REVIEW - KAKA BOSS

2 komentar

Kamera drone melesat di langit Jakarta, merekam mobil yang melaju kencang di jalan layang, menuju klub malam tempat orang-orang berpesta hingga fajar menjelang. Sebuah cara sempurna untuk membuka Kaka Boss, yang oleh Arie Kriting selaku sutradara sekaligus penulis naskah, dijadikan ajang pembuktian bahwa sinema seputar Papua tidak melulu harus menampilkan karakternya bergulat dalam jurang penderitaan. 

Pada sekuen pembuka itu pula kita menyaksikan perkelahian, yang disusul oleh adu tarian. Dibantu tata kamera arahan Arfian (Agak Laen, Sri Asih, Cek Toko Sebelah 2) yang bergerak dinamis dan sarat kreativitas, Arie nampak berambisi membuat segalanya terlihat mahal. Sekali lagi, sangat berlawanan dengan label kemiskinan yang senantiasa disematkan bagi penggambaran masyarakat Papua di layar lebar. 

Protagonisnya pun lahir dari ambisi serupa. Ferdinand "Kaka Boss" Omakare (Godfred Orindeod) adalah sosok yang disegani. Sewaktu pertama kali kita berkenalan dengannya di klub malam, begitu Kaka Boss menampakkan diri diiringi lagu tema yang bakal mudah menempel di ingatan penonton (Kapan terakhir kali ada karakter film Indonesia mempunya lagu tema?), semua orang langsung memberi jalan. 

Tapi Kaka Boss bukan preman rendahan. Dia hidup bergelimang harta setelah bisnis jasa keamanan dan penagihan hutang yang ia dirikan sukses besar. Sebuah rumah megah jadi istananya bersama sang istri, Martha (Putri Nere), dan puteri tunggalnya, Angel (Glory Hillary). 

Sayangnya ada satu masalah. Angel merasa malu membicarakan tentang sang ayah di hadapan teman-temannya di sekolah. Pasalnya, stereotip "orang Papua adalah preman" kadung tersemat. Belum lagi bisnis Kaka Boss memang berisiko disalahartikan. Didorong keinginan membuat puterinya bangga, Kaka Boss nekat banting setir sebagai penyanyi dengan bantuan Alan (Ernest Prakasa) si produser musik, walau kemampuan tarik suaranya begitu "mengerikan". Jika memperhatikan cara bicara Kaka Boss, kalian akan tahu dari mana solusi bagi masalah pelik ini berasal. 

Ada gesekan antara ayah dan anak di film ini, tapi Arie tetap konsisten pada tujuannya untuk sebisa mungkin menjauhkan karakternya dari penderitaan. Alhasil, penokohan Angel menjauh dari keklisean anak pemberontak. Dia bukan remaja terluka penuh amarah yang membenci sang ayah. Sebaliknya, ia amat menyayangi Kaka Boss. Sebagaimana orang kebanyakan, Angel hanya bingung. 

Pilihan penokohan di atas membuat konflik keluarga Kaka Boss terasa lebih membumi tanpa kesan dilebih-lebihkan (di luar dramatisasi sewajarnya yang memang diperlukan tontonan arus utama). Berkat itu penceritaannya menyentuh hati, walau penampilan para pelakon utamanya masih belum maksimal. Tidak buruk, hanya saja cenderung inkonsisten. Ada kalanya olah rasa mereka nampak solid di satu titik, hanya untuk terasa datar beberapa waktu berselang. 

Beruntung, konsistensi berhasil mereka jaga kala menangani humor yang tersusun atas banyak materi kreatif, entah dari lelucon verbal serta polah konyol karakternya, beberapa pelesetan, maupun soal eksistensi karakter misterius bernama Boni yang bakal menyulut banyak diskusi. Seluruh pemainnya punya kemampuan memancing tawa, tapi di sini saya ingin memberi pujian khusus pada Priska Baru Segu yang memerankan Nora, adik Kaka Boss. Kemampuannya melempar sindiran menusuk nan menggelitik membuat kemunculan singkatnya selalu berkesan.  

Di kursi sutradara, cara Arie menangani momen komedik pun tergolong mumpuni berkat pengolahan timing yang apik. Ada kalanya sebuah banyolan hadir secara tak terduga karena ketepatan timing tersebut, yang turut menambah daya bunuhnya. Arie berhasil meningkatkan kemampuannya sejak melakoni debut di Pelukis Hantu (2020), dan terpenting, ia berhasil memberi representasi berbeda bagi orang Papua, yang menjauh dari stigma penuh derita ala sinema Indonesia.  

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - VICTORY

Tidak ada komentar

Victory mungkin bakal mengingatkan ke drama Reply 1988. Bukan hanya karena kesamaan pemeran utama (Hyeri) serta nuansa nostalgia yang dihadirkan, tapi juga penekanan keduanya terhadap dinamika sosial pada era sebelum internet, di mana orang-orang menciptakan kenangan indah dengan cara berkumpul untuk berbahagia bersama. 

Latarnya adalah tahun 1999 di Geoje, sebuah kota kecil yang bagi banyak anak mudanya, membatasi ruang eksplorasi mereka. Setidaknya bagi Pil-sun (Hyeri) dan sahabatnya, Mi-na (Park Se-wan), yang bercita-cita menjadi penari profesional. Keduanya berharap dapat segera merantau ke Seoul, karena keengganan pihak sekolah menyediakan ruang menari. 

Di rumah, hubungan Pil-sun dengan ayahnya (Hyun Bong-sik) pun kurang harmonis. Ayah Pil-sun sendiri tengah terjebak dilema, karena sebagai manajer di sebuah galangan kapal, ia harus memilih apakah harus memihak sesama pekerja yang sedang berdemo memprotes kurangnya perhatian perusahaan terhadap kesejahteraan mereka, atau cari aman dan mematuhi pimpinan yang menganggap sebelah mata peran buruh. 

Victory mengawali penceritaan dengan cukup terbata-bata. Meski totalitas Hyeri dalam melakoni komedi selalu bisa diandalkan, materi humornya tak selalu tepat sasaran, pun alurnya belum terarah. Sampai datanglah murid baru dari Seoul bernama Se-hyun (Jo A-ram), adik dari Dong-hyun (Lee Chan-hyeong), bintang liga sepakbola yang didatangkan demi mengatrol kualitas tim setempat. Sebagai adik perempuan, selama ini Se-hyun hidup di bawah bayang-bayang kakak laki-lakinya. 

Berbeda dengan obsesi Pil-sun terhadap budaya hiphop, Se-hyun merupakan pemandu sorak. Jurang perbedaan mereka nantinya bakal dijembatani oleh satu tujuan, yang berujung pada sebuah misi: membentuk tim pemandu sorak. 

Filmnya mulai memperoleh suntikan tenaga tatkala proses pencarian anggota tim dilakukan. Aura "girl power" memancar kuat seiring semangat membara yang tokoh-tokohnya curahkan. Melalui aktivitas pandu sorak, mereka menemukan kebahagiaan karena mampu membahagiakan orang lain, dan di situlah Victory turut mendatangkan kebahagiaan bagi penontonnya. Di tengah rumor kiamat dan paranoia Y2K, gadis-gadis ini justru menemukan kehidupan.

Alur dalam naskah buatan Park Sung-hoon dan Kang Min-sun cenderung formulaik, tidak mengutak-atik pakem "from zero to hero" khas film bertema olahraga. Daya tariknya berasal dari perspektif mengenai keberagaman. Akibat keterbatasan waktu, tidak semua anggota tim pemandu sorak diisi oleh ahli dalam bidang tersebut. Ada penari tradisional, popper, atlet taekwondo, bahkan seorang nerd. 

Melalui karakter-karakter di atas, Victory hendak menegaskan bahwa dalam kehidupan (dalam dunia pandu sorak, sepakbola, pekerjaan, sampai perihal gender) tidak ada satu peran yang lebih superior. Semua memagang peranan penting, bahkan ketika membicarakan "peran utama versus peran pendukung". Dibekali modal tersebut, Park Bum-soo selaku sutradara pun berhasil melahirkan sederet momen emosional, dari yang bersifat empowering terkait perjuangan tim pemandu sorak, hingga pemandangan menyentuh dari konflik keluarga antara Pil-sun dengan sang ayah. 

Sayangnya Victory luput memberi build-up yang layak bagi salah satu pencapaian terbesar para karakternya, tatkala mereka berhasil menguasai sebuah teknik pandu sorak kompleks. Payoff-nya hambar karena pencapaian itu terkesan datang tiba-tiba. Setidaknya, melihat mereka akhirnya mampu menari dengan luar biasa baik (memiliki dua mantan idola K-pop di jajaran cast jelas amat membantu) terasa amat memuaskan. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - MAHARAJA

3 komentar

Maharaja ramai dibicarakan serta banjir pujian karena berbagai twist miliknya, yang mana pantas ia dapatkan. Bukan cuma unggul dari segi kuantitas, film buatan Nithilan Swaminathan ini juga menunjukkan bahwa twist bisa memperkuat ceritanya, yang menampilkan tragedi. Bagaimana keburukan seperti tindak kriminal, apa pun alasannya, hanya akan mendatangkan setumpuk hal buruk lain yang meninggalkan jejak-jejak darah. 

Judul filmnya berasal dari nama sang protagonis, Maharaja (Vijay Sethupathi), seorang tukang cukur pendiam yang hidup berdua bersama puterinya, Jothi (Sachana Namidass). Di rumah mereka terdapat sebuah tong sampah yang diberi nama Lakshmi, dan diperlakukan bak anggota keluarga, karena pernah "menyelamatkan" Jothi dari sebuah kecelakaan maut sewaktu ia kecil. Kecelakaan tersebut menewaskan istri Maharaja. 

Jika John Wick melakukan pembantaian didasari amarah selepas kematian anjingnya, maka Maharaja tidak ragu menumpahkan darah setelah mengetahui tong sampah tercintanya dicuri beberapa orang yang menerobos ke dalam rumahnya. Bahkan saat pihak kepolisian yang dipimpin Inspektur Varadharajan (Natarajan Subramaniam) enggan menganggap serius laporannya, Maharaja tak gentar. 

Ketidakbecusan aparat yang Maharaja hadapi menghasilkan komedi satir sarat humor segar nan kreatif, sekaligus sindiran tajam terhadap polisi yang menganggap rakyat sebagai beban, bahkan lawan. "Masyarakat harus takut pada polisi", ucap Inspektur Varadharajan. Tapi Maharaja terus berdiri tegak di depan salah satu sumber borok negara itu. 

Vijay Sethupathi membawakan karakter Maharaja layaknya batu karang yang menolak dipukul mundur oleh rintangan seberat apa pun. Matanya menyuarakan kepedihan, yang alih-alih menahan, justru merupakan mesin penggerak perjuangan. Ketika nantinya Maharaja mulai diisi rangkaian kebrutalan, itu bukan semata hiburan, melainkan menjadi cara Nithilan Swaminathan merepresentasikan luapan amarah. 

Deretan twist yang hadir dari naskah hasil tulisan sang sutradara memang punya hasil beragam. Beberapa di antaranya mengharuskan penonton mengaitkan benang merah sendiri, ada pula yang terkesan dipaksakan, tapi beberapa kejutan turut membuktikan kepiawaian naskahnya bermain-main dengan dua linimasa yang menyusun alurnya, yakni kisah masa kini dan flashback berlatar tahun 2009. 

"Mengejutkan" adalah kata yang berhasil dilahirkan oleh proses utak-atik di atas, dan seperti telah disinggung sebelumnya, twist milik Maharaja juga menyimpan dampak emosi. Terutama di paruh akhir yang begitu menusuk hati, di mana kita diperlihatkan efek tragis dari kriminalitas. Sebuah kejahatan yang begitu buruk, begitu rendah, hingga para polisi pun ikut merasa jengah. 

(Netflix)

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - AMAR SINGH CHAMKILA

Tidak ada komentar

Amar Singh Chamkila adalah biopic mengenai penyanyi legendaris dengan julukan "Elvis dari Punjab", yang juga dianggap kontroversial karena lirik-lirik nakal buatannya, yang menyinggung hal-hal seperti konsumsi narkoba, mabuk-mabukan, hingga aktivitas seksual. Publik mencintai sekaligus membencinya. 

Imtiaz Ali selaku sutradara dan penulis naskah (bersama Sajid Ali) coba menggali kenakalan tersebut secara lebih mendalam. Bahwa mungkin saja itu bukan semata hiburan dangkal, melainkan gambaran realita yang paling nyata, dan kematian Chamkila akibat terjangan timah panas juga mewakili represi terhadap kemanusiaan. 

Chamkila termasuk salah satu anggota 27 Club. Dia tewas di usia 27 tahun, di puncak karirnya, dalam kasus penembakan yang tak terselesaikan hingga kini. Si istri kedua sekaligus partner duetnya di atas panggung, Amarjot, turut menjadi korban. Kematian pasutri ini dipakai sebagai adegan pembuka, menghadirkan intro menyentak sebelum kita dibawa mundur untuk mengikuti perjalanan karir sang musisi.

Chamkila, atau yang mempunyai nama asli Dhani Ram (Diljit Dosanjh), merupakan kaum Dalit. Orang-orang tak berkasta yang dipandang begitu rendah. Menghabiskan masa kecil di lembah kemiskinan, Chamkila pun kerap menyaksikan beragam pemandangan tak bermoral, yang kelak menjadi inspirasi di balik lirik-lirik sugestif miliknya. 

Bersama Amarjot (Parineeti Chopra), Chamkila menyanyikan yang dia lihat, yang rakyat jelata alami, yang tanpa sadar telah melahirkan potret wajah asli manusia. Itulah mengapa masyarakat mencintai Chamkila, selalu membanjiri tiap pertunjukannya, sembari bernyanyi dan menari tanpa henti. Bahkan ia mampu mengumpulkan penonton 10 kali lebih banyak dari Amitabh Bachchan tatkala menggelar konser di Kanada. 

Kita selaku penonton pun tak dilupakan. Filmnya cukup banyak diisi adegan Chamkila membawakan lagu-lagunya di atas panggung, disertai lirik guna membantu penonton (terutama yang masih asing dengan Chamkila) memahami seberapa menyenangkan karya-karyanya. 

Narasi Amar Singh Chamkila sejatinya tak membawa modifikasi bagi formula biopic, tapi pencapaian naskahnya terkait penggunaan dua linimasa patut diapresiasi. Fase flashback merupakan menu utama berisi perjalanan karir sang protagonis, namun era masa kini yang mengambil latar pasca penembakan Chamkila, di mana rekan-rekan si musisi terlibat obrolan dengan DSP Bhatti (Rahul Mittra) dan para anak buahnya yang mengusut kasus penembakan tersebut, bukan sebatas jembatan dengan penggarapan asal-asalan. 

Justru di situlah terselip sebuah pesan penting. Semakin banyak Bhatti mendengar kisah mengenai Chamkila, semakin berubah pula perspektif sang aparat yang tadinya dipenuhi persepsi negatif. Bhatti bersedia mendengarkan dan mengenal Chamkila lebih jauh, sehingga tidak dengan mudah menghakimi. Melalui film ini, Imtiaz Ali berharap penonton bisa melalui proses serupa. 

Sayangnya kinerja sang sineas bukannya tanpa celah. Penceritaan yang awalnya mulus menjadi serba buru-buru di paruh kedua, tatkala kuantitas serta kompleksitas masalah mulai bertambah. Momen-momennya tak lagi disusun secara cermat dan terkesan seperti biopic kebanyakan yang hanya bercerita sebagai bentuk pemenuhan kewajiban.

Polesan estetika yang Ali gunakan pun acap kali memunculkan tanda tanya terkait substansi. Keberadaan beberapa sekuen animasi memang menambah variasi visual, tapi pemakaiannya minim esensi. Begitu pula saat foto-foto asli Chamkila ditampilkan di tengah adegan, yang seolah menunjukkan kurangnya kepercayaan diri Ali dalam menciptakan reka ulang. 

Tapi Amar Singh Chamkila tetap sebuah biopic solid biarpun masih dihantui ragam kekurangan di atas. Di atas panggung, Chamkila menggunakan citra "sang penghibur" yang mendatangkan kebahagiaan, dan film ini ibarat perjalanan mengintip situasi di bawah panggung, saat seorang bintang menanggalkan topeng dan menampakkan wajah aslinya yang lebih rapuh. Sekali lagi, ini adalah potret realita. 

(Netflix)

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE CROW

Tidak ada komentar

The Crow garapan Rupert Sanders (Snow White and the Huntsman, Ghost in the Shell) datang untuk kembali membawa komik karya James O'Barr ke layar lebar, dengan intensi yang sebenarnya baik, yaitu "mengangkat" franchise-nya, sembari memberi bobot emosi lebih. Tapi akibat eksekusi buruk, alih-alih terbang lebih tinggi, ia justru jatuh menghantam tanah dan hancur. 

Naskah buatan Zach Baylin dan William Schneider tidak ingin sebatas menampilkan aksi balas dendam. Menyediakan porsi lebih signifikan bagi karakter Shelly (FKA Twigs) jadi salah satu cara. Shelly tidak cuma eksis untuk mati sehingga memantik amarah di hati kekasihnya, Eric (Bill Skarsgård), yang kelak mendapat kekuatan dari gagak supernatural lalu membalas dendam. Kali ini Shelly mempunyai koneksi dengan sang antagonis, Vincent Roeg (Danny Huston). 

Romansa Eric-Shelly pun diberi waktu lebih untuk berkembang. Menilik gagasan dasarnya, film ini punya semua modal guna melebihi pencapaian versi 1994 yang dibintangi Brandon Lee. Hanya saja, para pembuatnya tidak tahu cara mengembangkan gagasan menjadi realita. Hasilnya adalah rangkaian cerita membosankan, yang nyaris tak menunjukkan jejak kreativitas. 

Sanders melahirkan suguhan yang menganggap dirinya terlampau serius, dengan mengeliminasi pendekatan stylish yang membuat versi 1994 banyak dicintai. The Crow menghabiskan lebih dari sejam pertama sebagai kisah vigilante generik, yang semakin sukar dinikmati akibat penyuntingan buruk. Transisi kasar (bahkan tidak jarang terasa acak) antar adegan merupakan pemandangan biasa di sini. 

The Crow ingin dianggap serius, di saat ia memiliki protagonis dengan tubuh dipenuhi tato konyol sok edgy, jauh setelah berakhirnya era pemujaan terhadap citra angsty. The Crow ingin dianggap serius, di saat penokohan Eric sarat inkonsistensi. Di tempat rehabilitasi yang jadi lokasi pertemuannya dengan Shelly, Eric adalah pria penyendiri, pendiam, juga korban perundungan, namun begitu keluar, mendadak ia bersikap "normal" serta memiliki banyak teman. 

The Crow ingin dianggap serius, di saat si antagonis dengan segala kekuatan supernatural miliknya, tidak sadar bahwa aksi bengisnya tengah direkam (alasan Roeg memburu Shelly adalah demi merebut rekaman tersebut). The Crow ingin dianggap serius, di saat 111 menit durasinya dipenuhi kebodohan. 

Secercah cahaya harapan sempat muncul sewaktu Eric mulai beraksi memamerkan kekuatannya, terutama dalam sekuen "pembantaian di gedung opera". Sanders tidak menahan diri, menumpahkan darah, menghamburkan potongan tubuh manusia, memaksimalkan kemampuan Eric untuk menyembuhkan diri. Timbul harapan kalau The Crow bakal terus membaik dari situ. Sayangnya harapan itu seketika terbunuh oleh cara filmnya mengolah pertarungan puncak yang antiklimaks. Hancur. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - BLINK TWICE

Tidak ada komentar

Blink Twice adalah sebuah peringatan. Ceritanya jadi peringatan akan bahaya yang perempuan hadapi dalam dunia penuh laki-laki kulit putih manipulatif yang memegang kuasa. Di sisi lain ia juga memperingatkan kita akan kedatangan Zoë Kravitz yang berpotensi mengacak-acak daftar-daftar mengenai "sutradara paling berbakat saat ini". 

Menulis naskahnya bersama E.T. Feigenbaum, Kravitz menyusun kisah sarat misteri yang menempatkan penonton dalam kegelapan penuh tanda tanya (trailernya secara cerdik tak membocorkan detail-detail signifikan). Alkisah, Frida (Naomi Ackie) si pelayan begitu mengagumi Slater King (Channing Tatum), miliarder dari bidang teknologi yang belum lama ini tertimpa kontroversi. 

Sempat menghilang, ia kembali muncul sebagai "sosok baru" yang mengaku telah berubah selepas menjalani terapi dan mengasingkan diri di sebuah pulau miliknya. Acara televisi mengundangnya, publik pun tak mempermasalahkan. Di realita memang begitulah kenyataannya. Media sosial dapat dengan mudah meng-cancel seseorang, namun mudah pula melupakan kesalahannya. Bagi figur kaya raya seperti Slater King, kondisi semacam itu tidak lebih dari liburan yang diperpanjang. 

Frida sendiri bersikap bodoh amat terhadap kontroversi sang idola. Sehingga, ketika ia dan sahabatnya, Jess (Alia Shawkat), mendapat kesempatan menghadiri pesta di pulau milik Slater King, hanya ada kebahagiaan di hati Frida. 

"Ada apa sebenarnya?" mungkin jadi pertanyaan yang bakal muncul ketika menonton trailer Blink Twice, dan filmnya mampu menjaga tanda tanya tersebut tetap berputar di kepala penonton. Karena semuanya nampak normal. Frida dan para tamu lain menikmati jamuan mewah, berpesta, mabuk-mabukan, lalu sesekali mencicipi narkoba. Tidak ada yang terlalu mencurigakan dalam babak pertamanya yang berlangsung lebih dari setengah jam. 

Beberapa pihak mungkin akan menganggap Blink Twice terlalu lama mengawali kisahnya, yang mana tidak sepenuhnya keliru, namun filmnya memang sengaja melakukan itu, dengan tujuan menempatkan penonton di posisi karakternya. Terlena, lengah, sebelum kemudian disergap oleh rangkaian kegilaan tak terduga. 

Begitu tirai misterinya tersibak, poin yang hendak Blink Twice sampaikan pun segera nampak. Sebuah kisah mengenai kebobrokan maskulinitas yang menempatkan perempuan dalam bahaya, lalu memanipulasi mereka menjadi boneka yang patuh, hanya bisa tersenyum, pula selalu tersedia sebagai "objek". 

Seperti telah disinggung di awal tulisan, Blink Twice juga panggung pembuktian bagi Zoë Kravitz. Sang sutradara debutan memiliki visi kuat sekaligus berani. Dibantu penyuntingan Kathryn J. Schubert, Kravitz menyamakan film ini layaknya cara kerja memori, yang dalam sekejap dapat secara acak menyeruak ke permukaan. 

Pendekatan di atas membuat kita ikut merasakan dinamika psikis protagonisnya. Kegembiraan penuh tawa yang sesekali menyelipkan komedi bisa tiba-tiba bertransisi jadi mimpi buruk mengerikan (sebuah adegan single take di pertengahan durasi menampilkan pemandangan mencengangkan bak neraka dunia). 

Penceritaannya masih memiliki lubang, terutama soal kurang solidnya "rules" terkait kebenaran di balik pesta Slater King. Para penulisnya seolah enggan memeras otak lebih jauh guna mematenkan detail tersebut, tapi pengarahan Zoë Kravitz mampu membuat kelemahan itu terasa minor. Dia jeli membangun intensitas, tahu kapan mesti menggunakan keheningan, kapan harus menggedor jantung penonton lewat kejutan-kejutan yang dikemas dengan presisi timing luar biasa. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - I SAW THE TV GLOW

2 komentar

Bagaimana genre film didefinisikan? Acap kali ia cenderung didasari oleh apa yang dipasarkan ketimbang filmnya sendiri. Penonton "mengetahui" genre sebuah film bahkan sebelum menontonnya. Dari situlah datangnya ekspektasi. Tatkala ada karya yang luput memenuhi ekspektasi penonton yang merupakan hasil strategi tim pemasaran, dan dianggap tak memenuhi kaidah suatu genre yang disepakati publik, ia pun mendapat cap "gagal".

Padahal tendensi mengkotak-kotakkan semacam itu hanya membatasi perspektif kita terhadap film. I Saw the TV Glow adalah karya yang menolak dikurung dalam kotak. Lahir dari buah pikir Jane Schoenbrun, sebagaimana karya yang sutradara sebelumnya, We're All Going to the World's Fair (2021), besar kemungkinan film ini bakal menyisakan kekecewaan bagi mereka yang mengharapkan horor konvensional. 

Sederhananya, jangan mengharapkan terpenuhinya formula di sini. Terima filmnya sebagaimana adanya. Penerimaan itu juga yang ingin didapatkan oleh Owen (Justice Smith). Hidupnya terkekang oleh aturan-aturan ketat sang ayah. Meski sudah cukup dewasa, Owen masih dilarang terjaga hingga larut malam. Keinginan menonton serial televisi The Pink Opaque   yang oleh ayahnya disebut "acara perempuan"   pun mesti ia urungkan.

Untungnya ia bersahabat Maddy (Brigette Lundy-Paine) yang juga terobsesi pada serial tersebut. Owen kerap diam-diam bermalam di rumah Maddy untuk menonton The Pink Opaque, sampai pada suatu hari acara itu mendadak dihentikan penayangannya. 

Di situlah naskah yang juga ditulis oleh Schoenbrun mencapai titik balik menarik, di mana rasa penasaran berhasil dipantik, dan penceritaan bertransformasi dari drama coming-of-age menjadi misteri yang piawai menggaet atensi, dengan visual sarat warna-warna mencolok bak nyala neon bertindak selaku sampul dari kisah tersebut. 

Temponya cukup lambat, namun itu adalah pilihan yang sang sutradara ambil sesuai kebutuhan penceritaan, ketimbang sebatas gaya-gayaan. Alhasil penuturannya terasa nyaman diikuti. Apalagi Justice Smith dan Brigette Lundy-Paine tampil solid sebagai dua individu penyendiri yang terjebak dalam kegamangan batin masing-masing. 

Beberapa orang mungkin bakal mempertanyakan, "Di mana letak horornya?", karena di luar beberapa kemunculan monster di serial The Pink Opaque (yang punya desain unik, serta diciptakan dengan kombinasi tepat guna antara efek praktikal dan komputer), praktis I Saw the TV Glow bergulir layaknya drama remaja kelam. 

Itulah mengapa sebaiknya kita tidak terjebak dalam ekspektasi dan pendefinisian dangkal. Mungkin Schoenbrun memang tidak berniat membuat horor. Dia hanya ingin bercerita, dan jika hasilnya memenuhi formula suatu genre, itu merupakan kebetulan semata (yang kemudian dijadikan materi jualan guna mendatangkan penonton). 

I Saw the TV Glow mempunyai banyak elemen horor, tapi ia tidak terasa seperti horor. Jadi apa jati diri film ini sesungguhnya? Saya rasa ini bukti bahwa genre bersifat fluid. Sama seperti gender, dan fluiditas gender (khususnya tentang transgender) merupakan subteks yang bersemayam di dalam alur I Saw the TV Glow. Semakin jauh kisahnya bergulir, pertanyaan soal "Apakah hidup ini nyata?" mulai menggelayuti pikiran karakternya. Owen mempertanyakan realitas, dan seiring waktu juga mempertanyakan identitas. 

(Catchplay)

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - IT ENDS WITH US

Tidak ada komentar

Satu poin yang membuat It Ends with Us menonjol adalah bagaimana adaptasi novel berjudul sama karya Colleen Hoover ini mampu memotret proses berpikir serta dinamika emosi korban kekerasan dalam rumah tangga, sembari mengajak penonton memahami alasan banyaknya korban melepaskan diri dari hubungan berbahaya yang tengah mereka jalani. 

Protagonis kita adalah seorang perempuan dengan nama unik bernuansa floral, yakni Lily Bloom (Blake Lively), yang secara kebetulan juga hendak membuka toko bunga. Bersama pegawai yang kelak menjadi sahabatnya, Allysa (Jenny Slate), Lily mewujudkan cita-cita tersebut. Di sisi lain, ia mulai menjalin kedekatan dengan kakak Allysa, seorang ahli bedah saraf bernama Ryle (diperankan Justin Baldoni yang turut menduduki kursi sutradara).

Pertemuan perdana Lily dan Ryle di sebuah atap gedung, diisi oleh naskah buatan Christy Hall (yang konon cukup setia pada novelnya) dengan banyak kalimat cheesy. Kemudian saat obrolan mulai berubah jadi kemesraan yang lebih intim, Baldoni menggunakan lagu Hymn milik Rhye sebagai pengiring. Sebuah nomor R&B bertempo lambat, yang pemakaiannya selaku latar adegan seksual terasa klise, dan sekali lagi, cheesy. 

It Ends with us memang tampil bak sinetron dengan teknis layar lebar. Bahkan filmnya sendiri tidak menampik itu, ketika di salah satu adegan, Ryle menyebut dirinya sebagai "laki-laki dari opera sabun". Berbagai kebetulan dramatis, perkelahian meledak-ledak, sampai romantika sarat drama makin menguatkan identitas tersebut. 

Tidak serta merta berarti buruk. Bukankah sinetron seru untuk ditonton? Begitulah It Ends with Us bergulir, terutama di paruh pertama ketika percintaan Lily dan Ryle bakal memancing senyum di bibir para penyuka romansa, sementara Jenny Slate senantiasa mencuri perhatian di tiap kemunculan berkat kesempurnaan comic timing-nya. 

Segala tawa bahagia itu takkan berlangsung lama. Selagi kita sesekali dibawa mengunjungi masa remaja Lily (diperankan Isabela Ferrer), mengikuti hubungannya dengan Atlas (Alex Neustaedter), pula melihat sang ayah (Kevin McKidd) melukai sang ibu (Amy Morton) baik secara fisik maupun psikis, di masa kini, berbagai "tanda bahaya" pun mulai muncul di balik perilaku Ryle yang awalnya sempurna. 

Tapi benarkah Ryle sempat menjadi sempurna? Di sinilah naskahnya secara cerdik menyusun alurnya sebagai wadah untuk menempatkan penonton di proses berpikir (dan "merasa") yang sama dengan sang protagonis. Bagaimana tiap hubungan toxic bakal tetap diawali oleh kemesraan manis, dipenuhi godaan-godaan romantis yang membutakan calon korban walau banyak pertanda telah nampak di depan mata (sebelum mereka berpacaran, Ryle pernah memaksa Lily untuk menciumnya meski secara halus). 

Romantisme dapat membutakan, bahkan mengaburkan perspektif para korban terhadap kekerasan yang mereka terima. Itulah yang coba It Ends with Us sampaikan pada penonton supaya bisa mengerti kondisi korban. 

Penceritaannya memang tak selalu mulus. Misal signifikansi karakter Atlas (versi dewasa diperankan Brandon Sklenar) yang patut dipertanyakan. Atlas seperti eksis hanya untuk menambah konflik antara Lily dan Ryle, mengingat tugas "penolong" sebenarnya bisa diemban oleh Allysa. 

Untungnya inkonsistensi kualitas itu ditutupi oleh penampilan Blake Lively yang selalu mengagumkan. Momen terbaiknya adalah obrolan menyakitkan dengan Ryle berlatar rumah sakit di babak akhir. Blake mengutarakan kalimat demi kalimat dengan penuh martabat, menolak runtuh di hadapan rasa sakit yang ia rasakan baik di luar maupun di dalam dirinya. 

Konklusi yang ditawarkan pun tidak naif. Bukan sebatas iklan layanan masyarakat mengenai KDRT yang menutup mata pada kompleksitas kasusnya. Tindakan Ryle tak mendefinisikan keseluruhan pribadinya, namun di saat bersamaan, kekerasan yang ia lakukan tetaplah kesalahan yang haram untuk ditoleransi. Ryle, sebagaimana kebanyakan manusia, menyimpan luka, tapi memahami luka tersebut bukan berarti menjustifikasi perbuatan buruknya. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - KANG MAK

1 komentar

Kang Mak dibuat oleh orang-orang yang memahami hal apa saja yang mesti dipertahankan dan dimodifikasi dalam sebuah remake. Berkatnya, proyek yang cukup nekat ini   karena membuat ulang film populer asal Thailand, Pee Mak (2013)   justru berhasil menjadi suguhan yang meramaikan seisi studio bioskop dengan tawa penonton. 

Naskah buatan Alim Sudio mempertahankan pondasi cerita, yang secara garis besar masih sama dengan versi aslinya. Makmur alias Kang Mak (Vino G. Bastian) berangkat ke medan perang di saat istrinya, Sari (Marsha Timothy), tengah mengandung anak pertama mereka. Bersama rekan-rekan seperjuangannya, dari Supra (Indro Warkop), Jaka (Tora Sudiro), Fajrul (Indra Jegel), hingga Solah (Rigen Rakelna), Makmur berhasil selamat dari peperangan dan kembali pulang untuk menemui Sari. 

Tapi kita tahu bahwa Sari yang menanti Makmur di rumah bukanlah Sari yang sama. Dia telah tiada, namun arwahnya masih bersemayam di sana sampai membuat seisi desa ketakutan. Sekali lagi, sama dengan apa yang terjadi di Pee Mak. Tidak hanya di persoalan alur, tim produksi Kang Mak bahkan mampu membuat rumah Makmur-Sari, yang jadi latar di mayoritas durasi, tampak semirip mungkin dengan kediaman Mak-Nak. Sesuatu yang bakal diapresiasi oleh para penggemar.

Bukan berarti film ini adalah salinan yang sepenuhnya sama, sebab Alim Sudio tetap menerapkan modifikasi di beberapa titik, dengan tujuan "melokalkan" Pee Mak. Entah dari penceritaan, seperti mengganti perang di Siam pada pertengahan abad ke-19 menjadi perang kemerdekaan Indonesia, maupun perihal caranya memancing tawa. Semuanya dilakukan secara mulus, sebagaimana telah sering dilakukan Alim di berbagai remake yang ia tangani, terutama Hello Ghost (2023). 

Tidak perlu mempermasalahkan akurasi, baik cara bicara karakter yang ada kalanya terlalu kekinian, atau kehadiran hal-hal yang semestinya belum eksis di masa perjuangan. Serupa Pee Mak, Kang Mak sesekali memakai gaya absurd dalam melucu, yang tak jarang mengesampingkan akurasi atas nama komedi. Bukan suatu kekeliruan. 

Humornya pun cukup sering menemui sasaran berkat penampilan para pemain, terutama kuartet sahabat Makmur. Indro, Tora, Indra, dan Rigen saling berceloteh, melempar kelakar layaknya sekelompok orang yang sudah bertahun-tahun melucu bersama. Masing-masing pun memiliki peran pasti. Indra dan Rigen sebagai ujung tombak (baca: paling sering melakukan kebodohan), Indro menambah daya humor yang keduanya lontarkan, sedangkan Tora sebagai karakter yang cenderung lebih serius hadir selaku penyeimbang. 

Di sisi lain, Vino dan Marsha bertugas membawakan elemen dramanya, lewat chemistry solid yang memberi bobot emosional bagi kisah cinta Makmur dan Sari. Dinamika mereka pun menyenangkan disaksikan. Vino sebagai Makmur yang lebih cerewet dan berisik, Marsha sebagai Sari yang tenang (juga menyeramkan kala diperlukan). Seimbang. Ditutup oleh twist di babak ketiga yang tak hanya ingin mengejutkan tapi turut berjasa meningkatkan kekuatan rasa dalam presentasi drama romansanya, Kang Mak membuktikan kalau keputusan membuat ulang film populer nan berkualitas tidak selalu menjadi misi bunuh diri. 

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - ALIEN: ROMULUS

Tidak ada komentar

Saya termasuk dari segelintir orang yang menaruh cinta sama besarnya pada Prometheus (2012) dan Alien: Covenant (2017). Tapi harus diakui seri Alien sedang mengalami krisis identitas, mengingat bagaimana dua judul tersebut melangkah ke jalur berlawanan. Melalui Alien: Romulus, Fede Álvarez mengembalikan waralaba horor ini ke akarnya, memberinya identitas yang pasti, sembari memproduksi semacam kompilasi berisi hal-hal ikonik dari judul-judul sebelumnya. 

Latarnya adalah 2142, alias 20 tahun pasca Alien (1979) dan 37 tahun sebelum Aliens (1986), menjadikannya sebuah interkuel. Tidak ada Ellen Ripley (Sigourney Weaver) di sini. Figur protagonis perempuan ditempati oleh Rain (Cailee Spaeny), yang berharap dapat segera pergi dari koloni industrial milik Weyland-Yutani, dan tinggal di planet indah dengan siraman cahaya matahari. 

Harapan itu mendekati kenyataan saat mantan kekasih Rain, Tyler (Archie Renaux), beserta para kru kapalnya, berniat mencuri stasiun luar angkasa milik Weyland-Yutani yang telah ditelantarkan, dan memakainya untuk mencapai tempat tinggal baru. Android bernama Andy (David Jonsson) yang diprogram sebagai saudara Rain juga turut serta. Tanpa mereka tahu, sekelompok alien buas telah menanti di stasiun tersebut. 

Butuh waktu sampai Alien: Romulus tancap gas menebar teror. Pendekatan yang sesungguhnya juga diterapkan oleh Ridley Scott di Alien. Naskah buatan Fede Álvarez dan Rodo Sayagues berniat memakai babak pertamanya sebagai fase perkenalan. Sayang, paruh awalnya yang tak dihiasi atmosfer mencekam ala film pertama, bergulir cukup melelahkan akibat kegagalan naskah melahirkan barisan karakter menarik di luar duet Rain-Andy. 

Setidaknya dua nama di atas mendapat penokohan solid. Rain adalah protagonis terbaik sejak Ripley. Hanya manusia biasa yang perlahan semakin kuat ketika rangkaian teror silih berganti hadir di depannya. Cailee Spaeny membawakan transformasi itu dengan meyakinkan. 

Sementara Andy adalah karakter dengan peran paling signifikan dalam tema yang filmnya angkat. Dia dianggap produk gagal (digambarkan bak manusia berkebutuhan khusus), dan di satu titik, sistemnya ter-upgrade berkat pemasangan modul baru, yang turut memberi ruang eksplorasi pada akting David Jonsson. Andy menjadi lebih canggih, namun seperti kehilangan hati, dan bertindak dengan mengutamakan kepentingan perusahaan. 

Bagaimana dengan manusia? Apakah kesempurnaan bakal membawa kehidupan yang lebih baik, atau justru menghancurkannya dan menghilangkan esensi kemanusiaan? Seiring pertanyaan tersebut dilemparkan, semakin menarik pula penuturan Alien: Romulus selepas dibuka secara kurang meyakinkan. 

Sampai tiba waktunya makhluk-makhluk seperti Facehugger, Chestburster, dan tentunya Xenomorph menebar aroma kematian. Mengingat Álvarez pernah secara literal menumpahkan hujan darah di Evil Dead (2013), kadar kekerasan yang tak terlalu ekstrim di sini mungkin agak mengecewakan, namun sang sutradara punya amunisi lain.

Pertama adalah penempatan jumpscare yang luar biasa. Álvarez menguasai perihal "kapan" dan "bagaimana", selaku dua faktor yang amat menentukan keberhasilan menggedor jantung penonton lewat rasa kaget. Poin kedua, sekaligus yang lebih mengagumkan, yakni kemampuan Álvarez membangun kecemasan dalam tiap serangan alien, melalui pemilihan gerak kamera yang tepat, permainan tempo, serta bantuan dari musik mencekam buatan Benjamin Wallfisch. 

Presentasinya yang menegangkan membuat saya bersedia melupakan bagaimana naskahnya kerap memaksakan hal-hal tidak perlu yang ada kalanya terkesan konyol demi menambah konflik. Sebuah keputusan radikal di babak final bakal memancing kontroversi, tapi ini bukan kali pertama Alien bermain-main dengan aspek biologis Xenomorph, dan terpenting, ia sejalan dengan narasi tentang "kesempurnaan manusia" tadi. 

Perlukah menonton judul-judul sebelumnya agar bisa memahami alurnya? Kecuali film orisinalnya, sebenarnya tidak. Tapi pemahaman menyeluruh tentang Alien bakal membantu anda menangkap setumpuk referensi yang dengan cerdik Álvarez sebar di berbagai titik. Tidak hanya seputar dua film pertama, karena Alien 3 (1992), Alien Resurrection (1997), bahkan dua prekuelnya juga mendapatkan cinta. Alien: Romulus merupakan kompilasi "the greatest hits" bagi franchise-nya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - RUMAH DINAS BAPAK

Tidak ada komentar

Rumah Dinas Bapak yang mengadaptasi utas buatan Dodit Mulyanto (pernah juga diangkat oleh siniar Do You See What I See) adalah horor komedi yang tidak pernah benar-benar menyeramkan maupun benar-benar lucu. Tapi ia juga film yang digarap dengan begitu solid, sampai saya tidak keberatan meluangkan waktu dan uang untuk menontonnya, meski beberapa menit setelah keluar dari bioskop, banyak dari materinya bakal segera terlupakan. 

Sesuai judulnya, film ini menceritakan masa kecil Dodit (Octavianus Fransiskus) yang bersama keluarganya mesti pindah ke sebuah rumah dinas di desa terpencil, karena sang bapak (Dodit Mulyanto) selaku ketua jagawana ditugaskan menjaga hutan di sana. Tidak seperti bapak yang jarang meluangkan waktu karena lebih sering tidur di hutan, Dodit cukup dekat dengan ibunya (Putri Ayudya). Kakak perempuan Dodit yang tengah hamil, Lis (Yasamin Jasem), beserta suaminya, Dewo (Elang El Gibran), juga tinggal di rumah tersebut. 

Sejak awal sudah banyak keanehan dialami Dodit sekeluarga, yang nantinya bakal selalu terulang tiap malam Jumat kliwon. Mulai dari pintu rumah terbuka sendiri, penampakan beberapa sosok misterius, hingga yang paling berbahaya adalah saat ada anggota keluarga yang tiba-tiba lenyap. 

Tentu hampir semuanya dibarengi humor. Satu hal yang patut diingat, komedi dari naskah buatan Evelyn Afnilia akan lebih efektif kalau kalian tidak mencicipi trailernya terlebih dahulu, yang sayangnya memuat mayoritas materi terlucunya. Beraneka ragam amunisi guna memancing tawa dilepaskan, namun yang paling ampuh adalah komedi verbal dari celetukan tokoh-tokohnya, meski seperti telah disinggung di atas, takkan sampai menghadirkan ledakan tawa. 

Komedinya mampu tersampaikan dengan baik berkat penghantaran mumpuni dari para pemain, khususnya Fajar Nugra dan Sadana Agung Sulistya yang memerankan Kasno dan Sugeng selaku dua anak buah bapak. Dodit sendiri, biarpun dalam porsi terbatas, masih jago memancing tawa lewat gaya deadpan-nya. Sementara Putri Ayudya, Elang El Gibran, dan Yasamin Jasem memastikan semua karakter, bahkan yang berstatus non-komedik sekalipun, dibawakan dengan solid sekaligus mampu tampil menggelitik kala dibutuhkan. 

Elemen horornya bukan sesuatu yang bakal membuat penontonnya ketakutan, pun berbeda dengan kekhasannya selama ini, Bobby Prasetyo selaku sutradara tidak menghadirkan jumpscare yang menggedor-gedor jantung. Mungkin itu suatu kesengajaan, supaya Rumah Dinas Bapak tersaji lebih ringan mengingat filmnya merupakan horor komedi. 

Rumah Dinas Bapak memang kurang maksimal baik sebagai horor maupun komedi, namun di sisi lain, ia juga tidak meninggalkan hal-hal yang mengganggu kenikmatan menonton. Alurnya cenderung aman, tanpa permasalahan yang bakal membuat penonton garuk-garuk kepala. Departemen teknisnya turut melengkapi, dengan tata kamera arahan Padri Nadeak yang memanjakan mata, pula musik buatan Mikhael Beltsazar, yang bersenjatakan synth 80-an miliknya, terdengar segar dan menjauhi bunyi-bunyian klise ala horor lokal. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - UANG PANAI 2

Tidak ada komentar

Uang Panai pertama adalah sebuah fenomena. Sekitar 520 ribu penonton sukses dikumpulkan, yang berujung membuka jalan bagi lebih banyak film Makassar untuk tayang secara nasional. Walau harus diakui terdapat setumpuk pekerjaan rumah terkait kualitas. Delapan tahun berselang, biarpun sekuelnya (yang sudah rampung diproduksi pada 2021) mungkin takkan mencapai level kesuksesan komersil yang sama, ia berhasil memperbaiki sebagian besar kelemahan pendahulunya. 

Kali ini Anca (Ikram Noer) dan Risna (Nurfadhillah) selaku dua protagonis film pertama hanya tampil sebagai extended cameo. Mereka telah menikah, memiliki anak, dan mendirikan "Pattumbu" bersama Tumming (Tumming) dan Abu (Abu), yakni perusahaan jasa konseling mengenai uang panai. 

Klien pertama mereka adalah Iccang (Rendi Yusa Ali), yang ingin menikahi Icha (Diny Arishandy) setelah bertahun-tahun pacaran. Masalahnya, ibu Icha (Yuyun) ingin anak tunggalnya yang berprofesi sebagai dokter spesialis itu menemukan pasangan yang "selevel". Uang panai mahal pun tak terhindarkan. 

Fokus penceritaan dalam naskah buatan Gabriella Dwiputri dan Elvin Miradi adalah upaya Iccang mengumpulkan uang panai dengan bantuan Pattumbu. Jangan harapkan strategi kreatif dari Tumming dan Abu, yang sejatinya berpotensi menambah daya tarik penceritaan, sebab keduanya sebatas mendorong Iccang untuk berhemat. Menjual pakaian mahal dan motor, sampai menabung di celengan jadi beberapa contoh solusi yang ditawarkan. 

Bukan berarti Uang Panai 2 gagal menghibur. Sebaliknya, kesederhanaan tadi mampu diolah menjadi suguhan menyenangkan. Ihdar Nur, yang beberapa bulan lalu baru merilis salah satu kejutan terbesar tahun ini dalam Keluar Main 1994, mengambil alih kursi penyutradaraan dari Halim Gani Safia dan Asril Sani, dan kegemaran sang sineas terhadap komedi Thailand serta drama Korea kembali memegang kunci. 

Komedinya selalu efektif memancing tawa kala melempar momen-momen absurd khas sinema Thailand, yang dibawakan dengan apik oleh jajaran pemainnya. Di sisi lain, Uang Panai 2 juga piawai mengaduk-aduk perasaan penonton (baca: amarah) lewat presentasi drama keluarganya, terutama melihat paksaan demi paksaan yang ditujukan pada Icha oleh sang ibu. 

Bahkan ada kalanya Uang Panai 2 menerapkan beberapa formula khas drakor bergenre makjang, sebutlah protagonis dari keluarga kaya dengan kepribadian orang tua yang berlawanan (satu penyabar, satu kerap meledak-ledak emosinya), hingga adegan seputar lingkaran pertemanan ibu-ibu kaya yang sebatas membicarakan harta di cafe atau restoran. 

Penceritaannya memang tak selalu berjalan lancar. Struktur narasinya terkadang tampil janggal, saat naskahnya memaksa untuk menyelipkan peristiwa super singkat yang sebenarnya tidak benar-benar diperlukan. Sementara departemen penyuntingan kerap muncul dengan timing aneh yang menyebabkan kurang mulusnya transisi antar momen. 

Ardiansyah Amda Ekoputra selaku editor kebetulan juga menjadi penata kamera, dan di situlah ia membayar kelemahannya "menjahit film" dengan tangkapan gambar-gambar yang memanjakan mata. Visualnya jauh mengalami peningkatan dibanding film pertama, walaupun jika membicarakan teknis, kekurangan masih tersisa di tata suara yang menyebabkan beberapa dialog kurang nyaman didengar. 

Perbaikan lain yang dilakukan Uang Panai 2 terletak pada presentasi drama. Jalinan romansanya tidak melucuti kualitas, karena berbeda dengan film pertama, dua pemeran utama mampu bermain solid. Rendi Yusa Ali sanggup mengimbangi Tumming dan Abu dalam memainkan humor, sedangkan Diny Arishandy begitu natural menangani kalimat demi kalimat yang disediakan naskahnya. 

Uang Panai 2 pun patut dipuji karena bisa bersikap seimbang dalam memandang konflik keluarganya. Anak mesti menghormati orang tua, khususnya ibu yang bertaruh nyawa untuk melahirkannya, namun di sisi lain orang tua juga tidak semestinya menyetir kehidupan si buah hati. Keseimbangan macam inilah yang memberikan kehangatan bagi tuturan dramanya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - TRAP

2 komentar

Trap bagaikan dua film yang amat berbeda namun dipaksa menyatu. Paruh awalnya adalah thriller "kucing-kucingan" intens berisi adu taktik yang berhasil memanfaatkan sebuah lokasi dan situasi. Sedangkan paruh akhirnya dipenuhi kebodohan, lubang logika, juga kejutan-kejutan tak perlu, yang kembali memperlihatkan ketidakmampuan (atau ketidakmauan?) M. Night Shyamalan menahan diri. 

Alkisah, Cooper (Josh Hartnett) tengah menemani puterinya, Riley (Ariel Donoghue), menonton konser si penyanyi idola, Lady Raven (Saleka Night Shyamalan). Konser pun dimulai, semua nampak lancar, sampai kita dibuat menyadari suatu kejanggalan: Mengapa Cooper berulangkali terlihat waswas sembari mengecek kondisi sekeliling? 

Jika ingin merasakan pengalaman menonton Trap secara maksimal, rasanya cukup sinopsis singkat di atas yang kalian tahu. Shyamalan begitu piawai mendesain babak pertama filmnya sebagai alat pemancing rasa penasaran. "Apa yang sebenarnya terjadi?", kemudian "Bagaimana semua ini akan berakhir?" merupakan dua pertanyaan yang bakal kerap mewarnai pikiran penonton. 

Banyak yang mempermasalahkan nepotisme terkait keterlibatan Saleka, dan paruh awal alurnya memang bak upaya mempromosikan lagu-lagu sang penyanyi, kala Shyamalan acap kali terlalu fokus pada penampilan puterinya tersebut, berlama-lama menangkap aksi panggung ketimbang mengolah penceritaan. Setidaknya Shyamalan membayar lunas keputusan itu dengan pengadeganannya yang intens. 

Ada rasa tidak nyaman ketika Shyamalan berkali-kali memakai close-up, lalu meminta aktor-aktornya menatap ke arah kamera. Seolah ruang privat kita sedang diinvasi oleh sang sineas. Pilihan teknis yang mungkin akan terkesan aneh, namun turut membuktikan keberanian Shyamalan mendobrak pakem guna merealisasikan visinya. 

Sayang, segala keunggulan di atas perlahan runtuh begitu penampilan Lady Raven berakhir, dan latarnya berpindah, keluar dari area konser. Ketegangannya menipis akibat naskahnya terus menumpuk pilihan narasi bodoh. Lubang logika terbesar adalah mengenai keterlibatan Lady Raven di paruh kedua. Kenapa penyanyi terkenal seperti dirinya bersedia sedemikian jauh mempertaruhkan nyawa tanpa motivasi personal? 

Shyamalan seperti hanya ingin puterinya mendapat porsi sebanyak mungkin, tanpa memedulikan dampak negatif bagi kualitas narasi filmnya. Pilihan yang baik sebagai seorang ayah, namun buruk sebagai sineas. Ketika Trap terus melanjutkan alurnya dan melewatkan beberapa titik yang lebih tepat dijadikan penutup, saya pun semakin dibuat merindukan thriller menegangkan yang menghiasi layar di babak awal.

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - PILOT

Tidak ada komentar

Pilot tampil lucu, sebagaimana mestinya film komedi. Tapi yang membuatnya berkesan adalah keberhasilan menyimbangkan aspek hiburan tersebut dengan olahan isu miliknya yang menyimpan relevansi tinggi. 

"Kenapa menyebut rekan kerja perempuan 'cantik' dianggap sebagai pelecehan? Bukankah itu suatu pujian?" Di dunia nyata, banyak laki-laki tidak mampu (atau tidak mau?) memahami alasan perempuan merasa kurang nyaman dengan situasi di atas. Termasuk Han Jung-woo (Jo Jung-suk), pilot idola yang sedemikian terkenal sampai diundang ke You Quiz on the Block-nya Yoo Jae-suk. 

Di luar citra memikatnya, Jung-woo adalah individu egois yang enggan mengerti perspektif orang lain. Dia tidak tahu sang istri (Kim Ji-hyun) baru melalui operasi, atau bagaimana anak laki-lakinya (Park Da-on) lebih menyukai balet dan boneka Barbie ketimbang pesawat. Para penonton drama Hospital Playlist bakal terkesan mendapati Jo Jung-suk memerankan figur ayah yang berlawanan dengan karakter Lee Ik-joon.

Sampai kemudian rekaman suara Jung-woo membahas kecantikan para karyawan perempuan di acara kumpul perusahaan tersebar, dan hidupnya pun berantakan. Nantinya kita bakal berkenalan dengan pilot perempuan bernama Yoon Seul-gi (Lee Ju-myoung), di mana naskah buatan Jo Yoo-jin menjadikannya corong guna menjabarkan isu yang diangkat. Naskahnya begitu baik menjelaskan alasan "pujian" tadi merupakan pelecehan, hingga para laki-laki seksis pun rasanya bakal kesulitan untuk menyangkal. 

Selama sekitar 111 menit durasinya, Pilot membawa Jung-woo dalam proses menekan ego sembari belajar memahami sudut pandang orang lain, khususnya para perempuan. Bukan lewat cara biasa. Akibat kasus yang ia alami, Jung-woo masuk ke daftar hitam sehingga semua lamaran pekerjaannya ditolak. 

Satu-satunya cara adalah menyamar sebagai perempuan bernama Han Jung-mi, yang diambil dari nama adiknya (Han Sun-hwa), seorang pembuat konten ASMR dan kecantikan yang membantu Jung-woo merias diri. Alasannya karena Noh Moon-young (Seo Jae-hee) ingin membuka ruang bagi para pilot perempuan di maskapai penerbangan yang ia pimpin. 

Memerlukan suspension of disbelief supaya dapat menikmati Pilot, terutama mengenai keberhasilan Jung-woo menipu seisi Korea dengan penyamarannya. Filmnya pun melewati jalan terjal di babak pertama, sebelum akhirnya lepas landas, semakin menggila dalam bercerita serta memancing tawa. 

Lupakan logika, dan biarkan duet maut Jo Jung-suk dan Han Sun-hwa menghipnotis kalian dengan kejenakaan liar mereka, sementara Lee Ju-myoung hadir selaku penetral keadaan, ketika sebagaimana yang ia lakukan di dramanya, sang aktris menghidupkan sosok perempuan kuat yang mudah dikagumi. 

Pilot sendiri juga film yang mengagumkan. Beberapa isu era modern yang ia usung dipresentasikan dengan sudut pandang berimbang. Misal bagaimana alurnya menyuarakan perihal seksisme, tanpa menutup mata bahwa tak jarang persoalan empowerment diangkat hanya sebagai medium monetisasi alih-alih didasari kepedulian. Keseimbangan itu yang menjadikan konklusinya memuaskan. Hangat, bahagia, namun tetap memastikan si protagonis membayar segala kesalahannya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - SAKARATUL MAUT

Tidak ada komentar

Sakaratul Maut masih menawarkan bahan baku khas horor Indonesia, dari sentuhan religi (baca: Islam), karakter yang "ngelmu", hingga perebutan warisan. Tapi terkait caranya meneror, selepas Waktu Maghrib dan Malam Pencabut Nyawa, setidaknya film ini mampu mengukuhkan nama Sidharta Tata sebagai salah satu sutradara horor Indonesia paling konsisten. 

Naskah buatan Agasyah Karim, Khalid Kashogi, dan Bayu Kurnia Prasetya membuka segala permasalahan dengan kecelakaan yang menimpa orang tua Retno (Indah Permatasari). Situasinya agak membingungkan. Awalnya saya pikir ayah dan ibu Retno sedang dalam perjalanan pulang selepas mengunjungi sang puteri di luar kota, namun ternyata mereka masih tinggal bersama. 

Penambahan/modifikasi satu kalimat dapat menjadi solusi bagi masalah di atas. Begitu pula mengenai ambiguitas identitas karakter Indah (Claresta Taufan Kusumarina), yang sebelum babak ketiga terasa kurang jelas. Tapi intinya kecelakaan tadi merenggut nyawa ibu Retno (Retno Soetarto), sedangkan sang ayah (José Rizal Manua) bertahan hidup meski dalam kondisi memprihatinkan. 

Nantinya terungkap bahwa ayah Retno rupanya memiliki istri kedua, pula anak laki-laki dari pernikahan tersebut, yaitu Tarjo (Aksara Dena), yang meski memasang topeng religius sebagai individu yang baru saja hijrah, nyatanya mengincar warisan sang ayah. Kakak Retno, Wati (Della Dartyan), juga menginginkan hal yang sama selepas bisnisnya hancur, sementara sang suami tidak bisa diandalkan. 

Kepala keluarga yang kawin lagi tanpa sepengetahuan keluarga, suami "mokondo", sampai orang yang memakai kedok agama untuk menguasai harta. Sakaratul Maut menawarkan subteks soal bagaimana para perempuan berjuang dengan kemampuan sendiri di tengah para laki-laki yang cuma bisa menyakiti mereka. 

Menarik. Sayangnya, seiring waktu eksplorasi ceritanya justru berhenti, menghasilkan alur yang tak cukup kokoh melandasi film berdurasi 107 menit. Memasuki paruh kedua, Sakaratul Maut terkesan mengulur-ulur waktu, menampilkan tokoh-tokohnya secara bergiliran mendapat teror dari entitas misterius yang dicurigai menempel di tubuh ayah Retno.

Padahal ada banyak materi yang berpotensi digali, dari persoalan gender tadi, maupun dinamika keluarga Retno yang disfungsional. Jajaran pemain pun rasanya bisa menangani bobot dramatis. Indah Permatasari dan Della Dartyan menciptakan dinamika kakak-adik menarik melalui kepribadian mereka yang bertolak belakang, sedangkan Claresta Taufan kembali membuktikan kapasitas sebagai scream queen baru yang mumpuni. 

Agak disayangkan, tapi minimal lemahnya penceritaan itu berhasil ditambal oleh kepiawaian Sidharta Tata membungkus kemunculan hantu. Jumpscare buatannya tidak asal berisik dan memperhatikan ketepatan timing. Momen saat Wati mendapat gangguan di malam hari pun pantas diberi pujian lebih terkait pengarahan sang sutradara beserta tata kamera garapan Mandella Majid yang efektif membangun intensitas.

Sakaratul Maut tergolong horor lokal yang solid, hanya saja kepuasan yang dihadirkan belum maksimal. Keunggulan dan kekurangannya bak saling berkejar-kejaran. Kesan tersebut nampak betul di klimaksnya, tatkala caranya memanfaatkan denah rumah di adegan kejar-kejaran cukup memancing decak kagum, namun kurang jelasnya rules perihal aspek mistisnya terasa mengganggu.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - KABUT BERDURI

1 komentar

Serupa judulnya, karya penyutradaraan terbaru dari Edwin ini adalah sesuatu yang berkabut. Penuh ketidakpastian, mengaburkan fakta, menolak memberi jawaban gampang, tidak hanya terkait misteri pembunuhan yang protagonisnya mesti pecahkan, pula soal hal yang lebih besar dan jahat, yakni sisi kotor negeri ini beserta setumpuk sejarahnya. Belum ada film Indonesia semacam ini, setidaknya di era modern. 

Pulau Borneo yang membatasi Indonesia dan Malaysia menjadi panggung serangkaian kematian misterius. Di kasus pertama, ditemukan mayat dengan kepala terpotong. Anehnya, kepala dan tubuh mayat itu berasal dari dua korban berbeda. Sanja (Putri Marino) dikirim dari Jakarta guna membantu penyelidikan. 

"Kacamatanya bagus. Cocok untuk Borneo Fashion Week", ucap Ipda Panca Nugraha (Lukman Sardi) menyambut kedatangan Sanja yang bakal jadi bawahannya. Kita segera menyadari bahwa Sanja berada di dunia di mana perempuan dipandang sebelah mata. Semakin kentara saat Panca menyatakan keraguan terhadap pernyataan saksi, hanya karena ia seorang "ABG perempuan". 

Minimal Sanja tak bekerja sendiri. Thomas (Yoga Pratama) senantiasa mengulurkan bantuan sebagai figur yang dapat ia percaya. Tapi benarkah? Sebab seiring waktu, naskah buatan Edwin dan Ifan Ismail menegaskan bahwa tidak ada yang sepenuhnya jujur dan bersih di film ini. Selain seksis, dunia milik Kabut Berduri juga merupakan tempat di mana kebenaran sering terdistorsi. 

Bukan cuma rapi menyusun misteri (meski melibatkan karakter dan informasi yang tidak sedikit alurnya tak pernah menjadi labirin yang menyesatkan), naskahnya pun piawai menanam petunjuk secara subtil, baik mengenai detail kasus maupun simbol-simbol yang memperkuat bangunan dunianya. 

Dunia yang membiarkan para penguasanya "memotong" siapa saja, bahkan merayakannya sembari berdansa. Dunia yang dengan gampang membersihkan borok sejarahnya. Dunia yang bisa mematikan bagi manusianya hanya karena perbedaan "serong ke kiri atau serong ke kanan". Dunia yang menutupi dosa-dosa di atas. Kabut Berduri sejatinya merupakan proses Sanja (dan tentunya penonton) belajar membuka mata supaya bisa melihat kebenaran. 

Departemen artistiknya pun patut menerima pujian. Sinematografi garapan Gunnar Nimpuno bersama musik gubahan Abel Huray dan Dave Lumenta bersatu menyusun atmosfer kelam nan mencekik. Efek praktikalnya pun, walau belum bisa dicap "luar biasa", telah mampu menghasilkan pencapaian solid. 

Satu yang luar biasa adalah jajaran pemainnya. Yoga Pratama yang kembali bertransformasi bak bunglon, Yudi Ahmad Tajudin sebagai Pak Bujang yang tiap kehadirannya seperti magnet, dan pastinya Putri Marino sebagai detektif tangguh yang berusaha menutupi sisi dalamnya yang lebih rapuh. Putri menjadikan Sanja sebagai sosok yang tidak kaku. Ada kalanya ia bisa bersantai, menikmati tuak, sembari melempar canda bersama Thomas (yang di film arus utama bakal berkembang ke ranah romansa). 

Melalui karakter Pak Bujang kita mengenal legenda mengenai Ambong, salah satu pemimpin organisasi komunis bernama Paraku yang konon masih bersemayam di hutan dalam wujud siluman atau hantu. Kabut Berduri mengingatkan pada eksistensi hantu yang menggelayuti negeri ini. Hanya saja, ada sekelompok manusia yang lebih mengerikan sekaligus lebih mematikan dibanding hantu tersebut. 

(Netflix)

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - HEARTBREAK MOTEL

2 komentar

Beberapa film dibuat secara asal-asalan, ada yang dibuat dengan tujuan "menyelesaikan pekerjaan", tidak sedikit pula yang digarap dengan upaya terbaik. Tapi cuma segelintir film yang begitu ambisius, ia dibuat sembari membawa misi untuk menjadi yang terbaik. Nomor satu. Hearbtreak Motel selaku adaptasi novel berjudul sama karya Ika Natassa masuk golongan terakhir. 

Kisahnya menyoroti Ava Alessandra (Laura Basuki) si aktris ternama yang terjebak dalam hubungan toxic bersama kekasihnya, Reza Malik (Reza Rahadian). Reza juga seorang aktor. Keduanya bertemu di lokasi syuting, dan Ava segera terpikat pada kebaikan Reza yang selalu menemaninya menghadapi serangan panik. Sayangnya Reza segera menunjukkan wajah yang berbeda. 

Sekilas terdengar sederhana, sampai kita dihadapkan pada penceritaan dari naskah buatan sang sutradara, Angga Dwimas Sasongko, bersama Alim Sudio, yang mengusung gaya non-linear. Terdapat tiga linimasi yang rutin beririsan: masa kecil Ava saat mendapati tindak kekerasan sang ayah kepada ibunya, potret hubungannya dengan Reza, dan terakhir adalah keping cerita yang paling memancing penasaran, yaitu saat Ava bekerja sebagai petugas kebersihan hotel dan berkenalan dengan salah satu tamu, Raga Assad (Chicco Jerikho). 

Mengapa Ava mendadak beralih pekerjaan? Kapan tepatnya peristiwa itu terjadi? Teknik non-linear milik naskahnya terbukti efektif memancing rasa penasaran melalui segudang tanya, sebelum kemudian melempar beberapa kejutan tak terduga. Bukan sekadar untuk gaya-gayaan, sebab cara tutur itu berfungsi memburamkan batasan antara fiksi dan realita.

Pasalnya, seiring waktu sebagai aktris, Ava kerap mendapat peran seorang perempuan yang berurusan dengan laki-laki yang cuma tertarik menjadikannya hiasan. Sebatas tantangan untuk ditaklukkan. Nyatanya realita hidup sang aktris tidak jauh beda. Hanya saja, tidak seperti karakter-karakter peranannya, Ava cenderung pasrah. Seolah di realita, tanpa arahan sutradara dan panduan naskah, ia tidak tahu ke mana mesti melangkah. 

Selain perihal penceritaan, ambisi Heartbreak Motel juga terpancar dari teknisnya. Orkestra megah gubahan Abel Huray menemani pameran tata kostum dan artistik yang terkadang membuat film ini tampil bak makjang (genre drama Korea) berbiaya mahal. Tapi tentu yang banyak dibicarakan adalah pemakaian tiga kameranya, yaitu digital, 35mm, dan 16mm. 

Serupa eksplorasi naskahnya, keputusan Angga memakai tiga kamera pun bukan gaya-gayaan semata. Masing-masing kamera dengan ciri gambar masing-masing (16mm paling grainy, digital paling jernih, 35mm ada di antaranya) mewakili dinamika psikis si protagonis. 

Dinamika tersebut kemudian dihidupkan dengan begitu emosional oleh kepiawaian Laura Basuki mengolah rasa, didukung Chicco Jerikho lewat karismanya, juga Reza Rahadian yang sukses melahirkan figur yang dengan senang hati dibenci oleh penonton. Bahkan Sita Nursanti sebagai Dahlia, salah satu karyawan di hotel tempat Ava bekerja, mampu mencuri perhatian meski dengan porsi terbatas. 

Bagi saya kisah Ava di hotel memegang dampak terbesar. Hotel merupakan titik persinggahan. Sebuah "di antara", sebelum seseorang melanjutkan perjalanannya. Ketika akhirnya Ava memutuskan melanjutkan perjalanan hidupnya pasca singgah sejenak di hotel tempatnya merangkai keping-keping hati yang runtuh, film ini pun mencapai puncak emosinya.

2 komentar :

Comment Page: