THE FOREIGNER (2017)
Rasyidharry
September 30, 2017
Action
,
Cukup
,
David Marconi
,
Jackie Chan
,
Katie Leung
,
Martin Campbell
,
Pierce Brosnan
,
REVIEW
,
Thriller
16 komentar
Sesekali waktu Jackie Chan menjamah sisi serius miliknya. Pun mengingat usianya telah menginjak 63 tahun, tak jarang kadar aksi diturunkan, setidaknya dengan stunt lebih "ramah". The Foreigner selaku adaptasi novel The Chinaman karya Stephen Leather termasuk salah satunya, di mana ia berperan sebagai pemilik restoran Cina di London yang berusaha mencari pembunuh sang puteri. Ketimbang gebrakan aksi tanpa henti, sutradara Martin Campbell (Casino Royale, Green Lantern) bersama penulis naskah David Marconi menekankan pada drama pergolakan batin akibat duka di awal lalu berlanjut ke thriller balas dendam berbumbu intrik politik kental konspirasi.
Terdapat semburat melankoli puitis dalam paruh pembuka ketika Quan (Jackie Chan), serupa ayah pada umumnya, bersiap melepas puterinya, Fan (Katie Leung) menuju pendewasaan: memiliki kekasih, lulus sekolah, tinggal di tempat berbeda. Tapi siapa sangka dia mesti melepas sang puteri selamanya tatkala ledakan bom sebagai bentuk aksi terorisme beraroma politis terjadi. Merasa aparat kurang cepat bertindak, Quan nekat bergerak sendiri mencari nama si pelaku. Segala hal dia tempuh, termasuk melancarkan ancaman bagi Liam Hennessy (Pierce Brosnan), wakil menteri Irlandia Utara.
Tentu revenge flick kerap menyimpan ambiguitas moral sebagaimana tindak balas dendam itu sendiri. Tapi aksi Quan berada di tingkat berbeda di mana demi menumpas pelaku terorisme, ia turut melakukan hal serupa pada Liam. Naskah Marconi sayangnya kurang tertarik mengupasnya. Selepas babak pengenalan masalah, selain dari kehampaan mata Jackie Chan yang kuat menyampaikan duka bercampur amarah, tiada kesempatan dipakai menyusuri isi hati Quan. Filmnya justru lebih tertarik menampilkan kompleksitas lain berupa konspirasi politik pelik dalam tubuh IRA (Irish Republican Army).
Sesungguhnya bukan kekeliruan, terlebih Brosnan punya kapasitas lebih dari cukup sebagai mantan IRA radikal yang terjebak dilema politis, kala niat menjembatani perdamaian dengan Inggris justru dianggap wujud kelemahan bahkan pengkhianatan oleh rekan-rekannya. Belum lagi urusan pribadi rumah tangganya. Namun cara The Foreigner menangani intrik rumit itu begitu dangkal. Menganut prinsip "more twist equals better", keruwetan justru filmnya ciptakan sendiri sewaktu penerapan unsur "trust no one" dibawakan terlampau berlebihan. Seluruh pihak digambarkan "bermuka dua" dalam proses "asal hubung" antar titik-titik alur.
Untungnya, meski secara kuantitas tak seberapa, deretan aksi yang melibatkan Jackie Chan menghajar lawan menggunakan kemampuan bela diri tangan kosong atau perabot di sekitar sampai pemakaian perangkap dari barang seadanya masih sanggup menghembuskan nyawa sepanjang durasi. Batasan fisik Chan di usia tuanya justru selaras dengan tokoh Quan si veteran Perang Vietnam yang masih menyimpan sisa kehebatan masa lalu. Sentuhan yang menjadikan karakternya one man army menarik, sebab meski perkasa, ia tetap manusia biasa, kerap kepayahan karena usia, juga punya sensitivitas emosi.
Jackie Chan, Pierce Brosnan, dan Martin Campbell. Tiga nama ini merupakan kunci penyelamat The Foreigner. Andai bukan Chan, suguhan aksinya pastilah medioker, demikian pula aspek political thriller yang terangkat berkat karisma Brosnan. Sementara pengalaman Campbell merangkai aksi mampu memberi cukup gaya serta dinamika di tiap baku hantam. Tidak mengejutkan, toh dia sempat berperan besar dua kali mengembalikan kejayaan James Bond melalui GoldenEye (1995) dan Casino Royale (2006). Tanpa ketiganya bisa saja film ini setara dengan jajaran action-thriller di rak-rak straight-to-DVD.
PENGABDI SETAN (2017)
Rasyidharry
September 28, 2017
Adhiyat Abdulkhadir
,
Arswendy Bening Swara
,
Ayu Laksmi
,
Bagus
,
Bront Palarae
,
Endy Arfian
,
horror
,
Indonesian Film
,
Joko Anwar
,
Nasar Anuz
,
REVIEW
,
Tara Basro
309 komentar
Timbul dua pertanyaan sebelum menonton remake dari horor cult rilisan tahun 1980 karya Sisworo Gautama ini. Pertama, apakah bisa menandingi versi aslinya? Kedua, bisakah Joko Anwar, yang selama karirnya dikenal akan keunikan karya memberi pembeda di tengah minat publik terhadap horor lokal yang mulai tumbuh kembali? Jawaban bagi keduanya: bisa. Sebagai penggemar Pengabdi Setan (10 tahun mengejar restu Rapi Films membuat lagi filmnya) serta film genre, Joko tak sekedar mereka ulang, melainkan menyertakan sentuhan personal sembari tetap menghormati sumbernya.
Sejak awal tanda positif telah terpampang. Selain tata artistik yang seperti biasa amat Joko perhatikan, kita tak langsung diberi teror prematur. Sempat tampak Mawarni (Ayu Laksmi) terbaring sambil merapal sesuatu, namun itu merupakan siratan poin kunci alur dan penegasan tone ketimbang gebrakan buru-buru. Selebihnya penjabaran kondisi tiap anggota keluarga: penyakit Mawarni meredupkan karir bernyanyinya lalu menyulitkan ekonomi keluarga, Rini (Tara Basro) mesti menjaga tiga adik laki-lakinya, Suwono si bapak (Bront Palarae) terpaksa menjual berbagai barang untuk hidup, Toni (Endy Arfian) rela mengesampingkan kepentingan pribadi, juga Ian (Adhiyat Abdulkhadir) si bungsu yang bicara memakai bahasa isyarat.
Karakter kerap dilupakan sineas horor, padahal kepedulian penonton atas mereka mempengaruhi pembangunan tensi. Pula harus diingat, di balik sampul kengeriannya, Pengabdi Setan adalah kisah kekeluargaan. "Keluarga di atas segalanya" merupakan poros penggerak. Begitu Mawarni meninggal kemudian menebar teror, kengerian berlipat ganda, sebab alih-alih pertarungan melawan entitas jahat biasa, karakternya dihadapkan pada sosok yang identik dengan kenyamanan, yaitu ibu. Kecerdikan Joko meleburkan sentuhan supernatural horor dengan nilai kekeluargaan menghasilkan rentetan momen mencekam yang turut mengaduk-aduk emosi, sebutlah "adegan sumur" atau keterlibatan kursi roda saat klimaks.
Terkait berbaliknya sosok ibu menebar ancaman, inilah kengerian Pengabdi Setan sesungguhnya. Setan bukan hanya menghantui lewat penampakan, namun mempermainkan psikis manusia. Sama halnya bagaimana remake ini memposisikan Ustad (Arswendy Bening Swara) selaku manusia biasa, berbeda dibanding film aslinya, yang serupa horor lokal masa itu, menegaskan kekuatan dominan ulama atas iblis (selalu diakhiri pembacaan ayat suci yang menutup masalah). Pun tersimpan kritik subtil tapi sangat relevan nan tepat sasaran bagi pengultusan "pemuka agama" negeri kita dewasa ini.
Soal menakut-nakuti, Joko jelas memutar otak supaya tiap momen berbeda satu sama lain. Ketiadaan repetisi membuat jump scare-nya efektif, setidaknya tak melelahkan. Terlebih mayoritas teror tersaji dalam suasana yang familiar, seperti wudu, bermain view-master, dan pengajian pasca pemakaman. Menarik pula mendapati homage bagi judul-judul klasik, macam Dead Series-nya George Romero untuk membungkus kemunculan para mayat hidup. Ditambah lagi balutan atmosfer tiap lagu Kelam Malam atau lonceng terdengar. Tata riasnya juga patut diacungi jempol, menciptakan wajah-wajah mengerikan dengan takaran tepat, tidak berlebihan maupun terlampau malas.
Walau Tara Basro, Bront Palarae, sampai Arswendi Bening Swara semuanya memberi penampilan solid, Nasar Anuz dan Adhiyat Abdulkhadir selaku pelakon cilik paling mencuri perhatian. Aktor cilik dalam film sering menjadi titik lemah karena kapasitas akting yang (wajar) belum terasah. Tapi keduanya begitu baik, bertingkah dan bertutur secara meyakinkan, dari mengekspresikan ketakutan hingga menangani celetukan menggelitik yang sesekali menyegarkan suasana tanpa memunculkan masalah tone berkat ketepatan pembagian waktu. Bisa mencekam, bisa melucu. Pengabdi Setan memang paket lengkap, termasuk keberadaan detail-detail terselubung yang layaknya karya lain Joko, mampu memancing diskusi menarik.
NOTE:
- Kalau belum menonton filmnya, jangan buka kolom komentar. Banyak diskusi dengan SPOILER.
- Karena jumlah melampaui batas, kolom komentar dibagi menjadi lebih dari satu halaman. Klik "Lebih Baru" atau "Latest" untuk membuka halaman berikutnya.
309 komentar :
Comment Page: «Terlama ‹Lebih tua Lebih baru› Terbaru» «Terlama ‹Lebih tua Lebih baru› Terbaru»THE MIMIC (2017)
Rasyidharry
September 28, 2017
Cukup
,
horror
,
Huh Jung
,
Korean Movie
,
Park Hyuk-kwon
,
REVIEW
,
Yum Jung-ah
19 komentar
Ada kalanya suatu cerita membutuhkan kemasan film panjang demi mewadahi eksplorasi menyeluruh. Sebaliknya, ada yang lebih efektif bila dipresentasikan dalam bentuk film pendek. The Mimic, selaku film horor Korea Selatan pertama yang mengumpulkan sejuta penonton sejak Killer Toon (2003) termasuk jenis kedua. Kita dibawa melihat usaha sutradara sekaligus penulis naskah, Huh Jung, memanjangkan paksa jalinan kisah ketika kombinasi beberapa poin-poin alur sejatinya sudah cukup, tanpa perlu penambahan tuturan maupun karakter yang berakhir hambar lalu terbuang percuma.
Ambil contoh momen pembuka kala sepasang pria dan wanita membunuh, kemudian menyembunyikan mayat seorang wanita (sepertinya kekasih si pria) dalam gua di gunung Jang yang membangkitkan iblis berkemampuan meniru suara manusia. Berikutnya, tokoh-tokoh itu tidak penting lagi peranannya. Huh Jung memberi mereka problematika tanpa mengangkatnya lagi, menjadikannya tak berguna. Pun siapa penyegel sang iblis urung dipaparkan lebih lanjut. Karakter yang tampil sekilas semata untuk membantu eksposisi cerita (detektif dan wanita buta) serta poin plot yang dibiarkan tertinggal hingga memancing lubang alur banyak bertebaran di The Mimic.
Konflik utamanya sederhana. Pasangan suami istri, Hee-yeon (Yum Jung-ah) dan Min-ho (Park Hyuk-kwon) masih bergulat dengan tragedi hilangnya putera mereka. Hee-yeon khususnya, belum sanggup merelakan dan (merasa) melihat kehadiran sang putera. Sampai keduanya menemukan gadis cilik misterius di tengah hutan, yang rupanya mengawali teror iblis yang terinspirasi dari legenda daerah Harimau Jangsan. Sumber dari mitologi setempat, ditambah sentuhan drama ibu-anak tentunya merupakan modal memadahi, yang sayangnya, tersia-sia akibat Huh Jung kurang cakap bernarasi.
Berniat merangkai horor artistik berujung senjata makan tuan. Huh Jung sibuk memasukkan momen-momen metaforikal seperti "memancing mangsa" lewat penampakan lampu LED pengusir nyamuk sampai "mendaki menuju cahaya" di klimaks yang tak terasa pintar karena terlampau literal. Dia pun lebih gemar menggulirkan tempo lambat berisi keseharian ketimbang mengurusi mitologi menarik seputar Harimau Jangsan. Alhasil pertanyaan-pertanyaan kalau tidak boleh disebut lubang terlupakan, entah kehabisan waktu atau kesengajaan demi menyandang status horor "elegan" atau "cerdas" yang menyimpan rapat-rapat jawaban atas misteri.
Menjadi kontradiktif sewaktu di tengah usaha tampak pintar, keklisean akut justru menghiasi, sebutlah Hee-yeon yang mengejar puteranya di jalan hanya untuk mendapatinya menghilang, adegan menabrak hewan, paranormal yang menyuruh protagonis pergi dengan petuah ambigu nan aneh yang pastinya tidak bakal berhasil. Keklisean serupa menghalangi dampak emosi porsi dramanya kala Huh Jung lagi-lagi mengandalkan cara standar macam halusinasi atau teriakan frustrasi Hee-yeon sebagai gambaran goncangan psikis. Itu belum jadi pendalaman yang cukup guna menjustifikasi pilihan karakternya di akhir, apalagi memancing simpati. Setidaknya Yum Jung-ah mencurahkan segala daya upaya meluapkan emosi.
Penyelamat terbesar yang membuat The Mimic terangkat derajatnya dari horor medioker jadi suguhan layak tonton adalah jump scare. Huh Jung cerdik menggabungkan hentakan mengejutkan berbasis timing sempurna dan musik penusuk telinga dengan sederet gambar-gambar beserta tata suara creepy. Hasilnya mengagetkan pula mengerikan, prestasi yang tidak semua jump scare berhasil capai. Bahkan false alarm sampai kejutan beruntun pun efeknya maksimal. Puncaknya saat dukun pemuja Harimau Jangsan menampakkan diri, merealisasikan mimpi buruk di layar lebar. Ambil sebagian klimaks dan secuil latar belakang, The Mimic akan menghasilkan film pendek berdurasi 20 menit yang luar biasa.
A GHOST STORY (2017)
Rasyidharry
September 24, 2017
Casey Affleck
,
Daniel Hart
,
David Lowery
,
Drama
,
REVIEW
,
Rooney Mara
,
Sangat Bagus
28 komentar
Hantu atau arwah penasaran selalu identik dengan aroma mistik, hal gaib yang tidak kita pahami sehingga kita takuti. Tapi seperti banyak kepercayaan, David Lowery (Ain't Them Bodies Saints, Pete's Dragon) menjadikan hantu selaku roh orang mati yang tertahan di alam kehidupan, berkeliaran mengamati sosok tercinta yang ditinggalkan. Lewat A Ghost Story, David Lowery memposisikan penonton di perspektif hantu, menghilangkan sekat kedua alam, membuatnya terasa familiar. Film ini mengundang pertanyaan soal eksistensi serta kerelaan yang tak mengenal batasan ruang dan waktu, Khususnya bagi orang seperti saya yang percaya ada fase pasca kematian saat arwah singgah dahulu di dunia.
Wajib diketahui bahwa A Ghost Story bukanlah horor, setidaknya bukan horor konvensional di mana kengerian takkan timbul seketika, tetapi begitu usai dan mata berpaling dari layar, gambar-gambar creepy nan nyata sesosok hantu di balik seprai dengan dua lubang mata mulai termanifestasi lalu menghantui. Sebelum itu, kita diajak dulu mengamati hubungan suami istri, C (Casey Affleck) dan M (Rooney Mara) yang bergejolak. M ingin segera pindah rumah, sedangkan C ngotot bertahan. Masalah ini urung menemukan titik terang, sebab C keburu tewas dalam kecelakaan mobil. Menjadi hantu, C kembali ke rumah, melihat usaha M (dan kehidupan itu sendiri) melangkah maju.
Lowery memakai gaya meditatif melalui tempo lambat pun kamera statis yang kerap berdiam lama di satu poin. Metode ini terangkum dalam momen yang ramai dibicarakan kala pemutaran perdana di Festival Sundance Januari lalu, yakni ketika M memakan pie setelah pemakaman sang suami selama lima menit tanpa putus. Hendak menekankan duka, kesan pretensius sulit dihilangkan pada adegan ini. Penonton perlu waktu mengobservasi, namun tidak selama itu, yang justru mengikis momentum memuncaknya emosi. Adegan tersebut merupakan penentu apakah penonton memilih menyerah, atau bersabar dan melanjutkan. Kesabaran bakal memberi ganjaran setimpal begitu tuturan pelan Lowery menjelma jadi puisi personal tentang legacy, eksistensi, memori, cinta juga ruang personal bernama "rumah".
Aspek rasio 1:33:1 yang Lowery pakai demi mewakili terjebaknya tokoh utama dalam keabadian meski tidak seutuhnya efektif, mampu membingkai gambar amat cantik dengan sentuhan warna lembut cenderung suram. Perjalanan tanpa batas C di balik balutan seprai memang demikian, seringkali menyedihkan namun menyimpan makna indah pula mendalam, yang emosinya berkulminasi di paruh akhir yang memunculkan keinginan mendekap erat orang tercinta, memanfaatkan waktu bersama sebaik-baiknya selagi mampu.
Casey Affleck lebih banyak menghabiskan waktu tertutup kain putih dengan pergerakan minimal guna menyiasati alasan teknis (supaya posisi mata tidak berubah), otomatis jangkauan aktingnya pun terbatas, walau seperti biasa tatapan sendunya menghanyutkan. Sementara Rooney Mara menyuntikkan bobot di tengah diamnya M. Sepeninggal sang suami, mulutnya terkatup rapat, tetapi kesedihan, kerinduan, bahkan penyesalan tampak jelas berkecamuk di hatinya. Diiringi musik Daniel Hart yang sesekali atmosferik dan misterius, sesekali manis pun hangat, sesekali mengangkat kita ke awang-awang, biarpun M dan hantu C berhenti menjalin interaksi langsung, koneksi batin nyatanya kuat terjaga.
Meski menolak memperhatikan aturan main terkait sosok hantunya (apa yang dapat dilihat, disentuh, dan lain-lain) yang mana dia akui sendiri, Lowery jelas berhasil menyuguhkan inovasi sebagai bukti bahwa ide-ide segar, orisinal, juga unik masih bertebaran di luar sana. Harus diakui pendekatan Lowery di A Ghost Story adalah uji ketahanan dengan segmentasi penonton terbatas, tapi jika anda berhasil melaluinya, sungguh besar hadiah yang menanti di ujung perjalanan. Inilah bagaimana seharusnya sinema arthouse dibuat, sebagai media mempercantik ekspresi rasa ketimbang menahannya.
THE LEGO NINJAGO MOVIE (2017)
Rasyidharry
September 22, 2017
Abbi Jacobson
,
Animated
,
Dave Franco
,
Fred Armisen
,
Jackie Chan
,
Justin Theroux
,
Kumail Nanjiani
,
Kurang
,
Michael Pena
,
REVIEW
,
Zach Woods
9 komentar
Ninja itu keren, begitu pun mecha. Ketika Lego, yang notabene juga digemari menggabungkan keduanya, garansi kesuksesan jelas didapat. Melahirkan lebih dari 100 set serta tujuh musim penayangan serial televisi Lego Ninjago: Masters of Spinjitzu adalah bukti nyata. Bicara sisi komersial, adaptasi layar lebar selaku installment ketiga seri film lego ini rasanya bakal bernasib serupa. Sedangkan soal kualitas, baik The Lego Movie maupun The Lego Batman Movie sama-sama berkelas, khususnya berkat humor yang cerdas memainkan kata, menyelipkan budaya populer, sampai lelucon meta. Digawangi oleh tiga sutradara plus enam penulis naskah, The Lego Ninjago Movie berusaha keras meniru pencapaian para pendahulunya.
Itu yang nampak sejak menit pertama, ketika menampilkan manusia sungguhan dalam wujud pemilik toko benda antik (Jackie Chan) yang menceritakan kisah kepahlawanan Lloyd Garmadon (Dave Franco) pada seorang bocah. Kecuali memberi panggung bagi Chan serta menyiratkan keterlibatan seekor kucing, substansi adegan pembuka ini layak dipertanyakan. Setelah memasuki dunia animasi, kemeriahan langsung menyambut kala mecha milik keenam ninja, Lloyd, Kai (Michael Pena), Jay (Kumail Nanjiani), Nya (Abbi Jacobson), Cole (Fred Armisen) dan Zane (Zach Woods) bertempur melawan pasukan Lord Garmadon (Justin Theroux).
Kekacauan dan keabsurdan serupa tapi tanpa daya setara. Bukan semata masalah sudah familiar The Lego Batman Movie tetap segar melainkan karena keenam penulis menyalin mentah-mentah formula kesuksesan film sebelumnya, melemparkan sebanyak mungkin referensi budaya populer sampai permainan kata sambil berharap ada yang kena sasaran. Hasilnya inkonsisten. Sesekali ada kelakar pintar, walau lebih banyak materi medioker, klise, nan predictable misal ungkapan "it's a smash!" dari Cole saat mecha miliknya yang dimotori turntable menghancurkan musuh. Pendekatan "quantity over quality" untuk balutan komedi meniadakan pesona The Lego Ninjago Movie.
Visualnya masih memanjakan mata, termasuk desain mecha yang menggoda untuk merogoh kocek dalam-dalam guna mengoleksinya. Sayangnya kreativitas segenap tim sutradara beserta penulis naskah menyikapi karakter dan setting yang tersusun atas setumpuk lego hanya sebatas hal dasar seperti memasang kaki Garmadon ke kepala Master Wu (Jackie Chan). Sisanya, untuk kali pertama dalam franchise-nya, gelimang lego-lego dibiarkan tersia-sia, sebatas hiasan warna-warni. Imajinasi terliar justru muncul saat kucing asli menghancurkan kota akibat terpancing sinar laser. Momen lucu sekaligus aneh yang jarang terulang.
Porsi drama tetap mengandung pesan, kali ini seputar jati diri dan hubungan ayah-anak. Kental akan referensi Star Wars mengenai seorang anak bertarung menumpas kejahatan sang ayah yang melibatkan tangan kanan yang terputus, dinamika Lloyd-Garmadon mencapai titik unik begitu dipaksa bekerja sama, mengesampingkan ego sambil menyambung ulang ikatan antara keduanya. Namun tatkala Garmadon dengan segala rasa bingung akan tugas sebagai ayah memberi twist menarik, tidak demikian pada Lloyd yang sulit mencuri hati. Apalagi di antara riuh rendah kekacauan aksinya, The Lego Ninjago Movie kurang menyisihkan waktu menangani kompleksitas masalah si protagonis.
Tapi Lloyd lebih beruntung daripada kelima rekannya, di mana kecuali ragam bentuk mecha keren, mereka nampak serupa satu sama lain. Zane si robot cukup menonjol tindak-tanduknya, namun bicara kepribadian, kelimanya sulit dibedakan, sekedar tampil di pusat petualangan tanpa melakukan hal berarti. Apabila The Lego Batman Movie merupakan versi alternatif atau parodi bagi Batman, The Lego Ninjago Movie adalah hal yang sama untuk ninja. Demikian semestinya, sampai film berakhir, dan para ninja lebih banyak mengandalkan mecha ketimbang ilmu bela diri khasnya. Jurus Spinjitzu yang melibatkan elemen alam masing-masing pun sekedar sekilas mengisi di penghujung durasi tanpa kesan.
GERBANG NERAKA (2017)
Rasyidharry
September 21, 2017
Adventure
,
Dwi Sasono
,
horror
,
Indonesian Film
,
Julie Estelle
,
Lukman Sardi
,
Lumayan
,
OrangeRoomCS
,
REVIEW
,
Reza Rahadian
,
Rizal Mantovani
,
Robert Ronny
29 komentar
Saya selalu mendukung keberanian sineas Indonesia mengeksplorasi genre yang jarang dijamah asal menggarapnya secara sungguh-sungguh dan hasilnya layak tonton. Kekurangan khususnya terkait teknologi tentu wajar mengingat kita masih merangkak. Justru karena itu dukungan perlu diberikan alih-alih bersikap apatis, menyatakan "tidak perlu coba-coba, kita belum setingkat Hollywood". Inferiority complex demikian adalah penghalang besar kemajuan industri perfilman, yang lucunya, sempat dibahas sekilas dalam Gerbang Neraka (sebelumnya berjudul Firegate), salah satu inovasi film tanah air paling sukses.
Robert Ronny selaku penulis naskah sekaligus produser memanfaatkan misteri situs Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat untuk mengembangkan jalinan petualangan dengan kesadaran penuh bahwa mengingat kulturnya, sains dan klenik bakal tetap beriringan eksistensinya. Maka masing-masing pihak punya perwakilan di sini. Arni Kumalasari (Julie Estelle) termasuk satu dari tim arkeolog yang ditugaskan Presiden meneliti situs Gunung Padang. Guntur Samudra (Dwi Sasono) adalah paranormal yang terkenal berkat acara televisi. Sementara Tomo Gunadi (Reza Rahadian) berada di tengah, mantan wartawan kritis yang sekarang bekerja di tabloid mistis namun enggan mempercayai liputannya.
Awalnya, mereka bertiga saling berseberangan, sebelum rentetan kematian tidak wajar menghampiri Gunung Padang, memaksa ketiganya menyatukan ilmu masing-masing. Upaya Robert membaurkan dua sisi bertolak belakang memang kurang mulus saat seiring waktu, presentasi scientific mulai keteteran, menyederhanakan unsur misteri yang berkaitan erat dengan sejarah. Untungnya Gerbang Neraka enggan memaksakan tampil sok pintar, dan ancaman utamanya memang berasal dari sisi mistis, sehingga keputusan memberi bobot lebih ke sana merupakan kewajaran.
Pun mudah merasakan kesungguhan bahkan mungkin kecintaan besar Robert terhadap kisah petualangan berbau arkeologi. Terpancar jelas ketika serupa karakternya, Robert menggabungkan sekumpulan materi sejarah nyata dengan fiksi imajinatif, menghadirkan proses cocok-mencocokkan yang meski kadang dilakukan seadanya, memberi modal penelusuran menarik bagi penonton, juga menghasilkan pembicaraan yang jauh dari kesan monoton. Serahkan pada Reza Rahadian untuk membuat tiap kalimat punya magnet, serta "menjual" momen sesederhana apapun berkat karisma luar biasa. Dwi Sasono lagi-lagi bisa menyeimbangkan ketenangan tutur dengan sisipan humor, meski sayangnya masih banyak penonton terpancing tawa di waktu yang keliru.
Memasuki paruh kedua, jalinan alur agak melemah, terjebak dalam pola repetitif: penampakan berujung kematian tokoh di malam hari-penemuan mayat di pagi hari-terjadi kehebohan. Di pertengahan durasi naskahnya bagai kehabisan ide eksplorasi walau tensi tak sampai menghilang ketika Rizal Mantovani mampu merangkai beberapa jump scare penggedor jantung. Ditambah lagi desain sosok Badurakh yang jauh meninggalkan kualitas tampilan hantu horor kebanyakan yang biasanya mengandalkan riasan pucat atau lensa kontak semata. Badurakh merupakan iblis yang layak ditakuti, dan Rizal Mantovani pun menciptakan karya terbaiknya selama beberapa tahun terakhir.
Third act-nya gagal mencapai titik klimaks tertinggi tatkala ancaman justru menurun akibat rintangan ala kadarnya dalam piramid, pun beberapa jalinan janggal antar adegan. Obrolan Reza Rahadian dan Lukman Sardi sejatinya diisi konten yang berpotensi memprovokasi, tapi bagai kurang berani menyentuh tingkatan lebih tinggi. Di sinilah tata artistik penyusun set interior piramid memikat dan CGI meyakinkan buatan OrangeRoomCs (Demona, Jagoan Instan) menyelamatkan Gerbang Neraka. Mungkin salah satu pemanfaatan CGI paling efektif di film Indonesia sejauh ini, satu lagi alasan penting mengapa Gerbang Neraka perlu ditonton.
KINGSMAN: THE GOLDEN CIRCLE (2017)
Rasyidharry
September 21, 2017
Action
,
Bagus
,
Channing Tatum
,
Colin Firth
,
Comedy
,
Edward Holcroft
,
Elton John
,
Jane Goldman
,
Julianne Moore
,
Mark Strong
,
Matthew Vaughn
,
REVIEW
,
Taron Egerton
46 komentar
"Manners maketh man". Baris kalimat ini menjelaskan popularitas Kingsman, di mana para pria bersetelan jas rapi, menjaga sikap dan perkataannya, berjibaku sebagai agen rahasia yang akrab dengan kekerasan pula seksualitas tinggi. Rupawan, dibekali persenjataan canggih, brutal menghabisi musuh, mudah menaklukkan hati wanita jelas mimpi banyak pria. James Bond pun digemari karena itu, dan kala tiga tahun lalu Kingsman: The Secret Service selaku adaptasi komik karya Dave Gibbons dan Mark Millar menggandakan kadar ragam faktor tadi, perolehan 414 juta dollar jadi kewajaran.
Masih digawangi Matthew Vaughn, The Golden Circle mempertahankan apa yang dicari penonton sejak menit pertama saat Eggsy (Taron Egerton) terlibat perkelahian sengit melibatkan kejar-kejaran mobil di jalanan kota, baku tembak di kursi penumpang, tangan robot, juga aksi-aksi lain yang melawan logika, melawan Charlie (Edward Holcroft), mantan trainee Kingsman yang membelot. Anarkisme Vaughn menggarap aksi lewat pergerakan kamera liar dan para tokoh melakoni stunt di luar nalar yang membuat mereka bagai jagoan paling keren jadi pemandangan rutin yang alih-alih berujung repetitif, justru konsisten menambah tenaga, menekan penurunan tensi selama 141 menit durasi.
"Mustahil" dan "berlebihan" merupakan dua kunci kemenangan seri Kingsman. Sehingga keberadaan penjahat dengan rencana berskala global pemicu kepanikan massal adalah kewajiban. Kali ini Kingsman dihadapkan pada Poppy Adams (Julianne Moore) pemilik organisasi pengedar narkoba terbesar bernama The Golden Circle yang eksistensinya tersembunyi. Bukan saja menebar teror ke seluruh dunia, Poppy pun mampu menekan Kingsman sampai titik terbawah, memaksa Eggsy dan Merlin (Mark Strong) meminta bantuan Statesman, organisasi agen rahasia Amerika berkedok pusat penyulingan whiskey di Kentucky. Dari sini keduanya menemukan kemustahilan berikutnya, yakni masih hidupnya Harry (Colin Firth) pasca kepalanya tertembak di film pertama.
Dibanding pendahulunya, The Golden Circle menurunkan kadar parodi cerdik untuk film-film spy khususnya James Bond meski unsur-unsur seperti gadget super canggih tetap dipertahankan. Jane Goldman bersama Matthew Vaughn merangkai kisah generik seputar perjuangan menggagalkan rencana penjahat keji sembari menyelipkan subplot berupa dua bentuk hubungan Eggsy, dengan Harry sang mentor, dan kekasihnya, Tilde (Hanna Alstrom) si Puteri Swedia. Namun kombinasi rentetan aksi dinamis, kekerasan berlebihan saat Vaughn begitu enteng memasukkan tubuh manusia ke mesin penggiling, alat-alat imajinatif, sampai koreografi yang mendorong karakternya ke status keren tertinggi memudahkan kita melupakan alur tipisnya.
The Golden Circle dibantu ensemble cast yang sanggup menghasilkan bobot pada momen sekecil apapun. Taron Egerton solid, bahkan sempat sekilas memamerkan sensitivitas rasa kala mengenang Harry. Channing Tatum walau porsinya terbatas, memperoleh kesempatan mengundang tawa lewat tariannya. Colin Firth masih seorang pria sejati. While Harry isn't in his best form, Firth is. Sedangkan Julianne Moore piawai memainkan psikopat yang mampu tersenyum santai memandang kematian berdarah orang lain. Tapi Elton John sebagai versi fiktif dirinya adalah pencuri perhatian terbesar. Memakai kostum-kostum aneh plus elemen kejutan di tiap kemunculan, ia mewakili semangat komedi The Golden Circle, yang serupa aspek lain, mengedepankan absurditas.
Kingsman: The Golden Circle boleh menempuh jalur semaunya dalam parade aksi penuh gaya Vaughn. Tapi di balik segala kekerasan dan bumbu sensualitas rating R miliknya, Vaughn dan Goldman justru membangun dunia positif di mana pelaku tindak kejahatan kemanusiaan dibabat tanpa kecuali termasuk Presiden negara adidaya, perang melawan narkoba berujung kemenangan mutlak, serta berhasil terealisasikannya percintaan beda kasta. Dilengkapi semuanya, film ini memantapkan posisi Kingsman sebagai franchise yang menampung banyak impian-impian penonton, menghidupkannya melalui jalan unik.
T2 TRAINSPOTTING (2017)
Rasyidharry
September 20, 2017
Anjela Nedyalkova
,
Anthony Dod Mantle
,
Bagus
,
Comedy
,
Danny Boyle
,
Drama
,
European Film
,
Ewan McGregor
,
Ewen Bremmer
,
John Hodge
,
Jonny Lee Miller
,
REVIEW
,
Robert Carlyle
24 komentar
Dalam T2 alias Terminator 2: Judgment Day, T-800 kembali ke masa lalu kemudian diburu oleh T-1000 yang sadis. Sedangkan pada T2 Trainspotting, Mark Renton (Ewan McGregor dengan secuplik seringai yang sama) pulang ke kampung halaman, mengenang masa muda, sebelum dikejar oleh Francis Begbie (Robert Carlyle) si sosiopat yang hendak menuntut balas atas peristiwa 20 tahun lalu (ending Trainspotting) kala Mark membawa kabur 16.000 pound. Rujukan usil judulnya cukup menjelaskan cara sutradara Danny Boyle dan penulis naskah John Hodge menangani adaptasi lepas dari novel Porno dan Trainspotting karya Irvine Welsh ini, yang serupa film pertama, mau bersenang-senang, menggila di antara kelamnya cerita.
Apabila Darren Aronofsky melalui Requiem for A Dream menekankan tragedi depresif akibat adiksi narkoba, Boyle dan Hodge, tanpa melupakan dampak buruknya, menempatkan tokoh-tokohnya selaku pecandu heroin sebagai bagian hegemoni Brit culture, khususnya di lingkup pemuda kelas pekerja. Sikap semaunya, penyalahgunaan obat, adalah keliaran yang dipuja, sebagaimana idola mereka (Iggy Pop, Pulp, Blur) yang senantiasa didengarkan karyanya dan saat itu menguasai musik dunia. Tapi itu 2 dekade lalu. Jatuhnya gerakan Britpop menandai perubahan jaman. Bagi yang enggan mengikuti perubahan bakal tertinggal, tenggelam, atau seperti ungkapan Simon (Jonny Lee Miller yang semakin karismatik), "A tourist in his/her own youth".
Mark adalah turis masa mudanya, pulang ke Edinburgh pasca menjalani hidup "normal" di Amsterdam, yang nyatanya gagal berjalan lancar. Simon bersama kekasihnya, gadis Bulgaria bernama Veronika (Anjela Nedyalkova) mencari uang dengan pemerasan. Spud (Ewen Bremmer sempurna mencampur keanehan dan kemurnian hati tokohnya) masih terjebak adiksi, menjauhkannya dari sang putera. Sedangkan Franco baru saja kabur dari penjara 5 tahun sebelum masa hukuman (25 tahun) berakhir. Singkat cerita, kuartet ini belum berubah. Kesamaan yang langsung Boyle tegaskan melalui penggunaan Lust for Life milik Iggy Pop di opening layaknya pembukaan film pertama. T2 tak sekedar langsung menghentak, tapi menghentak dengan rasa sekaligus energi yang penggemar Trainspotting kenal baik.
Walau diawali saling pukul akibat pengkhianatan Mark 20 tahun lalu, reuni Simon dengannya (kemudian Spud) berujung tawaran bisnis membuka rumah pelacuran berkedok sauna. Kebutuhan akan modal besar tentu memaksa ketiganya melakukan tindak kriminal demi menghimpun uang. Jika dahulu semata disulut ambisi dan gejolak masa muda, penyebab para protagonis bersedia terjun lagi ke dunia hitam kini amat beralasan. Rasa bersalah ditambah kejatuhan ke titik nadir mendorong Mark, pun Spud yang ingin meninggalkan candu agar bisa akur dengan mantan kekasih pula anaknya. Simon awalnya hendak membalas perbuatan Mark, namun seiring pertemanan yang kembali terjalin niat itu perlahan bak memudar.
Walau "pendewasaan" rasanya bukan istilah tepat, kuartet Edinburgh kita tak lagi seliar dahulu. Sesekali heroin masih mengalir di pembuluh darah, tapi kecuali Spud, itu sekedar atas nama nostalgia. Bagai fosil yang sudah habis masanya, kejahatan dilakukan sebagai usaha nekat cenderung putus asa agar bertahan hidup atau penebusan kesalahan demi menjalin kasih yang putus. Hal kedua merupakan tema besar T2 Trainspotting. Bukan Mark seorang, bahkan Franco yang berkat penampilan meyakinkan Carlyle menjalarkan rasa ngeri pada tiap kemunculan pun bergejolak hatinya mendapati si putera tunggal enggan meneruskan jalan kekerasan miliknya, memilih menempuh pendidikan manajemen hotel.
Melalui sekuelnya, Trainspotting tidak lagi berusaha menciptakan kontroversi, selaras dengan gaya Boyle yang meski bersama sinematografi Anthony Dod Mantle tetap menghadirkan momen sureal plus kesan disorientasi lewat pemakaian dutch angle, bayangan, gerak kamera dinamis, atau warna-warni neon, urung menyertakan keanehan macam "the worst toilet in Scotland" atau "bayi merayap". Juga konklusi yang memilih fokus pada rekonsiliasi berbasis nilai moral. Toh T2 Trainspotting masih familiar, entah karena banyak referensi film pertama, cameo, lagu-lagu, maupun keseluruhan semangatnya. Adanya perbedaan merupakan bagian proses perkembangan natural yang wajar, bahkan layak diterima karakternya.
WIND RIVER (2017)
Rasyidharry
September 17, 2017
Bagus
,
Elizabeth Olsen
,
Gil Birmingham
,
Jeremy Renner
,
Kelsey Chow
,
Mystery
,
REVIEW
,
Taylor Sheridan
,
Thriller
11 komentar
Terpencil, dingin, sunyi, kerap dilanda badai salju ganas. Wind River, reservasi suku Indian di Wyoming memang panggung sempurna menuturkan misteri pembunuhan. Sutradara sekaligus penulis naskah Taylor Sheridan memakai karakteristik lokasi itu untuk membangun atmosfer, menjelaskan psikis para tokoh, pula menebar rintangan rintangan bagi mereka. Suatu pendekatan cermat yang selaras dengan karya-karya wahid Sheridan lain seperti Sicario dan Hell or High Water. Meski punya menu utama pemecahan kasus, Wind River bukan misteri konvensional saat memberi sorotan lebih pada korban beserta sosok tercinta yang ditinggalkan.
Dibuka oleh pemandangan domba yang diintai serigala, sempat diisi obrolan mengenai miliarder "memakan" jutawan, kemudian ditutup fakta ketiadaan data pasti jumlah wanita Indian yang hilang, Wind River jadi perlambang soal si kuat (korporat, pembunuh) memangsa si lemah (Indian, korban pembunuhan). Alegori serupa sempat Sheridan terapkan di Sicario, bedanya kini para domba bukannya tidak berdaya. Walau berujung dimangsa pun, mereka melancarkan perlawanan terbaiknya, sebagaimana Natalie (Kelsey Chow), gadis 18 tahun yang ditemukan tewas membeku setelah berlari sekitar 8 kilometer tanpa sepatu dan pelindung dingin. Sebelum tewas, diduga ia sempat mengalami tindak kekerasan juga perkosaan.
Agen FWS (United States Fish and Wildlife Service), Cory Lambert (Jeremy Renner) adalah yang pertama menemukan mayat Natalie, kala tengah bertugas memburu singa pemangsa hewan ternak warga. Kasus ini mengembalikan ingatan pahit Cory, mendorongnya membantu penyelidikan Jane Banner (Elizabeth Olsen), agen FBI. Cory juga merupakan korban, namun serupa Indian di Wind River yang tetap berdiri tegak, ia pantang terpuruk. Sebagai pemburu dari pemburu (singa), Cory mengerahkan seluruh keahliannya melacak keberadaan pembunuh Natalie. Dalam penampilan terbaiknya sejak The Hurt Locker, Renner tak ubahnya alam Wind River, tenang di luar, bergejolak hebat di dalam.
Begitu pula naskah Sheridan, jarang meluap-luap dengan emosi maupun kejutan tetapi punya struktur luar biasa solid. Baris dialog pintar yang selalu memancing daya tarik menyelami masing-masing kalimatnya, kejelasan motivasi tiap karakter, hingga presisi penempatan kapan menggiring penonton pada pertanyaan, kapan menyuguhkan jawaban secukupnya, tidak terlalu pelit yang bakal menghadirkan frustrasi ketimbang tensi, tidak pula terlalu banyak sampai melucuti atensi. Ibarat makanan, Sheridan paham betul bentuk serta waktu menyajikan appetizer pembangkit minat menyusuri cerita, hidangan utama berupa konflik "mengenyangkan", dan dessert yang menutup segalanya dengan rasa memuaskan.
Disutradarai sendiri oleh Sheridan, kekuatan naskah Wind River tersalurkan sepenuhnya. Berjalan tidak begitu cepat namun rapat, disokong aliran pembicaraan yang terkadang berfungsi memainkan dinamika emosi atau menyiratkan fakta. Selain Renner, jajaran pemeran lain pun menjalankan tugas mengemban character-driven ini dengan baik. Seperti Kate Macer-nya Blunt di Sicario, Jane bak domba kebingungan yang terhimpit kerasnya alam liar. Tapi berbeda dibanding Macer, Olsen sanggup menekankan bahwa sang tokoh di antara ketidakpahaman itu memilih coba meyesuaikan diri lalu bertambah kuat. Sementara Gil Birmingham sebagai Martin, ayah Natalie, hanya muncul dalam dua kesempatan yang maksimal dipakai menyampaikan luapan duka dan perenungan penggugah rasa.
Selain pertunjukan misteri mencengkeram, Wind River tambah bernilai berkat ajakannya terkait menghargai kehidupan. Kasus pembunuhan yang terjadi sejatinya adalah jalan menyampaikan pesan itu. Mengutuk pembunuh yang menghilangkan kehidupan, menekankan perjuangan korban mempertahankan kehidupan, dan kekuatan para kerabat yang pasca ditinggalkan terus berusaha melanjutkan, merangkai kembali kehidupan. Dingin, kelam, nan menusuk di permukaan, Wind River nyatanya tetap menyimpan kehangatan dari harapan.
THEIR FINEST (2016)
Rasyidharry
September 15, 2017
Bill Nighy
,
Drama
,
Gaby Chappe
,
Gemma Arterton
,
Jack Huston
,
Lone Scherfig
,
Paul Ritter
,
Rachel Portman
,
REVIEW
,
Sam Claflin
,
Sangat Bagus
4 komentar
Mungkin beberapa dari anda ingat sedikit perdebatan pada ulasan untuk Dunkirk-nya Nolan. Apabila perspektif saya susah diterima atau dimengerti, simak Their Finest. Bukan demi membandingkan kedua film (dua wujud yang sama sekali berbeda), melainkan soal bagaimana mengangkat potensi inti suatu peristiwa penting sebagai karya sinematik yang relevan bagi masanya. Melalui proses Catrin Cole (Gemma Arterton) menulis naskah berbasis kisah nyata perjuangan dua saudari mengarungi samudera demi menyelamatkan para pasukan di Dunkirk, kita diajak memahami bahwa otentitas bukan berarti membatasi emosi pun melucuti optimisme.
Di tengah Perang Dunia II, kementrian informasi divisi film Inggris berencana membuat film yang mencerminkan kenyataan tanpa mengesampingkan optimisme. Tujuannya adalah membangkitkan nasionalisme didasari harapan. Atas rekomendasi Tom Buckley (Sam Claflin), Catrin bergabung bersamanya di tim penulis naskah dengan tugas mewakili suara wanita pada kisah evakuasi Dunkirk. Di samping pekerjaan itu, Catrin turut menghadapi masalah berwujud Ellis (Jack Huston), sang suami yang dihantam kegagalan sebagai pelukis pasca tak lagi terjun ke medan perang akibat cedera kala Perang Sipil Spanyol.
Diangkat dari novel Their Finest Hour and a Half karya novelis wanita, Lissa Evans oleh Gaby Chappe, penulis naskah yang juga seorang wanita, tidak heran gesekan toxic masculinity melawan feminisme kental terasa. Begitu istrinya memperoleh pendapatan lewat menulis naskah sedang Ellis belum mendapatkan pameran, ia menyarankan Catrin pulang ke Wales agar aman dari serangan bom. Tapi jelas, alasan sesungguhnya yakni enggan menerima kenyataan "kalah" secara ekonomi dari Catrin. Bukan cuma Catrin, banyak tokoh wanita Their Finest digambarkan punya kekuatan masing-masing, kerap datang menyelamatkan situasi saat para pria tidak ada, tidak mampu, maupun menjadi pihak yang butuh diselamatkan, sebutlah Ambrose Hilliard (Bill Nighy), aktor senior keras kepala yang mulai redup masa jayanya.
Di samping feminisme, Their Finest merupakan surat cinta bagi medium film. Penonton disuguhi sihir sinema, mulai di fase penulisan naskah ketika Catrin, Tom, dan Raymond (Paul Ritter) terlibat diskusi panas menyusun cerita, hingga tahap produksi yang memamerkan trik lama guna memanipulasi kemunculan ratusan ribu prajurit di Dunkirk. Dua contoh adegan ini menggambarkan keajaiban transfer ide ke karya tulis, lalu menghidupkannya di gambar bergerak. Sutradara Lone Scherfig (An Education, One Day) nyata menyimpan kecintaan kuat terhadap film, terlihat dari pengadeganan yang bagai curahan rasa ketimbang semata visualisasi kalimat di atas kertas. Sedangkan kalimat di atas kertas bernama naskah digambarkan selaku testamen personal, susunan beragam memori yang disatukan sedemikian indah.
Film adalah banyak bentuk: hiburan, cermin realita, pengantar pesan, dan lain-lain. Scherfig dan Chappe membawa Their Finest sebagai, dan berisi mengenai film dalam wujud tertinggi, yaitu gabungan segala bentuk tadi. Sebuah olahan emosi (bahagia, sedih) yang memiliki nilai hiburan, memunculkan kekaguman penonton kala menyaksikan imaji yang mengalahkan kemustahilan di layar, sembari tetap berpijak pada realita penjaga relevansi. Terangkum dalam ucapan Tom bahwa "films are like life with the boring bits cut out". Esensi awal film sebagai tempat kreasi tanpa batas menyatu bersama emosi jadi acuan filmnya, yang turut dituangkan Rachel Portman lewat kemegahan orkestra gubahannya.
Satu-satunya lubang Their Finest terjadi ketika sebuah peristiwa menyentak jelang akhir yang terkesan memaksakan dramatisasi. Toh dampak emosinya kuat, tersalurkan berkat sensitivitas, baik dalam pengarahan Scherfig maupun penampilan jajaran pemain. Tatkala Bill Nighy adalah tipikal "grumpy old man" yang kadang menggelitik namun senantiasa mencengkeram sewaktu menangani momen drama secara lembut tapi menusuk, Gemma Arterton masih penggerak utama. Mata, tutur kata, sampai bahasa tubuhnya mengajarkan poin penting terkait menunjukkan kekuatan dan melancarkan protes yang tak melulu bersinonim dengan hujatan keras, di mana ketepatan, kecerdasan, dan kecerdikan bersikap merupakan bukti tak terbantahkan. Aliran air matanya menjelang penutup bakal menyulitkan penonton membendung haru.
TOKYO GHOUL (2017)
Rasyidharry
September 14, 2017
Cukup
,
Fantasy
,
Fumika Shimizu
,
Hiyori Sakurada
,
horror
,
Japanese Movie
,
Kentaro Hagiwara
,
Masataka Kubota
,
Nobuyuki Suzuki
,
REVIEW
6 komentar
Transformasi protagonis menjadi spesies yang dianggap mematikan untuk kemudian menyadari ada perspektif lain, bahwa mereka sekedar berusaha bertahan hidup, dan manusia nyatanya tidak kalah berbahaya bukan premis baru. Tapi dengan perlakuan tepat, kisah thought-provoking dapat dihadirkan. Tokyo Ghoul selaku adaptasi manga berjudul sama buatan Sui Ishida punya konsep serupa, dan sutradara Kentaro Hagiwara pun nampak berusaha keras menggiring filmnya ke nuansa serius, kelam, cenderung kontemplatif ketimbang memberatkan bobot aksi berbalut fantasi. Di antara setumpuk adaptasi live action "hura-hura" nan absurd, ini termasuk niat baik, meski bukan sepenuhnya keputusan tepat.
Sekilas Ghoul tampak seperti manusia biasa. Namun di balik itu, mereka merupakan predator pemangsa manusia, berwujud mengerikan dengan mata merah menyala serta organ di bagian belakang tubuh sebagai senjata, yang disebut "Kagune". Bentuk Kagune tiap ghoul berlainan, dari ekor tajam, sayap, sampai tentakel. Memiliki makhluk sedemikian aneh membuka opsi luas bagi eksplorasi, bisa dark fantasy, creature horror, atau hibrida keduanya. Toh Hagiwara memilih drama pergolakan jati diri, khususnya di paruh awal tatkala kencan impian Ken Kaneki (Masataka Kubota) berujung kecelakaan, dan ia harus menerima transplantasi organ milik ghoul. Ken adalah satu-satunya sosok setengah-ghoul/setengah-manusia.
Tokyo Ghoul cukup melelahkan di sekitar 45 menit pertama. Pergulatan Ken, bahkan dua kali serangan ghoul Hagiwara kemas menggunakan tempo lambat menjurus menyeret. Adegan yang berlangsung terlampau panjang hingga kehilangan momentum maupun layar statis tak perlu sebelum transisi jadi penyebab. Sah-sah saja menghadirkan drama kental perenungan, tapi film ini menyimpan kekayaan potensi terkait detail kehidupan ghoul, dan alih-alih segera membawa Ken ke lingkaran tersebut, Hagiwara betah menetap di kesulitan sang protagonis menahan memangsa manusia, yang kurang menarik akibat disusun atas keklisean erangan demi erangan Ken.
Padahal begitu tokoh utama kita bersinggungan dengan Anteiku, kelompok pemilik cafe sekaligus perlindungan rahasia bagi ghoul, daya tarik mulai mencuat berkat konflik yang bertambah kompleks ditambah Ken yang semakin likeable. Apalagi Masataka Kubota bermain apik saat bertransformasi secara lembut namun meyakinkan dari sosok introvert canggung menjadi lebih tenang pula kokoh. Terlihat dari kesanggupannya lancar berinteraksi dengan Touka (Fumika Shimizu) atau menghadirkan rasa aman bagi Hinami (Hiyori Sakurada) kala ia dan sang ibu diburu oleh CCG (Commission of Counter Ghoul). Dua hal itu takkan mampu Ken lakukan sebelumnya, bukti kejelian naskah terkait detail-detail penguat penokohan.
Naskahnya juga cukup solid dalam memancing pemikiran soal saling buru (dan bunuh) manusia dengan ghoul. Tokyo Ghoul menyiratkan skenario bagaimana bila hukum rimba diterapkan di dunia manusia, di mana saling bunuh adalah kewajaran, bahkan keharusan, agar bertahan hidup. Persoalan yang amat kompleks, dilematis, terlebih begitu kita diajak memahami sudut pandang kedua sisi, walau begitu film berakhir, sulit menepis anggapan bahwa Tokyo Ghoul sebatas prolog untuk gesekan lebih dalam pula emosional antara ghoul dan manusia, dengan Ken dan Amon (Nobuyuki Suzuki), anggota CCG yang memendam kepahitan masa lalu, sebagai perwakilan terdepan masing-masing pihak.
Sederet pertarungan bersenjatakan kagune selalu menyenangkan disimak, membangkitkan kegirangan masa kecil melihat keganjilan fantasi imajinatif pernak-pernik bernuansa monster. Namun daya tariknya lebih disebabkan desain, sementara penggarapan ala kadarnya dari Hagiwara urung mendukung kapasitas visual itu. Dalam membuat film bernuansa fantastis sang sutradara menolak bersenang-senang, ngotot menonjolkan keseriusan gelap yang semakin terasa dipaksakan kala enggan mengindahkan cue komedi naskah, membiarkan amunisi humor yang dapat menghembuskan tambahan energi berlalu datar. Rasanya canggung menemukan hal menggelitik, bersiap tertawa, hanya untuk mendapatinya numpang lewat. Pengadeganan Hagiwara tidak cukup dinamis sebagai aksi/fantasi, kurang mengerikan sebagai horor walau dihiasi gore.
DETROIT (2017)
Rasyidharry
September 12, 2017
Algee Smith
,
Drama
,
Jason Mitchell
,
Kathryn Bigelow
,
Lumayan
,
Mark Boal
,
REVIEW
,
Will Poulter
11 komentar
Pasca The Hurt Locker dan Zero Dark Thirty, sutradara Kathryn Bigelow dan Mark Boal kembali berkolaborasi, kali ini melukiskan tindak rasisme kejam kepolisian terhadap kaum kulit hitam serta ketidakadilan yang mereka terima dalam penegakan hukum. Bigelow dan Boal memilih meniadakan kompleksitas isu rasial, sepenuhnya berusaha mengguncang perasaan penonton melalui gambaran kekerasan yang menyalahi kemanusiaan, berujung mengarahkan filmnya menuju sajian thriller di mayoritas waktu. Detroit eksis (semata-mata) untuk memancing amarah penonton, bukan jalan pintar, tapi efektif menyulut kebencian atas rasisme.
Mengangkat insiden Motel Algiers yang terjadi bersamaan dengan kerusuhan lima hari di Detroit tahun 1967 yang menewaskan 43 jiwa, 1.189 terluka, 7.200 orang ditahan, dan lebih dari 2.000 bangunan hancur, Detroit dibagi menjadi tiga titik alur: pre, during, aftermath. Memasuki first act, serupa yang Nolan lakukan lewat Dunkirk, naskah Boal langsung membawa penonton ke tengah huru-hara akibat penggerebekan polisi pada bar tak berlisensi. Walau sempat menyelipkan beberapa menit animasi sebagai penjelas latar, begitu konflik inti menerjang, kita seketika diseret ke pusat peristiwa berupa penjarahan oleh warga berujung pertikaian dengan aparat.
Ketiadaan protagonis di babak awal jadi upaya mendukung gaya docudrama Bigelow demi menciptakan kekacauan nyata. Tapi ketika sekedar keacakan tanpa fokus, meski beberapa situasi mencengkeram sebutlah saat peluru nyasar merenggut nyawa seorang bocah, perlu waktu agar terikat oleh penceritaannya. Fokus pada detail atau tokoh tertentu dibutuhkan selaku pegangan juga pengarah tujuan. Memasuki pertengahan, begitu Phillip Krauss (Will Poulter dengan totalitas yang memudahkan karakternya dibenci), polisi rasis yang tidak segan menembak kulit hitam dan Larry Reed (Algee Smith bersenjatakan suara emas penyentuh hati) si penyanyi dengan mimpi mendapat kontrak rekaman diperkenalkan, baru filmnya menghentak, menuju babak kedua berisi rangkaian kekerasan menjijikkan.
Paruh tengah Detroit tatkala Phillip beserta rekan-rekannya membariskan kulit hitam penghuni Motel Algiers plus dua wanita kulit putih sungguh mencekam. Bigelow dan Boal menanggalkan subtilitas, menggeber tensi pun emosi melalui kekerasan gamblang yang walau mengarah ke eksploitasi, sukses merangkum beragam racun kemanusiaan dari white supremacy, toxic masculinity, sampai percampuran keduanya. Sekali lagi tidak menempuh jalan pintar, namun efektif. Tiap ancaman, paksaan, kekerasan yang aparat lakukan berguna menumpuk kejengahan atas tindakan-tindakan tersebut. Pukulan akhir dilayangkan di third act sewaktu setting berpindah ke persidangan, yang menyegel nasib para minoritas di titik nadir.
Memang Detroit dibuat berdasarkan kisah nyata, namun sebagaimana tertulis di penghujung, kurangnya catatan sejarah resmi memaksa Boal menambahkan banyak porsi fiksi yang seringkali berfungsi untuk dramatisasi. Alhasil timbul pertanyaan mengenai seberapa faktual Detroit. Meski tidak seluruh momen sungguh terjadi dalam insiden aslinya, toh bukan masalah besar mengingat di tempat serta waktu lain, bahkan dengan konteks ras berbeda, (termasuk di Indonesia) isu serupa juga terjadi. Akhirnya jikalau tidak valid mereka ulang peristiwa yang diangkat, Detroit masih gambaran relevan terkait konflik rasial secara luas.
Kelemahan besar filmnya adalah simplifikasi yang memperlihatkan kebingungan Bigelow dan Boal mengambil sikap. Keduanya tegas menyatakan aksi main hakim seenaknya aparat keamanan merupakan dosa besar. Di sisi lain, nampak jika kerusuhan diawali tindak anarki warga Detroit yang menjarah toko-toko, menghancurkan kota sendiri selaku luapan amarah. Begitu pula perbuatan tidak perlu Carl Cooper (Jason Mitchell) menembakkan peluru kosong kepada polisi yang memicu tragedi. Kita diajak melihat dua belah pihak sama-sama berperan mendorong pertikaian, tapi bak ingin menghindari kontroversi, Detroit enggan menggali kompleksitas tersebut, memilih bermain di jalur aman. Jalur aman yang setidaknya ampuh menggugah kekesalan atas rasisme.
PETAK UMPET MINAKO (2017)
Rasyidharry
September 09, 2017
Billy Christian
,
Gandhi Fernando
,
horror
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Miller Khan
,
Natasha Gott
,
Nicky Tirta
,
Regina Rengganis
,
REVIEW
,
Wendy Wilson
12 komentar
Hitori Kakurenbo. Mendengar namanya saja bulu kuduk langsung berdiri. Banyak permainan mistis lain, termasuk Jailangkung di Indonesia, tapi permainan terkutuk asal Jepang ini paling sempurna mendefinisikan kata "horor". Sejak kecil saya menganggap petak umpet punya ketegangan di tingkat berbeda karena perasaan tidak berdaya sebagai target yang hanya bisa bersembunyi. Tambahkan kegelapan lokasi, kesendirian, makhluk halus, dan kematian sebagai harga kekalahan, lengkap sudah ketakutan mendasar manusia. Menarik garis kultural, dalam konteks film, ciri serupa pun jadi khas J-Horror yang mengandalkan atmosfer.
Petak Umpet Minako karya sutradara/penulis naskah Billy Christian (Rumah Malaikat, Tuyul Part 1) mengetengahkan reuni SMA yang berujung mencekam tatkala Vindha (Regina Rengganis), mengajak teman-temannya kembali ke sekolah lama untuk bermain hitori kakurenbo. Tujuannya tak lain membalas bullying yang ia terima dahulu, modal cerita sekaligus penokohan kuat yang gagal Billy perdalam, berakhir di permukaan. Memakai boneka Minako milik Vindha selaku perantara, ejekan ketidakpercayaan berubah jadi teriakan ketika Minako sungguh-sungguh "hidup", membantai mereka satu per satu.
Keengganan Billy mengumbar jump scare (kelemahan terbesar Rumah Malaikat) patut diapresiasi. Dibiarkannya alur mengalir tanpa diganggu penampakan murahan lima menit sekali. Berkatnya, Minako terjaga sebagai sosok mistik misterius yang kemunculannya berarti. Sayangnya amunisi alternatif urung disiapkan, sebutlah atmosfer mencekam yang membuat video hitori kakurenbo meski keasliannya diragukan viral beberapa tahun lalu. Video itu berhasil karena penekanan rasa klaustrofobik hasil ketakutan seseorang yang terjebak sendirian di tengah kesunyian. Sedangkan Petak Umpet Minako, meski karakternya terkurung di sekolah, dapat berlari ke area lain yang cukup luas, banyak alternatif persembunyian, serta beberapa teman. Di semua unsur, filmnya lebih besar pula ramai dibanding permainan yang jadi sumber inspirasi, dan itu menurunkan kengerian secara drastis.
Petak Umpet Minako mengandung potensi terkait gaya horor Jepang, juga detail permainannya. Ketiadaan atmosfer pekat jelas menanggalkan nuansa J-Horror, dan Billy sepertinya memang enggan bereksplorasi ke sana, sehingga walau meminimalisir jump scare, sisi generik masih menyelimuti. Ditambah "gore malu-malu" yang sekedar disiratkan melalui percikan darah, filmnya semakin kekurangan taji. Turut sirna harapan digiring menelusuri hitori kakurenbo. Ketimbang menebar misteri di penjuru durasi guna memancing pertanyaan pemicu ketertarikan, kita justru diberi paparan ringkas berbentuk eksposisi malas, bagai sekedar memindahkan materi riset dari internet ke buku harian Vindha, yang kemudian dibacakan oleh Baron (Miller Khan) selaku informasi ala kadarnya bagi penonton.
Tanpa sentuhan-sentuhan di atas, Petak Umpet Minako hanya menyisakan usaha tokoh-tokohnya melarikan diri, itu pun nihil ketegangan akibat tidak adanya alasan peduli pada mereka. Vindha si korban bully, Randy (Nicky Tirta) yang menyimpan rahasia, Gaby (Wendy Wilson) yang dikuasai trauma, Mami (Natasha Gott) si penindas, Destra (Gandhi Fernando) si pengikut Mami yang tak kalah "kejam", semua pion dua dimensi belaka. Miller Khan sebagai Baron, kekasih Gaby, bisa menjadi protagonis mumpuni andai perawakan "menjual" miliknya diimbangi akting dan penokohan kuat. Usaha mendekatkan penonton dengan karakter lewat obrolan (terlalu) panjang, alih-alih membangun momen personal justru membosankan, dipicu dangkalnya karakterisasi dan penulisan dialog. Apalagi banyak konten pembicaraan sejatinya tak perlu. Petak Umpet Minako terlampau mengandalkan eksposisi verbal.
Kental aspek kultural Jepang, film ini mestinya sanggup menjadi pembeda, angin segar di tengah semarak horor yang kembali menancapkan kuku di industri perfilman tanah air namun hanya segelintir punya kualitas baik (sejauh ini baru The Doll 2). Apa daya, unsur kultural tersebut berujung sampul luar semata. Unlike most of our horror movies this year, 'Petak Umpet Minako' doesn't rely on excessive, annoying jump scare, yet lacks of the scare itself, also short on thrills. Sangat disayangkan mengingat setumpuk modalnya, termasuk Minako yang sesungguhnya amat potensial jadi sosok ikonik.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
16 komentar :
Comment Page:Posting Komentar