SMURFS: THE LOST VILLAGE (2017)
Rasyidharry
Maret 31, 2017
Animated
,
Cukup
,
Demi Lovato
,
Gargamel
,
Jack McBrayer
,
Pamela Ribon
,
Peyo
,
REVIEW
,
Smurfs
,
Smurfs The Lost Village
,
Stacey Harman
1 komentar
Makhluk mungil berwarna biru kreasi Peyo kembali ke layar lebar lewat reboot animasi pasca dua live action/computer-animated hybrid yang memaksa Neil Patrick Harris mempermalukan dirinya sendiri. Keputusan tepat, sebab animasi lebih cocok merangkum petualangan konyol para Smurfs. Fokus pun sepenuhnya milik Smurfs ketimbang karakter manusia yang selalu menampilkan kebodohan tidak lucu. Terpenting, dunia fantasi imajinatif dapat ditampilkan seutuhnya. "Smurfs: The Lost Village" takkan bersaing dengan Pixar di ajang Oscar tahun depan, tidak pula sanggup menandingi perolehan Box Office Gru beserta Minions, namun sebagai hiburan segala usia sekaligus usaha mempertahankan eksistensi franchise, film ini cukup berhasil.
Film dibuka oleh perkenalan singkat kepada desa tempat Smurfs tinggal, menjelaskan pula bagaimana nama mereka menggambarkan kelebihan masing-masing. Ada Hefty si kuat, Clumsy si ceroboh, Brainy si pintar, dan sebagainya. Kondisi itu tidak berlaku bagi Smurfette, satu-satunya Smurf wanita yang dulu diciptakan Gargamel dengan tujuan mencari keberadaan Desa Smurfs sampai sihir Papa Smurf menjadikannya baik hati. Smurfette merasa tak punya kelebihan, mendorongnya mempertanyakan tujuan hidup. Hingga suatu hari pertemuan dengan sosok misterius di dekat hutan terlarang membawa Smurfette, Hefty, Clumsy, dan Brainy menuju petualangan mencari desa yang hilang sebelum Gargamel menemukannya.
Jalan ceritanya mengikuti pola formulaik animasi dengan target penonton cilik kebanyakan, sekedar menawarkan petualangan bergerak lurus berselipkan pesan moral. Tipe petualangan begini jelas membuat slapstick dominan, jika tidak untuk apa karakter Clumsy diciptakan? Sesuai namanya, ia selalu terjatuh, terlempar ke sana-sini. Di sini, "Smurfs: The Lost Village" takkan seberapa memukau penonton dewasa. Anak-anak bakal menikmati kecerobohan Clumsy atau kepintaran Brainy mengkreasi rakit canggih, sementara orang tua mungkin mengeluhkan generiknya perjalanan cerita. Setidaknya naskah karya Stacey Harman dan Pamela Ribon memfasilitasi kita mengajarkan pentingnya kebaikan hati di atas segalanya pada anak. Terkesan naif, namun kompleksitas memang belum perlu bagi target pasarnya.
Film ini menemukan pesona terbesar kala sentuhan komedinya menjauhi ranah slapstick, mengeksplorasi jalan lain terkait pemanfaatan ciri tiap-tiap Smurf. Hefty dan kebanggaan atas otot besarnya menggelitik, tapi paling memancing tawa adalah tingkah Clumsy di samping terpeleset dan sebagainya. Semisal saat para Smurf terjebak dalam gua dan Clumsy ketakutan setengah mati. Polahnya memancing tawa meski terasa out-of-character karena Harman dan Ribon bak keliru mengartikan kecerobohan dengan paranoid (ciri khas Scaredy Smurf). Jack McBrayer memberi performa voice acting memikat sehingga Clumsy mudah disukai. Sementara Demi Lovato walau tak buruk sebagai Smurfette, masih di bawah pencapaian Katy Perry di dua film pertama yang membuat penonton jatuh cinta mendengar tokohnya bertutur kata.
Tatkala dua film hybrid-nya terbatasi tampilan monoton dunia nyata, media animasi membuka jalan "Smurfs: The Lost Village" menumpahkan desain imajinatif warna-warni penyusun dunianya. Serangga-serangga di tengah hutan memancarkan cahaya, sedangkan aliran sungai berarus deras bagai melayang di udara. Belum mencapai taraf groundbreaking tapi cukup menyegarkan mata, termasuk para Smurf yang masih nampak menggemaskan. "Smurfs: The Lost Village" sanggup memenuhi tujuannya menjadi hiburan ringan semua umur. Sebuah animasi pop dilengkapi iringan lagu pop dan referensi budaya populer macam wefie. Cukup pasang ekspektasi yang sesuai.
PERFECT DREAM (2017)
Akhirnya muncul juga film lokal rilisan tahun 2017 yang berhasil memancing tawa lepas saya, memberi hiburan demikian menyenangkan. Bersama lima sampai enam penonton lain, perut kami dibuat sakit, rahang kami pun kaku selama menyaksikan "Perfect Dream" karya sutradara Hestu Saputra ("Air Mata Surga", "Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar", "Cinta tapi Beda"). Terakhir kali film Indonesia bisa konsisten menggelitik sepanjang durasi adalah "Cek Toko Sebelah" tiga bulan lalu, sehingga kehadiran film dengan empat orang penulis naskah (Hestu Saputra, Sinung Winahyoko, Nugi Apri, dan Syamsul Hadi) ini terasa menyegarkan. Tapi tunggu, rupanya "Perfect Dream" bukanlah film komedi.
Awalnya, film dikemas bak tontonan heist saat Dibyo (Ferry Salim) dengan dandanan necis mendatangi dua bos besar, Marcell (Hengky Solaiman) dan Hartono (Qomar) untuk menyerahkan hasil curiannya: celana dalam selaku barang bukti tindak pemerkosaan Hartono terhadap seorang bocah. Segala kemewahan hidup para sosialita memang menyempurnakan atmosfer heist movie. Ternyata saya salah duga. Pasca perkenalan Dibyo dengan Lisa (Wulan Guriton), puteri Marcell, kisahnya bergerak ke arah lain. Sebuah drama keluarga, sebuah drama seputar hidup sosialita dermawan, sebuah corporate drama, sebuah film kriminal, sebuah kisah kemiskinan hati di tengah kekayaan harta, sebuah...ah saya gagal memahami fokus utamanya.
Keempat penulis naskahnya berusaha mengaitkan beragam unsur tersebut tetapi tak ada yang sukses mencapai tujuan akhir. Sebagai drama keluarga, ikatan antar anggota keluarga urung digali, gagal menciptakan pergolakan emosi. Sebagai corporate drama, polemik bisnis Dibyo sekedar jadi latar. Kita hanya melihatnya sekali menyelundupkan mobil, kemudian tidak lagi dikupas apa bisnis gelapnya. Sebagai film kriminal, intrik Dibyo dan Hartono yang mendorong mereka saling serang jauh dari menarik. Terlebih eksekusi selipan baku tembaknya clumsy. Paparan sisi lain sosialita pun dangkal. Segelintir acara amal takkan membuat penonton percaya mereka bukan hanya orang berduit yang hobi pamer kekayaan, termasuk makan di rumah mengenakan gaun plus kalung mahal.
"Perfect Dreams" bagai berkhayal dirinya cerdas dan menyimpan beragam kritik sosial pula perenungan makna hidup. Kalimat-kalimat sok filosofis dari mulut tokohnya ketimbang memancing pemikiran justru terdengar nonsense, tidak natural, mustahil terlontar dari mulut manusia di kehidupan sehari-hari. Jika anda bertanya pada salah satu tokoh "apakah putus cinta menyakitkan?", besar kemungkinan mereka menjawab "rasa sakit membuat kita berkontemplasi, merenung, bertanya untuk apa kita diciptakan". Gemar pula tokoh film ini memakai metafora, semisal kala Rina (Olga Lidya) mengibaratkan cinta pada dua wanita dengan menghisap dua cerutu.
Beberapa kritik bukan saja gagal menusuk dan dipaksakan masuk, juga inkonsisten. Contohnya sewaktu Rachel (Poppy Sovia), gadis dengan poster band-band beraliran "keras" terpampang di kamarnya menyayangkan musisi-musisi favoritnya macam Dewa 19 telah mengalah pada industri kapitalis. Sejurus kemudian ia memainkan lagu ciptaannya, sebuah balada cinta berlirik sederhana. Ya, jenis musik setipe dengan aliran utama industri yang baru saja dia kritisi. Film soal sosialita yang berusaha "membela" golongan tersebut mengkritik kapitalisme industri terdengar seperti KK Dheeraj menghujat para sutradara dengan kualitas karya buruk. Apa pula fungsi Rachel selain menuturkan hal tersebut dan menemani perenungan Bagus (Baim Wong), putera Dibyo dan Lisa, soal kehampaan hati dalam sebuah subplot setengah matang dan kurang substansial? Film ini memang overstuffed, menyimpan setumpuk cerita sampingan tak perlu.
Aliran penceritaannya kacau akibat kombinasi naskah, pengemasan sutradara dan editing acak-acakan. Alhasil sulit mencerna kapan waktu berpindah di beberapa bagian. Namun kekacauan itu tak seberapa dibanding kelucuan tak sengaja yang setia mengisi. "Perfect Dreams" konsisten menghadirkan momen-momen clumsy menggelikan, entah akibat akting Qomar yang tak meyakinkan sebagai bos gangster kejam, dialog, sampai pengadeganan. Menyebutkan semua sama halnya menuliskan plot dari awal hingga akhir. Bagian favorit saya ketika Dibyo dan Lisa bertengkar. Di situ Bagus terdiam menahan amarah, sementara Anna (Tissa Biani) si puteri bungsu bermain piano mengiringi pertengkaran orang tuanya. Atau tengok momen melibatkan piano lain tatkala Anna bersama tokoh yang diperankan Dayu Wijanto dan para pembantu mendadak bernyanyi, menari, dalam satu adegan musikal canggung.
Ferry Salim sejatinya memiliki pesona memadahi sebagai pria penuh kuasa berhati dingin. Sayang, usaha membuat Dibyo lebih "hidup" melalui segala tingkah polah sok asyik menurunkan wibawanya. Wulan Guritno dan Olga Lydia berusaha maksimal mendalami posisi dua wanita yang hatinya terluka walau buruknya naskah menangani penokohan menghalangi transfer emosi pada penonton. Baim Wong, Hengky Solaiman, Dayu Wijanto, dan Poppy Sovia pun bernasib sama, gagal menunjukkan talenta akibat harus melakoni adegan berbalut baris kalimat menggelikan. Penggunaan dialek Surabaya cukup memberi sentuhan unik, meski di saat pelafalan Ferry Salim enak didengar, tidak demikian dengan Wulan Guritno.
Anda bisa mendapat pengalaman menonton menyenangkan. Syaratnya, jangan terlalu pikirkan, nikmati, kalau perlu tertawakan kebodohan-kebodohannya. Di balik production value mumpuni yang menjadikan filmnya enak dipandang mata, "Perfect Dream" merupakan usaha keras tampil pintar namun berakhir bodoh, sama bodohnya dengan Dibyo yang konon katanya sangat cerdik dan licik tapi berselingkuh di galeri foto yang tersusun atas kaca-kaca besar sehingga dapat terlihat jelas dari luar. This movie is entertaining but for a very wrong reason.
Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics
DANUR (2017)
Rasyidharry
Maret 31, 2017
Awi Suryadi
,
Danur
,
Gerbang Dialog Danur
,
horror
,
Indonesian Film
,
Ingrid Widjanarko
,
Kurang
,
Prilly Latuconsina
,
REVIEW
,
Risa Saraswati
,
Shareefa Daanish
21 komentar
"Danur" diangkat dari novel "Gerbang Dialog Danur" karya Risa Saraswati, musisi sekaligus penulis buku yang terkenal lewat kemampuan supranaturalnya. Karya-karya Risa sendiri kental unsur mistis, berisi pengalaman interaksinya dengan para makhluk halus, termasuk Peter, hantu bocah Belanda yang namanya paling dikenal publik (album mini Risa bertajuk "Story of Peter"). Dibintangi Prilly Latuconsina yang makin membuktikan bakat beraktingnya serta Shareefa Daanish yang rasanya layak diberi gelar "Ratu horror modern Indonesia", "Danur" memang tampak menjanjikan. Belum lagi keberadaan Awi Suryadi ("Badoet", "Bidadari Terakhir", "Street Society" di kursi penyutradaraan.
Alkisah, di ulang tahun kedelapan, Risa kecil (Asha Kenyeri Bermudez) berharap menemukan kawan untuk menghilangkan kesendiriannya akibat selalu ditinggal sang ibu bekerja (ayahnya kerja di luar negeri). Harapan Risa terkabul, hanya saja teman yang ia dapat bukanlah manusia, melainkan tiga hantu bocah Belanda bernama Peter (Gamaharitz), William (Wesley Andrew), dan Jansen (Kevin Bzezovski Taroreh). Sembilan tahun berselang, Risa (Prilly Latuconsina kembali ke rumah masa kecilnya itu guna menjaga neneknya (Ingrid Widjanarko) bersama sang adik, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki). Keanehan muncul sejak kedatangan pembantu baru bernama Asih (Shareefa Daanish).
Film ini memiliki departemen visual menawan berkat pemanfaatan berbagai properti bernuansa klasik dengan penempatan apik dalam tata artistiknya. Permainan cahaya pun ikut diperhatikan khususnya kala klimaks di alam roh yang (seperti "Insidious") menonjolkan dominasi warna merah plus sedikit hijau di beberapa sudut. "Danur" amat memperhatikan tampilan, membuatnya tak monoton dari segi visual, meski kadang usahanya terasa terlampau keras, semisal penataan kamera dalam sinematografi Adrian Sugiono yang seolah anti pada gaya "mainstream", sehingga begitu sering memiringkan kameranya beberapa derajat. Stylish, terkadang dramatis, tapi lebih sering tanpa arti.
Awi Suryadi jelas menyimpan setumpuk referensi "The Conjuring", "Insidious", "Jacob's Ladder" yang harus diakui menjadikan beberapa jumpscare-nya tidak terkesan malas dan apa adanya. Tapi sejalan dengan sinematografi, ketimbang menyesuaikan kebutuhan, banyak momen bak sekedar ajang pamer gaya. Terasa repetitif kala filmnya bagai tersusun atas segmen demi segmen jumpscare. Karakternya bangun tidur, "BOOM" hantu muncul. Karakternya membuat kopi, "BOOM" hantu muncul. Karakternya berjalan, "BOOM" hantu muncul. Demikian seterusnya tanpa jalinan cerita menarik guna mengikat antusiasme penonton. Tiba-tiba saja di akhir, naskah buatan Lele Laila dan Ferry Lesmana menjawab soal jati diri Asih. Pertanyaannya, kapan film ini mengajak mempertanyakan siapa Asih? Buat apa saya peduli pada jawaban dari misteri yang tak pernah ditelusuri sebelumnya?
Andai Awi memperhatikan timing, kesan berlebihan bakal terhindarkan. Ketiadaan timing membuat sederet penampakan menjadi overkill, kehilangan daya bunuh, bahkan menggelikan. Ya, alih-alih berteriak ketakutan, berulang kali studio tempat saya menonton yang full house diramaikan gelak tawa penonton. Tatkala horror justru memancing respon yang berlawanan dengan takut, tentu ada masalah besar. Penonton tertawa menyaksikan Risa salah mengartikan kegelisahan nenek yang tak bisa bicara. Penonton tertawa kala senyuman lebar Asih nampak di balik jendela. Penonton tertawa melihat nenek yang selalu dijaga oleh keluarga rambutnya tergerai acak-acakan selaku usaha tak perlu menambah kejanggalan mengerikan. Saya sendiri tertawa melihat make-up belang alias kurang rata di wajah Ingrid Widjanarko (perhatikan bagian hidung dan mulut sewaktu close-up).
Shareefa Daanish memiliki aura menyeramkan meski sekedar berdiri diam, memamerkan tatapan mata yang seolah dapat membunuh. Awi menyadari itu, kemudian mengeksploitasinya. Sepertiga paruh akhir "Danur" mayoritas diisi adegan Shareefa menatap karakter lain bermodalkan bermacam-macam raut wajah. Film ini bagaikan eksperimen seputar "berapa banyak ekspresi mengerikan yang mampu Shareefa Daanish perlihatkan?" Sang aktris maksimal melakoni peran itu, tetapi penggunaan berlebih lagi-lagi melunturkan efeknya. Semakin diulangi, semakin keras tawa penonton (termasuk saya) meledak. Sebaliknya, Prilly justru kurang diberi kesempatan unjuk gigi ketika tokoh Risa tidak diberi porsi penggalian berarti. Sepanjang durasi Risa hanya kebingungan, ketakutan, nihil karakterisasi pasti.
"Danur" bukan tergolong horror lokal buruk yang cenderung memancing amarah daripada takut. Digarap sungguh-sungguh, kekecewaan memuncak akibat potensi besar materi serta nama-nama yang terlibat di dalamnya. Awi Suryadi tetap salah satu sineas horror tanah air yang berpotensi menyuguhkan inovasi-inovasi. Sebagai contoh, selain sajian klasik macam "Pengabdi Setan", horror mana yang menampilkan teror sewaktu tokoh utamanya tengah solat? ("Pesantren Impian" adalah thriller). Selanjutnya tinggal bagaimana Awi bisa secara tepat guna menggunakan kreativitasnya. Saya percaya dan masih akan selalu menantikan karya-karya berikutnya.
GHOST IN THE SHELL (2017)
Rasyidharry
Maret 30, 2017
Ehren Kruger
,
Ghost in the Shell
,
Jamie Moss
,
Jess Hall
,
Juliette Binoche
,
Kurang
,
Motoko Kusanagi
,
REVIEW
,
Rupert Sanders
,
Scarlett Johansson
,
Science-Fiction
,
Takeshi Kitano
,
William Wheeler
18 komentar
Diangkat dari manga berjudul sama karya Masamune Shirow, "Ghost in the Shell" berusaha mengundang minat publik lewat dua aspek visual: gambaran dunia penuh hologram canggih di tiap sudut kota dan Scarlett Johansson. Sejak trailer perdananya dirilis, mata semua orang langsung tertuju pada "nude" bodysuit yang dia kenakan, meski banyak pula pihak melontarkan kritikan soal whitewashing di balik pemilihan aktris non-Asia untuk memerankan Major Motoko Kusanagi sang protagonis. Pada akhirnya memang ScarJo dan tata visualnya yang menyelamatkan saya dari kebosanan menyaksikan sajian "dingin" nan kosong ini. "Ghost in the Shell" feels like a pretty but empty shell.
Major (Scarlett Johansson) terbangun dan mendapati tubuhnya telah digantikan bahan sintetis buatan Dr. Ouelet (Juliette Binoche) dari Hanka Robotics. Walau demikian otaknya masih bertahan, menjadikan Major sosok pertama yang memiliki tubuh sekuat robot namun pikiran layaknya manusia. Setahun berselang, Major memimpin pasukan anti-terorisme bernama Section 9 yang diketuai Daisuke Aramaki (Takeshi Kitano). Kala menjalankan misi memburu kriminal yang berusaha melakukan sabotase pada sistem Hanka Robotics, perlahan Major mulai mengetahui misteri di balik ingatan masa lalunya yang hilang.
Gedung-gedung tinggi berhiaskan gemerlap neon, ramainya orang lalu lalang memenuhi jalanan kota, langit yang bagai selalu mendung. Berbagai suasana tersebut tentu terasa familiar, sebab sederet film bernuansa cyberpunk lain telah memberi penggambaran sama. Bedanya, "Ghost in the Shell" memberi sentuhan tambahan berupa hologram raksasa pengganti papan iklan. Walau urung dimanfaatkan untuk menyelipkan kritik sosial soal masyarakat modern bergelimang teknologi (juga sudah kerap dilakukan film lain), mata tetap akan terhibur oleh pemandangan ganjil itu. Keganjilan memikat serupa hadir pula melalui kemasan tata artistik indoor yang menunjukkan kecanggihan teknologi sampai desain karakter unik, sebutlah sepasukan robot geisha. Jess Hall selaku sinematografer piawai mengatur penempatan objek juga warna hingga mayoritas adegan bak lukisan indah sekaligus aneh dari masa depan.
Sebagaimana telah disinggung, meskipun film ini indah di luar, namun kosong di dalam. Lingkungannya tak punya pengaruh berarti. Selain enak dilihat, dunianya mengalami krisis identitas. Hal ini kentara di caranya menangani transisi setting dari Jepang. "Ghost in the Shell" tidak gamblang menyatakan detail lokasi, yang mana bukan masalah. Tapi ketimbang total membaurkan setting, filmnya seperti modifikasi Jepang setengah matang. Section 9 dipimpin orang Jepang yang selalu bicara Bahasa Jepang. Masa lalu Major erat kaitannya dengan orang Jepang. Ditambah lagi kemunculan robot Geisha. Ambiguitas lokasi yang baik bakal membuat penonton sadar kemiripannya dengan tempat tertentu secara tersirat. "Ghost in the Shell" justru sebaliknya. Tampak jelas berada di Jepang, tetapi memaksakan diri menolaknya selaku bentuk kemalasan para penulis naskah mengakali pemilihan cast aktor-aktor Barat (I'm not talking about whitewashing by the way).
Pendekatan naskah garapan Jamie Moss, William Wheeler dan Ehren Kruger terhadap artificial intelligence juga pertanyaan tokoh utama seputar eksistensi pun terlampau dangkal. Makna kemanusiaan serta pencarian Major atas hakikatnya sebagai makhluk hidup berlalu begitu saja, gagal merangkai penceritaan bermakna. Nihil permainan emosi, terasa datar. Semakin "dingin" tatkala sutradara Rupert Sanders meredam gejolak, membuat para tokohnya berbicara lirih cenderung datar bagaikan robot di tengah suasana adegan yang mayoritas sunyi pula ditemani cahaya temaram. Minim luapan kebahagiaan, kesedihan, amarah, atau bentuk ekspresi perasaan apapun. Ironis ketika "Ghost in the Shell" yang mengajak penonton menyaksikan perjalanan Major mencari sisi kemanusiaan malah berakhir sama dengan robot-robot di dalamnya. Dingin, tanpa hati. Saat filmnya sendiri enggan memanusiakan sang tokoh bagaimana penonton bisa merasakan itu?
Serupa di "Snow White and the Huntsman" Rupert Sanders kurang mampu merangkai aksi menarik. Tidak peduli berapa sering ia memanfaatkan slow motion, percuma kala intensitas gagal dipacu. Sanders sekedar meniru sekuen aksi yang melibatkan Scarlett Johansson sebagai Black Widow kemudian menambahkan gerak lambat selaku langkah klise guna memunculkan cool aspect. Satu-satunya yang Sanders paham adalah cara memaksimalkan pesona sang aktris. ScarJo memakai bodysuit warna kulit, tank top, bahkan backless di satu momen. Sanders tahu sudut kamera mana yang sanggup mengeksploitasi fisik aktrisnya supaya terlihat jelas di mata penonton, mulai hero shot kala ia menghajar musuh di genangan air hingga menjatuhkan diri dari puncak gedung. ScarJo sendiri membuktikan ia mumpuni melakoni adegan aksi, meyakinkan sebagai seorang action heroine.
DEAR NATHAN (2017)
Rasyidharry
Maret 24, 2017
Amanda Rawles
,
Bagus Bramanti
,
Dear Nathan
,
Diandra Agatha
,
Erisca Febriani
,
Gea Rexy
,
Indonesian Film
,
Indra Gunawan
,
Jefri Nichol
,
Lumayan
,
Rayn Wijaya
,
REVIEW
,
Romance
,
Surya Saputra
21 komentar
Dilihat dari sampul luarnya, mudah menghakimi "Dear Nathan" sebagai kisah cinta remaja dangkal yang sekedar mengandalkan paras rupawan para pemeran dan baris kalimat sok puitis. Tapi siapa sangka, adaptasi adaptasi novel berjudul sama karya Erisca Febriani ini merupakan salah satu romansa putih abu-abu paling manis dalam beberapa tahun terakhir. Tidak perlu setting luar negeri megah, wardrobe serba mahal, atau kemewahan-kemewahan lain yang belakangan kerap dipakai film cinta dalam negeri guna membuai penonton supaya melupakan setumpuk kelemahannya. "Dear Nathan" sanggup membuai karena dua sejoli tokoh utamanya likeable serta believable.
Salma (Amanda Rawles) dan Nathan (Jefri Nichol) pertama bertemu saat mereka terlambat mengikuti upacara bendera di sekolah. Nathan membantu Salma masuk lewat jalan rahasia, kemudian menghilang. Rupanya Nathan dikenal bandel, hampir tiap hari berkelahi walau satu-satunya yang dia jadikan target pukulan adalah para bully atau preman. Rupanya pertemuan pertama itu langsung membuat Nathan jatuh hati, dan dibantu oleh Rahma (Diandra Agatha), ia mulai mendekati Salma, yang meski menyimpan perasaan sama, ragu untuk langsung menerima cinta Nathan. Tanpa diketahui banyak orang, Nathan sendiri menyimpan masalah terkait masa lalu tragis keluarganya.
Mengambil setting SMA, "Dear Nathan" menghadirkan pernak-pernik dunia tersebut. Bagus Bramanti dan Gea Rexy paham benar seperti apa asmara yang pernah dialami mayoritas orang ketika SMA, lalu menuangkannya ke naskah dalam takaran tepat. Curi-curi pandang saat pelajaran olahraga, duduk berdua di sudut belakang sekolah, sampai jadi pusat perhatian sewaktu kali pertama berangkat berboncengan berdua. Memori saya dilemparkan ke masa itu dan dibuat tersenyum mengingatnya. SMA adalah tempat cinta monyet penuh romantisme gombal mulai bersemi. "Dear Nathan" sanggup merangkum poin itu sembari menyelipkan keping lain seperti teman egois yang gemar mengatur, tata tertib menyebalkan, hingga selintas gesekan siswa akademisi (nan sok suci) dengan mereka yang dianggap nakal.
Nathan mewakili korban prejudice yang dipandang buruk bahkan sampah karena menolak mengikuti jalur lurus yang dianggap sesuai kaidah moralitas. Namun di balik tingkah kasar, ada kebaikan yang enggan diperhatikan orang-orang di sekitarnya. Nathan bukan manusia penghasil quote "ajaib" macam Dimas Anggara di film-film produksi Screenplay. Daripada berkata-kata mesra, ia langsung bertindak untuk hal kecil sekalipun macam membelikan Salma cilok di jam istirahat. Jefri Nichol punya pesona yang bakal memancing jeritan penonton wanita (dan beberapa pria) tanpa perlu kaku bertutur akibat berusaha tampak keren. Nichol tak coba mendramatisir penuturan kalimatnya. Terdengar manis berkat pelafalan natural, asyik, mudah menggaet simpati penonton bagi Nathan. Bagi para pria emosional, Nathan akan terasa relatable.
Cinta pada Salma ditambah usaha mengambil kembali kasih sayang ibu (Ayu Dyah Pasha) mendorong perubahan Nathan. Konsisten dengan perlawanannya terhadap prejudice, film ini tak berniat mengubah Nathan menjadi sosok lain yang oleh konsensus publik dianggap lebih baik seperti Aldo (Rayn Wijaya) si ketua OSIS berprestasi misal. Serupa yang diungkapkan Salma, Nathan mesti menjadi versi lebih baik dari dirinya sendiri. Tetap easy going namun lebih teratur, pula bersedia memulai babak baru hidup khususnya bersama sang ayah (Surya Saputra). Patut disayangkan, mencapai titik ini penceritaan kurang mulus. Proses perubahan Nathan terkesan mendadak, tidak bertahap. Lubang pun sempat hadir terkait timeline membingungkan suatu adegan. Saya tidak bisa menuliskan adegan apa, tapi melibatkan momen penting salah satu tokoh.
Daripada orkestra menggelegar, sutradara Indra Gunawan ("Hijrah Cinta") memilih lagu-lagu pop ringan guna menemani perjalanan cinta Nathan dan Salma. Pilihan tepat, karena momen-momen mereka berdua terasa manis tanpa harus didramatisasi berlebihan (penyakit banyak romansa Indonesia). Balutan komedi segar hasil interaksi malu-malu kucing dua remaja sukses pula hidupkan suasana. Amanda Rawles berjasa di sini, dengan baik menangani kecanggungan dan salah tingkahnya Salma yang efektif memancing senyum. Ditutup oleh kebahagiaan manis di bawah guyuran hujan, lengkaplah "Dear Nathan", romantika remaja dengan penekanan pada penokohan, suatu hal yang kini semakin jarang ditemui tatkala puisi-puisi hampa nihil rasa jadi andalan.
MOON CAKE STORY (2017)
Perkampungan kumuh tempat rakyat kecil mati-matian menyambung hidup, bekerja seadanya, tinggal di hunian sempit sambil sesekali berkeluh kesah di warung kopi. Garin Nugroho seperti bernostalgia, kembali menuju masa kala ia membuat "Daun di Atas Bantal" dahulu. Bersama Winaldo Swastia (asistennya di "Setan Jawa" dan "Aach...Aku Jatuh Cinta") selaku duetnya menulis naskah, Garin turut menyertakan kisah mengenai penderita alzheimer, percintaan, sampai hubungan ibu dan anak, yang semuanya disatukan oleh tradisi membuat kue bulan. Setidaknya ia bermaksud demikian. Sebab antara subplot satu dengan lainnya urung tercipta ikatan kuat, membuat "Moon Cake Story" jadi suatu kesemrawutan.
Walau telah sukses berbisnis, David (Morgan Oey) tetap mengingat ajaran mendiang ibunya (Ary Kirana) agar selalu berbuat baik dan mengawali segala kegiatan dengan doa. Maka ketika dia bertemu Asih (Bunga Citra Lestari), seorang janda beranak satu yang berprofesi sebagai joki 3-in-1, tergerak hati David mengulurkan bantuan termasuk mewariskan resep kue bulan sang ibu supaya Asih memiliki pekerjaan lebih layak. Hubungan keduanya pun semakin dekat, hingga terungkap bahwa David menderita alzheimer dan sisa umurnya tak lagi lama.
Di luar interaksi David dan Asih, kita diperlihatkan pula kehidupan warga kampung sekitar yang amat miskin tapi menolak menyerah menggapai cinta dan mimpi. Sebutlah cita-cita Markus (Abdurrahman Arif) menjadi komika, atau seorang badut bernama Jaka (Kang Saswi) yang setengah mati mencintai Sekar (Melati Zein), adik Asih, walau cintanya bertepuk sebelah tangan. Sementara dari Babeh (Jaja Miharja) sesekali terlontar pesan moral seputar eksistensi. Sebaliknya, keluarga David yang notabene kaya raya bak hanya memperhatikan bisnis serta materi ketimbang kebahagiaan David. Singkatnya, si miskin adalah pejuang dan si kaya tanpa hati.
Sang sutradara khususnya di awal karir memang gemar merangkai gesekan kasta sosial di atas, dan walau "Moon Cake Story" tampak familiar, klise, minim unsur pembeda, menarik mendapati Garin kembali ke tema serupa. Daripada fokus pada satu-dua karakter utama, narasi cenderung menyoroti masyarakat secara umum. Bukan kisah personal yang Garin tekankan, tapi lingkungan. Seperti biasa pula, pengadeganan bak pertunjukan teater dan secuil momen musikal sempat diselipkan. Tapi terdapat satu masalah besar, yaitu "Moon Cake Story" terasa kurang cocok dikemas memakai pendekatan itu.
Gaya-gaya itu bagai berasal dari film berbeda, kurang selaras dengan cerita utama. Bahkan porsinya mengalahkan, menutupi kisah David-Asih ketimbang melengkapi. "Moon Cake Story" sejatinya punya pola sederhana. Dua sejoli bertemu tanpa sengaja lalu dipersatukan oleh satu hal yang dalam konteks film ini adalah kue bulan. Formula klasik drama romantika (atau drama manusia mengingat David dan Asih tak pernah gamblang menyatakan cinta satu sama lain). Tapi bak menolak keklisean, Garin kukuh menerapkan ciri khasnya yang justru berbalik merusak kekuatan film akibat ketidaksesuaian nuansa antar momen sekaligus terbelahnya fokus.
Karena fokus terpecah, otomatis waktu eksplorasi bagi hubungan David dan Asih ikut berkurang. Bahkan seperti ada keping cerita yang hilang tatkala alurnya bagai melompati beberapa fase terkait proses dan perjalanan karakternya. Alhasil, kedekatan penonton dengan para tokoh pun minim, melucuti potensi dari konklusi yang sejatinya berpotensi menggugah emosi. Padahal performa jajaran cast amat mendukung potensi tersebut. Deddy Sutomo sebagai Pak Tri (sopir David) terasa meneduhkan dalam tiap tutur katanya. Bunga Citra Lestari masih piawai mencurahkan gejolak rasa, sedangkan Morgan Oey berusaha semaksimal mungkin menghidupkan penderita alzheimer.
Bicara soal aspek alzheimer tanpa menutupi fakta film ini adalah "pesanan" Tahir Foundation ada niatan baik mengenalkan penyakit tersebut pada khalayak luas. Sayang, daripada menonjolkan sisi positif, "Moon Cake Story" justru mengedepankan penurunan kinerja otak penderita, menggambarkannya sebagai suatu kondisi mengerikan nan mematikan semata alih-alih mengedukasi penonton tentang penanganan atau setidaknya perjuangan penuh harap. Film ini sekedar mengeksploitasi penderitaan atas nama tragedi layaknya disease porn pada umumnya.
Tentu Garin masih piawai bermain simbol, entah pemaknaan mendalam tentang kebersamaan melalui sebuah meja, atau kritik "nakal" untuk aparat keamanan yang digambarkan lewat adegan Babeh mengenakan seragam polisi dan menarik pungutan liar. Garin masih tajam soal metafora dan sindir menyindir. Namun begitu film berakhir, sulit rasanya tidak mempertanyakan substansi sewaktu bermacam subplot kurang rapi dirangkai, gagal menciptakan ikatan kuat dengan poin utama penceritaan. Seolah sang sutradara terlampau berambisi menuturkan kisah sebanyak mungkin. "Moon Cake Story" bukan film buruk, hanya saja meninggalkan kekecewaan mengingat dihasilkan oleh salah satu legenda hidup perfilman tanah air.
Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics
LIFE (2017)
"In space, no one can hear you scream". Tagline ikonik milik "Alien" karya Ridley Scott ini menjelaskan alasan mengapa horror yang bertempat di luar angkasa selalu mengerikan. Kegelapan, ketidaktahuan, dan kehampaan tanpa batas setia mengelilingi. Tidak peduli formula sama telah berulang kali digunakan, bayangan bahwa kesalahan kecil bisa berujung kematian, atau lebih buruk lagi, terombang-ambing di tengah ketiadaan tak berujung selalu menghantui tiap kali menyaksikan film serupa. Perasaan itu dihadirkan kembali oleh "Life", karya teranyar sutradara Daniel Espinosa ("Safe House", "Child 44") yang sejatinya formulaik tapi masih efektif.
Pola penceritaannya familiar. Enam awak stasiun luar angkasa internasional tengah mengemban misi meneliti sampel kehidupan Planet Mars yang ditengarai dapat membuktikan keberadaan pertama makhluk extraterrestrial. Bisa ditebak, misi itu menjadi "bumerang" kala organisme yang diteliti (dinamakan Calvin) terus tumbuh, semakin lama semakin besar sekaligus ganas. Sederhana saja, "Life" hanya mengajak penonton menantikan satu demi satu awak jadi mangsa alien. Kepiawaian pengadeganan Espinosa lah penyokong intensitas tinggi di tengah pergerakan predictable alur pula ketiadaan hal baru di ranah horror luar angkasa.
Kualitas CGI hingga desain produksi walau jauh dari buruk, terkesan biasa saja. Melihat aktor-aktor atau properti melayang di gravitasi nol memang tidak lagi mencengangkan. Dibanding beberapa judul belakangan sebutlah "Passengers", "Life" bagai minim kreativitas. Tidak ada gambaran teknologi yang jauh di depan masanya (dipengaruhi pendekatan yang cenderung berusaha realistis) atau pernak-pernik visual lain selaku pemanis. Ditinjau dari sisi teknis, "Life" bukanlah sajian menonjol, namun lain cerita apabila membahas aspek horror.
Helplessness merupakan salah satu hal paling saya takuti. Itu sebabnya tatkala teror belum sepenuhnya menggedor di babak awal yang masih didominasi tetek bengek dialog sains rumit, terbayang nasib buruk yang mengintai tokoh-tokohnya, membangun antisipasi. Setelah Calvin mulai beraksi bersenjatakan kecerdasan, kekuatan, plus kemampuan-kemampuan lain yang membuatnya bisa bebas bergerak menuju setiap sudut pesawat, para awak sadar jika tidak banyak hal bisa dilakukan. Mereka terjebak dalam ketakutan akibat rasa tidak berdaya dan ketidaktahuan. Begitu pula saya. Di antara lorong sempit dengan celah-celah kecil yang bisa monster itu masuki, muncul kengerian atmosfer.
Dasarnya, "Life" kental unsur slasher, sehingga eksekusi adegan kematian adalah poin esensial. Metode Calvin menghabisi para manusia sejatinya tak terhitung kreatif, telah sering dijumpai pada bermacam creature feature lain. Desain makhluk extraterrestrial film ini (tersusun atas tentakel-tentakel) juga menyerupai bayi alien dalam "Alien". Untung Espinosa jeli merangkai setumpuk gruesome death scenes yang tak ragu menumpahkan darah, menghancurkan tubuh si korban melalui cara sebrutal dan semenyakitkan mungkin. Mengerikan.
Jangan mengharapkan sajian science-fiction cerdas nan kental usungan drama seputar kehidupan, sebab tujuan utama filmnya sekedar menakuti penonton. Walau demikian, naskah garapan Rhett Reese dan Paul Wernick sempat sesekali berfilosofis mengenai hidup. Misi yang dijalankan bertujuan mencari bukti kehidupan namun berbalik mengancam hidup karakternya. Ironis. Dituturkan pula pembantaian dilakukan Calvin semata-mata proses survival, memposisikan film ini sebagai usaha kedua belah pihak untuk bertahan hidup. Beberapa paparan tersirat lain soal hidup ikut hadir, di mana meski urung digali secara mendalam, cukup menambah layer penceritaan.
Entah sengaja mengikuti tipikal horror khususnya slasher atau murni kelalaian penulis naskah, tokoh-tokoh "Life" yang notabene jenius di bidangnya acap kali mengambil keputuan teramat bodoh. Menariknya, segala kebodohan berbanding lurus dengan meningkatnya intensitas. Reese dan Wernick menggunakan kebodohan tokohnya guna memfasilitasi timbulnya ancaman-ancaman baru. Setiap kematian selalu dipicu kecerobohan. Namun karena kematian merupakan hiburan terbesar filmnya, saya pun tak keberatan memaafkan kecerobohan tersebut. Hanya saja tidak usah berharap mendapati akting memikat dari karakter-karakter macam itu. Ryan Reynolds dan Jake Gyllenhaal memerankan sosok yang sudah jamak keduanya mainkan. Reynolds adalah pria easy going penuh percaya diri, sedangkan Gyllenhaal seorang penyendiri.
Setelah beberapa lama, pola di atas berujung repetitif. Kecerobohan makin mengesalkan dan melelahkan, intensitas pun mengendur. (Spoiler Alert) Sampai tiba ending yang bakal membelah sekaligus mencekik penonton. Some will love it, some will hate it. Pilihan ending-nya mungkin mengkhianati segala hal yang telah karakternya lalui, tapi di sisi lain mencuatkan rasa takut terdalam soal luar angkasa yang diperkuat dengan penggambaran Espinosa terhadap kondisi David (Jake Gyllenhaal) dan Miranda (Rebecca Ferguson). Merupakan keberhasilan sewaktu konklusi suatu film horror terasa menyeramkan. Lagipula bukankah hidup (life) tak selamanya adil?
POWER RANGERS (2017)
Rasyidharry
Maret 23, 2017
Action
,
Becky G
,
Bryan Cranston
,
Dacre Montgomery
,
Dean Israelite
,
Elizabeth Banks
,
Ludi Lin
,
Lumayan
,
Megazord
,
Naomi Scott
,
Power Rangers
,
REVIEW
,
Rita Repulsa
,
RJ Cyler
,
Science-Fiction
,
Zordon
13 komentar
Nuansa campy yang mencirikan serial "Power Rangers" sejak pertama kali ditayangkan pada 1993 (sudah mencapai musim ke-24) tentu sulit menjangkau penonton masa kini. Atmosfer gelap berlebihan layaknya short "Power/Rangers" buatan Joseph Kahn pun bukan jawaban bijak. It's unnecessarily too dark and too violent for this child-friendly show. Dua puluh tahun pasca "Turbo: A Power Rangers Movie", Dean Israelite ("Project Almanac" membawa lagi lima remaja berkostum pelangi ini ke layar lebar dibarengi setumpuk protes dari penggemar, mulai kesan grounded ala "Chronicle" sampai perubahan drastis desain beberapa tokoh seperti Goldar dan Alpha 5.
Secara mengejutkan, Israelite bersama John Gatins ("Flight", "Kong: Skull Island") sang penulis naskah sanggup mengambil jalan tengah terbaik, menambah sentuhan kelam nan serius tanpa lupa bersenang-senang. Terdapat permasalahan sehari-hari ketika para tokoh utama dianggap bermasalah pula bersinggungan dengan konflik diri maupun sosial sebutlah bullying, sexual identity, gangguan psikologis, dan sebagainya. Namun sebagaimana remaja, tentu semangat memberontak demi kebebasan, hasrat bergembira, serta tingkah polah bodoh pemantik tawa setia mengiringi. Filmnya urung melupakan itu.
Jason (Dacre Montgomery), Billy (RJ Cyler), Kimberly (Naomi Scott), Zack (Ludi Lin) dan Trini (Becky G) bersama-sama menemukan koin misterius yang memberi kelimanya kekuatan super. Usut punya usut koin tersebut adalah milik Zordon (Bryan Cranston), mantan Ranger merah yang jutaan tahun lalu memimpin Power Rangers melawan Rita Repulsa (Elizabeth Banks), alien sekaligus Ranger hijau yang membelot. Kini Rita bangkit kembali, dan harapan Bumi ada di pundak Jason dan kawan-kawan selaku Power Rangers generasi baru.
Hampir 90 menit awal (dari total dua jam) dipakai memperkenalkan satu per satu tokoh, kemudian menjabarkan proses mengenali, melatih kekuatan mereka di bawah bimbingan Alpha 5 (Bill Hader) supaya dapat berubah (morphing) menjadi Power Rangers. Sekitar 3/4 durasi nyaris tanpa kemunculan jagoan dalam balutan armor bukan berarti nihil daya tarik, sebab semangat rebellion khas film remaja cukup terasa, mampu menyuntikkan nyawa. Walau selain autisme Billy karakterisasi empat remaja lain kurang memberi ciri, para pemeran utama sanggup mengangkat tensi lewat akting natural pula chemistry solid pencipta interaksi renyah berbumbu humor segar. Terutama RJ Cyler yang menjembatani koneksi penonton dengan karakter-karakternya. Sementara Naomi Scott sempurna sebagai Kimberly yang sedari dulu merupakan crush mayoritas pemirsa.
Beberapa latar karakter cukup kelam namun tidak depresif. They face some serious problems, but they're not gloomy, depressed teenagers, especially after found the power and each others. Serius tanpa harus kelewat melankolis. Mengurangi sentuhan campy bukan berarti film ini menanggalkan kesenangan. Di samping balutan komedi, Israelite mempertahankan keriuhan over-the-top spectacle khususnya kala mengemas klimaks. Meski begitu, sang sutradara masih perlu belajar dari Michael Bay tentang cara merangkai aksi masif melibatkan robot raksasa. Cukup menghibur, hanya kurang bombastis. Israelite belum piawai menghadirkan cool aspect melalui pilihan shots. Contohnya hero shot berupa kelima Rangers berjalan beriringan dibalut slow motion yang cenderung cringe daripada keren.
Transisi paruh pertama yang lebih membumi menuju kentalnya fantasi paruh kedua berjalan kurang mulus. Seolah sadar tinggal tersisa sedikit waktu, mendadak alurnya melompat dari satu aksi ke aksi Rita Repulsa berikutnya. Patut disayangkan mengingat betapa mulus aliran first act-nya menuturkan hubungan antar-karakter. Kurang cermatnya editing Martin Bernfeld dan Dody Dorn ikut berpengaruh menghasilkan kasarnya pergerakan adegan tersebut. Terkait plot hole, anda bakal menemukan beberapa, sebutlah zord yang entah bagaimana dapat bergabung, dari mana Rangers mengetahui adanya pedang di Megazord, dan sebagainya. Tapi tak perlu dipikirkan. Afterall, this is a movie about five teenagers with rainbow costume, fighting against giant monster inside their giant robot.
Pendekatan serius "Power Rangers" sayangnya memakan korban. Elizabeth Banks sebagai Rita dibatasi tuntutan meminimalisir gaya komikal, tak bisa sebebas dan segila Machiko Soga atau Carla Perez di serialnya dahulu. Alhasil Rita menjadi villain membosankan. Usaha menambah bobot penokohan Rita dengan modifikasi latar belakangnya dan Zordon juga terasa mubazir, sebab untuk apa menjadikan keduanya partner masa lalu bila ujungnya tiada ada dampak emosional dalam pertempuran? Sedangkan Zordon yang tidak bijak, meragukan Rangers, bahkan memaksa mereka berlatih guna menghadapi pertarungan berbahaya mencuatkan tanya yang sejak dulu timbul: apakah Zordon seorang pemimpin mulia atau justru sosok egois yang memaksa remaja bertaruh nyawa?
Setidaknya sepercik nostalgia bakal dirasakan oleh penggemar ketika sejumlah momen tampil di layar, mulai terdengarnya bait "Go go Power Rangers" dari lagu tema (semestinya diputar lebih panjang) sampai cameo Jason David Frank dan Amy Jo Johnson selaku pemeran Tommy dan Kimberly di serialnya. This reboot is less-campy than the original series without being too gritty. It's darker yet still very fun to watch. Apabila beberapa perubahan dirasa mengganggu, cobalah berpikiran terbuka karena sederet perubahan tersebut bukan dosa besar yang menyalahi substansi cerita aslinya. Jangan beranjak dulu begitu film berakhir karena ada mid-credit scene menarik berisi tease berkaitan dengan sekuel.
BEAUTY AND THE BEAST (2017)
Rasyidharry
Maret 18, 2017
Beauty and the Beast
,
Belle
,
Bill Condon
,
Dan Stevens
,
Disney
,
Emma Thompson
,
Emma Watson
,
Evan Spiliotopoulos
,
Fantasy
,
Kevin Kline
,
Luke Evans
,
Musical
,
REVIEW
,
Romance
,
Sangat Bagus
,
Stephen Chbosky
33 komentar
Poin terpenting dari remake adalah mempertahankan esensi film aslinya, dan bakal makin baik jika mampu menambal kekurangan, menyesuaikan cerita dengan kondisi modern, serta meningkatkan aspek teknis sesuai kemajuan teknologi. "Cinderella" dan "The Jungle Book" merupakan dua contoh live action remake milik Disney yang memenuhi syarat-syarat di atas. Kini giliran Bill Condon ("The Twilight Saga: Breaking Dawn Part 1 & 2", "Dreamgirls") bertugas menghidupkan "Beauty and the Beast" yang lebih dari dua dekade lalu sanggup menjadi film animasi pertama peraih nominasi Best Picture di ajang Oscar. Prepare to feel the magic from this tale as old as time once again.
Saya percaya anda semua sudah familiar dengan kisah khas fairy tale klasik miliknya, di mana seorang pangeran tampan (Dan Stevens) dikutuk oleh penyihir menjadi makhluk buas mengerikan akibat keangkuhannya. Kutukan itu hanya bisa hilang jika Pangeran mencintai dan dicintai seseorang sebelum kelopak mawar terakhir dari sang penyihir jatuh. Di desa, Belle (Emma Watson) adalah gadis tercantik namun dianggap aneh karena selalu menghabiskan waktu membaca, bahkan menolak cinta Gaston (Luke Evans), pria kuat idola semua wanita. Ketika ayahnya, Maurice (Kevin Kline) tersesat dan ditangkap oleh Beast, Belle bersedia menggantikan posisi sang ayah untuk tinggal selamanya di istana. Lalu seperti anda tahu, itulah awal tumbuhnya benih cinta mereka.
Walau dikukuhkan sebagai klasik, harus diakui animasinya dulu menyimpan beberapa lubang alur yang hingga sekarang kerap diangkat selaku bahan diskusi. Stephen Chbosky dan Evan Spiliotopoulos menyadari persoalan tersebut dalam menulis naskahnya, kemudian melakukan perubahan-perubahan kecil yang berdampak besar, semisal berkenaan timeline yang tak lagi memancing tanya soal usia Pangeran atau asal mula keberadaan Chip (Nathan Mack), si cangkir kecil putera Mrs. Potts (Emma Thompson). Chbosky dan Spiliotopoulos turut menyelipkan fakta jika sang penyihir menghilangkan memori warga kampung tentang Pangeran dan istana supaya ketidaktahuan mereka terasa masuk akal. Secara umum, kualitas narasi film ini jauh lebih baik ketimbang pendahulunya.
Penokohan pun bertambah solid. Serupa Beast, Belle dipandang "berbeda" dan statusnya sebagai misunderstood genius ikut ditekankan. Melihat respon negatif warga yang menganggap tidak sepantasnya wanita banyak belajar membuat sosok Belle kian relevan di masa sekarang. Belle versi baru ini juga berani terang-terangan menolak Gaston yang menegaskan kekuatannya. Hubungan Belle dengan ayahnya diperdalam, menambah bobot emosi lewat selipan kisah masa lalu tentang sang ibu. Demikian pula terkait tokoh-tokoh lain. Ada alasan mengapa Gaston begitu terobsesi pada kekuatan, bukan hanya karena dia pria penuh otot tanpa otak. Sementara paparan singkat mengenai orang tua Beast cukup menjelaskan penyebab sikap kasarnya.
Sepertiga awal penceritaan sejatinya sempat tertatih tatkala filmnya bak kekurangan amunisi di samping tata visual memikat mata termasuk gegap gempita warna-warni nomor musikal "Be Our Guest" yang membuktikan insting Bill Condon merangkai nuansa festive. Namun sebagaimana jalinan asmara Belle dan Beast, momen saat "si buruk rupa" menyelamatkan pujaan hatinya dari serangan serigala bertindak selaku titik balik. Keduanya mulai intens berinteraksi, bertukar tawa dan perhatian, memunculkan kehangatan manis yang bakal memancing senyum penonton mengamati perkembangan natural romansa kedua protagonis. Setelahnya, bersiaplah terhanyut, tak kuasa menahan senyum, tawa, kemudian tersentuh dan meneteskan air mata.
Sudah barang tentu puncak kisah cintanya bertempat di adegan dansa. Bill Condon dan tim berhasil menghidupkan momen tersebut, mulai gaun kuning ikonik Belle, kemegahan dekorasi set, iringan lagu tema, hingga sempurnanya pergerakan kamera menangkap setiap gerakan Belle dan Beast yang mewakili komunikasi rasa antara mereka berdua. Segala aspek berpadu menghasilkan sajian yang akan bisa dikagumi para love skeptic sekalipun. Bagaikan tengah menyaksikan perwujudan kesakralan cinta tatkala dua insan saling jatuh hati, mengekspresikan segenap perasaan tanpa perlu berkata-kata. One of the most romantic musical piece ever put on cinema that perfectly defines what "love" is.
Belle digambarkan sebagai "the most beautiful girl in town" dan Emma Watson mewakili deskripsi itu. Sosoknya lovable dan tegas bersikap. Penuh kasih sekaligus kuat di saat bersamaan. Watson konsisten mempertahankan charm baik kala melakoni porsi drama serius, romansa, komedi, hingga memamerkan kemampuan bernyanyi ditambah antusiasme ekspresif yang dibutuhkan aktris musikal. Saya sempat khawatir Beast kehilangan pesona sebab transisi media animasi ke live action (biasanya) tampil lebih serius, berpotensi melucuti daya tarik ketika makhluk buas ini canggung menyikapi kehadiran sang pujaan hati. Walau butuh waktu, Dan Stevens menggugurkan kekhawatiran saya. Begitu Beast dan Belle semakin lekat, sang aktor berkesempatan menunjukkan sisi kemanusiaan likeable di balik balutan CGI.
Beberapa perubahan demi memperbaiki beberapa kekurangan narasi versi animasi tak serta merta menurunkan respect Bill Condon pada film aslinya dengan tetap memberi sentuhan tersendiri supaya tak berujung shot-for-shot remake. Para penggemar niscaya bakal bernostalgia melihat sederet adegan direka ulang. Percintaan Belle dan Beast boleh jadi suguhan utama, tetapi film ini menyertakan bermacam bentuk cinta lain, sebutlah cinta Belle untuk Maurice (ayah dan anak) juga keduanya pada sang ibu/istri. Bahkan para perabot selaku karakter pendukung turut diberi kesempatan (their "last moment" is very touching), menjadikan "Beauty and the Beast" sebuah perayaan menyentuh terhadap keindahan cinta.
TRINITY, THE NEKAD TRAVELER (2017)
Film jalan-jalan tanpa cerita dan hanya mengobral pemandangan. Mungkin demikian selentingan negatif yang bakal disematkan banyak pihak pada adaptasi buku perjalanan laris "The Naked Traveler" karya Trinity ini. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya keliru. Bersama penulis naskah Rahabi Mandra ("Hijab", "Air Mata Surga), tujuan sutradara Rizal Mantovani ("Bulan Terbelah di Langit Amerika", "5 cm", "Kuntilanak") memang cuma satu, yaitu membuat traveling movie di mana karakternya singgah dari satu tempat ke tempat lain, menikmati keindahan alam sambil sesekali terlibat (sedikit) konflik yang mengajarinya akan satu-dua makna kehidupan. Sayang, poin kedua gagal dimaksimalkan.
Kegemaran traveling dan menulis blog perjalanan membuat Trinity (Maudy Ayunda) jeli memanfaatkan uang dan waktu. Demi mengumpulkan biaya, ia terpaksa bekerja kantoran sambil rutin merayu sang bos (Ayu Dewi) agar memberinya tambahan jatah cuti. Trinity sendiri memiliki bucket list berisi kegiatan-kegiatan (dari makan masakan khas daerah sampai nongkrong bareng Tompi) yang ingin ia lakukan di berbagai tempat seluruh dunia. Pemenuhan bucket list itu membawanya pada serangkaian pengalaman menarik, bertemu orang-orang baru, termasuk sesama traveler bernama Paul (Hamish Daud) yang dirasa dapat mengakhiri kesialannya dalam hal menjalin hubungan cinta.
"Trinity, The Nekad Traveler" sebenarnya tidak wajib menyertakan drama kehidupan, karena konflik dalam kegiatan traveling sendiri pada dasarnya beragam, sebutlah kesulitan mengumpulkan dana, adaptasi di tempat baru, atau (paling fatal) tersesat. Naskah Rahabi Mandra sempat menyelipkan rangkaian masalah itu, bahkan tak lupa mencantumkan solusi yang cukup untuk membuat penonton awam bergumam "oh begitu toh caranya". Sayang, ketimbang rutin menghadirkannya di tiap destinasi Trinity, aspek tersebut hanya muncul sesekali, menjadikan mayoritas durasi film tetap didominasi presentasi pemandangan alam.
Beruntung sinematografi Yadi Sugandi piawai memamerkan keindahan. Memanfaatkan kesempatan mengambil gambar di bermacam surga dunia, Yadi mengemas visualnya dengan ketepatan warna serta sudut kamera yang memfasilitasi penonton ikut menikmati, terbuai oleh kecantikan tiap lokasi khususnya Maldives selaku puncak. Di sinilah keberadaan Rizal Mantovani di kursi penyutradaraan terasa cocok. Sang sutradara mungkin sering keteteran bercerita, namun tidak demikian soal merajut visual (he's one of the best Indonesian music video director). Selain indah, alam pun megah, dan "Trinity, The Nekad Traveler" mampu menonjolkan kemegahan itu, meski seiring waktu berjalan keelokan gambarnya kurang menggigit akibat alur tipis minim gesekan.
Seolah menyadari kekurangan tersebut, paruh akhir perjalanan diisi percikan intrik antara Trinity dengan kedua sahabatnya, Yasmin (Rachel Amanda) dan Nina (Anggika Bolsterli). Andai berkonsentrasi pada paparan nilai persahabatan saja, filmnya berpotensi tampil hangat dan manis. Namun mencapai babak konklusi, film ini berambisi memberi pelajaran lebih "bermakna" seputar kesadaran Trinity akan sikapnya yang malah melemahkan penceritaan saat kemunculannya terkesan mendadak akibat porsi eksplorasi minim. Jangankan menyentuh, saya gagal diyakinkan soal motivasi beberapa keputusan yang Trinity ambil di akhir. Konklusi adalah poin vital. Konklusi lemah dapat meruntuhkan segala keberhasilan yang dicapai suatu film, dan "Trinity, The Nekad Traveler" mengalami hal serupa.
Cerita boleh lemah, kehadiran Maudy Ayunda sebagai lead actress mengangkat daya tarik perjalanannya. She's so charming, funny, and likeable. Entah adegan romantis bersama Hamish Daud atau bersanding dengan Babe Cabita memamerkan kebodohan menggelitik mampu begitu meyakinkan ia lakoni. Maudy juga sukses mengimbangi keliaran Ayu Dewi, menjalin interaksi "renyah" yang selalu menarik setiap kali mengisi layar. Terpenting, kecerdikan sekaligus kesan spiritful dari Trinity sang traveler sanggup ia tampilkan. Saya pun tak keberatan jika harus menghabiskan hampir dua jam melihatnya jalan-jalan menikmati pemandangan walau tanpa diiringi banyak gejolak sekalipun.
BID'AH CINTA (2017)
Film religi tanah air sering terjebak dalam pola penuturan pesan menggurui atau tokoh utama kelewat sempurna. Daripada merasa damai dan dicerahkan saya justru merasa dibodohi, terlebih ketika dewasa ini banyak konflik didasari agama, membuyarkan sikap toleransi yang semestinya mengiringi. Jangankan antar umat berbeda agama, mereka dengan agama sama namun berlainan aliran pun saling serang dan menyalahkan. Pasca keberhasilan "Mencari Hilal" menebarkan sejuknya perdamaian dua tahun lalu, "Bid'ah Cinta" garapan Nurman Hakim ("3 Doa 3 Cinta", "Khalifah", "The Window") mengusung pesan tak jauh beda: kebersamaan di tengah perbedaan.
"Bid'ah Cinta" membawa penonton ke sebuah kampung di mana masyarakatnya terbelah menjadi dua golongan Islam. H. Rohili (Fuad Idris) beserta murid-muridnya bersikap modern. Mereka merayakan maulid Nabi dengan meriah, berziarah kubur, pula mempersilahkan seorang transgender bernama Sandra (Ade Firman Hakim) beribadah bersama. Sebaliknya, H. Jamat (Ronny P. Tjandra) dan sepupunya, Ustaz Jaiz (Alex Abbad), lebih tradisional dan keras, menganggap semua itu sebagai bid'ah. Tapi layaknya kisah Romeo dan Juliet, putera-puteri kedua belah pihak, Khalida (Ayushita Nugraha) dan Kamal (Dimas Aditya) saling mencintai walau hubungan keduanya terbentur selisih paham penerapan ajaran agama.
"Bid'ah Cinta" mengambil lingkup bukan saja di internal dua keluarga, melainkan sekampung. Trio penulis naskah Nurman Hakim, Zaim Rofiqi dan Ben Sohip solid membangun detail seputar seluk beluk setting-nya termasuk para warga dengan problematika masing-masing. Selain Sandra dengan usahanya diterima masyarakat, ada Faruk (Wawan Cenut) yang kesengsem pada Khalida tapi selalu menghabiskan harinya mabuk oplosan bersama Ketel (Norman Akyuwen). Kedua tokoh ini mengajak kita memasuki sisi lain kampung tersebut, menggambarkan bahwa di tengah gesekan dua kubu alim ulama, nyatanya praktik maksiat kokoh merajalela. Berkatnya, film ini terasa lengkap menangkap kondisi suatu kelompok masyarakat, bukan perseorangan belaka.
Masalahnya, pembengkakan durasi tak bisa dihindari. Apalagi terdapat repetisi dalam beberapa peristiwa seperti pertengkaran Khalida dan sang kakak atau dangdut "dadakan" di tempat minum. Mungkin Nurman Hakim memang berniat menekankan pengulangan peristiwa, tapi sewaktu pengadeganan (sudut pengambilan gambar, tempo, intensitas rasa) turut serupa, filmnya jadi kerap terasa melelahkan. Ditambah lagi keberadaan momen-momen singkat selaku penjelas yang sejatinya tak perlu, membuat pergerakan alurnya kurang nyaman akibat terlampau sering berpindah dari satu titik ke titik berikutnya.
Pertanyaannya, bisakah "Bid'ah Cinta" bersikap adil menuturkan dua bentuk Islam yang ada? Ternyata bisa. Kedua sisi diberi kesempatan bersuara dan penonton pun digiring untuk merenungkannya. Pihak H. Rohili nampak toleran pula berpikiran terbuka, sedangkan Ustaz Jaiz dan pengikutnya lebih kaku, tegas cenderung kasar. Tapi bukan berarti kelompok kedua selalu disudutkan, sebab H. Rohili yang awalnya menyatakan tidak suka akan model dakwah penuh amarah nyatanya terpancing juga emosinya. Bahkan Ustaz Jaiz sanggup merangkul Faruk dengan caranya sendiri tatkala H. Rohili mengecam sikap Faruk, mematahkan hatinya. Saya pun seketika menaruh hormat pada Jaiz begitu mendengar sang ustaz mengutuk aksi terorisme.
Walau demikian, sikap adil tak menghalangi Nurman Hakim menyertakan sudut pandangnya. Fakta bahwa penonton lebih banyak diajak menyambangi kerabat-kerabat H. Rohili (termasuk kondisi rumah yang lebih hangat dibanding keluarga H. Jamat) memancing simpati untuk mereka yang otomatis menempatkan Ustaz Jaiz dan kawan-kawan sebagai sosok "asing". Tatkala muncul tindakan ekstrim, sulit untuk tidak mengantagonisasi mereka. Keputusan itu tidak keliru. Artinya sang sutradara lantang menyuarakan prinsip alih-alih bermain aman pada objektivitas tanpa taji. Lagipula, film ini urung mencela golongan kaku, termasuk menolak memberi cap teroris untuknya. Menengok kondisi sosial Indonesia saat ini, definisi toleransi "Bid'ah Cinta" yang sedikit berpihak pada mereka dengan pikiran terbuka merupakan pilihan bijak.
Alex Abbad dan Fuad Idris menonjol di antara jajaran cast selaku pentolan masing-masing kubu. Alex Abbad bergerak dan bertutur layaknya seseorang yang mantap menjunjung kepercayaannya. Dia tidak kenal ampun melawan apa saja yang dianggap menyalahi aturan agama, namun bukan pula manusia tak berhati. Saat Sandra diusir paksa dari masjid, ia membisu, tapi itu lebih karena ketiadaan pilihan lain, sebab ekspresi Alex memancarkan iba. Khalidah disebut sebagai wanita tercantik pujaan seluruh pria kampung. Selain paras ayu, kelembutan laku Ayushita yang tidak pernah terjerumus pada keklisean tokoh wanita solehah lembut nan luar biasa (sok) suci menguatkan deskripsi tersebut.
Bersenjatakan cinta, "Bid'ah Cinta" berhasil menyuarakan pesan perdamaian juga harmoni yang acap kali disimbolkan oleh tata visual lewat beberapa shot simetris memperlihatkan jendela. Ketika cinta dua insan manusia dipersatukan, terjadi pula "perkawinan" dua sisi berlawanan yang sejatinya dan semestinya bersatu. Terlalu naifkah film ini memposisikan cinta selaku magnet penyatu? Sebagaimana dituturkan Kamal, cinta tidak sesederhana itu. Cinta maha besar. Anugerah terbesar Allah bagi umat manusia. Akhirnya, entah pihak dengan pandangan Islam kaku, terbuka, bahkan pemabuk nihil ibadah sekalipun layak berkumpul, bergembira bersama, meninggalkan sang pelaku terorisme sendirian di luar, menatap penuh benci dan iri.
Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Posting Komentar