REVIEW - NUSSA
Beberapa waktu lalu, ramai tudingan bahwa Nussa menyebarkan doktrin radikal. Saya tidak sepaham dengan ideologi agama beberapa pihak di balik serialnya, namun melempar tuduhan cuma berdasarkan atribut yang dipakai karakternya, bahkan sebelum menonton filmnya, sungguh suatu kebodohan. Terlebih, Nussa ternyata tampil hangat sekaligus manusiawi.
Manusiawi dalam arti, meski digambarkan cerdas, baik hati, pula taat agama, tokoh-tokohnya jauh dari kesempurnaan. Ada figur ayah yang (terpaksa) melanggar janji hingga mengecewakan anak-anaknya, pun Nussa sendiri (disuarakan Muzakki Ramdhan), hanya bocah biasa yang bisa merasa iri, juga malas beribadah ketika hatinya kesal. Sebagai tontonan yang memiliki identitas agama (khususnya produksi Indonesia), memanusiakan protagonis adalah pencapaian besar.
Naskah buatan Muhammad Nurman Wardi dan Widya Arifianti sebenarnya cenderung seperti versi extended dari satu episode serialnya ketimbang adaptasi khusus layar lebar. Diceritakan, Nussa tengah bersiap mengikuti lomba sains di sekolah, dengan membuat roket berbahan barang bekas, dibantu dua sahabatnya, Abdul (Malka Hayfa) dan Syifa (Widuri Sasono). Nussa selalu memenangkan lomba tersebut, tapi tahun ini muncul saingan. Dia adalah Jonni (Ali Fikry), anak pindahan dari keluarga kaya, yang mampu membuat roket mewah nan canggih.
Sangat sederhana. Terlalu sederhana malah, sehingga agak keteteran menjaga daya tarik selama 107 menit durasinya. Walau begitu, Nussa mampu membayar lunas kekurangan tersebut, lewat tuturan menyentuh hati. Di balik kesederhanaannya, tersimpan drama hangat soal keluarga, persahabatan, juga pesan bahwa uang bukanlah segalanya.
Karakter Jonni selaras dengan kesan "drama sederhana tapi bermakna" itu. Dia memang saingan Nussa, dan sekilas tampak kurang ramah, tapi bukan antagonis jahat. Bukan siswa kaya sombong yang memandang rendah orang lain. Dia hanya kesepian karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Sayang, konklusi bagi konflik keluarga Jonni terjadi begitu mudah dan serba mendadak, hingga menghilangkan dampak emosi di dalamnya.
Bila presentasi soal keluarga Jonni tampil kurang matang, tidak demikian dengan keluarga protagonis kita. Nussa menganggap, Abba (panggilan Nussa dan Rarra untuk ayah mereka) yang bekerja di Amerika, kurang memberi perhatian ketika batal pulang di awal Ramadhan. Saat lomba sains digelar, Bony Wirasmono selaku sutradara, yang juga menggarap serialnya, menampilkan sensitivitas lewat gestur-gestur penuh makna tanpa dramatisasi berlebih dalam momen tersebut.
Melihat puteranya tertatih-tatih menaiki panggung, Abba mendekat, tetapi tidak langsung membantu. Ditepuknya lembut pundak Nussa, yang lalu berkata bahwa ia bisa berjalan sendiri. Begitulah semestinya dinamika orang tua dan anak. Orang tua hadir guna memberi dukungan, mengawasi agar si anak tetap aman, namun tetap membiarkannya mencoba jalannya sendiri semaksimal mungkin.
Di awal tulisan, saya sempat menyinggung tentang bagaimana filmnya memanusiakan Nussa. Sewaktu Jonni dan roket canggihnya bisa lebih memukau teman-teman di sekolah, Nussa merasa iri, kesal, bahkan putus asa. Saking kesalnya, dia enggan makan sahur dan bolos mengaji. Tapi apakah Umma (Fenita Arie) memarahi puteranya sambil menyebut hal-hal seperti "Jangan bolos mengaji!" atau "Tidak beribadah itu dosa!"? Tidak. Umma mendahulukan perasaan buah hatinya. Dia mendidik lewat kasih sayang.
Ada satu lagi detail kecil yang sangat saya sukai, yakni ketika Abba pulang membawa oleh-oleh. Nussa mendapat peci, sedangkan Rarra dibelikan mobil-mobilan. Tatkala film-film lain yang tidak direcoki tudingan ini-itu kerap bersikap lebih konservatif dengan memberi boneka pada anak perempuan, Nussa justru tidak terjebak dalam kekolotan tersebut.
Pencapaian di ranah emosi turut ditunjang oleh karakternya yang begitu hidup berkat penampilan memikat jajaran pengisi suara. Muzakki yang membuat sosok Nussa begitu bernyawa dan terdengar "kaya" secara rasa, Ocean Fajar sebagai Rarra yang menggemaskan, Fenita Arie sebagai figur ibu yang lembut, bahkan Opie Kumis sebagai Babe Jaelani si penjaga sekolah, yang sekali lagi jadi comic relief menggelitik. Semua menyatu.
Visualnya, seperti yang sudah nampak di berbagai materi promosi, punya kualitas terbaik di antara semua animasi layar lebar Indonesia. Tengok saja detail-detail seperti serat baju, bulu kucing, sampai refleksi di mata karakternya. Melihat pencapaian Nussa, tidak sabar rasanya menunggu proyek-proyek animasi Visinema lain seperti Kancil (sci-fi action), Jumbo (looks like a Pixar-esque magical tale), dan Rarra selaku spin-off Nussa.
(Tayang Reguler 14 Oktober 2021)
REVIEW - GHIBAH
Saya punya kenalan yang....."unik". Bercandaannya selalu garing. Begitu garing, sampai sering terasa menyebalkan. Tapi saat serius malah bisa membuat teman-teman tertawa, karena dia sangat buruk dan canggung dalam tiap hal yang dilakukan secara sungguh-sungguh.
Orang itu sekarang sehat. Tapi saya tidak, gara-gara menonton Ghibah, yang ciri-cirinya hampir sama, bahkan lebih parah, dibanding teman saya tadi. Sewaktu melempar humor (yang mana kerap dilakukan), saya malah kesal, karena selain sering tidak lucu, pula berkali-kali salah tempat. Sebaliknya, ketika meneror, hasilnya buruk, cenderung konyol, hingga memancing tawa.
Jadi, bagaimana ghibah bisa berujung maut? Pertama, mari berkenalan dulu dengan Firly (Anggika Bolsterli), seorang mahasiswi yang aktif terlibat di kegiatan jurnalistik kampus. Firly adalah vegetarian, sehingga kala diminta menggantikan tugas Yola (Josephine Firmstone) yang sakit untuk meliput acara penyembelihan kurban, Firly sebenarnya keberatan.
Terkejutlah Firly, saat mendapati unggahan foto di Instagram Yola, yang memperlihatkannya sedang berada di hotel. Esoknya, Firly marah-marah di depan umum, menuduh Yola "check-in" di hotel dan meninggalkan tanggung jawab. Artinya, FIRLY SUDAH MELAKUKAN GHIBAH!! (cue musik dramatis).
Apa dampaknya? Tentu saja didatangi jin Ifrit. Karena dosa serta ancaman siksa api neraka saja tidaklah cukup. Firly berhalusinasi, dari mengelupas kulit wajah (dalam balutan gore over-the-top yang harus diakui cukup efektif), sampai memakan daging yang dia kira tempe. Teman satu kosnya, Okta (Adila Firti), juga bernasib sama, akibat menulis berita palsu tentang perselingkuhan dosen dan mahasiswi.
Kenapa tidak semua pelaku ghibah didatangi Ifrit? Naskah buatan Monty Tiwa (juga sebagai sutradara), Aviv Elham, Riza Pahlevi, dan Vidya Talisa Ariestya, luput menerapkan standar pasti terkait kehadiran Ifrit. Apakah saya yang terpancing melakukan ghibah di grup Whatsapp dan Twitter saat menonton film ini juga bakal dihantui? Kalaupun iya, setidaknya saya hafal ayat kursi, yang rupanya cukup untuk menumpas Ifrit, sebagaimana dilakukan Asri Welas.
Anda tidak salah baca. Asri Welas memerankan Umi Asri, ibu kos Firly sekaligus keturunan Mataram yang sakti. Pilihan tidak biasa, namun saya mengapresiasi. Tidak semua karakter orang sakti atau dukun atau indigo harus digambarkan serius, misterius, dan memakai baju serba hitam. Pun Asri, bersama Opie Kumis (memerankan Mang Opie, suami Umi Asri), tetap menangani momen komedik, yang seperti saya sebutkan, tidak lucu.
Bukan salah keduanya. Naskahnya memaksa menabur komedi setiap ada celah. Selain Asri dan Opie, dua penghuni kos lain, Ulfa (Arafah Rianti) dan Dina (Zsa Zsa Utari) juga dituntut melakukan hal serupa. Jika diibaratkan masakan, humor film ini bukan bumbu, melainkan tambahan lauk yang terus dijejalkan ke mulut kita, sampai terasa muak dan mual.
Saat tidak melucu, Ghibah malah mengocok perut lewat kekonyolan, yang muncul karena eksekusi buruk. Misal, penampakan hantu di handphone Firly yang bak sedang selfie sambil memasang pose sok genit, ucapan "sosisnya enak ya" dari mulut Yola sewaktu berhalusinasi dan memakan jarinya sendiri, sampai desain hantu berlidah panjang yang mengingatkan ke boneka-boneka berwajah tumpahan bubur ayam khas era keemasan Dheeraj Kalwani alias Baginda Maha Besar KKD dahulu. Oh, benar juga. Saya lupa Ghibah diproduksi Sang Agung KKD. Mau berharap apa lagi?
Masih banyak contoh lain, tapi kalau dilanjutkan, saya khawatir Ifrit benar-benar datang. Jadi, mari beralih ke pujian. Anggika Bolsterli tampil total. Ekspresi takut, jijik, semua dilakukan 100%. Tapi Anggika pantas mendapat film yang 12483749 kali lipat lebih bagus. Dia pantas mendapat tantangan lebih, di horor yang memberinya materi memadai.
Teror apa yang paling sering menimpa Firly? Jawabannya, "kecipratan". Kecipratan darah kambing, darah teman sendiri, sampai cairan hijau kehitaman dari toilet. Rasanya itu cukup menjelaskan, seberapa kreatif orang-orang di balik Ghibah. Film ini lebih tepat disebut Kecipratan The Movie.
Tersimpan beberapa niat baik di sini, seperti menyampaikan wejangan agar menghindari ghibah, dan mengutarakan tentangan atas kekerasan hewan. Bagus, meski bakal lebih bagus kalau diimbangi dengan kualitas yang juga bagus.
Ada pula upaya menghembuskan diversity melalui karakter Dina, yang beragama Kristen, dan diajak ikut berdoa sesuai kepercayaannya ketika proses pengusiran jin. Tapi menjadi percuma, karena pada akhirnya, film ini tetap Islam-sentris. Dina malah seperti terkucilkan, layaknya minoritas di realita, yang terjebak dalam hegemoni para mayoritas, yang.....ah, sudahlah. Saya sudah melantur. Ghibah memang film tentang anti-ghibah yang memancing penontonnya untuk melakukan ghibah.
Available on DISNEY+ HOTSTAR