REVIEW - THE DEVIL'S BATH
The Devil's Bath adalah salah satu horor paling segar dalam beberapa waktu terakhir. Kengerian milik wakil Austria di Academy Awards 2025 ini bukan berasal dari perihal supernatural, melainkan jurang kultural yang penonton rasakan tatkala mengamati hal-hal yang dianggap normal lebih dari tiga abad lalu.
Alkisah, perempuan bernama Agnes (Anja Plaschg) baru saja menikahi laki-laki dambaannya, Wolf (David Scheid). Pesta berlangsung meriah, kerabat dari kedua belah pihak nampak berbahagia, dan senyum bak menolak luntur dari wajah Agnes. Dia bakal menghuni rumah baru yang Wolf beli dengan seluruh tabungannya plus sedikit pinjaman, tanpa sepengetahuan Agnes. Tanda bahaya pertama pun muncul.
Tapi yang kita tengah saksikan adalah tahun 1750-an. Gagasan feminisme masih jauh dari konsepsinya. Keputusan Wolf mengganggu Agnes, tapi siapa yang menganggap itu kekeliruan? Hal tersebut belum seberapa. Di sela pesta pernikahan, Wolf dan teman-teman bersenang-senang dengan memukuli ayam, sementara Agnes memperoleh hadiah jimat keberuntungan dari kakaknya. Agnes amat bahagia dan menggenggamnya dengan penuh syukur. Jimat itu adalah sepotong jari pelaku pembunuhan bayi yang dihukum pancung.
Naskah buatan dua sutradaranya, Veronika Franz dan Severin Fiala (Goodnight Mommy), memakai buku Suicide by Proxy in Early Modern Germany: Crime, Sin and Salvation karya Kathy Stuart sebagai patokan terkait gambaran masyarakat masa lalunya. Sekali lagi, tidak ada hantu, penyihir, atau kambing yang bertingkah bak kerasukan setan. Kengerian bersumber dari perspektif serta kepercayaan yang dianut pada masa itu.
Inilah masa di mana depresi dianggap sebagai ulah setan, sementara melankoli dalam hati disingkirkan dengan cara menjahit rambut kuda ke tengkuk, lalu menarik rambut itu berulang-ulang hingga bekas jahitan mengeluarkan nanah, yang dipercaya dapat "mengeluarkan racun". Sinematografi garapan Martin Gschlacht, juga musik gubahan Anja Plaschg, berjasa mencuatkan nuansa horor folk dari ragam situasi yang dirasa janggal oleh masyarakat modern tersebut.
Tapi horor paling menyeramkan bagi Agnes dihadirkan oleh si ibu mertua (Maria Hofstätter), yang amat sering berkunjung, dan tak pernah lelah mengkritik si menantu dengan segala bentuk komentar menyakitkan. Bahkan lokasi menggantung panci saja ia permasalahkan. Seiring waktu Agnes semakin tertekan, dan Anja Plaschg menggambarkan kehancuran batin tersebut dengan amat menyakitkan. Tawa bercampur teriakan dan ratapan yang ia perlihatkan di penghujung durasi sungguh meremukkan perasaan.
Usai menonton The Devil's Bath, saya berujar dalam hati, "Apakah kelak bakal terjadi hal serupa, di mana orang-orang dari tahun 2300-an memandang kita sebagai masyarakat terbelakang nan menyeramkan tatkala menonton film mengenai era 2000-an?" The Devil's Bath ibarat pengingat untuk memperbaiki diri supaya sejarah tak merekam (terlalu banyak) sisi kelam kita.
(Klik Film)
REVIEW - THE ACCOUNTANT 2
Berbeda dengan film pertamanya, The Accountant 2 aksi thriller metodis yang elegan. Mengikuti formula sekuel khas industri sinema arus utama, Gavin O'Connor dan Bill Dubuque yang masing-masing kembali menempati posisi sutradara dan penulis naskah, menyusun suguhan yang lebih besar pula berisik, membawanya ke ranah buddy action dengan bumbu komedi guna memuaskan penonton sebanyak mungkin. Lebih menghibur, tapi lebih generik.
Berawal dari kematian misterius Raymond King (J. K. Simmons) selaku mantan direktur FinCEN (Financial Crimes Enforcement Network), sang penerus, Marybeth Medina (Cynthia Addai-Robinson), melakukan penyelidikan yang membawarnya bersinggungan dengan Christian Wolff (Ben Affleck) alias "Si Akuntan". Dua individu yang sejatinya saling berseberangan ini memilih menyatukan kekuatan.
Sekilas tiada perbedaan signifikan dibanding film pertama. Setidaknya hingga Braxton (Jon Bernthal), adik Christian, turut terlibat, lalu mendorong tone filmnya ke arah yang jauh lebih ringan ketimbang pendahulunya. Tiada lagi suasana dingin yang elegan, baik dari departemen artistik maupun gaya bertuturnya. Dinamika kakak-beradik disfungsional tersebut dipakai oleh naskahnya untuk menciptakan aksi tukar kelakar ala buddy comedy.
Bila tujuannya adalah meningkatkan nilai hiburan, maka The Accountant berhasil mencapai itu. Rumus spesial tidaklah diperlukan. Cukup ikuti formula paten subgenrenya, yakni menyatukan dua figur dengan kepribadian berlawanan: Christian si pengidap autis cenderung dingin dan kaku, sedangkan Braxton lebih meledak-ledak. Ditunjang chemistry solid Affleck dan Bernthal, tawa pun senantiasa mengisi sudut cerita.
Di satu titik, Christian memerlukan bantuan Justine (Allison Robertson) bersama sekelompok anak kecil penderita autis guna meretas informasi yang bahkan tak sanggup ditemukan oleh pihak berwajib. Mereka meretas beraneka ragam benda elektronik di rumah seseorang semudah kita mencari data di Google. Pada momen yang mampu menghibur karena tidak ragu tampil over-the-top itulah, The Accountant 2 sepenuhnya membuang jejak keseriusan film pertama.
Sayang, daya hiburnya melemah tiap kali naskahnya berusaha untuk bercerita. Gaya tutur Bill Dubuque yang seolah memegang prinsip "semakin kompleks, semakin cerdas" justru kurang sinkron dengan upaya The Accountant 2 menyajikan hiburan ringan. Naskahnya membuat kasus yang sejatinya amat sederhana terkesan seperti konspirasi semrawut.
Pun apabila kita mengesampingkan dinamika Christian-Braxton, gelaran aksi film ini dieksekusi secara luar biasa generik oleh Gavin O'Connor. Sentuhan unik pencak silat yang membuat film pertamanya menonjol seketika lenyap, digantikan oleh baku tembak ala film aksi kelas B, yang di saat bersamaan membuat penokohan Christian selaku pengidap autis jenius tak lagi menyisakan signifikansi. Well, setidaknya banyak penonton tertawa sepanjang durasi bukan?
REVIEW - SAH! KATANYA...
Bayangkan dinamika keluarga ala Bila Esok Ibu Tiada (2024) selaku konflik sentral, dipresentasikan memakai sampul humor absurd layaknya Mekah I'm Coming (2019). Begitulah Sah! Katanya..., yang jika dilihat dari permukaan hanya nampak seperti satu lagi komedi lokal kelas dua, tapi ternyata ia adalah kontender kuat peraih gelar "film Indonesia terlucu tahun ini".....setidaknya bagi mereka yang tidak teralienasi oleh gaya melucunya.
Tidak semua orang akan cocok dengan humor film yang disutradarai oleh Loeloe Hendra Komara (Tale of the Land) ini. Beberapa mungkin menyebutnya "aneh" atau bahkan "garing", tapi mereka yang familiar dengan gaya bercanda "gojek kere" khas sirkel tongkrongan Jawa (terutama Yogyakarta), bisa jadi bukan cuma menikmati, bahkan merasa terwakili seleranya.
Di atas kertas kisahnya terdengar amat serius, kalau tak mau disebut memilukan. Marni (Nadya Arina), si anak bungsu dari sebuah keluarga besar, mendapati hubungannya dengan Adi (Calvin Jeremy) menemui jalan buntu. Adi adalah laki-laki baik. Terlalu baik malah, sampai uang yang ia janjikan bakal ditabung sebagai biaya hidup mereka setelah menikah kelak justru sering dipakai untuk membantu masalah finansial orang-orang lain di sekitarnya.
Kemampuan Adi mengatur skala prioritas memang amat buruk. Sewaktu upayanya memperkenalkan diri ke ayah Marni, Dipo (Landung Simatupang), kembali berujung kegagalan, Adi hanya berujar "Nanti kubetulin". Itulah kata-kata sakti yang selalu terlontar dari mulutnya tiap dihadapkan pada masalah, tanpa sadar bahwa mungkin saja tak ada lagi kata"nanti" untuknya.
Benar saja, ayah Marni tiba-tiba meninggal, lalu berwasiat bahwa si putri bungsu mesti menikah di depan jenazahnya dengan Marno (Dimas Anggara). Dipo memiliki utang menggunung kepada ayah Marno, dan pernikahan ini jadi cara melunasinya. Masyarakat kita dengan budaya ketimuran yang konon menjunjung tinggi adat dan nilai kekeluargaan memang lalai menyadari bahwa "sekarat atau meninggal bukan alasan untuk bisa bersikap berengsek".
Marni yang tertekan karena mesti menikahi laki-laki yang tidak terlalu ia kenal, masih harus menghadapi polah kakak-kakaknya yang mendadak ingin terlihat berbakti walau selama ini jarang pulang ke rumah. Sekali lagi, di atas kertas segala problematika di atas terdengar luar biasa berat nan serius. Tapi "keseriusan" merupakan sesuatu yang sebisa mungkin dijauhi oleh naskah buatan Dirmawan Hatta, Sidharta Tata, dan Loeloe Hendra Komara dalam menuturkan ceritanya.
Naskahnya selalu menemukan celah untuk menyelipkan lawakan absurd serba over-the-top di tengah situasi seserius apa pun. Entah berupa celetukan-celetukan dari karakter Paklik Kusno (Susilo Nugroho aka Den Baguse Ngarso) yang sesekali menyerempet ranah komedi gelap, tingkah menggelikan sekaligus menyebalkan Adi yang tak menampakkan ketegasan, maupun barisan polah di luar nalar para karakter pendukung.
Di sini kita bakal berkenalan dengan satu karakter, yang saking tidak kuatnya menahan stres, ia secara tiba-tiba berjungkir balik di depan orang-orang. Seaneh itu. Loeloe Hendra Komara menangani segala keabsurdan situasinya dengan energi luar biasa, layaknya sedang melempar guyonan di depan kawan-kawan satu sirkelnya sembari bersantai menikmati kopi di angkringan atau kafe sederhana.
Beberapa humornya begitu aneh sehingga kedatangannya sulit diduga, sedangkan beberapa di antaranya malah sebaliknya, sangat bisa ditebak, terutama running joke terkait cara Pak RT berkomunikasi dengan warga. Tapi ketepatan timing dan metode penyuntingan berperan menjaga kelucuannya, dan di sisi lain, ekspektasi kala menantikan hadirnya suatu banyolan yang sudah kita nantikan justru meningkatkan daya bunuhnya.
Menarik mengamati dinamika antara Adi dan Marno. Calvin Jeremy tampil total menghidupkan karakter yang memang bukan ditujukan untuk mengambil hati penonton. Kita justru diarahkan untuk meragukan sosoknya, yang terlampau tenggelam dalam kesedihan sendiri, hingga lupa kalau sang kekasih, Marni, jauh lebih menderita.
Di sisi lain ada Dimas Anggara, berbekal karisma yang memudahkan kita untuk mendukung Marno beserta kemampuannya menaruh simpati kepada Marni. Tapi ada satu masalah. Keputusan menggiring penonton berdiri di belakang Marno terkesan seperti cara filmnya bermain aman dalam menyikapi isu mengenai perjodohan paksa guna memenuhi wasiat sebagai wujud bakti anak. Daripada mengkritisi, Sah! Katanya... cenderung menjustifikasi, dengan mendesain karakter Marno sebagai figur yang lebih baik bagi Marni.
REVIEW - DROP
Sebagaimana pencapaiannya di Happy Death Day (2017) beserta sekuelnya, Happy Death Day 2U (2019), juga Freaky (2020), Christopher Landon tidak berambisi melahirkan karya pengguncang genre atau presentasi serebral melalui film terbarunya ini. Drop "cuma" diniati untuk tampil sebagai thriller yang digarap secara solid. Tapi bukankah ada kalanya memang hanya itu yang kita butuhkan?
Violet (Meghann Fahy) adalah terapis yang kini hidup berdua bersama putranya, Toby (Jacob Robinson), selepas kematian sang suami yang dahulu kerap melakukan tindak kekerasan terhadapnya. Setelah beberapa waktu, ia memutuskan untuk kembali membuka hati. Sementara Toby berada di bawah pengawasan sang adik, Jen (Violett Beane), Violet melakoni kencan perdana bersama Henry (Brandon Sklenar) di suatu restoran mewah yang terletak di lantai atas gedung pencakar langit.
Kencan perdana tidak pernah mudah, apalagi bagi individu yang masih menyimpan trauma atas hubungan di masa lalu seperti Violet. Dia sadar betul akan potensi terjadinya kekacauan, namun tak mengira bahwa masalah yang hadir bakal menyangkut hidup dan mati. Semua dipicu oleh meme yang Violet terima dari pengirim tak dikenal, yang kontennya semakin lama semakin meresahkan.
Siapa pelakunya? Apakah Henry si teman kencan yang di permukaan nampak sempurna ternyata menyembunyikan rahasia? Cara (Gabrielle Ryan Spring) si bartender yang terlihat ramah? Matt (Jeffery Self) si pelayan menyebalkan yang baru menjalani hari pertamanya bekerja? Phil (Ed Weeks) si pianis genit? Connor (Travis Nelson) yang nampak mencurigakan karena terus bertabrakan dengan Violet? Atau malah Richard (Reed Diamond) yang sedang menjalani kencan buta yang kacau?
Naskah buatan Jillian Jacobs dan Chris Roach mampu menjalankan tugas untuk menggiring penonton terus bertanya-tanya hingga momen penyingkapan fakta di babak akhir. Bukan sebatas tentang "who?", pula "why?". Drop yang menempatkan Violet, si perempuan berambut pirang biasa (bukan agen rahasia atau pegawai pemerintahan yang menyimpan rahasia negara) dalam sebuah situasi misterius nan luar biasa, seketika mengingatkan pada karya-karya Alfred Hitchcock.
Sebagaimana Hitchcock gemar lakukan di banyak karyanya pula, Drop memilih "mengurung" si protagonis di satu lokasi, membuat skalanya tidak terlalu besar guna menjaga ketahanan intensitasnya, sebelum meningkatkannya di babak ketiga. Klimaksnya mungkin terkesan berlebihan akibat beralih terlampau jauh dari konsep yang telah dibangun sebelumnya, tapi eskalasi tersebut memang dibutuhkan bila Drop ingin mengatrol intensitasnya di babak puncak.
Landon dan tim sebenarnya belum mampu menghasilkan tontonan mencekam yang membuat penonton terpaku di kursi mereka, namun di sisi lain, Drop juga tidak pernah terasa tak bertaring. Naskahnya secara konsisten menyuplai hal menarik, entah terkait upaya Violet mengakali sosok misterius yang menerornya, ancaman yang mendadak hadir, atau beberapa selipan twist.
Mengingat sumber terornya berasal dari gadget modern, keputusan Landon untuk menangani Drop dengan pendekatan penuh gaya pun terasa tepat guna. Deretan trik visual dan penyuntingan banyak diterapkan. Apakah semua itu membantu menguatkan intensitas? Mungkin tidak, tapi suguhan yang tak sekalipun terasa membosankan dan monoton berhasil diciptakan.
Jajaran pemainnya tampil kuat, terutama Violett Beane dengan comic timing-nya dan Meghann Fahy sebagai individu cerdik yang menolak untuk sepenuhnya runtuh meski dikuasai kecemasan. Penonton pun dimudahkan mendukung segala prosesnya, baik terkait usaha keluar dari situasi berbahaya di restoran, maupun membuka lembaran baru dalam hidupnya, sembari meruntuhkan stigma buruk yang acap kali masyarakat sematkan kepada janda.
REVIEW - UNTIL DAWN
Modifikasi yang Until Dawn terapkan berpotensi menyebabkan perdebatan di antara pecinta game berjudul sama yang jadi sumber adaptasinya. Tapi keputusan kontroversial itu turut berjasa menjadikan karya horor pertama David F. Sandberg sejak Annabelle: Creation (2017) ini sebagai salah satu adaptasi video game paling menghibur, sebab tujuan utama yang diusung adalah melakukan pendekatan unik terhadap formula film horor.
Lima muda-mudi melakukan perjalanan melintasi hutan. Clover (Ella Rubin), Max (Michael Cimino), Nina (Odessa A'zion), Megan (Ji-young Yoo), dan Abel (Belmont Cameli) memulai misi untuk menemukan Melanie (Maia Mitchell), adik Clover yang sudah setahun menghilang. Pencarian menemui jalan buntu, hingga mereka menemukan sebuah kabin di tengah kota pertambangan bernama Glore Valley yang telah lama ditinggalkan.
Tidak butuh waktu lama bagi naskah buatan Gary Dauberman dan Blair Butler untuk menunjukkan modifikasi terhadap formula klise "kabin di tengah hutan", ketika satu per satu karakternya tewas di tangan sesosok pembunuh bertopeng, sebelum akhirnya hidup kembali dan mesti mengulangi hari, sementara kematian senantiasa mengejar mereka. Kondisi itu akan terus terulang selama para protagonisnya belum memecahkan misteri seputar Glore Valley.
Plot yang ditawarkan sejatinya tipis, setidaknya hingga pertengahan durasi di mana Until Dawn menerapkan pola penuturan layaknya sajian slasher. Keunggulan yang ditawarkan terletak pada metode kematian yang selalu berganti dalam setiap pengulangan waktu. Until Dawn punya opsi cara membunuh tak terbatas, yang untungnya bisa dimanfaatkan guna melahirkan beberapa adegan kematian kreatif nan brutal.
Kuncinya adalah keengganan memakai hanya satu jenis "sumber maut". Berbekal konsep yang mengingatkan ke The Cabin in the Woods (2011), Until Dawn menjadi "hoserba" (horor serba ada) yang menggabungkan sosok-sosok seperti pembunuh bertopeng ala slasher, penyihir, raksasa, boneka setan, dan tentunya monster bernama Wendigos yang menjadi ciri khas game-nya. Bahkan air pun dapat menghadirkan kematian tak terduga di sini.
Tapi jangan dulu mengharapkan eksplorasi konsep secerdas The Cabin in the Woods. Dauberman dan Butler masih cenderung keteteran menangani world-building unik dalam naskahnya. Masih banyak pertanyaan-pertanyaan dasar 5W1H yang gagal dijabarkan secara layak oleh kedua penulis.
Untungnya di kursi sutradara, David F. Sandberg belum kehilangan sentuhannya perihal mengolah intensitas, termasuk melalui deretan jumpscare yang cukup efektif menggedor jantung. Satu hal yang agak disayangkan adalah keputusannya meredupkan pencahayaan secara berlebihan di babak akhir. Ketika penonton sulit mengidentifikasi peristiwa di layar, otomatis ketegangan juga sukar dihadirkan.
Until Dawn turut menampilkan pembahasan mengenai emosi negatif manusia, terutama yang erat kaitannya dengan rasa takut dan duka. Upaya kelima protagonis kita untuk kabur dari lingkaran waktu sendiri merupakan representasi dari proses mereka beranjak dari rangkaian emosi negatif tersebut. Sampai di satu titik, kematian tak lagi sebegitu mengerikan, dan mereka bersedia menyambutnya dengan tangan terbuka.
Penceritaan di atas mungkin tak pernah benar-benar melahirkan drama dengan bobot emosi besar, namun tidak pula berakhir hambar berkat penampilan solid jajaran pemainnya. Tatkala barisan muda-mudi di banyak film serupa tidak lebih dari seonggok daging yang menanti untuk dijagal, lima pelakon muda di Until Dawn mampu memberikan kepribadian bagi tiap-tiap karakter yang membuat proses mereka mengulangi ajal masing-masing menyenangkan untuk diikuti.
REVIEW - PENGEPUNGAN DI BUKIT DURI
Pengepungan di Bukit Duri dibuka oleh adegan kerusuhan yang berujung pada pemerkosaan siswi bernama Silvi (Sheila Kusnadi). Secara tidak sadar saya mengharapkan sesosok pahlawan tiba-tiba hadir menjadi penyelamat. Mungkin saya terjebak dalam ilusi sinema yang kerap meniadakan kemustahilan, atau semata karena Joko Anwar sebelumnya pernah membuat Gundala. Tapi tak satu pun pahlawan datang. Joko ingin mengajak kita melihat wajah realita sarat ketidakberdayaan, seburuk apa pun rupanya.
Latarnya adalah Indonesia versi alternatif di tahun 2027, selang 16 tahun pasca kerusuhan di atas, yang serupa dengan peristiwa 1998 di kehidupan nyata. Masyarakat terbelah oleh rasisme terhadap etnis cina yang dinormalisasi. Bahkan sekelompok siswa SMA dengan santainya mengeroyok seorang pemuda Cina dalam kegiatan yang mereka sebut sebagai "berburu babi".
Tata suara atmosferik turut membantu terciptanya suasana mencekam di dunia distopia tersebut. Joko pun kembali membuktikan kepiawaian memilah musik, kala menyatukan lagu dari nama-nama seperti Tony Merle dan Negative Lovers, yang seolah menyuarakan betapa kelam hati masyarakat, terutama kaum marginal yang terpaksa hidup di dunia film ini.
Lalu kita bertemu dengan sang protagonis, Edwin (Morgan Oey), adik dari Silvi yang setelah dewasa memilih profesi sebagai guru. Dia baru saja ditunjuk menjadi guru pengganti di SMA Bukit Duri yang khusus menangani murid-murid bermasalah. Tapi Edwin punya misi rahasia, yakni mencari anak Silvi yang telah bertahun-tahun tak diketahui keberadaannya. Edwin curiga bahwa Kristo (Endy Arfian) adalah anak yang ia cari.
Tapi pencarian tersebut tak berlangsung mulus, salah satunya akibat penolakan dari para siswa rasis yang dipimpin oleh Jefri (Omara Esteghlal). Jefri memberontak, namun Edwin menolak terlihat lemah dan segera menegaskan otoritasnya selaku guru yang semestinya dihormati oleh para murid, serta mampu mendidik mereka. Pengepungan di Bukit Duri memang memberi gambaran tentang "pengaruh". Tatkala figur-figur seperti guru dan ayah (kebanyakan siswa bengal di Bukit Duri membenci ayah mereka) gagal menularkan pengaruh positif, anak pun bakal kehilangan pegangan.
Nantinya kerusuhan kembali pecah, dan di saat bersamaan, Edwin terkurung di sebuah ruangan bersama Kristo, murid lain bernama Rangga (Fatih Unru), dan Diana (Hana Malasan) selaku guru sekaligus konselor sekolah, sementara Jefri dan rekan-rekannya menunggu di luar untuk melangsungkan serangan. Di satu titik, Edwin meminta Jefri menyuruh teman-temannya mundur sejenak. Meski tetap diiringi sumpah serapah, toh anak-anak itu menuruti perintah Edwin. Andai ada figur yang sejak dini mendidik dan mengontrol mereka dengan baik.
Joko menolak bermain aman dengan sekadar menyusun filmnya dengan peristiwa-peristiwa yang bertujuan menyulut amarah. Dia pun mendorong penonton untuk berkontemplasi. Misal ketika Kristo dipukuli oleh geng Cina, atau sewaktu kehadiran Diana di bar pecinan disikapi sinis oleh Vera (Shindy Huang) si bartender yang sebelumnya bersikap amat suportif kepada Edwin. Apakah itu berarti rasisme terjadi secara dua arah? Mungkin saja, tapi di saat yang satu murni dilandasi kebencian tanpa dasar, satunya dipicu oleh trauma berkepanjangan. Tidak ada hitam-putih di sini.
Seluruh jajaran cast yang mayoritas diisi oleh talenta muda bermain apik, tapi harus diakui bahwa Morgan Oey dan Omara Esteghlal tampil paling menonjol. Luapan emosi Morgan, terutama di paruh akhir filmnya, bakal menghancurkan perasaan tiap penonton, sedangkan Omara mampu menciptakan kompleksitas. Sosoknya mudah dibenci, namun di lain sisi, luka yang senantiasa menghiasi raut wajahnya turut memantik rasa kasihan. Jefri merupakan pengingat akan siklus tanpa ujung yang dibawa oleh kekerasan.
Satu karakter lagi yang menarik perhatian saya adalah Kristo si murid jago lukis. Talentanya seolah terkubur di kelas yang cenderung memandang remeh pelajaran seni. Kondisi tersebut bak miniatur bangsa. Pengepungan di Bukit Duri melempar pernyataan bahwa ketika seni dianggap sebelah mata, dihancurkan (sebuah close-up menunjukkan pensil yang diinjak), atau disalahgunakan (pensil yang sama dipakai untuk melukai manusia), maka suatu bangsa telah sedemikian hancur dan kehilangan jiwanya.
Film ini tidak sempurna. Intensitasnya sempat mengendur dan sedikit terkesan repetitif kala protagonisnya menghadapi pengepungan, tapi ada jauh lebih banyak pencapaian untuk dikagumi ketimbang meratapi kekurangannya. Misal bagaimana Joko, yang seolah mempelajari ilmu menyusun ketegangan dari Alfred Hitchcock, memilih menyajikan momen ringan penuh humor menggelitik tepat sebelum karakternya memasuki lubang neraka yang mencekam, demi menciptakan kontradiksi yang menguatkan intensitas.
Tapi pencapaian terbesar Joko di sini adalah terkait penyutradaraan. Pengepungan di Bukit Duri adalah film di mana pengarahan seorang Joko Anwar mencapai titik termatangnya sejauh ini. Dibantu oleh tata kamera olahan Ical Tanjung yang bergerak begitu dinamis tanpa batasan, Joko mampu menjaga supaya banyaknya kuantitas adegan aksi tidak kemudian melahirkan banyak momen serba tanggung nan canggung.
Jika boleh sedikit menyederhanakan, babak ketiga film ini ibarat "The Raid versi street fight, tanpa keindahan gerak silat". Khususnya perkelahian Edwin melawan Jefri yang mengambil latar toilet dan lorong sekolah. Disokong oleh koreografi buatan Muhammad Irfan yang sanggup menghadirkan "kekacauan terstruktur", kedua karakter bertarung habis-habisan, saling serang memakai barang apa pun yang bisa digapai.
Begitu banyak hal terjadi, begitu banyak poin hendak disampaikan, begitu banyak pula individu dari beragam latar belakang yang terlibat dalam kisahnya. Tapi coba perhatikan, dari sekian banyak individu, ada satu pihak yang tak pernah menampakkan batang hidungnya: pemerintah. Joko memberikan pernyataan lantang mengenai kegagalan pemerintah bukan dengan "menunjukkan", tapi dengan "meniadakan".
REVIEW - SINNERS
Banyak blockbuster terasa hampa karena sebatas memikirkan soal cara mempertontonkan spektakel. Tidak keliru, namun Sinners selaku karya orisinal pertama dari Ryan Coogler menunjukkan bahwa ada metode pendekatan berbeda, di mana penceritaan dan penokohan ditempatkan di garis depan, terlebih dahulu dipatenkan sebelum melompat ke upaya menghibur penonton.
Mengambil latar Mississippi tahun 1932, Sinners memperkenalkan kita pada dua saudara kembar, Smoke dan Stack (Michael B. Jordan dalam peran ganda), yang kembali ke kampung halamannya. Nama keduanya sudah begitu masyhur sebagai mafia yang pernah bekerja bagi Al Capone, dan kini mereka pulang untuk memulai bisnis baru, tanpa menyadari bahwa sebuah kekuatan jahat tengah bersiap melepaskan terornya ke seisi kota.
Kekuatan jahat itu mengambil wujud sekelompok vampir, namun serupa yang dilakukan oleh Quentin Tarantino di From Dusk till Dawn (1996), naskah buatan Coogler menyimpan aksi para makhluk pengisap darah tersebut hingga paruh kedua cerita. Sebelumnya, Coogler dengan penuh kesabaran, menata "panggung" yang bakal melatari konflik utamanya, mengumpulkan orang-orang yang akan terlibat, sembari menyusun latar belakang masing-masing dari mereka.
Smoke dan Stack berniat membangun juke joint bagi orang-orang kulit hitam yang tak mendapat ruang bersenang-senang akibat cengkeraman warga kulit putih. Keduanya berpencar guna mengumpulkan nama-nama yang dirasa bisa berkontribusi: Sammie (Miles Caton) si adik sepupu yang piawai memainkan gitar; Delta Slim (Delroy Lindo) si musisi legendaris setempat; Cornbread (Omar Benson Miller) si penjaga keamanan; Bo dan Grace Chow (Yao dan Li Jun Li) yang menyediakan makanan; juga Annie (Wunmi Mosaku) yang memiliki kisah masa lalu dengan Smoke. Mary (Hailee Steinfeld) si gadis kulit putih yang dahulu memadu kasih dengan Stack pun turut terlibat.
Apa yang Smoke dan Stack lakukan mengingatkan pada film-film berisikan ensemble cast di mana protagonis merekrut deretan individu dengan kemampuan khas masing-masing untuk membuat tim super. Bedanya, Sinners memakai juga fase tersebut sebagai media memperkenalkan isu rasisme yang masing-masing pernah alami. Coogler secara cerdik memanfaatkan interaksi karakternya, menyelipkan sekelumit kisah mereka, selaku cara membangun latar belakang yang efektif.
Penonton pun dibuat betul-betul mengenal tiap tokoh, menganggap mereka sebagai manusia yang utuh, sehingga sewaktu teror akhirnya pecah, terasa ada sesuatu yang dipertaruhkan. Untungnya mereka masih sempat merasakan berpesta di juke joint milik Smoke dan Stack. Bernyanyi, menari, menikmati musik blues, menenggak alkohol, bahkan menemukan cinta bagi beberapa yang cukup beruntung. Berkat pembangunan latar belakang yang kuat, pesta tersebut tak terkesan sebagai hedonisme hampa, melainkan perayaan kebebasan diiringi teriakan kebahagiaan dari manusia-manusia yang disudutkan.
Di sekuen pesta itu pula Coogler mempersembahkan sebuah momen magis yang menjadi selebrasi bagi elemen kultural, terutama musik, yang meniadakan sekat pembatas. Momen itu merupakan bagian dari pembangunan dunia unik yang Coogler sematkan di naskahnya.
Musik blues memang memegang peranan penting di Sinners. Perhatikan setiap ia dimainkan di adegan mana pun, dan kita seolah dapat merasakan teriakan hati para musisinya, yang tidak jarang memunculkan nuansa mistis. Suara gitarnya terdengar bak tangisan, nyanyiannya seperti curahan doa. Kekuatannya begitu besar, hingga (menurut film ini) mampu menembus batasan ruang dan waktu, pula kehidupan dan kematian.
Pemakaian musik blues pun turut menambah keunikan adegan aksinya, meski di saat bersamaan, pengarahan Coogler justru menampakkan kelemahannya. Penanganan sang sutradara yang selalu stylish, bahkan di momen-momen sederhana, misalnya single take saat Lisa Chow (Helena Hu) berjalan ke toko sebelah untuk memanggil sang ibu, seolah lenyap kala dihadapkan pada aksi saling bunuh. Tidak buruk, hanya saja terlampau generik bila dibanding segala hal yang sebelumnya telah disuguhkan.
Bukan berarti babak puncak Sinners kehilangan daya bunuh sepenuhnya. Momen itu tetap menjadi pengingat betapa orang kulit putih, dalam kondisi apa pun, bahkan setelah kehilangan nyawa, tetap menginvasi ruang personal kaum kulit hitam, merenggut segala hal milik mereka, dari orang-orang tercinta hingga hak sederhana untuk sekadar tertawa melepas penat bersama.
REVIEW - SANTOSH
Alur milik Santosh film berbahasa India yang jadi perwakilan Britania Raya di Academy Awards 2025 mengandung banyak cerita, tapi pada dasarnya ia adalah kisah tentang korupnya instansi kepolisian. Isu-isu lain seperti gender atau kasta dipakai sebagai penegas bagi persoalan tersebut, yang oleh film ini diangkat secara jujur, tanpa berupaya main aman atau menambahkan bumbu pemanis.
Menariknya, alih-alih mengetengahkan penderitaan mereka yang ditindas aparat, Sandhya Suri selaku sutradara sekaligus penulis naskah memilih menggunakan perspektif "orang dalam". Santosh (Shahana Goswami) menjanda pasca kematian sang suami, yang tewas ketika bertugas mengamankan sebuah kerusuhan. Melalui program yang digalakkan pemerintah, Santosh pun berhak mewarisi pekerjaan suaminya sebagai polisi berpangkat konstabel.
Dimulailah rutinitas baru Santosh. Seragam penuh bercak darah peninggalan sang suami ia cuci, lalu dikenakan sendiri. Mungkin Santosh berharap bakal mewarisi kehormatan mendiang selaku penegak keamanan. Tapi hanya dalam waktu singkat, Santosh segera menyadari realita yang sungguh berlawanan.
Berawal dari hilangnya anak perempuan dari kasta dalit yang kemudian berkembang jadi kasus pembunuhan, Santosh, yang bekerja di bawah arahan Inspektur Geeta Sharma (Sunita Rajwar) yang dikenal kukuh memperjuangkan pemberdayaan perempuan, mendapati bahwa para penegak hukum tidak benar-benar tertarik untuk menegakkan hukum.
Seperti apa pun individunya, entah laki-laki, perempuan, feminis, atau misoginis, apabila telah mengenakan seragam berwarna khaki milik aparat, nyatanya bakal tertular kebobrokan yang telah menjadi citra instansi tersebut. Seolah seragam itu memberi sensasi berkuasa yang mendorong keinginan melakukan represi, karena si individu menganggap dirinya bebas melakukan apa saja.
Sandhya Suri membungkus filmnya dengan sampul police procedural. Sentuhan misterinya memang bukan sesuatu yang benar-benar segar, tapi mampu memenuhi tujuannya sebagai alat bantu untuk mengupas satu per satu kebejatan aparat. Di sisi lain, Shahana Goswami dengan kelihaian memancarkan emosi melalui raut wajahnya, seolah jadi perpanjangan rasa syok penonton kala menyaksikan setumpuk ketidakadilan yang filmnya paparkan.
Kompleksitas kisahnya memuncak begitu alur menyentuh babak akhir. Selama ini Santosh selalu mengagumi Inspektur Sharma dengan sudut pandang feminisme yang tak kenal lelah ia perjuangkan. Tapi apakah sebuah perjuangan masih layak diperjuangkan jika mengharuskan kita melakukan keburukan? Santosh tak ragu mengkritisi fenomena, di mana demi menyuarakan ketidakadilan yang dialami suatu kaum, beberapa pejuang keadilan sosial justru melakukan ketidakdilan pada kaum lain.
Di satu adegan, Santosh diperlihatkan tengah makan sembari menonton video berisi komparasi antara polisi Cina dengan India. Si konstabel tertawa geli melihat instansinya dijadikan bahan tertawaan, karena ia sadar bahwa memang begitulah realitanya. Menjadi bagian suatu kelompok bukan berarti enggan mengakui borok kelompok tersebut.
Melalui pilihan konklusinya pun Santosh secara tegas, tanpa mencoba bermulut manis, menawarkan solusi yang bisa diambil para aparat jika benar-benar menaruh kepedulian terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh kompatriotnya. Di situ Santosh bukan menyerah atau lari. Dia hanya menolak terus-menerus menjadi racun yang membunuh sesama rakyat jelata. Angka "1312" pun seolah menampakkan dirinya di wajah si karakter utama.
(Klik Film)
REVIEW - A MINECRAFT MOVIE
Sebelum logo rumah produksi menampakkan detailnya, beberapa anak yang duduk di belakang saya sudah serempak berteriak, "Mojang!", merujuk pada nama perusahaan asal Swedia yang mengembangkan game Minecraft, selaku sumber adaptasi oleh film ini. A Minecraft Movie memang diciptakan untuk mereka yang mencurahkan berjam-jam waktu memainkan game terlaris sepanjang masa tersebut (terjual lebih dari 350 juta kopi).
Bagaimana dengan penonton awam (termasuk saya) yang tak memahami alasan kenapa istilah "chicken jockey" bisa sedemikian viral hingga menyebabkan keriuhan di studio tempat filmnya diputar? Tanda tanya bakal muncul berkali-kali. Bukan karena alurnya kompleks. Justru sebaliknya, timbul pertanyaan tentang mengapa segala hal di A Minecraft Movie begitu disimplifikasi.
Mungkin karena para pembuatnya menjadikan generasi alpha selaku target pasar. Tapi bukankah bocah zaman sekarang sudah jauh lebih cerdas? Bukankah mereka tidak perlu disuguhi sekuen pembuka yang terkesan begitu malas membangun latar belakang? Di satu titik, salah satu karakternya mendadak menguasai kemampuan baru. Rekannya pun bertanya, "How do you know to do that?", yang dijawab, "Don't ask". Tidak bisakah LIMA penulis naskahnya muncul dengan alasan yang lebih meyakinkan?
Steve (Jack Black), penjual gagang pintu yang lelah dengan kehidupan monoton miliknya, menemukan portal menuju Overworld, sebuah dunia yang tersusun atas balok-balok yang mudah dimanipulasi. Alhasil, Steve bisa bebas menciptakan apa pun di sana.
Ketika Steve kewalahan menghadapi serbuan pasukan piglin dari dunia Nether yang dipimpin oleh Malgosha (Rachel House), datang bantuan dalam wujud empat individu yang tersasar ke dalam Overworld: Henry (Sebastian Hansen) si bocah jenius bersama kakaknya, Natalie (Emma Myers); Garrett "The Garbage Man" Garrison (Jason Momoa) si mantan juara dunia game yang kini hidup melarat; juga Dawn (Danielle Brooks) si agen perumahan.
Sederhananya, A Minecraft Movie adalah film dengan segudang kebetulan di tiap sudut penceritaan yang seolah menandakan kemalasan dalam bercerita. Ketimbang mengolah alur mumpuni, naskahnya lebih tertarik melempar fan service dengan humor absurd selaku bumbu yang membuat A Minecraft Movie lebih terasa seperti shitpost ratusan juta dollar. Contohnya saat kita tiba-tiba disuguhi momen musikal diiringi lagu aneh berjudul Steve's Lava Chicken.
Jack Black mencurahkan totalitasnya di sini. Mungkin tidak ada aktor lain yang bisa menangani momen over-the-top dengan semangat membara sepertinya. Black memilih pendekatan yang tepat karena ia tahu betul sedang bermain di film seperti apa. Begitu pula Jason Momoa yang bersedia memarodikan citra pria tangguh yang telah begitu lekat padanya.
Padahal para penulisnya punya banyak opsi terkait arah pengembangan cerita. Sebutlah eksplorasi tentang "kreativitas tanpa batas" yang menjadi esensi permainannya. Benar bahwa karakter-karakternya membangun setumpuk hal aneh, tapi tidak banyak yang dapat dikategorikan sebagai "metode kreatif memecahkan masalah".
Pesan yang diusung pun tersia-siakan. Di penghujung durasi, A Minecraft Movie bak ingin mengingatkan para pemainnya agar bisa menerapkan kreativitas mereka di realita alih-alih terus tenggelam dalam dunia fantasi. Pesan yang relevan sekaligus luar biasa penting ini gagal dimanfaatkan untuk menciptakan penceritaan memadai. Tatkala para protagonisnya berpisah dengan Overworld, tak ada ruang sedikit pun bagi dampak emosi, karena penonton luput dibuat memedulikan karakter maupun dunianya.
Tidak terhitung pula deretan kalimat cringey yang naskahnya lahirkan. "First we mine, then we craft, let's minecraft!" merupakan salah satu contoh terbaik (atau terburuk?). Mungkin suatu hari kelak, segala kebodohan milik A Minecraft Movie bakal bertransformasi dari ejekan di internet menjadi film cult yang menandakan wajah suatu era. Tapi untuk sekarang, khususnya bagi penonton awam, ia hanyalah blockbuster yang tidak masalah bila dilewatkan.
REVIEW - PABRIK GULA
Sebagaimana Badarawuhi di Desa Penari tahun lalu, Pabrik Gula yang kembali mengadaptasi cerita dari SimpleMan, tampil layaknya remake dari KKN di Desa Penari dengan perbaikan kualitas di sana-sini. Hanya saja kini kemiripannya lebih kentara, seolah jadi bukti bahwa kolaborasi MD Pictures dan SimpleMan telah menemukan pakemnya, yang bisa terus diutak-atik sesuai kebutuhan.
Di Pabrik Gula kita kembali bertemu sekelompok teman yang akan menetap di sebuah tempat asing untuk beberapa lama, tanpa tahu bahwa tempat itu menyimpan cerita mistis. Bedanya, mereka bukan mahasiswa melainkan buruh, pun alih-alih desa lokasi KKN, destinasi yang dituju adalah sebuah pabrik gula.
Endah (Ersya Aurelia), Naning (Erika Carlina), dan Wati (Wavi Zihan) tinggal di satu loji. Demikian pula para buruh laki-laki: Fadhil (Arbani Yasiz), Hendra (Bukie B. Mansyur), Dwi (Arif Alfiansyah), dan Franky alias Mulyono (Benidictus Siregar). Begitu lewat pukul 9 malam, tepatnya selepas alarm berbunyi yang disebut sebagai "jam merah", tidak ada yang boleh keluar dari loji. Tatkala pelanggaran terjadi, teror mematikan pun dimulai.
Sejatinya Pabrik Gula belum bisa disebut memiliki alur mumpuni. Beberapa poin yang berpotensi menghadirkan eksplorasi menarik, seperti mitologi mengenai kerajaan iblis yang menguasai pabrik dengan beraneka ragam jenis hantunya, hingga elemen whodunit seputar "siapa sebenarnya yang melanggar aturan?", hanya dipaparkan sambil lalu. Belum lagi, serupa KKN di Desa Penari yang nyaris tak pernah menampakkan aktivitas KKN itu sendiri, rutinitas para buruh amat jarang dimunculkan. Andai gula diganti produk lain pun takkan ada perbedaan berarti.
Untungnya kali ini naskah buatan Lele Laila tidak terjebak dalam kesan self-serious. Serupa jargon "pesta rakyat" yang dijadikan alat marketing filmnya, Lele ingin mengajak penonton bersenang-senang. Di situlah duo Franky dan Dwi mengemban peran penting. Lawakan demi lawakan dihantarkan begitu mulus oleh kombinasi maut Benidictus Siregar dan Arif Alfiansyah. Tatkala ide-ide terornya tak seberapa kreatif, sepak terjang keduanya mampu membantu Pabrik Gula mencapai tujuannya menjadi horor yang tampil "seru" ketimbang "ngeri".
Walau masih mengandalkan jumpscare, setidaknya penulisan Lele tak lalai membangun jembatan, sehingga berbeda dengan KKN di Desa Penari, Pabrik Gula lebih terasa sebagai "film yang proper" daripada sekadar kompilasi teror dengan jahitan asal-asalan. Kesediaan untuk memperhatikan hal-hal seperti "bridging" dan "build-up" pula (termasuk adegan pembuka yang memperlihatkan para karakternya berinteraksi dengan bahagia) yang membuat konklusinya bisa meninggalkan rasa pahit selaku dampak sebuah tragedi.
Di sisi lain, Awi Suryadi selaku sutradara kembali menunjukkan eksplorasi teknis mumpuni. Hampir semua kemunculan makhluk halus dibarengi oleh trik teknis yang mengundang decak kagum, entah dari tata kamera, penyuntingan, maupun pemakaian efek komputer yang tepat guna. Dibantu oleh tata kamera arahan Arfian (keduanya pernah bekerja sama di Sebelum 7 Hari, Perewangan, Do You See What I See, juga Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul), Awi pun memoles filmnya supaya nampak megah lewat pilihan shot-nya.
Sekali lagi, kreativitas ide mungkin bukan sesuatu yang dimiliki oleh Pabrik Gula kala melempar teror. Tapi jumpscare-nya digarap dengan solid, dibarengi timing presisi, pula tidak terasa menyebalkan karena jeli mengatur volume suara. Ketika di babak ketiga, Dewi Pakis yang memerankan Mbah Jinnah selaku satu dari dua dukun yang menjaga keamanan pabrik, menggila di tengah adegan upacara persembahan, sulit menampik daya hibur Pabrik Gula sebagai sebuah horor blockbuster.
REVIEW - KOMANG
Raim Laode (Kiesha Alvaro), seorang pemuda Sulawesi beragama Islam, menjalankan salat sembari menghadap ke barat. Komang (Aurora Ribero), si gadis keturunan Bali pemeluk Hindu bersembahyang ke arah Timur. Kiblat keduanya berlawanan. Pun kelak, saat Raim merantau ke Jakarta, samudera menjadi pemisah luas di antara mereka. Tapi sebagaimana telah ditunjukkan oleh jutaan cerita romansa, kekuatan cinta bakal mengalahkan beragam batasan di atas.
Film yang sedikit banyak mengambil inspirasi dari lagu viral berjudul sama karya Raim Laode ini hadir dengan semangat serupa. Sekilas tak ada yang spesial. Apalagi mengingat kisahnya berbasis pada peristiwa nyata, sehingga 400 ribu orang yang telah menonton sampai tulisan ini dibuat pun rasanya tahu kalau akhirnya cinta bakal jadi pemenang.
Tapi Komang memang tak berniat mendobrak pakem. Naskah buatan Evelyn Afnilia, yang begitu piawai merangkai kata-kata bermakna tanpa harus menggunakan hiberpola berlebihan, seolah ingin mengingatkan bahwa jatuh cinta akan selalu terasa indah, tidak peduli seberapa klise peristiwa demi peristiwa yang dilewati oleh sepasang kekasih.
Pada momen perkenalan mereka, Komang mampu memancing tawa Raim dengan humor gelap mengenai mendiang ayahnya. Setelahnya pun, semua aktivitas kencan keduanya selalu diwarnai tawa. Bahkan kecanggungan antara dua manusia yang baru bersua pun dapat disikapi dengan positif melalui tawa.
Itulah alasan Komang begitu menyenangkan diikuti. Presentasinya jauh dari kekakuan. Begitu pula chemistry yang dijalin oleh Kiesha, yang akhirnya membuktikan kelayakannya sebagai aktor, dan Aurora, yang senantiasa jeli mengolah tutur kata. Dinamika yang terbangun memudahkan penonton meyakini bahwa Raim dan Komang memang dua individu yang saling menyayangi.
Pengarahan Naya Anindita yang kembali menyutradarai film layar lebar sejak Eggnoid enam tahun lalu pun mampu mencurahkan rasa manis lewat susunan momen-momen romantis yang membumi. Gestur seperti menggandeng tangan, dua mata yang saling menatap penuh rasa, atau perbuatan yang meski terkesan sederhana, membuktikan prinsip "talk less do more" dari protagonisnya, dipakai sebagai amunisi utama.
Penceritaannya memang menyisakan beberapa kejanggalan kecil, sebutlah selipan adegan soal kunjungan Raim ke Amsterdam yang tak pernah dijabarkan alasannya. Tapi satu poin yang agak mengganggu adalah paparannya yang cenderung berat sebelah mengenai cinta beda agamanya.
Ketika ibunda Komang, Meme (Ayu Laksmi), memandang sinis status Raim sebagai orang Islam, maka orang tua dari pihak si pria (Cut Mini dan Mathias Muchus) selalu bersikap toleran, termasuk saat enggan memasak sapi karena Komang makan bersama mereka. Sikap Meme sejatinya bisa dijustifikasi, mengingat trauma akibat "kehilangan" putri sulungnya yang juga berpindah agama. Tapi bagaimana dengan komentar miring para tetangga tentang isu tersebut, atau keluhan para kerabat soal ketiadaan lawar babi di menu masakan?
Untungnya di sekitar ketimpangan tersebut, Komang rutin membawa keunggulan yang lebih menonjol. Khususnya jika membicarakan penampilan dua aktris pemeran ibu masing-masing protagonis. Sewaktu Ayu Laksmi piawai mengutarakan rasa sakit menusuk di balik segala ketegasan yang terus Meme tampilkan di permukaan, Cut Mini mampu mengaduk-aduk emosi kala menampakkan ketabahan walau tengah dirundung duka. Mungkin humanisme yang dimunculkan para pelakonnya inilah yang membuat Komang memiliki rasa, alih-alih sebatas parade kata-kata puitis sok romantis.
REVIEW - JUMBO
Ada setumpuk stigma yang mesti dihadapi oleh medium animasi, salah satunya anggapan sebagai "tontonan anak", yang kerap disamakan dengan sebuah hiburan (super) ringan, seolah para bocah tak memiliki kapasitas untuk mencerna suguhan yang lebih "berat". Jumbo terasa spesial karena ia menolak memandang sebelah mata penonton muda, sehingga bersedia menaruh hormat kepada mereka.
Ryan Adriandhy selaku sutradara, bersama Widya Arifianti yang menjadi partnernya dalam menulis naskah, adalah pencerita yang ulung. Keduanya tahu cara mengolah berbagai pokok bahasan berat supaya bisa diterima oleh anak-anak, tanpa harus menganggap mereka bodoh atau menerapkan simplifikasi bagi suatu isu secara berlebihan sampai kehilangan bobotnya.
Ambil contoh soal kondisi keluarga Don (Prince Poetiray), si protagonis yang mendapat julukan "Jumbo" karena berat badannya. Benda paling berharga dalam hidup Don adalah buku dongeng peninggalan orang tuanya (Ariel Noah dan Bunga Citra Lestari), yang pada suatu hari pergi tanpa pernah kembali.
Kita tahu ayah dan ibu Don sudah meninggal. Don sendiri memahami itu, yang tersirat dari ceritanya tentang kondisi jalanan licin pada hari kepergian mereka. Situasi tersebut jelas menyakitkan, tapi Jumbo juga tak ingin memotret kematian sebagai konsep yang sebatas dipandang "menyeramkan" sehingga tak lagi memiliki ruang untuk didiskusikan. Alhasil tak sekalipun kata "mati" yang cenderung memiliki konotasi negatif disebutkan. Apakah kematian jadi kehilangan bobotnya? Tentu tidak.
Kita tetap bisa merasakan luka yang Don rasakan, khususnya rasa sepi yang kerap menghantui. Don kerap mendapat penolakan dari teman sebaya, khususnya Atta (M. Adhiyat) yang gemar melempar ejekan. Untungnya Don masih punya dua sahabat, yakni Nurman (Yusuf Ozkan) dan Mae (Graciella Abigail). Kemudian terjadilah pertemuan dengan gadis cilik misterius bernama Meri (Quinn Salman).
Siapa (atau mungkin lebih tepatnya "apa") sebenarnya Meri? Dia bisa terbang, tembus pandang, tak bisa disentuh, serta memiliki banyak kemampuan ajaib. Meri tidak lain adalah arwah gentayangan. Hantu. Tapi ketimbang digambarkan sebagai sosok mengerikan, Ryan dan tim lebih mengedepankan sisi magis si karakter. Daripada memakai istilah "mati", Meri membahasakan kondisinya sebagai "beristirahat dengan tenang".
Jumbo enggan mengutamakan kengerian dalam presentasinya terkait dunia mistis, karena sebagaimana kematian, hal itu merupakan bagian dari kehidupan. Ketimbang menjebak anak-anak dalam kotak rasa takut sejak dini, bukankah lebih baik menyediakan sudut pandang yang lebih positif bagi mereka?
Elemen mistisnya menyediakan pondasi konflik yang cukup kreatif, sebelum melebarkan eksplorasi menuju isu-isu relevan seperti penggusuran tanah, yang sekali lagi, tak pernah tampil terlalu berat bagi penonton anak berkat kecerdikan pengemasan dari departemen penulisan.
Pencapaian naskahnya tak berhenti di situ. Penokohan Don pun patut dipuji, sebab dari situ, Jumbo membuktikan bahwa pesan baik tak mengharuskan kesempurnaan dalam diri si penyampai pesan. Melalui kekurangan demi kekurangan yang Don punya, kita belajar tentang pentingnya memenuhi janji dan menekan ego. Ketidaksempurnaan Don pun menjadikannya karakter anak kecil yang wajar.
Prince Poetiray yang belum mencapai usia 10 tahun tatkala mengisi suara Don turut berjasa menebalkan kompleksitas karakternya. Bukan cuma terdengar "angelic" saat bernyanyi, Prince juga memiliki jangkauan emosi yang luas dalam isian suaranya. Terkadang ia meledak-ledak penuh tenaga, namun ada kalanya terdengar lirih kala tenggelam dalam suatu pemikiran atau perasaan.
Kualitas Jumbo selaku karya audiovisual pun tidak main-main. Lagu Selalu Ada di Nadimu buatan trio Laleilmanino yang dibawakan oleh Bunga Citra Lestari tak hanya mudah menancap di kepala tapi juga efektif menyentuh hati. Sedangkan level animasinya membuat saya percaya bahwa dari segi kemampuan, sumber daya kita layak diadu dengan negara-negara lain.
Salah satu pemandangan favorit saya hadir saat kita diajak mengunjungi rumah Atta, yang tinggal bersama kakaknya, Acil (Angga Yunanda). Perhatikan bagaimana dinding rumah mereka dipenuhi tambalan-tambalan semen. Bagi saya itu bukti kalau Ryan dan tim menaruh perhatian tinggi pada detail, termasuk tentang ketepatan dalam representasi.
Mereka boleh mengambil inspirasi dari karya luar negeri, baik judul-judul produksi Pixar maupun anime Jepang (saya mencium sedikit kecintaan untuk Akira), tapi Jumbo tetaplah suguhan yang khas Indonesia. "Cerita tidak akan jadi cerita tanpa pendengar", ucap salah satu karakternya. Ryan dan tim telah mendengar cerita dan keluh kesah kita mengenai minimnya animasi Indonesia di bioskop. Sekarang waktunya kita dengarkan cerita yang mereka sampaikan dengan hati dalam Jumbo.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar