REVIEW - NUSSA
Beberapa waktu lalu, ramai tudingan bahwa Nussa menyebarkan doktrin radikal. Saya tidak sepaham dengan ideologi agama beberapa pihak di balik serialnya, namun melempar tuduhan cuma berdasarkan atribut yang dipakai karakternya, bahkan sebelum menonton filmnya, sungguh suatu kebodohan. Terlebih, Nussa ternyata tampil hangat sekaligus manusiawi.
Manusiawi dalam arti, meski digambarkan cerdas, baik hati, pula taat agama, tokoh-tokohnya jauh dari kesempurnaan. Ada figur ayah yang (terpaksa) melanggar janji hingga mengecewakan anak-anaknya, pun Nussa sendiri (disuarakan Muzakki Ramdhan), hanya bocah biasa yang bisa merasa iri, juga malas beribadah ketika hatinya kesal. Sebagai tontonan yang memiliki identitas agama (khususnya produksi Indonesia), memanusiakan protagonis adalah pencapaian besar.
Naskah buatan Muhammad Nurman Wardi dan Widya Arifianti sebenarnya cenderung seperti versi extended dari satu episode serialnya ketimbang adaptasi khusus layar lebar. Diceritakan, Nussa tengah bersiap mengikuti lomba sains di sekolah, dengan membuat roket berbahan barang bekas, dibantu dua sahabatnya, Abdul (Malka Hayfa) dan Syifa (Widuri Sasono). Nussa selalu memenangkan lomba tersebut, tapi tahun ini muncul saingan. Dia adalah Jonni (Ali Fikry), anak pindahan dari keluarga kaya, yang mampu membuat roket mewah nan canggih.
Sangat sederhana. Terlalu sederhana malah, sehingga agak keteteran menjaga daya tarik selama 107 menit durasinya. Walau begitu, Nussa mampu membayar lunas kekurangan tersebut, lewat tuturan menyentuh hati. Di balik kesederhanaannya, tersimpan drama hangat soal keluarga, persahabatan, juga pesan bahwa uang bukanlah segalanya.
Karakter Jonni selaras dengan kesan "drama sederhana tapi bermakna" itu. Dia memang saingan Nussa, dan sekilas tampak kurang ramah, tapi bukan antagonis jahat. Bukan siswa kaya sombong yang memandang rendah orang lain. Dia hanya kesepian karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Sayang, konklusi bagi konflik keluarga Jonni terjadi begitu mudah dan serba mendadak, hingga menghilangkan dampak emosi di dalamnya.
Bila presentasi soal keluarga Jonni tampil kurang matang, tidak demikian dengan keluarga protagonis kita. Nussa menganggap, Abba (panggilan Nussa dan Rarra untuk ayah mereka) yang bekerja di Amerika, kurang memberi perhatian ketika batal pulang di awal Ramadhan. Saat lomba sains digelar, Bony Wirasmono selaku sutradara, yang juga menggarap serialnya, menampilkan sensitivitas lewat gestur-gestur penuh makna tanpa dramatisasi berlebih dalam momen tersebut.
Melihat puteranya tertatih-tatih menaiki panggung, Abba mendekat, tetapi tidak langsung membantu. Ditepuknya lembut pundak Nussa, yang lalu berkata bahwa ia bisa berjalan sendiri. Begitulah semestinya dinamika orang tua dan anak. Orang tua hadir guna memberi dukungan, mengawasi agar si anak tetap aman, namun tetap membiarkannya mencoba jalannya sendiri semaksimal mungkin.
Di awal tulisan, saya sempat menyinggung tentang bagaimana filmnya memanusiakan Nussa. Sewaktu Jonni dan roket canggihnya bisa lebih memukau teman-teman di sekolah, Nussa merasa iri, kesal, bahkan putus asa. Saking kesalnya, dia enggan makan sahur dan bolos mengaji. Tapi apakah Umma (Fenita Arie) memarahi puteranya sambil menyebut hal-hal seperti "Jangan bolos mengaji!" atau "Tidak beribadah itu dosa!"? Tidak. Umma mendahulukan perasaan buah hatinya. Dia mendidik lewat kasih sayang.
Ada satu lagi detail kecil yang sangat saya sukai, yakni ketika Abba pulang membawa oleh-oleh. Nussa mendapat peci, sedangkan Rarra dibelikan mobil-mobilan. Tatkala film-film lain yang tidak direcoki tudingan ini-itu kerap bersikap lebih konservatif dengan memberi boneka pada anak perempuan, Nussa justru tidak terjebak dalam kekolotan tersebut.
Pencapaian di ranah emosi turut ditunjang oleh karakternya yang begitu hidup berkat penampilan memikat jajaran pengisi suara. Muzakki yang membuat sosok Nussa begitu bernyawa dan terdengar "kaya" secara rasa, Ocean Fajar sebagai Rarra yang menggemaskan, Fenita Arie sebagai figur ibu yang lembut, bahkan Opie Kumis sebagai Babe Jaelani si penjaga sekolah, yang sekali lagi jadi comic relief menggelitik. Semua menyatu.
Visualnya, seperti yang sudah nampak di berbagai materi promosi, punya kualitas terbaik di antara semua animasi layar lebar Indonesia. Tengok saja detail-detail seperti serat baju, bulu kucing, sampai refleksi di mata karakternya. Melihat pencapaian Nussa, tidak sabar rasanya menunggu proyek-proyek animasi Visinema lain seperti Kancil (sci-fi action), Jumbo (looks like a Pixar-esque magical tale), dan Rarra selaku spin-off Nussa.
(Tayang Reguler 14 Oktober 2021)
REVIEW - RIDERS OF JUSTICE
Berkaca pada judul dan premis, Riders of Justice tampak seperti satu lagi revenge movie dengan karakter anggota/mantan militer/agen rahasia, yang memburu sebuah organisasi kriminal, guna menuntut balas atas kematian anggota keluarganya. Tapi di tangan Anders Thomas Jensen selaku sutradara sekaligus penulis naskah, selain tampil segar lewat barisan humor gelap, filmnya pun menangani tema "menghadapi duka" secara lebih bermakna dibanding mayoritas judul berkonsep serupa.
Duka tersebut dialami Markus (Mads Mikkelsen), tentara yang bertugas di Afganistan, saat mendengar kabar bahwa sang istri, Emma (Anne Birgitte Lind), tewas dalam kecelakaan kereta. Puterinya, Mathilde (Andrea Heick Gadeberg), selamat, namun amat terpukul, sehingga berusaha mencari alasan dan pemaknaan di balik bencana tersebut. Karena jarang pulang, Markus kesulitan menghadapi kesedihan Mathilde, di saat ia sendiri tak tahu bagaimana menyembuhkan dukanya.
Sampai datanglah Otto (Nikolaj Lie Kaas), seorang ekspertis di bidang algoritma, yang juga korban kecelakaan kereta. Lewat kalkulasinya, Otto yakin peristiwa itu bukan kecelakaan sebagaimana dipercaya polisi, melainkan perbuatan geng Riders of Justice yang berniat menghabisi lawan mereka. Bersama dua rekannya, Lennart (Lars Brygmann) dan Emmenthaler (Nicolas Bro), Otto membantu Markus menyelidiki dalang kematian istrinya.
Betul bahwa ada balas dendam di sini, namun Riders of Justice lebih dekat ke ranah komedi hitam ketimbang aksi (total cuma ada dua adegan aksi). Lebih mengingatkan ke karya Coen Brothers daripada judul-judul yang dibintangi Liam Neeson. Membawa seorang tentara tangguh yang tak pernah tersenyum, untuk bekerja sama dengan tiga socially awkward nerds, tentunya kerap melahirkan situasi menggelitik.
Melalui humor gelapnya, yang tersaji lucu berkat timing yang acap kali tak terduga ditambah penghantaran sempurna para aktor, Jensen membawa Riders of Justice beberapa kali nyaris melewati batasan, kala menjadikan hal-hal seperti pelecehan sampai cacat tubuh sebagai materi. Tapi tidak pernah terasa ofensif, sebab Jensen bukan sedang mengolok-olok, namun menertawakan trauma secara getir, sembari membubuhkan simpati yang menghasilkan konklusi hangat mengenai "indahnya kebersamaan", pasca baku tembak seru dalam klimaks.
Ketika Markus melihat balas dendam sebagai "tali" yang menjaganya tetap hidup, sebagai rel yang memberi arah untuk terus melangkah, Mathilde berusaha melogiskan kehilangannya. Dia merunut seluruh peristiwa yang terjadi sebelum kecelakaan, mencari hubungan sebab-akibat dalam tiap hal, berharap menemukan alasan lebih dalam perihal kematian sang ibu.
Tapi, walau ada kalanya hal-hal seperti kriminalitas dapat dicari polanya, lalu ditelusuri menggunakan data statistik sebagaimana dilakukan Otto, hidup tetaplah bukan ilmu pasti yang bisa dikalkulasi. Menjawab misteri kehidupan berbeda dengan menjawab soal ujian yang menuntut adanya alasan.
Riders of Justice dibuka oleh permintaan seorang bocah agar dibelikan sepeda berwarna biru. Kejadian sederhana itu menciptakan efek domino yang berujung kematian Emma. Apakah permintaan si bocah merupakan penyebab? Ataukah perlu dirunut ke belakang lagi, sampai ke awal hubungan Markus dan Emma, saat mereka memutuskan mempunyai anak? Karena jika mengacu ke ilmu sebab-akibat, bukankah artinya jika Mathilde tidak lahir, kecelakaan itu pun takkan terjadi?
Menurut Riders of Justice, pertanyaan-pertanyaan di atas tidaklah penting. Kita tidak perlu berandai-andai, "kalau saja kejadiannya berbeda". Kita tidak perlu (selalu) mencari pemaknaan lebih dalam atas peristiwa yang terlalu menyakitkan untuk diterima. Kita hanya harus belajar berdamai, kemudian menerimanya.
Seperti biasa, Mads Mikkelsen dapat diandalkan perihal memerankan sosok dengan kondisi batin kacau, yang dikuasai amarah, kesedihan, sehingga cenderung bersikap destruktif, termasuk pada diri sendiri. Markus adalah prajurit tangguh, namun yang film ini tekankan bukan betapa hebatnya si jagoan sampai berani menantang maut demi balas dendam, melainkan bagaimana machismo runtuh, dikuasai kerapuhan akibat duka.
(HULU)
REVIEW - MIDNIGHT
"Ganti bajumu kalau tidak mau mati", ucap Jong-tak (Park Hoon) pada adiknya, Jung-eun (Kim Hye-yoon), yang akan melakukan kencan buta. Tentu ancaman itu cuma bercanda, sebagai bentuk kepedulian Jong-tak, yang khawatir bila Jung-eun keluar malam hari memakai rok mini (atau pakaian terbuka lain), itu akan membahayakan dirinya.
Tapi nyatanya, di tengah perjalanan pulang, Jung-eun tetap jadi korban Do-sik (Wi Ha-joon), pembunuh berantai yang tiap tengah malam berburu dari dalam van miliknya. Midnight memperlihatkan, maraknya kekerasan terhadap wanita tidak ada hubungannya dengan cara mereka berpakaian, melainkan murni karena kekejaman si pelaku.....dan mungkin ditambah ketidakbecusan aparat mengusut kasusnya.
Di malam yang sama ketika Jung-eun hilang, Kyung-mi (Jin Ki-joo) tengah dalam perjalanan pulang bersama ibunya (Gil Hae-yeon). Keduanya bisu dan tuli. Malang bagi Kyung-mi, setelah menemukan Jung-eun dalam kondisi bersimbah darah, giliran ia dan sang ibu yang jadi mangsa Do-sik.
Ditulis naskahnya oleh sang sutradara, Kwon Oh-seung, Midnight bakal mengingatkan pada Hush (2016) karya Mike Flanagan yang mengusung konsep serupa. Bedanya, film ini mempunyai skala lebih luas, pendekatan action-oriented ketimbang thriller atmosferik, dan tak menempatkan si pembunuh dalam bayang-bayang misteri. Sejak awal kita sudah melihat wajah Do-sik, pula menghabiskan cukup banyak waktu bersamanya.
Membawa penonton mengenali pembunuhnya, memberi "rasa aman" yang sejatinya mengurangi kengerian. Teror oleh figur tak dikenal memang lebih mencekam, pun pemakaian alat-alat pendeteksi suara milik Kyung-mi, yang beberapa kali bertindak selaku tanda atas keberadaan Do-sik, bakal lebih efektif menyulut ketegangan andai sosoknya dibiarkan misterius.
Tapi di sisi lain, pilihan itu juga memungkinkan filmnya mengeksplorasi karakter Do-sik, menggambarkannya sebagai pembunuh manipulatif, yang bukan hanya bersenjatakan otot, juga otak serta trik psikologis. Wi Ha-joon yang belum lama ini mencuri perhatian kala memerankan polisi dalam Squid Game, menangani perannya dengan baik, memudahkan penonton untuk membencinya.
Kreativitas naskah memegang kunci, berkat keberhasilan muncul dengan ide-ide menarik agar konflik terus berkembang, tidak stagnan, walau 10 menit terakhirnya agak dipaksakan (bagaimana bisa Jong-tak si mantan marinir tangguh kehilangan jejak Do-sik dalam sekejap?), pun cukup banyak porsi masih dihabiskan oleh adegan kejar-kejaran di gang sempit yang sudah (terlalu) sering kita temui di film dan drama Korea Selatan.
Fakta bahwa ada dua karakter bisu dan tuli, turut menambah dinamika. Kyung-mi dan sang ibu dapat berkomunikasi tanpa dipahami detailnya oleh Do-sik. Ki-joo tampil solid sebagai wanita yang menolak mengibarkan bendera putih, sekaligus enggan menjadikan kondisi fisiknya sebagai kekurangan. Demikian pula Hae-yeon, yang sepanjang 2021 memamerkan jangkauan akting luas melalui tokoh-tokoh berbeda, termasuk di Law School dan Beyond Evil.
Konklusi Midnight menyentil tendensi publik yang tak mempercayai korban, apalagi jika mereka kesulitan memahami karena keterbatasan fisiknya. Alhasil si korban harus mempertaruhkan nyawa agar dapat dipercaya. Sepanjang film, beberapa kali juga kita menyaksikan, pelaku berhasil lolos justru akibat ketidakbecusan aparat. Sekali lagi, semua bukan karena cara berpakaian.
(KLIK FILM & IQIYI)
REVIEW - SCHOOLGIRLS
Di sebuah konven, beberapa gadis remaja berbaris di tengah kelas paduan suara. Sang suster menginstruksikan beberapa dari mereka untuk berlatih lip sync. Salah satunya protagonis kita, Celia (Andrea Fandos). Beberapa waktu berselang, tim paduan suara itu tampil di atas panggung, bernyanyi dengan baik sesuai perintah. Kecuali Celia. Dia melakukan suatu hal yang mungkin bakal memancing kekesalan susternya.
Dua momen di atas merupakan adegan pembuka dan penutup Schoolgirls, pemenang lima kategori Goya Awards 2021 termasuk Best Film. Dua momen yang mewakili inti cerita filmnya, yakni tentang proses seorang remaja menemukan keberanian menampik kepalsuan, lalu membiarkan dirinya bersinar apa adanya.
Celia berusia 11 tahun. Masa di mana rasa penasaran akan banyak hal mulai tumbuh. Tapi Celia terpaksa memendamnya demi menjadi siswi berprestasi, sekaligus puteri yang patuh bagi ibunya, Adela (Natalia de Molina). Sampai kehadiran murid baru bernama Brisa (Zoe Arnao), pula perkenalannya dengan beberapa senior, membawa Celia memasuki dunia baru.
"Shush" jadi salah satu kata yang paling sering terdengar dalam film ini. Schoolgirls dipenuhi aktivitas "mendiamkan". Sedikit saja siswa bersuara, para suster segera membungkam mereka. Ketika Celia bertanya, "How do you know if God exist?", ibunya menjawab "Just because". Jawaban serupa diberikan bagi pertanyaan-pertanyaan lain. Tiada penjelasan, tiada dialog. Celia, dan remaja lain, dipaksa menurut, tanpa diberi kesempataan memahami alasannya.
Apa yang terjadi bila penolakan terjadi? Rupanya masih sama. Celia pernah mendatangi kelab malam bersama teman-temannya. Dia tidak melakukan apa pun. Tidak menenggak alkohol, pun ia menolak halus saat ada pria mendekatinya. Di perjalanan pulang, Celia menumpang motor sepupu sahabatnya, Cristina (Julia Sierra), yang kebetulan adalah pria berusia lebih tua. Tapi sekali lagi, tidak terjadi apa-apa. Sialnya, salah satu suster menyaksikan itu, lalu melapor pada Adela. Esoknya, Adela mendiamkan Celia, sedangkan di kelas, sang suster menyuruh Celia mengerjakan soal di depan kelas. Bukan agar ia paham, namun hanya untuk memarahi.
Pilar Palomero selaku sutradara sekaligus penulis naskah (memenangkan Goya Awards di kategori Best New Director dan Best Original Screenplay), mengkritisi edukasi remaja, yang lebih banyak mengekang dan membatasi ketimbang menjelaskan. Salah satunya perihal seksualitas. Bagaimana cara aman berhubungan seks? Apa itu kondom? Pertanyaan-pertanyaan penting tersebut malah tak diajarkan, baik di sistem pendidikan resmi, maupun di rumah oleh orang tua.
Di kelas, suster cuma mendikte "pelajaran" seks membosankan, yang mungkin sudah diketahui murid-murid lewat majalah (latarnya 1992, jadi belum ada internet) berisi artikel-artikel yang jauh lebih menarik. Pun beberapa kali kita mendengar televisi membahas pro-kontra edukasi kondom, yang oleh beberapa pihak, dianggap merusak moral remaja karena mendorong seks bebas.
Tanpa edukasi yang bersifat merangkul, remaja akhirnya berinisiatif melakukan pencarian, begitu menemukan pintu yang membuka ruang eksperimen. Brisa menjadi pintu bagi Celia, walau seiring waktu, peran Brisa semakin tak signifikan, karena dari naskahnya muncul kesan bahwa Celia sanggup "membuka matanya" sendiri, tanpa perlu ada teman baru dari kota yang mengguncang zona nyaman.
Palomero memakai rasio 1.37 : 11, mungkin supaya penonton dapat ikut merasakan perasaan terkurung sebagaimana karakternya. Pilihan artistik itu juga membantu tersampaikannya akting. Andrea Fandos, dalam debut layar lebarnya, membuktikan ia merupakan calon bintang. Senyumnya memiliki kemurnian khas bocah polos, juga jadi bentuk ekspresi malu-malu akibat rasa ragu. "I like this, but is this allowed?", mungkin demikian ucapnya dalam hati. Momen terkuat Fandos adalah tiap Celia berdiri diam, menatap tajam lawan bicaranya, jengah atas segala kekangan, sembari menekan amarah yang bisa meluap kapan saja. Sayang, aturan Goya Awards mengharuskan nominee berumur minimal 16 tahun, sehingga ia tak meraih nominasi (Fandos baru 12 tahun). Natalia de Molina tidak kalah mumpuni, memperlihatkan rasa bersalah seorang ibu yang kesulitan mempertahankan kehidupan agar tidak hancur berantakan.
Walau masih berkutat di formula "remaja mencari identitas di tengah lingkungan konservatif dengan mendobrak norma", itu tidak mengurangi kekuatan penuturan Schoolgirls, yang tetap relevan, mengaduk-aduk emosi, sambil menjaga tone supaya tak terlalu kelam. Lagipula ini adalah sajian tentang aksi "coba-coba" para remaja, yang tentunya menggelitik. Ada kekesalan dan air mata, begitu pula senyum dan tawa.
(EUROPE ON SCREEN 2021)
REVIEW - SHANG-CHI AND THE LEGENDS OF THE TEN RINGS
Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings takkan menghasilkan dampak kultural signifikan sebagaimana Black Panther, karena representasinya terhadap Asia masih amat terbatas. Pun jika familiar dengan film-film wuxia, khususnya yang dibintangi Jackie Chan, disutradarai Zhang Yimou, atau diproduseri Shaw Brothers, apa yang ditawarkan sutradara Destin Daniel Cretton (Short Term 12, Just Mercy) dan tim sama sekali tidaklah baru. Tapi apakah semua itu wajib?
Hal-hal di atas memang menghalangi tercapainya potensi, namun berkaca pada iklim film pahlawan super yang masih terlalu Barat-sentris, apa yang Shang-Chi tawarkan tetap memberi angin segar.
Shang-Chi, yang kini memakai nama Shaun (Simu Liu), menyembunyikan identitasnya sebagai jago kung-fu, menjalani hidup sederhana sebagai valet bersama sahabatnya, Katy (Awkwafina). Sampai terjadilah reuni antara Shang-Chi dengan adiknya, Xu Xialing (Meng'er Zhang), yang kini mengelola underground fight club di Makau, juga ayah mereka, Xu Wenwu (Tony Leung), si pemimpin Ten Rings, organisasi yang namanya diambil dari sepuluh cincin ajaib, yang memberinya kekuatan super sekaligus keabadian.
Dibuat Cretton bersama Andrew Lanham (The Glass Castle, Just Mercy) dan Dave Callaham (The Expendables, Wonder Woman 1984), naskahnya masih menawarkan formula familiar seputar keluarga disfungsional, yang kemudian menggiring proses pencarian jati diri sang protagonis. Karena sejak kecil dilatih sebagai pembunuh, apakah berarti itu merupakan takdir yang tak bisa ia lepaskan? Pertanyaan itu sudah kita ketahui secara pasti jawabannya.
Naskahnya memang tidak beranjak dari tuturan formulaik, tidak pula mengeksplorasi temanya lebih mendalam, namun porsi drama, terutama perihal hubungan keluarga, mampu tampil solid berkat Tony Leung. Di tangan sang aktor legendaris, Wenwu bukan villain yang bakal kita benci, melainkan pahami. Leung tidak hanya memberi karisma sosok pembunuh yang telah hidup ribuan tahun, juga kerapuhan pria biasa yang kehilangan cintanya, kehilangan alasan terbesarnya untuk memiliki hati nurani. Dia bukan figur penghancur dunia. Tapi demi mengembalikan "dunianya" yang hancur, Wenwu rela bila harus menghancurkan dunia. Menyaksikan Leung membuat saya berpikir, "Kalau ditempatkan di situasinya, apakah akan melakukan hal yang sama?".
Di ranah aksi, Cretton menggabungkan tiga elemen, yakni pertempuran masif sarat CGI khas MCU, baku hantam chaotic ala Jackie Chan, dan seni bela diri selaku ekspresi rasa serta filosofi sebagaimana kerap dipakai Zhang Yimou. Dua jenis terakhir tampil paling mengesankan. Simu Liu dan Meng'er Zhang (such badass) membantu Cretton memaksimalkan latar kreatif aksinya (bus, konstruksi gedung pencakar langit), yang juga mengedepankan koreografi, sambil menekan jumlah manipulasi lewat penyuntingan.
Pengaruh karya-karya Zhang Yimou terasa betul pada pertemuan perdana Wenwu dengan sang istri, Ying Li (Fala Chen), dan ketika Shang-Chi dilatih oleh bibinya, Ying Nan (Michelle Yeoh). Ketimbang perkelahian, momen-momen tersebut lebih seperti pertukaran rasa. Yeoh, berbekal pengalaman membintangi judul martial arts selama hampir empat dekade, bergerak indah, namun tidak lemah, layaknya entitas yang sudah mengentaskan diri dari fase duniawi.
Tapi Shang-Chi tentu saja masih installment MCU dengan segala ramuan khasnya (for better or worse). Humor yang meski cenderung hit-and-miss tetap memancing beberapa tawa, ekspansi universe melalui deretan cameo serta hint bahwa sang protagonis bakal memegang peranan besar di masa depan, pula set-piece aksi masif yang tetap punya tempat, kendati di paruh akhir, filmnya mendekatkan diri ke nuansa fairytale, ketika latar bergerak memasuki dunia fantasi penuh hewan-hewan mitologi.
CGI di klimaksnya agak inkonsisten, yang mungkin disebabkan karena bujet dialokasikan untuk membungkus pertarungah terakhir, saat Shang-Chi berpindah ke genre kaiju. Di satu sisi, pilihan ini melucuti keintiman emosional yang dibawa elemen wuxia, tapi di sisi lain, turut menegaskan bahwa wajah film Asia bukan cuma martial arts, sebagaimana stigma yang sering disematkan terhadapnya.
REVIEW - PRISONERS OF THE GHOSTLAND
Kolaborasi antara Sion Sono yang dijuluki "the most subversive Japanese filmmaker" dengan Nicolas Cage si master Nouveau Shamanic, dalam film berjudul sekeren Prisoners of the Ghostland. Terdengar sempurna dan menjanjikan kegilaan yang mustahil berujung kegagalan.
First act-nya nampak berhasil memenuhi janji tersebut. Bahkan sejak menit-menit awal, ketika Cage, si jagoan tanpa nama yang kelak dipanggil "Hero", merampok bank bersama Psycho (Nick Cassavetes). Segala sisi bank itu berwarna putih, sementara karyawannya mengenakan seragam dengan warna berbeda-beda. Cage masuk, mengacungkan senjata, lalu berteriak, "Banzai!".
Jangan tanyakan alasannya. Prisoners of the Ghostland adalah jenis film di mana penonton bakal sulit menikmati, bila mempertanyakan, "Kenapa si A bertingkah demikian? Kenapa si B bicara seperti itu? Kenapa penampilan si C aneh?", dan semacamnya. Kita cukup menerima bahwa pasca tragedi pada perampokan tadi, Hero ditangkap oleh The Governor (Bill Moseley), yang kedatangannya diiringi barisan wanita berkimono, yang bertepuk tangan sembari menyanyikan namanya.
The Governor memimpin area kekuasaannya secara semena-mena, pula mencampurkan kultur Jepang dan wild west, yang tentu dipilih demi alasan estetika, dan bukan wujud kritik seputar westernisasi, kolonialisme, dan sebangsanya. Sekali lagi, itu memang tidak penting. Tidak perlu diambil pusing. Kita hanya perlu tahu kalau The Governor meminta Hero mencari cucunya, Bernice (Sofia Boutella), yang ditengarai hilang di Ghostland, sebuah tempat tandus penuh misteri. Konon, hantu-hantu keji meneror di sana.
Jika berhasil, maka Hero akan diberi kebebasan. Sebagai jaminan, ia harus mengenakan kostum khusus yang dipasangi peledak di tiga area: leher, tangan, dan testikel. Apabila timbul impuls menyakiti wanita, maka salah satu bom langsung meledak. Sudah terbayang tontonan seperti apakah film ini?
First act-nya amat menghibur. Ciri khas sang sutradara, ditunjang naskah buatan Aaron Hendry dan Reza Sixo Safai, memunculkan keabsrudan menggelitik. Nyaris tidak ada shot terbuang percuma. Sono memastikan, kapan pun mata tertuju ke layar, kita selalu dibuat geleng-geleng kepala oleh keanehannya. Entah berasal dari properti eye-catching, kostum unik, atau tingkah tokoh-tokohnya.
Tentu Cage jadi sosok terdepan, sebagai jagoan yang saking badass-nya, lebih memilih menaiki sepeda keranjang daripada mobil mewah kala menjalankan misi. Di titik ini saya sadar, apabila Cage tampil buruk, itu bukan kekeliruannya, melainkan si pembuat film tidak tahu bagaimana memanfaatkan talenta sang aktor. Ketika dibiarkan lepas, Cage, yang di sini secara berapi-api berteriak, "TESTIKEL!", selalu memuaskan dahaga pencari hiburan.
Sayangnya, seiring berjalannya durasi, justru Sono yang tampak menahan diri dalam debut film Bahasa Inggrisnya ini. Seperti biasa, penyutradaraan Sono tak memperhatikan tetek bengek pacing atau pembangunan intensitas, dan sepenuhnya fokus melempar apa pun yang bisa ia lempar ke layar. Walau bisa menyulap momen yang di atas kertas membosankan jadi sajian unik (eksposisi mengenai sejarah terciptanya Ghostland dikemas bak performance art), Sono seolah malah kehabisan ambunisi saat dihadapkan pada adegan yang semestinya menarik.
Aksinya medioker, meskipun memiliki samurai, koboi, pasukan "hantu", dan tentunya Nicolas Cage. Eksekusinya terlampau serius dan jinak untuk sebuah film yang menjanjikan kegilaan ala b-movie. Naskahnya pun turut bertanggung jawab. Penuturan berantakan tak tentu arah bisa (bahkan harus) dimaklumi dalam suguhan macam ini, namun tidak dengan keliaran yang direm. Prisoners of the Ghostland masih punya keunikan, terutama di ranah visual, namun kolaborasi Sion Sono dan Nicolas Cage seharusnya tidak sewaras ini.
Available on KLIK FILM
REVIEW - BULADÓ
Kata "buladó" memiliki "ikan terbang". Tepatnya ikan terbang berukuran sedang cenderung besar dengan sayap berwarna gelap. Kata tersebut muncul dalam sebaris doa milik suku asli Curaçao, negara pulau yang berada di bawah konstitusi Belanda. Bunyinya dalam Bahasa Inggris, "Flying fish can't drown". Doa itu dipanjatkan bagi arwah leluhur, yang mewakili kepercayaan bahwa kematian bukanlah akhir. Kematian mesti diterima sebagai bagian kehidupan.
Tentu mempercayai itu tidaklah mudah, apalagi saat budaya kepercayaan makin terkikis oleh modernisasi. Sebagai polisi berpikiran rasional, Ouira (Everon Jackson Hooi) menampiknya. Itulah mengapa, selepas bertahun-tahun, duka akibat kematian sang istri belum juga sembuh. Dia jarang mengunjungi makam.
Sebaliknya, Weljo (Felix de Rooy), ayah Ouira, masih sangat memegang teguh budaya leluhur, menolak sentuhan modern, membangun pohon pemujaan dari rongsokan, sehingga dianggap gila oleh warga. Gesekan kepercayaan itu merenggangkan hubungan mereka. Terlebih saat Ouira berniat menjual tanahnya ke pengusaha kulit putih.
Tapi Buladó, yang mewakili Belanda di ajang Academy Awards 2021, tak berfokus pada keduanya, melainkan menyoroti si generasi ketiga, bocah 11 tahun bernama Kenza (Tiara Richards). Kenza, yang terhimpit di antara prinsip ayah dan kakeknya, kerap memancing masalah di sekolah, entah karena bolos atau berkelahi. "Mungkin ia merindukan sosok ibu", ucap kepala sekolah, yang dibantah oleh Ouira, "Bagaimana bisa merindukan sesuatu yang tidak pernah kita punya?".
Memori Kenza tentang ibunya memang nyaris tidak ada. Tapi benarkah tiada kerinduan? Sutradara Eché Janga, yang merupakan keturunan orang asli Curaçao, menulis naskah film ini bersama Esther Duysker, (salah satunya) untuk mempertanyakan hal di atas. Sebab apabila mengacu ke budaya Curaçao, jalinan hubungan keluarga tak cuma berhenti di ranah fisik, melainkan spiritual.
Alurnya mengentengahkan proses protagonisnya mencari jawaban, lewat perpaduan coming-of-age, cerita religi (yang benar-benar menekankan religiusitas), dan magic realism. Muncul adegan saat Kenza berbaring di atas makam ibunya. Matanya terpejam, warna langit berubah, semilir angin menyentuh badannya. Secara kasat mata, tidak ada hal signifikan terjadi, dan bukankah hembusan angin merupakan fenomena alam biasa?
Pemikiran rasional tentu berkata demikian, namun di titik tersebut, Kenza yang tadinya menaruh skepktis terhadap kakeknya, mulai membuka hati, membuka ruang spiritual, walau tidak disengaja. Rasanya kita pun kerap mengalami peristiwa serupa, ketika semesta seolah berbicara, yang acap kali kita tolak dengan pernyataan, "Ah, cuma perasaan saja".
Menurut Buladó, dengan magic realism miliknya, semua itu bukan sekadar perasaan atau kebetulan. Memang semesta sedang bicara, namun hanya mereka yang mau "merasakan" yang dapat mendengarnya, atau dengan kata lain, "menyatu dengan alam". Perihal membangun kesan magic realism, selain deretan lanskap indah hasil tangkapan Gregg Telussa selaku sinematografer, Janga banyak memakai angin. Seolah angin adalah perpanjangan tangan semesta. Angin sering terlihat menggerakkan benda-benda, pun lebih sering kita dengar dibanding kalimat dari mulut karakter. Ditambah musik buatan Christiaan Verbeek, Buladó makin terasa dreamy.
Apa yang perlu filmnya perbaiki (atau lebih tepatnya, tambahkan) adalah soal titik balik. Kita tahu "adegan kuburan" merupakan titik balik Kenza menyikapi spiritualisme, namun bagaimana dengan prosesnya menerima konsep kematian? Bagaimana titik balik dari perjalanan Ouira memandang kepercayaan leluhur dan kolonialisme? Tentu kita melihat mereka pelan-pelan belajar, tapi dalam film, di mana penonton harus terikat secara emosional, perlu ada titik balik yang pasti. Bukan berarti Buladó mesti menambah dramatisasi layaknya tontonan arus utama. Justru sebaliknya, dari situlah ia bisa memaksimalkan estetika pembungkus keajaibannya.
Watched it on EUROPEAN ON SCREEN 2021
REVIEW - ROSA'S WEDDING
"Selamat menempuh hidup baru". Begitu ucapan yang sering diterima mempelai saat melangsungkan pernikahan. Sebenarnya tidak keliru, sebab menikah memang suatu babak baru. Menjadi kurang tepat, ketika muncul anggapan, bahwa membuka lembaran baru harus melalui pernikahan. Bahwa agar bisa menekan tombol "reset", perlu ada kehadiran orang lain dalam hidup kita.
Di usia 45 tahun, Rosa (Candela Peña), seorang ibu tunggal, hidup dengan kesibukan luar biasa. Di luar pekerjaan sebagai penjahit kostum film yang sudah memakan banyak waktu, ia masih meluangkan tenaga mengurus keluarga. Kedua saudaranya, Armando (Sergi López) dan Violeta (Nathalie Poza), terlalu sibuk sehingga tak sempat mengurus ayah mereka, Antonio (Ramón Barea), yang kesehatannya mulai menurun. Tanggung jawab itu diberikan pada Rosa. Belakangan, Antonio mengutarakan keinginan tinggal bersama di apartemen sang puteri.
Bukan itu saja, tiap malam Rosa juga mengurus anak-anak Armando, kucing temannya, hingga tanaman tetangganya yang berlibur selama 20 hari. Rosa sibuk memuaskan orang lain, tapi pernahkah ia memuaskan diri sendiri? Beban pikirannya masih ditambah soal puterinya, Lidia (Paula Usero), yang hidup kekurangan bersama suami dan anak kembarnya di Manchester (filmnya berlatar di Valencia).
Adegan pembuka Rosa's Wedding memperlihatkan mimpi protagonisnya, kala menjalani maraton, sementara di sepanjang jalan, keluarganya tak henti melempar dukungan. Alih-alih bersemangat, Rosa malah terganggu. Begitulah kehidupan Rosa. Semua orang punya ekspektasi atas dirinya, berteriak agar ia jadi yang terbaik, dan itu justru memberi beban. Di akhir mimpi, walau sudah melewati garis finis, Rosa tetap berlari. Dia berlari bukan demi memenangkan lomba sebagaimana diharapkan orang-orang, tapi untuk kepuasan pribadi.
Naskah buatan Icíar Bollaín (juga bertindak selaku sutradara) dan Alicia Luna membawa karakter utamanya mengambil langkah berani. Rosa yang lelah, memilih pulang ke kampung halaman, mengunjungi toko tempat mendiang ibunya membuat pakaian semasa ia kecil, kemudian mengirim berita dadakan bagi keluarganya: Dia akan menikah.
Bukan pernikahan biasa, dan saya takkan membocorkan rencana Rosa, tapi dari paragraf pembuka tulisan ini, yang merupakan pesan utama filmnya, mungkin anda sudah bisa menerka. Pastinya, seluruh anggota keluarga terkejut. "Kenapa tiba-tiba?", tanya mereka. Rosa memiliki kekasih bernama Rafa (Xavo Giménez), namun hubungan keduanya dipandang belum seserius itu.
Tapi toh kebingungan serta keterkejutan itu tidak menghalangi mereka bersikap seperti biasa. Mengontrol kehidupan Rosa. Armando dan Violeta langsung memilihkan gaun, bahkan menyewa balai kota sebagai lokasi pernikahan, tanpa berdiskusi dengan sang pengantin. Berkali-kali muncul perkataan, "Rosa, ini pernikahanmu, jadi kamu harus melakukan yang terbaik". Pertanyaannya, "Terbaik bagi siapa?". Dan jika ini pernikahan Rosa, mengapa ia tak berkesempatan bersuara?
'Rosa's Wedding' hits too close to home. Rasanya mayoritas dari kita pernah dibuat jengah oleh kontrol keluarga, yang mengatasnamakan niat "agar kita mendapatkan yang terbaik". Niat yang (mungkin) sebenarnya baik, namun kerap disalahgunakan sebagai alat penyalur ego. Satu hal lagi sering dilupakan. Sebelum menjadi makhluk sosial, sebelum menjalani peran sebagai anggota keluarga, manusia adalah individu, sehingga harus membahagiakan diri sendiri dahulu sebelum membahagiakan orang lain.
Penyutradaraan Bollaín memastikan penonton ikut merasakan lelah dan kesalnya Rosa, yang terjebak di tengah berondongan omongan-omongan (kadang teriakan) keluarga. Beberapa kali kepenatan suasana dikemas secara menggelitik, walau timbul kesan kalau Bollaín terlalu khawatir filmnya terkesan konyol, sehingga menekan banyak potensi humor.
Penampilan Candela Peña, dengan kepiawaian menghidupkan frustrasi yang terpendam, makin memudahkan kita mendukung Rosa, berharap di satu titik ia bakal berdiri tegak dan berkata, "Tidak!". Seperti halnya humor, Bollaín pun cenderung meredam dramatisasi film ini. Hasilnya agak mixed.
Ada satu momen, selaku resolusi konflik Rosa dan Lidia, yang dikemas sederhana, tanpa musik, dibungkus memakai close-up guna menyoroti akting kedua aktris. Momen itu berhasil menangkap keintiman hubungan ibu-anak. Efek serupa sayangnya tidak muncul di penghujung cerita. Setelah melalui rentetan kekesalan bersama karakternya, keputusan Bollaín meredam dramatisasi malah mengurangi emotional payoff. Serasa masih ada rasa yang bergejolak, tertahan untuk dikeluarkan dari dalam dada.
Tapi itu tak mengurangi relevansi dan kehangatan Rosa's Wedding, yang seiring berjalannya durasi, mengungkap kalau semua anggota keluarga menyimpan masalah. Armando dengan pernikahannya, Violeta dengan pekerjaannya (memberi kesempatan Poza menambah kompleksitas si tokoh, lewat performa yang memberinya piala Goya Awards kedua sepanjang karir), Lidia dengan kondisi perekonomiannya, Antonio dengan duka sepeninggal sang istri yang belum kunjung sembuh.
Apakah keputusan Rosa mengejar kepuasan pribadi, biarpun bukan cuma dirinya yang tertekan, merupakan wujud egoisme? Tentu tidak. Pertama, naskahnya memastikan bahwa kondisi tersebut turut memunculkan dilema di batin Rosa. Kedua, Rosa's Wedding bukanlah soal "tak mengacuhkan masalah keluarga". Sebaliknya, ia mengembalikan konsep keluarga ke akarnya, yaitu kebersamaan. Keluarga harus saling mendengar, harus adil, lalu mengatasi kesulitan bersama-sama, ketimbang melimpahkannya ke satu orang saja.
Watched it on EUROPE ON SCREEN 2021
REVIEW - HARD HIT
Dirilis 23 Juni lalu, Hard Hit jadi film Korea Selatan pertama tahun ini, yang memperoleh 500 ribu penonton (total ditonton 952 ribu orang di akhir masa penayangan), menandai bangkitnya geliat industri bioskop di sana. Berikutnya, Escape from Mogadishu (terlaris sejauh ini dengan lebih dari 3,4 juta penonton), Sinkhole, dan Hostage: Missing Celebrity sukses menembus angka enam digit.
Hard Hit merupakan remake kedua dari film Spanyol berjudul Retribution (2015). Remake ketiganya yang diproduksi Hollywood (juga menggunakan judul Retribution) sedang melakukan pengambilan gambar, dengan Liam Neeson sebagai bintang utama. Ya, ini adalah tontonan yang menjual ketegangan sarat aksi, sehingga kesuksesan finansialnya bisa dipahami, pula mengapa hak pembuatan remake-nya laris manis.
Alurnya pun tidak buang-buang waktu, langsung memposisikan kita ke tengah aksi. Seong-gyu (Jo Woo-jin), kepala kantor pusat sebuah bank di Busan, sedang mengantar kedua anaknya, Hye-in (Lee Jae-in) dan Min-joon (Kim Tae-yool), saat sebuah ponsel tak dikenal berdering dari dalam dashboard. Terdengarlah suara pria misterius (Ji Chang-wook), yang mengaku telah memasang bom di bawah kursi mobil Seong-gyu.
Pria itu meminta sejumlah uang. Bila tak dituruti, atau Seong-gyu lapor ke polisi, ia akan meledakkan bomnya. Pun karena bekerja seperti ranjau, alias diaktifkan oleh tekanan, bom juga akan meledak jika ada penumpang keluar dari mobil.
Materi yang menarik, tapi sulit dieksekusi, karena baik naskah maupun penyutradaraan (sama-sama ditangani Kim Chang-ju, yang sebelumnya menjadi editor banyak judul besar seperti Snowpiercer, The Admiral: Roaring Currents, A Hard Day, dll.), mesti cerdik berkreasi, walau mayoritas kisah hanya berlatar di dalam mobil.
Kunci film dengan konsep semacam ini berpusat pada satu pertanyaan, "Apa yang protagonisnya lakukan?". Protagonis Hard Hit bukan mantan militer atau agen rahasia. Seong-gyu cuma pegawai swasta biasa. Wajar ia hanya menurut, dan tidak memutar otak lebih keras guna mengakali perangkap si pelaku. Bukannya tidak cukup cerdas, namun mentalnya tak cukup terlatih menghadapi situasi genting (yang membuat ending-nya jadi terkesan dipaksakan).
Lalu apa yang Seong-gyu lakukan? Mengumpulkan uang dengan cara menelepon para klien VIP agar mau berinvestasi saat itu juga. "Proses mengumpulkan uang" memang terdengar membosankan dibandingkan "usaha menjikakkan bom". Bisa berhasil, selama disokong penyutradaraan mumpuni. Sewaktu pedal gas diinjak dan kita dibawa kebut-kebutan mengelilingi kota, atau tiap bom meledak secara tak terduga (ada bom selain yang terpasang di mobil Seong-gyu), Chang-ju mampu menciptakan aksi intens.
Ketika membawa aksinya ke luar mobil, dengan skala lebih besar, Hard Hit cukup menghibur. Sebaliknya, jika skala konflik mengecil, murni menaruh fokus pada dinamika antar manusia, Chang-ju seolah tidak tahu harus berbuat apa. Monoton. Membosankan. Bahkan performa habis-habisan Jo Woo-jin sebagai pria yang frustrasi di balik kemudi, juga talenta dramatik Lee Jae-in yang belakangan makin populer berkat drama Racket Boys, tak banyak membantu. Andai Jin Kyung tidak disia-siakan, dan karakternya, Yeong-hee si ketua tim penjinak bom diberi porsi lebih, mungkin film ini bakal mendapat tambahan dinamika.
Lubang terbesar Hard Hit memang ada di penulisan. Terselip subteks perihal bagaimana korporasi yang tanpa perasaan bisa menghancurkan siapa saja, bahkan termasuk internalnya, namun terlampau dangkal untuk bisa meninggalkan dampak emosional. Demikian pula usaha naskah menggiring penonton agar bersimpati pada si pelaku. Akibat penokohan dangkal yang gagal menerjemahkan duka (kemudian berkembang jadi dendam) karakternya, sulit menjustifikasi aksinya, yang tak mengasihani anak kecil.
Selain dangkal dan monoton, Hard Hit juga terlalu bergantung pada blunder kepolisian. Sungguh, polisi di film ini sangat bodoh. Mereka tidak sadar bahwa Seong-gyu diancam dan mengira ia pelaku pengeboman, tidak melakukan verifikasi tatkala ada pria asing mengaku sebagai saudara Seong-gyu, dan kebodohan-kebodohan lain, yang hadir bukan selaku kritik atas ketidakbecusan aparat, tapi murni alat yang naskahnya pakai demi memunculkan konflik.
REVIEW - ESCAPE FROM MOGADISHU
Setelah lebih dari dua bulan, bioskop akhirnya kembali dibuka. Ada empat judul tayang perdana, plus F9 yang pemutarannya sempat terputus. Mana yang sebaiknya ditonton pertama? Mayoritas bakal menyebut The Suicide Squad, tapi bagi saya, jawabannya adalah Escape from Mogadishu. Karya terbaru Ryoo Seung-wan (The Berlin File, Veteran, The Battleship Island) si master blockbuster Korea Selatan ini, mengingatkan betapa theatrical experience bisa begitu emosional dan thrilling, sehingga tak tergantikan oleh medium apa pun.
Tahun 1991, Mogadishu, Somalia. Korea Selatan, diwakili sang duta besar, Han Sin-seong (Kim Yoon-seok), dan anggota intelijen NIS (dahulu ANSP), Kang Dae-jin (Jo In-sung), tengah melobi status keanggotaan PBB. Begitu pula Korea Utara, yang dipimpin duta besarnya, Rim Yong-su (Heo Joon-ho). Mereka bersaing, saling menjatuhkan, mulai dari mengirim preman setempat guna melancarkan serangan, hingga memainkan berita lewat media.
Sekitar 25 menit pertama dihabiskan untuk menggambarkan intrik kedua negara, yang sama-sama lupa tengah berada di negara rawan konflik. Benar saja, perang sipil memanas tatkala para pemberontak semakin jengah atas kediktatoran Presiden Siad Barre beserta militernya. Baku tembak pecah, suplai makanan menipis, akses komunikasi terputus, listrik mati, dan blokade terjadi di banyak tempat.
Seperti judulnya, fokus Escape from Mogadishu, yang naskahnya ditulis Ryoo Seung-wan dan Lee Gi-chel (The Thieves, Assassination), adalah soal upaya karakternya kabur dari Mogadishu. Tapi ini bukan kisah bertahan hidup biasa, sebab Korea Selatan dan Korea Utara mau tidak mau harus bahu-membahu, mengesampingkan intrik politik agar selamat.
Escape from Mogadishu meluangkan cukup banyak (bahkan agak terlalu banyak) waktu di second act, untuk menggambarkan sulitnya kedua pihak menaruh rasa percaya. Bahkan santap bersama pun harus dibarengi rasa khawatir, andai terdapat racun dalam makanan. Setelah transgender di Jane (2017), penyintas sinting di Peninsula (2020), prajurit bengis di Kingdom: Ashin of the North (2021), juga tentara kocak di serial D.P. (2021), Koo Kyo-hwan, salah satu rising star paling potensial Korea Selatan, kembali membuktikan punya jangkauan akting luas sebagai Tae Joon-ki, anggota MSS Korea Utara yang selalu mencurigai tiap gerak-gerik Korea Selatan.
Ada sebuah peristiwa yang bagi saya sangat bermakna, terjadi setelah dua perwakilan negara sepakat bekerja sama. Karena memiliki rekan politik berbeda, mereka harus berjalan terpisah guna mencari bantuan. Korea Selatan mengunjungi kedutaan Italia, sementara Korea Utara mendatangi kedutaan Mesir. Momen itu bak menyampaikan, biarpun reunifikasi belum terjadi, bukan berarti orang-orangnya tak bisa bersatu. Walau secara fisik terpisah, jiwa mereka disatukan oleh satu asas bernama "kemanusiaan".
Aksinya baru benar-benar memuncak di third act. Diawali taktik kreatif terkait "cara agar mobil mampu melewati terjangan peluru", Ryoo Seung-wan sekali lagi bak mencontohkan pada sutradara-sutradara blockbuster Hollywood, bahwa bujet ratusan juta dollar demi mendanai polesan CGI bukanlah kewajiban. Biaya film ini "cuma" 24 miliar won, atau sekitar 21 juta dollar, yang mana belum cukup untuk memproduksi The Conjuring 3.
Bersama Choi Young-hwan selaku sinematografer langganannya, Ryoo Seung-wan piawai membangun intensitas aksi melalui permainan kamera, yang memadukan pergerakan lincah (termasuk trik sewaktu kamera menembus mobil-mobil yang sedang melaju kencang), dengan shaky cam yang tidak pernah membuat penonton kesulitan mencerna peristiwa di layar, apalagi merasa pusing dan mual. Beberapa set piece berskala besar ada di sini, melibatkan kekacauan yang tertata rapi hingga ke ranah detail. Seolah set piece masih merupakan taman bermain bagi sang sutradara.
Ending-nya memberi konklusi sempurna pasca rangkaian ketegangan klimaksnya. Penutup penuh harapan nan emosional, mengenai iklim politis yang menghalangi ikatan kemanusiaan. Tapi selama ikatan itu terus hidup dalam hati orang-orang, bersama cerita-cerita indah tentang kebaikan antar sesama, konflik politik sekuat apa pun takkan mampu membunuh kemanusiaan.
REVIEW - NO MAN OF GOD
Apa masalah utama film yang dibuat berdasarkan sosok pembunuh dalam kehidupan nyata? Karena berbagai alasan, banyak penceritaan berkedok "eksplorasi psikis" justru jatuh ke ranah glorifikasi. Sebagai salah satu nama paling populer, glorifikasi akan aksi Ted Bundy jelas kerap diangkat, dan tak luput dari permasalahan serupa. Dia adalah monster dengan kekejaman yang dipandang menarik, keren, "seksi".
Kita perlu "suara" berbeda, dan melalui No Man of God, Amber Sealey selaku sutradara memiliki suara itu. Suara sineas wanita, yang melihat kebengisan Bundy memperkosa dan membunuh 30 wanita (jumlah yang dia akui, walau angka pastinya kemungkinan lebih dari itu), murni hal menjijikkan yang tak layak dirayakan.
Naskah karya Kit Lesser (nama pena C. Robert Cargill, penulis Sinister dan Doctor Strange), yang berpijak pada transkrip obrolan Bundy dengan agen FBI, Bill Hagmaier, dari 1984 sampai 1989. Hagmaier (Elijah Wood) merupakan agen muda yang bertugas melakukan profiling terhadap para pembunuh, mengadakan wawancara guna mengetahui isi pikiran mereka. Bundy (Luke Kirby) jadi target terbarunya.
Sejak ditangkap tahun 1975, Bundy selalu mengelak mengakui segala perbuatannya. Tapi berbeda dengan agen-agen sebelumnya, Hagmaier berusaha memperlakukan Bundy seperti manusia "normal". Bukan iblis, bukan penderita gangguan jiwa. Setelah beberapa waktu, hubungan keduanya makin erat, sampai di titik Bundy menyebut Hagmaier sebagai sahabat.
Miskonsepsi besar yang sering dilakukan penulis adalah menjadikan Ted Bundy figur monster. Makhluk bigger-than-life penuh kegelapan yang mustahil dipahami. Di situlah terjadi glorifikasi, baik disengaja maupun tidak. No Man of God sebaliknya, memposisikan Bundy sebagai manusia biasa. Tidak spesial.
Bundy merasa dirinya spesial. Sebagaimana diyakini Hagmaier pasca pertemuan perdana mereka, Bundy enggan mengaku, namun secara tersirat ingin FBI tahu bahwa seluruh pembunuhan tersebut memang ia lakukan. Dia ingin dipandang hebat, luar biasa, besar, dominan. Prestasi No Man of God terletak pada keberhasilan melucuti mitos si pembunuh. Bahwa di balik kepercayaan diri dan aura intimidatifnya, Bundy tak lebih dari pria busuk. Seorang pecundang menyedihkan, yang kalang kabut, kehilangan kontrol diri seiring mendekatnya hari eksekusi pada 24 Januari 1989.
Bundy tidak spesial, dan karena itu aksinya pun bisa dilakukan siapa saja. Termasuk Hagmaier, yang digambarkan relijius. Dia rutin berdoa, pun salib menggantung di mobilnya. Tapi semakin jauh ia menyelami psikis Bundy, semakin jelas bahwa manusia tetaplah manusia. Pelayan Tuhan atau bukan, sewaktu batinnya goyah (atau bisa disebut "iman" jika memakai perspektif agama), hasrat kelam itu dapat bangkit.
Sayangnya naskah No Man of God tak pernah begitu dalam menggali isi kepala sang protagonis. Kita tahu dia menemukan pemahaman atas Bundy, kita tahu perlahan godaan untuk berjalan di "jalur kegelapan" mulai mengintip, namun seperti apa pastinya dinamika psikis itu terjadi, titik mana saja yang berperan sebagai pemantik, cenderung kabur. Penonton cuma diajak "tahu", bukan benar-benar "paham".
Berlangsung sekitar 100 menit, No Man of God menghabiskan mayoritas durasi menampilkan obrolan dalam ruang interogasi sempit (mungkin beberapa dari anda bakal mengira film ini diangkat dari pertunjukan teater). Sealey jeli mengatur dinamika lewat pengarahannya, mengatur tempo supaya intensitasnya konsisten, tahu pasti harus menyorot "apa" dan "kapan" melalui kameranya.
Penyutradaraan Sealey ibarat rel. Cenderung subtil, bertujuan menjaga agar film tetap bertahan di jalur, lalu membiarkan dua penampil utama menjadi pusat perhatian. Bundy versi Kirby mengingatkan saya pada orang-orang yang gemar berbicara "tinggi", pandai berakting, bersikap sok keren, demi menyembunyikan sosok aslinya yang begitu kecil. Sementara Wood tampil apik menampilkan pria yang yakin dirinya baik, alim, namun sejatinya amat rapuh. Ya, ada paralel antara kedua belah pihak.
Salah satu momen paling menonjol adalah ketika di tengah proses pengambilan gambar untuk acara bertema keagamaan, di mana Bundy diwawancarai mengenai motivasinya membunuh, Sealey mengalihkan fokus ke wajah asisten acara itu. Seorang wanita. Dia cuma diam, tapi wajahnya memendam amarah. Tangannya mencengkeram kuat clip board, bak menyalurkan emosi-emosi yang tertahan. Mungkin itu reaksi jujur Sealey, kala menyaksikan rekan-rekan sesama sineas melakukan glorifikasi atas aksi Ted Bundy.
Available on KLIK FILM
REVIEW - KATE
Seorang pembunuh wanita dengan masa lalu tragis, menumpahkan darah dalam aksi balas dendam brutal nan stylish terhadap organisasi musuh, sambil melindungi bocah yang anggota keluarganya ia bunuh, sementara sang mentor/bos berusaha membujuknya agar menahan diri selaku wujud kepedulian, namun kita tahu ada rahasia yang disembunyikan.
Begitulah garis besar alur Kate.....dan deretan judul lain yang belakangan makin sering kita temui. Tapi saya selalu memandang film bertema di atas seperti slasher. Plot formulaik setipis kertas bukan masalah, asal karakter yang berstatus "si pembantai" tampil memukau, dan punya segudang ide kreatif perihal menghabisi nyawa target.
Mary Elizabeth Winstead memerankan Kate, penembak jitu yang selalu berhasil mengenai target. Identitas targetnya ditentukan oleh Varrick (Woody Harrelson), mentor sekaligus figur ayah, yang membesarkan Kate sejak orang tuanya meninggal. Semua berjalan mulus, sampai Kate mengutarakan niat pensiun. Dia akan berhenti setelah menyelesaikan misi terakhir, dengan Kijima (Jun Kunimura), seorang bos yakuza, sebagai target.
Sebelum menarik picu, Kate merasa pusing. Tembakannya meleset, misi pun gagal. Rupanya ia diracuni, dan cuma punya waktu hidup 24 jam. Diduga pelakunya adalah Kijima, sebagai bentuk pembalasan karena kematian adiknya. Kate mulai mencari keberadaan si bos yakuza yang belakangan menghilang, guna melancarkan balas dendam sebelum ajal menjemput.
Ya, Kate bukan soal berpacu dengan waktu demi mencari penawar. Jagoan kita sudah menerima fakta nyawanya tak tertolong lagi, tapi tidak terima jika si pelaku lolos begitu saja. Sebuah premis badass, meski tentu saja perjalanan ini juga membawa Kate menemukan kembali hatinya, lewat pertemuan dengan Ani (Miku Martineau), keponakan Kijima.
Jangan harap kondisi ACS (acute radiation syndrome) memberi handicap berarti. Kate berulang kali muntah, jalannya sempoyongan, tubuhnya penuh ruam, ditambah luka-luka akibat perkelahian, namun itu hanya nampak di sela-sela aksi. Sewaktu tiba waktunya menghajar musuh, Kate ibarat manusia super. "Keracunan" cuma alat yang dipakai naskah buatan Umair Aleem untuk membuka dan mengakhiri cerita. Ubah itu dengan terbunuhnya kekasih, penculikan anak, atau kematiaan anjing, dan takkan ada perbedaan.
Kenapa Jepang? Kenapa repot-repot mengambil risiko mendapat tuduhan (konyol) akibat mengangkat soal wanita kulit putih membantai orang Asia? Saya yakin, entah Aleem atau sang sutradara, Cedric Nicolas-Troyan (The Huntsman: Winter's War), terobsesi pada budaya populer Negeri Sakura. Kate berlarian di atap sambil melewati layar raksasa yang memutar anime Tokyo Ghoul, mengendarai mobil berhiaskan lampu LED, mengunjungi kelab tempat band rock wanita tampil, merupakan beberapa contoh ekspresi obsesi tersebut.
Hal-hal di atas menambah sentuhan gaya, walau belum cukup memberi Kate warna menonjol tersendiri (visual, desain karakter, teknik penuturan, koreografi, dll.) supaya memiliki kekhasan di antara film-film bertema serupa lainnya (Atomic Blonde, Hanna, Everly, Gunpowder Milkshake, memilikinya). Bahkan kala para yakuza mengerahkan seluruh kekuatan di klimaks, Kate tetap tak memaksimalkan potensi kegilaan yang bisa dicapainya.
Tapi mari kembali ke pernyataan di awal tulisan. Apakah protagonis film ini memukau? Tentu saja. Mary Elisabeth Winstead tampak meyakinkan sebagai jagoan yang menolak ambruk dan mampu mengalahkan puluhan yakuza biarpun dalam kondisi sekarat. Apakah caranya menumpas musuh sadis sekaligus kreatif? Lumayan. Tentang kreativitas mungkin masih menyisakan ruang eksplorasi, namun menyaksikan Kate menumpahkan darah di tengah ruangan berwarna putih, di mana kita bisa melihat jelas segala luka dan tusukan, pun dibarengi koreografi yang tertata rapi pula tata kamera dinamis, Kate sudah pantas dinyatakan "lulus ujian", walau gagal memperoleh nilai A.
Available on NETFLIX
REVIEW - MALIGNANT
Sejak sekuen pertama yang langsung tancap gas, lalu kredit pembuka berhiaskan musik industrial, saya sadar bahwa film ini takkan membawa penonton melihat James Wan versi "sutradara horor rumah berhantu". Jika Furious 7 (2015) merupakan prosesnya menerapkan tema vigilante dan balas dendam serupa Death Sentence (2007) ke ranah blockbuster, maka Malignant ibarat hasil belajar Wan selama berkarir hampir dua dekade.
Pertumpahan darah dan pendekatan serba berlebihan ala Saw (2004), revenge story seperti Death Sentence, elemen horor supernatural macam seri The Conjuring dan Insidious, bahkan aksi sebagaimana ia pelajari di Aquaman (2018), semua Wan tumpahkan.
Tidak perlu menunggu lama sampai Malignant menggenjot intensitas, sebab beberapa menit pasca perkenalan dengan protagonisnya, Madison (Annabelle Wallis), teror langsung muncul. Pernikahan Madison dengan Derek (Jake Abel) renggang setelah ia mengalami keguguran beruntun. Sang suami menyalahkan Madison, yang kini tengah hamil untuk kesekian kali. Bahkan terjadi aksi KDRT di hari itu.
Malamnya, sosok misterius menginvasi rumah mereka. Tidak tampak seperti manusia. Lebih mirip bayangan hitam, dengan gestur tidak wajar. Derek mati mengenaskan, sementara Madison selamat, namun harus kehilangan kandungannya lagi. Beberapa waktu berselang, terjadi deretan kasus pembunuhan lain, dan diduga melibatkan pelaku yang sama. Anehnya, Madison bisa melihat semua pembunuhan tersebut, seolah berada langsung di lokasi.
Mayoritas horor buatan Wan mengawali penceritaan dengan lambat, karena memerlukan waktu memperkenalkan karakter, pula investigasi fenomena mistisnya. Malignant berbeda, sebab segala tetek bengek latar belakangnya disimpan, guna menghasilkan titik balik alur jelang paruh akhir.
Mudah menebak gambaran besar twist-nya, terlebih, naskah buatan Akela Cooper (akan menulis naskah The Nun 2), yang ditulis berdasarkan cerita asli hasil buah pikirnya bersama Wan dan Ingrid Bisu (kali pertama istri sang sutradara mendapat kredit penulisan film), tidak memberi penonton ruang untuk untuk meragukan asumsi-asumsi yang muncul.
Bukan karena malas. Penuturannya memang kendor di second act, yang tampil bak slasher (plus sedikit rasa giallo, termasuk penggambaran figur pembunuh misterius bersarung tangan hitam) dengan cerita stagnan, tapi kelemahan tersebut mampu ditebus saat satu demi satu pertanyaan mulai terjawab. Gambaran besar twist-nya mudah ditebak, tapi tidak dengan detail-detail di dalamnya.
Jawabannya (mengingatkan pada sebuah urban legend Inggris dari abad 19 yang tak bisa saya sebut demi menghindari spoiler) mungkin terkesan konyol, namun keseriusan memang bukan tujuan sang sutradara. Wan nampak ingin bersenang-senang, melempar kejutan, menerapkan tata kamera stylish dan penyuntingan frantic layaknya di Saw dulu, pula memakai desain unik karakternya guna menciptakan aksi unik sekaligus berdarah di klimaks. Akting Annabelle Wallis pun sejalan dengan visi Wan bagi Malignant: Over the top.
Available on HBO MAX
REVIEW - SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS
Statusnya sebagai film Indonesia pertama pemenang Golden Leopard (film terbaik) di Locarno Film Festival, niscaya memancing berbagai dialog perihal narasinya. Bagaimana persoalan toxic masculinity dan seksualitas dikupas, hingga subteks mengenai orde baru. Apalagi ini film karya Edwin, yang mengadaptasi novel buatan Eka Kurniawan. Ragam interpretasi pasti bermunculan. Tidak salah. Bagus malah. Tapi rasanya satu pencapaian bakal absen diperbincangkan, yakni bahwa Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (punya judul internasional Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash) merupakan film paling menghibur yang dilahirkan Edwin sejauh ini.
Penyatuan berbagai genre seperti aksi 80-an, eksploitasi, komedi hitam, pula sedikit bumbu supernatural, membuat 114 menit durasinya terasa singkat. Penuh sesak, dan mungkin terlalu banyak hal terjadi, namun di situlah letak kesenangannya. Kapan lagi kita bisa menyaksikan adu kecepatan, bukan antara mobil-mobil mewah hasil modifikasi, melainkan dua truk, yang tentu saja baknya dihiasi lukisan serta tulisan menggelitik.
Berlatar tahun 1980-an (lokasi tak spesifik, di mana pelat kendaraannya bertuliskan "AK-E" yang merupakan kebalikan dari "EKA"), dikisahkan ada seorang pemuda bernama Ajo Kawir (Marthino Lio) yang begitu gemar berkelahi. Menantang maut seolah jadi rutinitas. Semua dilakukan demi pembuktian maskulinitas, karena dia impoten. Pada era tatkala machismo diagungkan, impotensi tak ubahnya kehilangan harga diri, yang bagi sebagian pria, mungkin lebih buruk dari kematian. Ajo Kawir tidak takut mati. "Hanya orang yang tidak bisa ngaceng yang tidak takut mati", begitu narasinya berbicara.
Walau berlatar masa lalu, sosok Ajo Kawir (sayangnya) masih relevan sampai sekarang. Tendensi agresivitas laki-laki agar kejantanannya tak dipertanyakan, masih kerap kita jumpai. Entah dengan cara berkelahi, melakukan hal-hal ekstrim, mengumbar sumpah serapah, atau yang paling parah, lewat pelehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.
Berbagai jalan telah Ajo Kawir tempuh agar "burungnya berdiri", termasuk mengunjungi Mak Jerot (Christine Hakim) demi menjalani pengobatan, namun semua gagal. Situasi mulai berubah sejak pertemuan Ajo Kawir dengan Iteung (Ladya Cheryl), bodyguard seorang pengusaha. Pertemuan perdana mereka berujung baku hantam. Sinematografi yang ditangani Akiko Ashizawa (Tokyo Sonata, Creepy) belum cukup mumpuni membungkus perkelahian, apalagi bagi film yang mengaku terinspirasi oleh film laga Hong Kong. Momen terbaik justru hadir ketika kamera diam, menangkap dua aktornya habis-habisan melakoni koreografi. Totalitas dan fleksibilitas mereka (terutama Ladya Cheryl) patut diacungi jempol.
Keduanya langsung jatuh cinta. Mungkin ketangguhan Iteung memikat maskulinitas Ajo, sementara Ajo di mata Iteung adalah jagoan. Walau "burung si jagoan" tidak bisa berdiri, Iteung enggan ambil pusing, bahkan mau dinikahi. Tentu ini tak sesederhana "proses menerima kelemahan pasangan dalam romantika". Biarpun naskah buatan Edwin dan Eka telah menyederhanakan novelnya (dalam konteks menekan keabsurdan), masih ada begitu banyak hal terjadi.
Misi Ajo Kawir menghabisi target dari Paman Gembul (Piet Pagau) yang mewakili aksi aparat melenyapkan orang yang dipandang berbahaya, keberadaan Budi Baik (Reza Rahadian) si penjual obat kuat yang sejak lama menyukai Iteung, kemunculan wanita misterius bernama Jelita (Ratu Felisha dalam riasan yang membuatnya sukar dikenali) di paruh akhir yang menghembuskan napas mistis ke filmnya, dan masih banyak lagi.
Sekali lagi, alurnya penuh sesak, beberapa momen dapat dipangkas, namun naskah mampu tampil rapi, dan terpenting, terarah. Seliar apa pun subplotnya bergulir, tetap mengerucut pada pokok pahasan tentang machismo. Secara spesifik, machismo yang terbentuk oleh pelestarian kekerasan dalam satu era. Sebuah era di mana para pemegang kuasa di area masing-masing (aparat, guru, presiden) menyalahgunakan kekuatan mereka. Sebuah era di mana "bos besar" melarang rakyat melihat gerhana matahari agar tidak buta, sambil "membutakan mata" atas tirani melalui pengalihan isu serta pelenyapan berbagai pihak.
Terdapat satu poin yang terasa meleset. Sewaktu naskah meletakkan eksposisi berisi masa lalu karakter, timbul kesan karakter itu terangsang oleh pelecehan yang ia alami semasa kecil. Walau setelah makin banyak tabir terungkap, jelas bahwa kesan tersebut murni akibat timing yang kurang pas, dan filmnya bukan bermaksud meromantisasi pelecehan.
Ada banyak seksualitas dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Baik dibarengi cinta, semata nafsu, atau wujud kejahatan. Baik dilakukan orang dewasa, maupun anak. Saya sangat mengapresiasi bagaimana Edwin tak menjadikan seks anak sebagai lahan eksploitasi. Tidak ada satu pun seksualitas yang melibatkan karakter bocah tampil gamblang, sehingga menjaga fungsinya selaku penelusuran atas trauma alih-alih sekadar shock value.
Seksualitas juga jadi materi humor gelap, yang turut bertujuan menyentil maskulinitas. Nakal, playful, tapi bukan bentuk perversi. Dari situ, kritik berhasil disampaikan secara menghibur. Kekerasan zaman (atau bisa kita sebut "rezim") yang mengisi keseharian masyarakat, ibarat siulan-siulan untuk membangkitkan si burung, dan bila seseorang kukuh memuja kekerasan berlandaskan toxic masculinity tersebut, dan cuma mau berpikir memakai "burungnya", alangkah baiknya ia sekalian mati seperti sangkar burung yang tergantung di atas tiang.
Selain humor dan beberapa aksi, daya pikat juga terletak pada penampilan para pemain. Ladya Cheryl kembali setelah lama absen (terakhir tampil di Flutter Echoes and Notes Concerning Nature yang tayang di JAFF 2015), dan kemampuannya memadukan akting dramatis dan kebolehan melakoni aksi tangan kosong, membuktikan kualitasnya masih sama. Marthino Lio dengan kegelisahan karakternya tidak kalah kuat, meski bagi saya, Reza Rahadian paling mencuri perhatian.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas memakai gaya bahasa cenderung baku ala film-film Indonesia zaman dulu, dan di antara tiga pemain utama, Reza yang paling mulus menanganinya. Reza bicara, seolah ia memang hidup pada masa itu, pun paling meyakinkan saat berhadapan dengan adegan laga. Rasanya jika memerankan pohon pisang pun ia bakal tetap menarik disaksikan.
Pada akhirnya, berdiri atau tidaknya burung Ajo Kawir bukan masalah. Bagaimana ia menerima itu adalah yang terpenting. Paruh keduanya membawa Ajo Kawir berubah. Dia tampak lebih damai, karena telah mulai coba berdamai dengan dirinya sendiri. Memaksa burung yang tertidur agar terbangun bisa lebih berbahaya ketimbang membangunkan macan.
(Digital Screening Toronto International Film Festival)
6 komentar :
Comment Page:Posting Komentar