REVIEW - JUNE & KOPI
Film bertema persahabatan manusia dengan anjing masih menjadi barang langka (sangat langka!) di industri perfilman Indonesia. Kalau tidak salah, judul pertama dan terakhir yang melakukannya adalah Boni dan Nancy (1974). Mungkin karena mayoritas penduduk kita beragama Islam, cerita soal anjing dianggap tidak menjual. Sehingga perilisan June & Kopi garapan sutradara Noviandra Santosa (Pintu Merah), di luar masih tersisanya kelemahan-kelemahan, sangat pantas diberikan apresiasi.
Kisahnya dimulai sewaktu Aya (Acha Septriasa), menemukan anjing berjenis mongrel di jalanan. Anjing itu mengikuti Aya ke rumah, membuatnya tidak punya pilihan selain menampungnya, meski awalnya mendapat tentangan dari sang suami, Ale (Ryan Delon). Pertama, karena mereka sudah mempunyai seekor anjing, staffordshire terrier hitam bernama Kopi. Kedua, karena anjing yang oleh Aya dinamai June itu, takut terhadap anak kecil akibat trauma semasa tinggal di jalanan. Masalahnya, Aya dan Ale tengah menantikan kelahiran bayi mereka. Buah hati yang amat dinanti, setelah di kehamilan pertamanya, Aya mengalami keguguran.
Tentu pada prosesnya, kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Selain bicara tentang persahabatan manusia dengan anjing, naskah buatan Titien Wattimena juga menaruh perhatian terhadap trauma healing June. Bagaimana pelan-pelan ia menyadari tidak semua anak kecil berbahaya, bagaimana ia mengubah ketakutan menjadi dorongan melindungi, setelah kelahiran Karin (Makayla Rose Hilli). Memang ada simplifikasi perihal proses penyembuhan itu, namun bagaimana filmnya mampu memposisikan para anjing sebagai makhluk hidup dengan kemampuan berpikir serta perasaan, ketimbang sebatas hewan peliharaan, cukup mengesankan.
June & Kopi dibuat berdasarkan pengalaman Noviandra saat mengadopsi anjing bernama Cody. Pemahamannya sebagai penyayang anjing nampak betul diaplikasikan dalam penyutradaraan. Beberapa kali, point-of-view shot diterapkan, agar penonton bukan cuma tahu apa yang June lihat, pula apa isi kepalanya. Semakin meyakinkan, sebab June dan Kopi masing-masing diperankan oleh dua ekor anjing dari tempat penampungan, yang tampil meyakinkan, berkat pelatihan dari Noviandra selama dua sampai tiga bulan.
Di jajaran penampil manusia, tidak mengejutkan ketika Acha piawai mengolah rasa. Kejutan menyenangkan justri diberikan si cilik Makayla, yang bisa menjalin ikatan emosional dengan para anjing. Saya pun menyukai bagaimana Ryan Delon menghidupkan sosok Ale, yang oleh naskahnya tetap digambarkan sebagai figur hangat nan penyayang, biarpun acap kali menentang kehadiran June. Ale tidak jahat. Dia mempunyai alasannya sendiri.
Memberi kehangatan memang jadi fokus utama June & Kopi. Kehangatan yang sanggup menutupi kekurangan-kekurangan di berbagai departemen, sebutlah naskah yang punya tendensi melanggar logika demi membuktikan sebuah poin (seburuk apa pun kinerja mereka, mana ada polisi mengeluhkan hujan yang HAMPIR turun di tengah pencarian anak hilang?), maupun tone warna yang mendadak berubah di salah satu lokasi. Kehangatan yang membuktikan bahwa June & Kopi dibuat dengan hati, berdasarkan kasih sayang terhadap anjing. Konklusinya bakal membuatmu bercucuran air mata, walau setelahnya, menyusul epilog singkat yang sejatinya kurang diperlukan.
Available on NETFLIX
REVIEW - THE WHITE TIGER
Sewaktu kecil, Balram (Adarsh Gourav) diibaratkan sebagai harimau putih. Karena sebagai bocah miskin dari daerah kumuh di Laxmangarh, Balram yang pandai membaca juga berbahasa Inggris, adalah "makhluk langka". Selang beberapa tahun, seperti apakah nasib Balram dewasa? Rupanya sama seperti kebanyakan orang miskin dari kasta rendah, ia menjadi pelayan yang setia menjalankan perintah majikan, kemudian tersenyum bahagia setiap merampungkan sebuah tugas, layaknya anjing yang mengibaskan ekor sembari menjulurkan lidah ketika empunya berkata, "good boy".
Mengadaptasi novel berjudul sama karya Aravind Adiga, The White Tiger menyentil perihal privilege. Bagaimana si kaya punya opsi untuk gagal sementara si miskin wajib berhasil di segala kesempatan. Bagaimana tidak peduli sepintar apa pun, mimpi-mimpi bakal terus terbentur jurang kemiskinan. Menariknya, film dibuka dengan memperlihatkan Barlam yang telah sukses sebagai pebisnis. Pertanyaan "Jalan apa yang Barlam tempuh hingga bisa keluar dari jurang kesengsaraan?", membuat alur non-linear miliknya, mampu secara efektif menjaga atensi penonton. Tidak mudah menebak, sebuah peristiwa akan membawa kisahnya bergerak ke mana.
Kesempatan pertama Balram datang, sewaktu ia diterima menjadi sopir Ashok (Rajkummar Rao), putera bungsu "The Stork" (Mahesh Manjrekar) sang tuan tanah di Laxmangarh. Berbeda dengan ayahnya yang bertindak semena-mena, memeras rakyat kecil melalui pajak, serta rutin membayar para politisi demi melancarkan bisnis, Ashok adalah pria jujur nan murah hati. Konon, semua berkat pengaruh ideologi yang didapatkan saat ia tinggal di Amerika Serikat. Di sanalah Ashok bertemu istrinya, Pinky (Priyanka Chopra Jonas).
Ashok dan Pinky bersikeras agar Balram tak memperlakukan mereka sebagai majikan berkasta lebih tinggi, walau jurang perbedaan tersebut sesungguhnya begitu menganga, baik yang ditampilkan oleh penampilan, pola pikir, juga gerak-gerik. Rao dengan setelan jas tampak berkharisma. Sewaktu ia merokok di kursi penumpang, figurnya memperlihatkan sosok si kaya yang bisa menikmati setiap detik kehidupannya. Sebaliknya, Gourav pun meyakinkan sebagai pelayan yang gemar mengumbar senyum, dan menyetujui seluruh perkataan sang majikan. Entah karena dia tidak tahu apa-apa, atau selaku usaha "menjilat".
Awalnya The White Tiger terkesan hangat, namun ini bukan kisah heartful mengenai persahabatan dua individu beda kelas. Naskah buatan sutradara Ramin Bahrani (At Any Price, 99 Homes) segera menelanjangi realita. Realita bahwa para pemegang kekuatan (dan kekayaan) punya kecenderungan memalsukan kebaikan hati. Ada yang memasang topeng guna menarik hati rakyat jelata, misalnya saat kita mendapati jika politkus idola kaum akar rumput yang dijuluki The Great Socialist (Swaroop Sampat), nyatanya tidak kalah kotor dalam bermain.
Tapi ada pula golongan borjuis dengan standar ganda. Majikan Balram masuk kategori ini, pasca terjadinya suatu insiden, yang membuktikan bahwa ujung-ujungnya, si miskin bakal jadi tumbal si kaya. Golongan kedua ini tak kalah berbahaya. Walau seolah bersikap baik, begitu terancam, mereka tidak segan menampakkan wajah asli.
Apakah sepenuhnya salah si kaya? Di mayoritas kesempatan, ya, tetapi The White Tiger bersikap adil. Rakyat kelas bawah juga bisa jadi sumber masalah, sebagaimana terlihat sewaktu nenek Balram (Kamlesh Gill) bukan saja memaksa cucunya menikah, pula mengambil hampir semua gaji bulanannya. Egoisme, keserakahan, tendensi mengatur hidup orang lain. Nyatanya sifat alami tersebut ada dalam diri setiap manusia, tidak peduli seberapa tebal kantongnya.
Babak akhir filmnya agak bermasalah, berlangsung terburu-buru, bagai epilog singkat yang dipaksa merangkum konklusi bagi suatu perjalanan panjang. Tapi kelemahan di penghujung durasi itu tidak sampai merusak The White Tiger, yang berkat penceritaan dinamis Ramin Bahrani, tak sedikitpun menyisakan ruang bagi rasa bosan.
Available on NETFLIX
REVIEW - AFFLICTION
Tidak semua sineas, bahkan yang punya segudang pengalaman serta bergelimang penghargaan, mampu melahirkan horor berkualitas. Harus ada kecintaan besar (atau malah obsesi), yang menuntun pada pemahaman mendalam mengenai genre tersebut. Selepas trilogy of intimacy yang jadi puncak pencapaiannya sejauh ini, juga Menunggu Pagi (2018) yang underrated, Teddy Soeriaatmadja, bersama sang istri, Raihaanun, melakoni debut horor mereka melalui Affliction, masing-masing sebagai sutradara/penulis naskah dan aktris. Debut yang sayangnya membuktikan kebenaran kalimat pembuka tulisan ini.
Raihaanun memerankan Nina, istri dari Hasan (Ibnu Jamil), seorang psikolog anak yang karirnya tengah meroket. Di awal film, kita menyaksikan Hasan sedang melatih presentasinya di depan cermin. "Jika anak tidak mendapat rasa kasih sayang orang tua dan mendapatkan perlindungan secara positif, maka dapat menimbulkan hal yang membahayakan bagi anak-anak di sekolah dan orang-orang di sekelilingnya", begitu petikan kalimat dari presentasi Hasan.
Ironisnya, akibat sibuk bekerja, Hasan justru jarang meluangkan waktu bagi kedua anaknya, Tasya (Tasya Putri) dan Ryan (Abiyyu Barakbah). Pun hubungan Hasan dengan sang bunda (Tutie Kirana) tidak berjalan baik. Bertahun-tahun ia tidak pulang, walau mengetahui bundanya mengidap alzheimer. Hingga datanglah Narsih (Dea Panendra) yang mengaku sebagai pengasuh Bunda, meminta Hasan secepatnya pulang karena kondisi Bunda makin memburuk.
Disokong penampilan mencekam Tutie Kirana, kita akan melihat kalau ada yang tidak beres dalam diri Bunda. Dia kerap berbicara dengan sosok tak terlihat, kepribadiannya bak dapat berubah sewaktu-waktu, dan puncaknya, menyakiti diri sendiri. Apakah itu gejala alzheimer biasa sebagaimana pernyataan Hasan, atau memang ada gangguan kekuatan lain? Tutie Kirana mampu dalam sekejap "mengubah wajah". Di satu kesempatan ia adalah ibu hangat nan murah senyum, lalu sedetik kemudian menjadi sosok penuh paranoid.
Walau tak diberi banyak kesempatan pamer kemampuan, debut horor Raihaanun pun berjalan baik, khsusunya melalui totalitas kala teror mulai menyerbu Nina sekeluarga. Begitu pula Ibnu Jamil. Biarpun di paruh kedua Hasan lebih banyak absen dari narasi, ia sanggup membuktikan kapasitasnya dengan tidak terjebak keklisean overacting pasca kemunculan sebuah twist.
Departemen akting memang paling berjasa menjaga daya tarik filmnya. Para pencari horor arus utama mungkin bakal kecewa mendapati pendekatan Affliction lebih kental unsur drama. Tentu bukan masalah selama terdapat elemen yang memunculkan rasa takut, entah dari atmosfer maupun dinamika psikologis. Affliction tidak memiliki semua itu. Kandungan misterinya bukan saja klise, pula tanpa dibangun secara layak sehingga gagal memancing rasa penasaran.
Gagasan besar ceritanya pun kurang jelas. Dinamika macam apa yang coba dibangun? Soal "kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang jalan", atau kritik perihal pola asuh? Jangan juga buat saya membahas bagaimana naskahnya menangani twist mengenai "ari kiba", kata-kata misterius yang kerap diucapkan Bunda. Alih-alih mengejutkan, jawaban yang ditawarkan justru terasa dipaksakan, konyol, dan terkesan mencurangi penonton.
Penyutradaraan Teddy tidak kalah lemah, dalam menangani beberapa teror yang kuantitasnya minim. Melihat pilihan shot, timing, juga mise-en-scène, tampak betul ia belum siap menangani horor. Apalagi trik-trik murahan seperti pemakaian efek suara berisik hingga false alarm masih dipakai, yang mana tidak sesuai dengan pendekatan filmnya yang berusaha tampil lebih "elegan". Beruntung, pacing penceritaan Teddy tatkala teror absen dari layar, masih nyaman diikuti. Penuh kesaraban, tanpa harus berlarut-larut. Sekali lagi membuktikan, bahwa Teddy Soeriaatmadja merupakan sutradara drama yang baik, namun horor adalah makhluk yang berbeda.
Available on NETFLIX
REVIEW - HAPPY OLD YEAR
Sebuah kantor bernuansa minimalis terlihat. Warna putih mendominasi, dan cuma berisi segelintir perabotan. Sang pemilik, Jean (Chutimon Chuengcharoensukying), menjelaskan bahwa kantor itu dahulu merupakan rumahnya. "Sama seperti filosofi Budha, desain minimalis adalah soal merelakan", ucapnya. Kemudian Happy Old Year, yang merupakan perwakilan Thailand di ajang Academy Awards 2021, memakai 113 menit durasinya guna memperlihatkan perjalanan Jean sebelum melakukan renovasi, menjabarkan perbedaan antara "letting go" dan "throwing away".
Obsesi Jean terhadap minimalisme terinspirasi dari pengalamannya selama tiga tahun di Swedia. Pula bukan kejutan saat Marie Kondo adalah salah satu panutan protagonis kita. Rencananya, Jean akan merombak lantai bawah rumah, membuang semua barang, sementara sang adik, Jay (Thirawat Ngosawang), bersama ibu mereka (Apasiri Chantrasmi) tinggal di lantai atas. Walau niatan tersebut ditentang ibunya (khususnya sewaktu Jean ingin membuat piano milik ayahnya), Jean tidak gentar. Semua dibuang begitu saja, tanpa peduli apakah suatu benda menyimpan kenangan. Apa perlunya memiliki buku kalau sudah ada e-book? Kenapa mendengarkan musik lewat CD jika layanan musik digital mudah diakses? Demikian prinsip Jean.
Naskah buatan sutradara Nawapol Thamrongrattanarit (Heart Attack) membagi kisah dalam enam babak, yang masing-masing dibuka dengan title card bertuliskan beberapa tajuk seperti "Don't Reminiscing the Past" atau "Don't Feel Too Much". Tentu elemen ini sebatas pernak-pernik yang takkan mempengaruhi kualitas penceritaan. Disertai tempo lampat, ditambah lagi first act yang berlangsung agak terlalu lama, butuh waktu bagi Happy Old Year untuk benar-benar mencengkeram, sebagaimana Jean, yang butuh waktu hingga menyadari kalau ia tidak saja membuang barang bekas, juga orang-orang di sekitarnya.
Kesadaran itu mengubah pola pikir Jean, yang menuntunnya bertemu lagi dengan Aim (Sunny Suwanmethanont), sang mantan kekasih yang ia tinggalkan tanpa kabar selepas kepergian menuju Swedia. Reuni keduanya adalah titik balik dinamika emosi film ini. Chutimon (yang popularitasnya melambung pasca kesuksesan Bad Genius) menuangkan perasaan bersalah karakternya secara emosional, sementara Sunny melengkapi momen yang bakal mengaduk-aduk perasaan penonton itu dengan senyuman hangat.
Jean pun sadar, banyak hal yang ia sukai hingga sekarang, berasal dari Aim. Dari situlah Happy Old Year menuturkan pesan soal kenangan, yang tersaji emosional berkat sensitivitas Nawapol. Serupa prinsip minalis tokoh utamanya, sang sutradara tidak memerlukan banyak sentuhan besar. Musik cuma terdengar kala diperlukan, dan acap kali keintiman justru diperkuat oleh keheningan, atau suara "natural", seperti saat semilir angin yang menembus dedaunan pohon mengiringi reuni Jean dan Aim.
Sebagai sutradara sekaligus penulis, Nawapol jeli memilih gambar apa yang mesti ditangkap kamera, juga kalimat yang paling tepat menggambarkan emosi yang hendak dimunculkan suatu momen. Bahkan hanya berbekal sebuah foto yang memenuhi layar, filmnya sanggup memancing rasa haru. "Seemed like ordinary photo, but it's priceless", ucap salah satu karakter. Karena begitulah memori. Kita akan beranjak meninggalkannya, melanjutkan hidup (move on) di tempat lain, bersama orang-orang berbeda, namun jejaknya takkan hilang, pun tidak harus berusaha kita musnahkan.
Tapi ada satu pengecualian, yang hadir apabila kenangan itu terus menyakiti, bahkan menghancurkan pemiliknya. Persoalan itu diwakili oleh subplot mengenai keluarga Jean, yang sayangnya tidak digali secara mumpuni, sehingga tak memberi dampak emosional sebagaimana mestinya, biarpun dalam shot penutup, Chutimon sudah mengerahkan segalanya guna mencabik-cabik hati penonton.
REVIEW - ONE NIGHT IN MIAMI
Pada 25 Februari 1964, Malcolm X, Jim Brown, Sam Cooke, dan Cassius Clay (sebelum memakai nama Muhammad Ali), berkumpul di sebuah kamar hotel guna merayakan keberhasilan Clay menyabet gelar juara dunia tinju kelas berat. Kenyataannya, beberapa orang lain turut bergabung, namun atas nama dramatisasi, One Night in Miami, yang merupakan adaptasi naskah panggung berjudul sama buatan Kemp Powers (Soul), hanya menyertakan mereka berempat. Empat legenda, empat figur larger than life, yang dalam debut penyutradaraan Regina King ini, dimanusiakan sembari tetap mempertahankan mitologi tiap-tiap sosoknya.
Pertemuan tersebut benar adanya, tapi tak ada yang tahu pasti pembicaraan apa yang terjadi. One Night in Miami mengimajinasikan, bahwa di malam tersebut, Malcolm X (Kingsley Ben-Adir) mengumpulkan ketiga kawannya, guna meyakinkan mereka agar lebih terlibat aktif dalam menegakkan hak-hak kulit hitam. Inilah titik di mana Malcolm mulai meragukan kepemimpinan Nation of Islam, sehingga berniat hengkang, lalu mendirikan organisasi baru. Alhasil, dukungan dari nama besar lain pun ia butuhkan.
Cassius Clay (Eli Goree) jelas sosok sempurna untuk itu. Clay sendiri sudah mantap memeluk Islam, bahkan sebelum pertandingan, ia sempat menjalankan salat bersama Malcolm, sebagai cara menenangkan diri. Itu pula alasan Malcolm mengundang Jim Brown (Aldis Hodge) yang dikenal sebagai salah satu atlet NFL terbaik sepanjang masa, dan Sam "King of Soul" Cooke (Leslie Odom Jr.) yang karya-karyanya merajai tangga lagu. Mengira bakal menghadiri pesta perayaan, tentu mereka terkejut kala mengetahui intensi Malcolm, sehingga perdebatan demi perdebatan pun pecah.
One Night in Miami baru benar-benar menemukan pijakan begitu keempat sahabat ini terlibat obrolan di atap gedung. Malcolm yang awalnya tampak bak pria nerdy yang mengkhawatirkan ketiga teman "liarnya" bakal merusak kamera baru miliknya, mulai lebih agresif. Khususnya kepada Cooke, yang menurut Malcolm, punya platform terkuat guna menyuarakan perjuangan kulit hitam, tapi malah memilih bermain aman untuk memuaskan selera pendengar kulit putih. Sebelum momen ini, filmnya tampak kesulitan menentukan fokus, karena belum ada jalur yang mengatur arah pembicaraan.
Setelahnya, intensitas tidak pernah mengendur. Keempat protagonis saling melempar perspektif terkait banyak hal terkait "kepercayaan". Baik kepercayaan bersifat spiritual, maupun kepercayaan atas peran masing-masing dalam perjuangan melawan rasisme, yang otomatis menyenggol kepercayaan soal "purpose", yang juga merupakan pokok bahasan Powers dalam Soul. Hanya saja, konteks "purpose" di film ini lebih spesifik.
Naskah Powers memanusiakan keempat karakternya, tak mengultuskan mereka, dengan melontarkan pernyataan bernada kritik yang mungkin tak pernah publik berani lontarkan secara gamblang. Apakah Clay memeluk Islam dari hati? Apakah Cooke "melacurkan" diri pada kulit putih? Tapi keputusan paling berani adalah kala menyentil pandangan ekstrim Malcolm. Sentilan-sentilan itu disertai upaya memahami alasan di balik tiap perspektif dan pilihan. Malcolm hanyalah manusia biasa yang digelayuti ketakutan, sebaliknya, Cooke tidak se-ignorance itu. "If the goal is for us to be free, to be REALLY free, then the key is economic freedom", ucap Brown mengomentari "serangan" Malcolm terhadap Cooke. Keempatnya tidak ada yang sempurna, namun tidak pula keliru.
Penyutradaraan King penuh tenaga yang memberi letupan dalam perdebatan, sekaligus sensitivitas untuk membungkus momen yang lebih intim. Keempat aktornya memancarkan energi yang sama. Goree memiliki arogansi Clay, juga "tarian" khasnya di atas ring; Ben-Adir memahami kompleksitas seorang Malcolm X (jika anda merasa ia cocok memerankan Barrack Obama, ya, Ben-Adir pernah menjadi presiden ke-44 Amerika Serikat it di miniseri The Comey Rule); Odom Jr. menghidupkan pesona Sam Cooke di atas panggung (bukan kejutan, sebab ia merupakan aktor Broadway, termasuk saat memerankan Aaron Burr di Hamilton versi panggung dan film); Hodge, dengan karisma serta suara beratnya, sempurna sebagai figur "jangkar", voice of reason, penyeimbang di tengah malam yang luar biasa.
Available on PRIME VIDEO
REVIEW - PROMISING YOUNG WOMAN
Di sebuah kelab malam, tampak seorang wanita cantik tengah mabuk berat. Cassie (Carey Mulligan) namanya. Jangankan berjalan pulang, membuka mata saja ia sudah kesulitan. Di seberang ruangan, beberapa pria memperhatikannya sambil memasang tatapan penuh nafsu. Salah satu dari mereka "memberanikan diri" untuk menawarkan tumpangan. Di tengah jalan, pria itu mengajak mampir sejenak ke apartemennya, untuk minum sebotol bir. Tentu kita tahu, ia punya niat lebih dari itu.
Benar saja, sesampainya di apartemen, baru sekali meneguk minuman, tubuh Cassie sudah digerayangi, sebelum dipaksa berhubungan seks di kamar. Satu yang pria itu (dan penonton) tidak tahu, Cassie sepenuhnya sadar. Rupanya Cassie rutin mengunjungi kelab, pura-pura mabuk sebagai cara memancing para predator seksual beraksi, guna menghukum mereka. Ya, baru beberapa menit bergulir, Promising Young Woman sudah melempar kejutan. Satu dari deretan kejutan (beberapa memperkuat penceritaan, beberapa melemahkan) dalam debut penyutradaraan Emerald Fennell ini, yang meningkatkan level unapologetic dari subgenre rape and revenge.
Seperti judulnya, dahulu Cassie adalah wanita muda dengan masa depan cerah, sebagai siswi sekolah kedokteran berprestasi. Hingga ia memutuskan keluar, setelah sahabatnya, Nina, diperkosa oleh salah seorang siswa, sementara pihak sekolah hanya berdiam diri. Tidak lama berselang, Nina bunuh diri. Sekarang Cassie yang masih tinggal di rumah orang tuanya, sembari melakukan pekerjaan bergaji kecil di suatu cafe pada siang hari. Sedangkan malamnya, ia berburu.
Rutinitas Casie itu tak membuat alurnya monoton, sebab naskah yang ditulis sendiri oleh Fennell memberi banyak varian. Biasanya, film rape and revenge berjalan bak slasher yang sebatas diisi pembunuhan demi pembunuhan, di mana variasinya cuma seputar metode si pelaku menghabisi nyawa korban. Promising Young Woman mengambil langkah berlawanan. Tidak sekalipun kita menyaksikan Cassie menghabisi para predator. Pun apakah ia membunuh atau sekadar melukai, tak dijelaskan secara gamblang.
Varian yang diberikan Fennell terletak pada tipe dosa para korban (atau dalam konteks film ini, lebih pantas disebut "pelaku") serta model pembalasan yang dipilih Cassie. Ya, hukumannya berbeda untuk tiap kasus. Bahkan ia sempat melepaskan pria bernama Neil (Cristopher Mintz-Plasse), yang menurutnya bersikap "lebih baik" karena tidak coba memperkosa Cassie yang tengah (pura-pura) kehilangan kesadaran. Variasinya bertambah, begitu Cassie mendapatkan akses menuju para pendosa yang menghancurkan hidup Nina.
Masing-masing orang melakukan kesalahan berbeda, yang mewakili jenis-jenis pelaku pelecehan seksual. Selain si pemerkosa, ada juga para enabler, baik mereka yang menyaksikan langsung peristiwanya namun membiarkannya, hingga pihak pemegang kekuatan yang menolak memercayai korban dengan alasan praduga tak bersalah. Promising Young Woman mengambil sikap tegas tanpa ampun, menyatakan bahwa seluruh pelaku patut dihukum. Pengecualian mungkin bisa diberikan kepada enabler yang TULUS menyesali kejahatan. Kata "tulus" harus ditekankan, sebab nyatanya, acap kali penyesalan hanya ada di mulut belaka.
Di tengah aksi balas dendamnya, Cassie bertemu Ryan (Bo Burnham), temannya di sekolah kedokteran dulu. Walau awalnya skeptis, kebaikan Ryan yang tak pernah memaksakan aktivitas seksual, perlahan mencuri hati Cassie. Elemen romansa ini turut memperluas jangkauan akting yang mesti Mulligan berikan. Dia bermain luar biasa. Intimidatif nan tidak kenal ampun kala beraksi namun tidak jarang pula tampak rapuh. Sewaktu akhirnya membuka pintu hati, Mulligan membuat saya percaya, bahwa sejatinya Cassie masih menyimpan harapan menemukan kebahagiaan.
(SPOILER ALERT) Sayangnya harapan tersebut dihancurkan sendiri oleh filmnya, melalui twist yang memaksakan pesan bahwa "semua pria sama saja dan tidak bisa dipercaya", sekaligus menggiring kisahnya makin dekat ke ranah tragedi. Sejatinya twist ini tidak perlu. Tanpanya, Promising Young Woman telah membuktikan poin tentang kebusukan para pria. (SPOILER ENDS) Tugas menciptakan kesan tragis pun sudah diemban konklusinya (lewat satu lagi twist), ketika Fennell mengambil langkah yang makin membedakan karyanya dari pola film bertema balas dendam, sembari menciptakan keseimbangan memuaskan antara dua pokok bahasan, yakni "dampak balas dendam" dan "semua predator mesti menerima ganjaran setimpal".
Penceritaannya memang tersandung, tapi daya hiburnya tak berkurang. Visualnya kaya warna, pilihan lagu-lagunya unik (Stars Are Blind, Toxic versi orkestra bernuansa thriller), dan visi sang sutradara mampu melahirkan tontonan bergaya yang tak sampai mencuri fokus dari hal-hal substansial.
Available on iTUNES
REVIEW - MONSTER HUNTER
Saya tidak pernah memainkan Monster Hunter, apalagi mengetahui alur gimnya. Seperti apa pun ceritanya, saya yakin pasti lebih kaya dibanding adaptasi filmnya, yang disutradarai sekaligus ditulis naskahnya oleh Paul W. S. Anderson. Tapi berbeda dengan seri Resident Evil yang memaksakan jalinan kisah kompleks tanpa dibarengi penulisan memadai, Monster Hunter memang sejak awal diniati menjadi tontonan yang murni menjual pertarungan melawan monster-monster raksasa. Di luar dugaan hasilnya memuaskan, mengingatkan pada awal karir sang sutradara, kala melahirkan deretan judul brainless menyenangkan.
Pasca terjebak badai petir, Kapten Artemis (Milla Jovovich) beserta pasukannya terdampar di New World, sebuah dunia berisi monster-monster buas. Satu per satu dari mereka tewas, hingga hanya menyisakan Artemis. Usaha Artemis bertahan hidup mendapat bantuan dari sesosok pemburu monster (Tony Jaa). Si pemburu tak mempunyai nama, dan kredit hanya menyebutnya sebagai "Hunter".
Berikutnya, selama kurang lebih 103 menit, Monster Hunter praktis nihil cerita. Sungguh. Saya tidak sedang membesar-besarkan. Satu-satunya yang mendekati definisi "cerita" adalah penjelasan singkat dari Ron Perlman, bahwa Artemis bukan orang pertama yang tersesat di New World. Tapi mengenai penyebab terbukanya portal penghubung dua dunia, asal-usul pedang sakti yang mampu mengeluarkan api yang diberikan untuk Artemis, maupun detail mitologi lain, sama sekali tidak dijamah.
Tapi sekali lagi, dangkalnya alur merupakan kesengajaan, sebagai salah satu bukti bahwa Anderson memahami apa yang mayoritas target penontonnya inginkan. Mereka ingin melihat monster, monster, dan monster. Itulah yang Anderson berikan: pertarungan manusia melawan monster dengan latar siang hari, ditambah dengan pemakaian banyak wide shot, sehingga wujud para makhluk raksasa itu tampak jelas, dan tentu saja, masif. Pun meski cuma bermodalkan $60 juta, kualitas CGI-nya cukup mumpuni. Alhasil, serbuan Diablos si monster subterranean, hingga amukan naga penyembur api bernama Rathalos di klimaks, semua adalah wujud kejayaan kaiju blockbuster.
Anderson kali ini tidak asal melempar aksi. Pengadeganannya bukan sekadar "besar", pun memunculkan intensitas, tiap nyawa protagonisnya terancam, meski kita semua tahu ia bakal selamat. Selain film kaiju, Anderson juga menerapkan formula survival action-horror, khususnya di first act, tatkala Artemis, dengan tubuh penuh luka, masih belum sanggup balik melawan monster-monster yang menyerangnya. Jovovich masih bintang laga yang sangat bisa diandalkan, tampak meyakinkan kala membantai monster berukuran ratusan kali tubuhnya. Chemistry-nya dengan Jaa sayangnya gagal terjalin, di mana beberapa humor yang bertujuan menyegarkan suasana malah berakhir canggung. Bukan semata-mata kesalahan Jovovich atau Jaa. Naskahnya juga bertanggung jawab. Yah, apa pun yang berkaitan dengan naskah di film ini memang tidak pernah berakhir positif.
REVIEW - YANG TAK TERGANTIKAN
Yang Tak Tergantikan merupakan “drama rumah”, di mana hampir semua peristiwa berlatar sebuah rumah, membuat penonton hafal tiap sudutnya, sehingga rumah itu sendiri bak menjadi salah satu karakter. Biasanya meja makan kerap jadi sentral. Di situlah dinamika keluarga banyak terjadi, tempat segala masalah dan perasaan ditumpahkan (motif serupa dipakai film ini). Belakangan, gaya yang sering digunakan dalam drama klasik serta pertunjukan panggung ini sayangnya makin jarang ditemui, karena tendensi tontonan sekarang yang cenderung mengakrabi kompleksitas dan skala besar.
Keluarga yang akan kita kunjungi rumahnya adalah keluarga Aryati (Lulu Tobing), seorang ibu tunggal, yang selepas bercerai, menghidupi ketiga anaknya dengan bekerja sebagai sopir taksi daring. Membiayai sekolah anak, ditambah tagihan kontrakan yang sudah jatuh tempo, membuat perjuangan Aryati tidaklah gampang.
Ketiadaan sang ayah membuat si putera sulung, Bayu, mengambil peran "pria dalam keluarga", walau secara bersamaan ia dipusingkan oleh ancaman PHK dari kantor. Bayu adalah figur yang mengayomi, senantiasa mencoba berkepala dingin menghadapi tiap situasi. Ketimbang terjebak dalam interpretasi klise terhadap tokoh bijaksana (suara diberatkan, tempo bicara diperlambat, dan lain-lain), Dewa Dayana memilih pendekatan lebih natural yang membuat karakternya terasa nyata.
Dua adik Bayu masih duduk di bangku SMA. Ada Tika (Yasamin Jasem) yang memasuki fase remaja yang mulai memberontak dan ingin mengikuti tren, lalu Kinanti (Maisha Kanna), si bungsu yang cerdas dan penuh keingintahuan. Kedua aktris muda ini memperlihatkan chemistry solid sebagai dua saudari yang biarpun sering bertengkar, sejatinya saling menyayangi. Bukan hanya mereka, semua jajaran pemain film ini mampu menjalin ikatan kuat, berujung melahirkan interaksi-interaksi kaya. Terkadang hangat, terkadang menggelitik.
Sebagaimana seharusnya "drama rumah", fokus penceritaan didominasi dinamika internal para anggota keluarga. Ada kalanya sebuah "drama rumah" tak sekalipun membawa penonton mengunjungi latar lain, maupun bertemu karakter di luar lingkup keluarga. Naskah buatan Herwin Novianto (juga bertindak selaku sutradara) dan Gunawan Raharja (Jingga, 22 Menit) mungkin tidak "seekstrim" itu, tapi tetap berada di jalur serupa. Buktinya, tidak sekalipun kita melihat wajah ayah. Sebab bukan rupa ayah yang penting, melainkan dampak ketiadaan sosoknya.
Kelamahan naskah terletak pada penuturan yang episodik. Terkadang saya merasa seperti sedang menonton kumpulan film pendek atau serial yang dipaksa menyatu. Mungkin Herwin dan Gunawan berniat menyajikan keping-keping keseharian Aryati sekeluarga bak drama slice of life. Namun akibat banyaknya klimaks dan resolusi, saat klimaks dan resolusi berikutnya hadir, dampak emosinya tidak sekuat yang diharapkan. Itulah kenapa, tuturan slice of life identik dengan pendekatan low-key minim letupan.
Penyutradaraan Herwin Novianto juga tersandung soal penghantaran emosi, ketika terlalu berlebihan menggunakan musik. Sedikit saja intensitas meningkat, musik langsung terdengar. Padahal beberapa momen bisa lebih kuat jika tak diberi terlalu banyak "hiasan". Apalagi Yang Tak Tergantikan punya Lulu Tobing, aktris bertalenta yang saking jarangnya bermain film, tiap kemunculannya patut dirayakan. Monolognya soal sang mantan suami memang menyentuh, menunjukkan bagaimana ibu mengesampingkan ego demi buah hati. Tapi bagi saya, momen terbaiknya hadir saat Aryati mengonfrontasi Bayu terkait rahasia si sulung. Bagaimana Aryati alih-alih menyalahkan justru mengutarakan dukungan sebagai wujud nyata kasih ibu, dibawakan oleh Lulu dengan ketulusan luar biasa, yang menegaskan betapa ibu adalah sosok yang tak tergantikan.
Available on DISNEY+ HOTSTAR
REVIEW - SOBAT AMBYAR
Sobat Ambyar mungkin bukan tontonan keren bagi para cinephile pecinta
film yang “bagus-karena-tidak-semua-orang-bisa-menikmati”. Mereka mungkin
menyebut kisahnya cheesy dan romansanya dangkal. Tapi saya percaya,
mendiang Didi Kempot (juga bertindak selaku produser eksekutif) akan berbangga
hati, karena film ini sejalan dengan semangat yang selalu ia bawa sepanjang
karir legendarisnya. Dan sebagaimana mestinya suatu tribute, tak ada
pencapaian yang lebih tinggi daripada itu.
Di permukaan, film ini bak sekadar mengeksploitasi fenomena “Sobat
Ambyar”, yang membuat karya-karya Didi Kempot menjangkau telinga lebih banyak
pendengar selama beberapa tahun terakhir. Tapi mereka yang menaruh pandangan
sinis seperti itu, bahkan setelah menonton hasilnya, pasti bukan orang yang
sungguh-sungguh “mengenal” The Godfather of the Broken Hearted.
Alurnya mengenai Jatmiko (Bhisma Mulia), yang setelah
bertahun-tahun mengelola kafe bersama sahabatnya, Kopet (Erick Estrada), mulai
berpikir untuk gulung tikar akibat besarnya kerugian. Terlebih Jat (begitu ia
dipanggil), masih harus membiayai kuliah adiknya, Anjani (Sisca JKT48). Lalu
terjadilah pertemuan tak terduga dengan Saras (Denira Wiraguna). Meski awalnya
malu-malu, berkat kesempatan bernama “membantu mengerjakan skripsi”, Jat akhirnya
berhasil memacari Saras. Sampai bak petir di siang bolong, Saras meninggalkan
Jat demi pria lain. Dari situlah lagu-lagu milik Lord Didi mulai menemani
kegalauan hati Jat.
Saya tak bisa menyebut naskah buatan Bagus Bramanti dan Gea
Rexy (duet penulis Dear Nathan dan Yowis Ben) mengeksplorasi
dinamika percintaannya secara mendalam, namun fase manis hubungan Jatmiko-Saras
memang tampil menyenangkan, khususnya berkat dua pemain utama. Bhisma Mulia
sang debutan dengan puppy eyes, Denira yang memesona dan sesekali
bersikap flirty. Jatmiko bukan tipikal cowok keren, tapi bukan pula pecundang.
Bhisma membuat sikap penuh malu-malu serta kepolosan karakternya menjadi elemen
penunjang untuk melahirkan sosok likeable.
Alurnya sendiri ibarat fan service bagi para Sobat
Ambyar (yang juga merupakan nama fanbase Didi Kempot) yang gemar
meromantisasi getirnya patah hati. Dipenuhi situasi yang akan membuat mereka
merasa terwakili (beberapa adalah perwujudan dari lirik-lirik lagu sang
maestro), terlebih ketika kisah cinta tokoh utamanya mulai runtuh. Sayangnya
ada satu hal vital yang menghalangi dampak emosi pada konflik putus cintanya.
Benar bahwa Sobat Ambyar sengaja hadir hiperbolis di banyak aspek
termasuk romansa, tapi bukankah Saras terlalu tidak berperasaan dan kejam
hingga di titik mustahil terjadi? Bukan alasannya meninggalkan Jat, tetapi hal-hal
yang ia lakukan setelah itu.
Tentu saya paham, keputusan ini diambil mengingat para “pasukan
sakit hati” punya tendensi bersikap lebay dalam menyikapi putus cinta,
termasuk saat menganggap sosok yang meninggalkan mereka sebagai iblis keji. Tapi
di beberapa titik, cara naskahnya mengolah penokohan Saras terlampau
berlebihan, hingga melucuti kedekatan rasa terkait “kehilangan seseorang saat
sedang sayang-sayangnya”.
Tatkala eksekusi romansanya tidak begitu mulus, mengapa saya
menyebut film ini bakal membuat Didi Kempot bangga? Bukan cuma karena pemakaian
lagu-lagu beliau yang akan mendorong penonton untuk terus bertahan di depan
layar sampai kredit selesai bergulir, atau kemunculan singkat Lord Didi yang menimbulkan
rasa haru tersendiri, melainkan perihal semangat yang diusung.
Selain penghormatan bagi Didi Kempot, Sobat Ambyar juga
suatu penghormatan bagi unsur kedaerahan yang kerap dianggap norak, walau pada
kenyataannya, cenderung lebih bermakna, intim, dan mengandung nuansa
kekeluargaan hangat dibanding produk modern. Tengok saja perjalanan Jatmiko,
yang juga menyinggung soal bagaimana resep kopi tradisional warisan mendiang
orang tuanya, mengalahkan cita rasa kopi waralaba kekinian.
Silahkan lihat juga pemakaian Bahasa jawa di sini, yang bukan
logat medok murahan ala FTV. Di dalam pengadeganan mereka, Charles Gozali (Finding
Srimulat, Nada untuk Asa) dan Bagus Bramanti selaku duo sutradara, mampu
menyuntikkan semangat humor khas wong Jowo, yang sudah ditanamkan
sebagai pondasi oleh naskahnya. Kalimat dari mulut karakternya, bagaimana itu
diucapkan dan dalam situasi seperti apa, bagi orang Jawa seperti saya, terasa bak
cerminan keseharian. Berisik, bertenaga, tanpa “disaring”, dan sesekali
berlebihan. Rasanya seperti sedang berkumpul bersama teman-teman di angkringan
atau warung kopi (tentunya dengan penyesuaian agar tetap bisa dinikmati
penonton luas).
Terpenting, karena terjadi di sela-sela kegetiran percintaan,
komedinya menguatkan pesan soal “Mari tertawakan patah hati kita dan rayakan
ironi itu”, atau mengutip kalimat Lord Didi, “Dijogetin aja”. Jajaran aktornya
amat membantu, terutama Erick Estrada dan Asri Welas, yang sempurna menunjukkan
bagaimana memancing tawa dengan cara yang “sangat Jawa”. Penonton ibukota
mungkin tak tahu betapa pentingnya elemen tersebut, tapi bagi saya, yang sejak
kecil sudah familiar dengan lagu-lagu Didi Kempot, apa yang diberikan Sobat
Ambyar jelas patut diacungi jempol. Sugeng tindak Mas Didi, The
Godfather of the Broken Hearted.
Available on NETFLIX
REVIEW - PIECES OF A WOMAN
Pieces of a Woman dibuka oleh
adegan home birth dalam long take sepanjang kurang lebih 22
menit yang sudah ramai dibicarakan, selaku ajang unjuk gigi hampir tiap
departemen. Pertama, tentu saja sinematografi Benjamin Loeb, di mana kamera
sanggup mengikuti seluruh detail Mise-en-scène
yang dibangun sang sutradara, Kornél Mundruczó, guna melahirkan momen
senyata mungkin. Realisme yang mencengkeram atensi juga emosi penonton. Pun
efek spesial untuk membuat Vanessa Kirby tampak meyakinkan sebagai wanita yang
tengah menjalani persalinan, patut diberi pujian.
Momen tersebut
turut memperkenalkan kita pada performa kelas wahid Kirby, yang bakal membuat
penonton menahan napas, sembari merasakan sakit serta penderitaan karakternya.
Nantinya sang aktris memberi lebih banyak lagi. Tapi selain adegan persalinan
dan akting Kirby, apa lagi yang orang bicarakan tentang film ini? Saya rasa
tidak banyak, kalau bukan tidak ada. Selain karena dua elemen itu teramat
menonjol, dalam sisa durasinya, Pieces of
a Woman memang tak menawarkan hal spesial lain.
Bukan spoiler bila saya menyebut persalinan
itu tidak diakhiri dengan perayaan penuh suka cita. Hampir semua materi promosi
sudah mengungkap, bahwa Martha (Vanessa Kirby) dan Sean (Shia LaBeouf)
kehilangan bayi mereka. Kesalahan dilimpahkan kepada Eva (Molly Parker) selaku
bidan pengganti dadakan. Ibu Martha, Elizabeth (Ellen Burstyn), ngotot ingin
menjebloskan Eva ke penjara. Menurut Elizabeth, seseorang mesti disalahkan dan
menerima ganjaran. Martha tidak berpikiran sama.
Martha pun
melanjutkan hidup, kembali ke kantor walau orang-orang memberinya tatapan yang
berbeda. Naskahnya, yang ditulis oleh istri Mundruczó , Kata Wéber, berdasarkan
tragedi personal yang mereka alami, memaparkan luka si protagonis, yang
diperparah oleh banyaknya tekanan dari orang-orang di sekitarnya. Berkata ingin
membantu, sejatinya mereka cuma berniat memenuhi ego masing-masing. Keinginan
agar Martha membaik bukan sepenuhnya didasari kepedulian tulus, melainkan
karena cara Martha menangani duka membuat mereka tidak nyaman.
Mereka lupa (atau
malah tidak peduli?) kalau Martha-lah yang kehilangan kepingan-kepingan
dirinya. Luar biasa bagaimana Kirby mewujudkan duka karakternya. Duka yang
kerap membuat Martha nampak kosong, namun itu bukan wujud kelemahan. Dia rapuh,
tapi tetap berusaha bertahan dengan kokoh. Dia rapuh, tapi menolak hancur.
Bahkan, bisa dibilang, biarpun Martha yang paling menderita, ia juga yang
paling bisa menata diri. She’s a woman
with dignity. Mundruczó paham betul sebagus apa performa aktrisnya. Tidak
jarang latar musik maupun suara dihilangkan, guna membiarkan akting Kirby “berbicara
paling keras” di tengah kesunyian menyakitkan.
Bertolak belakang
dengan pendekatan realis Kirby, ada Shia LaBeouf, yang seperti biasa, punya
tendensi meledak-ledak. Menyaksikannya terasa melelahkan. Saya selalu
menganggap LaBeouf bak rekan seperguruan Nicolas Cage. Keduanya sama-sama gemar
tampil berlebihan. Bedanya, gaya hiperbola Cage cenderung menghibur, sementara
melihat LaBeouf menyiksa diri sendiri juga terasa menyiksa. The world where his characters live must be
a world where the sun don’t shine.
Kali ini bukan
seutuhnya kesalahan LaBeouf. Naskahnya berusaha terlalu keras menampilkan
situasi ekstrim. Tidak hanya Sean, nyaris semua tokoh pendukung di sekitar Martha
digambarkan bak villain. Apa pun yang
mereka lakukan selalu menyakiti Martha sekaligus memancing amarah penonton.
Metode itu efektif membuat kita mendukung Martha, tapi terlalu manipulatif,
untuk film yang dibuka melalui adegan yang dibuat dengan semangat menampilkan
realisme sekuat mungkin.
Anehnya, di saat
bersamaan Wéber seolah juga berusaha memanusiakan mereka, bahkan sempat
terkesan mendorong penonton menaruh simpati. Akhirnya saya malah tidak pernah
yakin harus merasakan apa, dan harus bersikap bagaimana terhadap mereka. Bisa
jadi Pieces of a Woman ingin bersikap
adil. Masalahnya, jika benar demikian, keputusan memanipulasi emosi penonton
sebagaimana saya sebut di atas, justru menjadi bumerang.
Selain emotionally confusing, juga membuang
waktu. Contohnya, daripada menaruh fokus pada Sean (yang terkesan ingin
menjustifikasi perbuatannya), kenapa tidak mengajak penonton menghabiskan waktu
lebih sering bersama Martha demi memperkuat keintiman cerita? Pieces of a Woman sejatinya dibuat berdasarkan
niat baik, namun sayang, keping-kepingnya gagal tersusun dengan baik. Tetap
saja, filmnya pantas disimak, semata demi akting Vanessa Kirby dan adegan persalinannya.
Available on NETFLIX
THE 20 BEST FILMS OF 2020
Ah, 2020. What a shitty year. Tahun yang mengacaukan industri perfilman. Tahun
yang membuat deretan tentpole movie milik
Hollywood sekalipun bertekuk lutut. Beberapa memundurkan jadwal tayang bahkan
hingga setahun, sisanya memilih beralih ke layanan streaming. Opsi kedua berpengaruh besar mengubah wajah industri. Pertanyaan
pra-rilis bukan lagi “Bakal seberapa tinggi pendapatan?” atau “Apakah ada rekor
yang berhasil pecah?”, melainkan “Bakal dirilis secara teatrikal atau streaming?”.
Otomatis, daftar ini pun didominasi oleh
film dari layanan streaming. Hanya tiga
dari total 20 judul yang saya saksikan di layar lebar (satu di antaranya
sebelum pandemi memuncak). Beberapa juga berasal dari festival, yang terpaksa
mengubah gelarannya secara daring. Mari berharap 2021 berjalan dengan lebih
baik. Biar bagaimana, pengalaman magis menonton film di bioskop takkan
tergantikan.
Berikut adalah “20 Film Terbaik 2020”
pilihan Movfreak. Sebagai catatan, beberapa judul di bawah sudah tayang di
beberapa tempat pada 2019, namun baru rilis di bioskop Indonesia, layanan streaming, atau festival pada 2020.
20) WONDER WOMAN 1984
Persetan dengan para SJW bitter yang mencari-cari celah untuk
mencela. Penceritaannya memang bloated, tapi
menyaksikan Wonder Woman 1984 di
bioskop bak obat rindu bagi pengalaman sinematik. (Available on HBO MAX)
19) JALLIKATTU
Bahkan sampai detik ini saya masih terbayang
oleh shot-shot menghantui dari
perwakilan India di ajang Academy Awards 2021 ini. Bagaimana amukan seekor
kerbau bisa disulap jadi tontonan intens sekaligus kritik sosial tajam, jelas
sebuah pencapaian. (Available on PRIME VIDEO)
18) THE VAST OF NIGHT
Mengingatkan pada episode-episode The Twilight Zone, The Vast of Night merupakan
suguhan fiksi-ilmiah berskala kecil, namun mengandung ketegangan tingkat
tinggi, pula misteri yang menggaet atensi. (Available on PRIME VIDEO)
17) CLOUDS
Sebuah tearjerker
sederhana yang bukan cuma mengeksploitasi penyakit dan penderitaan, namun
menghembuskan harapan. Lagu-lagunya pun emosional. (Available on DISNEY+
HOTSTAR)
16) BORAT SUBSEQUENT MOVIEFILM
Lucu, gila, tajam, berani. Seperti film
pertama, Borat Subsequent Moviefilm masih
akan membuat penontonnya bertanya-tanya, “Bagaimana mereka melakukan itu?
Apakah itu rekayasa?? Atau sungguhan???”. (Available on PRIME VIDEO)
15) ANOTHER ROUND
Memberikan twist untuk formula mengenai distant
dad/husband dan drama seputar alkoholisme, Another Round punya dinamika emosi bak menaiki roller coaster. (Available
on iTUNES)
14) JOHN DENVER TRENDING
Sentilan pedas nan tragis terhadap kultur
internet, khususnya media sosial. Sebuah film yang akan membuat anda geram
sepanjang durasi.
13) ON THE ROCKS
Sofia Coppola mengkritik tanpa kebencian,
memberi perspektif hopeful soal
cinta, yang tak menutup mata atas realita terkait seksisme para pria.
Orientasinya adalah kebahagiaan. (Available on APPLE TV+)
12) GET DUKED!
Get
Duked! secara mengejutkan adalah komedi terlucu yang saya tonton sepanjang tahun
lalu. Humornya beragam, dari satir hasil kesulitan komunikasi antar individu
beda kelas, sampai kebodohan ekstrim jajaran tokohnya. (Available on PRIME
VIDEO)
11) THE TRIAL OF THE CHICAGO 7
Menandai upaya Sorkin melahirkan karya yang lebih
bersahabat bagi kalangan penonton di luar penggemarnya, tanpa harus kehilangan
sentuhan khas. The Trial of the Chicago 7
pun memiliki relevansi tinggi untuk kondisi sekarang. (Available on NETFLIX)
10) BILL & TED FACE THE MUSIC
Petualangannya adalah hiburan tinggi sarat
kreativitas, tapi euforia musikal di klimaks yang mampu memancing tetesan air
mata itulah alasan saya menempatkan film ini di posisi 10 besar. (Available on KLIK
FILM)
9) DEMON SLAYER: KIMETSU NO YAIBA THE MOVIE: MUGEN TRAIN
Melanjutkan pencapaian serialnya, film ini menyajikan
parade keindahan visual yang dibarengi dengan cerita yang akan membuat masker
penontonnya basah kuyup. Tidak sabar menunggu musim kedua!
8) 1917
Di luar prestasi teknis luar biasanya, 1917 juga drama kemanusiaan berlatar
peperangan tanpa secara gamblang menyatakan itu. Ketimbang tentang
menghilangkan nyawa, ini adalah tentang menyelamatkan nyawa. (Available on HBO
GO)
7) THAPPAD
Thappad
melawan
patriarki bukan lewat tontonan sarat amarah atau dendam, melainkan kisah
humanis yang didasari cinta dan kepedulian. Satu lagi bukti kehebatan sineas
India merangkai isu sosial tajam yang bisa dinikmati seluruh kalangan. (Available
on PRIME VIDEO)
6) DICK JOHNSON IS DEAD
Sutradara Kirsten Johnson membahas perihal
mortalitas secara menggelitik namun juga penuh hati, dalam salah satu
dokumenter paling orisinal dalam beberapa waktu terakhir. (Available on NETFLIX)
5) SOUND OF METAL
Selain akting Riz Ahmed, tentu saja
kelebihan terbesar Sound of Metal adalah
terkait pemanfaatan tata suara sebagai media penyaluran emosi, memperlihatkan sejauh
mana film, sebagai media audiovisual, mampu dikemas. (Available on PRIME VIDEO)
4) SOUL
Soul adalah soal
keindahan. Keindahan yang efektif mengaduk-aduk emosi penonton, melalui
kualitas artistik, juga penceritaan yang mengambil perspektif berbeda dalam
memandang kehidupan. (Available on DISNEY+ HOTSTAR)
3) A SUN
Drama keluarga epik mengenai naik-turun
nasib manusia. Penuh cobaan, bahkan tragedi, namun tak membiarkan penonton
sepenuhnya tenggelam dalam jurang depresi dan kegelapan. (Available on NETFLIX)
2) THE ASSISTANT
The
Assistant minim (dan bukan) dramatisasi, bukan pula harapan mengenai dunia ideal,
melainkan jendela realita. Jendela yang mengajak penonton mengintip kenyataan
pahit nan menjijikkan terkait persoalan gender di dunia kerja. (Available on HULU)
1) PORTRAIT OF A LADY ON FIRE
Tatapan pria (male gaze) membunuh. Pada konteks dunia nyata, tatapan pria kerap menghancurkan
hidup wanita. Pada konteks film, tatapan pria kerap berujung
keputusan-keputusan artistik beraroma seksis. Persoalan tatapan ini yang disoroti
Portrait of a Lady on Fire, salah
satu romansa paling powerful, indah,
nan emosional dalam beberapa tahun terakhir. Semua karena film ini dibuat menggunakan tatapan wanita. (Available on HULU)
REVIEW - ANOTHER ROUND
As we’re getting older, we increasingly want
another shot, another round of the good old days. Masa mudah penuh
kejayaan itu memang wajar dirindukan, seiring pertambahan usia di mana
kebebasan diredam atas nama tanggung jawab. Kita semakin jarang melakukan hal
di luar rutinitas, semakin sedikit pula orang yang kita temui di luar lingkup
keluarga dan pekerjaan. Tanpa sadar, banyak dari kita menjadi sosok membosankan
yang terjebak di tengah krisis paruh baya.
Another Round, selaku perwakilan
Denmark di ajang Academy Awards 2021 (sekaligus salah satu unggulan utama di kategori
Best International Feature Film), membawa sutradara Thomas Vinterberg
bereuni dengan Mads Mikkelsen setelah The Hunt (2012), dalam
drama-komedi bittersweet mengenai fase hidup di atas. Mikkelsen
memerankan Martin, seorang guru sejarah yang kelasnya mampu membuat murid-murid
terserang kantuk. Dia mengajar tanpa hasrat. Sementara rumah tangganya dengan
sang istri, Anika (Maria Bonnevie), tak kalah dingin. Keduanya nyaris tidak berkomunikasi.
Hingga suatu malam, Martin beserta tiga
rekannya sesama guru, Nikolaj (Magnus Millang), Tommy (Thomas Bo Larsen), dan
Peter (Lars Ranthe) berkumpul, kemudian mendiskusikan tentang teori dari Finn
Skårderud, bahwa tubuh manusia mempunyai kadar alkohol lebih rendah 0,05% dari
seharusnya. Bila kadar itu terpenuhi, sang psikiater percaya, seseorang bakal lebih
kreatif dan santai dalam menjalani keseharian. Mereka berempat pun memutuskan
melakukan studi guna menguji teori itu.
Awalnya semua berjalan lancar. Performa
keempatnya meningkat. Martin mengajar dengan lebih kreatif. Jangankan para
murid, saya pun terhibur melihat metode baru sang guru. Tapi bisa ditebak,
perlahan segalanya bergerak di luar kendali. Justifikasi berkedok studi mulai
terjadi. Dari 0,05%, kadar alkohol yang diuji meningkat jadi 0,10%, dan
seterusnya. Apakah naskah buatan Vinterberg dan penulis langganannya, Tobias
Lindholm, mengutarakan pesan anti-alkohol? Tentu bukan. Apa pun (termasuk alkohol)
dapat membahayakan bila berlebihan, namun dengan kadar serta timing yang
tepat, hal itu justru dapat membantu.
Kerapuhan yang ditampilkan (melalui penampilan
kuat yang berpotensi mendaratkan nominasi Oscar perdana bagi sang aktor andai
film ini merupakan produksi Hollywood) Mikkelsen memastikan simpati penonton
terhadap Martin tak lenyap, tidak peduli sekacau apa kondisinya. Pun seburuk-buruknya
situasi, Another Round menolak melangkah ke ranah depresif. Vinterberg
dan Lindholm rutin melempar humor (kebanyakan berupa satir). Another Round merupakan
perjalanan 115 menit yang menggelitik, pula mengkhawatirkan, sebab saya memedulikan
protagonisnya, apalagi begitu ia mulai bisa menata ulang hidupnya. Saya
khawatir semuanya bakal kembali berantakan, yang mana pasti terjadi.
Jika diperhatikan, sejatinya film ini berisi
cerita familiar tentang ayah/suami yang tidak pernah “hadir”, ditambah paparan
soal alkoholisme. Faktor pembeda terletak pada “studi” yang tokoh-tokohnya
lakukan. Sehingga, sekitar 30 menit terakhir tatkala studi itu (terpaksa)
diakhiri, kisahnya sempat terjebak kesan formulaik. Sampai mendekati konklusi,
saat satu momen sederhana berhasil memancing kebahagiaan luar biasa, filmnya
kembali menemukan pijakan. Apalagi Another Round ditutup oleh tarian
penuh euforia dari Mads Mikkelsen, seolah menunjukkan kalau ia belum melupakan
ilmu-ilmu semasa belajar di akademi balet dahulu. What else do you need?
Available on iTunes
REVIEW - A SUN
Mendengar kesenduan musik buatan Lin
Sheng-xiang, rasanya tidak ada yang menyangka opening-nya bakal berujung pada peristiwa brutal penuh darah. Bahkan
karakternya pun takkan menyangka bahwa di situlah titik balik hidup mereka,
baik sebagai individu, maupun sebuah keluarga. Perwakilan Taiwan untuk gelaran
Academy Awards 2021 sekaligus penyabet enam piala di Golden Horse Awards 2019
(termasuk film terbaik) ini memang penuh kejutan, dalam paparannya soal
naik-turun kehidupan.
Peristiwa brutal di atas adalah ketika A-Ho
(Wu Chien-ho) bersama temannya, Radish (Liu Kuan-ting), memotong tangan seorang
pria di restoran. Walau sudah menimpakan mayoritas kesalahan pada Radish, A-Ho
masih harus mendekam di penjara remaja selama tiga tahun. Di luar, ibu A-Ho,
Qin (Samantha Ko), setia menguatkan sang putera. Sebaliknya, sang ayah, A-wen (Chen
Yi-wen), yang berprofesi sebagai instruktur di tempat kursus menyetir, begitu
marah hingga menolak mengakui A-Ho sebagai anak. A-wen memilih mencurahkan
perhatian kepada si sulung, A-Hao (Greg Hsu), yang sejak dulu dikenal
berprestasi.
Durasinya 156 menit. Cakupan kisahnya cukup
luas, dengan rentang waktu kurang lebih lima tahun dan jumlah karakter tidak
sedikit. Tapi berkat penulisan Chung Mong-hong (juga selaku sutradara) dan Chang
Yao-sheng, alurnya bergulir sangat rapi. Lompatan kisah antar tiap karakter
berlangsung mulus. Temponya jauh dari cepat, namun tidak stagnan dan terus
mengalir pasti. Pun penyutradaraan Chung Mong-hong yang disertai sensitivitas
tinggi bakal membuatmu terhisap dalam tiap momen, apalagi saat ia menaruh
kamera begitu dekat dengan wajah aktor guna memperkuat keintiman.
Sekilas A
Sun tampil bak air yang tenang bila dipandang dari permukaan. Tapi siapa
sangka, di dalamnya ada pusaran yang selalu siap kapan saja menarik kita hingga
ke palung terdalam. Berkali-kali kisahnya melempar twist, yang keberadaannya bukan gaya-gayaan semata, melainkan
menegaskan, betapa kita belum sepenuhnya mengenal karakternya. Betapa seseorang
belum tentu sepenuhnya mengenal segala sisi keluarganya.
Masalah bertubi-tubi mendera karakternya.
Bukan masalah sepele, karena beberapa di antaranya berkaitan dengan hidup dan
mati. Biar demikian A Sun bukan
suguhan yang mengeksploitasi kemalangan karakter. Bukan pula tontonan depresif yang
cuma tertarik menggiring kisahnya sekelam mungkin. A Sun memang menyampaikan bahwa tidak peduli sekeras apa pun usaha
kita bersembunyi, cobaan bakal terus menghampiri layaknya matahari yang pada
akhirnya menyinari semua tempat gelap. Tapi serupa matahari yang timbul dan
tenggelam, kesulitan (malam) akan berganti harapan (siang). A Sun tidak pernah menghilangkan cahaya
harapan.
Pendekatan itu menghasilkan dampak menarik
terhadap musiknya. Kuantitas gubahan Lin Sheng-xiang tidak banyak, namun satu
musik dapat memberi kesan beragam. Sekilas, semuanya terdengar melankolis. Tapi
di suatu kesempatan, melankoli itu sarat kedamaian, sementara di kesempatan
lain terasa pilu, bahkan tragis.
Performa jajaran pemainnya jadi keping
pelengkap. Hampir semua tokoh menyimpan rahasia. Memiliki dualitas. Dan
kompleksitas dinamika psikis tersebut mampu dihidupkan dengan kuat nan alami
oleh para cast. Pujian khsus patut
diberikan kepada Chen Yi-wen (memenangkan kategori Best Leading Actor di Golden Horse Awards). Nyaris sepanjang
durasi, A-wen digambarkan keras, kaku, dan cenderung egois. Tapi begitu tabir-tabir
mengenai dirinya mulai tersingkap, saya bisa merasakan tipikal figur ayah dari
akting sang aktor. Ayah yang tidak peduli sekeras apa pun, sesungguhnya selalu
siap membantu anaknya, meski itu dilakukan dari balik bayang-bayang.
Available
on NETFLIX
8 komentar :
Comment Page:Posting Komentar