani tur dunia tahun lalu. Di atas panggung, ada kebahagiaan terasa, namun setibanya di hotel, kesepian kembali menyerbu.

Kondisi tersebut dialami mayoritas idola Kpop, tetapi untuk Blackpink (yang seperti banyak grup zaman sekarang) bukan cuma terdiri atas anggota asli Korea, tingkat kesulitannya berlipat ganda. Lisa dari Thailand, sedangkan Rosé dan Jennie, meski berdarah Korea, tumbuh di Selandia Baru. Satu poin yang saya suka dari Light Up the Sky adalah caranya menangani perbedaan itu, dengan membiarkan keempatnya bicara memakai bahasa masing-masing. Menyegarkan, karena meski kerap melakukannya di variety show dan talk show, fungsinya cuma hiburan singkat. Pun kerap muncul pertanyaan, “Apa kamu sudah bermimpi dalam Bahasa Korea?”. Warga Korea Selatan begitu bangga terhadap negara dan kulturnya, namun seringkali pengekspresiannya salah arah, sehingga berujung xenofobia dan rasisme.

Satu hal yang agak disayangkan, dokumenter ini lebih terasa seperti rekap ketimbang eksplorasi. Banyak hal ditampilkan, dari kisah personal Blackpink, sampai sejarah Kpop beserta kultur industrinya, tapi mayoritas cuma numpang lewat. Caroline Suh belum piawai bercerita, termasuk dalam membangun momentum. Momen Coachella semestinya lebih "besar" dan emosional, meski bagi para penggemar (termasuk saya), sudah cukup memancing haru. Tapi tidak masalah. Saya percaya akan ada film-film lain mengenai Blackpink, entah membahas aspek lebih kelam dari perjuangan mereka, atau berfokus pada sisi artistik keempatnya. Selalu akan ada kisah yang layak diangkat. Because Blackpink is the revolution that light up the sky in your area.


Available on NETFLIX

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - DICK JOHNSON IS DEAD

Tidak ada komentar

Kematian adalah satu dari sedikit hal yang pasti dialami semua manusia, tapi nyaris mustahil untuk sepenuhnya merasa siap, baik bagi yang meninggalkan atau ditinggalkan. Dick Johnson Is Dead dapat dipandang sebagai cara si pembuat mempersiapkan diri, dalam salah satu pembahasan soal mortalitas paling orisinal dalam beberapa waktu terakhir.

Judulnya menjelaskan semua. Richard “Dick” Johnson adalah ayah sutradara Kirsten Johnson, dan di sini, kita diajak menyaksikan beberapa skenario konyol berisi kematiannya. Dari kejatuhan AC, tersandung di jalan, hingga bercucuran darah akibat terhantam sebatang kayu. Tentu semuanya rekayasa. Kirsten membuat film mengenai kematian ayahnya yang masih hidup, membungkusnya secara menggelitik, dengan harapan, bakal membantunya bersiap sebelum hari itu benar-benar datang.

Dick berumur 80an tahun. Pertama kali penonton melihatnya, dia sudah nampak uzur, namun masih cukup bertenaga, ramah, dan hampir tak pernah kehilangan senyum. Pun ia masih bekerja sebagai psikiater. Sampai kita tahu, bahwa demensia mulai menggerogoti memori pria itu, dan seiring kisahnya bergulir, penonton turut jadi saksi memburuknya kondisi Dick secara bertahap.

Dahulu, ibu Kirsten juga menderita alzheimer, sebelum meninggal pada 2007. Satu penyesalan Kirsten adalah, walau berstatus pembuat film (namanya dikenal sebagai sinematografer dokumenter-dokumenter seperti The Invisible War dan Citizenfour), dia hanya memiliki sedikit rekaman mengenai sang ibu. Itu pun menampilkan tahun-tahun terakhir hidupnya, dalam footage yang sebelumnya muncul di Cameraperson (2016), yang Kirsten sutradarai. Melalui Dick Johnson Is Dead, mungkin Kirsten juga ingin menebus penyesalan tersebut.

Adegan-adegan kematiannya kental nuansa komedi hitam. Tapi bukan itu visi terliar Kirsten, melainkan sekuen-sekuen sureal, dari pertemuan Dick dengan Yesus, hingga visualisasi surga di mana ia bertemu figur-figur terkenal termasuk Bruce Lee, sebelum akhirnya bertemu lagi, kemudian berdansa dengan mendiang istrinya.  

Dick merupakan pria yang gampang disukai. Mudah bagi kita memedulikan kondisinya, setelah mengikuti keseharian dan mendengar kisah-kisah masa lalunya. Salah satu favorit saya menyinggung soal kepercayaan Keluarga Johnson. Mereka pengikut Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, yang mengharamkan film. Tapi Kirsten justru diperkenalkan pada dunia film oleh sang ayah, yang mengajaknya menonton Young Frankenstein (1974). Menurut Dick, ia sudah mendapatkan surga di dunia dalam wujud keluarga tercintanya.

Semakin saya mengenal Dick, semakin saya yakin, kalau film ini bukan proses satu sisi. Dick ingin membantu Kirsten membuat film, sebagai cara mempersiapkan diri akan kematiannya. Mungkin Dick juga ingin mempersiapkan diri. Saat mereka yang ditinggalkan takut kehilangan, mereka yang pergi, takut jika keluarga yang masih hidup tenggelam dalam kesedihan terlalu dalam. Dick ingin membuat puterinya bahagia.

Tentu pertanyaan terbesarnya, “Apakah pembuatan film ini benar-benar membantu?”. Pertanyaan itu cuma bisa dijawab oleh Kirsten, namun menyaksikan konklusinya, ada siratan seputar perasaan sang sutradara selepas menjalani proses ini. Di situ, dalam ending yang amat indah, menyentuh, nan bermakna hingga membuat saya terdiam beberapa menit, Kirsten seolah berdamai dengan kematian. “Bersiap” bukan berarti dia siap kehilangan ayahnya kapan saja. “Bersiap” artinya, memastikan bahwa saat hari itu tiba, tidak ada sedikit pun penyesalan tertinggal.


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE BOYS IN THE BAND

Tidak ada komentar

Kisah tentang pria gay yang membenci dirinya sebagai dampak psikis penolakan sosial, mungkin terkesan kuno, apalagi pada zaman di mana para penulis berlomba-lomba merayakan LGBT, dengan menggambarkannya sebagai sesuatu yang patut dibanggakan. Tapi The Boys in the Band memang produk masa lalu. Diangkat dari pertunjukan Off-Broadway fenomenal berjudul sama yang pada 1968 mendobrak banyak batas, versi film terbaru ini (pada 1970, adaptasi layar lebarnya juga pernah dibuat), mengembalikan jajaran pemain revival Broadway-nya (semua adalah aktor yang secara terbuka mengaku sebagai gay), yang dipentaskan pada 2018 lalu.

Benar bahwa di beberapa bagian, elemen ceritanya ketinggalan zaman, namun The Boys in the Band, yang lahir pada era pre-liberation, memang lebih tepat dipandang sebagai period piece ketimbang cerminan masa kini. Walau jika dilihat menggunakan sudut pandang yang lebih general mengenai psikis manusia, relevansi-relevansi masih bisa ditemukan.

Pada Juli 1968, ditemani musik jazz dan suasana malam yang sempurna dijadikan latar bercengkerama bersama teman (kecuali hujan yang sempat turun), sembilan pria gay berkumpul di apartemen Michael (Jim Parsons), guna merayakan ulang tahun Harold (Zachary Quinto), yang terlambat datang sehingga memancing amarah Michael. Tapi sebelum itu, naskah buatan Mart Crowley (penulis pertunjukan aslinya) dan Ned Martel terlebih dahulu mengajak kita mengenal sosok-sosok lain.

Michael si tuan rumah adalah penganut Katolik sekaligus mantan alkoholik, yang mementingkan penampilan meski itu membuatnya terlilit utang. Donald (Matt Bomer) tengah menjalani terapi untuk mengatasi gangguan kecemasannya. Larry (Andrew Rannells) adalah seniman penganut gaya hidup bebas, sementara kekasihnya, Hank (Tuc Watkins), yang ada di tengah proses perceraian, mengedepankan komitmen. Emory (Robin de Jesús) si flamboyan yang gemar melontarkan humor-humor campy, datang membawa Cowboy (Charlie Carver), si pelacur pirang yang bodoh. Terakhir ada Bernard (Michael Benjamin Washington), pria kulit hitam yang bertahun-tahun memendam rasa pada pria kulit putih pemilik rumah tempat ia dan ibunya dulu bekerja sebagai pelayan.

Interaksi yang dibangun, efektif membantu penonton mengingat “siapa adalah siapa”. Performa jajaran pemain pun kuat, di mana Jim Parsons sebagai Michael yang menyulut mayoritas perkitaian, paling menonjol. Hanya Matt Bomer yang kurang meyakinkan, dan itu bukan sepenuhnya kesalahan sang aktor. Naskahnya memperkenalkan Donald sebagai pria dengan kondisi psikis berantakan, namun sepanjang durasi, ia justru nampak paling tenang dan tertata.

Banyak persoalan karakternya, jamak kita lihat di kehidupan sehari-hari, baik di lingkup LGBT atau bukan. Larry dan Hank membenturkan komitmen dan kebebasan dalam hubungan, Emory memperlihatkan bahwa sosok happy-go-lucky bisa saja menyimpan kerapuhan di dalam, sedangkan kebencian Michael atas diri sendiri, cenderung membuatnya “memaksa” orang lain mengakui hal serupa. Kecenderungan itu makin nyata selepas kedatangan dua pria lain.

Pertama adalah tamu tak diundang. Alan (Brian Hutchison), teman Michael semasa kuliah, mendadak muncul, setelah sebelumnya menelepon sambil menangis. Kita tidak pernah tahu alasannya menumpahkan air mata, walau secara tersirat, kemungkinan ia merupakan closeted gay yang terjebak dilema. Alan melontarkan banyak ucapan bernada homofobia, membuat Michael makin bersemangat untuk memaksanya mengaku sebagai gay. Bukannya Michael peduli kepada Alan atau ingin membela kaum gay. Dia cuma ingin menyakiti kawan lamanya itu.

Semakin kentara setelah kedatangan Harold, yang terus Michael tuding sebagai pria menyedihkan yang selalu merasa khawatir akan penampilannya, dan punya tendensi bunuh diri, namun takkan punya keberanian untuk melakukannya. Quinto menampilkan kharisma eksentrik, penuh ketenangan dalam menangkis kata-kata pedas Michael, yang ingin semua orang (baca: semua gay) membenci diri mereka sebagaimana ia membenci dirinya sendiri.

Penyutradaraan Joe Mantello mampu menjadikan perbincangan sembilan pria ini dinamis, menghibur, dan tak terlalu stagey bagi penonton film. Sebuah malam yang meriah dan berisik, tapi di balik tawa yang hampir selalu terdengar, ada rasa takut setia mengintai. Ketakutan kalau ada orang yang melaporkan mereka ke polisi karena merasa “terganggu”. Ketakutan yang masih dirasakan oleh para korban penindasan sampai sekarang, sehingga The Boys in the Band sejatinya masih relevan. Artinya, lebih dari empat dekade berselang, kita belum melangkah jauh.


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page: