REVIEW - NOBODY

10 komentar

Merasa premis "mantan pembunuh turun gunung untuk membalas kematian anjingnya" sudah menggelitik? Derek Kolstad selaku penulis trilogi John Wick, kembali menuturkan kisah mengenai balas dendam seorang pria. Tapi alih-alih nyawa seekor anjing, kali ini giliran sebuah gelang kucing yang lenyap. Bob Odenkirk memerankan protagonis yang lepas kontrol, menghabisi sekelompok mafia Rusia, sambil berteriak, "Give me the goddamn kitty cat bracelet!". 

Bangun pagi, membuang sampah, sedikit berolah raga, melakukan pekerjaan membosankan di pabrik milik ayah mertua. Demikianlah rutinitas monoton Hutch (Bob Odenkirk). Hanya ada satu variasi. Terkadang ia melewatkan kedatangan truk sampah, sehingga ditegur sang istri, Becca (Connie Nielsen). Pernikahan keduanya tidak lagi harmonis selama beberapa tahun terakhir. Meski masih seranjang, mereka tidur dengan memasang bantal-bantal sebagai sekat pemisah.

Suatu malam, dua perampok bersenjata menyatroni rumah Hutch. Puteranya, Blake (Gage Munroe), berhasil menyudutkan salah satu perampok, namun Hutch malah menyuruh Blake membiarkan mereka pergi, membuatnya dianggap pengecut oleh si sulung. Tapi saat ia curiga gelang kucing kepunyaan Sammy (Paisley Cadorath) si puteri bungsu turut dicuri oleh para perampok, Hutch menolak tinggal diam. Hutch segera melakukan misi pencarian serta pembalasan, tanpa sadar bahwa aksinya menyulut amarah Yulian (Aleksei Serebyakov), seorang sosiopat keji sekaligus bos mafia Rusia. 

Tentu tidak mengejutkan sewaktu nantinya terungkap jika Hutch (dan salah satu karakter pendukung) bukan pria biasa. Justru itulah yang dinanti. Momen di mana para penjahat sadar, justru nyawa mereka yang terancam akibat membahayakan keluarga tokoh utama. Kolstad tahu penonton amat menantikan titik balik tersebut, sebisa mungkin menahan protagonisnya unjuk gigi, kemudian baru melepaskannya ketika antisipasi penonton memuncak. Hasilnya memuaskan, sebab Nobody tidak memeras semua energi sejak awal, tidak pula berlama-lama menyimpannya. 

Baku hantam perdana terjadi dalam sebuah bus. Menariknya, Hutch tak langsung mendominasi. Pada akhirnya ia unggul, namun setelah melewati perjuangan mati-matian dengan luka di sana-sini. Selain alasan realisme (sejago apa pun dia, Hutch sudah belasan tahun hidup damai sebagai family man), sekali lagi ini menunjukkan keengganan Nobody mengerahkan seluruh amunisi sejak awal. 

Semua bertahap, sebagaimana Odenkirk menangani karakternya, dari seorang pria paruh baya yang tidak nyaman dengan kehidupannya, lalu perlahan menanggalkan topengnya meski tetap dibarengi keraguan, sebelum akhirnya menggila, menikmati ketika melepas semua kepura-puraan tersebut. Satu elemen yang kurang tertata rapi adalah klimaks, termasuk proses menuju ke sana, yang terkesan buru-buru. Bahkan mungkin banyak penonton mengira filmnya masih berada di second act, sebelum menyadari baku tembak brutal yang membuat Hutch bak gabungan John Wick dan Rambo itu merupakan puncak aksi.

Mengawali debut penyutradaraan layar lebar lewat Hardcore Henry (2015) yang dikenal berkat keunikannya menerapkan sudut pandang orang pertama ala video game, Ilya Naishuller membuktikan lagi kapasitasnya selaku sutradara aksi penuh inovasi. Dibarengi barisan musik beraneka genre (jazz, rock & roll, dll.) yang sempurna membangun suasana, Naishuller merangkai aksi dengan beragam variasi senjata (dari tali tas sampai perangkap mematikan buatan sendiri), pula kebrutalan yang ditangani secara cerdik. Hard hitting, namun bukan asal sadis (penonton Indonesia tidak perlu khawatir urusan sensor). 

10 komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE MAN WHO SOLD HIS SKIN

Tidak ada komentar

Pada 2012, Kaouther Ben Hania mengunjungi museum Louvre, yang kebetulan tengah mengadakan retrospektif bagi seniman asal Belgia, Wim Delvoye. Perhatian Ben Hania tertuju pada salah satu karya bertajuk Tim. Bukan lukisan, bukan pula patung, melainkan tato di punggung pria bernama Tim Steiner. Rupanya sejak 2008, tato itu telah dimiliki kolektor asal Jerman, Rik Reinking, dalam sebuah perjanjian yang mengharuskan Steiner duduk bertelanjang dada selama berjam-jam di berbagai pameran guna memperlihatkan tatonya. Poin mencengangkan lain dari perjanjian itu adalah, saat kelak Steiner meninggal, punggungnya akan dikuliti, supaya tato tersebut bisa disimpan di ruang koleksi Reinking.

Dari situlah lahir The Man Who Sold His Skin, perwakilan Tunisia di ajang Academy Awards 2021, yang sukses masuk jajaran nominasi. Kasusnya memang menarik, namun apa yang Ben Hania coba sampaikan? Selain sindiran bagi kaum elitis dunia seni, ada soal perang sipil Suriah, juga rasisme terhadap imigran, khususnya yang berasal dari Timur Tengah (saya yakin poin terakhirlah yang mengunci status nominasi film ini). 

Alkisah, Sam Ali (Yahya Mahayni) terpaksa mengungsi ke Lebanon, meninggalkan kekasihnya, Abeer (Dea Liane), akibat dituduh memprovokasi pemberontakan. Tidak lama berselang, Abeer dijodohkan dengan pria kaya dan pindah ke Brussel, Belgia. Merasa perlu menyelamatkan sang pujaan hati dari "cengkeraman monster", Sam menerima tawaran Jeffrey (Koen De Bouw), seorang seniman, untuk menato punggungnya. Syaratnya, Sam harus diperbolehkan menetap di Brussel. 

Berbeda dengan Steiner, tato milik Sam berupa gambar visa Schengen. Menurut Jeffrey, esensi karya terbarunya ini adalah mengkritisi, bagaimana pengungsi Suriah diberi label persona non grata, dipersulit aksesnya kala mengunjungi berbagai negara. Kini, sebagai benda seni, Sam justru bebas pergi ke mana saja untuk dipertunjukkan dalam ekshibisi. "Menjadi komoditi malah mengembalikan sisi kemanusiaan serta kebebasannya", ucap Jeffrey. Tapi tidak butuh waktu lama hingga Sam menyadari, seiring dengan ia mendapatkan lagi hak tersebut, ia pun kehilangan beberapa hak lainnya. 

Di suatu pameran, Sam ditegur ketika hendak mengajak foto bersama seorang bocah yang mengagumi tatonya. Sam wajib terus duduk di bawah lampu yang menyoroti punggungnya. Seolah hanya punggung bertato itu yang berharga dari Sam, bukan dirinya secara utuh sebagai manusia. Pun tindak tanduknya tidak pernah lepas dari pengawasan sang art dealer, Soraya (Monica Bellucci dengan rambut pirang yang akan membuat banyak penonton pangling).

Naskah buatan Ben Hania mampu tampil menarik mempresentasikan isu tentang dilucutinya kemanusiaan, bahkan saat individu berada di luar zona perang di mana banyak kejahatan kemanusiaan terjadi. Pemandangan ketika Sam dipertontonkan, kemudian duduk di atas panggung untuk dilelang (dalam adegan yang turut menyenggol perihal prasangka berbasis rasisme kepada orang Timur Tengah), seperti memutar waktu, menuju masa perbudakan. Hanya saja, perbudakan modern ini berkedok "apresiasi seni". 

The Man Who Sold His Skin memang tidak selantang The Square (2017) dalam mengolok-olok kaum elitis dunia seni. Ketimbang menampar wajah mereka, Ben Hania cuma memposisikan filmnya bak pengunjung museum yang diam-diam berbisik, bergunjing di belakang. Ketajaman presentasi Ben Hania juga patut dipertanyakan, terkait penggambaran sosok Jeffrey. Apakah ia termasuk elitis yang jadi target kritik? Jika ya, mengapa di akhir sikapnya berubah (meski masih berorientasi uang)? 

Perubahan mendadak Jeffrey tak ubahnya bentuk kebingungan Ben Hania mengenai bagaimana cara mengeluarkan protagonisnya dari konflik. Konklusinya bak berasal dari film berbeda (film hiburan ringan sarat twist yang kerap tak memedulikan logika), walau harus diakui, secara esensi, The Man Who Sold His Skin memberikan akhir yang pantas didapatkan karakternya, selepas frustrasi berkepanjangan yang dihidupkan melalui akting meyakinkan Yahya Mahayni. 


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - LOVE AND MONSTERS

2 komentar

Catat Hollywood, beginilah semestinya petualangan fantasi dibuat. Ceritanya boleh saja penuh monster khayalan, tapi "rasa" harus tetap nyata. Catatan berikutnya (lebih tepatnya pertanyaan), mengapa selepas seri The Maze Runner yang notabene salah satu yang terbaik di masa adaptasi novel young adult merajalela, Dylan O'Brien tak mendapat pengakuan sepantasnya? Melihatnya lagi di Love and Monsters, makin meyakinkan saya, bahwa aktor yang bulan Agustus nanti genap menginjak kepala tiga ini, sepatutnya berada di jajaran bintang kelas A.

Filmnya sendiri sudah begitu mengikat sejak prolog unik yang memberi sedikit twist terhadap formula kisah berlatar post-apocalyptic. Pasca kemunculan suatu asteroid, peradaban nyaris musnah, di mana bumi tinggal menyisakan 5% populasi manusia. Tapi bukan asteroid itu penyebabnya. Faktanya, asteroid berhasil dimusnahkan berkat sebuah misil. Sayangnya, saat meledak, senyawa kimia selaku bahan baku misil menghujani permukaan bumi, mengubah hewan-hewan berdarah dingin menjadi monster mutan. 

Selama tujuh tahun terakhir, para penyintas bersembunyi di ruang bawah tanah guna menghindari ancaman monster. Salah satunya Joel (Dylan O'Brien), yang hidup bersama salah satu koloni sebagai koki. Dia ingin berkontribusi lebih, namun masalahnya, Joel selalu membeku ketakutan kala berada di tengah situasi bahaya. Hingga ia menemukan keberadaan kekasihnya, Aimee (Jessica Henwick), dan nekat menempuh perjalanan maut di permukaan selama tujuh hari demi sang pujaan hati. 

Sangat sederhana. Tidak ada misi menyelamatkan dunia. Seperti telah tertulis di judul, semua dilakukan demi cinta. Hilangkan soal kiamat dan monster pemakan manusia, maka perjuangan Joel mungkin pernah pula dialami oleh banyak dari kita. Tapi bukankah alasan serupa sudah banyak dipakai film lain? Benar, namun Love and Monsters termasuk produk Hollywood langka (khususnya belakangan ini), yang sepenuhnya berhasil mengeksplorasi seperti apa rasanya terpisah dari orang tercinta di tengah akhir dunia. 

Petualangan Joel turut mewakili prosesnya berkembang sebagaimana kisah from zero to hero pada umumnya. Dia belajar bertahan hidup, mengatasi ketakutan, sampai akhirnya tumbuh dewasa kala dipaksa menatap realita yang tak seindah ekspektasi. 

Naskah buatan Brian Duffield (Insurgent, The Babysitter) dan Matthew Robinson (The Invention of Lying, Dora and the Lost City of Gold) menyuguhkan transformasi protagonisnya secara masuk akal. Joel bukan pecundang. Dia tampan, baik, tidak canggung dalam bersosialisasi, memiliki pacar cantik. Saya bisa membayangkan, hidupnya sebelum kiamat berlangsung nyaman nan menyenangkan. Justru karena kenyamanan itulah, Joel tidak dibekali kemampuan menangani kondisi darurat. Pun ketakutan berlebihnya dipicu oleh hal yang dapat dimengerti. Motivasinya murni, rasa sakitnya beralasan, pengembangan karakternya believable. Ditambah kemampuan O'Brien menciptakan protagonis membumi di tengah latar fantasi, Joel adalah figur yang mudah dicintai. 

Bukan si tokoh utama saja, jajaran pendukung lain pun tak lupa diberikan nyawa. Sepanjang petualangannya, Joel bertemu beberapa rekan perjalanan. Clyde (Michael Rooker) dan Minnow (Ariana Greenblatt), sepasang pria tua dan gadis cilik yang mengajarinya berbagai metode bertahan hidup, seekor anjing bernama Boy, juga Mav1s yang merupakan sebuah robot. Kedua penulis tahu bagaimana memunculkan sisi likeable dari tiap individu, sehingga dalam waktu singkat, tidak peduli manusia atau bukan, penonton (dan Joel) terikat secara emosional dengan mereka. 

Di kursi penyutradaraan, Michael Matthews memiliki keseimbangan antara sensitivitas rasa dan keahlian menangani deretan aksi seru. Efek visualnya (yang memperoleh nominasi Oscar) tampil meyakinkan meski filmnya "cuma" punya bujet 30 juta dollar, mewujudkan imajinasi sarat kreativitas para pembuatnya mengenai monster. Beberapa tampak mengerikan, beberapa sebaliknya, bak wujud keajaiban dunia yang aneh. Dunia yang pembangunannya membuktikan kapasitas penceritaan visual filmnya. Tidak perlu eksposisi berkepanjangan. Lanskap tanpa eksistensi manusia, yang sesekali menunjukkan bangkai-bangkai monster maupun pesawat tempur (menyiratkan sisa-sisa perlawanan terakhir umat manusia), sudah cukup memberi gambaran jelas mengenai dunia seperti apa yang tengah kita saksikan.


Available on NETFLIX

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - DOUBLE PATTY

6 komentar

Di kalangan penonton umum, mungkin Double Patty tidak terlalu familiar. Wajar, sebab karya sutradara/penulis naskah Paek Seung-hwan ini memang bukan judul high profile, bukan pula raksasa box office, dengan total perolehan sekitar 15 ribu penonton (tentu ada pengaruh pandemi), sebelum dirilis ke layanan streaming. Tapi bagi sebagian kalangan (termasuk saya), film ini punya arti lebih, mengingat Bae Joo-hyun alias Irene, leader grup Red Velvet, melakoni debut akting layar lebarnya.

Irene memerankan Hyun-ji, yang di sela-sela perjuangannya menggapai cita-cita sebagai news anchor, bekerja di sebuah restoran burger 24 jam. Sedangkan Woo-ram (Shin Seung-ho) adalah atlet ssireum (gulat tradisional Korea Selatan) yang hidupnya tengah berantakan sepeninggal mentornya. Berhenti menjadi atlet, Woo-ram bekerja serabutan, termasuk sebagai bouncer di kelab malam gay. Hingga suatu malam Woo-ram berkunjung ke restoran Hyun-ji, dan kita tahu bagaimana kelanjutannya.

Saya mengapresiasi bagaimana Seung-hwan mau bersabar meluangkan nyaris sejam pertama untuk membangun latar belakang dua tokoh utama, sebelum mempersatukan mereka. Satu jam yang mengalir dalam tempo medium, minim konflik meletup-letup tanpa harus terkesan datar. Tujuannya tentu memunculkan terlebih dahulu koneksi antara penonton dengan masing-masing karakter, supaya saat akhirnya romansa bersemi, kita turut mengharapkan hasil terbaik bagi keduanya.

Tapi ada satu masalah. Masalah besar. Naskahnya kebingungan harus bagaimana memanfaatkan first act tersebut. Seung-hwan seperti tidak tahu apa saja yang mesti ia paparkan, bak asal menumpuk adegan demi adegan, alhasil, alurnya terkesan tidak mempunyai tujuan pasti. Bayangkan ada seseorang yang mendadak ingin pergi ke pantai, lalu nekat mengajak beberapa teman berangkat bersama tanpa rencana, tanpa tahu seluk-beluk jalan, bahkan belum memutuskan pantai mana tepatnya yang hendak dikunjungi. Jadilah ia berjalan tak tentu arah, berkali-kali tersesat, dan saat akhirnya tiba, mungkin teman-temannya sudah terlalu lelah dan tidak lagi memedulikan pantai tersebut. Kita, selaku penonton, adalah teman-teman itu. 

Terkadang pacing-nya terasa draggy, bertahan terlalu lama di satu titik, tapi di kesempatan lain, terasa buru-buru, di mana berbagai elemen penting selaku pondasi penokohan, sekadar numpang lewat. Berantakan. Satu jam berlalu, dan saya masih merasa asing dengan Hyun-ji dan Woo-ram. Padahal tersimpan potensi menuturkan kisah sarat makna, mengenai wanita yang merasa sendirian dan pria yang kehilangan semangat akibat duka. Keduanya sama-sama mempunyai impian, dan setelah menemukan satu sama lain, hasrat mencapai impian itu kembali mereka dapatkan.

Ada kalanya saat menonton, saya merasa seperti sedang menyaksikan drama 16 episode (alias sekitar 16-24 jam) yang dipangkas habis menjadi 107 menit. Satu-satunya penolong datang dari momen kebersamaan Hyun-ji dan Woo-ram. Kedua pemain tidak diberi bekal karakterisasi memadai, namun bisa menghantarkan chemistry cukup solid, melalui deretan obrolan menyenangkan ditemani botol-botol soju. 

Double Patty mencapai titik terbaiknya, tiap dua tokoh utamanya bersama di satu layar. Sayangnya (di luar dugaan) itu jarang terjadi. Mereka lebih sering terpisah, bahkan hingga konklusi yang mestinya jadi puncak emosi dan romantisme. Benar bahwa menjelang third act, keputusan memisahkan keduanya memiliki tujuan, yakni menunjukkan bagaimana dua individu ini lebih dulu "selesai dengan diri sendiri", sebelum siap untuk saling melengkapi. Tapi poin narasi tersebut baru bisa tercapai bila ikatan di antara mereka sudah terjalin kuat, yang mana tidak demikian, karena praktis saat itu Hyun-ji dan Woo-ram baru melewatkan satu malam bersama. 


Available on VIU

6 komentar :

Comment Page:

PREDIKSI PEMENANG ACADEMY AWARDS 2021

14 komentar

Bukan cuma Academy Awards, keseluruhan musim penghargaan kali ini memang terasa berbeda. Agak hambar. Pandemi tentu saja jadi alasan. Banyak film mengundurkan perilisan. Bahkan dari total delapan nominasi Best Picture, selain Mank dan The Trial of the Chicago 7 yang eksklusif tayang di Netflix, baru (dan kemungkinan besar, cuma) Minari yang dikonfirmasi masuk ke bioskop Indonesia.

Meski antusiasme cukup berkurang, saya memutuskan tetap membuat artikel prediksi pemenang Oscar seperti tahun-tahun sebelumnya, sembari berharap, kondisi industri perfilman bakal segera pulih seperti sedia kala. Semoga! Berikut prediksi pemenang beserta pilihan personal saya di tiap kategori.

BEST VISUAL EFFECTS

Belakangan, Oscar cenderung berpihak pada nuansa "realis" ketimbang fantasi (Ex Machina, First Man, 1917). Tenet dan The Midnight Sky paling mendekati. Meski memperoleh reaksi beragam, rasanya mayoritas setuju kalau salah satu keunggulan Tenet ada di elemen visual.

Will Win: Scott R. Fisher, Andrew Jackson, David Lee, Andrew Lockley - Tenet

Should Win: Scott R. Fisher, Andrew Jackson, David Lee, Andrew Lockley - Tenet

BEST FILM EDITING

Di kategori ini, kecenderungannya adalah memenangkan penyuntingan yang terkesan flashy, ketimbang aliran mulus seperti Nomadland. The Trial of the Chicago 7 mempunyai itu, dilihat dari caranya mengemas naskah frantic khas Sorkin.

Will Win: Alan Baumgarten -  The Trial of the Chicago 7

Should Win: Alan Baumgarten - The Trial of the Chicago 7

BEST COSTUME DESIGN

Sekilas saja sudah terlihat, dari deretan nominasi, Ma Rainey's Black Bottom paling menonjol. 

Will Win: Ann Roth - Ma Rainey's Black Bottom

Should Win: Ann Roth - Ma Rainey's Black Bottom

BEST MAKEUP AND HAIRSTYLING

Sama seperti kategori kostum.

Will Win: Sergio Lopez-Rivera, Mia Neal, Jamika Wilson - Ma Rainey's Black Bottom

Should Win: Sergio Lopez-Rivera, Mia Neal, Jamika Wilson - Ma Rainey's Black Bottom

BEST CINEMATOGRAPHY

Mank dengan gaya hitam putihnya tampil menonjol, walau urusan membangun rasa, sejatinya Nomadland superior.

Will Win: Joshua James Richards - Nomadland 

Should Win: Joshua James Richards - Nomadland 

BEST PRODUCTION DESIGN

Persaingan desain period dengan fantasi akan terjadi antara Mank dan Tenet. Seperti Once Upon a Time in Hollywood, surat cinta untuk Hollywood masa lalu rasanya bakal unggul.

Will Win: Donald Graham Burt (production design), Jan Pascale (set decoration) - Mank

Should Win: Donald Graham Burt (production design), Jan Pascale (set decoration) - Mank

BEST SOUND

Akhirnya kategori sound mixing dan sound editing yang kerap menimbulkan kebingungan juri disatukan, sehingga makin memuluskan kemenangan Sound of Metal, yang memang memanfaatkan tata suara sebagai pondasi narasi.

Will Win: Jaime Baksht, Nicolas Becker, Philip Bladh, Carlos Cortés and Michelle Couttolenc - Sound of Metal

Should Win: Jaime Baksht, Nicolas Becker, Philip Bladh, Carlos Cortés and Michelle Couttolenc - Sound of Metal

BEST ORIGINAL SONG

Urusan kreativitas dan orisinalitas, sejatinya Husavik adalah yang terbaik, tapi saya yakin juri bakal bermain aman.

Will Win: Speak Now - One Night in Miami

Should Win: Husavik - Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga

BEST ORIGINAL SCORE

Lewat kemampuannya mengaduk-aduk perasaan, Soul bakal jadi animasi pertama yang memenangkan kategori ini selama lebih dari satu dekade setelah Up pada 2009.

Will Win: Trent Reznor, Atticus Ross, Jon Batiste - Soul

Should Win: Trent Reznor, Atticus Ross, Jon Batiste - Soul

BEST ANIMATED SHORT FILM

Sempat viralnya If Anything Happens I Love You sangat bisa dimengerti. Sungguh perjalanan emosi yang luar biasa.

Will Win: If Anything Happens I Love You

Should Win: If Anything Happens I Love You

BEST LIVE ACTION SHORT FILM

Saya tidak memiliki pilihan personal karena belum menonton satu pun film di kategori ini, tapi relevansi tema, ditambah penayangan di Netflix yang memudahkan akses, bakal memberi peluang besar bagi Two Distant Strangers. 

Will Win: Two Distant Strangers

Should Win: -

BEST DOCUMENTARY SHORT SUBJECT

Sama seperti kategori live action short, saya belum menonton semua kandidat, tapi sekali lagi, relevansi tema bakal berpengaruh.

Will Win: A Love Song for Latasha

Should Win: -

BEST DOCUMENTARY FEATURE

Jagoan saya, Dick Johnson is Dead gagal meraih nominasi setelah terhenti di 9 besar, sehingga tidak ada pilihan personal di kategori ini. Persaingan akan terjadi antara My Octopus Teacher selaku judul high profile yang memenangkan hati publik, dengan Time, berkat kedekatan tema.

Will Win: My Octopus Teacher

Should Win: -

BEST INTERNATIONAL FEATURE FILM

Fakta kalau Another Round juga meraih nominasi Best Director membuatnya paling besar meraih kemenangan.

Will Win: Another Round (Denmark)

Should Win: Quo Vadis, Aida? (Bosnia & Herzegovina)

BEST ANIMATED FEATURE FILM

Kategori ini tidak memerlukan pembahasan lebih lanjut.

Will Win: Soul

Should Win: Soul

BEST ADAPTED SCREENPLAY

Sekilas Nomadland punya peluang terbesar, tapi kemenangan The Father di BAFTA memberinya tambahan daya (Oscar dan BAFTA "serasi" dalam empat dari lima pemenang terakhir kategori ini). Sepertinya 2021 takkan jadi pengecualian, di mana juri bakal cenderung menganggap Nomadland sebagai film "directing-based". Saya sendiri lebih setuju pada pilihan WGA yang memenangkan keliaran Borat Subsequent Moviefilm. 

Will Win: Christopher Hampton, Florian Zeller - The Father

Should Win: Sacha Baron Cohen, Peter Baynham, Jena Friedman, Anthony Hines, Lee Kern, Dan Mazer, Erica Rivinoja, Dan Swimer - Borat Subsequent Moviefilm

BEST ORIGINAL SCREENPLAY

Kemenangan di WGA dan BAFTA makin memuluskan langkah Promising Young Woman, walau saya pribadi lebih terpikat pada kehangatan Minari.

Will Win: Emerald Fennell - Promising Young Woman

Should Win: Lee Isaac Chung - Minari

BEST SUPPORTING ACTRESS

Tidak ada yang mencuri hati publik lebih dari Youn Yuh-jung, dan setelah tahun lalu Parasite tak memenangkan satu pun piala di kategori akting, ini adalah "penebusan" yang pas.

Will Win: Youn Yuh-jung - Minari

Should Win: Youn Yuh-jung - Minari

BEST SUPPORTING ACTOR

Keberadaan dua aktor Judas and the Black Messiah di kategori yang sama jelas pantas dipertanyakan, namun tidak dengan kepantasan Daniel Kaluuya untuk meraih piala.

Will Win: Daniel Kaluuya - Judas and the Black Messiah

Should Win: Daniel Kaluuya - Judas and the Black Messiah

BEST ACTRESS

Terjadi persaingan ketat antara Carey Mulligan dan Viola Davis. Beberapa waktu lalu Mulligan sempat memimpin, namun kemenangan di SAG Awards memberi angin bagi Davis.

Will Win: Viola Davis - Ma Rainey's Black Bottom

Should Win: Viola Davis - Ma Rainey's Black Bottom

BEST ACTOR

Selain demi penghormatan terakhir, performa Chadwick Boseman memang luar biasa dan pantas dianugerahi piala.

Will Win: Chadwick Boseman - Ma Rainey's Black Bottom

Should Win: Chadwick Boseman - Ma Rainey's Black Bottom

BEST DIRECTOR

Walau saya begitu mengagumi sensitvitas Lee Isaac Chung, Chloé Zhao memang sepantasnya menyabet piala kategori penyutradaraan. Terlebih Academy takkan melewatkan kesempatan memenangkan soso keturunan Asia di tengah kondisi sekarang.

Will Win: Chloé Zhao - Nomadland

Should Win: Chloé Zhao - Nomadland

BEST PICTURE

Awalnya terjadi pertarungan antara tiga judul: Nomadland, Minari, The Trial of the Chicago 7. Tapi seiring waktu, Nomadland mulai meninggalkan kedua pesaingnya, sampai kemenangan di BAFTA dan PGA membuatnya tinggal menunggu waktu menerima piala paling prestisius.

Will Win: Nomadland

Should Win: Minari 

14 komentar :

Comment Page:

REVIEW - VIOLATION

Tidak ada komentar

Mencapai puncak popularitas pada 70an salah satunya pasca perilisan I Spit on Your Grave (1978) rape and revenge selalu eksis sebagai bagian film eksploitasi. Terjadi perubahan memasuki era modern. Revenge (2017) menunjukkan bagaimana sineas wanita menangani subgenre tersebut, dengan sepenuhnya menjadikan aspek balas dendamnya perwujudan kemenangan korban, ketimbang alasan mengeksploitasi kekerasan dan seksualitas semata. 

Violation disutradarai sekaligus ditulis oleh dua wanita, Madelaine Sims-Fewer (turut mengisi posisi aktris utama) dan Dusty Mancinelli, yang sama-sama baru menjalani debut film panjang. Sebagaimana Coralie Fargeat dalam Revenge, keduanya menawarkanterhadap dinamika psikis protagonis selaku korban pemerkosaan.

Pernikahannya dengan Caleb (Obi Abili) tengah diterpa krisis, ketika Miriam (Madelaine Sims-Fewer) kembali pulang menemui kakaknya, Greta (Anna Maguire), setelah terpisah bertahun-tahun. Greta sendiri menikahi Dylan (Jesse LaVercombe), yang dari berbagai obrolan, tampak sudah lama mengenal kakak beradik itu. Violation memang dibangun lewat obrolan. Banyak obrolan, yang berkat keluwesan para pemain, tersaji realistis (hingga di beberapa titik terkesan unscripted).

Banyak membicarakan kenangan-kenangan masa lalu, interaksinya amat mulus sehingga memancing ketertarikan lebih lanjut. Kontennya terkesan remeh, misalnya soal pose aneh ayah Miriam dan Greta saat membelah kayu, atau kekonyolan ibu mereka dahulu. Tapi dari situlah tercipta pondasi, yang membantu penonton mengenal pribadi juga hubungan antar karakter. Miriam adalah wanita bermasalah, kerap terlibat perselisihan dengan Greta yang memiliki kepribadian keras. Sedangkan Dylan adalah tipe pria yang bisa cepat akrab dengan siapa saja.

Kemudian setelah obrolan tengah malam di depan api unggun yang melibatkan alkohol, curahan perasaan, serta satu kecupan, terjadilah pemerkosaan tersebut. Tidak ada presentasi vulgar, "hanya" beberapa extreme close-up berisi sentuhan-sentuhan dan kulit yang saling bersentuhan. Filmnya pantang menggambarkan korban (baca: wanita) dalam ketidakberdayaan yang diseksualisasi. Sebaliknya, nanti justru kita melihat karakter pria yang nampak tak berdaya dalam kondisi telanjang bulat. Dari situ, Violation merekonstruksi formula rape and revenge, menjadi bukan sebatas eksploitasi seksualitas wanita.

Selain itu, Sims-Fewer dan Mancinelli juga merajut kisahnya menggunakan struktur non-linier. Tidak hanya menghilangkan penantian membosankan sebelum pertumpahan darah, sebagaimana dilakukan Gaspar Noé di Irréversible (2002), membalik struktur narasi, di mana (sebagian) aksi pembalasan ditampilkan lebih dulu sebelum pemerkosaannya, turut menjauhkan Violation dari ranah eksploitasi. Fokus penonton bukanlah menantikan balas dendam, namun mencari tahu alasan itu dilakukan. Penonton didorong mengobservasi detail peristiwa, kondisi mental protagonis, pun isu kekerasan seksual itu sendiri.

Terkait kuantitas kekerasan, meski tetap terdapat darah, muntahan, mutilasi, bahkan kanibalisme, Violation mungkin tak cukup brutal bagi penonton yang murni mencari sadisme khas revenge movie. Tapi tujuan pembuatnya memang bukan itu. Kesan disturbing cenderung hadir dalam pikiran ketimbang mata, khususnya jelang penutup, kala kita dipancing untuk mengimajinasikan sesuatu yang filmnya siratkan terkait metode yang karakternya pilih guna membalas dendam.

Violation menyelami konflik batin korban, memaparkan apa yang ia rasakan sejak pemerkosaan terjadi, hingga setelah mengeksekusi pembalasan. Akting Sims-Fewer pun berada di jalur serupa. Dinamika emosinya selalu berprogres, dari terguncang, kebingungan, marah, sedih, mungkin juga penyesalan selepas membalas dendam, hingga akhirnya "menerima", yang juga jadi titik kemenangan korban.

Sayangnya ada satu masalah, yakni sebuah adegan pasca pemerkosaan, ketika Miriam nyaris melakukan pelecehan serupa. Benar bahwa ia terguncang, namun itu bukan justifikasi yang dapat diterima, apalagi dalam film yang memihak korban pemerkosaan. Mungkin itu cara Violation memotret kompleksitas isunya? Di luar ironi sewaktu sesama wanita malah berpartisipasi menyalahkan korban, mungkin itu cara Sims-Fewer dan Mancinelli menggambarkan realita jika korban bukan sosok sempurna? Saya memakai kata "mungkin", karena tidak pernah ada kejelasan, yang akhirnya medistraksi pesan penting filmnya.


Available on SHUDDER

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - SURGA YANG TAK DIRINDUKAN 3

3 komentar

Secara filmis, Surga yang Tak Dirindukan 3 sejatinya agak lebih baik ketimbang film kedua, yang juga superior dibanding film pertama, berkat peralihan fokus dari kisah religi seputar poligami menuju disease porn berbalut drama keluarga. Belum pantas disebut "bagus", namun peningkatan tetaplah peningkatan. Wajib diapresiasi. Selain kehadiran Marsha Timothy menggantikan Raline Shah sebagai Meirose, ketertarikan menonton pun muncul saat Pritagita Arianegara (Salawaku) ditunjuk mengisi kursi penyutradaraan. 

Kita tahu seri Surga yang Tak Dirindukan kental nuansa patriarki, sehingga walau masih berbasis novel buatan Asma Nadia, pun naskahnya masih ditulis Alim Sudio, menarik disimak, bagaimana kehadiran sutradara wanita memberikan pengaruh. Dan memang tampak ada niatan menggeser perspektifnya. Kini giliran Pras (Fedi Nuril) berada di posisi mendiang istri pertamanya, Arini (Laudya Cynthia Bella), kala Ray (Reza Rahadian) kembali ke kehidupan Meirose.

Siapa Ray? Ingat saat di film pertama Meirose yang tengah hamil mencoba bunuh diri akibat ditinggal tanpa kejelasan oleh calon suaminya? Ray adalah pria itu. Ayah kandung Akbar (Ali Fikry). Biarpun Meirose sudah berusaha menyembunyikan itu dari sang suami, toh semua akhirnya terbongkar. Mengira Meirose masih mencintai Ray, amarah Pras memuncak setelah tahu bahwa istrinya pernah berduaan di kamar bersama Ray. Padahal kondisi saat itu, Meirose baru siuman pasca sebuah kecelakaan.

Bukankah Pras berada dalam situasi yang mirip sewaktu menyelamatkan Meirose dahulu? Saya takkan menyebut Surga yang Tak Dirindukan 3 sebagai film yang menggugat kerapuhan maskulinitas (apalagi kala gagasan "istri adalah pelayan suami sang kepala rumah tangga" masih tercium di sana-sini), tapi keputusan menukar sudut pandang, membuktikan filmnya mau berkembang. Warna religi dipertahankan tanpa mencekoki penonton dengan ceramah agama. 

Naskahnya lebih cerdik. Misal ketika Pras mengetahui jika puterinya, Nadia (Zara Leola) tak lagi suka mendongeng sebagaimana Arini, dan memilih membuat video dance di YouTube. Masalah itu bisa saja dibawakan memakai tone konservatif, namun Pras memilih sedikit membuka pikiran, kemudian berujar, "Apa yang kita suka belum tentu baik". Konteksnya mengingatkan, bukan melarang. Dan memang betul, hal yang kita sukai belum tentu baik bagi kita. 

Sayangnya deretan hal dipaksakan tetap jadi batu sandungan. Misalnya keputusan Ray menyembunyikan alasan meninggalkan Meirose, yang jelas sebuah retcon kasar terhadap alur film pertama. Atau kebingungan Pras akibat perusahaannya terlilit utang sebesar 2,5 miliar. Perusahaan macam apa yang terancam gulung tikar gara-gara angka tersebut? Sekecil apa profit margin-nya? Tapi biarlah. Saya takkan mempersoalkan lubang logika, untuk film yang memiliki kalimat epik, "SANDIWARA APA YANG SEDANG KALIAN MAINKAN?!". Kalau saja dirilis luas di bioskop, saya yakin kalimat itu bakal jadi bahan banyak meme.

Terpenting, filmnya watchable. Apabila Hanung membawa film keduanya tampil megah nan dramatis, Pritagita menangani emosinya secara lebih intim, dibantu penampilan solid jajaran pemain. Marsha tahu cara menyeimbangkan keteguhan dengan kelembutan, Zara cukup piawai menangani momen dramatis, sementara Reza, seperti biasa, nyaman disaksikan. Aksen medoknya tak selalu enak didengar, namun setidaknya, Reza memakai pendekatan lebih subtil, alih-alih hiperbolis layaknya banyak aktor lain.

Surga yang Tak Dirindukan 3 juga menjadi installment paling menggelitik melalui sentuhan humor, khususnya berkat dua nama: Dea Panendra dan Zsazsa Utari. Dea menjadi seorang guru berkelakuan konyol, dalam peran comic relief yang biasanya identik dengan Asri Welas (kebetulan nama karakternya pun Welas), sedangkan Zsazsa mencuri perhatian melalui celetukan-celetukannya (that "Kecap Bango" jokes will catch you off guard).

Saya bersedia melupakan segala kekurangan film ini, mengakuinya sebagai suguhan layak tonton, hingga tiba sebuah momen. Momen singkat yang sebenarnya tak perlu ada, atau minimal, bisa dipresentasikan secara berbeda. Momen yang memperlihatkan ketidakpekaan filmnya terhadap isu dengan urgency tinggi, yakni kekerasan dalam rumah tangga, di mana mayoritas pelaku adalah suami. 

Momen tersebut terjadi saat Pras yang bimbang mesti bagaimana menyikapi hubungan Meirose dan Ray, menemui seorang ustaz. Sang ustaz kemudian berpetuah, bahwa menurut Islam, jika istri berselingkuh, suami boleh memberi hukuman, mulai dari mengingatkan, memarahi, bahkan memukul asal tidak berniat melukai. Apa perlunya hal itu disampaikan, bila konfliknya sendiri tak pernah mengarah ke sana? 

Film tidak perlu memberi pesan moral. Tapi film wajib peka terhadap situasi, sebagai bentuk tanggung jawab sosial pembuat karya. Apakah bijak, secara sepintas mencatut ayat yang kerap disalahartikan, tanpa mengolah konteks sekaligus pemaknaannya lebih mendalam? Di masa kegelapan dulu, suami bisa menyiksa bahkan membunuh istri yang dianggap membangkang, sehingga "memukul tanpa niat melukai", sama halnya dengan diperbolehkannya pria mempunyai empat istri, merupakan "jalan tengah" yang harus diambil. Sekarang? Wahai pembuat film, silahkan direnungkan, lalu berusaha pahami, bagaimana perasaan istri korban kekerasan tatkala menyaksikan momen tersebut. 


Available on DISNEY+ HOTSTAR

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - QUO VADIS, AIDA?

1 komentar

"Kamu pergi ke mana, Aida?". Begitu terjemahan judulnya. Film ini bertanya, bukan memberi jawaban. Sebab dalam tragedi yang dipresentasikan peraih nominasi Best International Feature Film (perwakilan Bosnia) pada Academy Awards 2021 ini, jawaban itu memang tidak ada. Hanya luka para penyintas yang takkan pernah sembuh, serta sejarah yang cuma bisa diratapi, disesalkan, atau dikutuk, tanpa mungkin diubah. 

Tragedi yang diangkat adalah pembantaian lebih dari 8000 warga Srebrenica (mayoritas pria dewasa dan remaja) pada Juli 1995, kala pecahnya Perang Bosnia. Sutradara/penulis naskah Jasmila Žbanić, yang sebelumnya pernah menuturkan isu pemerkosaan di perang yang sama lewat Grbavica (2006, juga mewakili Bosnia di Oscar meski gagal meraih nominasi), bercerita melalui kacamata Aida (Jasna Đuričić), seorang penerjemah bagi UN.

Kondisi sedang genting. Pasukan Srpska mengambil alih kota Srebrenica, sementara para warganya berlindung di kamp milik UN. Meski sudah diberi ultimatum, pihak Srprska menolak mundur. Tapi Aida percaya, kamp adalah tempat teraman. Bukankah memang demikian? Pasukan Srprska dilarang menyerbu, dan apabila nekat, UN tinggal menyapu bersih mereka dengan serbuan udara bukan? Karena itulah, ketika sang suami dan salah satu puteranya (Aida mempunyai dua putera) dilarang memasuki kamp yang penuh sesak, Aida berjuang keras, berlarian ke sana kemari mencari cara untuk memasukkan mereka. 

Dari situ Žbanić telah membuktikan kualitas penyutradaran (yang membawanya menyabet nominasi Best Director di BAFTA 2021), melalui pembangunan intensitas tinggi, sewaktu menempatkan kamera mengikuti sang protagonis. Terciptalah urgency, yang kerap mengingatkan saya akan Son of Saul (2015). Keduanya sama-sama berlatar kamp tempat genosida dalam sebuah perang, pun sama-sama berhasil menempatkan penonton bak berada di tengah-tengah situasi mencekam itu. 

Tapi sekali lagi, di luar ketiadaan makanan, minuman, maupun toilet, bukankah kamp UN menjamin keselamatan nyawa mereka? Saat itulah tugas Aida selaku penerjemah mengambil peran. Dia mengetahui sedikit demi sedikit informasi, yang semuanya berujung pada kesimpulan, bahwa janji-janji serta harapan yang diberikan kepada warga kemungkinan takkan terpenuhi. 

Ketegangan meningkat, karena ketakutan yang dirasakan karakternya pun bertambah. Di kondisi semacam itu, tiada hal lebih menakutkan ketimbang ketidakpastian, ditambah "terbunuhnya" harapan. Secara bertahap, naskahnya memperlihatkan peristiwa-peristiwa yang membunuh harapan itu satu demi satu. UN yang tadinya merupakan tempat berlindung mulai tersudut, bahkan bertekuk lutut. Titik balik ada di adegan negosiasi antara Srprska dengan UN dan perwakilan warga. Sewaktu Kolonel Thom Karremans (Johan Heldenbergh) menyalakan rokok bagi Jenderal Ratko Mladić (dibawakan amat intimidatif oleh Boris Isaković) yang kejam, di situ kita makin dihantui ketidakberdayaan.

Perjalanan Aida juga mengingatkan saya pada satu lagi kompetitor di kategori Best International Feature Film, yakni Dear Comrades! asal Rusia (mencapai 15 besar namun gagal mendapat nominasi), yang juga mengisahkan perjuangan seorang ibu menyelamatkan keluarganya di tengah pembantaian, bermodalkan informasi selaku "orang dalam". Andai saat itu Aida diberi pertanyaan, "Quo Vadis?", mungkin ia hanya bakal terdiam sembari menggeleng perlahan. 

Akting Jasna Đuričić berhasil mengikat penonton dalam naik-turun emosi yang tak pernah putus, sebagaimana kemampuan sang sutradara menjaga konsistensi ketegangan selama 102 menit. Satu-satunya penurunan hanya terjadi ketika suatu flashback mengenai kompetisi kecantikan yang dahulu Aida ikuti disuguhkan, itu pun bukannya tanpa maksud (meskipun tak mempengaruhi dampak emosi bila dihilangkan) yakni menggambarkan kerinduannya terhadap masa-masa damai. 

Tidak sulit menebak tragedi yang menanti di belakang, tapi toh bukan berarti shock value-nya melemah. Apalagi tatkala filmnya menyuguhkan epilog yang mencabik-cabik perasaan. Epilog mengenai ketidakadilan, dalam hidup yang terus berjalan beriringan bersama luka yang menolak hilang.


Available on HULU

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - MORTAL KOMBAT

7 komentar

Kalau di tengah minimnya penjabaran film ini anda tahu apa itu Earthrealm, Netherrealm, dan Outworld, besar kemungkinan reboot untuk adaptasi layar lebar Mortal Kombat ini bakal memuaskan. Artinya anda termasuk penggemar, yang mana, mendengar istilah-istilah seperti test your might hingga (tentunya) fatality saja sudah memberikan kesenangan tersendiri. Sedangkan penonton umum mungkin mengeluhkannya sebagai fan service yang dipaksakan. 

Bukan berarti tanpa kekecewaan. Berbeda dengan citranya di mata publik awam, Mortal Kombat tidak sebatas turnamen berdarah tempat para petarung mencincang tubuh lawan (atau sesekali mengubahnya jadi bayi). Tersimpan mitologi kompleks luar biasa panjang melibatkan berbagai alam, dewa-dewa, bahkan perjalanan waktu. Debut penyutradaraan Simon McQuoid ini luput membahasnya. Bahkan alasan digelarnya turnamen Mortal Kombat pun takkan ditemukan.

Mengambil pondasi alur dari gimnya ditambah beberapa elemen milik animasi Scorpion's Revenge (film Mortal Kombat terbaik sejauh ini), Mortal Kombat dibuka saat Bi-Han alias Sub-Zero (Joe Taslim) dari klan Lin Kuei membantai Hanzo Hasashi (Hiroyuki Sanada) dari klan Shirai Ryu beserta keluarganya. Seperti kita tahu Hanzo nantinya kembali sebagai Scorpion guna menuntut balas. 

Tapi sebelum itu kita lebih dulu diajak berkenalan dengan para jagoan Earthrealm dari masa kini. Salah satunya Cole Young (Lewis Tan), mantan petarung MMA yang telah habis masa jayanya. Memilih Cole sebagai protagonis sebenarnya patut dipertanyakan. Pertama ia adalah karakter baru, dan kedua, bahkan setelah mampu membangkitkan kemampuan spesialnya, Cole masih jadi karakter tanpa daya tarik, dengan kostum serta kekuatan membosankan, apalagi saat disandingkan bersama jajaran figur ikonik Mortal Kombat.

Berkat informasi dari dua mantan pasukan militer khusus, Jax (Mehcad Brooks) dan Sonya Blade (Jessica McNamee), Cole mengetahui kalau tato naga di dadanya bukan tanda lahir biasa, melainkan tanda bahwa ia merupakan salah satu petarung yang terpilih mewakili Earthrealm dalam turnamen Mortal Kombat. Selain ketiganya, ada Liu Kang (Ludi Lin) dan Kung Lao (Max Huang), yang di bawah bimbingan Raiden (Tadanobu Asano) sang dewa petir, mesti bertarung melawan pasukan Outworld yang dipimpin Shang Tsung (Chin Han).

Berikutnya, naskah buatan Dave Callaham (The Expendables, Zombieland: Double Tap, Wonder Woman 1984) dan Greg Russo menyuguhkan alur setengah matang dengan pergerakan melompat-lompat, yang diperburuk oleh penyuntingan kasar. Penonton yang tak mengetahui sedikitpun perihal gimnya akan sering dibuat kebingungan. Kenapa peristiwa A terjadi? Bagaimana bisa karakter B muncul lagi? 

Muncul kesan, di fase pengonsepan terjadi kebimbangan, apakah ingin menjalin cerita sarat mitologi atau sepenuhnya menanggalkan itu, dan fokus pada baku hantam saja. Di satu sisi, kisahnya kerap terlalu lama mengalihkan filmnya dari pertarungan, namun di sisi lain, seperti sudah disebutkan, kekayaan dunia Mortal Kombat gagal dieksplorasi. 

Perbedaan terbesar reboot ini dengan versi Paul W. S. Anderson adalah terkait tone. Nuansa cheesy ditanggalkan demi memfasilitasi kebrutalan. Pertanyaannya, perlukah pendekatan gritty, di saat gimnya sendiri begitu over-the-top pun tak jarang konyol? Pada film di mana karakternya mengeluarkan celetukan "flawless victory" pasca membelah tubuh musuh, rasanya keseriusan kurang pas diterapkan. Terjadilah inkonsistensi tone. Liu Kang lewat segala tata krama ala biarawan terlihat menggelikan di antara penuturan serius filmnya. Pun bisa jadi, jika dikemas cheesy, ada tempat bagi lagu tema legendaris Techno Syndrome untuk muncul alih-alih versi adaptasinya (meski sebenarnya sudah cukup membangkitkan nostalgia dan antusiasme). 

Selain Liu Kang dan Kung Lao yang nampak bak bocah kemarin sore ketimbang petarung harapan bumi (khususnya Kung Lao, selaku keturunan "The Great Kung Lao", jawara Mortal Kombat pertama dari Earthrealm), presentasi karakter lain cenderung memuaskan, baik soal desain maupun penokohan. Bahkan filmnya sempat menyelipkan nod cerdik tentang Noob Saibot. Mengenai karakterisasi, Kano (Josh Lawson) tampil paling menarik sebagai prajurit bayaran sadis yang enggan berhenti berseloroh.

Poin terbaik Mortal Kombat tentu saja aksinya, di mana McQuoid paham betul bahwa banjir darah saja belum cukup. Finishing move harus diperhatikan, dan ia menghadirkan berbagai fatality kreatif yang akan terasa familiar bagi pemain gimnya (terutama untuk Kung Lao, Scorpion, dan Sonya). McQuoid memakai fast cutting, yang dikombinasikan dengan tata suara serta koreografi memadai, sehingga bukannya kacau, mayoritas pertarungan terasa hard-hitting. 

Jika Kano mencuri fokus dalam hal penokohan, terkait baku hantam, bintangnya adalah Sub-Zero dan Scorpion. Didukung kemampuan martial arts Joe Taslim, penonton disuguhi beragam gerakan unik khas si ninja es. Scorpion? Tidak perlu repot-repot membahas tetek bengek koreogragfi. Fakta bahwa ia mengucapkan catchphrase "Get over here!" diiringi lagu tema, sudah menjadi highlight. 

Begitu film berakhir, ada kesan bahwa sejatinya ini sebatas prolog bagi cerita lanjutan yang lebih besar, dengan konflik lebih mengancam, juga kemunculan lebih banyak tokoh favorit para penggemar (salah satunya di-tease pada akhir film). Memuaskan, memancing ketertarikan terhadap sekuel, tetapi meninggalkan harapan adanya perbaikan di banyak sisi, khususnya pembangunan dunia.

7 komentar :

Comment Page:

REVIEW - SEOBOK

Tidak ada komentar

Saat manusia ingin tetap hidup, apakah ia benar-benar ingin menjalani kehidupan, atau karena takut akan kematian? Kenapa takut akan kematian, di saat mati tak ubahnya tidur panjang untuk selamanya? Kenapa bukan kehidupan yang ditakuti, padahal hidup banyak meninggalkan rasa sakit? Melalui dua protagonisnya, mantan agen intelijen yang tinggal menanti ajal akibat penyakit dan individu abadi hasil kloning, sutradara/penulis naskah Lee Yong-ju mengeksplorasi deretan pertanyaan di atas, guna melahirkan thought-provoking blockbuster, meski tak semua pokok bahasan mendapat jawaban memuaskan.

Hidup Min Ki-hun (Gong Yoo) berantakan saat pertama kita menjumpainya. Selain penyakit yang membuatnya divonis berumur pendek, ia pun kecanduan obat-obatan. Sampai mantan bosnya di biro intelijen, Ahn (Jo Woo-jin), menawarinya misi melindungi Seo Bok (Park Bo-gum), manusia hasil kloning pertama yang memiliki hidup abadi. Sel dalam tubuhnya juga dipercaya bisa menyembuhkan semua penyakit. Bukan cuma itu, kekuatan super lain juga dimiliki Seo Bok. Gelombang otaknya dapat mengontrol tekanan semua benda, sehingga ia mampu menggerakkan apa pun hanya lewat pikiran.

Tentu dengan kemampuan demikian, banyak pihak berhasrat mengendalikannya, dan dari situlah Seobok membangun pondasi sebagai road movie bersampul aksi fiksi ilmiah. Benar ada rentetan aksi, pun bujet sekitar 16,5 miliar won (hampir 15 juta dollar) mampu memberi efek CGi lumayan solid, namun fokus utama filmnya justru mengeksplorasi perspektif perihal kehidupan. 

Di sela-sela perjalanan, Ki-hun dan Seo Bok kerap bertukar pikiran, melempar pertanyaan-pertanyaan seperti tertulis di paragraf pembuka. Sebagai manusia abadi, wajar saat Seo Bok bertanya, "What dying feels like?" kepada Ki-hun yang tengah sakit keras. Baru ketika menyusul pertanyaan, "Did it feel good to live?", sesaat saya tertegun. Kepercayaan umum bahwa "hidup merupakan anugerah" membuat manusia jarang, atau malah tak pernah menanyakan itu. Sebab berbeda dengan kita, bagi Seo Bok keberhasilan bertahan hidup bukan suatu pencapaian. 

Jelas jawaban film ini atas pertanyaan Seo Bok adalah, "Yes, it feels good to live". Mengapa? Akibat perasaan bersalah dari masa lalu, Ki-hun sadar ia pantas mati, namun ia tetap ingin hidup. Mengapa? Selepas satu adegan berbalut visual indah nan magis berlatar pantai, Seo Bok mampu mengentaskan Ki-hun dari rasa berdosa, tapi Lee Yong-ju gagal menyediakan konklusi memuaskan bagi proses protagonisnya. Jadi apakah Ki-hun memilih hidup karena benar-benar ingin, atau semata akibat takut akan kematian? Jawabannya tidak pernah meyakinkan.

Dampak emosi dari presentasi dramanya juga tersendat gara-gara beberapa adegan berlangsung lebih lama dari seharusnya, bak menolak berakhir meski poinnya sudah tersampaikan. Berakhir tak membosankan berkat penampilan dua pemeran utama. Ketika Bo-gum punya wajah "polos" yang cocok mewakili kemurnian Seo Bok, Gong Yoo menjadi kutub berlawanan. Kacau, berantakan, mudah kesal. Tidak jarang, kuatnya chemistry mereka dimanfaatkan sebagai alat pencipta dinamika, khususnya dalam tiap selipan humor, yang sesekali menggiring Seobok ke ranah buddy comedy. 

Dikenal sebagai sosok di balik lahirnya romansa Architecture 101 (2012) tak menjadikan Yong-ju canggung mengarahkan aksi, yang di luar dugaan cukup brutal dan menyakitkan (not gory, but has more violent than expected), terlebih kala melibatkan Seo Bok unjuk gigi memamerkan kekuatan supernya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - NIGHT IN PARADISE

3 komentar

Modal filmografi impresif (I Saw the Devil, The Unjust, New World, The Wtich: Part 1. The Subversion) sebagai sutradara dan/atau penulis naskah, membuat karya terbaru Park Hoon-jung ini, yang ditayangkan perdana di Festival Film Internasional Venice tahun 2020 lalu, cukup dinantikan. Sebuah drama kriminal kelam, cenderung nihilistik, tentang sekelompok individu yang mengakrabkan diri dengan kematian. Rupanya sewaktu terjadi pertumpahan darah berujung banyak kematian, Pulau Jeju yang dikenal atas kedamaian serta keindahan bak surga pun tampak lebih pekat daripada kegelapan malam.

Berkat pengalamannya, Hoon-jung tahu bagaimana mesti mengolah film bertema dunia gangster, serta apa saja elemen yang membuat genre tersebut jadi salah satu identitas sinema Korea Selatan. Dunia tersebut tak ubahnya hutan liar. Semua saling mangsa. Barangsiapa menunjukkan kelemahan harus bersiap meregang nyawa. Also, no deed (good or bad) goes unpunished. 

Sehingga saat Park Tae-goo (Uhm Tae-goo), seorang anggota gangster, mendapati kakak perempuan dan keponakannya dibunuh oleh geng lawan, apa yang ia lakukan setelahnya bak proses hukum alam. Tae-goo menghunuskan pisau ke leher bos geng itu, dalam sekuen yang menandai kali pertama penonton menyaksikan pertumpahan darah di Night in Paradise. Tentu itu jauh dari yang terakhir.

Demi keamanannya, Tae-goo dikirim oleh sang bos (Park Ho-san) ke Vladivostok, Rusia. Sebelumnya, ia mesti singgah dulu di Jeju selama seminggu, menanti instruksi lebih jauh. Di situlah Tae-goo bertemu Jae-yeon (Jeon Yeo-bin), gadis berperangai dingin yang menderita sakit parah. Pamannya, Kuto (Keone Young), berniat membawa Jae-yeon ke Amerika untuk berobat, yang mana bakal meningkatkan peluang kesembuhannya, dari di bawah 10% jadi mendekati 20%. Bukan angka yang menjanjikan.

Night in Paradise berisi orang-orang yang menemui jalan buntu dalam hidup mereka, lalu memilih pasrah terbawa arus alih-alih berjuang sampai ke permukaan. Jae-yeon dan penyakitnya, sedangkan Tae-goo nantinya mengetahu bahwa akibat sebuah pengkhianatan, nyawanya jadi incaran Direktur Ma (Cha Seung-won), salah satu pimpinan geng lawan yang berniat balas dendam. Keduanya boleh tak lagi memedulikan keselamatan diri sendiri, namun bagaimana bila melibatkan orang lain? 

Pernyataan itu diutarakan, bersamaan dengan eksplorasi karakter melalui rangkaian interaksi panjang pula minim letupan, yang mungkin bakal terasa membosankan bagi mereka yang datang demi parade aksi brutal para gangster. Tapi untuk penonton yang bisa mengapresiasi akting, Night in Paradise tampil cukup memikat. Uhm Tae-goo dan Jeon Yeo-bin mewakili sisi humanis kisahnya, menghidupkan dinamika dalam interaksi dua manusia pesimistis. 

Sementara Park Ho-san dan Cha Seung-won datang dari sisi dunia hitam, membawakan peran masing-masing lewat attitude berlawanan khas kisah gangster. Ketika Ho-san adalah sosok penjilat yang menghalalkan segala cara (mengingatkan saya pada karakternya di drama Hush, hanya saja tanpa bumbu komedi), Seung-won merupakan figur keji nan intimidatif. Obrolan keduanya bak menghadirkan gravitasi yang menarik atensi kuat terhadapnya. 

Jangan khawatir jika aksi merupakan alasan anda menonton Night in Paradise, sebab Hoon-jung menyiapkan beberapa sekuen hard-hitting yang menumpahkan banyak darah, meremukkan tulang, dan melubangi kepala-kepala manusia. Pengarahannya mumpuni, dengan pilihan shot serta timing yang cukup untuk memancing teriakan penonton, baik berupa sorak sorai maupun ekspresi ngilu. Melihat klimaksnya, mungkin anda akan berpikir bahwa tubuh gangster Korea Selatan punya jumlah darah melebihi kadar normal manusia biasa. 

Selepas klimaks, terdapat aksi penutup selaku epilog. Aksi yang menjadikan Yeo-bin salah satu wanita paling badass (pemirsa Vincenzo siap-siap terkejut) di perfilman Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir sejak Kim Ok-bin membantai puluhan lawan di The Villainess (2017). Sayangnya dalam mempresentasikan konklusinya, Park Hoon-jung memilih jalan klise. Andai dia menghilangkan suara tembakan bisa jadi dampaknya berbeda. Mungkin itu dilakukan demi menghapus ambiguitas yang kurang disukai penonton arus utama, tapi bukankah konklusi nihilistik juga bukan kesukaan mereka?


Available on NETFLIX

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - SHIVA BABY

Tidak ada komentar

Emma Seligman mengemas debut penyutradaraannya seperti film horor, dengan musik pembangun nuansa tidak nyaman buatan Ariel Marx, serta beberapa momen di mana dua karakter berpapasan yang tampil bak versi ramah dari jump scare. Tapi Shiva Baby, selaku pengembangan film pendek berjudul sama karya Seligman, adalah komedi. Walau memang, komedi ini mengambil latar peristiwa, yang bagi banyak orang mungkin lebih menyeramkan dari hantu: acara keluarga

Shiva dirayakan oleh orang Yahudi selama seminggu sebagai wujud duka cita. Keluarga besar serta kerabat berkumpul, namun layaknya kumpul keluarga lain (membuat filmnya terasa universal), selain berbagi kesedihan, acara itu turut jadi ajang bergosip. Sekolah di mana? Kuliah di mana? Mau kerja apa? Kok sekarang kurusan? Mana pacarnya? Kapan nikah? Siapa tidak muak pada rangkaian pertanyaan tersebut?

Danielle (Rachel Sennott) terpaksa datang demi memenuhi permintaan kedua orang tuanya (Polly Draper dan Fred Melamed). Apalagi kehidupan Danielle bukan sesuatu yang bisa dibanggakan di mata keluarga besar. Dia masih bingung menentukan masa depan. Berlawanan dengan mantan kekasihnya, Maya (Molly Gordon), yang mantap melanjutkan ke sekolah hukum. Danielle terkejut mengetahui kehadiran Maya, sementara sang ibu, yang setidaknya berpikiran lebih terbuka daripada mayoritas anggota keluarganya, mewanti-wanti, "No funny business with Maya". 

But Danielle has other funny business. Film dibuka oleh erangan Danielle di tengah seks. "Yeah daddy", ucapnya. Tentu "daddy" di sini tidak bermakna literal, namun ditujukan pada Max (Dany Deferrari), yang merupakan sugar daddy Danielle. Nantinya, secara tak terduga, Max bakal menambah tekanan yang diterima Danielle di tengah shiva. Begitu pula Kim (Dianna Agron), seorang pebisnis sukses yang datang membawa bayinya. Bagaimana orang-orang ini terhubung, saya takkan membocorkannya.

Awalnya tak mudah menikmati Shiva Baby, karena usaha Seligman memberi pengalaman immersive, supaya penonton ikut merasakan betapa kacaunya hati Danielle, di antara riuh rendah pertanyaan yang terus menerornya. Pun tidak jarang "kekacauan" itu menenggelamkan kekuatan humornya yang sarat sindiran. Tapi seiring waktu, pendekatan Seligman semakin menunjukkan keunggulannya perihal membangun atmosfer, juga intensitas.

Selain musik ala horor, penyutradaraan Seligman mumpuni melahirkan atmosfer klaustrofobik, entah melalui pemakaian close-up, efek visual (beberapa distorted visions), hingga metode penyuntingan frantic guna menggambarkan tekanan yang diterima protagonisnya dari segala arah. Komparasi paling dekat mungkin dengan Krisha (2015) karya Trey Edward Shults, dan Uncut Gems (2019) buatan Safdie Bersaudara. 

Sennott tampil baik menghidupkan kegamangan seorang gadis, yang seperti muda-mudi umumnya, sedang terombang-ambing. Ada keyakinan atas kemampuannya berbuat lebih, namun di saat bersamaan, timbul pula keraguan terhadap keyakinan tersebut. Danielle yang mempelajari gender di sekolahnya, awalnya yakin bahwa seksualitas merupakan jalannya mengekspresikan empowerment. Lalu keraguan menguat, bahkan di satu titik, atas dorongan ego pribadi, ia mengecilkan pencapaian Kim selaku wanita karir, yang sebagai penganut feminisme, semestinya ia "rayakan".

Seligman menyuguhkan perspektif empowerment yang menarik di sini. Dia menyediakan ruang representasi bagi karakter biseksual, melempar kritik bagi pria parasit seperti Max (atau sering kita sebut "mokondo"), sembari menyampaikan realita, bahwa ironisnya, seringkali sesama wanita (yang harusnya seperjuangan dalam melawan represi) malah saling mengerdilkan, menyudutkan, bahkan menjatuhkan. Sebelum secara menggelitik (sekaligus manis dan positif), mengajak penonton menertawakan nasib bersama (film ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi Seligman), seolah sambil berujar, "Well, family will stick together no matter what, right?".


Available on iTunes 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - ANBIRKINIYAL

Tidak ada komentar

Membuat film survival bukan perkara gampang. Sebagaimana tokoh utamanya, sang pembuat mesti cerdik berkreasi, mencari solusi di tengah keterbatasan. Anbirkiniyal menempuh jalan lain. Antara kurang percaya diri dengan elemen survival-nya, atau didorong ambisi tampil lebih besar dari seharusnya, remake versi Tamil dari film Malayalam berjudul Helen (2019) ini, lebih banyak menghabiskan waktu di luar, ketimbang di dalam ruang pendingin tempat protagonisnya terkurung selama sekitar lima jam.

Serupa banyak film Hindi, Anbirkiniyal tidak ragu menghabiskan waktu membangun pondasi, di mana konflik seputar bertahan hidup baru hadir kala durasi menyentuh angka 50 menit (dari total 122 menit). Sebelumnya, penonton diperkenalkan dulu pada Anbirkiniyal alias Anbu (Keerthi Pandian), gadis yang disukai semua orang berkat keramahan dan senyum manis yang selalu ia berikan. Selain bekerja paruh waktu di restoran cepat saji hingga tengah lama, Anbu sedang berjuang mencapai cita-citanya, untuk bekerja di Kanada sebagai perawat.

Alasannya, demi membantu perekonomian keluarga, termasuk hutang ayahnya, Sivam (Arun Pandian). Hubungan keduanya mendominasi sejam pertama, penuh interaksi hangat sekaligus menggelitik, yang dihidupkan oleh kuatnya chemistry dua pemeran utama. Wajar saja, mengingat di dunia nyata, mereka adalah ayah dan anak sungguhan. Faktanya, Arun dan puteri sulungnya, Kavitha, turut bertindak selaku produser. 

Di sisi lain, Anbu menyembunyikan hubungannya dengan Charles (Praveen Raja) dari sang ayah, karena kekasihnya itu menganut Kristen. Hingga hubungan itu terungkap pasca peristiwa tak menyenangkan di suatu malam, yang turut menimbulkan konflik antara Anbu dengan Charles dan Sivam. Belum sempat konflik tersebut usai, terjadilah hal tak terduga. Akibat kelalaian beberapa karyawan, Anbu terkurung dalam ruang pendingin di tempatnya bekerja, pada malam hari setelah restoran tutup. 

Apakah lamanya waktu yang dihabiskan untuk membangun latar belakang memberi dampak positif? Nyatanya demikian. Selain membantu mengenal tokoh-tokohnya sehingga memudahkan timbulnya simpati, muncul pula pertanyaan, "Bagaimana jika sebuah pertengkaran jadi memori terakhir tentang sosok tercintamu?". Mungkin pertanyaan serupa mengisi kepala Sivam, yang membuat perjuangannya mencari sang puteri semakin emosional. 

Tapi tidak seluruh durasi dimanfaatkan secara efektif. Lebih banyak porsi diberikan bagi kampanye anti-rokok berkedok drama keluarga, ketimbang menggali aspek lain, misalnya soal cinta beda golongan antara Anbu dan Charles, yang berakhir sebagai pernak-pernik tanpa dampak berarti. Menghilangkannya pun takkan mempengaruhi apa pun, mengingat kesan buruk yang tertinggal saat Sivam pertama kali bertemu Charles, bukan berasal dari perbedaan tersebut.

Sajian utamanya, yang menampilkan usaha Anbu bertahan hidup dipresentasikan dengan baik. Seiring terus menurunnya suhu ruangan, kita menyaksikan beragam cara ditempuh Anbu, mulai dari membungkus tubuh menggunakan kain, plastik, serta duct tape, sampai membangun "iglo darurat" bermodalkan kardus dan kotak penyimpan makanan. Tidak semua berjalan mulus, di mana beberapa malah memberinya kesulitan (dan cedera) baru. 

Intinya, terdapat banyak varian peristiwa, agar ketegangan terus terjaga walau cuma berlatar satu ruangan. Pun setelah menghabiskan separuh awal film sebagai gadis likeable, Keerthi mampu menghidupkan penderitaan-penderitaan Anbu, tanpa harus melemahkan sosoknya. Dia terpojok, terluka, sekarat, berulang kali jatuh, namun enggan menyerah hingga titik darah penghabisan.

Masalahnya, keputusan untuk terus memindahkan fokus dari dalam dan luar ruangan, mengganggu flow penceritaan, biarpun penyutradaraan Gokul sejatinya lumayan efektif perihal membangun intensitas. Di sela-sela perjuangan Anbu, kita juga melihat saat pencarian yang dilakukan Sivam dan Charles menemui banyak rintangan, khususnya dari pihak polisi yang tak bertanggung jawab. Memang benar, kritik soal bagaimana kelalaian aparat berpotensi menghilangkan nyawa manusia menambah relevansi penceritaan. Tapi jika seusai film penonton lebih teringat pada kebusukan polisi (yang menyita lebih banyak durasi) ketimbang survival-nya, berarti Anbirkiniyal bukanlah film survival yang baik.


Available on PRIME VIDEO

Tidak ada komentar :

Comment Page: