TOP 20 MOVIES OF 2018
Saya percaya, preferensi film
seseorang senantiasa mengalami perubahan (besar atau kecil) seiring fase hidup
yang tengah dialami. Itu sebabnya, daftar film terbaik/favorit selama setahun—asal
dibuat dengan jujur—dapat menjadi celah untuk mengintip isi hati, pikiran, juga
proses yang tengah dialami pembuatnya, setidaknya selama setahun terakhir.
Bagi saya 2018 adalah tahun yang
berat karena beberapa alasan, mulai keharusan beradaptasi di ibukota, urusan
pekerjaan, hingga masalah personal termasuk saat Jennie ‘Blackpink’ jadian
dengan Kai ‘EXO’. Selama itu pula, film tetap setia menemani, meski karena
kesibukan, jumlah judul yang saya tonton pun tak terlalu banyak, yakni 281 film
(belum termasuk film-film lawas).
Berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya, daftar kali ini takkan menyertakan film-film yang tidak/belum
tayang di bioskop, festival, atau layanan streaming
legal di Indonesia, demi mempermudah proses memilah, mana saja yang termasuk “Film
2018”. Dampaknya, beberapa film berkualitas wahid pun tidak akan anda temui di
sini.
Bicara soal film yang tidak/belum
tayang di Indonesia, judul yang paling berkesan sepanjang tahun lalu adalah
dokumenter Three Identical Strangers, diikuti Burning; First Reformed; Love,
Simon; Support the Girls; Whitney;
The House that Jack Built; Leave No Trace; The Sisters Brothers; dan Isle
of Dogs. Apabila ada di antara judul-judul di atas yang ditayangkan di
bioskop atau festival tahun depan, maka saya akan menyertakannya di daftar
tahun 2019.
Daftar tahun ini kembali diisi 20
judul. Tentu saja akan terdapat perbedaan antara daftar buatan saya dengan
orang lain (termasuk anda). Sebelum ada yang “panas” karena film favoritnya
tidak disertakan, saya ingatkan, bahwa daftar film terbaik/favorit, apalagi
buatan personal, tidaklah absolut. Tujuannya bukan perlombaan, melainkan
merayakan keberagaman sinema beserta cara memandangnya. Silahkan buka daftarfilm-film terbaik 2018 versi para kritikus yang dihimpun Metacritic ini sebagai
contoh. Andai cuma diisi film “itu-itu saja”, saya takkan mendapat varian
rekomendasi untuk ditonton. Untuk menentukan peringkat di daftar ini, saya menyeimbangkan perspektif dari segi kualitas filmis dengan seberapa besar kecintaan personal saya.
So, here we go. Movfreak’s “Top 20 Movies of 2018”. Happy new year, have
a great new journey!
20. ANNIHILATION
Karena begitu cerdiknya Alex
Garland selaku sutradara sekaligus penulis naskah dalam merumuskan kisah
seputar tendensi self-destruction milik
manusia, lalu menerapkannya pada elemen fiksi-ilmiah yang dikemas menghipnotis. (review)
19. GAME NIGHT
Karena saya akan dengan senang hati
memutar kembali film ini tatkala tengah membutuhkan hiburan ringan di waktu
senggang, setidaknya hanya demi menyaksikan Rachel McAdams bertingkah bodoh. (review)
18. PIHU
Karena tidak ada thriller rilisan tahun 2018 lain yang
sanggup menyulut kecemasan sebesar film yang hanya berlokasi di sebuah kamar
dan menjadikan balita sebagai satu-satunya karakter ini. ( review)
17. RALPH BREAKS THE INTERNET
Karena ketika Incredibles 2—meski bagus—berada di bawah pendahulunya, Ralph Breaks the Internet mencuat
sebagai animasi “paling Pixar” sepanjang 2018, lewat pemaksimalan konsep
kreatif dan permainan emosi. (review)
16. ON YOUR WEDDING DAY
Karena lama saya merindukan sineas
Korea Selatan menampilkan lagi kebolehannya menciptakan romansa mengharu biru,
dan On Your Wedding Day mengobati
kerinduan itu dalam paparannya tentang kenangan dan proses merelakan. (review)
15. HEREDITARY
Karena debut penyutradaraan Ari
Aster ini adalah horor langka yang bisa memancing ketakutan nyata lewat
permainan atmosfer serta gambar bak mimpi buruk. (review)
Karena di tengah gempuran film-film pahlawan super, Spider-Man: Into the Spider-Verse membuktikan betapa masih ada ruang bereksperimen guna menghasilkan sajian segar. (review)
Karena film ini mencerminkan hal-hal yang membuat saya mencintai musikal: kemeriahan, kegembiraan, sampai pergolakan emosi melalui nyanyian, lengkap dengan performa Lily James yang mencuri hati. (review)
12. CREED II
Karena Creed II mampu menemukan jalan tengah untuk menyatukan seri Creed dengan Rocky, di mana drama keluarga dan elemen “film tinju” berpadu
sempurna. (review)
11. ONE CUT OF THE DEAD
Karena tidak ada film yang menyulut
tawa sehebat One Cut of the Dead
sepanjang 2018, pun hanya ini film yang cukup bernyali mengorbankan 40 menit
pertama demi mengeksekusi ide jenius di sisa durasi. (review)
10. COLOR ME TRUE
Karena di luar beberapa
kekurangannya, Color Me True adalah tearjerker klasik yang menggambarkan “cinta
sejati”, khususnya dalam setengah jam penutup yang begitu mengoyak perasaan. (review)
9. AVENGERS: INFINITY WAR
Karena selain momen-momen epic yang bertebaran serta pilihan
konklusi berani, inilah film pahlawan super pertama yang sukses menerjemahkan
pengalaman membaca crossover event
khas komik. (review)
8. ROMA
Karena Alfonso Cuaron terbukti
memiliki sensitivitas puitis tingkat tinggi, di mana adegan menyiram kotoran
anjing pun tampak indah, sementara memarkir mobil terasa menegangkan sekaligus menjadi
observasi tentang relasi internal keluarga. (review)
7. SHOPLIFTERS
Karena Hirokazu Kore-eda kembali
memaparkan keunikan perspektifnya tentang “keluarga ideal” dalam sajian penuh
sentuhan khasnya, ketika emosi tetap kuat tersampaikan tanpa banyak
dramatisasi. (review)
6. A STAR IS BORN
Karena selain menyuguhkan romansa
tragis pengoyak hati, Bradley Cooper pun jeli menyatukan elemen-elemen terbaik
dari berbagai versi A Star is Born
sebelumnya, sekaligus menambal lubang-lubang yang ada. (review)
5. SEARCHING
Karena inilah definisi “film
lengkap”, ketika ketegangan dan rasa haru berhasil disatukan, sementara misteri
beserta petunjuk guna menjawabnya disebar dengan amat jeli sepanjang durasi. (review)
4. PAD MAN
Karena Pad Man merupakan puncak pencapaian sinema India arus utama yang
identik dengan sentilan sosial namun tetap menghibur, dan film yang berusaha
meruntuhkan kekolotan dan menegakkan hak perempuan jelas perlu diunggulkan. (review)
3. CRAZY RICH ASIANS
Karena setelah tiga kali
menontonnya, ketimbang berkurang, air mata yang mengalir justru semakin deras, dari
permainan mahjong yang memiliki dialektika superior, keindahan momen
pernikahan, dan lain sebagainya. (review)
2. THE SHAPE OF WATER
Karena film ini merupakan contoh
ketika sineas dengan visi estetika mumpuni memilih berkarya dengan hati,
sehingga hampir tiap frame nampak
bagai lukisan yang diwarnai menggunakan cinta. (review)
1. LADY BIRD
Karena Greta Gerwig memahami betul
segala peristiwa yang ia tampilkan di layar hingga ke titik rasa terdalam,
sehingga bagi penonton dengan pengalaman serupa, tiap peristiwa pun mengundang
gejolak emosi meski apa yang Lady Bird
tuturkan sejatinya sederhana. Tapi sungguh, kesederhanaan yang berhasil,
seringkali jauh lebih berharga dari kemewahan atau dobrakan seperti apa pun. (review)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
46 komentar :
Comment Page:Akhirnya yg ditunggu2 datang juga.. Btw kok ga ada honorable mentions ya gan.. Trus masak roma kalah ama crazy rich asian...wkwkwk.. Piss
Ohya, boleh dong skali2 yg ga ditonton di bioskop/festival juga direview..Banyak nih penganutmu yg butuh pencerahan..hehe
Bang, gak sekalian bikin yang worst movie kah?
50% film di list ini belum saya tonton
untuk film-film yg udah saya tonton, setuju sih sama urutannya
Ga nyoba bikin performa kece dari aktor dan aktris di tahun 2018?
Come on Roma kalah sm tearjeker?? Fix persentase kecintaan personal lebih besar dibanding kualitas.. wkwkwk piss
Bagi saya, Hereditary adalah film terbaik tahun 2018, disusul Searching dan A Star is Born. Dan terima kasih tidak menyertakan Black Panther bang hahaha
@Susan Otak bilang "Roma is more superior", tapi hati nggak rela nempatin itu di atas CRA. I aways follow my heart hehe. Nggak ada honorable mentions karena udah 20 judul, udah banyak. Dan 10 judul non-bioskop yang disebut di atas udah bisa lah masuk kategori honorable mentions. Soal review non-bioskop, sekarang udah nggak memungkinkan. Nggak kuat tiap hari nulis, jadinya pasti jelek. Akhirnya cuma short review di twitter.
@Akbar Nggak ada faedahnya. Dan sekarang makin selektif. Kecuali yang ditugasin IDFC, hampir nggak pernah nonton film yang pantes dibilang "worst".
@Chan Of course. Ngapain bikin list personal kalau membohongi hati. Kalau nggak gitu mah semua year-end list bakal homogen 😁
@Alvi Oo kalau jadi 25 film, Black Panther jelas masuk.
@Agus Lah itu kan udah ditulis di atas, masuk di 10 film paling berkesan yang nggak masuk sini (btw sorry, komennya nggak sengaja kehapus. Jarinya kegedean 😅)
@Chan: lah kan ini personal blog, personal list, ya pasti personal dong hehe
btw dalam melakukan review (menganalisis pros & cons) suatu film, orang harus jeli, jujur, dan objektif, tapi dalam menyukai/tidak menyukai suatu film dan menempatkan satu film lebih favorit daripada film lainnya, it's always pure personal
@Bagas Yak, betul itu. Dalam review pun, preferensi personal nggak bisa, dan nggak perlu dihilangkan sepenuhnya (selama menyertakan alasan yang kuat ya). Contoh deh di salah satu film dalam list ini, 'On Your Wedding Day'. Saya suka sekali skripnya, karena penggambarannya soal "sulit move on akibat kenangan" tepat sasaran. Secara personal pernah ngalamin itu, dan semua elemen (detail situasi, pemakaian memento, emosi) sesuai sama kenyataan. Tapi buat banyak penonton yang belum pernah ngalamin, pasti biasa aja, sebatas tearjerker romance pada umumnya. Dan saya nggak bisa menyalahkan mereka, karena perbedaan pengalaman hidup pasti mempengaruhi penerimaan terhadap film.
Kalimat Roger Ebert ini selalu saya jadiin pegangan "If my admiration for a movie is inspired by populism, politics, personal experience, generic conventions or even lust, I must say so. I cannot walk out of a movie that engaged me and deny that it did".
Kalo digabung dengan list yg gak tayang di bioskop tapi bang rasyid nonton jadi gimana nih listnya top 20 bang. Lumayan lah jadi rekomendasi buat nonton film
Kira-kira gini:
Lady Bird
Three Identical Strangers
Burning
The Shape of Water
Crazy Rich Asians
Pad Man
Searching
First Reformed
A Star is Born
Shoplifters
Roma
Avengers: Infinity War
Color Me True
Love, Simon
One Cut of the Dead
Support the Girls
Whitney
The House that Jack Built
Creed II
Mamma Mia! Here We Go Again
@Rasyid Burning kece banget, awalnya aga bingung nih film mau kemana, tapi lama-lama bener" keren. Tapi saya masih kurang ngerti.
SPOILER
Itu jadi si Ben itu pembunuh atau dia bantuin ceweknya supaya menghilang dan jadi orang lain, soalnya dia berharap bisa menghilang gitu. Mohon bantu mar Rasyid
Lee Chang-dong emang nggak kasih jawaban pasti (di beberapa misteri Burning, jawaban memang nggak ada, bukan tersirat). Tapi saya percaya Ben bunuh Haemi karena beberapa clue, salah satunya: "Membakar greenhouse" itu metafora yang Ben pakai buat membakar tubuh korbannya alias kremasi. Nah, sekarang translate "cremation" dari English ke Korean, terus translate balik (Korean ke English). Lihat hasilnya. Inget barang apa yang disimpen Ben di lemarinya? :)
Mandy gak masuk ternyata padahal saya liat banyak orang yg nyebut Mandy horor terbaik tahun ini barengan sama hereditary
Ok, makasih mas Rasyid, saya suka Burning karna ga kasih jawaban yg pasti
@bais Mandy oke sih, asyik, atmosferik, lumayan brutal. Tapi nggak secinta & sekagum itu.
Oke lah. Btw kayaknya saya udah lama gak liat bang rasyid ngereview film religi. Jadi kangen nih kata kata gregetnya tiap review film religi. He he he
List yang saya favoritkan masuk semua, dari a star is born, mamma mia sama searching. Hasil dari directing actor sekaliber oscar bisa bikin movie yang touching banget sih.
Bang Rasyid mau nanya dong abang ga review Bird Box? Kemaren coba nonton cuman aku merasa kalau tensinya ga seintense a quiet place ya, jadi bumbu ketegangannya ga terlalu berasa. Kalau soal performa Sandra Bullock sih ga usah ditanya, seneng juga liat Sarah Paulson reuni after Ocean 8.
@bais Syukur alhamdulillah felem religi jelek makin dikit karena trennya menurun haha
@Lusiana Ya itu alasannya. Filmnya so-so. Asyik, beberapa momen intens, tapi overall, nggak bisa maksimalin potensinya. Males nulis reviewnya karena itu hehe
Bang ada rencana review app war fim thailand gak? Saya mau nonton tp masih bimbang takut gak sesuai ekspektasi ��
Oh jelas nonton, tapi antri dulu sama Dreadout & Unstoppable. Masih berusaha catch up ke film-film yang ketinggalan nih.
preferensi personal jelas pasti ga bisa lepas, karena dalam seni ga ada yang bisa pure objektif, bukan cuma soal selera yg abstrak, tapi soal teknis yg bisa dijelaskan pun kadang2 masuk ranah preferensi personal yg ga bisa diperdebatkan
contoh, bagi saya penggunaan teknik "bathos" yang terlalu banyak dalam film-film MCU itu justru memangkas sisi emosionalnya. Tapi bagi banyak orang (mayoritas) penggunaan bathos di MCU itu ga masalah, justru bagus karena dianggap sebuah sikap self-aware dan bikin filmnya jadi ga terlalu cheesy.
untuk yg belum tau teknik "bathos" silakan tonton https://www.youtube.com/watch?v=w-QhdzQo66o
Marvel Studios takut momen-momen serius dalam film mereka jatohnya jadi terlalu cheesy atau jadi parodi atau jadi bahan ledekan oleh Deadpool, makanya mereka pake bathos almost everywhere untuk mengeliminasi kemungkinan film mereka jadi terlalu cheesy seperti Spider-Man 3, tapi secara bersamaan juga mengeliminasi kesempatan film mereka bisa jadi thrilling dan emotionally compelling seperti Spider-Man 2, in simple word, mereka main aman, terlalu takut jatuh dan enggan mengambil risiko untuk jadi luar biasa, itu alasan teknis saya kenapa kurang suka sama film MCU, kurang menyentuh emosi, penggunaan bathos yg salah tempat itu bikin saya merasa seperti mau orgasme tapi ga jadi atau mau bersin tapi ga jadi, and it's annoying (as moviegoer, Im still following MCU and watch their recent movies, and it's still the same) I dunno, is "Bathos" Marvel Studios trademark or it's just their safety belt?
BUT
I highly appreciate the minimum dose of bathos in serious moment of Infinity War. Saya sempat khawatir bathos-bathos itu akan merusak Infinity War, tapi ternyata tidak. Good job!
ya maksudku yg objektif itu mendeskripsikan filmnya, tapi menganggap itu kelebihan atau kekurangan ya balik lagi ke personal
@Rafli Antara main aman & pemahaman marketing sih. Target mereka emang penonton seluas mungkin, termasuk bocah, tapi buat film-film tertentu kayak Winter Soldier & Infinity War, Feige & co. paham kalau perubahan harus dilakuin, tapi bukan secara ekstrim.
Kalo film terbaik gua itu Shoplifters , Burning, ama A Star is Born. Kalo gua boleh jujur menurut gua Toni Collette di Hereditary akting bener bagus banget, lebih daripada Gaga atau Close, tapi peluangnya masuk nom kecil banget
@Rafli: Sebenernya antara cerdik membuat film yg unbashable (sulit dicela) atau ga percaya diri dengan drama yg udah mereka bangun. Marvel Studios sadar kalo filmnya gagal menyentuh emosi penonton itu bakal fatal, makanya daripada miss/gagal menyentuh emosi (dan berpotensi dapat review buruk) lebih baik tidak berusaha menyentuh emosi sama sekali dengan cara menciptakan twisted joke (bathos) ketika ceritanya dianggap udah terlalu dramatis, menggiring film mereka ke ranah aman. Tapi ga semua film MCU kaya gitu juga, beberapa filmnya cukup percaya diri utk berusaha menyentuh emosi penonton, contoh Black Panther, CA Winter Soldier, CA First Avenger, Thor 1-2, Incredible Hulk. (Meski 3 dari 6 film itu "flop", ya begitulah emang kalo main di ranah emosi emang lebih risky)
@Aditya Nah, lagi-lagi ini juga masuk ke perbedaan perspektif yang banyak saya bahas di atas. Karena buat saya, film MCU paling emosional malah GotG 2 (karena angkat dinamika ayah-anak) dan Ant-Man (karena motivasi Scott Lang yang murni, bukan menyelamatkan dunia, tapi ingin membahagiakan puterinya).
Preferensi pribadi: ada yang melihat emosional dari premis cerita, ada yang melihat emosional dari eksekusi drama haha
saya sendiri cinta banget sama dwilogi Amazing Spider-Man karena menurut saya film pertama maupun film keduanya sangat solid dari segala segi: komedi dan seriusnya seimbang, drama keluarganya dapet, drama percintaannya dapet, chemistry antar karakternya kuat, villainnya keren, actionnya keren, visualnya keren, soundtracknya keren, semuanya keren deh!! Kecewa banget ga dilanjutin padahal udah teasing villain2 masa depannya di ending ASM2. arggghh...
Ga ngerti kenapa mayoritas orang benci banget sama 2 film itu tapi tergila-gila sama Homecoming yang dari segi drama keluarga lemah, drama percintaan lemah, chemistry antar karakter lemah, villainnya boring berasa repetitif dari Green Goblin, actionnya biasa, visualnya biasa. Pffff...
@Chan Hadinata: dari dulu banget saya follow Joko Anwar di twitter, setau saya cuma 2 film superhero yang dia puji habis-habisan di twitter sampe seolah "histeris": Batman v Superman dan Into the Spiderverse. What??? Sutradara "sekelas" Joko Anwar muja 2 film yang menurut saya satu jelek dan satunya lagi ga bagus2 amat. But well, preferensi pribadi. Saya sendiri cinta Spider-Man versi Marc Webb ko haha kalo semua list film terbaik itu normatif or homogen nomor satunya kalo enggak godfather ya citizen kane, film terbaik 2018 nomor satunya harus Roma di semua list, what a boring world this would be...
ya, yg saya maksud soal emosional itu bukan soal mengharukan dari segi cerita, tp gimana setiap momen dramatis di film itu sukses menyentuh perasaan, bukan cuma haru, tapi juga perasaan takut, marah, kagum, sedih, senang, dll... banyak momen dramatis di mayoritas film MCU itu berasa kurang deep, kurang menyentuh perasaan karena ditwist pake bathos tadi, jadi secara emosi terasa datar, dangkal, dan kurang membekas, tp ya kembali lagi ke selera, ada orang yg nganggap kalo film superhero terlalu dramatis itu "apa sih? Ga usah serius2 kali" yap preferensu hehe
kalau mau dramatis, tonton aja sinetron india, dramatisnya all out!!! haha ya mungkin sama juga dengan sinetron-sinetron, sebagian orang nganggap itu cheesy, sebagian orang nganggap itu *emosional* wkwkwkwk selera
Sbg contoh Ant-Man and the Wasp itu dari segi premis kan tampak emosional, tapi eksekusinya yg penuh twisted joke di momen2 serius justru membuat banyak momen yg harusnya terasa penting jadi ga penting karena karakternya sendiri seolah ga serius menanggapi situasi yg terjadi
pernah dengar kontroversi yanny-laurel ?? rekaman suara yg bagi sebagian orang terdengar seperti "yanny" .. tp bagi sebagian orang lain terdengar seperti "laurel" ?? suara yg sama bisa terdengar jauh berbeda oleh telinga yg berbeda .. karena perbedaan frekuensi gendang telinga tiap manusia .. film pun sama seperti itu , film yg sama bisa ditangkap jauh berbeda oleh orang yg berbeda .. karena pola pikir, selera dan pengalaman tiap orang berbeda
@Nial Joko loves superhero movies. Belakangan yang bener-bener dia nggak suka itu Age of Ultron dan Justice League (atau Suicide Squad ya?)
@Aditya Nah makanya saya stop nonton series Marvel di Netflix. Gritty superhero is fine, tapi kalau terus-terusan sampai si jagoan menderita terus dan nggak bisa enjoy sama kekuatannya, not my cup of tea.
@Habib Yap ini bener. Bukan cuma soal "perbedaan selera" yang membedakan preferensi.
Ternyata LADY BIRD yang jadi juaranya. Padahal film ini buat saya pribadi hampir masuk daftar hapus (tapi nggak jadi setelah membaca review bang Rasyid. Hehehe...). Memang preferensi personal akan sangat beragam.
Kalau tiga besar versi saya:
1. Avengers: Infinity War
2. Crazy Rich Asian
3. Searching
Lady Bird ini pas nonton di laptop biasa aja, begitu di bioskop rasanya mau pingsan haha
belum banyak film-film 2018 lalu yang berhasil kutonton, dari list diatas baru 8 film yang berhasil kutonton (senang mengetahui Annihilation & Hereditary masuk dalam daftar). Sisanya bisa masuk dlam refrensi. dan Roma buatku, jika kelak daftar "Top 20 Movies of 2018", sudah kupastikan masuk dalam jajaran top 5. Anyway sekalian kalo boleh tau, film-film klasik apa yang Mas Rasyid tonton selama setahun lalu, lagi-lagi bisa jadi refrensi buatku.
Duh agak lupa haha. Salah satu yang paling berkesan sih versi-versi lama A Star is Born, khususnya versi Judy Garland.
anyway, akankah ada niatan buat nonton The Other Side of the Wind, The Wild Pear Tree, The Image Book atau They Shall Not Grow Old (atau Dead Soul) Mas? kelimanya, dan yang terakhir disebutkan adalah beberapa underrated yang sangat luar biasa selama tahun kemarin. Mungkin bisa mencoba salah satunya, Mas.
The Other Side of the Wind cuma tahan sejam, lalu nyerah. Not my cup of tea. The Wild Pear Tree belum sempet aja karena durasinya. I like They Shall Not Grow Old though. Biar eksperimennya belum sempurna, tapi itu bentuk cara tutur revolusioner yang bisa ubah wajah dokumenter sejarah.
bang harry, apakah kamu mendengar komentar orang lain atau melihat rating terlebih dahulu sebelum memutuskan menonton suatu film ?
Cuma review dari beberapa kritikus aja. Tapi ulasan lengkapnya ya, bukan sebatas "dapet rating berapa?". Selain itu, premis dan/atau nama sutradara juga kasih pengaruh besar buat keputusan nonton.
Kritikusnya Blogger ato siapa bang?
Posting Komentar