REVIEW - GET DUKED!
Sampai tulisan ini dibuat, Get Duked! merupakan komedi terlucu yang saya tonton sepanjang tahun 2020. Sebuah tipikal komedi British penuh celetukan menggelitik, ditambah komedi hitam, sekuen trippy, dan pesan relevan mengenai kelas sosial, ras, dan jarak antara generasi.
Alkisah empat remaja berpartisipasi dalam program pelatihan pengembangan diri, di mana dengan perlengkapan seadanya, mereka harus mengarungi dataran tinggi Skotlandia. Kemampuan-kemampuan seperti menentukan arah hingga kerja sama tim dinilai. Apabila dinyatakan lulus oleh Carlyle (Jonathan Aris) selaku pengawas, keempatnya berhak mendapatkan The Duke of Edinburgh's Award. Seperti namanya, penghargaan itu awalnya diinisiasi oleh Pangeran Philip, Duke of Edinbugh pada 1956.
Tiga dari empat remaja tersebut adalah teman satu sekolah. Duncan (Lewis Gribben), Dean (Rian Gordon), dan DJ Beatroot (Viraj Juneja). Ketiganya dikirim ke program tersebut akibat kerap menyulut kekacauan, termasuk meledakkan toilet beserta "isinya". Satu remaja lagi bernama Ian (Samuel Bottomley). Berbeda dengan ketiga rekannya, Ian berpartisipasi atas kemamuan sendiri, demi memperoleh piagam, yang menurutnya bakal berguna saat mendaftar kuliah.
Perbedaan yang muncul, karena tidak seperti trio pembuat onar itu, Ian berasal dari keluarga menengah ke atas. Sewaktu anak lain asyik bersenda gurau, Ian sibuk membaca peta atau mengisi checklist berisi penilaian kinerja tim. "Work hard on what you do and everything would come true", demikian kata Ian, yang cuma direspon dengan tawa oleh Dean. Ada jurang strata dan privilege yang nyata. Ketika Ian mencanangkan berkuliah hukum di universitas ternama, Duncan dan Dean bersemangat menantikan pekerjaan mengepak ikan dengan bayaran £6.5 per jam.
Tapi di mata The Duke (Eddie Izzard) dan The Duchess (Georgie Glen), keempatnya sama: hama. Di tengah perjalanan yang sudah penuh rintangan, nyawa mereka berempat justru terancam, ketika pasutri darah biru tersebut memburu mereka. Sebagaimana banyak kulit putih pemegang kuasa, The Duke dan The Duchess memandang dirinya superior. Sebagaimana banyak generasi boomer, The Duke dan The Duchess menuding generasi masa kini bersalah atas rusaknya dunia, walau pada kenyataannya, merekalah yang mewariskan kerusakan dunia itu.
Secara bersamaan, polisi lokal di bawah pimpinan Sersan Morag (Kate Dickie), yang sebelumnya sibuk mengusut kasus pencurian roti, mulai mengalihkan fokus memburu pelaku terorisme. Apa hubungannya dengan perjalanan keempat protagonis kita? Nanti benang merahnya bakal terungkap melalui tuturan menggelitik mengenai ketidakbecusan dan rasisme aparat, yang melengkapi kesuksesan Ninian Doff (juga duduk di kursi sutradara) melahirkan naskah yang tajam dalam mengkritisi tanpa kehilangan kejenakaan.
Humornya beragam, dari satir hasil kesulitan komunikasi antar individu berbeda kelas, sampai kebodohan karakternya, yang meski ekstrim, tak terasa mengherankan, sebab mereka adalah anak-anak yang meledakkan toilet demi konten (dan perhatian). Humor dalam kisah sarat kekacauan membuat filmnya tampil dinamis, apalagi kala penyutradaraan bertenaga dari Doff didukung oleh barisan lagu hip hop, beberapa visual bernuansa sureal yang hadir tiap karakternya memakan "sesuatu", serta akting keempat pemeran utama yang akhirnya tetap membuat penonton rela mendukung mereka, tidak peduli sesering apa Ian merengek, atau seberapa gila nan bodoh tingkah polah ketiga temannya.
Available on PRIME VIDEO
REVIEW - MUDIK
Cukup disayangkan, akibat pandemi karya terbaru sutradara Adriyanto Dewo (Tabula Rasa, Lima) yang sebelumnya sempat diputar di Macau International Film Festival dan CinemAsia Film Festival ini batal tayang di layar lebar. Walau akhirnya tetap bisa ditonton di Mola TV, kesempatan diputar saat libur lebaran pun sirna. Tidak ada jaminan filmnya bakal sukses secara komersial mengingat gaya bertuturnya jauh dari kemeriahan "film hari raya" ditambah ketiadaan nama bankable di jajaran pemain, namun saya bisa membayangkan, menontonnya bertepatan (atau minimal berdekatan) dengan Idul Fitri bakal menghasilkan pengalaman begitu berkesan berkat kisahnya yang amat dekat.
Alurnya mengisahkan pasangan suami-istri, Firman (Ibnu Jamil) dan Aida (Putri Ayudya), yang hendak mudik berdua mengendarai mobil. Tujuannya adalah rumah orang tua Firman. Tapi sejak awal sudah nampak ada masalah. Secara tersirat kita mempelajari bahwa beberapa waktu terakhir, pasutri ini hidup terpisah atas permintaan sang istri. Aida baru mengetahui dirinya mandul, sehingga memerlukan waktu menyendiri. Saat itulah ia menaruh curiga pada kesetiaan Firman.
Tentu saja sang suami menyangkal sudah berselingkuh. Tak butuh waktu lama bagi penonton dan Aida untuk meragukan sangkalan tersebut. Firman menjadikan "nggak denger, kan di-silence" sebagai alasan tidak mengangkat telepon, sampai beberapa saat kemudian, ternyata handphone-nya berada dalam mode getar kala ada panggilan masuk. Panggilan itu berasal dari sang ibu. Firman mengaku sedang terjebak macet di jalan tol, padahal keluar ke jalan raya pun belum. Ada tendensi berbohong yang besar dari pria ini.
Sepanjang perjalanan kita diajak menyaksikan kemacetan khas mudik. Sebuah pemandangan yang bisa didapat karena proses pengambilan gambar bertepatan dengan Idul Adha, dan berkatnya realisme Mudik pun bisa dibangun. Lalu malam hari tiba, dan terjadilah peristiwa itu. Saat itu giliran Aida menyetir. Dia menabrak pria pengendara motor. Pria itu tewas. Meski sempat kabur, perasaan bersalah mendorong Aida dan Firman menyusul ke rumah sakit. Sewaktu mereka bertanya soal kondisi pria itu, seorang suster tak mampu memberi jawaban pasti karena banyaknya kecelakaan. "Lebaran ya begini", katanya
Pernyataan di atas menegaskan betapa kecelakaan lalu lintas saat mudik merupakan hal biasa. Bahkan, Adriyanto Dewo sendiri mengalami musibah serupa, yang membuatnya harus menyutradarai film ini di atas kursi roda selama dua minggu. Miris sebenarnya. Nyawa ratusan manusia yang melayang tiap tahun berubah jadi angka-angka statistik, lalu dianggap suatu kewajaran selaku bentuk rutinitas.
Dengan mengangkat hal itu, naskah yang juga ditulis oleh Adriyanto mengembalikan sisi kemanusiaan, khususnya bagi mereka yang ditinggalkan. Agar sengketa bisa diselesaikan secara damai, Firman dan Aida memilih mendatangi rumah korban, di mana Santi (Asmara Abigail) tengah luar biasa terpukul. Kebahagiaan karena sang suami akhirnya pulang setelah lima tahun seketika sirna. Tapi realita yang ditangkap Mudik tidak berhenti di persoalan kecelakaan.
Melalui pergolakan hati Aida, diselipkan pula perihal pertemuan dengan keluarga selama lebaran, yang alih-alih kebahagiaan, justru mengundang kecemasan akan penghakiman-penghakiman yang menanti di rumah. Pun anda akan mendapati, tokoh-tokohnya beberapa kali mengungkapkan prasangka. Ada yang terbukti kebenarannya, ada yang terbantahkan (Sesuatu yang menyulut deretan perdebatan terkait film pendek Tilik belum lama ini).
Diskriminasi gender tidak lupa dikupas. Dari sisi Aida, ia satu dari sekian banyak wanita korban seksisme, yang kehilangan harganya di mata masyarakat akibat tak mampu memiliki momongan. Sedangkan Santi dihadapkan pada seksisme (plus keserakahan) berkedok kepedulian. Pria-pria kampung menggelar pertemuan dengan Firman dan Aida demi mencari jalan keluar (baca: meminta ganti rugi sebesar 30 juta rupiah).
Apakah angka itu didapat dari hasil diskusi dengan Santi? Rupanya tidak. Bahkan ketika mendadak Santi mendatangi pertemuan itu, para warga mengusirnya, dengan bersenjatakan pernyataan bahwa ia tak semestinya keluar rumah karena sang suami baru meninggal. Para pria, baik warga kampung maupun Firman, berlomba-lomba menjadi "penyelesai masalah", menggunakan cara kotor. Kalimat-kalimat bernada tinggi tak henti mereka lontarkan, sementara kedua wanita memilih bertukar isi hati. Putri Ayudya dan Asmara Abigail memamerkan performa kuat sebagai dua figur yang sama-sama dihantui kehilangan serta perasaan bersalah.
Adriyanto mengarahkan filmnya dengan senstivitas, ditemani musik gubahan komposer langganannya, Indra Perkasa, yang paling mencuri perhatian saya melalui orkestrasi megah di penghujung durasi. Indah, cukup mendayu, namun tanpa kesan cengeng. Sayangnya, konflik Mudik memuncak dalam pertengkaran penuh teriakan verbal berisi kalimat-kalimat klise, ketimbang kesubtilan di mana ekspresi rasa dipercantik sebagaimana ditampilkan momen penutupnya. Pun pengembangan konfliknya, dari masalah relatable yang jarang disentuh seputar kecelakaan di tengah mudik, lagi-lagi menyentuh persoalan yang sudah (terlalu) sering diusung film drama negeri ini, sebutlah urusan poligami hingga kehamilan. Memang dekat dengan realita, tapi ada banyak varian untuk menyajikan tema empowerment (Sinema India ada di garis terdepan perihal ini).
Pada akhirnya, di balik segala problematika tadi, Mudik tetaplah mengenai perjalanan pulang, memaafkan, dan berdamai. Termasuk memaafkan diri sendiri, berdamai dengan diri sendiri, juga "pulang" menuju kemerdekaan sebagai individu yang bebas.
Available on MOLA TV
REVIEW - BOYS STATE
Boys State adalah program musim panas yang dilangsungkan tiap tahun di
berbagai negara bagian Amerika Serikat. Pesertanya adalah siswa SMA tahun pertama,
di mana selama seminggu, mereka membangun “pemerintahan palsu” selaku cerminan
sistem politik Amerika Serikat dari poin paling dasar, termasuk proses pemilu. Tujuannya,
agar para remaja ini melek soal demokrasi.
Sebagaimana diperlihatkan sekuen pembuka yang menampilkan jajaran
alumni Boys State yang menjadi figur besar seperti Neil Armstrong, Dick
Cheney, hingga Bill Clinton (selain mereka, ada pula Jon Bon Jovi, Michael
Jordan, serta kritikus film legendaris Roger Ebert), pihak American Legion selaku
penyelenggara boleh berbangga hati atas kesuksesan program tersebut, setidaknya
menurut kaca mata tertentu. Tapi dokumenter karya pasangan suami-istri Jesse
Moss dan Amanda McBaine ini bukanlah iklan untuk American Legion.
Darinya kita merasakan kekhawatiran, namun juga harapan, saat
kurang lebih 1000 remaja laki-laki menghadiri Boys State di Texas, lalu
dibagi ke dalam dua partai, Nasionalis dan Federalis, untuk kemudian berkampanye
dan melaksanakan pemilu guna memilih berbagai posisi pemerintahan, dengan
Gubernur memegang status tertinggi.
Mungkin ada pertanyaan, “Kenapa hanya ada remaja laki-laki?”.
Sebenarnya ada program lain bernama Girls State yang dikhususkan untuk
remaja puteri. Mengapa mesti dipisah? Isu segregasi gender memang sempat
disinggung, walau cuma sekilas. Agak disayangkan, namun bukan kesalahan apabila Moss dan McBaine tak menggali problematika itu lebih lanjut. Paling tidak, saat film ini mengajak
penonton mengintip apa jadinya sewaktu isu aborsi hanya didiskusikan oleh para
pria, kita bisa sepakat kalau representasi wanita memang amat dibutuhkan.
Kentara bahwa pembuat filmnya berpihak pada Nasionalis. Kita
lebih sering menghabiskan waktu bersama mereka, bahkan Cagub favorit Moss dan
McBaine pun berasal dari sana. Namanya Steven Garza, remaja latin pendiam yang
awalnya bukanlah unggulan. Pole position dipegang Robert MacDougall,
tipikal frat boys sarat privilege. Tampan, karismatik, kaya raya,
dan mengedepankan maskulinitas. Tapi ia pun tak digambarkan sebagai sosok
jahat. Robert merupakan seorang liberal yang memilih memuaskan kaum konservatif
demi kemenangan, yang mana jamak politikus lakukan. “You can’t win on what
you believe in your heart”, ungkapnya. Toh pada akhirnya, Robert tak kuasa
membohongi nuraninya.
Sebaliknya, di bawah pimpinan remaja penyandang disabilitas
bernama Ben Feinstein, Federalis tak ragu melakukan kampanye negatif, baik kepada
ketua Nasionalis, René Otero, maupun Steven. Apakah kedua sutradara memperlihatkan
keberpihakan? Ya. Apakah itu bentuk ketidakadilan bercerita? Tentu tidak. Kaum
konservatif tidak disudutkan. “This is what every liberal needs”, ucap
Otero di salah satu wawancara, merujuk pada saratnya konservativisme di
lingkungan Boys State. Bahwasanya, untuk benar-benar mewujudkan “kebebasan
yang baik”, liberal mesti belajar mencari cara lebih cerdik dalam menghadapi
kekolotan.
Menonton Boys State bagai latihan menerima keberagaman,
juga proses belajar memperjuangkan kebenaran personal tanpa mengantagonisasi
mereka yang berbeda. Ada perasaan terganggu bercampur kekhawatiran, kala sejak
awal, filmnya sudah memperlihatkan segelintir remaja secara subtil melontarkan
justifikasi terhadap Trump. Tapi sekali lagi, ini bukan soal “liberal versus
konservatif”, melainkan demokrasi, di mana tiap sudut pandang, selama
disampaikan secara tepat, wajib dihargai. Sebuah demokrasi, yang apabila
dilangsungkan dengan baik, membuat menang/kalah tidak jadi masalah.
Pemilihan Steven Garza sebagai “jagoan” bukan (cuma) didasari
keberpihakan. Karakternya memungkinkan Boys State mengusung tema from
zero to hero. Pun dibanding para pesaing, harus diakui Garza paling piawai
urusan menggerakkan hati pendengar pidatonya. Dibungkus keahlian Moss dan McBaine
melahirkan momen-momen uplifting lewat penyutradaraan mereka,
kalimat-kalimat Garza selalu berhasil mengaduk-aduk perasaan, meski titik
paling menyentuh justru terdapat jelang akhir film, kala Garza yang biasanya
cenderung diam, menjadi emosional.
Sebagaimana ia sampaikan pada sang ibu, ledakan emosi
tersebut bukan disebabkan hasil pemilu. Di situlah Garza (juga saya) mendapati,
di balik segala kekhawatiran, masih ada harapan. Harapan bahwa dengan hati,
mungkin masih ada secercah harapan untuk masa depan demokrasi yang lebih baik di
tangan para pemuda ini. Maybe the kids are all right, but the government and
its system aren’t.
Available on APPLE TV+
REVIEW - THE SLEEPOVER
Selain merujuk pada
aktivitas yang karakternya lakukan ketika konflik utama terjadi, judul “The Sleepover” juga cocok menggambarkan
filmnya. Sebuah tontonan yang pas dinikmati ketika menginap di rumah teman,
sambil menikmati camilan, saling melempar guyonan, dan hanya perlu menengok ke
layar tiap beberapa waktu sekali tanpa harus khawatir melewatkan hal penting.
Menyenangkan. Tapi di kesempatan menginap berikutnya, kalian takkan menontonnya
lagi.
Bayangkan Spy Kids (2001), tapi dengan kecanggihan
teknologi serta imajinasi yang diturunkan kadarnya. Kevin (Maxwell Simkins)
adalah bocah korban perundungan di sekolah. Setelah videonya menari di toilet
viral, ejekan pun makin ramai menghampiri. Sementara kakaknya, Clancy (Sadie
Stanley), jengah terhadap kekangan ibu mereka, Margot (Malin Åkerman), yang
bahkan tak mengizinkannya memiliki handphone.
Sedangkan sang ayah, Ron (Ken Marino), merupakan sosok nerdy yang selalu menuruti apa kata istri.
Lalu tiba malam yang
sepenuhnya mengubah persepsi kakak-beradik itu pada sang ibu. Teman Kevin,
Lewis (Lucas Jaye), datang untuk menginap. Lewis adalah bocah yang hidup
bersama aturan-aturan aneh ibunya, termasuk persoalan remeh seperti larangan
makan keju, dan lain-lain. Bahkan ia wajib memakai celana khusus dilengkapi
alarm, yang akan berbunyi kalau ia mengompol. Intinya, fungsi Lewis adalah
sebagai running jokes.
Di saat bersamaan, Clancy
yang dihukum pasca pertengkaran dengan Margot, berencana kabur bersama
sahabatnya, Mim (Cree Cicchino), guna mendatangi pesta di rumah pria pujaannya,
Travis (Matthew Grimaldi). Rencana mereka berempat buyar, begitu mengetahui
Margot dan Ron diculik. Tapi kejutan belum berhenti. Margot yang selama ini
terkesan kolot, rupanya merupakan pencuri tersohor di masa mudanya. Kini, ia
dipaksa kembali untuk bekerja sama dengan mantan tunangan sekaligus partner
kriminalnya dulu, Leo (Joe Manganiello), guna mencuri sebuah mahkota.
Layaknya film-film lain
bertema serupa, Kevin dan Clancy memutuskan mengikuti petunjuk yang
ditinggalkan Margot, dan berupaya membebaskan orang tua mereka sendiri. Apakah
mereka tidak punya pilihan? Tidak juga. Henry (Erik Griffin), US Marshals yang sejak lama bertugas
melindungi Margot datang menawarkan bantuan. Pun nantinya mereka bertemu Jay (Karla
Souza), seorang pencuri yang juga kawan lama Margot. Tapi dalam debutnya
menulis naskah, Sarah Rothschild memaksakan dengan berbagai cara konyol, agar
keempat bocah itu berjuang sendirian. Lebih terkesan bodoh ketimbang bentuk
pengorbanan menyentuh demi keluarga.
Ringan. Begitulah The Sleepover. Kata “mudah” adalah
kunci. Petualangan memecahkan teka-teki ala The
Da Vinci Code versi anak dijaga agar tetap mudah dimengerti.
Kebetulan-kebetulan yang memudahkan penyelesaian masalah pun kerap ditemui.
Sesuatu yang bahkan sempat disadari sendiri oleh karakternya. Bahkan di satu
titik, saat naskah membutuhkannya untuk menyingkirkan rintangan yang dihadapi, tiba-tiba
Lewis memutuskan lepas dari larangan-larangan ibunya, walau tak sampai lima
menit sebelumnya, baru mengeluh soal larangan menaiki kendaraan umum seorang
diri.
Lubang-lubang di atas
merupakan wujud penulisan malas, bahkan di ranah hiburan ringan semacam ini,
yang biasanya tetap berusaha menyuguhkan alasan, entah logis atau tidak.
Karenanya, The Sleepover patut
berterima kasih pada jajaran cast
yang mempunyai talenta memadai guna menyulap materi medioker jadi humor yang
cukup memancing tawa. Khususnya Simkins dan Jaye. Tentu penampilan keduanya
hiperbolis demi kebutuhan komedi, namun tak sampai taraf menciptakan tipikal
tokoh “anak-anak menyebalkan”. Keduanya tetap likeable, membuat penonton betah menghabiskan perjalanan bersama. Cicchino
juga tak kalah menghibur berkat celotehan-celotehan yang sesekali bernuansa
sarkasme.
Bukan kejutan tatkala Manganiello
dengan postur serta karismanya, tampak meyakinkan memerankan kriminal tangguh
yang sanggup menghajar musuh semudah membalikkan telapak tangan. Tapi
sebagaimana putera-puteri Margot, saya terpukau menyaksikan Åkerman melakoni
adegan aksi, yang mengembalikan memori satu dekade lalu ketika sang aktris
mengenakan kostum Silk Spectre di Watchmen.
Di samping hiburannya, The Sleepover mengusung pesan
kekeluargaan mengenai seorang istri sekaligus ibu, yang bersedia meninggalkan
masa lalunya yang “menarik”, demi kehidupan domestik “membosakan” atas dasar
cinta terhadap keluarga. Masalah ada pada tokoh Ron. Filmnya berusaha membuat
penonton mendukung pria konyol nan menyebalkan yang berkali-kali mengancam
keberlangsungan misi ini daripada Leo. Rothschild pun nampaknya menyadari
kemustahilan ini, sehingga merasa perlu memaksakan sebuah twist demi “menurunkan nilai” Leo.
Tapi lupakan lemahnya
penghantaran pesan tersebut. Lupakan juga lubang-lubang kisahnya. Setidaknya
selaku sutradara, Trish Sie (Step Up: All
In, Pitch Perfect 3) mampu menyajikan hiburan dengan pacing terjaga yang terus bergerak dari satu titik ke titik
berikutnya tanpa banyak basa-basi. Tapi tentu saja, begitu durasi berakhir, The Sleepover pun bakal seketika
dilupakan.
Available on NETFLIX
REVIEW - GURU-GURU GOKIL
Guru-Guru Gokil menandai beberapa hal. Inilah film panjang Indonesia perdana yang rilis selepas pandemi, sekaligus jadi yang pertama mengubah perilisan layar ke layanan streaming (berikutnya judul-judul MD dan Falcon bakal mengambil langkah serupa di Disney+ Hotstar). Pun ini menandai debut Dian Sastrowardoyo sebagai produser, di samping turut meramaikan jajaran cast filmnya. Jajaran trivia di atas sudah secara otomatis membuat filmnya tercatat di buku sejarah perjalanan industri perfilman tanah air.
Tapi apabila khusus membicarakan pencapaian dari sisi kualitas, apakah Guru-Guru Gokil juga spesial? Film keempat sutradara Sammaria Simanjuntak (Cin(T)a, Demi Ucok, Sesat) ini sebenarnya serupa dengan komedi-komedi ringan yang membanjiri layar bioskop kita tiap Kamis, mampu menghibur lewat beberapa tawa sepanjang durasi, namun penceritaan yang kurang solid membuatnya mudah terlupakan. Tapi tidak bisa dipungkiri, Guru-Guru Gokil sedikit mengobati kerinduan atas karya teranyar sineas tanah air, setelah absen sekitar lima bulan lamanya.
Gading Marten memerankan Taat Pribadi, pria kampung yang nekat mengadu nasib ke ibukota, akibat enggan mengikuti jejak ayahnya, Pak Purnama (Arswendi Bening Swara), yang berprofesi sebagai guru. Dia susah memahami, mengapa ayahnya, bukan cuma betah mengajar di kampung dengan gaji minim, juga menikmatinya. Pak Purnama adalah guru favorit, yang mana membuat puteranya bertanya, kenapa sang ayah seolah lebih memedulikan dan mendengarkan murid-murid ketimbang anaknya sendiri?
Sayang, sebagaimana banyak perantau, Taat mengalami kegagalan. Tanpa ijazah apalagi uang, ia terpaksa pulang kampung. Dasar nasib, usahanya mencari pekerjaan justru membawa Taat menjadi guru sejarah pengganti di SMA sang ayah. Tentu Taat tidak sedikitpun mengerti sejarah, pula metode mengajar. Tapi bukan cuma itu masalahnya. Suatu sore, dua perampok membawa kabur gaji para guru. Pelakunya adalah anak buah Pak Le (Kiki Narendra), mafia setempat yang memiliki banyak "jaringan" sehingga susah diringkus tanpa bukti kuat.
Taat berinisiatif mengusut kasus itu bersama tiga guru lain: Rahayu (Faradina Mufti) si guru matematika merangkap kepala tata usaha merangkap penjaga perpustakaan (plus mantan satpam sekolah); Nirmala (Dian Sastrowardoyo) si guru kimia yang tengah hamil tua, dan biarpun cerdas, gampang kehilangan fokus; Nelson (Boris Bokir) yang diam-diam menyukai Nirmala.
Tentu saja terjalin subplot romansa antara Taat dan Rahayu, yang hadir memuaskan berkat dinamika menarik Gading-Faradina dalam memerankan dua individu bertolak belakang. Taat selalu bercanda, sedangkan Rahayu ibarat "rem" yang menahan ketidakseriusan Taat. Ada romantisme manis yang subtil kala Rahayu memelototi Taat, karena si "guru gokil" tidak bisa menjaga mulutnya. Sebuah tatapan yang hanya bisa muncul saat dinding pembatas antara dua individu mulai runtuh, atau malah sudah sepenuhnya hilang.
Berbeda dengan Rahayu, saya tak mengeluh ketika Taat, maupun tokoh-tokoh lain, silih berganti menampilkan tingkah yang memancing tawa. Di situlah kekuatan utama Guru-Guru Gokil. Talenta Gading tak perlu diragukan. Materi-materi yang bisa berakhir cringey (sewaktu Taat menggoda Rahayu sambil mencuci piring misal) dijadikannya jenaka. Tapi tidak ada pencuri perhatian sebesar Dian Sastrowardoyo, dengan jerawat memenuhi wajah, dan keluhan-keluhan soal rengginang. Menghibur.
Tapi Guru-Guru Gokil ingin berakhir lebih dari sekadar menghibur. Ada nilai-nilai soal guru selaku pahlawan tanpa tanda jasa. Ada hubungan guru dan guru, guru dan murid, pula ayah dan anak. Ada banyak hal. Terlalu banyak, sampai naskah buatan Rahabi Mandra (Hijab, Night Bus) kewalahan menyatukannya. Filmnya berusaha menekankan kegokilan para guru, sampai lupa menggambarkan mereka sebagai guru yang berbagi setumpuk pelajaran serta kebersamaan berharga dengan para murid, agar babak ketiganya, tatkala kedua pihak akhirnya bersatu, punya dampak emosi. Satu sesi memecahkan bentuk tato yang bergulir singkat tidaklah cukup.
Kenapa Pak Purnama (dan banyak guru lain) bahagia menjalani profesi mereka? Taat menanyakan itu. Mungkin sebagian dari penonton pun demikian. Filmnya berhasil memberi jawaban. Apresiasi para murid merupakan alasannya. Tapi, walau adegan saat Taat menerima hadiah "kecil" dari muridnya jadi pemandangan sederhana yang hangat (dibantu reaksi natural Gading), ada juga beberapa momen berlebihan yang dipaksa hadir demi menguatkan pesan tersebut. Murid SMA mana yang sedemikian mencintai suatu pelajaran hingga serempak bersorak dan bertepuk tangan dalam kelas?
Sedangkan subplot ayah dan anak, meski menyimpan permasalahan serupa soal minimnya porsi eksplorasi, setidaknya memberikan resolusi emosional berkat kepiawaian kedua pemerannya menyampaikan rasa. Arswendi secara subtil melalui mata yang berbicara banyak mengenai isi hati, sedangkan Gading lebih "meledak". Hasilnya saling melengkapi, mewakili dinamika seorang anak yang ingin didengar, dan ayah yang menyimpan harapan bercampur kekecewaan.
Di departemen akting lain, Asri Welas tampil lebih serius. Hasilnya cukup solid, meski di antara kekonyolan-kekonyolan filmnya, pilihan itu terasa menyia-nyiakan potensi. Sementara, setelah kemunculan singkat nan berkesan di Perempuan Tanah Jahanam, akhirnya Faradina mendapat kesempatan melakoni peran utama. Kesempatan yang dimanfaatkan secara maksimal lewat kemampuan memberikan warna bagi sosok Rahayu, membuatnya tak tenggelam berdiri di samping tokoh-tokoh yang jauh lebih "gila".
Available on NETFLIX
REVIEW - GUNJAN SAXENA: THE KARGIL GIRL
Gunjan Saxena: The Kargil Girl mengundang beberapa kontroversi jelang perilisannya. Pertama, isu nepotisme terkait pemilihan Janhvi Kapoor selaku bagian dinasti Kapoor, yang mencuat sejak kematian Sushant Singh Rajput. Kedua, soal penggambaran seksisme dalam IAF (Indian Air Force) yang dinilai berlebihan. Gunjan Saxena yang asli pun mengakui adanya perbedaan. Tapi menganggap sepenuhnya itu keliru pun kurang tepat.
Beberapa narasumber menyatakan bahwa (setidaknya dahulu) memang terjadi diskriminasi, juga beberapa kebingungan mengenai cara memperlakukan prajurit wanita. Di luar IAF, angkatan laut India baru memiliki pilot wanita pada 2019, dan divisi penerbangan angkatan darat malah belum membuka pintunya. Artinya, walau akurasi seputar kondisi IAF patut diperdebatkan, seksisme di ruang militer, yang identik dengan maskulinitas, tidaklah mengada-ada.
Alkisah, Gunjan Saxena (Janhvi Kapoor), puteri pensiunan militer berpangkat Letkol, Anup Saxena (Pankaj Tripathi), bercita-cita menjadi pilot. Walau ayahnya memberikan dukungan, sang ibu (Ayesha Raza Mishra) menentang keras, sedangkan kakaknya, Anshuman (Angad Bedi) yang merupakan anggota angkatan darat tak ketinggalan menyatakan ketidaksetujuan. “Aku mengkhawatirkan keselamatan Gunjan”, ungkapnya pada sang ayah. Bukankah kita kerap mendengar seksisme berkedok kepedulian semacam itu? Senada dengan, “Wanita jangan memakai baju seksi, bahaya, bisa digoda laki-laki”.
Naskah buatan sutradara Sharan Sharma bersama Nikhil Mehrotra merangkum beragam bentuk seksisme, dari yang subtil hingga yang terang-terangan. Paruh pertamanya membawa Gunjan berjuang meruntuhkan tentangan keluarga. Dia akhirnya berhasil jadi satu-satunya wanita yang diterima di IAF. Tapi tantangan berikutnya jauh lebih berat, sebab Gunjan dihadapkan pada stigma-stigma di kesatuan militer. Dia diasingkan dari kehidupan sosial, kerap terlambat akibat tidak ada toilet dan ruang ganti wanita, bahkan tak berkesempatan terbang karena para pilot khawatir, “wanita itu berteriak ketakutan”. Pertanyaannya, “Siapa yang sebenarnya takut?”.
Gunjan Saxena: The Kargil Girl menyoroti rapuhnya maskulinitas pria, yang dirangkum secara sempurna lewat kalimat menohok yang diucapkan protagonis pada atasannya berikut: “Masalahnya bukan kelemahanku, tetapi ketakutanmu. Kau takut jika aku menjadi superior, semua harus memberi hormat. Itu akan menjadi akhir kejantananmu”. Sepanjang film, kalimat-kalimat quotable serupa bakal kerap anda temukan. Kalimat yang dirangkai begitu apik oleh kedua penulis, tanpa kehilangan kejujuran.
Tapi kalau film ini mengusung empowerment, mengapa Gunjan sering membutuhkan pertolongan pria guna keluar dari masalah? Saya tak melihat itu sebagai narasi “men savior”, melainkan pesan teruntuk para pemegang privilege supaya tidak berpangku tangan. Supaya sebagaimana perkataan Gunjan pada Anshuman, setiap individu harus berubah lebih dulu, dengan begitu, mungkin dunia juga berubah.
Perlu dicatat, Gunjan tidak menggantungkan diri. Kalau dunia tak memberi kesempatan, diciptakannya sendiri kesempatan tersebut, seperti waktu ia membuat ruang ganti dadakan. Tapi biar bagaimanapun, ada pintu-pintu yang mustahil dimasuki dalam dunia penuh ketidakadilan. Di sini, menjadi tugas Anup maupun Komandan Gautam Sinha (Manav Vij) untuk membukakan pintu itu sebagai pemilik privilege.
Melakoni debut penyutradaraan sekaligus penulisan, Sharan Sharma yang sebelumnya merupakan asisten sutradara Karan Johar, membuktikan kebolehan menuturkan drama emosional berbumbu militer. Sekuen udaranya, yang berpuncak di sebuah misi dalam Perang Kargil (1999), dieksekusi cukup solid. Setidaknya, berhasil menghindari kesan artificial.
Sebagai penulis naskah bersama Nikhil, Sharan mengikuti winning formula khas Bollywood, di mana apa pun isu yang diangkat, pasti tetap bermuara di lingkup keluarga. Gunjan berjuang bukan cuma untuk diri sendiri, pula bagi sang ayah, dan tanpa sadar, bagi seluruh wanita India. Inilah wanita yang “hanya” ingin mewujudkan cita-cita, lalu berjasa turut serta mengubah wajah negara.
Barisan lagunya mengandung aransemen serta lirik uplifting yang cocok membangun mood positif penuh harap, sementara Sharan unjuk gigi kemampuan mengarahkan momen-momen hangat. Tentu jajaran pemain memberi kontribusi besar. Pankaj selalu mendamaikan, tidak saja untuk Gunjan, juga penonton. Sedangkan Janhvi bakal membuat penonton bersimpati sekaligus percaya kalau dia adalah Gunjan Saxena si pilot bertalenta. Apakah pemilihan Janhvi merupakan wujud nepotisme? Kemungkinan besar begitu. Tapi pantaskah ia mendapat peran ini? Tentu saja!
Available on NETFLIX
REVIEW - PROJECT POWER
Kalau berharap Project Power menyegarkan genre film pahlawan super, sebaiknya turunkan ekspektasi anda. Konsep tentang obat pemberi kekuatan super sebelumnya pernah diusung oleh film Tamil berjudul Iru Mugan (2016). Pun dalam pengembangannya, naskah buatan Mattson Tomlin (The Batman) dipenuhi keklisean, dari isu soal eksperimen sains yang mengesampingkan humanisme, kartel narkoba selaku antagonis, sosok ayah yang terluka, polisi korup, dan lain-lain.
Begitu pula soal penerapan premis "superhero di dunia nyata" yang gagal memenuhi potensinya. Pembangunan dunia hingga dampak fenomena kekuatan super terhadap kehidupan manusia sehari-hari tak dipresentasikan secara memadai (Chronicle masih yang terbaik perihal itu). Tapi kalau blockbuster ringan sebagai hiburan penawar rindu akan cinematic experience sebelum bioskop kembali dibuka adalah yang anda cari, maka Project Power merupakan pilihan tepat.
Berlatar New Orleans di masa depan, beredar Power, sebuah obat misterius yang dapat memberi kekuatan super selama lima menit, yang berasal dari kemampuan unik hewan-hewan. Jadi anda bakal menemukan kekuatan-kekuatan seperti termoregulasi, kulit sekeras baja, kamuflase, fleksibiltas, dan masih banyak lagi. Layaknya narkoba biasa, Power bisa didapat dari para pengedar. Salah satunya remaja bernama Robin (Dominique Fishback), yang terpaksa menjualnya demi mengumpulkan uang untuk pengobatan sang ibu.
Frank (Joseph Gordon-Levitt), seorang anggota NOPD, termasuk pelanggan Robin. Frank menggunakan Power untuk meringkus para penjahat (yang juga berkekuatan super) meski kerap menerima teguran dari atasan. Di sisi lain ada Art (Jamie Foxx) yang berusaha menemukan Biggie (Rodrigo Santoro) selaku sumber dari Power. Pencarian Art membuatnya bersinggungan jalan dengan Frank dan Robin, dan bisa ditebak, meski awalnya saling berlawanan, mereka akhirnya bakal menyatukan kekuatan. Kombinasi penampilan groovy Gordon-Levitt, karisma Foxx yang sempat menunjukkan akting dramatiknya meski cuma sejenak, dan Fishback yang memiliki bakat besar andai diberi materi lebih mumpuni, melahirkan trio yang interaksinya selalu menarik disimak.
Melakoni debut menggarap film berbiaya besar (85 juta), duo sutradara Henry Joost dan Ariel Schulman melakukan tugas mereka dengan baik dalam menjaga pacing. Ketat, cepat, namun tak terburu-buru. Sementara musik elektronik menggelegar buatan Joseph Trapanese (The Raid, The Greatest Showman), walaupun terdengar formulaik, nyatanya memang efektif menjaga intensitas.
Berpengalaman menangani judul-judul seperti Paranormal Activity 3 (2011), Paranormal Activity 4 (2012), dan Viral (2016), kentara bahwa Joost dan Schulman menaruh ketertarikan lebih tinggi pada horor ketimbang aksi. Sekuen aksi Project Power selalu lebih menarik kala menyelipkan elemen horor. Bukan cuma gore, bahkan di suatu momen baku tembak, ketimbang lesatan peluru atau ledakan, Joost dan Schulman memilih berfokus ke pemandangan bernuansa body horror ketika kemampuan termoregulasi seorang wanita malah berbalik membunuhnya secara mengenaskan.
Hasilnya jauh lebih memuaskan dibanding sewaktu keduanya mengedepankan aksi sarat CGI khas film superhero. Misalnya saat Art bertarung melawan Newt (Colson Baker) si "manusia api". Kita cuma bisa melihat kobaran api memenuhi layar, tanpa mampu memahami "apa", "siapa", dan "bagaimana". Third act-nya jadi puncak kekecewaan. Sejak awal penonton dibuat menanti kekuatan macam apa (dan berasal dari hewan apa) yang dimiliki Art. Tatkala payoff itu tiba, seperti biasa kualitas CGI-nya mumpuni, tapi kedua sutradara terlalu bergantung pada keriuhan efek yang tampak kacau, dihiasi gerak lambat yang hanya bentuk pamer gaya belaka ketimbang penguat intensitas. Ditambah durasi adegan yang terlampau singkat setelah penantian yang cukup lama, rasa kecewa pun semakin lengkap.
Bandingkan dengan deretan perkelahian lebih "membumi" di mana kemewahan CGI tak mendominasi, seperti saat Yoshi Sudarso sebagai Knifebones menjadikan tulangnya senjata bak Wolverine, atau pameran kelenturan tubuh tanpa bantuan efek khusus dari contortionist dunia nyata, Xavier Days, dalam sebuah baku hantam dengan koreografi terbaik sepanjang film.
Available on NETFLIX
REVIEW - RAAT AKELI HAI
Raat Akeli Hai (“The Night is Lonely’ dalam Bahasa Inggris) adalah whodunit
berlatar keluarga disfungsional serupa Knives Out (2019), dengan seorang
polisi selaku protagonis, yang sepanjang investigasi, kerap berbenturan dengan
pemegang kekuasaan korup, sembari berusaha menjaga objektivitas tatkala romansa
mulai menyambanginya. Pergulatan-pergulatan yang kurang lebih dialami pula oleh
J. J. "Jake" Gittes, karakter utama dalam Chinatown (1974)
milik Roman Polanski. Apakah naskahnya terinspirasi langsung dari kedua judul
di atas? Mungkin. Apakah kualitasnya berada di tingkatan yang sama? Sayangnya
tidak.
Sekuen pembuka menampilkan suatu kecelakaan di malam hari. Sebuah
mobil ditabrak oleh truk. Tapi kejadian itu bukan ketidaksengajaan. Seorang
pria sengaja menabrakkan truknya, lalu membunuh kedua penumpang mobil, kemudian
melenyapkan jasad mereka. Lima tahun berselang, terjadi satu lagi kasus
pembunuhan. Raghuveer Singh (Khalid Tyabji) ditemukan tewas di kamar, tepat setelah
melangsungkan pernikahan dengan gadis yang jauh lebih muda bernama Radha (Radhika
Apte). Radha adalah istri kedua Raghuveer, selepas istri pertamanya meninggal
lima tahun lalu.
Inspektur Jatil Yadav (Nawazuddin Siddiqui) bertugas mengusut
kasus itu. Kecurigaan tentu mengarah pada Radha, tapi Jatil menolak begitu saja
percaya. Biarpun menghadapi banyak tentangan, mulai dari partner yang
menganggapnya “mencari-cari hal yang
tidak ada”, hingga anggota majelis legislatif yang kebetulan memiliki kedekatan
dengan Keluarga Singh, Jatil tetap percaya bahwa kasus ini lebih besar
sekaligus kompleks dari kelihatannya. Tapi benarkah? Apakah Jatil memang penyelidik
cermat, atau sebatas terdistraksi perasaan akibat simpati (yang kemudian
berubah jadi cinta) terhadap Radha?
Banyak— walau tidak semua —suguhan whodunit mengambil
latar satu lokasi, demi menjaga fokus dan memperketat intensitas dalam proses
memecahkan teka-teki, sembari memperkuat penokohan serta interaksi antar individu.
Raat Akeli Hai memilih pendekatan berlawanan. Skala diperbesar, konflik
diperbanyak. Masalahnya, penulisan Smita Singh belum sesolid itu, menghasilkan
kerumitan yang kerap membingungkan alih-alih menyenangkan untuk dipecahkan. Setelah
paruh awal yang memancing rasa penasaran, intensitas di menit-menit berikutnya melemah,
seiring pertambahan problematika pula lokasi yang dikunjungi sang inspektur.
Saya paham bahwa Smitha menyimpan setumpuk kerisauan perihal
isu sosial. Power abuse, domestic abuse, sexual abuse, standar
kecantikan, dan lain-lain. Tapi tak semua perlu dimasukkan, hingga membuat
filmnya bergulir selama nyaris dua setengah jam. Beberapa poin punya substansi
rendah. Salah satunya soal Jatil yang dituntut segera menikah oleh ibunya (Ila
Arun), yang disertakan hanya sebagai pembuka jalan bagi unsur romansa yang juga
tidak perlu ada, karena: 1) Tidak memperkaya cerita; dan 2) Tanpa payoff emosional
yang sepadan.
Segudang karakter muncul, namun gara-gara tipikal satu sama lain yang kurang berwarna, tak ada yang benar-benar menarik diikuti. Ada satu karakter punya peranan besar di paruh akhir (termasuk membawa sebuah isu penting), tapi sepanjang durasi tak diberikan porsi memadai sehingga melucuti dampak saat ia akhirnya mendapat spotlight. Setidaknya, protagonis kita lebih kompleks. Dibarengi penampilan meyakinkan Nawazuddin Siddiqui sebagai penegak hukum berkacamata hitam dan berjaket kulit yang tak kenal takut, Jatil bukan protagonis suci. Amarahnya kerap meledak, tamparan pun tak ragu ia berikan untuk mereka yang mengganggu jalannya penyelidikan. Sementara Radhika Apte piawai mengolah rasa, meski karakternya berhenti di tingkat "seorang tertuduh" dan "calon pasangan Jatil" ketimbang individu yang berdiri sendiri. Padahal ada potensi persoalan gender dapat diangkat dari sosoknya.
Honey Trehan, yang sebelumnya dikenal sebagai casting
director, melakoni debut penyutradaraannya di sini. Hasilnya tidak buruk. Penceritaannya
dinamis, pun dibantu tata kamera Pankaj Kumar serta tim departemen artistik,
Honey mampu memoles Raat Akeli Hai agar memanjakan mata. Biar demikian,
tetap saja ia masih hijau dan belum cukup mumpuni untuk bisa menyelamatkan
lemahnya naskah, termasuk momen penjabaran jawaban yang semestinya jadi puncak
sebuah whodunit, namun malah tersaji minim intensitas akibat eksekusi
buru-buru, yang tak kalah membingungkan dibanding investigasinya.
Available on NETFLIX
REVIEW - SLAY THE DRAGON
Penonton di luar Amerika Serikat mungkin akan bertanya mengenai bisa atau tidaknya kita menikmati Slay the Dragon, yang bahkan dibandingkan beberapa dokumenter bertema politik lain, punya pokok bahasan jauh lebih asing. Knock Down the House (2019) contohnya, yang meski diisi tetek bengek pemilu, cenderung mengedepankan soal women’s empowerment. Sedangkan film garapan Barak Goodman dan Chris Durrance, walau mengusung tema universal terkait demoktrasi, secara khusus menelusuri praktek gerrymandering.
Sejak film dibuka, musik gubahan Gary Lionelli langsung menyerbu telinga penonton dengan orkestra bak dari film suspense, yang seolah menegaskan tingginya urgensi isunya. Tapi sekali lagi, bisakah penonton di luar Amerika memahami urgensi tersebut? Sebab, jangankan definisi gerrymandering, pemahaman akan sistem pemilu dan atmosfer politiknya saja belum tentu dimiliki. Bahkan filmnya sendiri memperlihatkan bahwa masih banyak warga lokal tak mengerti soal itu.
Di sinilah kualitas penceritaan filmnya teruji. Layaknya pengajar yang tak hanya pintar untuk diri sendiri, namun piawai membagikan ilmunya dengan orang lain, Slay the Dragon mampu menjabarkan gerrymandering secara ringkas dan jelas, berkat narasumber yang jago menyusun kalimat ditambah visualisasi tepat guna. Bukan cuma tentang “apa”, alasan praktek itu merupakan kecurangan yang melukai demokrasi pun tersampaikan dengan baik.
Penjelasan lengkapnya dapat anda simak langsung dari filmnya, tapi secara singkat, gerrymandering adalah praktek membagi batas-batas daerah pemilihan dengan tujuan mencari keuntungan bagi partai politik tertentu, yang terjadi 10 tahun sekali, sewaktu tiap negara bagian di Amerika Serikat melakukan redistricting. Melalui gerrymandering, pihak pemegang kuasa bisa memastikan, bahwa di pemilu berikutnya, kemenangan tetap jadi milik mereka.
Istilah “gerrymandering” dipakai setelah pada 1812, gubernur Massachusetts, menetapkan peta baru yang berbentuk seperti seekor salamander. Selepas kemenangan Barrack Obama di pemilu 2008, praktek itu menggila, setelah pihak Partai Republik yang tersudut, menjalankan proyek REDMAP. Pembagian daerah pemilihan pun semakin absurd. Ada yang berbentuk seperti naga (asal judul film ini), hingga salah satu yang paling aneh, Goofy menendang Donal Bebek. Rupanya itu hanya awal.
Selain gerrymandering, Republik menerapkan metode-metode lain guna memperkecil peluang Demokrat, termasuk menerbitkan aturan yang mengharuskan pemilih memiliki Voter Id. Hasilnya adalah kemenangan Trump di pemilu 2016. Sebanyak 45.000 orang di Wisconsin tak diperbolehkan memilih, yang memberikan kemenangan bagi Trump di negara bagian tersebut, di mana ia mengantongi 22.000 suara.
Masih banyak setumpuk fakta lain disediakan oleh Slay the Dragon, menjadikannya dokumenter informatif, yang bakal membuat penonton awam, khususnya dari luar Amerika Serikat tercengang. Kita tahu kalau politik, termasuk pemilu, dipenuhi intrik kotor, tapi membawa penonton mengetahui sejauh dan sesistematis apa intrik tersebut jadi keunggulan Slay the Dragon. Walau harus diakui, kemungkinan besar tak semua bakal tertampung mengingat begitu banyaknya data hadir dalam waktu singkat, ditambah sekat kultural (baca: budaya politik) yang membatasi proses pengolahan informasi.
Selain informatif, Slay the Dragon juga ingin menjadi dokumenter inspiratif dengan memaparkan perjuangan Katie Fahey, aktivis asal Michigan yang getol menjalankan kampanye akar rumput untuk mengakhiri gerrymandering, bersama organisasi Voters Not Politicians (VNP) yang ia dirikan. Harapannya, perjalanan VNP dari riak kecil yang diragukan mampu mengumpulkan 350.000 tanda tangan di petisi menjadi aksi berskala nasional yang mengguncang sistem korup, dapat menggerakkan hati penonton melalui pesan “Suara rakyat akan menang”.
Tapi ada satu poin penting yang filmnya lupakan. Disebutkan jika VNP sukses membalikkan prediksi pengamat, di mana mayoritas meragukan kapasitas mereka. Pertanyaannya: Bagaimana? Saat bahkan banyak masyarakat belum mengetahui arti gerrymandering, bagaimana kesuksesan itu berhasil digapai? Slay the Dragon memaksa penonton menerima “keajaiban” itu sebagai suatu pencapaian inspiratif, di saat hal itu bukanlah keajaiban. Ada banyak detail yang memerlukan pemahaman. Tapi selaku tontonan penambah pengetahuan, film ini jelas layak disimak.
Available on HULU
REVIEW - LA LLORONA
Walau sama-sama berbasis
cerita rakyat La Llorona, film asal
Guatemala ini tak punya kaitan apa pun dengan The Curse of La Llorona (2019) yang tergabung dalam seri The Conjuring. Di tangan sutradara Jayro
Bustamante, yang juga menulis naskahnya bersama Lisandro Sanchez, subteks
mengenai “pembalasan wanita atas kejahatan pria” diperkuat, lalu
diimplementasikan pada penderitaan rakyat Guatemala yang hidup di bawah tirani
diktator keji.
Momen pembukanya langsung
meninggalkan kesan, bahkan sebelum gambar pertama muncul, saat terdengar
bisikan wanita yang tengah memanjatkan doa. Pemilik suara itu bernama Carmen (Margarita
Kenéfic), yang duduk melingkar bersama sekelompok wanita. Apa yang mereka
doakan? Rupanya, suami Carmen, Enrique (Julio Diaz), yang oleh bawahannya
dipanggil “Jenderal”, sedang menanti persidangan, guna menentukan apakah benar
ia melakukan genosida terhadap suku Maya.
Sang Jenderal bersama
pasukannya, dituduh membunuh serta memperkosa orang-orang Maya, sebagai
justifikasi aksi memberantas komunisme. Perhatikan wajah Enrique. Rambut
putihnya, kumis tebalnya. Kemudian carilah gambar Efraín Ríos Montt. Mirip?
Tentu saja, sebab Bustamante dan Sanchez memang ingin menjadikan La Llorona sebagai cerminan realita
sekaligus pembalasan atas luka bangsa. Lebih spesifik lagi, luka seorang
wanita.
Pengadilan memutuskan
Enrique bersalah, namun keputusan tersebut dianulir akibat kurangnya bukti.
Alhasil, puluhan (atau ratusan?) warga melakukan demonstrasi di depan rumah
Enrique, membuat penghuni rumah, termasuk puteri dan cucu sang Jenderal,
Natalia (Sabrina De La Hoz) dan Sara (Ayla-Elea Hurtado), terkurung selama
berhari-hari. Sesekali penonton diajak mengintip kondisi di luar gerbang, tapi
kita lebih banyak mendengar teriakan tanpa henti para demonstran, sementara
aktivitas dalam rumah berlangsung, sebagaimana para penguasa yang menutup
telinga atas tangisan rakyat.
Mungkin di mata banyak
orang, La Llorona bukanlah horor, dan
Bustamante memang tak menerapkan pola arus utama. Tanpa jump scares, tanpa gangguan gaib, setidaknya bukan secara gamblang
dan bukan di satu jam pertama. La Llorona
cenderung mengedepankan soal ketakutan. Ketakutan seorang diktator yang
semasa berkuasa gemar menebar ketakutan. Bahkan sebelum persidangan pun,
Enrique sudah dikuasai rasa takut, sewaktu tengah malam, ia mengaku mendengar
tangisan wanita, sehingga meyakini ada mata-mata di dalam rumah. Apakah
tangisan itu memang teror supernatural atau hanya di kepala Enrique menjadi
tidak penting. Poinnya adalah, betapa setelah dilucuti kekuasannya, sang
diktator tak lebih dari pria tua lemah nan menyedihkan.
Walau tak mengumbar teror
secara terang-terangan, Bustamante memastikan nuansa mencekam tetap terjaga,
kala dibantu sinematografi kental creepy
imageries arahan Nicolás Wong, ia membangun atmosfer penuh kecemasan dan
ketakutan, sebagai representasi isi hati Enrique sekeluarga. Kemudian muncul
Alma (María Mercedes Coroy), gadis muda yang datang untuk menggantikan para
pelayan yang secara berjamaah memutuskan pergi. Tentu tidak sulit menebak jati
diri Alma sesungguhnya, karena seiring kehadirannya, teror pun semakin nyata.
Menyusul berikutnya adalah proses menguak detail kebenaran melalui kecermatan
naskahnya menebar petunjuk, dari seringnya Alma “melatih” kemampuan Sara menahan
napas dalam air, hingga deretan mimpi buruk yang tokohnya alami tiap malam.
Tidak ketinggalan juga siratan mengenai rahasia kelam keluarga Enrique.
Begitu sampai di third act, intensitas payoff yang ditawarkan memang tak
terlalu kuat pula kuantitasnya terlampau singkat, tapi tak mengurangi kekuatan
bercerita La Llorona, khususnya
seputar empowerment. Filmnya kembali
menegaskan, bahwa dalam aksi pelecehan, dosa bukan saja milik si pelaku, pula
mereka yang memilih membiarkan.
Available on SHUDDER
REVIEW - ANELKA: MISUNDERSTOOD
Berbeda dibanding kisah tentang figur
bermasalah kebanyakan, Anelka:
Misunderstood tidak mengusung alasan “dia bengal karena masa lalunya berat”.
Seperti diakui Nicolas Anelka sendiri, keluarganya tak terjerat kemiskinan,
harmonis, pun masa kecilnya bahagia. Lalu apa penyebab kepribadian
kontroversial sang bintang lapangan hijau? Sayangnya itu urung terjawab.
Sebagaimana judulnya, dokumenter ini hanya berusaha menyatakan bahwa Anelka
kerap disalahpahami, ketimbang mengeksplorasi lebih jauh sisi personal apalagi
psikisnya.
“Salah satu penyerang terbaik
sepanjang masa”. Kalau pujian itu terlontar dari mulut seorang Thierry Henry
jelas itu tidak main-main. Tapi memang begitulah adanya. Di mata pecinta sepak
bola masa kini yang tak menyaksikan langsung lesatan karirnya pada usia muda
dan sebatas membaca statistik (210 gol dari 671 penampilan di level klub, 14
gol dari 69 penampilan di timnas), mungkin Anelka terkesan biasa. Tapi penonton
era akhir 90an dan awal 2000an pasti tahu, jika tak dibarengi setumpuk kontroversi,
Anelka dapat mencapai lebih dari itu.
Anelka adalah journeyman. Selama 19 tahun berkarir, total ia memperkuat 12 tim
(terlama di Chelsea, yakni dari 2007 sampai 2012). Otomatis bakal banyak
cerita. Bahkan sejak usia 17 tahun, Anelka sudah menyulut masalah melalui
transfernya dari Paris Saint-Germain (PSG) ke Arsenal yang menyalahi regulasi
Liga Prancis terkait kontrak pemain muda. Nantinya, keributan-keributan
senantiasa mengiringi, membuatnya tak pernah bertahan lama di satu tempat, dan
hampir semua kepindahannya dibarengi masalah.
Baru dua setengah musim di Arsenal,
Anelka angkat koper ke Real Madrid, tempat di mana dia merasakan penolakan dari
rekan-rekan setim, juga untuk kali pertama, mengalami gesekan dengan media.
Sesuatu yang hingga penghujung karir akan terus terulang. Begitu pula di timnas.
Walau berhasil meraih double winners bersama
Arsenal, pelatih Aimé Jacquet tak membawanya ke Piala Dunia 1998, tatkala
Prancis meraih gelar juara di rumah sendiri. “Ini hal biasa”, kata Jacquet
singkat kala mengirim sang penyerang pulang. Anelka sakit hati mendengarnya.
Tapi sekali lagi, talentanya tak
diragukan. Penampilannya luar biasa, dengan catatan, situasi dan kondisi
mendukung. Di Arsenal, ia berhasil menggantikan peran Ian Wright (salah satu
striker terbaik sepanjang masa tim) berkat bimbingan Arsène Wenger, yang
menurut Anelka, selalu berada di pihaknya. Sewaktu memperkuat Real Madrid di
Piala Dunia Antarklub 2000, Anelka sukses menjadi top skorer, padahal
performanya di liga mengecewakan. Mengapa? Karena kompetisi tersebut digelar di
Brazil, di mana press tak menguntitnya, sehingga Anelka bisa berkonsentrasi
total bermain.
Sepanjang film, Anelka yang kala
produksi tingga bersama keluarganya di Dubai, memberian pernyataan sebagai interviewee. Tidak ketinggalan muncul
adalah berbagai pesohor lapangan hijau seperti Henry, Wenger, Pires, Evra,
Petit, Cissé, dan Dacourt. Pun aktor Omar Sy yang kebetulan merupakan teman
masa kecil sang pemain turut hadir. Bagi pecinta sepakbola, kehadiran mereka
sudah memberi hiburan tersendiri.
Tapi sebagai studi terkait
kompleksitas sesosok individu, Anelka:
Misunderstood cuma menyentuh permukaan. Banyak konflik cuma numpang lewat,
sebutlah era kedua Anelka di PSG, yang hanya dijabarkan sebagai “satu setengah
musim yang bermasalah” lewat teks pendek. Sedangkan para narasumber, ketimbang
memberi pemahaman baru, seolah muncul sebatas untuk membela Anelka. Kalimat “Dia
sebenarnya baik”, atau “Dia pria berpendirian teguh, makanya sering salah
dikira arogan dan keras kepala”, bakal sering anda dengar.
Anelka pun demikian. Memang benar,
film ini memperlihatkan sosoknya yang paling jujur dan terbuka, namun itu lebih
disebabkan selama ini ia dikenal tertutup. Tapi untuk standar dokumenter, ia
terasa masih banyak menahan diri. Belum semua kebenaran dalam hati terungkap, walau
sejenak, Anelka sempat mengakui beberapa kesalahannya. Bagaimana dahulu ia
masih terlalu muda untuk memahami banyak kesempatan yang terbuang akibat perangainya.
Kurang mendalamnya Anelka: Misunderstood paling terasa
ketika membahas kontroversi tahun 2013, tatkala Anelka melakukan selebrasi
memakai gestur quenelle yang identik
dengan antisemitisme, selepas mencetak gol. Isu tersebut adalah persoalan
sensitif nan kompleks, yang takkan cukup dipahami hanya dengan paparan singkat
sambil lalu.
Lalu tiba kontroversi Piala Dunia
2010, saat Anelka terlibat perselisihan dengan pelatih timnas Prancis, Raymond
Domenech, yang berujung aksi mogok latihan seluruh tim, bahkan kehebohan
negara. Berisi intrik dan momen mencengangkan, paruh ini menjalankan tugas utama
filmnya, yakni membuat penonton menyetujui perspektif bahwa Anelka memang
disalahpahami, bahkan korban dari persoalan lebih besar yang menggerogoti
timnas Prancis kala itu.
Politik olahraga, manipulasi media, konspirasi organisasi. Di tangah sineas dokumenter yang lebih berpengalaman (ini adalah debut sutradara Éric Hannezo menggarap dokumenter), konflik Piala Dunia 2010 dapat dijadikan perjalanan penuh intensitas, bahkan bukan mustahil, dokumenter panjang tersendiri. Sedangkan untuk Anelka: Misunderstood, saya tak bisa merekomendasikannya bagi penonton umum, tapi bagi pecinta bola, ini adalah hiburan ringan yang membuat kita berharap, suatu hari, nama-nama lain yang urung menggapai puncak dunia akibat kontroversi meski punya bakat luar biasa (Fowler, Cassano, Adriano, Balotelli, Robinho, atau mungkin sang legenda Freddy Adu), dibuatkan dokumenter yang jauh lebih baik.
![]() |
Available on NETFLIX
REVIEW - SCOOB!
Tahukah anda kalau Scoob! merupakan animasi layar lebar
pertama yang mengadaptasi seri Scooby-Doo?
Sebelumnya memang ada 33 film animasi yang pernah dibuat, termasuk saat terjadi
crossover antara Scooby dengan Batman
(Scooby-Doo! & Batman: The Brave and
the Bold) dan WWE (Scooby-Doo!
WrestleMania Mystery dan Scooby-Doo!
and WWE: Curse of the Speed Demon), tapi semuanya berstatus direct-to-video.
Sudah sewajarnya kisah diawali
dengan pertemuan perdana Shaggy (Will Forte) dan Scooby-Doo (Frank Welker,
satu-satunya pengisi suara original serial
animasi Scooby-Doo, Where Are You!
yang kembali), tatkala keduanya masih bocah. Jawaban atas pertanyaan “Mana yang
lebih dulu ada? Scooby-Doo atau Scooby Snacks?” pun turut diberikan. Serial animasi Be Cool, Scooby-Doo! juga pernah menyentuh persoalan itu, walau
jawaban yang diberikan berbeda.
Selepas satu momen emosional— yang semestinya
mendapat payoff andai konklusinya
tidak mengalami simplifikasi— menyusul menit demi menit yang bakal membuat para
penggemar bernostalgia lewat kemunculan berbagai ciri khas serialnya. Efek
suara, signature humor yang
melibatkan aksi menyamar guna mengecoh para “hantu”, kalimat “And I would have gotten away with it too, if
it weren't for you meddling kids” yang diucapkan penjahat setelah
ditangkap, hingga yang terbaik, adalah reka ulang intro disertai lagu tema ikoniknya.
Paruh awal Scoob! berhasil mengembalikan kenangan masa kecil, sekaligus
menyulut antusiasme menantikan misteri macam apa yang bakal diselidiki Mystery
Inc. kali ini. Dikisahkan, Fred (Zac Efron), Daphne (Amanda Seyfried), dan
Velma (Gina Rodriguez), merasa telah tiba waktunya Mystery Inc. berkembang,
dengan mengusut kasus-kasus lebih besar demi mendapat lebih banyak uang. Simon
Cowell (diperankan Simon sendiri) siap menjadi investor, dengan satu syarat:
Shaggy dan Scooby tidak terlibat. Melalui komentar pedas khasnya, Simon merasa
keduanya tak berguna bagi tim.
Sakit hati, Shaggy dan Scooby yang
tengah meluapkan kekesalan sambil bermain boling malah diserang sekelompok
robot kecil milik Dick Dastardly (Jason Isaacs), yang entah kenapa, berusaha
menculik Scooby. Beruntung, mereka diselamatkan oleh pahlawan super idola
Shaggy sewaktu kecil, Blue Falcon (Mark Wahlberg), beserta robot anjingnya,
Dynomutt (Ken Jeong), dan Dee Dee Skyes (Kiersey Clemons) selaku pilot pesawat
kebanggaannya, Falcon Fury.
Para penggemar pasti sadar, kalau
tokoh-tokoh tersebut, walau termasuk properti Hanna-Barbera, bukan berasal dari
seri Scooby-Doo. Alasannya bisa
ditebak. Scoob! memang diniati
sebagai pembuka menuju Hanna-Barbera
cinematic universe. Sebenarnya, crossover
ala Avengers adalah prospek menarik,
mengingat keunikan masing-masing tokoh. Sayang, serupa deretan cinematic universe lain, upaya membangun
masa depan itu justru merusak masa kini.
Scoob! banting setir menjadi film pahlawan super berskala besar. Di luar
perihal cinematic universe, membawa
serial animasi berdurasi 20-30 menit berisi investigasi misteri ringan
diselingi kejar-kejaran dan penamakan “hantu”, ke medium film panjang 94 menit memang
perlu modifikasi. Tapi bukan berarti menjadi film pahlawan super penuh aksi
bombastis, dengan hanya sekelumit proses memecahkan misteri, yang bahkan
terkesan dirangkum paksa melalui barisan eksposisi verbal berbelit-belit.
Bahkan nantinya elemen fantasi
turut dimasukkan, membawa Scooby dan kawan-kawan melawan monster sungguhan
alih-alih manusia berkedok hantu. Bukankah itu berlawanan dengan esensi
serialnya? Lebih ironis lagi, mengingat lahirnya Scooby Doo, Where Are You! didasari niatan Hanna-Barbera membuat
kartun tanpa kekerasan demi memuaskan sekelompok orang tua, yang memprotes
gelombang tontonan bertema pahlawan super di pertengahan 1960an.
Mengkhianati pondasi? Mungkin saja,
tapi minimal, Scoob! tidak digarap
asal-asalan. Visualnya memanjakan mata lewat visual tajam berkontras tinggi,
yang turut membungkus klimaks yang tampil seru berkat pengarahan dinamis
sutradara Tony Cervone. Andai saja usahanya “membangun masa depan” dilakukan
secara lebih cermat.
Available on HBO MAX
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar