REVIEW - X
Saya tersenyum lebar melihat kepala pecah dan orang-orang bersimbah darah di X, sama seperti saat menonton ratusan slasher lain sebelumnya. Tapi saya tidak langsung mengambil pisau lalu mencincang tetangga di sekitar. Sama sekali berbeda dengan yang ditakutkan para penentang tontonan "tak bermoral".
Horor membuat kita takut atau terhibur tergantung bentuknya, porno membuat kita terangsang, tapi itu sama halnya dengan bagaimana komedi memancing tawa. Tidak lebih, tidak akan merusak psikis atau moral penonton, kecuali bagi mereka yang dasarnya sudah memiliki potensi, misal punya gangguan mental, atau dalam konteks film ini, mengalami represi.
Texas 1979, Maxine (Mia Goth) berharap membuka kesuksesan karir di industri pornografi kala membintangi film yang diproduksi kekasihnya, Wayne (Martin Henderson). Turut serta di proses tersebut adalah sesama aktor, Bobby-Lynne (Brittany Snow) dan Jackson (Scott Mescudi), juga RJ (Owen Campbell), sutradara yang berambisi melahirkan porno artsy, dan kekasihnya, Lorraine (Jenna Ortega), yang alim dan membenci hal amoral.
Syuting dilakukan di peternakan milik pasangan tua, Howard (Stephen Ure) dan Pearl (Mia Goth dalam balutan prostetik). Peternakan panas di Texas, van sebagai kendaraan, gambar grainy, Ti West selaku sutradara sekaligus penulis naskah jelas tengah memberi homage untuk Texas Chainsaw Massacre (1974) karya Tobe Hooper.
Tapi tiada psikopat bersenjatakan gergaji mesin yang menampakkan teror sejak menit awal. X baru benar-benar melepaskan kebrutalan menjelang third act. West memaksimalkan durasi guna membahas subteks moralitas sembari pelan-pelan memberi petunjuk soal kengerian apa saja yang nanti bakal ditemui karakternya.
Di dekat peternakan terdapat danau. West memamerkan kapasitasnya mengolah intensitas kala memperkenalkan salah satu sumber ancaman berupa seekor buaya, yang mengingatkan ke film Tobe Hooper lain, Eaten Alive (1976). Maxine berenang di danau tersebut, sementara si buaya diam-diam mengikutinya. West cerdik memainkan ketegangan melalui kombinasi dua sudut kamera (atas dan depan). Intens, menyeramkan, meski akhirnya tak terjadi apa-apa.
Howard bersikap kurang ramah, tapi Pearl lebih nampak seperti ancaman sesungguhnya. Melalui Pearl yang terus memperlihatkan kekaguman pada kecantikan Maxine, bahkan mengintip kala sang gadis melakoni adegan seks, kita menyaksikan contoh hasrat yang tertekan akibat hilangnya masa muda. Sedangkan Lorraine sedikit berbeda. Hasratnya ditekan oleh perspektif moralitas dan agama. X menunjukkan ledakan yang terjadi ketika hasrat seksual (atau dorongan apa pun) ditekan secara berlebih.
Sepanjang durasi, kerap terselip klip seorang evangelis berceramah perihal moralitas, yang tentu saja West pakai sebagai bahan sindiran, termasuk momen menggelitik tentang "divine intervention" di klimaks, sebelum hadirnya sebuah twist yang makin menegaskan poin filmnya mengenai moralitas. Di mana pun latarnya poin tersebut selalu relevan. Bukankah di sini kita kerap mendengar soal anak orang terpandang atau pemuka agama yang jadi bahan gunjingan gara-gara tidak bersikap seperti orang tuanya? Sekali lagi, dampak represi berlebih.
Biarpun mengharuskan penonton menanti cukup lama, presentasi gore dari West nyatanya memuaskan. Brutal, pun kembali membuktikan kepiawaian sang sutradara mengolah intensitas. Contohnya penyuntingan cerdik dalam menggabungkan dua momen terpisah (menyalakan lampu dan menarik garu dari mata) yang menciptakan jump scare tak terduga. Penyuntingan X memang selalu menarik, termasuk pemakaian teknik cross-cutting di beberapa transisi ("cross" berarti "X").
Tata riasnya patut mendapat pujian khusus lewat keberhasilannya menyulap sosok Mia Goth dan Stephen Ure (sudah sering muncul dalam balutan riasan prostetik, khususnya di seri The Lord of the Rings dan The Hobbit). Sebagai Peral, Goth tampak mengerikan, sedangkan sebagai Maxine, ia memiliki faktor X. Sosoknya bak magnet tiap kali muncul di layar. Prekuel berjudul Pearl diam-diam sudah West buat, yang siap rilis bulan September. Goth kembali memerankan Pearl, dan menarik ditunggu bagaimana ia mengeksplorasi karakternya lebih jauh.
(iTunes US)
REVIEW - THE SACRED RIANA 2: BLOODY MARY
The Sacred Riana 2: Bloody Mary dibuka oleh rekap film pertama, seolah pembuatnya mengakui bahwa penonton bakal melupakan ceritanya. Dan memang betul, karena selepas rekap pun saya tak mampu mengingatnya secara utuh. Tapi di luar penceritaan, The Sacred Riana: Beginning (2019) punya estetika memikat mata, serta terselip beberapa ide kreatif dalam caranya menakut-nakuti.
Selama ini horor-horor buatan Billy Christian cenderung jatuh ke area "tanggung". Potensial, menyimpan beberapa keunggulan, namun berujung tak maksimal. Bukannya membaik Billy justru merilis karya terburuknya sejauh ini. Jika saya melupakan alur Beginning bukan karena mau, namun sungguh saya berharap bisa melupakan pengalaman bernama The Sacred Riana 2: Bloody Mary.
Melanjutkan akhir film pertama, Riana mendapati boneka Riani miliknya kini berada di tangan siswi penghuni asrama Elodia. Dia pun pindah ke asrama yang dikelola Bu Martha (Roweina Umboh) tersebut. Boneka Riani rupanya disimpan oleh Elsa (Elina Joerg), yang bersama Merry (Shenina Cinnamon), Asia (Anindhita Asmarani), Rika (Helene Kamga), dan Anna (Sharon Sahertian), tergabung dalam kelompok perundung.
Demi mendapatkan Riani lagi, Riana meminta bergabung ke kelompok Elsa, dan sebagai syaratnya ia harus melakukan permainan bloody mary. Caranya sama seperti yang kita sering baca di internet, yakni menyebut nama Bloody Mary tiga kali di depan cermin. Bisa ditebak, Bloody Mary (Carolina Passoni Fattori) benar-benar hadir menebar teror.
Teror macam apa? Sepanjang film Bloody Mary bakal muncul, kemudian menarik satu per satu korbannya ke dalam dunia cermin. That's it. Hanya itu yang ditawarkan naskah buatan Billy dan Andy Oesman selama kurang lebih 103 menit durasinya. Bloody Mary menampakkan diri, menculik korban, satu siswi hilang, karakter lain kebingungan, lalu Bloody Mary menampakkan diri lagi, menculik korban lagi, satu siswi hilang lagi.....you got the point.
Repetitif, tanpa upaya menawarkan misteri, atau mengeksplorasi hal apa pun. Persahabatan Riana-Anna tampil dangkal, sedangkan konflik cinta segitiga mendadak dipaksa masuk untuk memecah hubungan keduanya. Isu perundungan yang ditanamkan di awal dibiarkan berlalu begitu saja. Bahkan jika dipikirkan lebih jauh, konklusinya membuat segala pelajaran yang para perundung terima jadi lenyap tanpa bekas.
Bicara soal konklusi, terdapat satu poin membingungkan. Ega (Armando Jordy), putera Bu Martha, menyelidiki kematian seorang siswi yang terjadi sebelum kedatangan Riana. Entah naskahnya lalai atau ingatan saya turut dihapus oleh Riana, tapi misteri tersebut tidak diberi penyelesaian.
Satu yang bisa saya apresiasi adalah desain artistiknya. Tidak luar biasa, tapi karena sangat familiar dengan lokasi syutingnya (Benteng Van Der Wijk terletak di kampung halaman saya), saya tahu bagaimana film ini berhasil menyulap benteng tua jadi asrama creepy yang nampak asing.
Sayangnya latar itu tak dibarengi teror memadai. Billy menanggalkan segala ide menarik film bertama untuk beralih ke trik berisik murahan. Sosok Bloody Mary punya tata rias creepy, tapi begitu dia bicara....YA TUHAN. Kenapa hantu dari Eropa, yang juga dikurung dengan mantra berbahasa asing, bicara memakai Bahasa Indonesia? Kenapa pula dia bicara seperti orang kepedasan yang baru menghabiskan 10 mangkuk seblak?
Naskahnya juga melakukan kecurangan tatkala Bloody Mary menyerang Ega, walau dia tak terlibat permainan memanggil namanya. Menurut Riana, itu terjadi karena Ega menghalangi jalan si hantu. Ada kalanya horor memerlukan suspension of disbelief agar bisa dinikmati, tapi ini terlalu bodoh. Sangat bodoh. Sebodoh cara karakternya mengalahkan Bloody Mary. Lebih baik Mbak Mary lanjut makan seblak saja.
REVIEW - DC LEAGUE OF SUPER-PETS
Walau ditangani oleh Jared Stern dan John Whittington yang sebelumnya tergabung dalam tim penulis naskah The Lego Batman Movie (2017), kurang bijak mengharapkan DC League of Super-Pets membawa keunikan serupa, mengingat seri The Lego Movie memang punya gayanya sendiri. Tapi premis mengenai hewan peliharan para pahlawan super jelas mengandung lebih banyak potensi ketimbang sebatas "modifikasi The Secret Life of Pets".
Krypto (Dwayne Johnson) adalah anjing peliharaan Superman (John Krasinski) yang mendarat di Bumi bersama sang majikan selepas Krypton binasa. Setelah dewasa, keduanya berduet sebagai pelindung Metropolis. Krypto menganggap Superman tidak butuh sahabat selain dirinya. Sampai datang sebuah ancaman. Bukan ancaman berupa supervillain atau alien jahat, melainkan Lois Lane (Olivia Wilde), kekasih Superman. Krypto khawatir Lois bakal mengambil alih posisinya.
Tapi ancaman dari supervillain juga siap menghadang, kala seekor guinea pig di tempat penampungan hewan bernama Lulu (Kate McKinnon), mendapat kekuatan super karena terpapar batu kryptonite oranye. Lulu mengagumi Lex Luthor (Marc Maron) yang pernah menjadikannya bahan eksperimen, dan kekaguman itu mendorongnya membuktikan diri dengan cara menangkap semua anggota Justice League. Tapi rupanya, hewan-hewan lain di tempat penampungan juga memperoleh kekuatan, lalu bersama Krypto, mereka membentuk tim super guna menolong Superman dan kawan-kawan.
PB (Vanessa Bayer) si babi mampu mengubah ukuran tubuhnya, Merton (Natasha Lyonne) si kura-kura kini bisa berlari secepat kilat, Chip (Diego Luna) si tupai merah dapat menembakkan listrik, sedangkan Ace (Kevin Hart) si anjing boxer punya kekuatan fisik super. Warna tubuh hitam, telinga runcing bak tanduk, bahkan penonton yang tak familiar dengan komiknya pun akan mudah menebak, siapa superhero yang kelak bakal jadi majikan Ace.
Satu yang membuat DC League of Super-Pets terasa serba tanggung adalah cara kedua penulisnya menangani komedi, selaku amunisi hiburan utama filmnya, di sela-sela alur yang bermain di ranah familiar ('The Secret Life of Pets' with superpowers). Stern dan Whittington bak ragu, apakah ingin tampil konyol demi menyenangkan penonton anak, atau memancing tawa para orang tua. Hasilnya tak cukup total bagi bocah, namun cenderung kekanak-kanakan bagi penonton dewasa. Humor yang mengolok-olok Batman (Keanu Reeves) selalu menggelitik, tapi karena sudah terlalu sering mendengarnya, entah di media sosial atau The Lego Batman Movie, dampak yang dihasilkan tidak maksimal.
Di "film bocah" macam ini saya cenderung mengesampingkan keluhan terkait plot hole, tapi rasanya anak pun bakal bertanya, mengapa Justice League dengan cepat dilumpuhkan oleh pasukan guinea pig, sedangkan Krypto dan timnya menang tanpa perlawanan berarti. Lain cerita bila kemenangan itu terjadi karena adanya sesuatu yang cuma bisa dilakukan para hewan peliharaan. Ada beberapa kejanggalan lain (misal saat Merton dengan kecepatannya tak menolong Krypto yang diancam oleh Lulu), tapi lubang di atas paling fatal, sebab dari situlah pondasi cerita tentang "tim hewan peliharaan super membantu Justice League" berasal.
Untungnya memasuki paruh akhir, ketika fokus mulai sepenuhnya beralih ke aksi, DC League of Super-Pets sukses menawarkan hiburan. Terdapat deretan ide kreatif (granat berbentuk bola bulu adalah ide brilian), pun di kursi sutradara, Jared Stern melahirkan aksi superhero seru yang biasanya identik dengan format live action.
Third act-nya tampil megah, bombastis, dinamis, dengan animasi mumpuni, menjadikannya klimaks yang pantas bagi sebuah film bertema pahlawan super. Dua pesan mengenai persahabatan dan berkorban demi sosok tercinta juga terhubung dengan apik di akhir, di mana sensitivitas Stern meramu pengadeganan mampu menciptakan konklusi menyentuh untuk eksplorasi penceritaan yang kurang matang.
REVIEW - ALIENOID
Walau bukan satu-satunya faktor, keberhasilan The Roundup menjadi film Korea Selatan pertama yang menembus 10 juta penonton sejak 2019 (terakhir dicapai Parasite), jelas berperan membangkitkan lagi geliat produk lokal di bioskop sana pasca pandemi. Setelahnya, selama empat bulan, empat judul sukses mendapatkan sejuta penonton, termasuk Alienoid yang melakukannya dalam tujuh hari (tercepat ketiga sepanjang 2022).
Alienoid datang di saat yang tepat. Sulit membayangkan film dengan biaya produksi mencapai 40 juta won (untuk sementara merupakan angka terbesar di 2022), dengan cerita luat biasa ambisius sampai harus dipecah menjadi dua bagian, dilempar ke bioskop pada kwartal pertama 2022. Kini sudah tiba saatnya penonton disuguhi blockbuster penuh bintang serta CGI, soal petualangan menembus waktu berlatar invasi alien.
Seambisius apa Alienoid? Kisahnya mengambil dua latar waktu yang berjarak cukup jauh, yakni 2022 dan 1380. Choi Dong-hoon selaku sutradara sekaligus penulis naskah membangun dunia di mana alien memakai otak manusia sebagai penjara guna mengurung para kriminal. Manusia takkan sadar otaknya disusupi, dan kelak saat mereka mati, alien yang dikurung pun ikut mati.
Tapi layaknya penjara biasa, narapidana tentu berusaha kabur. Di situlah Guard (Kim Woo-bin) berperan. Dibantu asistennya, yakni robot bernama Thunder (disuarakan Kim Dae-myung), Guard memburu tahanan yang kabur, baik di masa kini maupun masa lampau. Pada sebuah misi di abad 14, Thunder menyelamatkan bayi yang sebatang kara, lalu membawanya ke tahun 2022. Konflik pelik timbul kala alien yang terkurung di tubuh Moon Do-seok (So Ji-sub) berusaha kabur dengan bantuan pengikutnya.
Upaya Choi Dong-hoon membangun konsep dunia yang cukup berani (kalau tak mau dibilang "aneh") pantas diapresiasi. Begitu pula deretan ambisi lain yang bertujuan agar Alienoid tampil sebagai "blockbuster sejati", salah satunya pemakaian CGI. Hasilnya solid, tentu dengan catatan, jangan dibandingkan dengan kreasi Hollywood.
Choi Dong-hoon tak ragu menyajikan baku hantam antar karakter yang total dibuat memakai efek komputer. Mungkin perihal desain yang agak mengganjal, sebab acap kali terlalu mengingatkan ke desain lebih populer. Wujud asli Guard dengan kemampuannya menembakkan sinar dari telapak tangan tampak bak Iron Man, sedangkan alien yang jadi lawannya seperti modifikasi Deadshot.
Cerita kedua mengambil latar 1380, berpusat pada Mureuk (Ryu Jun-yeol), seorang penyihir tao yang terlibat perburuan sebuah pedang legendaris. Perburuan itu mempertemukannya dengan Lee Ahn (Kim Tae-ri), wanita misterius yang dianggap mampu menembakkan petir.
Selain kuantitas, latar 1380 juga unggul secara kualitas. Choi Dong-hoon mengangkat lagi hal yang pernah diangkatnya lewat Jeon Woo-chi: The Taoist Wizard (2009), yaitu tentang para penyihir taoist berkekuatan sakti. Mureuk misalnya, bisa memanggil dua siluman kucing dari dalam kipas miliknya. Sementara duo Heug-seol (Yum Jung-ah) dan Cheong-woon (Jo Woo-jin) mencuri perhatian melalui setumpuk peralatan ajaib mereka. Dunia Alienoid pun jadi makin berwarna. Makin unik.
Latar 1380 juga lebih menghibur berkat jajaran pemainnya. Ryu Jun-yeol piawai menangani humor, begitu juga Yum Jung-ah dan Jo Woo-jin yang rutin jadi scene stealers, sedangkan Kim Tae-ri makin menggantung pedang anggar, menggantinya dengan sepucuk pistol, guna menguatkan statusnya sebagai action hero yang dapat diandalkan.
Ambisi Choi Dong-hoon jadi keunggulan Alienoid, tapi secara bersamaan turut memunculkan kelemahan. Elemen plot film ini sebenarnya tidak sebegitu banyak, namun gaya penceritaan yang dipakai membuatnya terasa lebih rumit dari kelihatannya. Melalui dua latar waktunya, Choi Dong-hoon memaksa membangun misteri berdasarkan sesuatu yang sesungguhnya tak perlu dijadikan misteri, dan itu terasa melelahkan. Membuat filmnya serumit mungkin rasanya memang jadi tujuan sang sutradara. Hitung berapa kali racun digunakan, untuk membuat masalah sederhana jadi lebih sulit diselesaikan.
Tapi apa pun kekurangan Alienoid, semua dibayar lunas oleh third act yang memaksimalkan konsep dunia ajaib buatan Choi Dong-hoon. Kim Tae-ri dan Ryu Jun-yeol akhirnya total beraksi, di tengah parade jurus serta alat-alat absurd yang tak jarang mengingatkan pada bahasa visual khas Stephen Chow (walau tentu saja Alienoid masih jauh lebih "normal"). Antusiasme terhadap film kedua tahun depan pun berhasil dibangun, yang kemungkinan bakal menempatkan Min Kae-ae (Lee Hanee) sebagai figur sentral setelah di film pertama ini lebih banyak menggoda (dan digoda) Guard.
REVIEW - THE GRAY MAN
Selain James Cameron, hanya Russo Brothers yang memiliki dua film dengan pendapatan mencapai dua miliar dollar. Ditambah tendensi menggelontorkan dana besar-besaran demi konten orisinal, keputusan Netflix menunjuk figur di balik lahirnya babak kulminasi franchise sinema terbesar sepanjang masa untuk mengarahkan produk termahal mereka, dapat dilihat sebagai kejawaran.
The Gray Man yang mengadaptasi novel berjudul sama milik Mark Greaney punya bujet 200 juta dollar, dan Russo Brothers pernah menggarap tiga film dengan biaya di atas itu (bahkan empat kalau memperhitungkan inflasi). Bukankah berarti semua bakal berjalan mulus?
Tapi menonton The Gray Man justru mengingatkan pada realita, bahwa di luar perspektif etika, campur tangan eksekutif studio tak melulu berujung kualitas buruk. Bukan rahasia bila Kevin Feige kerap memberi "masukan" dalam proses produksi MCU (sebelum belakangan mulai membebaskan eksplorasi mengingat kuantitas filmnya bertambah). The Gray Man menandai kemandirian perdana Russo Brothers di ranah blockbuster, yang justru membuat saya mempertanyakan talenta mereka.
Tahanan bernama Courtland "Court" Gentry (Ryan Gosling) direkrut oleh Donald Fitzroy (Billy Bob Thornton) untuk bekerja sebagai "mesin pembunuh" untuk CIA. Memakai kode nama "Sierra Six", ia mengeliminasi target sesuai arahan. Sampai suatu misi membuat Court mengetahui rahasia perusahaan, yang menjadikannya target buruan banyak pembunuh dari berbagai negara, termasuk Lloyd Hansen (Chris Evans), mantan anggota CIA yang dikeluarkan akibat aksi-aksi bengisnya.
Mengusung formula film spionase yang mengirim karakternya menuju petualangan melintasi banyak negara, The Gray Man jelas ini menjadi "the next James Bond". Konfrontasi dua leading man kelas A Hollywood juga memberi nilai jual lebih. Ditambah pemilihan Ana de Armas yang karirnya makin bersinar guna memerankan Dani, agen CIA yang menolong Court, lengkap sudah amunisi The Gray Man.
Tapi kembali ke pembahasan awal, masalah terletak pada orang-orang di balik kamera, baik penyutradaraan maupun naskah yang ditulis Joe Russo, Christopher Markus, dan Stephen McFeely. Dosa besar duo sutradaranya, yang memunculkan pesimisme kalau di masa depan nanti bakal ada studio mau mengucurkan dana ratusan juta untuk mereka, adalah kegagalan membuat The Gray Man nampak punya biaya 200 juta dollar.
Saya bukan sedang menyinggung kualitas CGI sebagaimana kerap jadi acuan publik menentukan apakah sebuah film kelihatan mahal. Simak pilihan-pilihan shot mereka, khususnya di adegan aksi. "Datar", tanpa money shot, bahkan tak jarang terkesan "asal rekam". Ambil contoh set piece di Praha yang memakan biaya 40 juta dollar. Penuh efek, destruktif, tapi lihat bagaimana Russos menangkap Ryan Gosling berlari di atas trem yang hendak menabrak gedung (muncul di trailer). Canggung, kalau tak mau disebut memalukan. Sutradara blockbuster bertalenta bakal mampu mengolah money shot agar si protagonis nampak badass dalam situasi tersebut.
Kasus serupa terjadi dalam sekuen "pesawat jatuh". Saya cuma melihat keruwetan di layar. Tanpa estetika, tanpa intensitas. Beberapa bulan lalu Michael Bay merilis Ambulance, yang meski tidak luar biasa, jelas nampak lebih mahal walau hanya diberi bujet 20% dari The Gray Man, berkat kecerdikan meramu shot. Sedangkan Russo Brothers beranggapan bahwa memakai drone sesering mungkin adalah pondasi kemewahan.
Naskahnya tidak kalah berdosa, entah terkait hal-hal dasar seperti cerita dan penokohan, sampai soal konsepsi adegan aksi. Court merupakan father figure bagi Claire (Julia Butters), ponakan Fitzroy, namun akibat presentasi lemah, ikatan mereka tampil tak bernyawa. Gosling pun bak kebingungan menghidupkan sosok Court, sebab naskahnya sendiri tidak jelas dalam menentukan, apakah karakternya sedingin es dan gemar melempar dry humor, atau memang witty.
Terkait aksi, sebuah sekuen memperlihatkan jelas betapa buruk naskahnya dalam hal pengonsepan. Court diborgol di bangku taman, sementara belasan pembunuh mengepungnya. Situasi macam itu mestinya jadi ajang menegaskan betapa hebatnya si jagoan sampai bisa melumpuhkan begitu banyak lawan di tengah keterbatasan. Tapi tidak. Para pembunuh bukan kelabakan karena kemampuan luar biasa sang protagonis, tapi akibat banyaknya polisi. Jangan-jangan penulisnya belum menonton seri 007, Mission: Impossible, atau John Wick.
Lalu setelah menanti selama hampir dua jam, akhirnya Ryan Gosling dan Chris Evans saling adu jotos.....untuk diakhiri secara antiklimaks. Benar, novelnya mengambil jalan serupa, tapi adaptasi layar lebar memerlukan penyesuaian. Pun sebagai adaptasi, naskahnya berhak memodifikasi, selama bukan terkait hal-hal yang merusak intisari materi asalnya.
Apakah tidak ada redeeming factor di sini? Untungnya ada, yakni jajaran cast-nya. Evans tampak bersenang-senang meski (lagi-lagi) naskah semestinya bisa memberi tambahan materi agar sang aktor dapat mengeksplorasi kegilaan karakter peranannya. Dhanush sebagai Lone Wolf si "pembunuh dari Tamil" di luar dugaan mendapat porsi lebih dari sebatas glorified cameo, dan saya mengapresiasi itu. Ana de Armas kembali mencuri perhatian sebagai jagoan laga tangguh, yang pantas berada di film dengan kualitas lebih baik.
(Netflix)
REVIEW - WHAT TO DO WITH THE DEAD KAIJU?
Anda menikmati kejutan? Kalau "iya", silahkan berhenti membaca sampai di sini, jangan mencari informasi lebih soal What to Do with the Dead Kaiju?, lalu tonton filmnya. Bukan, ini bukan film bagus. Tapi kalau anda, seperti banyak orang termasuk saya, tertarik mencicipi karya terbaru sutradara Satoshi Miki ini karena sinopsis atau trailernya, hasil akhirnya dijamin bakal memberi kejutan besar.
Idenya memang menarik. Sebagaimana nampak di judul, alurnya tak menyoroti serangan kaiju, melainkan apa yang harus dilakukan pasca si monster raksasa mati. Bagaimana memulihkan kehancuran kota? Harus diapakan bangkai kaiju tersebut? Pembaca komik Marvel pasti familiar dengan Damage Control (muncul juga di beberapa judul MCU, terakhir di serial Ms. Marvel) yang bertugas "bersih-bersih" selepas para pahlawan super beraksi. Tapi belum ada film yang benar-benar menaruh fokus pada organisasi serupa.
Alkisah kaiju yang memporak-porandakan Jepang mendadak mati setelah terpapar cahaya misterius. Protagonis kita, yang mengendarai motor (agak) futuristik ala jagoan tokusatsu, Arata Tatewaki (Ryosuke Yamada), ditunjuk memimpin misi sebuah tim khusus untuk menyiasati bangkai kaiju itu. Di situlah ia bertemu mantan tunangannya, Yukino Amane (Tao Tsuchiya), yang menjabat selaku sekretaris menteri lingkungan.
Semua tampak normal, sampai kita menyaksikan rapat para menteri, yang dipimpin sang perdana menteri, Kan Nishiotachime (Toshiyuki Nishida). Tidak mengejutkan kala Satoshi Miki menjadikan pertemuan tersebut sebagai cara mengkritik ketidakmampuan pemerintah menanggulangi krisis. Di ranah film kaiju, Shin Godzilla (2016) pun melempar satir politik serupa.
Kejutannya terletak pada luar biasa konyol pendekatan Miki terhadap satirnya. Para menteri bertingkah bak orang bodoh minim kewarasan, saling melempar kesalahan, gampang terdistraksi selama diskusi, pun senantiasa keliru mengatur prioritas. Ketimbang memikirkan potensi ledakan gas mematikan dari bangkai kaiju, mereka memilih membahas "Apakah bangkainya berbau seperti kotoran atau muntahan?", hingga memusingkan harus memberi nama apa untuk bangkai itu.
Sebenarnya sah saja memotret politikus layaknya figur-figur tolol sebagai wujud kritik. Kubrick melakukannya di Dr. Strangelove (1964). Sayangnya Miki terkesan lebih ingin membuat filmnya seabsurd mungkin, daripada mengolah keabsurdan itu guna menajamkan satirnya.
Ya, What to Do with the Dead Kaiju? adalah tontonan absurd. Jelas bukan produk paling absurd dari sinema Jepang, tapi cukup untuk membuat trailernya tampak bak clickbait yang menipu. Sesungguhnya kita telah diperingatkan, kala posternya menampilkan bangkai kaiju dalam posisi mengangkang seolah siap berhubungan seks (belum termasuk penis joke yang menanti di belakang).
Tipe film macam ini sejatinya berpeluang tampil amat menghibur lewat deretan kebodohannya. Beberapa sentilan harus diakui cukup cerdik, misal kala perdana menteri berkata, "Kita harus melindungi hak masyarakat untuk tidak mengetahui fakta", atau keputusan memberi nama "Hope" alias "harapan" ke bangkai monster, yang acap kali memunculkan kalimat bermakna ganda sebagai cara meledek politikus ("Waktunya membuang harapan", "Kita harus segera membuang harapan", dll.).
Tapi jika dipandang secara menyeluruh, What to Do with the Dead Kaiju? menyimpan masalah inkonsistensi tone akut. Ada kalanya tampil terlalu serius untuk film bodoh (hubungan Arata-Yukino misal), tapi dipandang serius pun mustahil mengingat banyaknya keabsurdan konyol. Miki pun bukan pencerita ulung. Ditambah penyuntingan buruk, alurnya sangat kacau. Bahkan sempat ada poin di mana penonton bisa jadi akan bingung soal gagalnya suatu rencana membuang bangkai kaiju (clue: bendungan). Miki lebih tertarik mengutak-atik pemakaian gerak lambat tak perlu dalam penyutradaraannya ketimbang mengasah penceritaan.
Lalu ending-nya. Ending yang mungkin sudah terlintas di kepala penonton, khususnya para penyuka serial tokusatsu, tapi langsung ditampik dengan pemikiran "Ah, mustahil". Ending yang terkesan seperti fan fiction atau malah shitpost, dan justru karena itulah berhasil memberi payoff yang memancing senyum lebar. Keanehannya total. Membantu melupakan fakta kalau talenta Joe Odagiri, yang memerankan Blues, kakak Yukino, disia-siakan.
REVIEW - GHOST WRITER 2
Saya sangat menyukai Ghost Writer (2019) yang menandai debut Bene Dion duduk di kursi sutradara. Ghost Writer 2 pun semestinya jadi debut Muhadkly Acho, sebelum perilisannya ditunda karena pandemi. Pada 2022, keduanya unjuk gigi lewat drama komedi bertema keluarga. Bene di Ngeri-Ngeri Sedap, Acho di Gara-Gara Warisan. Sama-sama memukau, seolah memperlihatkan hasil latihan dari pengalaman perdana mereka.
Ghost Writer memang efektif sebagai ajang mengasah diri para sineas berlatar komika. Keabsurdan premis membebaskan eksplorasi humor, sementara konsep yang membahas perihal kematian pun memudahkan adanya selipan drama. Ghost Writer 2 membuktikan itu.
Naya (Tatjana Saphira) meraih kesuksesan berkat novel horornya, tapi ia mulai risih karena dicap sebagai dukun alih-alih penulis berbakat. Dia pun berniat mengubah citra itu, tapi di tengah usahanya melahirkan karya berbobot, kabar duka justru datang. Tunangannya, Vino (Deva Mahenra), meninggal akibat kecelakaan di lokasi syuting.
Tentu saja Vino kembali sebagai hantu, tapi Naya tidak seketika dapat melihatnya. Sang adik, Darto (Endy Arfian), adalah yang pertama menyadari kemunculan Vino. Penyebabnya, Darto sedang menyentuh Naya, yang merupakan "benda berharga" bagi Vino. Naya sendiri baru bisa melihat sosok tunangannya selepas memegang kalung pemberian ibu Vino (Widyawati).
Sebenarnya aspek ini agak mengganggu. Jika Naya memberi kemampuan orang lain untuk melihat Vino, kenapa ia sendiri, selaku "benda berharga", tak mampu melakukannya? Ada juga beberapa poin lain terkait unsur mistis yang menciptakan plot hole, tapi sebaiknya kita menerapkan suspension of disbelief agar dapat menikmati filmnya. Apalagi naskah buatan Acho dan Nonny Boenawan menawarkan penebusan dosa, dengan mengaitkan persoalan "benda berharga" tadi dengan elemen dramatik di penghujung durasi.
Satu yang tanpa cela adalah humornya. Ghost Writer 2 merupakan film Indonesia terlucu 2022, setidaknya sampai tulisan ini dibuat. Kreatif, liar, tidak menahan diri, dan serupa film pertama, berhasil mengubah ragam situasi yang seharusnya mengerikan jadi memancing tawa. Duet Endy Arfian dan Iqbal Sulaiman paling bersinar dalam hal ini. Ketakutan mereka adalah kebahagiaan penonton.
Sebagai sekuel, merupakan kewajaran kala Ghost Writer 2 memperluas skala, dan penceritaannya memang cukup ambisius dalam menyatukan genre. Di samping komedi romantis beraroma horor, ada pula drama keluarga yang melibatkan ibu Vino, pertanyaan soal kelayakan karya seni pop, juga latar belakang Siti (Annisa Hertami) si hantu wanita, yang menggiring alurnya merambah isu perdagangan manusia.
Tidak semua transisi berlangsung mulus. Walau saya menyukai pilihan kesimpulannya, perjalanan Naya mempertanyakan bobot tulisannya (yang sebenarnya sejalan dengan proses sang protagonis menerima jati dirinya) jelas kekurangan porsi eksplorasi. Demikian pula drama keluarganya, tapi di sinilah kualitas akting serta sensitivitas para pembuatnya tampil sebagai penolong.
Pilihan last shot-nya menarik. Menampilkan salah satu karakter menatap ke arah kamera, rasanya seperti tengah menonton tribute bagi figur dunia nyata yang telah pergi, di mana ia berpamitan pada orang-orang tercinta (saya bisa membayangkan, kalau di biopic, momen itu bakal disusul teks yang merangkum kehidupan si tokoh). Menyentuh.
Di departemen akting, bahkan sedari momen kematian Vino hati saya sudah diiris oleh luapan emosi Tatjana dan Widyawati. Lalu di klimaks, melalui adegan yang seperti jadi momentum Acho melatih kemampuan mengarahkan long take, Widyawati menunjukkan alasannya pantas disebut "legenda". Karena di film seringan ini pun, ia sama sekali tak mengurangi olahan rasanya. Bahasa tubuhnya menyampaikan duka, tapi juga penolakan. Entah yang berasal dari fakta bahwa Vino telah tiada, maupun bentrokan perasaan kala hati kecilnya menyadari sudah bersikap keliru pada si putera tunggal. One of the best performances I've seen this year.
REVIEW - THE SEA BEAST
Divisi animasi Netflix tengah terluka, sebagai dampak berkurangnya jumlah pengguna. Rencana diubah, restrukturisasi terjadi, beberapa proyek dibatalkan. Tapi ditunjang strategi kampanye yang tepat, mungkin saja tahun depan luka itu bisa sedikit terobati, sebab bukan mustahil The Sea Beast bakal memberi Netflix Animation piala Oscar perdana mereka.
Ide cerita The Sea Beast sesungguhnya tidak benar-benar baru. Ibarat gabungan How to Train Your Dragon, Pirates of the Caribbean, dan Moana. Tapi keklisean itu mampu dikembangkan, diperdalam, hingga melahirkan tuturan yang kaya.
Kisahnya berlatar dunia di mana selama ratusan tahun, umat manusia mengibarkan bendera perang melawan monster laut, yang konon telah membawa banyak kehancuran. Pihak kerajaan memakai jasa pemburu guna memusnahkan monster laut, salah satunya Kapten Crow (Jared Harris), pemimpin kru kapal The Inevitable yang legendaris. Jacob (Karl Urban), yang saat kecil ditemukan oleh Kapten Crow terombang-ambing di lautan, adalah calon pemimpin The Inevitable di masa mendatang.
Sudah banyak monster mereka bunuh, buku epos ditulis berdasarkan aksi kepahlawanan mereka, namun ada satu target yang masih diincar, yakni Red Bluster. Ukuran tubuh yang membuat monster lain nampak kerdil, ditambah kemampuan menciptakan pusaran raksasa, membuat Red Bluster amat ditakuti.
Di sisi lain, bocah bernama Maisie (Zaris-Angel Hator), yang menaruh rasa kagum luar biasa besar terhadap para pemburu, diam-diam menyusup ke atas The Inevitable, berharap dapat ikut berpetualang serta mengikuti jejak kepahlawanan Kapten Crow dan Jacob. Arahnya bisa ditebak. Maisie akan menyadari bahwa monster laut sebenarnya bukan ancaman, lalu berusaha menyadarkan orang-orang agar tak lagi menebar kebencian.
Walau kisahnya tidak baru, salah satu alasan mengapa naskah buatan Nell Benjamin dan Chris Williams (juga menduduki posisi sutradara) tampil spesial adalah, kemampuan menanamkan pesan, tanpa harus terkesan meneriakannya secara terlalu gamblang. "Kita membunuh, bukan mempelajari mereka", ucap Jacob merespon rasa penasaran Maisie mengenai monster laut. Melalui satu kalimat tersebut, penonton dibuat memahami pola pikir manusia-manusia di film ini.
Lebih jauh lagi, naskahnya mengeksplorasi asal mula pemikiran itu, kala dengan berani memberi filmnya tema yang cukup berat bagi film semua umur. Saya takkan menjabarkan detailnya, tapi The Sea Beast menyentil perihal bagaimana sejarah ditulis oleh para pemegang kuasa, juga soal post-truth. Tidak ketinggalan dikritisi adalah tendensi mengultuskan sosok pahlawan.
Walau mengusung subteks kompleks mengenai kebenaran dan prasangka, The Sea Beast tetap dipresentasikan secara ringan. Salah satunya berkat interaksi Maisie-Jacob. Banter keduanya bukan cuma menggelitik, pula tampil segar, sekali lagi berkat kejelian naskahnya mengolah kalimat yang tak terdengar klise.
Tapi tentu yang akan paling diingat dari film ini adalah visualnya. Desain monsternya kreatif dalam memodifikasi wujud hewan dari dunia nyata, memberi mereka beraneka warna (berpotensi dikembangkan ke area bisnis lain seperti merchandise). Kualitas animasinya kelas satu. Jika naskahnya mampu membangun dunia yang utuh lewat mitologinya, departemen animasi membuat dunianya makin realistis melalui detail visual, terutama tekstur alamnya (pohon, pasir, air, dll.).
Visualnya makin memikat berkat pengarahan Chris Williams, yang piawai menciptakan kesan masif dalam pilihan shot-nya, yang sempurna mewakili dunia tempat monster laut raksasa eksis. Tidak heran, mengingat Williams merupakan sosok senior dunia animasi, yang berkontribusi atas lahirnya deretan judul produksi Disney sejak Mulan (1998), termasuk mengarahkan Bolt (2008) dan Big Hero 6 (2014).
Konklusinya mungkin terkesan naif dan menggampangkan (Apakah omongan bocah bisa mengubah tradisi ratusan tahun?), tapi itu sejalan dengan satu lagi subteks yang filmnya bawa. Memang betul pemahaman anak-anak terhadap realita masih amat minim dibanding orang dewasa, tapi justru di situ keunggulan mereka. Kita mesti belajar menjadi seperti bocah, dengan hati bak kertas putih polos yang belum dikotori prasangka, sehingga masih terbuka akan ilmu, pemahaman, serta kemungkinan-kemungkinan baru. Ingat, kita tak tahu apa-apa tentang dunia yang sedemikian luas ini.
(Netflix)
REVIEW - DECISION TO LEAVE
Sebuah noir memadukan misteri dengan romansa (biasanya melibatkan perselingkuhan dan sensualitas) merupakan hal biasa. Serupa judul-judul buatan Alfred Hitchcock hingga Chinatown (1974) milik Roman Polanski, Decision to Leave yang membawa Park Chan-wook menyabet piala Best Director di Festival Film Cannes pun menempuh jalan serupa. Hanya saja, ada perbedaan.
Decision to Leave bukan romansa berbumbu misteri, atau misteri yang dibumbui romansa. Decision to Leave adalah peleburan keduanya. Agar lebih jelas, mari simak salah satu sekuen favorit saya di film ini.
Hae-jun (Park Hae-il) si detektif, menginterogasi Seo-rae (Tang Wei), wanita imigran Cina, yang suaminya baru ditemukan meninggal dunia. Ketika rehat, mereka makan bersama, yang anehnya, nampak seperti dua sejoli sedang melakukan kencan perdana. Canggung, tapi jelas ada magnet yang saling menarik tanpa perlu diucapkan. Pun tiap pertanyaan Hae-jun, selain proses menggali informasi dari tersangka, ada kalanya terdengar bak usaha seorang pria untuk lebih mengenali wanita yang ia suka.
Peleburan itu terus berlanjut sepanjang film. Walau bukti mengarah pada bunuh diri, Hae-jun tetap menyelidiki Seo-rae, termasuk mengintainya di rumah. Dilihatnya si janda beraktivitas, makan malam, lalu merokok sembari menangis. Tanpa sadar abu rokoknya menumpuk, dan Hae-jun berimajinasi, membayangkan menampung abu dengan tangan, layaknya pria bucin yang mau jadi tempat wanita pujaannya membuang segala keresahan.
Hae-jun sudah menikah, tapi tinggal terpisah dengan istrinya, Jung-an (Lee Jung-hyun) karena tuntutan pekerjaan. Jung-an cantik, lucu, dan perhatian pada kesehatan sang suami. Apa alasan Hae-jun berpaling? Dia selalu nampak lesu menjalani rutinitas, dan baru bersemangat begitu muncul kasus yang melibatkan kematian. Seolah hasratnya tersulut oleh bahaya. Apakah caranya menyikapi percintaan pun begitu? Apakah perselingkuhan dengan tersangka pembunuhan memantik hatinya?
Di luar dugaan, naskah buatan Park Chan-wook bersama kolaboratornya, Jeong Seo-kyeong, cukup ringan dalam presentasi romansa, meski melibatkan alur kelam serta penuturan bertempo lambat. Beberapa tawa hadir, yang kadang membuat saya merasa sedang menonton komedi romantis. Misal saat balasan pesan Hae-jun berkali-kali tertunda karena Seo-rae terus mengetik.
Romansanya sensual, tanpa harus menjadi seksual. Cuma satu adegan seks, itu pun tidak seksi, juga bukan melibatkan Hae-jun dan Seo-rae. Sensualitasnya tersirat namun amat menyengat, mayoritas berasal dari obrolan, atau sebatas hembusan napas. Kuncinya terletak di penataan kamera Kim Ji-yong (A Bittersweet Life, Silenced, Miss Granny, The Age of Shadows) yang menciptakan ruang intim dua karakter.
Seperti biasa, bukan karya Park Chan-wook bila tidak tampil stylish, dan sinematografinya, didukung penyuntingan Kim Sang-beom (menggarap Oldboy dan The Handmaiden sehingga tahu persis visi sang sutradara), membantu tersajinya penuturan penuh gaya. Berkatnya, Decision to Leave kadang tampil seperti gambaran sureal fantasi orang yang sedang terobesis oleh asmara.
Park Chan-wook piawai membungkus romansa, sampai ada kalanya penyampaian misteri bagai anak tiri. Babak akhirnya tampil lebih rumit dari kebutuhan, sedangkan beberapa revelation berjalan kurang mulus untuk ukuran karya sineas yang melahirkan tontonan penuh liku macam Oldboy dan The Handmaiden. Sebuah pengungkapan fakta seputar angka 138 memancing pertanyaan lebih lanjut. Durasi film ini juga 138 menit. Kebetulan? Suatu easter egg usil? Atau simbolisme dari "perjalanan"?
Tapi tetap, di belakang kamera, pengarahan Park Chan-wook mampu menghipnotis, menggaet atensi lewat perjalanan intim yang pelan-pelan menghanyutkan. Sementara di depan kamera, Tang Wei sama-sama menghipnotis. Seducing, mysterious, enigmatic. Karena sang aktris pula ending-nya makin menusuk, membawa makna baru yang jauh lebih menyakitkan untuk istilah "mengubur masa lalu". Memori masa lalu yang misterius bak selimut kabut, sebagaimana disampaikan Jung Hoon-hee melalui lagunya, Mist, yang jadi salah satu inspirasi pembuatan Decision to Leave, dan diputar beberapa kali dalam filmnya.
Update (20/07) Setelah menonton untuk kali kedua, saya makin kagum pada semua aspeknya. Penyuntinganunik, gestur-gestur canggung Tang Wei, hingga paralel misteri-romansa yang makin kentara di tiap detail. Pun perihal presentasi misteri, rupanya tak sekacau di pengalaman pertama, karena kali ini sudah tahu mesti "melihat ke mana". Saya memutuskan mengubah rating. Decision to Leave adalah tragedi menusuk hati tentang seorang wanita yang menghabiskan hidupnya mencari kebahagiaan.
REVIEW - IVANNA
Entah apa obrolan yang muncul di balik layar, sebab Ivanna sukses jadi judul terbaik di Danur Universe, justru karena ia tidak terasa seperti bagian semestanya. Seolah Manoj Punjabi berkata pada timnya, "Fuck it. Just do anything you want!".
Penunjukkan Kimo Stamboel, yang berkat Rumah Dara (2009) pantas masuk jajaran "dedengkot slasher Indonesia" bersama Timo Tjahjanto, kini masuk akal. Ivanna bukan horor hantu-hantuan biasa, melainkan bak slasher yang tengah menyamar.
Awalnya semua berjalan familiar. Pasca kematian orang tua mereka, Ambar (Caitlin Halderman) dan adiknya, Dika (Jovarel Callum), pindah ke panti jompo yang dikelola oleh Agus (Shandy William) beserta ibunya. Pacar Agus, Rina (Taskya Namya) turut bekerja di sana, merawat tiga lansia: Nenek Ani (Yati Surachman), Kakek Farid (Yayu Unru), Oma Ida (Rina Hassim). Mengingat lebaran sudah dekat, Arthur (Junior Roberts), cucu Oma Ida, turut berkunjung.
Selepas penemuan ruang bawah tanah, yang di dalamnya menyimpan sebuah patung tanpa kepala, keanehan mulai terjadi. Keanehan yang berhubungan dengan masa lalu tragis Ivanna van Dijk (Sonia Alyssa), gadis Belanda yang dibunuh secara sadis kala Jepang menginjakkan kaki di Indonesia.
Keberadaan Kimo berjasa menggiring Ivanna ke arah berbeda, tapi pertama, izinkan saya melakukan hal yang belum pernah saya lakukan, yakni mengapresiasi naskah Lele Laila. First act betul-betul dipakai menata panggung pertunjukan berdarah filmnya. Ditanamnya benih untuk hal-hal yang kelak berperan dalam alur. Belum sepenuhnya rapi memang. Ada kalanya ia menjejalkan terlalu banyak info dalam kalimat, tapi setidaknya, kali ini naskah Lele "mau bercerita", dan lebih memiliki struktur, ketimbang kompilasi jump scare seperti biasa.
Lele juga lebih "nakal" di sini. Kakek yang menyembunyikan botol miras sehari sebelum lebaran, nenek yang dengan santai mengatakan kalau si cucu tidak puasa, hingga pemilihan lebaran selaku latar pertumpahan darah. Ivanna membuat Idul Fitri bagai Idul Adha, tapi alih-alih hewan kurban, justru lansia yang dijagal. Serupa Pengabdi Setan-nya Joko Anwar, film ini ibarat antitesis elemen religius horor tanah air.
Urusan menebar teror, Kimo menerapkan dua metode. Pertama berupa penampakan yang jamak dimiliki horor supernatural, tetapi dalam eksekusinya, Kimo menolak menggunakan efek suara berlebih. Di trailer, adegan Ivanna muncul dari belakang Ambar dikemas dengan efek suara secukupnya, dan secara mengejutkan, momen itu tampil lebih sunyi lagi di film. Kesunyian yang membuat teriakan penonton di studio terdengar jelas, dan saya yakin itu teriakan ketakutan, bukan kekagetan.
Metode kedua adalah yang menjauhkan Ivanna dari formula semesta Danur, yaitu slasher berdarah. Mayoritas penampakan di seri Danur gagal meninggalkan dampak karena para hantu sebatas "setor muka". Di sini, tiap kemunculan dapat berujung kematian. Ada output yang dihasilkan oleh penampakan.
Pun saya terkejut kala salah satu kematian memperlihatkan gore dengan kemasan over-the-top ala horor splatter dan b-movie. Serupa Yudi (Tanta Ginting) si polisi yang perannya cenderung komedik, adegan tersebut memang kurang selaras dengan keseluruhan tone film yang serius menjurus tragis, tapi kemampuannya menambah daya hibur tak bisa disangkal.
Ditambah departemen teknis serta efek spesial mumpuni (secara khusus saya mengagumi sebuah shot berisi transisi mulus dari gelap ke terang kala menggambarkan "penglihatan" yang dialami Ambar), Ivanna memunculkan harapan bahwa semester kedua tahun 2022 bakal jauh lebih cerah bagi horor Indonesia.
REVIEW - WRITING WITH FIRE
Sama seperti Indonesia (Ibu Pertiwi), India memakai figur perempuan (Mother India) sebagai personifikasi bangsa. Walau demikian, kenapa di kedua negara perempuan kerap dirampas haknya? Bukankah itu sama artinya merendahkan "tanah kelahiran"? Mungkin justru karena itu. Karena perempuan sebatas diidentikkan dengan "melahirkan". Para perempuan di Writing with Fire menolak kekolotan tersebut.
Berstatus dokumenter panjang India pertama yang menyabet nominasi Academy Awards, film garapan Sushmit Ghosh dan Rintu Thomas ini mengangkat kisah orang-orang di balik Khabar Lahariya, satu-satunya surat kabar yang dijalankan oleh perempuan Dalit (kasta terendah di India).
Saat kita berkenalan dengan jurnalis Khabar Lahariya, reputasi mereka sudah cukup dikenal, setidaknya di Uttar Pradesh tempat kantornya berpusat. Mengingat surat kabar ini berdiri sejak 2002, jauh sebelum Writing with Fire diproduksi, "tugas" mengangkat fase awal itu memang mustahil disertakan. Sebagai gantinya, kita diajak menyaksikan sebuah awal baru, tatkala Khabar Lahariya bertransisi ke media digital.
Bermodalkan smartphone dan kanal YouTube (hingga tulisan ini dibuat, memiliki 561 ribu subscribers dan telah ditonton lebih dari 171 juta kali), modernisasi pun dilakukan. Bukan perkara gampang, mengingat sekali lagi, para jurnalis adalah wanita Dalit, yang jangankan mendapat gelar sarjana, hak mengenyam pendidikan saja dilucuti. Banyak yang bingung perihal mengoperasikan kamera smartphone, ada pula yang kesulitan membaca alfabet.
Tiga nama jadi sorotan utama. Meera Devi sang chief reporter, Suneeta Prajapati yang khusus memberitakan kriminalitas, dan Shyamkali Devi yang masih hijau. Kita mengikuti ketiganya beraksi di lapangan, dan walau tak diucapkan gamblang, jelas mereka berjuang mewakili suara-suara pihak yang kerap dibungkam, sebutlah korban perkosaan, hingga rakyat kecil yang ditindas mafia tambang. Artinya, risiko dimusuhi jajaran penguasa amatlah besar.
Dari sini Writing with Fire berhasil membangun kekaguman saya terhadap subjeknya. Mereka bukan sekelompok pejuang idealisme naif yang luput menyadari bahaya profesinya. Pun sempat ada berita soal pembunuhan wartawan wanita senior. Alih-alih mundur, mereka malah melangkah maju, sebagaimana ditunjukkan Suneeta kala dengan tegas mengonfrontasi pria yang menghalangi liputannya.
Rintangan lain berasal dari internal keluarga. Suami Meera mengutarakan pesimisme terkait masa depan pekerjaan sang istri dan cenderung pasif memberi dukungan, keengganan menikah membuat keluarga Suneeta dipandang buruk oleh lingkungan, sementara Shyamkali memutuskan bercerai pasca jadi korban KDRT. Semasa menikah, si suami sering memaksanya berhenti mewartakan berita, yang direspon Shyamkali dengan jawaban, "Kamu yang akan aku tinggalkan, bukan pekerjaanku". Tanpa sadar saya bertepuk tangan.
Di tengah era yang menambah ragam gaya dokumenter, Sushmit Ghosh dan Rintu Thomas mempertahankan kemasan jurnalistik, yang justru selaras dengan subjeknya. Penceritaannya rapi. Transisi fokus antara karakter berlangsung mulus, dan selama kurang lebih 94 menit, kita mengikuti perkembangan ketiganya setahap demi setahap. Suneeta yang karirnya terus menanjak, juga Shyamkali, yang meski awalnya tertinggal (tak mampu mengoperasikan smartphone, kesulitan memilih sudut pandang berita), belakangan mulai menguasai trik-trik liputan lapangan.
Memasuki paruh akhir, selepas perjalanan yang biarpun berliku cenderung uplifting, muncul beberapa fakta menyakitkan. Bersamanya, mencuat pertanyaan, "Apakah itu wujud kekalahan?". Saya yakin bukan. Kekalahan adalah ketika tiada perlawanan dilakukan, dan barisan perempuan Khabar Lahariya jelas melawan. Melawan dengan tulisan, dengan tutur kata di pemberitaan, sembari membawa nyala api keadilan.
(Klik Film)
REVIEW - INCANTATION
Saya menonton Incantation dua kali. Pertama di siang hari, lalu sekali lagi di malam hari. Tujuannya adalah uji coba terkait ada/tidaknya perbedaan tingkat kengerian. Ternyata ada. Sangat jauh malah. Saya pun yakin hasilnya bakal kembali berubah bila disaksikan di bioskop (membuat komparasi "mentah" dengan The Medium yang banyak muncul di media sosial menjadi kurang valid).
Semua soal experience dan persepsi. Di luar kegelapan serta kesunyian malam hari yang mendukung sensasi menonton film horor, mayoritas teror yang dialami protagonis Incantation pun terjadi pada kegelapan dan kesunyian malam yang sama, sehingga lebih mudah bagi penonton mengasosiasikan aktivitas menontonnya dengan pengalaman si karakter. For me, that's the beauty of movie, especially horror movie.
Perihal persepsi sendiri berperan penting dalam horor berpendapatan tertinggi sepanjang sejarah Taiwan ini. Trailernya yang mengundang kehebohan itu (terutama di Indonesia) bermain-main dengan persepsi visual melalui ilusi optik, saat kita diajak mengubah arah pergerakan kincir dan kereta. Di konteks filmnya, hal tersebut, ditambah arahan untuk ikut merapal mantra "hou-ho-xiu-yi, si-sei-wu-ma", disampaikan oleh Li Ronan (Tsai Hsuan-yen) kepada penonton vlognya.
Ronan mengunggah video berisi pengakuan, bahwa enam tahun lalu, akibat tindakan sembrononya, ia terkena sebuah kutukan yang merenggut nyawa orang-orang di dekatnya. Kini kutukan itu menyebar ke puterinya, Dodo (Huang Sin-ting). Melalui partisipasi penonton videonya, Ronan berharap dapat menyelamatkan sang puteri.
Elemen di atas adalah modal memadai guna memberi sentuhan segar bagi narasi Incantation sebagai mockumentary, di tengah formula "skeptis ignorant kena batunya", yang walau klise, belakangan menemukan relevansinya lagi pada masa di mana pola pikir logis justru kerap mengerdilkan mistisisme dan adat alih-alih memperluas perspektif.
Masalahnya, naskah buatan Chang Che-wei bersama sang sutradara, Kevin Ko, kurang rapi menangani penceritaan. Tiada batasan jelas terkait mana saja video yang Ronan bagikan ke publik, sehingga pengalaman menonton immersive yang konsepnya bawa gagal dimaksimalkan. Lompatan alur antara flashback dan masa kini pun tak berlangsung mulus, sebab naskah lalai menjembatani perpindahan latar waktunya.
Padahal kekuatan bercerita memegang peranan besar menentukan tingkat keberhasilan konklusinya, tatkala sebuah twist secara cerdik mengubah cara kita memandang keseluruhan alur. Lagi-lagi soal persepsi. Lalu timbul pertanyaan, "Bagaimana suatu persepsi terbentuk?". Kembali ke gambar kincir, arah gerakannya dapat diubah, tapi tanpa instruksi Ronan, apakah kita otomatis melakukannya? Apakah itu bukti kuatnya pikiran, atau malah kelemahan karena begitu gampangnya persepsi kita digiring ke arah tertentu? Perihal "menggiring persepsi" ini juga membuat medium internet yang karakternya pakai jadi tepat guna.
Demi mendukung gagasan terkait "memutarbalikkan persepsi", Kevin Ko banyak bermain-main dengan visual sarat simbol. Entah estetika properti (misal desain patung Buddha), gestur tangan, hingga salah satu yang paling menarik, penggunaan satu lagi ilusi optik di paruh akhir, ketika layar hanya diisi simbol dan teks terjemahan mantra.
Ko mungkin terlampau banyak menambahkan efek suara dan scoring dalam mempresentasikan teror yang berujung mengurangi kesan organik khas mockumentary, pun "video terowongan" yang hype-nya dibangun sepanjang durasi tak sepenuhnya berhasil jadi puncak, namun secara keseluruhan, ia tetap piawai menciptakan tontonan atmosferik. Jump scare tampil cukup efektif, deretan imageries-nya pun memancing rasa tidak nyaman (pengidap tripofobia mesti berhati-hati), khususnya tiap lantunan mantra mengiringi jalannya adegan.
(Netflix)
REVIEW - THOR: LOVE AND THUNDER
Alasan Thor: Ragnarok (2017) sukses adalah langkah ekstrim Taika Waititi membawa kisah si Dewa Petir ke ranah komedi, tanpa memusingkan bobot emosi. Dia bak rockstar yang bertingkah semau sendiri, mendobrak segala norma. Thor: Love and Thunder masih sarat komedi, menyenangkan, pun Waititi masih seorang rockstar. Bedanya, kali ini ia rockstar yang telah bertengger di puncak kemapanan, mencoba pendekatan sesuai aturan.
Jangan salah, Love and Thunder tetap kekonyolan yang aneh, bahkan bagi standar MCU. Di sinilah musik hard rock Guns N' Roses melebur dengan nomor new-age macam Only Time milik Enya. Jika Steve Rogers pamer bisep, maka machismo Thor (Chris Hemsworth) ditunjukkan lewat kemampuan split. Semua adalah produk keisengan Waititi yang takkan bisa ditiru sineas MCU lain.
Tapi kali ini naskah hasil tulisan Waititi dan Jennifer Kaytin Robinson menyuntikkan beberapa keseriusan, yang sejatinya memang diperlukan. Salah satunya karena latar belakang tragis antagonisnya. Didorong duka atas kematian sang puteri, Gorr (Christian Bale) berubah dari umat yang taat menjadi "The God Butcher". Bersenjatakan Necrosword, ia membantai satu demi satu dewa, yang hidup mewah di tengah penderitaan para penyembahnya.
Keputusan bagus. Sebagai karakter, Gorr terlalu penting untuk dijadikan musuh komedik (di materi adaptasinya, ia berperan membuat Thor kehilangan kelayakan mengangkat Mjolnir, meski secara tak langsung). Terlebih, Bale menghantarkan performa mencengkeram, yang melahirkan villain MCU paling menyeramkan sejauh ini.
Elemen dramatik berikutnya berasal dari Jane Foster (Natalie Portman), yang memperoleh kekuatan Thor melalui Mjolnir. Jane mengidap kanker stadium empat, dan kekuatan itu memberinya kesehatan, walau untuk sementara. Tatkala Gorr mengalihkan target ke New Asgard, Jane, bersama Valkyrie (Tessa Thompson) dan Korg (Taika Waititi), membantu Thor guna menghentikan aksi sang penjagal dewa.
Cerita Gorr dan Jane sama-sama memberi modal memadai bagi Love and Thunder mengolah dinamika emosi. Sayang, eksekusinya kurang mulus. Mudah bersimpati pada Gorr. Para dewa memang arogan, pula nihil kasih sayang. Titik di mana Thor dan kawan-kawan mengunjungi Omnipotent City, menemui para dewa (dengan segala desain aneh yang memperkuat estetika filmnya) yang dipimpin Zeus (Russell Crowe), menegaskan itu.
Alhasil muncul pertanyaan, "Kenapa para dewa pantas diselamatkan?". Naskahnya luput menjabarkan itu. Jangankan mengeksplorasi ambiguitas tindakan Gorr, naskahnya bahkan terlampau tipis untuk sekadar berkata, "Tapi Thor berbeda, sehingga kita harus mendukungnya". Andai Thor adalah jagoan baru yang belum dicintai orang-orang, mungkin penonton akan memilih berdiri di samping si antagonis.
Presentasi hubungan Thor-Jane juga mengalami naik turun. Montage berisi flashback berhiaskan lagu Our Last Summer-nya ABBA menghadirkan nuansa manis nan menyentuh ala komedi romantis kelas satu, yang jarang kita temui dalam judul MCU. Tapi selepas itu, tipisnya naskah kembali tak memberi ruang romansa mereka berkembang. Padahal perihal "do your thing with your loved one" berpotensi menambah rasa ketika Thor dan Jane berduet di medan pertempuran.
Di ranah penyutradaraan pun Waititi belum punya sensitivitas mencukupi dalam mengolah momen dramatik, yang daripada mengikat, justru mempengaruhi pacing. Ada kalanya Love and Thunder tampil bertenaga, ada kalanya terasa draggy terutama saat menampilkan drama, ada kalanya ia terburu-buru. Poin terakhir tampak betul di transisi menuju third act.
Bukannya Waititi harus kembali pada keliaran totalnya. Sebab sekali lagi, mengingat kondisi Gorr dan Jane, elemen dramanya memang diperlukan. Pun demi perkembangan karirnya, terutama di skena arus utama, sedikit pendewasaan (baca: kapasitas menangani drama) jelas diperlukan. Dia hanya perlu menjadi rockstar yang menemukan keseimbangan.
Bukan tugas gampang, tapi setidaknya "cuma" itu PR sang sutradara. Karena soal menggarap hiburan, baik lewat aksi maupun komedi, Waititi masih sekuat biasanya. Humornya tetap kreatif, dengan salah satu highlight terletak pada running gag tentang "cinta segi empat" antara Thor-Stormbreaker dan Jane-Mjolnir.
Di departemen akting, Bale memang figur terbaik, tapi trio Hemsworth-Portman-Thompson juga memikat. Hemsworth tetap piawai bersenang-senang di depan kamera; Portman meyakinkan sebagai jagoan baru yang walau kadang canggung karena masih hijau, terbukti sanggup menandingi ketangguhan Thor; sedangkan Thompson ibarat magnet pencuri atensi, pandai memainkan seksualitas karakternya secara kasual (gesturnya di hadapan dayang-dayang Zeus adalah wujud representasi LGBT yang mesti ditiru produk Hollywood lain).
Terdapat satu poin menarik di aksinya. Setiap Jane melempar Mjolnir, palu itu terpecah jadi serpihan-serpihan kecil. Kerusakan kala hancur di tangan Hela tidak benar-benar pulih, tapi jiwanya kokoh, seolah memberikan kekuatan lebih. Sentuhan menarik dan (somehow) agak puitis, sebab kondisi Jane pun serupa. Bukti bahwa biarpun belum semulus harapan, usaha Thor: Love and Thunder mengambil jalan tengah antara komedik dan dramatik tidak sepenuhnya gagal. Ditambah pilihan konklusi serta dua credits scene miliknya, franchise ini berjalan ke arah yang tepat dengan posibilitas tanpa batas.
REVIEW - EMERGENCY
Di tengah masa liburan, ketika remaja menggelar pesta di tiap penjuru kota, seorang gadis pingsan di rumah orang asing akibat terlalu mabuk. Sebuah pemandangan yang wajar ditemukan dalam party movie, mungkin juga awal dari skenario penuh kekonyolan di suatu malam yang liar. Tapi Emergency, selaku adaptasi film pendek berjudul sama (2018), mengambil perspektif lebih kritis, lebih nyata, lebih tajam, sambil tak lupa memancing tawa.
Protagonisnya adalah Kunle (Donald Elise Watkins) dan Sean (RJ Cyler), yang menyambut liburan musim semi dengan ambisi menjadi pria kulit hitam pertama yang menyelesaikan "Legendary Tour", dengan mendatangi tujuh pesta berbeda dalam semalam. Keduanya bersahabat, bahkan tinggal serumah, bertiga dengan Carlos (Sebastian Chacon), remaja latin yang selalu mengurung diri bermain gim di kamar.
Sean memaparkan detail rencana "petualangannya" pada Kunle, tapi kita tahu, itu takkan berjalan lancar. Benar saja, alih-alih berpesta, mereka justru menemukan gadis kulit putih (Maddie Nichols) dalam kondisi mabuk berat hingga tidak sadarkan diri. Kunle hendak menelepon 911, tapi Sean melarang. "Bagaimana bila polisi melihat wanita kulit putih pingsan di rumah tiga pria non-kulit putih?", ucap Sean.
Di tangan KD Dávila selaku penulis naskah, Emergency menjadi party movie, komedi, cerita rasisme, juga (semacam) coming-of-age. Kunle mengalami pendawasaan perihal menyadari realita. Walau bersahabat, kepribadian serta hidup Kunle dan Sean bertolak belakang. Kunle putera keluarga terpandang pula siswa teladan bermasa depan cerah, sedangkan Sean mengakrabi kehidupan jalanan. Tindak kekerasan berlatar rasisme oleh polisi, ujaran kebencian menggunakan "the N word", semua terdengar asing di mata Kunle. "You are white inside", sindir Sean.
Biarpun mengangkat persoalan serius, Dávila tetap membawa elemen komedi. Kekacauan menggelitik nan sarat kejutan khas party movie dipertahankan tanpa harus mendistraksi tuturannya, sementara di kursi sutradara, Carey Williams memiliki kepiawaian menata timing komedi, sembari menjaga energi filmnya agar konsisten sepanjang 105 menit durasinya.
Nantinya kita tahu bahwa gadis mabuk itu bernama Emma, dan sang kakak, Maddy (Sabrina Carpenter), tengah mati-matian mencarinya. Kecurigaan Maddy memuncak kala melihat adiknya dikelilingi dua pria kulit hitam dan satu pria latin. Apakah respon Maddy mengandung rasisme? Ya. Tapi mengacu pada isu pelecehan seksual, kekhawatirannya pun dapat dipahami. Maddy benar sekaligus salah. Realita memang serumit itu.
Emergency menyentuh titik yang lebih powerful begitu memasuki babak akhir. Intensitas meningkat, begitu pula emosi, terutama dalam adegan berlatar lab, kala Donald Elise Watkins dan RJ Cyler memamerkan akting terbaik masing-masing.
Konklusinya kuat. Panggilan darurat 911, polisi, maupun neighborhood watch, diciptakan demi keamanan masyarakat. Tapi rasisme membuatnya cuma menimbulkan rasa nyaman bagi sekelompok pihak, bahkan tak jarang jadi sumber teror pihak lain yang mestinya turut dilindungi. Andai peristiwa serupa kelak terulang lagi, besar kemungkinan karakternya takkan mengulurkan bantuan, yang bisa saja berujung hilangnya nyawa manusia, dan penolakan tersebut dapat dijustifikasi. Emergency tidak hanya menyentil isu masa kini, pula menyiratkan potensi efek domino berbahaya di masa mendatang akibat rasisme.
(Prime Video)
4 komentar :
Comment Page:Posting Komentar