10 FILM INDONESIA TERBAIK 2021

6 komentar
Masih tahun yang berat bagi industri perfilman Indonesia, namun paling tidak 2021 memancarkan cahaya harapan. Beberapa judul unggulan mulai tayang dan mengumpulkan perolehan penonton yang cukup memuaskan di tengah pembatasan kursi, sedangkan di skala internasional, prestasi membanggakan turut diraih. 

Daftar ini dibuat sebagai wujud apresiasi atas beragam pencapaian itu, sembari berharap 2022 jadi tahun yang jauh lebih baik! Berikut adalah 10 film Indonesia terbaik yang saya tonton di bioskop, layanan streaming, serta festival sepanjang tahun 2021. 

Honorable Mentions:
Persahabatan Bagai Kepompong adalah meta sequel yang di luar dugaan punya penceritaan solid; Sobat Ambyar bukan sebatas aji mumpung, melainkan tribute hangat nan manis; Backstage menunjukkan bahwa soundtrack kuat bisa berperan penting dalam menyampaikan rasa; Tersanjung The Movie merupakan modernisasi mengesankan didukung performa memikat Clara Bernadeth; Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga jadi bukti bahwa Gina S. Noer masih jago mengubah tema tabu menjadi tuturan hangat meski ini bukan karya terbaiknya.

10) JUST MOM
Tearjerker formulaik yang diangkat kelasnya oleh sensitivitas pengarahan Jeihan Angga (membuktikan dirinya serbabisa), serta penampilan kuat jajaran cast yang dipimpin Christine Hakim.

9) LOSMEN BU BROTO
Satu dari sedikit film kita yang benar-benar berhasil memaparkan tentang peleburan tradisi dan modernisasi secara jeli. Putri Marino kembali pasca absen dua tahun, untuk mengingatkan bahwa ia merupakan salah satu bakat terbaik Indonesia.

8) AUM!
Sebuah kritik yang bukan cuma tajam, pula dibawakan dengan kreativitas berasaskan keberanian eksplorasi. Tidak kalah penting, film ini juga tampil menghibur. 

7) ALI & RATU RATU QUEENS
Saya menyebut ini "healing movie". Ringan, hangat, sarat atmosfer positif. Sebagian penonton mungkin bakal menyebutnya naif, tapi di masa yang berat, tidak ada salahnya kita melupakan rumit dan kelamnya realita kan?

6) ONE NIGHT STAND
Kisah sederhana dengan emosi yang sama sekali tidak sederhana, tentang persinggahan dalam kehidupan. Satu lagi ajang unjuk gigi seorang Putri Marino. 

5) NUSSA
Film animasi panjang terbaik yang pernah dimiliki negeri ini. Pencapaian visual tertinggi, performa voice acting mumpuni, ditambah kisah penuh pesan berharga yang kaya akan hati. 

4) PREMAN
Kejutan terbesar tahun ini. Siapa sangka Preman bukan drama kelam nan berat, melainkan upaya mengeksplorasi b-movie yang luar biasa kreatif dan sangat menyenangkan. Khiva Iskak luar biasa di sini.

3) SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS
Judul yang mengawali obrolan tentang pencapaian film kita di kancah internasional tahun ini. Menyentil toxic masculinity, lalu menjadikannya kritik terhadap rezim otoriter, dengan cara yang usil. 

2) PENYALIN CAHAYA
Debut penyutradaraan Wregas Bhanuteja ini mengangkat isu luar biasa penting soal pelecehan seksual dalam bungkus misteri memikat. Tunggu saja, begitu filmnya rilis pada 13 Januari nanti, ending-nya bakal ramai dibicarakan dan membuat tubuh banyak penonton bergetar. Tidak heran, dua kali diputar di JAFF, dua kali pula penonton memberi standing ovation.

1) YUNI
Awalnya saya ingin membuat Yuni dan Penyalin Cahaya berbagi posisi puncak. Keduanya sama-sama kuat, sekaligus mengusung tema yang amat relevan. Keputusan memilih Yuni sebagai yang terbaik adalah karena Kamila Andini, melalui dua versinya, memperlihatkan fleksibilitas bercerita, yang mampu menyesuaikan kultur serta selera penonton yang berlainan, tanpa mengurangi kekuatannya. Oh, and a star is born here. The name's Arawinda Kirana.  

6 komentar :

Comment Page:

REVIEW - BACKSTAGE

2 komentar

Di suatu kesempatan, Robert Ronny selaku produser sekaligus penulis naskah (bersama Vera Varidia, Monty Tiwa, dan Titien Wattimena), menyampaikan bahwa salah satu inspirasi Backstage berasal dari kasus Milli Vanilli, yang memenangkan Grammy Award, tanpa menyanyikan satu pun lagu di album mereka. Penyanyi bayangan (ghost singer) mengisi suara duo tersebut. 

Backstage pun mengangkat soal penggunaan penyanyi bayangan, yang didasari ambisi akan uang serta popularitas, yang tentu saja melibatkan akal-akalan pelaku industri. Bedanya, karakter film ini bukan semata didorong oleh ambisi personal, pula demi keluarga. 

Alkisah, Elsa (Vanesha Prescilla) rutin mengikuti audisi guna menggapai mimpi menjadi aktris. Sedangkan bagi kakaknya, Sandra (Sissy Priscillia), mimpi adalah kemewahan yang coba ia pendam. Bakat menyanyinya luar biasa, namun demi membantu sang ibu (Karina Suwandi) menyokong finansial keluarga, Sandra memilih berpaling ke realita. 

Pintu kesempatan terbuka, saat Bayu (Verdi Solaiman), seorang produser, berniat menjadikan Elsa penyanyi, pasca menyaksikan video audisinya. Rencana Bayu adalah, mengorbitkan nama Elsa sebagai penyanyi dengan memakai suara Sandra. Baru setelah pamornya melambung, peran di film layar lebar bisa didapat. 

Meski Sandra sempat ragu, mengingat ini sama saja membohongi publik, rencana itu rupanya berjalan mulus. Video Elsa viral, lagunya meledak di pasaran, bahkan Elsa kini bisa menjalin kedekatan dengan idolanya, Michael (Achmad Megantara), penyanyi yang popularitasnya tengah redup. Keuangan keluarga pun seketika membaik. Ketika single perdana baru di tahap awal kesuksesan, rasanya peruntungan yang berubah 180 derajat ini (rumah baru, mobil baru, segalanya baru) terjadi terlampau cepat. Apalagi berkaca pada kondisi Elsa sekeluarga sebelumnya.

Tapi lubang itu hanyalah gangguan minor dibanding keunggulan yang Backstage tawarkan. Naskahnya masih berkutat di beberapa keklisean, baik di progresi alur maupun pilihan kata, namun juga menyimpan banyak ide kuat. Terutama terkait caranya menghantarkan emosi. Contohnya ucapan "Aku berharap Tuhan mindahin suara aku ke Elsa" yang keluar dari mulut Sandra, selaku kalimat dengan daya bunuh terampuh.  

Pastinya akting pemain berperan besar dalam keberhasilan ekspresi emosi Backstage. Walaupun status sebagai saudara sungguhan tentu memberi pengaruh, tapi itu bukan satu-satunya faktor kesuksesan Vanesha dan Sissy menjalin chemistry kuat. Keduanya memang pelakon berkualitas yang sanggup menyuntikkan realisme di tiap interaksi. Khususnya sang kakak, yang mampu mengubah perasaan-perasaan rumit jadi momen menyentuh. Kata-kata bernada dukungan darinya bak pelukan hangat, tangisan sakit hatinya terasa meremukkan. Tambahkan Karina Suwandi, dan Backstage pun memiliki trio yang sangat bisa diandalkan.

Izinkan pula saya memberi pujian khusus untuk Megantara. Aktingnya belum layak disebut "luar biasa", tapi jelas lompatan drastis dibanding sebelumnya. Tidak ada lagi usaha sok keren dengan memberat-beratkan suara. Entah karena ia menyadari kekurangan, atau berkat arahan Guntur Soeharjanto selaku sutradara, mana pun tak masalah. Peningkatan adalah peningkatan.

Terkait penyutradaraan, seperti biasa Guntur ahlinya mengkreasi adegan agar terlihat mahal. Dibantu tata kamera Hani Pradigya, bukan cuma di adegan-adegan yang melibatkan aksi panggung, peristiwa sederhana pun dibuat memanjakan mata. Kekurangan Guntur sejak dulu masih sama, yakni soal belum mulusnya penyampaian emosi (kadang artificial, kadang timing-nya meleset, kadang pilihan shot-nya kurang mendukung), yang untungnya berhasil ditambal oleh departemen lain.

Klimaksnya jadi puncak pencapaian hampir seluruh departemen. Vanesha dan Sissy bertukar rasa secara luar biasa lewat nyanyian (menekankan pesan "mendapatkan kekuatan melalui kebersamaan"), naskahnya jeli mengolah keintiman kedua tokoh utama saat memberi jeda sebelum memasuki puncak lagu (you'll know it when you see it), sementara musiknya jadi amunisi yang efektif.

Terdapat beberapa nomor familiar, sebutlah Seberapa Pantas, Terbaik Untukmu, hingga I Remember, tapi yang paling menonjol adalah original soundtrack berjudul Melangkah gubahan Andi Rianto dan Monty Tiwa. Langsung menempel di kepala, kuat menyentuh hati. Sama seperti filmnya sendiri. 

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - RESIDENT EVIL: WELCOME TO RACOON CITY

8 komentar

Welcome to Racoon City dijual sebagai reboot layar lebar yang lebih dekat ke gimnya. Memang betul, bila dibandingkan versi Paul W. S. Anderson, baik dari gaya maupun alur, film ini lebih setia, namun sayangnya tidak lebih baik.

Menyutradarai sekaligus menulis naskah, Johannes Roberts (47 Meters Down, The Strangers: Prey At Night) jelas mengenali gimnya. Dia tahu, meski belakangan makin condong ke aksi, nyawa Resident Evil terletak pada elemen survival horror. Masalahnya cuma satu, dan amat sederhana. Dia tidak bisa membuat film survival horror yang bagus.

Kisahnya memadukan alur Resident Evil (1996), mengenai investigasi yang dilakukan Chris Redfield (Robbie Amell), Jill Valentine (Hannah John-Kamen), dan Albert Wesker (Tom Hopper) selaku anggota tim STARS (Special Tactics And Rescue Service), terhadap kematian misterius di Spencer Mansion, dengan Resident Evil 2 (1998), di mana Claire Redfield (Kaya Scodelario) dan Leon S. Kennedy (Avan Jogia) terjebak di markas kepolisian yang dikepung zombie. 

Memecah kisahnya ke dua latar terpisah amat merusak intensitas. Belum sempat satu latar menemukan pijakan, kita sudah diajak melompat ke latar lainnya. Alhasil, ketegangan kontinu pun lenyap. Padahal itu adalah kewajiban jika ingin melahirkan adaptasi Resident Evil yang setia. 

Membawa film Resident Evil ke gedung tua jadi langkah back to basic menyegarkan, pula berpotensi menghadirkan teror atmosferik khas franchise-nya, namun sekali lagi, Roberts tak cukup piawai. Timing bagi jump scare-nya lemah, pemakaian shaky cam di ruang gelap menyulitkan penonton melihat detail peristiwa, pun tak jarang pengadeganan sang sutradara tampak canggung, seolah terjebak di antara dua pilihan: gaya over-the-top seperti Anderson, atau pendekatan serius. 

Strukturnya tidak kalah kacau. Perjalanan mencapai sajian utamanya terlalu panjang (kita baru memasuki Spencer Mansion setelah lebih dari 30 menit), tapi sebaliknya, third act-nya terlampau singkat, buru-buru, dan antiklimaks. Sempat ada secercah harapan bahwa Welcome to Racoon City bakal bergerak serupa gimnya, tatkala Wesker menemukan pintu rahasia pasca memecahkan puzzle di piano, tapi ternyata hanya itu. Kalau mau disebut adaptasi yang benar-benar setia, film ini memerlukan tambahan teka-teki dan elemen survival (sekadar mencari jalan keluar, amunisi, atau obat-obatan saja sudah cukup). 

Bicara soal kesetiaan, dari segi tampilan, Resident Evil: Welcome to Racoon City mempunyai Chris dan Claire yang unggul dibanding versi Anderson (meski kapasitas akting Robbie Amell patut dipertanyakan). Hannah John-Kamen tampil apik (banyak yang menyebut ia lebih pas memerankan Sheva Alomar, tapi unsur stereotipikal dalam figurnya bisa menyulut kontroversi), sedangkan Avan Jogia membuktikan bahwa adaptasi layar lebar Resident Evil masih gagal menangani Leon secara tepat. Artinya, target melahirkan adaptasi setia juga belum sepenuhnya sukses dilakukan. 

8 komentar :

Comment Page:

REVIEW - KING RICHARD

Tidak ada komentar

Biopic inspiratif bertema from-zero-to-hero, kalimat bernada harapan yang kita tahu bakal terwujud ("They're gonna be great", "You're gonna be the greatest ever", dll.) karena alurnya diangkat dari kisah nyata, performa Oscar bait dari bintang ternama. King Richard adalah suguhan formulaik. 

Apakah itu kekurangan? Tentu bukan. Pertama, jika dieksekusi dengan baik, film formulaik punya kekuatannya sendiri (disebut "formula" karena racikan itu terbukti paten). Kedua, karya sutradara Reinaldo Marcus Green ini sejatinya tak seklise itu. Ada hal tricky yang berhasil diatasi tuturannya, terutama berkat kejelian Zach Baylin selaku penulis naskah.

Sesuai judulnya, King Richard menyoroti kehidupan Richard Williams (Will Smith), ayah sekaligus pelatih dua petenis tersohor, Venus Williams dan Serena Williams (masing-masing diperankan Saniyya Sidney dan Demi Singleton). Di sinilah bagian tricky-nya. Film ini mesti menyoroti peran Richard dalam kesuksesan karir Venus dan Serena, tanpa mengglorifikasi, sehingga terkesan mengerdilkan kehebatan dua puterinya tersebut. Dan King Richard berhasil.

Apa sebenarnya peran Richard? Dia menggembleng lewat latihan-latihan berat, mengajari dasar-dasar tenis, sembari aktif mempromosikan bakat Venus dan Serena kepada para pelatih. "Rencana". Itu yang selalu Richard tekankan. Dia punya rencana jangka panjang mendetail, dengan tujuan menjadikan kedua puterinya petenis nomor satu dunia di masa depan. 

Richard mengontrol segala jalur yang ditempuh, mulai dari teknik bermain sampai turnamen yang mesti diikuti. Dia tak gentar, bahkan di hadapan Rick Macci (Jon Bernthal), sosok kawakan yang selain melatih Venus dan Serena, juga berjasa memoles nama-nama besar seperti Jennifer Capriati dan Maria Sharapova. 

Terdengar seperti diktator? Ya, dan biarpun menekankan bahwa Richard adalah pemandu, bukan pemaksa layaknya banyak orang tua lain yang berambisi menjadikan anak mereka jawara tanpa memperhatikan kondisi mentalnya, King Richard tidak sepenuhnya menjusitifikasi perilaku sang protagonis. 

Fokus filmnya justru soal bagaimana Richard menemukan keseimbangan antara "pelatih hebat" dengan "ayah yang baik", kemudian menyadari kesalahan-kesalahannya. Dia dikenal kontroversial, seorang pemecah persepsi publik, dan demikianlah figurnya dipresentasikan. King Richard mengakui betapa protagonisnya dikuasai oleh male ego, lalu membawanya menuju proses mengatasi itu. 

Oracene Price (Aunjanue Ellis) selaku istri Richard, juga tak berlaku pasif. Pengaruhnya besar bagi keluarga. Ditegaskan pula bahwa alasan Oracene bertahan, meski harus menghadapi ketidaksempurnaan serta dosa-dosa Richard, bukanlah karena si suami, melainkan anak-anaknya. King Richard memang cerita seorang raja dunia tenis, namun sang raja bukan siapa-siapa, pula tak berdaya bila tanpa keluarga. 

Smith mereplikasi sosok Richard Williams dengan apik lewat performa yang kemungkinan besar bakal mengunci nominasi Oscar ketiganya. Tapi di antara penampilan showy Smith dan akting solid jajaran cast lain, sebagaimana peran Oracene di keluarga, Ellis ibarat tiang penyangga. Figur yang menopang serta menyatukan semuanya.

Narasi King Richard memang sempat berlubang kala melakukan lompatan waktu dari tahun 1991 ke 1994, di mana timbul transformasi ekstrim, saat Richard berubah dari "nobody", jadi figur yang ramai dibicarakan publik akibat perangainya. Transformasi ini terasa mendadak, sebab sebelumnya tak sedikitpun penonton dibawa mengamati "dunia luar", agar mendapat gambaran atas situasinya. 

Di luar kelemahan tersebut, King Richard bergulir solid. Durasi 145 menit miliknya bisa dimaklumi, karena memang ada cerita berisi proses panjang untuk disampaikan. Naskahnya mengandung kelokan-kelokan dengan beberapa kejutan, sedangkan pengarahan Green konsisten menjaga tempo penceritaan. Sekuen-sekuen pertandingan tenis pun dieksekusi secara memadai. Tidak menggunakan gaya atau estetika yang spesial, tidak sampai benar-benar membuat penonton menahan napas, namun tampak meyakinkan, tanpa penyuntingan berlebih guna memalsukan aksi bertukar pukulan. Solid, sama seperti keseluruhan filmnya, yakni film biografi yang (cenderung) formulaik, tetapi tepat sasaran.

(HBO Max)

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - DON'T LOOK UP

5 komentar

Suatu malam saya sedang bersama teman-teman di sebuah tempat makan. Salah satu dari mereka mulai bercerita. Ceritanya menarik. Saya dan teman-teman lain tertawa tiap punchline dilemparkan. Mengetahui ceritanya disukai, ia pun terlena oleh perhatian yang didapat, kemudian terus mengulang punchline, melanjutkan cerita tanpa tahu kapan harus berhenti, sampai akhirnya antusiasme kami memudar. 

Menonton Don't Look Up terasa serupa. Adam McKay, yang sejak The Big Short enam tahun lalu memilih bertransformasi jadi Aaron Sorkin, punya premis kuat nan relevan. Apa jadinya kalau pemerintah tak memedulikan perkataan ilmuwan kala menghadapi bencana besar yang segera datang? Kita tahu betul bagaimana kelalaian (atau bisa disebut "kebodohan") itu memakan nyawa jutaan manusia pada dua tahun terakhir. 

Tapi bencana di film ini bukan berasal dari virus, melainkan komet raksasa yang bakal menghantam Bumi dalam jwaktu enam bulan. Kate Dibiasky (Jennifer Lawrence), calon doktor bidang astronomi, dan profesornya, Dr. Randall Mindy (Leonardo DiCaprio) jadi yang pertama menyadari ancaman tersebut. 

Keduanya melaporkan penemuan itu ke Gedung Putih, dengan harapan muncul solusi, hanya untuk mendapati bahwa Presiden Janie Orlean (Meryl Streep) dan puteranya yang juga berposisi kepala staf, Jason (Jonah Hill), lebih mementingkan soal elektabilitas pemilu. Dibiasky dan Mindy diminta "menunggu", bahkan ditertawakan. 

Momen pertemuan ini secara khusus, serta karakter-karakter pemerintah secara umum, dipakai McKay guna menyentil Trump dan kroni-kroninya. Hasrat mengolok-olok itu bisa dipahami, namun kerap membuat Don't Look Up cenderung dangkal. "Mereka bodoh". Titik. Berhenti di situ. Tetap sebuah sindiran, namun pemaparannya lebih dekat ke arah ejekan biasa daripada satir yang cerdas. 

Akibat penolakan Gedung Putih, keputusan berpaling ke media pun diambil oleh protagonis kita, di mana keduanya diundang sebagai bintang tamu acara talk show pagi The Daily Rip, yang dipandu Jack Bremmer (Tyler Perry) dan Brie Evantee (Cate Blanchett). Sekali lagi kekecewaan harus mereka rasakan. Publik lebih tertarik akan gosip romansa Riley Bina (Ariana Grande) si bintang pop, ketimbang berita kehancuran dunia. 

Merupakan langkah natural ketika McKay turut mengkritisi media yang berprinsip "keep the bad news light", juga tendensi publik yang cenderung menggandrungi hal-hal trivial di era media sosial. Sama halnya dengan kritik terhadap seksisme tatkala publik menyikapi Mindy dan Dibiasky secara berlawanan, maupun sosok Peter Isherwell (Mark Rylance), yang sosoknya bak kombinasi para tech billionaire kenamaan dunia nyata, sebagai perwakilan korporat serakah. 

Segala problematika di atas sungguh terjadi. Relevan. Sebuah progresi natural dari premisnya. Tapi McKay terus menambah isi, sehingga alurnya membengkak, semakin melebar di paruh kedua, sampai di titik saya tak lagi tahu, "apa" atau "siapa" yang filmnya ingin tertawakan. Termasuk saat Timothée Chalamet sebagai Yule ikut memenuhi ensemble cast-nya. 

Kelucuan masih tersebar di banyak tempat, sementara DiCaprio dan Lawrence tampil kuat, biarpun memerankan karakter yang sama-sama pernah mereka lakoni sebelumnya (Lawrence dengan gaya angsty, DiCaprio dengan kecemasan yang terus menghantui). Bukankah artinya Don't Look Up bukan film buruk?

Benar, namun menilik setumpuk potensi di seluruh departemen, hasil akhirnya mengecewakan. Don't Look Up pun layaknya parodi akan ambisi McKay menjadi Sorkin. Alih-alih dinamis, keliaran bertuturnya, terutama melalui penyuntingan, lebih terasa mendistraksi. Bahkan terkadang memusingkan, seperti sedang menonton film yang berlebihan memakai teknik shaky cam. 

Don't Look Up terlalu berambisi menjadi dan menceritakan semua hal. Tengok saja ending-nya. Selepas pemandangan realis hangat yang menekankan pada "indahnya kehidupan" (bumi beserta segala isinya, hubungan antar manusia, dll.), di mid-credits kita disuguhi momen sci-fi konyol nan over-the-top. 

(Netflix)

5 komentar :

Comment Page:

TOP 20 KOREAN DRAMAS OF 2021

43 komentar

Kalau ada satu hal positif yang terjadi selama pandemi, itu adalah (makin) meluasnya cakupan penonton Kdrama alias drakor. Stigma "drakor selalu romansa menye-menye atau komedi romantis cheesy" mulai memudar. Crash Landing on You menemani masa-masa awal lockdown, The World of the Married sejenak mengalihkan emosi negatif publik dari virus ke suami tukang selingkuh, sementara Kingdom, Extracurricular, dan Sweet Home menunjukkan bahwa kata "drama" di "Korean Drama" bukanlah merujuk pada genre. Puncaknya saat tiga bulan lalu Squid Game meruntuhkan segala rekor. 

Saya membuat tulisan ini, selain sebagai rangkaian daftar akhir tahun yang sudah jadi rutinitas, juga sambil berharap bisa memperkenalkan Kdrama pada penonton baru di luar kalangan penggemarnya. Berikut adalah 20 drama Korea terbaik tahun 2021 versi Movfreak (Judul-judul yang masuk adalah yang menayangkan minimal 60% dari total episodenya pada tahun 2021)

20) INSPECTOR KOO

Lee Young-ae (Jewel in the Palace, Lady Vengeance) kembali ke layar kaca setelah empat tahun, dalam aksi kucing-kucingan antara detektif alkoholik melawan pembunuh berantai yang khusus mengincar pelaku kejahatan. Caranya mengemas investigasi serta humor sarat akan kreativitas di ranah visual. (Netflix)

19) YOUTH OF MAY

Berlatar 1980 di tengah kemelut Gwangju Uprising, drama ini meleburkan romansa beraroma tragedi, dengan kritik terhadap kekejaman pemerintah dan pihak militer. Bukan kanker yang jadi penyakit mematikan di sini, melainkan rezim opresif. (Viu)

18) MY NAME

Tidak ada jalinan cerita spesial di sini, namun lain halnya bila membahas aksi. My Name membawa genre aksi dalam drama Korea ke level lebih tinggi, lewat koreografi mumpuni, tata kamera dinamis, dan kekerasan. (Netflix)

17) NAVILLERA

Paruh keduanya cenderung bergerak ke arah tearjerker klise, tapi di saat bersamaan, ada keindahan hangat dari kisah mengenai pria tua yang bercita-cita menjadi penari balet. Sebuah tuturan empowering untuk lansia, orang tua, anak-anak, wanita, dan pastinya, para pemimpi. (Netflix)

16) MONTHLY MAGAZINE HOME

Penulis baru untuk sebuah majalah rumah jatuh cinta pada atasannya yang terkenal galak. Terdengar klise, namun eksekusinya jauh dari itu, berkat humor kreatif ber-timing sempurna, serta selipan pesan tentang kelas pekerja dan "dosa orang tua". (Iqiyi)

15) WORK LATER, DRINK NOW

Tiga sahabat karib dengan kepribadian berbeda, selalu menutup hari dengan menenggak alkohol sampai matahari terbit. Hasilnya tentu tak jauh dari kegilaan, kekacauan, dan kekonyolan, walau di antara semua itu, sesekali ada kehangatan mencuat dalam kisah para wanita yang berani mendobrak berbagai batasan. (Vidio)

14) SQUID GAME

Drama yang tak perlu diperkenalkan lagi. Seru, kreatif, pula penuh kritik berlapis untuk kapitalisme, dibumbui sensitivitas yang hanya dimiliki sineas Korea Selatan. (Netflix)

13) MOVE TO HEAVEN

Premis mengenai jasa mengemas barang-barang milik orang yang telah meninggal dapat dengan mudah dikemas jadi tearjerker klise, tapi Move to Heaven sanggup mempercantik luapan emosinya. (Netflix)

12) DR. BRAIN

Kim Jee-woon (A Tale of Two Sisters, I Saw the Devil) melakoni debut penyutradaraan layar kaca, dengan menggabungkan segala kekhasan miliknya. Ketika seorang ilmuwan menemukan cara sinkronisasi otak, terciptalah perpaduan memikat antara sci-fi, thriller, drama keluarga, dan superhero. (Apple TV+)

11) HELLBOUND

Radikalisme agama, figur religius palsu, ormas yang gemar main hakim sendiri, bencana yang dilabeli "azab Tuhan". Walau produk Korea Selatan, ini pun bak cerminan negeri kita tercinta. Brutal, kelam, penuh tanya, imajinatif, dan luar biasa ambisius. (Netflix)

10) VINCENZO

Sebuah crowd-pleaser sejati. Ketika pengacara khusus mafia Italia pulang ke kampung halamannya, lalu beradu melawan psikopat dan para pejabat korup, lahirlah intrik kompleks penuh kejutan sebagai bentuk hiburan over-the-top. Dipimpin Song Joong-ki si karismatik dan Jeon Yeo-been yang menggelitik, ensemble cast-nya tampil penuh warna. (Netflix)

9) HOMETOWN CHA-CHA-CHA

Satu lagi drama dengan premis yang sekilas terdengar klise. Dokter gigi dari kota pindah ke desa, lalu terlibat romansa dengan pria lokal. Tapi di baliknya, tersimpan kehangatan khas "healing drama". Satu lagi judul dengan ensemble cast luar biasa, terutama Lee Bong-ryun, yang dalam salah satu momen, menghadirkan salah satu akting terbaik sepanjang sejarah drama Korea (Netflix)

8) MAD FOR EACH OTHER

Ketika dua sejoli "gila" saling tergila-gila, terbukalah jalan bagi tuturan pendobrak stigma negatif bagi pelakor, penderita gangguan mental, transvestite, dan lain-lain. Bukan cerita ajaib soal "saling menyembuhkan lewat cinta", melainkan bagaimana cinta menyatukan dua manusia agar dapat saling mengulurkan tangan. (Netflix)

7) TAXI DRIVER

Sekelompok vigilante berkedok perusahaan taksi, melayani permintaan balas dendam kaum tertindas. Drama revenge seru di mana Lee Je-hoon bertransformasi menjadi karakter The Driver milik Ryan Gosling di Drive. (Viu)

6) RUN ON

Satu lagi drama healing dengan pendekatan naturalistik lewat konflik yang tak terlalu meletup-letup. Profesi salah satu protagonisnya mengingatkan kita terhadap pentingnya salah satu figur yang kontribusinya kerap kurang diapresiasi dalam industri sinema: penerjemah. (Netflix)

5) MINE

Salah satu kejutan terbesar tahun ini. Menonton makjang karena berharap diberi konflik meledak-ledak ala The Penthouse, saya justru menemukan kisah luar biasa kuat mengenai peran gender, empowerment, sensitivitas dalam mengolah karakter lesbian, dilengkapi bumbu misteri pembunuhan menarik. (Netflix)

4) MR. QUEEN

Saya yang kurang menyukai drama saeguk (just like period movie, I found the mannerism boring) dibuat tidak pernah berhenti tertawa menyaksikan ide-ide humor super kreatifnya, serta performa gila Shin Hye-sun. Apa jadinya saat jiwa pria dari masa modern, masuk ke tubuh ratu era Joseon? Kekacauan tentu saja. (Viu)

3) YUMI'S CELLS

Sebuah mimpi yang jadi kenyataan bagi saya selaku penggemar webtoon-nya. Adaptasi setia sarat kreativitas, yang dikemas lewat gaya hibrida live action-animasi yang belum pernah ada di Kdrama mana pun. Anggaplah ini Inside Out versi lebih ringan dan liar. Ditutup oleh ending berani yang takkan ditemukan di drama romansa lain. (Iqiyi)

2) D.P.

Judulnya adalah singkatan dari "Deserter Pursuit", yakni tentara yang bertugas memburu para desertir. Kritikan tajam nan berani terhadap kebobrokan militer Korea Selatan, dilengkapi dengan salah satu ending paling powerful sekaligus shocking dalam sejarah Kdrama. Tragis, mengejutkan, menyesakkan. (Netflix)

1) HOSPITAL PLAYLIST 2

What else do you expect? Penulisan Lee Woo-jung (trilogi Reply) mencapai puncaknya, meleburkan sensitivitas khas Korea Selatan dengan tuturan subtil kaya detail. Musik memorable, akting serta chemistry kuat, latar rumah sakit yang bukan gimmick belaka, pesan-pesan hangat yang tak terasa menggurui. Hospital Playlist bukan cuma berkualitas, juga penting. Entah sudah berapa kali drama ini memberi kontribusi nyata untuk dunia medis dan kemanusiaan. (Netflix)

43 komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE KING'S MAN

5 komentar

Semakin anda tahu soal figur dan peristiwa-peristiwa bersejarah yang ada di The King's Man, semakin anda bisa menikmatinya.....atau sebaliknya, malah semakin terganggu oleh caranya mengolah fiksi spekulatif berbasis rumor. Agar bisa menikmati prekuel bagi dua seri film Kingsman ini, kita memang perlu memandangnya murni sebagai hiburan ringan, meski pada beberapa bagian, itu cukup sulit dilakukan.

Latarnya mundur jauh ke masa sebelum Perang Dunia I pecah, guna memaparkan awal berdirinya Kingsman. Duke Orlando Oxford (Ralph Fiennes) adalah pacifist, yang selepas kematian tragis istrinya, bersikap overprotektif terhadap sang putera tunggal, Conrad (Harris Dickinson). Tatkala Perang Dunia I berlangsung, di mana terdapat pihak-pihak yang sengaja mengadu domba para pemimpin negara, prinsip Orlando pun diuji.

Pihak yang dimaksud merupakan kelompok misterius, yang terdiri atas versi fiktif dari figur-figur seperti Grigori Rasputin (Rhys Ifans), Erik Jan Hanussen (Daniel Brühl), hingga Mata Hari (Valerie Pachner). Wajah sang pemimpin yang dipanggil "The Shepherd" disembunyikan, namun takkan sulit menebak identitasnya. 

Apakah ini drama ayah-anak, film anti-peperangan, kisah nasionalisme, atau apa? Memikirkan itu tidak akan ada habisnya. Naskah yang ditulis sang sutradara, Matthew Vaughn, bersama Karl Gajdusek memang carut marut. Bahkan menjaga konsistensi tone saja enggan diperhatikan, ketika The King's Man bisa berubah dari tragedi menjadi tontonan konyol hanya dalam beberapa menit. 

Vaughn dan Gajdusek jelas tak memedulikan aturan-aturan di atas. Tujuan mereka cuma ber-cocoklogi, mengaitkan satu peristiwa (atau teori soal) sejarah dan yang lain, mengubahnya jadi suguhan spionase over-the-top. Sehingga saat Polly (Gemma Arterton), pelayan Orlando sekaligus seorang penembak jitu, dapat dengan mudah merekrut seluruh pelayan jajaran petinggi dunia sebagai mata-mata, penonton cuma (dan harus) bisa memakluminya. Suspension of disbelief diperlukan di sini.

Beberapa penggemar mungkin bakal mengeluhkan, bagaimana The King's Man menanggalkan kekhasan serinya, yang dibangun berdasarkan asas "manners maketh man". Tapi itu wajar, mengingat latarnya adalah pre-Kingsman. 

Sebagai gantinya, aksi bertenaga selaku ciri Kingsman dipertahankan. Vaughn sekali lagi sukses mengemas laga penuh gaya, serba berlebihan, dengan bumbu kekerasan, yang ditangkap oleh kamera Ben Davis, yang bergerak bak tengah kesetanan. Momen ketika nyala suar menyinari terjebaknya Conrad di garis depan medan perang, jadi contoh kepiawaian Vaughn mengemas aksi megah, tapi yang terbaik adalah pertarungan foursome melawan Rasputin.

Vaughn menyuguhkan versi liarnya terkait satu dari sekian banyak teori mengenai kematian Rasputin, melalui adu pedang kinetik, dilengkapi koreografi unik. Film yang menampilkan Rasputin mengayunkan pedang sambil menari balet patut diacungi dua jempol. Inilah satu dari sedikit momen dalam The King's Man, tatkala keseriusan (Rasputin jadi antagonis intimidatif nan mengerikan) bercampur mulus dengan kekonyolan. 

Fiennes, Arterton, Ifans, bahkan Djimon Hounsou sebagai Shola, tampil tangguh, badass, sanggup bersinar sesuai porsi masing-masing dalam gelaran aksi filmnya. Walau tersisa kekecewaan mendapati Brühl tak diberi peluang unjuk gigi. 

Batu sandungan terbesar justru bukan dari penceritaan berantakan atau inkonsistensi tone, melainkan beberapa elemen problematik, atau minimal mendekati problematik. Menjadikan gay sebagai materi humor misal, atau penggambaran Mata Hari selaku mata-mata penggoda yang hingga kini diperdebatkan keabsahannya (apakah nyata atau aksi mencari kambing hitam yang mudah dipercaya berkat kacamata seksis dunia), jadi beberapa contoh. Tapi apabila anda ingin melanjutkan antusiasme blockbuster pasca kehebohan Spider-Man: No Way Home, maka The King's Man merupakan pilihan terbaik.

5 komentar :

Comment Page:

REVIEW - TEKA-TEKI TIKA

8 komentar

Durasi pendek tidak semestinya menyulut kekhawatiran dan pesimisme. Bisa saja sineas memilih bercerita secara to the point. Padat, singkat, sesuai kebutuhan. Sayangnya Teka-Teki Tika tidak demikian. Ketika film berdurasi hanya 83 menit terkesan kehabisan ide, artinya ide dasarnya memang sudah lemah sejak awal. 

Pasca Imperfect (2019) membawa Ernest Prakasa kembali ke performa terbaiknya, ia mengambil langkah berani dengan menjajal genre thriller misteri. Wajar. Lima film drama komedi dalam lima tahun berturut-turut rasanya memang cukup untuk melahirkan kejenuhan dan/atau ambisi mencoba warna baru. Bisa dibilang Ernest bereksperimen. Tapi sebuah eksperimen, apalagi di percobaan pertama, memang besar kemungkinan berujung kegagalan.

Walau demikian, Teka-Teki Tika sejatinya bukan eksperimen yang ekstrim. Semua nampak serius di awal. Budiman (Ferry Salim) dan Sherly (Jenny Zhang adalah penampil terbaik film ini) tengah merayakan ulang tahun pernikahan, di tengah gonjang-ganjing perusahaan mereka yang terjebak kredit macet. Si putera sulung, Arnold (Dion Wiyoko) datang bersama istrinya yang hamil sembilan bulan, Laura (Eriska Rein), sementara Andre (Morgan Oey) si putera kedua, membawa kekasih barunya, Jane (Tansri Kemala). 

Jane merupakan alasan mengapa saya menyebut ini bukan eksperimen yang ekstrim. Fungsi Jane cuma satu: comic relief. Seolah ia eksis guna mengingatkan pada penonton, bahwa kita sedang menonton karya Ernest. Tansri melakoni debutnya dengan gemilang, selalu memancing tawa lewat kepolosannya (kalau tak mau disebut "kebodohan"), tapi beberapa humor muncul di waktu kurang tepat, sehingga menciptakan inkonsistensi tone. 

Inkonsisten, namun menghibur. Itulah paruh awal Teka-Teki Tika, pasca kemunculan tiba-tiba Tika (Sheila Dara), yang mengaku sebagai puteri hasil perselingkuhan Budiman. Ernest menggerakkan tempo secara cepat, sembari melempar satu demi satu fakta mengejutkan mengenai rahasia kelam Keluarga Budiman. Tempo cepat itu meniadakan eksplorasi karakter, juga mendangkalkan pendalaman terkait kritik terhadap praktek korupsi serta sentilan bagi pelaku perselingkuhan yang reputasinya telah cacat di mata pasangan, tetapi efektif menjaga atensi penonton, yang terus dibuat ingin tahu jati diri beserta motivasi Tika sesungguhnya.

Dari segi artistik, Teka-Teki Tika justru pencapaian terbaik Ernest, yang biasanya cuma fokus pada pengolahan cerita, lalu melupakan tetek bengek sinematik. Desain produksinya memanjakan mata, pewarnaan gambarnya lebih diperhatikan, musiknya pun tergarap apik meski mengikuti pola klise scoring bagi genre misteri. 

Masalahnya, memasuki pertengahan, makin kentara kalau Ernest kesulitan mengembangkan misterinya. Hasilnya adalah setumpuk momen filler yang tak memberi dampak apa pun, baik pada penokohan maupun penceritaan. Semisal obrolan Andre dan Jane yang cuma berisi banyolan-banyolan tak perlu nan berkepanjangan. 

Tapi kejatuhan sebenarnya dari film ini baru terjadi saat memasuki paruh akhir. Momen "pengungkapan" yang semestinya merupakan puncak untuk film semacam ini, tampil datar akibat lemahnya pembangunan intensitas dalam pengadeganan Ernest. Setelah satu jam lebih disuguhi konflik yang melibatkan intrik pelik bahkan usaha pembunuhan, misteri ditutup oleh ucapan "Yaah, sebenarnya saya....." dari mulut protagonisnya, yang lebih terdengar seperti pengakuan atas hal sepele. 

Kemudian Teka-Teki Tika memberikan epilog, yang biarpun menampilkan sesosok cameo luar biasa menarik, bergulir terlalu lama, sekaligus bak berasal dari film berbeda. Jika ini "petunjuk" bahwa kelak Ernest ingin mencoba genre aksi, saya amat menantikan itu. Teka-Teki Tika memang buruk, tapi saya takkan berkata, "Sebaiknya Ernest membuat komedi saja". Karena sewaktu eksperimen berhenti gara-gara satu kegagalan, maka usaha perdana itu jadi sia-sia. 

8 komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE MATRIX RESURRECTIONS

8 komentar

The Matrix merupakan seri film dengan kemunduran kualitas luar biasa parah. Film pertamanya yang rilis tahun 1999 amat revolusioner. Salah satu yang terbaik sepanjang masa. Empat tahun berselang, menyusul Reloaded, yang meski punya beberapa gelaran aksi memikat, jelas wujud penurunan. Kemudian Revolutions menutup trilogi dengan kekecewaan mendalam, dan pantas masuk jajaran sekuel terburuk yang pernah dibuat.

Seperti judulnya, Resurrections diharapkan jadi titik kebangkitan. Sejam pertamanya memang bak sebuah kebangkitan, kala naskah buatan Lana Wachowski, David Mitchell, dan Aleksandar Hemon "mereplikasi" sekuen pembuka film aslinya, kala Trinity kabur dari serbuan para agen setelah menemukan keberadaan Neo. Tapi ada perubahan, salah satunya sosok Trinity yang berbeda dari yang kita kenal. 

Seolah jadi perpanjangan tangan penonton, Bugs (Jessica Henwick) turut menyaksikan peristiwa tersebut dan menyadari perbedaannya. Tidak lama kemudian, Bugs pun mendapati bahwa Thomas Anderson alias Neo (Keanu Reeves) masih hidup, selepas tak sengaja bertemu Morpheus, yang kali ini diperankan Yahya Abdul-Mateen II, menggantikan Laurence Fishburne. 

Kenapa ada versi lain dari Trinity dan Morpheus? Lalu bagaimana bisa, Neo yang terakhir kita tahu berkorban nyawa di konklusi Revolutions, masih segar bugar? Apakah wanita bernama Tiffany (Carrie-Anne Moss) yang selalu mencuri perhatiannya juga adalah Trinity yang hidup kembali?

Sebaiknya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas anda temukan sendiri, sebab itulah pondasi utama satu jam pertamanya, yang kembali melemparkan perenungan kompleks perihal eksistensi. Pasca perluasan mitologi dalam Reloaded membuat ceritanya hilang fokus, sementara Revolutions justru membuang segala narasi tentang kemanusiaan, The Matrix akhirnya kembali ke dasar. 

Pemakaian eksposisi verbal sarat istilah teknis asing yang disampaikan begitu cepat memang menuntut konsentrasi penonton, tapi jika berhasil mengikutinya, paruh awal Resurrections menawarkan misteri yang sangat mengikat. Penceritaan meta dirambah, termasuk menyentil kegundahan The Wachowskis perihal tuntutan memproduksi film keempat (Neo ibarat representasi mereka selaku kreator), lalu memancing pertanyaan atas segala yang kita saksikan di triloginya. Sebagaimana Neo 22 tahun lalu, penonton diajak mempertanyakan, "Apakah semua itu nyata?". 

Sayangnya, misteri tersebut ditutup lewat simplifikasi, yang menegaskan bahwa film ini, terutama first act-nya, bertujuan sebagai retcon semata bagi konklusi Revolutions. Tidak salah, bahkan perlu dilakukan, mengingat "dosa besar" yang film ketiganya lakukan. Tapi setelah satu jam penuh penelusuran rumit, jawabannya menyisakan harapan lebih. 

Sejak itu Resurrections tak mampu mengembalikan kekuatan narasinya, walau keputusan menjadikan cinta selaku motor penggerak si protagonis, membawa kisahnya ke ranah lebih personal dibanding tiga installment sebelumnya. 

Setidaknya, sebagai sineas yang selalu membuka tangan lebar-lebar akan kemajuan teknologi, Lana Wachowski (karena terbentur jadwal produksi serial Work in Progress, Lilly Wachowski absen di kursi penyutradaraan) mampu membawa filmnya tampil memukau di departemen tersebut. "That Looks real", ucap Neo kala melihat langit buatan Io, kota pengganti Zion. Itu pula yang saya rasakan tiap Resurrections memamerkan CGI miliknya. 

Canggih. Kata ini wajib dipunyai The Matrix, baik terkait pengemasan dunianya, maupun dalam eksekusi aksi. Di luar dugaan, kuantitas aksi Resurrections terhitung minim, apalagi jika dibandingkan durasinya yang mencapai 148 menit. Lebih banyak teori, filosofi, perenungan, dan diskusi. Beberapa tampil seolah hanya untuk diri sendiri, alih-alih menstimulus pikiran penonton, namun konsistensi Lana dalam bercerita membuat pacing-nya terjaga. 

Aksinya sendiri cenderung inkonsisten. Sangat inkonsisten. Ada kalanya, tepat selepas kreativitas tinggi seperti "bom manusia" di klimaks, kita langsung disuguhi aksi minim gaya, yang bagai bukan berasal dari seri The Matrix. Eksplorasinya tak seliar dulu, yang ketimbang "pendewasaan", lebih pantas disebut "penurunan". Neo paling terkena dampak. Mengurangi kesan godlike hero dalam dirinya adalah pilihan masuk akal, namun lain cerita saat ia cuma dibekali energy shield membosankan.

The Matrix Resurrections merupakan definisi sempurna untuk reaksi "it's good, but...". Selalu ada kata "tapi". Termasuk mengenai recasting. Secara narasi, termasuk latar waktunya, mengganti Morpheus jadi keputusan tepat. Terlebih Yahya Abdul-Mateen II bisa melahirkan versi karakter yang berbeda. Sebaliknya, mengubah Smith dari Hugo Weaving ke Jonathan Groff justru melukai filmnya. Terdapat sebuah momen di klimaks, yang hanya akan berhasil memantik antusiasme bila Smith masih diperankan Weaving. Groff is good, but...

8 komentar :

Comment Page:

SERU DAN PENUH MAKNA, INI PESAN PENTING DARI DRAMA 'POLICE UNIVERSITY' YANG BISA KAMU PETIK

1 komentar

Ada banyak drakor yang tak hanya menyajikan cerita seru, tapi juga pesan penting penuh makna yang bisa kamu petik dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah Police University, drama romantis dengan bumbu kriminal dalam setting dunia kepolisian. Lalu, apa saja pesan penting dari drama ini? Yuk, simak ulasannya di bawah ini!

Pelajaran Berharga tentang Kehidupan dan Keadilan

Selain plot twist yang terbilang mengejutkan serta unik, Police University menawarkan berbagai pelajaran penting yang realistis. Salah satunya adalah pelajaran dari Yoo Dongman (Cha Taehyun) untuk mengakui kesalahan yang kita lakukan dengan berani. Sebab, butuh keberanian besar untuk mau mengakui kesalahan diri sendiri, lalu memperbaikinya.

Hal ini ditunjukkan lewat pengakuan berbagai karakter di dalam drama ini, termasuk Kang Sunho (Jinyoung) yang mengakui perbuatannya selama menjadi seorang hacker. Karakter-karakter di dalam drama ini juga menunjukkan bahwa kebenaran selalu menampakkan dirinya pada waktu dan momen yang tepat.

Dengan mengakui kesalahan yang kita lakukan, tindakan ini tak hanya membantu diri sendiri tapi juga orang-orang yang sebenarnya terdampak kesalahan kita. Tak hanya itu, drama ini juga menunjukkan pentingnya respek kepada korban akan berdampak pada keadilan bagi setiap orang.

Definisi Partner yang Sesungguhnya

Salah satu pesan moral yang sering ditekankan dalam drama Police University adalah “Dua lebih baik daripada satu”. Buktinya ditunjukkan lewat kerja sama Yoo Dongman dan Kang Sunho, di mana chemistry di antara keduanya membuktikan bahwa memiliki partner alias rekan yang sesungguhnya, berarti seseorang yang kita percayai sepenuh jiwa.

Lewat berbagai tantangan yang mereka hadapi, baik Dongman maupun Sunho sama-sama tidak pernah mengkhianati satu sama lain. Justru mereka terus menunjukkan loyalitas kepada satu sama lain, dengan selalu memberikan bantuan kapan saja partner mereka membutuhkannya.

Mereka berdua juga menunjukkan bahwa partner yang sesungguhnya juga tidak akan membiarkan perbuatan salah atau keliru yang dilakukan partnernya. Justru partner yang sejati akan berusaha untuk mendorong dan menunjukkan hal yang benar. Meskipun manusia tidak pernah lepas dari kesalahan, sang partner akan memotivasi kita untuk terus memilih jalan yang baik dan bermanfaat bagi orang-orang di sekitar, maupun bagi masyarakat yang lebih luas.

Kemudian ada karakter Oh Kanghee (Jung Soo Jung atau Krystal), yang mengalami betapa sulitnya menerima fakta, bahwa orang-orang yang ia sayangi rupanya melakukan tindakan melanggar hukum, tepatnya ibunya sendiri dan Sunho. Meski demikian, Kanghee tetap yakin bahwa, baik ibunya maupun Sunho, harus dan akan menerima konsekuensi dari perbuatan mereka.

Streaming Police University di Viu

Belum sempat nonton Police University? Tenang saja, karena kamu bisa ikut jalinan kisah antara Yoo Dongman, Kang Sunho, dan Oh Kanghee dalam drama Police University ini di Viu, kok. Download aplikasinya di HP-mu supaya kamu bisa streaming drama ini maupun drama-drama Korea lainnya secara online, ya! Pastikan juga kamu aktifkan Viu Premium untuk pengalaman nonton yang seru dan nyaman dengan bebas iklan. 


Paid Promote With VIU

1 komentar :

Comment Page: