THE SHAPE OF WATER (2017)
Rasyidharry
Maret 31, 2018
Alexandre Desplat
,
Doug Jones
,
Fantasy
,
Guillermo del Toro
,
Michael Shannon
,
REVIEW
,
Richard Jenkins
,
Romance
,
Sally Hawkins
,
Sangat Bagus
19 komentar
Guillermo del Toro menyebut The Shape of Water, yang membawanya meraih Oscar untuk Best Director (pun filmnya memenangkan Best Picture), selaku ekspresi atas
hal-hal yang mengisi kekhawatirannya sebagai orang dewasa khususnya soal cinta,
setelah dalam 9 film sebelumnya, del Toro mengunjungi mimpi serta ketakutannya
semasa kecil. Mungkin ia takut dunia mulai kehabisan cinta. The Shape of Water diawali keinginan del
Toro melihat kisah cinta antar-spesies Creature
from the Black Lagoon (1954) berujung bahagia, pasca niat membuat remake-nya ditolak pihak studio. Dan
jelas ia menuturkan seluruh adegan dengan penuh cinta dan kelembutan.
Cinta yang dimaksud bukan cuma pada tataran romantis, pula
tak hanya sesama manusia, tapi antar makhluk hidup. Elisa Esposito (Sally
Hawkins) si protagonis wanita merupakan tuna wicara yang menjadi petugas
kebersihan di suatu laboratorium rahasia milik pemerintah. Elisa bertetangga
dengan Giles (Richard Jenkins), pelukis tua yang karirnya mentok, pula seorang
gay. Menengok kondisi masing-masing, keduanya berhak merasa takut jika tidak
ada lagi cinta bagi mereka. Alhasil saat Elisa bertemu “Amphibian Man” (Doug Jones) yang dikurung, disiksa, dijadikan bahan
eksperimen laboratorium tempatnya bekerja, ia hanya ingin mencintai makhluk
malang yang juga sedang sendirian pula ketakutan ini.
Mengambil setting waktu era 60-an kala Perang Dingin, del
Toro bersama Vanessa Taylor (Hope
Springs, Divergent) mendapat banyak bekal guna menyampaikan pesan melalui
naskahnya. Inilah masa di mana kebencian, kecurigaan, ketakutan, segala emosi
negatif memuncak. Narasi pada adegan pembuka—ketika kita dibawa menyelami “kamar
bawah air” ditemani musik indah gubahan Alexandre Desplat—yang Jenkins bacakan
mengandung kalimat “And the tale of love
and loss, and the monster, who tried to destroy it all”. “Monster” di sini
adalah Kolonel Richard Strickland (Michael Shannon) yang keji sekaligus pelaku
pelecehan, kubu Amerika dan Rusia yang hendak memanfaatkan bahkan membunuh si
manusia ikan, sampai pelayan cafe rasis pula homophobic.
Sejatinya isu-isu The
Shape of Water masih relevan, tetapi pemakaian latar masa lalu merupakan
keputusan tepat. Membawanya ke tatanan modern berpotensi memunculkan distraksi.
Penonton yang makin haus akan “film kritis” bakal condong memperhatikan isu
ketimbang cerita utama. Dengan begini, beragam unsur tersebut jadi sebatas
subteks yang bersifat memperkaya, sementara sorotan utama tetap seputar romansa
fantasi. Pun terkait latar lawasnya, musik Desplat bagai berasal dari suguhan
klasik Hollywood; dreamy, kental
nuansa fantasi yang memancarkan keindahan, harapan, pula imaji. Keindahan yang
turut dihasilkan tim desain produksinya, termasuk dalam mengemas rumah Elisa
yang seperti berasal dari dunia dark
fairy tale, sesuatu yang sering jadi lahan bermain del Toro.
Saya membayangkan del Toro mengarahkan di lokasi dengan mata
berbinar, tersenyum lebar, penuh aura positif. Adegan pembuka dan penutup yang
puitis itu takkan bisa dihasilkan oleh pria pemurung. Tentunya ia pun
dianugerahi daya kreasi plus imajinasi tinggi, yang terbukti ketika momen musikal
“dadakan”mulai mengisi. Momen yang diawali serta diakhiri oleh transisi cerdik
nan rapi guna mewakili isi hati Elisa, karakter yang jadi media Sally Hawkins
memperlihatkan makna ketulusan dalam berakting. Hawkins memberi performa yang
mampu seketika mencuri perasaan penonton hanya melalui senyuman. Sewaktu Elisa
berbahagia, saya berbahagia. Sewaktu Elisa jatuh cinta, cinta itu turut
menjangkiti perasaan saya.
Bagi Guillermo del Toro, cinta berbentuk seperti air. Tidak
bisa didefinisikan, namun keberadaannya senantiasa mengisi ruang-ruang kosong,
kemudian berubah menyesuaikan wujud ruang tersebut. Kita butuh film-film
semacam The Shape of Water. Film yang
selain membicarakan cinta, turut dibuat dengan cinta, tanpa melupakan
pentingnya sisi estetika.
READY PLAYER ONE (2018)
Rasyidharry
Maret 31, 2018
Bagus
,
Ben Mendelsohn
,
Mark Rylance
,
Olivia Cooke
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Steven Spielberg
,
Tye Sheridan
,
Zak Penn
25 komentar
Pada 2045 saat dunia menjadi kumuh akibat overpopulasi,
polusi, korupsi, dan perubahan iklim, umat manusia memilih “kabur” ke OASIS (Ontologically Anthropocentric Sensory
Immersive Simulation), dunia virtual ciptaan James Halliday (Mark Rylance) yang
dapat diakses memakai kacamata VR, di mana seseorang bebas menjadi siapa saja
serta melakukan apa saja. Pada 2018 saat dunia kerap lupa bersenang-senang, umat manusia mestinya “kabur” ke Ready Player One, dunia imajinatif
ciptaan Steven Spielberg, yang sebaiknya dinikmati memakai kacamata 3D. Kostum
XI dapat memaksimalkan sensasi OASIS yang karakternya alami, sedangkan format 4DX menghasilkan efek serupa
bagi filmnya.
Berasal dari novel fenomenal berjudul sama buatan Ernest
Cline (juga selaku penulis naskah bersama Zak Penn) yang dipenuhi referensi
kultur populer 80-an, jelas tak ada yang lebih pantas menggarap adaptasi layar
lebarnya selain Spielberg. Pertama, ia termasuk sosok paling berpengaruh yang
membentuk kultur populer masa itu lewat trilogi Indiana Jones (1981-1989), sampai E.T. the Extra-Terrestrial (1982). Kedua, tidak ada sutradara
sehebat dirinya perihal merangkai hiburan visioner kental kreativitas bertabur
efek spesial berskala besar. Sekali lagi, TIDAK ADA.
Wade Watts (Tye Sheridan), bocah yatim piatu berusia 18 tahun
yang tinggal di pemukiman kumuh di Columbus, Ohio, merupakan protagonis kita.
Seperti orang-orang yang lebih betah memamerkan diri di dunia maya (baca:
sosial media) karena merasa sosok aslinya payah, Wade pun menghabiskan
mayoritas waktunya di OASIS. Menggunakan avatar bernama Parzival, Wade mengikuti kompetisi mencari easter eggs
yang ditinggalkan Halliday sebelum meninggal. Si pemenang bakal mewarisi kepemilikan
OASIS plus hadiah-hadiah lain. Masalahnya, rintangan yang mesti dihadapi
teramat sulit, belum lagi ancaman dari Nolan Sorrento (Ben Mendelsohn) beserta
perusahaan penyedia peralatan VR miliknya, IOI (Innovative Online Industries), yang berambisi menguasai OASIS.
Saya berharap Ready
Player One meluangkan sedikit lagi waktu menyelami dunia maupun karakternya
lebih jauh, namun kehebatan Spielberg merangkai spectacle membuat saya tidak keberatan langsung terjun ke dalam
aksi bombastis sejak menit awal. Balapan melintasi versi OASIS untuk New York
di mana bola-bola besi raksasa, T-Rex, hingga King Kong telah menanti guna
menggagalkan usaha menemukan easter eggs.
Ini baru tahap pertama, tapi itu urung memudahkan perjuangan Parzival dengan
mobil “Back to the Future” miliknya
menembus garis akhir. Begitu pula Art3mis (Olivia Cooke), sosok pemain terkenal
pengendara motor merah dari animasi Akira yang jadi pujaan Parzival.
Balapan tersebut membuktikan betapa Spielberg paham cara membangun tensi. Reruntuhan gedung yang membuat mobil saling
bertabrakan, amukan King Kong yang menghancurkan kendaraan pemain layaknya
mainan plastik murahan, bukan sekedar pawai CGI. Terdapat dimensi, bobot,
alih-alih gambar rekayasa komputer yang beterbangan tanpa massa tubuh. Berkatnya,
kesan bahwa para tokoh sungguh terancam bahaya pun terasa. Menegangkan,
tetapi Spielberg tak pernah lalai menyuntikkan nuansa senang-senang.
Ready Player One mengajak kita merayakan hidup, baik
di dunia nyata maupun maya. Keseimbangan itu dibutuhakan. Spielberg wants us to know what it feels like to live our lives at its
fullest. Caranya adalah meniadakan set
piece yang sifatnya filler. Total
ada 3 kunci diperlukan demi mendapatkan hadiah dari Halliday, dan tiap fase
pencarian kunci mengandung momen penyulut decak kagum dan sorak sorai berupa
visualisasi kelas wahid Spielberg terhadap ide tertulis Cline. Di tangan
Spielberg, hal terpenting bukan “ada berapa tokoh dan/atau referensi budaya populer?”,
melainkan bagaimana semua dirangkum menjadi adegan solid. Pun naskahnya meniadakan
kesan “pamer”, sehingga tur mengelilingi Hotel Overlook, lantai dansa nol gravitasi dilengkapi
lagu Stayin’ Alive, sampai pergumulan
“tiga raksasa” di klimaks bak fase alamiah yang wajib alurnya lalui.
Tetap ada cela. Sebagai film mengenai ajakan agar tak
melupakan realita, adegan “dunia nyata” film ini kekurangan daya pikat. Saya
merasa seperti manusia-manusia di dalamnya yang memilih kehidupan OASIS
ketimbang kenyataan. Satu-satunya momen (mendekati) realita yang tampil menarik terletak
menjelang akhir, Mark Rylance memperlihatkan akting kaya sensitivitas sebagai Halliday,
si pria jenius yang introvert pula canggung soal sosialisasi. Namun di
kemunculan pamungkasnya, dibalut kehangatan ala Spielberg, Rylance menunjukkan
bahwa Halliday telah berubah. Lebih dewasa, lebih matang, lebih bijak. Kita
semua mampu mengalami perubahan serupa asal tidak terlampau lama menetap di
dunia maya.
#TEMANTAPIMENIKAH (2018)
Rasyidharry
Maret 30, 2018
Adipati Dolken
,
Comedy
,
Indonesian Film
,
Johanna Wattimena
,
REVIEW
,
Rko Prijanto
,
Romance
,
Sangat Bagus
,
Upi
,
Vanesha Prescilla
19 komentar
Kita menyukai keajaiban. #TemanTapiMenikah
adalah film tentang keajaiban. Tidak perlu kehadiran makhluk-makhluk mitologi
atau ilmu sihir. Menyebut “cinta sendiri adalah keajaiban”, rasanya tidak
berlebihan, sebab, karenanya banyak hal-hal di luar nalar terjadi. Termasuk
persahabatan yang akhirnya berlanjut ke jenjang pernikahan, sebagaimana
perjalanan pasangan Ditto Percussion dan Ayudia Bing Slamet yang berawal dari
pertemanan selama 12 tahun. Keduanya merangkum kisah itu ke dalam buku berjudul
sama yang jadi materi adaptasi filmnya.
Bukunya sendiri kerap disebut “Buku Kuning”, yang merujuk
pada sampulnya. Berniat menyesuaikan, sisi visual filmnya dikemas lewat nuansa kekuningan.
Cerah, menyenangkan. Sama seperti momen pembuka saat Ditto (Adipati Dolken)
duduk menanti Ayu (Vanesha Prescilla) di sebuah kafe. Suara-suara di
sekitarnya; gelas, sendok, kucuran air, dan lain-lain, mulai menciptakan ritme
harmonis. Setidaknya di kepala Ditto. Kepekaan terhadap ketukan ritmis dia
miliki, karena passion-nya di bidang
musik, khususnya perkusi. Ini asal muasal kata “Percussion” hadir selaku nama belakangnya.
Biar begitu, kalau bukan didorong Ayu, Ditto mungkin takkan
menekuni perkusi. Gadis ini cinta pertamanya, sejak mengidolakan Ayu dari layar
kaca ketika masih kecil, kemudian bertemu di bangku SMP, lalu bersahabat sampai
masa kuliah. Ditto memilih memendam perasaan demi melindungi kedekatan mereka.
Walau artinya dia mesti tabah mendapati sang pujaan hati menjalin hubungan
dengan pria lain. Sungguh mengasyikkan persahabatan Dito-Ayu. Selalu
menghabiskan waktu berdua, saling tolong sembari saling ejek, termasuk soal
pacar masing-masing. Mereka selalu tertawa, begitu pula saya.
Bermula sejak dinamisnya adegan pembuka, interaksi dua tokoh
utama tak pernah luput memancing senyum. Beberapa berkat kecerdikan naskah buatan
Johanna Wattimena dan Upi merangkai interaksi tanpa mengumbar kalimat puitis,
beberapa berkat penyutradaraan Rako Prijanto (3 Nafas Likas, Sang Kiai, Bangkit!) yang mengutamakan kesan natural
ketimbang memaksakan kekonyolan atau dramatisasi, tapi mayoritas berkat chemistry luar biasa Adipati dan
Vanesha. Pria tampan dan wanita cantik dengan busana tak berlebihan namun memikat
mata yang rutin memancing tawa bahagia satu sama lain. Sulit untuk tidak
terbuai oleh keduanya.
Tanpa terbebani keharusan merespon gombalan-gombalan aneh,
Vanesha tampil lepas. Kemudian ada Adipati dalam salah satu penampilan paling menghiburnya.
Pun kapasitasnya melakoni drama tetap kentara. Pada sebuah momen, Ayu menangis
membelakangi Ditto yang hanya bisa memandang, memasang wajah iba. Bagi saya, mise en scene seperti itu, kala seorang
tokoh menyuarakan isi hati pada orang lain secara non-verbal tanpa orang lain
itu sadari (contohnya “belaian” Celine untuk Jesse di Before Sunset), punya emosi lebih kuat. Penonton bagai diajak memasuki
ruang personal si tokoh yang hanya diketahui dia dan kita. Bagi aktor, adegan
macam ini butuh ketepatan timing serta
kenaturalan merespon situasi.
Nyaris selalu tertawa oleh kelucuan atau tersenyum karena rasa
manisnya, #TemanTapiMenikah juga berhasil
mengalirkan air mata sewaktu menyaksikan resolusi romantika Ditto-Ayu di lokasi
konser yang telah kosong. Nihil puisi, tiada pula ucapan “I love you”. Cuma dua sahabat yang masih melontarkan ejekan demi
ejekan, bedanya kali ini mereka telah menyimpan perasaan serupa. Bukan tangis kesedihan, bahkan mungkin juga bukan haru. Entahlah. Mendadak terasa sesuatu
yang manis dan indah. Sulit menjelaskannya menggunakan nalar, karena seperti
telah disinggung, eksistensi cinta memang di luar nalar, atau dengan kata lain,
keajaiban.
DANUR 2: MADDAH (2018)
Rasyidharry
Maret 29, 2018
Adrian Sugiono
,
Awi Suryadi
,
Bucek
,
Elena Viktoria Holovcsak
,
horror
,
Kurang
,
Maria Margaretha Earlene
,
Prilly Latuconsina
,
REVIEW
,
Sandrinna Michelle Skornicki
,
Shawn Adrian
,
Sophia Latjuba
27 komentar
Danur 2: Maddah adalah teror yang kehabisan daya akibat buruknya naskah. Apa perlunya horor memiliki naskah bagus? Bukankah
menjadi seram sudah cukup? Benar, tapi banyak yang lupa atau luput memahami,
bahwa kengerian dan kestabilan intensitas membutuhkan kekuatan naskah. Awi
Suryadi (Danur: I Can See Ghosts, Badoet)
adalah sutradara horor berbakat dengan sejumlah visi memikat soal membangun teror.
Tapi Awi juga punya batasan. Tatkala (seperti film pertama) Maddah nampak bak mozaik jump scare satu setengah jam ketimbang
jalinan plot, ia pun kelabakan, seperti tengah menimba di sumur hingga kering,
kemudian mengambil tanah basah di dasar sumur, memerasnya, berharap menemukan
air. Tentu cuma ada kotoran.
Saya belum membaca Maddah
buatan Risa Saraswati, tapi jumlah halaman naskah ciptaan Lele Laila (Danur: I Can See Ghosts, Keluarga Tak Kasat
Mata) rasanya tidak sampai setengah novel setebal 252 halaman itu. Naskah
yang disusun bukan demi menyampaikan cerita utuh melainkan memenuhi kuota 92
menit durasinya. Caranya bebas, termasuk mengulang adegan mimpi sebanyak tiga
kali. Awi pun dibebani tugas sama. Dibantu sinematografer Adrian Sugiono (Danur: I Can See Ghosts, Jomblo Keep Smile),
kamera kerap bergerak pelan, melayang
layaknya arwah kehilangan tujuan yang sesekali mampu mencuatkan atmosfer mencekam,
namun lebih sering terkesan cuma untuk mengulur waktu.
Prilly Latuconsina kembali sebagai Risa dan ia terlihat makin
nyaman serta solid memerankan gadis indigo yang mempunyai teman-teman berwujud hantu
anak kecil. Setelah mengalahkan Asih
(baca: puluhan ekspresi seram Shareefa Daanish), Risa diminta oleh sepupunya,
Angki (Shawn Adrian), menyelidiki rumah barunya, termasuk sikap
aneh ayahnya, Ahmad (Bucek), yang gemar mengurung diri di dalam paviliun.
Risa melihat penampakan, Angki melihat penampakan, Riri (Sandrinna Michelle
Skornicki), adik Risa, melihat penampakan. Semua melihat penampakan, walau tiada yang lebih mengerikan dibanding hantu yang mengikuti gerakan Tina (Sophia
Latjuba) kala berzikir. That’s one of the
creepiest scene in our horror movie ever.
Pondasi Danur 2: Maddah
memang sekedar kompilasi penampakan yang dijahit paksa, tapi sekali lagi, Awi
Suryadi adalah sutradara horor berbakat. Mayoritas jump scare ditempatkan pada timing
tepat yang efektif memberi kejutan. Pun keputusan menempatkan versi berbeda
dari adegan dalam trailer terbukti
mampu mengecoh ekspektasi. Tapi tak ada elemen yang peningkatannya melebihi
tata rias. Apabila Asih di film pertama cuma mengandalkan kebolehan Shareefa
Daanish bermain raut muka, Maddah diberkahi
keberadaan Maria Margaretha Earlene yang menciptakan riasan mengerikan
sekaligus kreatif alih-alih sekedar gaya “muka hancur” sebagaimana banyak horor
dalam negeri. Elena Viktoria Holovcsak si pemeran hantu dengan tubuh tinggi
ditambah tawa menggelegar makin melengkapi efektivitas teror sang antagonis
terbaru.
Sayangnya seperti ada yang lupa menyalakan lampu di set Danur 2: Maddah. Hampir tiap momen
dibuat segelap mungkin sampai sulit mengamati apa yang tersaji di layar,
termasuk terornya. Jangankan paviliun, rumah sakit saja tampak seperti bangunan
angker tanpa penghuni dengan kamar, lorong, pula musala remang-remang . Lalai
menyalakan lampu, Awi dan Adrian malah asyik “bergaya” memainkan sudut-sudut
kamera. Dutch tilt dan “kawan-kawan”
digunakan tanpa maksud pasti, nihil memberi dampak terhadap pembangunan
intensitas.
Danur 2: Maddah menyimpan setumpuk kekurangan. Itu
pasti. Kemudian saya coba mengingat-ingat. Selain Pengabdi Setan yang ada di level berbeda, dalam 5 tahun terakhir, berapa
banyak horor lokal punya teror seefektif Maddah?
Ada, tapi tidak banyak. Apalagi melihat pendahulunya, Maddah merupakan lonjakan kualitas. Keputusan saya sudah bulat
untuk memberi nilai 3 bintang. Sampai konklusinya memberi twist menipu yang menjadikan segala teror yang Risa hadapi berakhir
percuma serta tidak masuk akal, bahkan di tataran logika horor supernatural. Oh,
lagi-lagi permasalahan naskah. Masih menganggap sajian horor tidak perlu memperhatikan
naskah?
HICHKI (2018)
Rasyidharry
Maret 27, 2018
Drama
,
Harsh Mayar
,
Hindi Movie
,
Lumayan
,
Neeraj Kabi
,
Rani Mukerji
,
REVIEW
,
Siddharth P. Malhotra
9 komentar
Hichki, atau dalam Bahasa Indonesia berarti
“cegukan”, mengisahkan wanita penderita sindrom Tourette, sebuah kondisi di
mana seseorang mengeluarkan gerakan atau ucapan spontan (tic) tanpa mampu dikontrol. Dari suara-suara acak sampai sumpah
serapah, dari gerakan kecil hingga kejang-kejang. Bagi penderita Tourette
berada di muka umum bukan perkara mudah, karena minimnya pemahaman akan penyakit
ini mengakibatkan pandangan miring publik terhadap mereka. Dengan kondisi tersebut, protagonis film ini
mesti mengajar murid-murid luar biasa nakal, yang saking nakalnya, pihak
sekolah menganggap mereka sampah yang lebih baik musnah.
Tentu semakin jauh alur berjalan, kita dan sang guru, Naina
Mathur (Rani Mukerji) mendapati bahwa anak-anak itu sejatinya bukan biang onar.
Hanya butuh perhatian lebih. Hichki
memang kisah inspiratif konvensional soal guru bermasalah yang coba menolong
murid bermasalah, dan seiring usaha si guru berlangsung, tanpa disadari ia
turut menyelesaikan masalahnya sendiri. Naskah yang ditulis empat orang
termasuk sutradara Siddharth P. Malhotra bergerak mengikuti pakem yang sudah
diterapkan ratusan film di luar sana, mulai Dead
Poets Society, Half Nelson, bahkan produk lokal macam Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara, ketika sang guru menerapkan pola
mengajar unik guna menangani siswa-siswi unik.
Belajar di luar kelas, memakai telur sebagai peraga, atau
materi-materi lain di samping kurikulum yang hanya bisa kita impikan terjadi di
dunia nyata supaya kegiatan mempelajari rumus fisika dan matematika di sekolah
dulu lebih menyenangkan. Tentu ada sosok oposisi. Wadia (Neeraj Kabi), guru
kelas 9A (kelas terbaik, sementara 9F yang diajar Naina adalah yang terburuk)
dengan pola pikir kolot yang menganggap kebahagiaan tak berbanding lurus dengan
kesuksesan. “We’re luckier but they’re
definitely happier”, begitu ucap salah satu murid 9A melihat siswa-siswi
Naina belajar sambil tertawa. Sebagaimana banyak film motivasional, dialog
buatan Ankur Chaudhry tak masuk akal namun enak didengar pula quotable.
Bisa dipastikan keteguhan Naina akan meluluhkan hati
anak-anak 9F. Bisa dipastikan pula, seorang anak bakal lebih sulit ditaklukkan.
Peran itu diemban Aatish (Harsh Mayar) yang gemar berkelahi dengan anak 9A,
tetapi di waktu bersamaan diam-diam menyukai gadis di kelas itu. Romantika
Aatish, seperti halnya perselisihan Naina dengan ayahnya atau potret kemiskinan
yang memancing sikap berat sebelah terkait hak memperoleh pendidikan, hadir
bukan sebagai distraksi. Fokus berhasil dijaga, sedangkan sempilan-sempilan di
atas berguna memberi dimensi kepada para tokoh, memanusiakan mereka alih-alih
sekedar alat pengeruk inspirasi.
Demikian juga alasan kegigihan Naina membantu 9F yang
memiliki dasar kuat. Dahulu ia pun diremehkan, dianggap bermasalah, aneh, dan
sebagainya. Wajar bila Naina merasakan ikatan. Memerankan karakter dengan
sindrom yang memiliki simtom gamblang, akting Mukerji menghindarkan kesan
parodi tak sensitif dari sosok Naina. Perhatikan saat tic-nya muncul di sela-sela perbincangan. Seolah kondisi ini telah
sekian lama menjadia bagian hidup Mukerji. Pasca 4 tahun “cuti melahirkan”, performa
aktris peraih piala Filmfare Awards
terbanyak ini (7 kemenangan dari 17 nominasi) sama sekali tidak terkikis.
Mengadaptasi buku Front
of the Class: How Tourette Syndrome Made Me the Teacher I Never Had buatan
motivator asal Amerika, Brad Cohen, Hichki
memang formulaik, tapi mengikuti kesuksesan drama edukatif dan motivasional
produksi Bollywood belakangan, hatinya ada di tempat yang tepat. Air mata haru,
atau setidaknya seperti saya, senyum lebar bakal mengembang mengamati
perjuangan Naina Mathur. Paling penting, selaras dengan tujuan besar si tokoh
utama, yakni memberi pendidikan, Hichki
memberi sepintas pemahaman tentang sindrom Tourette. Belum mendetail, namun
melihat fakta banyak penonton belum mengenal penyakit ini, pencapaian filmnya sudah cukup.
KENAPA HARUS BULE? (2018)
Rasyidharry
Maret 23, 2018
Andri Cung
,
Comedy
,
Cornelio Sunny
,
Cukup
,
Indonesian Film
,
Michael Kho
,
Natalius Chendana
,
Putri Ayudya
,
REVIEW
,
Romance
7 komentar
Perkenalkan Pipin Kartika (Putri Ayudya), gadis 29 tahun
dengan make up “mencolok”. Perona mata biru, lipstik merah menyala, juga bedak luar
biasa tebal namun tidak rata yang membuat wajah dan lehernya berbeda warna,
seolah berusaha menutupi kulit sawo matang miliknya. Pipin ingin dicintai, tapi
keinginan itu terbentur standar kecantikan. Pipin tidak cantik, setidaknya
begitu menurutnya, yang merasa rendah diri akibat sejak kecil kerap disamakan
dengan monyet oleh teman-temannya. Itulah mengapa ia berhasrat menikahi bule.
Selain demi memperbaiki keturunan, Pipin percaya paras eksotisnya lebih disukai
bule ketimbang pria lokal. Di samping perihal standar kecantikan, Kenapa Harus Bule? turut menyinggung
inferioritas masyarakat kita terhadap bangsa asing, khususnya dari negara
Barat.
Karya penyutradaraan kedua Andri Cung setelah The Sun, The Moon & The Hurricane
(2014)—atau ketiga jika menghitung segmen Insomnights
(bersama Witra Asliga) dan Rawa
Kucing di omnibus 3Sum (2013)—ini
mengetengahkan bagaimana keputusasaan Pipin mencari bule, kemudian memilih
pindah ke Bali atas saran sahabatnya, Arik (Michael Kho). Saya tak keberatan
apabila keseluruhan film ini diisi perbincangan Arik dan Pipin. Pertama kali
keduanya mengisi layar bersama, kita disuguhi perbincangan renyah dalam mobil
yang dikemas lewat satu take tanpa
putus. Di The Sun, The Moon & The
Hurricane, Andri kerap memakai teknik serupa, namun tanpa dinamika seperti
ini. Sebab kali ini ia punya duo Putri Ayudya-Michael Kho.
Sungguh seperti sahabat karib, mereka lancar bertukar kata,
canda, sambil disisipi sedikit sindiran yang takkan mengejutkan jika ternyata
bagian improvisasi. Putri Ayudya
menunjukkan akurasi performa sebagai pengejar bule yang bukan berasal dari
kalangan ekonomi ke atas, khususnya terkait pelafalan Bahasa Inggris medok yang kerap dicampur ungkapan
Bahasa Indonesia, misalnya “Make a new
friend is okay anyway KAAN?”. Energi di balik totalitasnya sanggup pula
memancing tawa tatkala sang sutradara terbukti kurang piawai membangun momen komedik.
Di Bali, Pipin terpapar dua pilihan: Buyung (Natalius
Chendana), pria dari masa lalunya yang tampan, mapan, perhatian, pula
mencintainya, tetapi bukan bule, atau Gianfranco Battaglia (Cornelio Sunny),
bule Italia yang telah lama ia idam-idamkan. Film ini mengetengahkan proses
mencari bule yang justru berujung menemukan makna cinta, sehingga mudah menebak
dengan siapa Pipin menjatuhkan pilihan. Namun karena filmnya lebih jarang
memperlihatkan kebersamaan Pipin dengan pria pilihannya daripada si pesaing,
hubungan mereka kurang berkembang, kurang merekah, sehingga konklusi pun terasa
kurang bermakna di hati.
Walau demikian saya menyukai perspektif bijak dalam pesan
yang diutarakan Andri Cung. Ketimbang menyerang pola pikir mayoritas masyarakat
tentang pernikahan dengan amarah, Andri mengambil jalan tengah. “Jangan
memaksakan diri menikah, tapi jangan juga tidak menikah cuma karena menyerah”.
Ditambah hal lain yang Pipin temukan yaitu “pemberdayaan”, Kenapa Harus Bule? jelas mengandung pesan penting, meski mengenai
eksekusi, baik di tataran romantis maupun komedi, setumpuk kelamahan masih
perlu diperbaiki. Apalagi kalau ke
depannya, Andri masih berniat menjadikan komedi satir macam ini sebagai lahan ekspresi.
Jangan mencari pencapaian teknis, sebab sinematografi,
pilihan shot, tata artistik, suara,
dan elemen-elemen pendukung lain tampil seadanya. Biarpun tidak sampai selevel
posternya yang jauh lebih norak daripada make up Pipin, aspek teknis Kenapa Harus Bule? jelas ada di taraf
medioker. Sebagaimana The Sun, The Moon
& The Hurricane, Andri Cung mengesampingkan teknis sambil mengedepankan
konten. Di sini, naskah tulisannya cukup efektif menjabarkan latar serta
motivasi karakter melalui cara yang subtil sehingga tidak perlu memakan banyak
waktu untuk eksposisi berkepanjangan.
PACIFIC RIM: UPRISING (2018)
Rasyidharry
Maret 22, 2018
Cailee Spaeny
,
Cukup
,
Idris Elba
,
John Boyega
,
REVIEW
,
Rinko Kikuchi
,
Science-Fiction
,
Scott Eastwood
,
Steven S. DeKnight
11 komentar
“We are cancelling the
apocalypse!”, demikian pidato membahana Jenderal Stacker Pentecost (Idris
Elba) yang menentukan nuansa Pacific Rim (2013).
Sebuah akhir dunia, ketika di tengah malam gelap, di antara gedung-gedung
pencakar langit, monster raksasa alias Kaiju melancarkan serangannya, dan
nyaris tiada harapan bagi umat manusia. Dalam Uprising, sekuel yang tiga tahun lalu sepertinya mustahil
direalisasikan akibat performa box office
film pertamanya biasa saja, atmosfer itu dilucuti, sementara mayoritas aksi
terjadi di siang hari bolong. Singkatnya, Pacific
Rim: Uprising memilih berpindah ke aliran “Bayhem”.
Tapi sutradara debutan Steven S. DeKnight bukan Michael Bay,
sebagaimana Jake Pentecost (John Boyega), putera Stacker Pentecost, bukanlah
ayahnya. Putera seorang pahlawan perang yang mengorbankan nyawa demi menutup
portal penghubung dunia kita dengan Kaiju, Jake justru menjadi pencuri
rongsokan sisa-sisa Jaeger. Juga mengorek rongsokan adalah gadis remaja bernama
Amara Namani (Cailee Spaeny) yang ingin (lalu berhasil) membangun Jaeger
seorang diri. Keduanya bertemu, sedikit bersitegang dalam interaski love/hate menarik yang membuat saya
berharap barter kalimat mereka terjalin lebih sering.
Alih-alih demikian, rivalitas setengah matang antara Jake dengan
Nate Lambert (Scott Eastwood), salah satu pilot Jaeger justru sempat mengambil
alih sentral. Pertmuan mereka terjadi setelah Jake dan Amara harus “menebus
dosa” dengan bergabung di kesatuan militer setelah direferensikan oleh Mako
(Rinko Kikuchi), protagonis film pertama sekaligus saudari tiri Jake. Amara
dengan bakat mekaniknya, sementara Jake mewarisi kehebatan sang ayah
mengendalikan Jaeger. Beberapa kali, Jake menegaskan bahwa ia dan ayahnya
berbeda. Saya setuju. Boyega jelas bukan Elba. Dia lucu, likeable, tapi kekurangan karisma sebagai jagoan utama film aksi.
Kita tahu akan ada titik balik pada sikap Jake, dan
kemunculan Mako menyiratkan apa pemicunya. Saya amat menantikan titik balik
tersebut, poin di mana Jake, beserta filmnya, bakal total terjun ke medan
perang. Karena, keputusan menghilangkan atmosfer “impending doom” ditambah kurangnya daya tarik dalam alur
meminimalkan tensi tatkala layar tidak sedang diisi pertarungan Jaeger melawan
Kaiju. Apalagi sepanjang paruh awal jarak tiap pertarungan terlampau jauh. Tapi
titik balik yang saya nanti baru benar-benar terlihat begitu markas militer
diserbu serangan mendadak. Tempo dipercepat dan pertaruhan nyawa meningkat,
yang bermuara pada totalitas klimaks.
Sekali lagi, Steven S. DeKnight bukan Michael Bay yang piawai
merangkai ledakan bombastis memikat mata dalam rentetan pertempuran para
raksasa yang nyaris seluruhnya dikemas bak puncak segalanya. Bagusnya, DeKnight
menyusun koreografi pertempuran ketimbang sekedar membenturkan besi-besi tanpa
bentuk maupun orientasi gerakan pasti. Ada kesadaran terhadap ruang, waktu,
juga wujud. Robot-robot DeKnight bisa berguling, menendang, berkelahi dengan
lincah, memamerkan beraneka ragam senjata, dan penonton takkan kesulitan mengamati apa yang tengah terjadi dan
melibatkan siapa saja.
Saya yakin akan sering mendengar pertanyaan “lebih bagus mana
dibanding film pertama?”. Biar saya jabarkan. Kalau anda menyukai Pacific Rim dengan alasan seperti saya,
yaitu atmosfer “hari akhir” yang mengiringi pertarungan seru, besar kemungkinan
Uprising kurang memuaskan. Tapi jika
anda menyukainya karena alasan berbeda, atau justru sebaliknya, bukan merupakan
penggemar disebabkan pertempuran di film pertama kurang mengedepankan unsur “fun” boleh jadi sekuelnya menghadirkan
kesenangan. Setidaknya, bagi penonton yang mencari aksi imajinatif seputar
robot raksasa, Pacific Rim: Uprising
masih memberikan tempat bernaung.
THE PRINCESS AND THE MATCHMAKER (2018)
Rasyidharry
Maret 20, 2018
Choi Min-ho
,
Comedy
,
Hong Chang-pyo
,
Kang Min-hyuk
,
Kim Sang-kyung
,
Korean Movie
,
Kurang
,
Lee Seung-gi
,
REVIEW
,
Romance
,
Shim Eun-kyung
Tidak ada komentar
The Princess and the
Matchmaker adalah
film yang membuat saya tidak peduli akan intrik-intrik alurnya dan sekedar
menantikan bit demi bit komedi yang dibawakan oleh pemeran utamanya yang
handal. Pertanyaannya, seberapa lama sebuah film mampu bertahan dengan hanya
mengandalkan itu. Tidak lama. Tapi rasanya golongan penonton wanita muda
penggila kultur Korea—yang berdasarkan pengalaman serta observasi mudah
terpancing antusiasme dan teriakannya—takkan peduli. Pada film di mana Kang
Min-hyuk (CNBLUE) tampil sebagai pemeran pendukung sementara Choi Min-ho
(Shinee) dan Lee Seung-gi menjadi kakak beradik, teriakan maupun desahan manja
mereka memang sukar dibendung.
Itu terjadi saat gala premiere. Studio langsung gegap gempita
kala kemunculan perdana Seung-gi, meskipun kamera sekedar menampilkan sekelebat
wajahnya yang tertutup Gat (topi tradisional Korea). Dia memerankan Seo Do-yoon
si jago ramal kepercayaan istana. Ya, sang Raja (Kim Sang-kyung) amat percaya
hal-hal demikian, termasuk mempercayai ahli astrologi untuk mengadakan
sayembara pencarian calon suami bagi Puteri Songhwa (Shim Eun-kyung). Dia
percaya, pernikahan bakal menghentikan kemarau berkepanjangan. Berbekal keahlian
meramalnya, Do-yoon diminta menyeleksi siapa di antara para calon paling cocok
menikahi sang Puteri.
Namun Songhwa bukan Puteri biasa. Dia dianggap terkutuk.
Konon melihat wajahnya saja bisa mendatangkan kutukan. Dia pun bukan Puteri
manis penurut. Khawatir terhadap nasihnya yang segera menikahi orang asing,
Songhwa nekat berkomplot dengan pelayan agar bisa keluar dari istana supaya
berkesempatan memata-matai calon suaminya satu per satu. Total ada 4 pria, dan The Princess and the Matchmaker
mengetengahkan bagaiman Songhwa menemukan kejanggalan di masing-masing calon,
baik yang dikemas jenaka maupun serius. Kita tahu jika takdir nantinya
menyatukan ia dengan si peramal yang juga tengah berusaha menyembuhkan kebutaan
kakaknya yang diperankan CHOI MIN-HO dari SHINEE. Sayup-sayup teriakan fangirls itu terdengar lagi.
Di satu adegan, tepatnya pertemua pertama kedua tokoh utama,
Songhwa mengendap-endap di malam hari sambil mengenakan kostum angsa.
Tingkahnya konyol. Kekonyolan yang sanggup mengemban beban menyokong dinamika
film berkat ketepatan comedic timing Shim
Eun-kyung yang sebelumnya dikenal lewat judul-judul seperti Sunny (2011) sampai Miss Granny (2014). Seung-gi, bermodalkan pesona di balik
ketenangannya adalah tandem yang tepat bagi kejenakaan Eun-kyung. Interaksi keduanya
hidup, asyik, menggelitik, sebagaimana kebutuhan utama suatu komedi-romantis.
Andai saja naskah garapan Lee So-mi menjalin alurnya lebih
rapi, tanpa perlu memperumit keadaan dengan menerapkan sejumlah flashback singkat yang makin
membingungkan akibat kurang cakapnya sutradara debutan Hong Chang-pyo menangani
penuturan non-linier tersebut. Kompleksitas ini tak perlu, mengingat intrik
politik perebutan kekuasaan dalam The
Princess and the Matchmaker sejatinya biasa, pun telah jamak ditemui dalam
film-film serupa. Keberadaannya melemahkan dinamika sekaligus
intensitas. Sementara proses “matchmaking”
yang dilakukan Do-yoon sebenarnya menarik, dikemas layaknya usaha memecahkan
kode. Sayang, lagi-lagi hadir kerumitan tidak perlu. Kali ini terkait permainan
kata yang sulit diikuti karena ketiadaan waktu berkenalan atau pemahaman di
awal soal metode ramal-meramal itu.
Tujuan film ini sederhana saja, yaitu menyajikan hiburan
ringan. Memberi tawa pada penonton kala mendapati Songhwa berlawanan dengan
kepatuhan maupun keanggunan yang jadi keharusan sikap seorang Puteri di era
Joseon, atau kerajaan mana pun khususnya di masa lalu. The
Princess and the Matchmaker semestinya setia di jalur tersebut, alih-alih
beralih ke ranah yang lebih serius dan kelam di sepertiga akhir durasi. Seiring
membesarnya bahaya yang dihadapi Songhwa, seiring menghilangnya senyum serta
kecanggungan menggelitik sang Puteri, semakin pupus pula daya tarik The Princess and the Matchmaker.
ANNIHILATION (2018)
Rasyidharry
Maret 18, 2018
Alex Garland
,
Gina Rodriguez
,
Jennifer Jason Leigh
,
Natalie Portman
,
Oscar Isaac
,
REVIEW
,
Sangat Bagus
,
Science-Fiction
,
Tessa Thompson
,
Tuva Novotny
24 komentar
Saya sudah menjumpai begitu banyak film bagus. Lebih dari Annihilation. Tapi baru kali ini timbul
urgensi untuk menonton ulang tepat setelah film berakhir. Alasannya sederhana. Karya
penyutradaraan kedua Alex Garland (Ex
Machina) ini terasa segar juga unik. Membuka jalan melakukan terobosan
tanpa batas adalah kekuatan utama genre fiksi ilmiah (yang kerap dilupakan para
pembuatnya), dan Garland memanfaatkannya guna menciptakan cerita, visual, serta
dunia baru nan misterius yang belum pernah saya temui. Walau beberapa penonton
bakal membencinya, karena seperti hidup, Annihilation
enggan menawarkan kepastian.
Lena (Natalie Portman), ahli biologi sekaligus mantan
prajurit, mungkin tidak membenci hidup, tapi jelas kurang antusias
menjalaninya. Setahun berlalu setelah sang suami, Kane (Oscar Isaac) yang juga
seorang tentara, hilang kala bertugas. Sehingga betapa mengejutkan ketika Kane
tiba-tiba pulang meski ada yang berbeda dari dirinya. Kane hanya diam, menjawab
singkat pertanyaan Lena, kemudian kejang sambil muntah darah. Di tengah
perjalanan menuju rumah sakit, polisi menyergap ambulans yang ditumpanginya,
membawa Lena dan Kane ke fasilitas rahasia bernama “Area X”. Semua terjadi
hanya dalam 11 menit durasi. Untuk film yang diberi label “slow paced”, Annihilation
bergerak cepat dari satu titik ke titik berikutnya.
Ketiadaan momen bombastis adalah alasan filmnya disebut
lambat. Pun tidak butuh waktu lama bagi kita (dan Lena) melihat “the shimmer”, area di balik gelombang
elektromagnet warna-warni bak pelangi yang cakupannya meluas secara berkala. Semua
tim yang dikirim ke sana hilang. Adegan pembukanya, di mana Lomax (Benedict
Wong) menginterogasi Lena memperlihatkan jika ia memutuskan masuk dan jadi
satu-satunya yang keluar hidup-hidup. Di film lain, itu bakal mengurangi
intensitas. Namun Annihilation bukan
film lain. Tersimpan setumpuk misteri yang menarik ditelusuri selain “apakah
protagonisnya selamat?”.
Garland menjadikan “the
shimmer” wahana bermain dengan kemungkinan tanpa batas. Selain Lena selaku
ahli biologi, ada Anya (Gina Rodriguez) si paramedis, Josie (Tessa Thompson) si
fisikawan, Cass (Tuva Novotny) si geologis, dan psikolog sekaligus pemimpin
ekspedisi, Dr. Ventress (Jennifer Jason Leigh). Tapi “the shimmer” memporak-porandakan pemahaman saintific mereka.
Seluruh organisme di sana adalah anomali dengan perubahan susunan DNA.
Karakternya terpana, pun saya, ketika ditemani scoring elektronik garapan Ben Salisbury dan Geoff Barrow serta
lagu Helplessly Hoping yang sama-sama
menghipnotis, mendapati desain produksi menawan seperti bunga beraneka warna
hingga tumbuhan berbentuk manusia (atau sebaliknya?). Dibantu tim artistiknya,
Garland menunjukkan definisi dari “visioner”.
Pertanyaannya, “apakah tokoh-tokohnya juga ingin mengubah
struktur diri mereka?”. Bukan cuma bicara di tataran fisik, pula psikis.
Keempat wanita ini memendam luka sembari merusak diri sendiri. Self-destruct. Itu poin utama alur sekaligus
kunci memecahkan misteri Annihilation
yang bakal mencapai puncak absurditas pada klimaks. Seperti diungkap Dr.
Ventress. self-destruct berbeda
dengan bunuh diri, alias bukan akhir. Mayoritas dari kita melakukannya. Suatu
proses natural yang nantinya berujung berubahan, menciptakan sesuatu yang baru.
This is what the whole story of “Annihilation”,
especially its weird climax is all about.
Sudah menontonnya dua kali, saya berkesempatan memperhatikan
beragam detail termasuk akting Natalie Portman. Serupa dialog-dialog dalam
naskah buatan Garland yang mengadaptasi novel berjudul sama milik Jeff
VanderMeer, Portman handal memainkan kesubtilan, menyampaikan informasi terkait
isi hati karakternya secara tersirat melalui perubahan kecil di raut wajah. Annihilation pun sama subtilnya, karena
lagi-lagi sama seperti hidup, segalanya tak selalu terpapar gamblang. Perlu melalui
proses pemahaman panjang serta beragam, yang menurut film ini, salah satunya
adalah dance battle menghadapi alien peniru
wujud dan gerakan kita.
THE STRANGERS: PREY AT NIGHT (2018)
Rasyidharry
Maret 18, 2018
Bailee Madison
,
Bryan Bertino
,
Christina Hendricks
,
Cukup
,
horror
,
Johannes Roberts
,
Lewis Pullman
,
Martin Henderson
,
REVIEW
7 komentar
Di luar beberapa kesunyian serta shot mencekam yang memanfaatkan ruang gelap, The Strangers (2008) tak ubahnya prank berkepanjangan selama 107 menit. Tanpa plot, tanpa penggalian
karakter, tanpa kejadian signifikan. Satu dekade berselang, Bryan Bertino
selaku sutradara sekaligus penulis skenario film pertama, telah terlibat di
lima film lain dalam berbagai kapasitas. Artinya, banyak hal telah dipelajari, mulai
teknik penulisan, sampai realisasi terhadap kapasitas diri, sehingga ia pun menyerahkan
tampuk penyutradaraan kepada orang lain yang lebih kompeten.
Johannes Roberts (The
Other Side of the Door, 47 Meters Down) kini memegang kendali, mengarahkan naskah
yang Bertino buat bersama Ben Ketai. Dibanding Bertino, Roberts tahu film-film
apa yang tepat dijadikan referensi sambil memberi tribute yang karena ditempatkan secara pas, mampu menguatkan
estetika film ketimbang sekedar penghormatan kosong. John Carpenter adalah
panutannya. Maka tidak heran saat musik berbasis denting piano creepy ala musik tema Halloween (1978) yang ikonik itu membuka The Strangers: Prey at Night, sekuel
dengan skala serta kualitas yang melebihi pendahulunya.
Skala membesar artinya jumlah tokoh bertambah. Bukan cuma
sepasang kekasih suram yang tengah bertengkar, tapi empat orang anggota
keluarga: Mike (Martin Henderson) sang ayah, Cindy (Christina Hendricks) sang
ibu, Luke (Lewis Pullman) sang anak laki-laki, dan Kinsey (Bailee Madison),
sang anak perempuan sekaligus sumber masalah yang selalu memberontak pula
bersikap ketus. Kenakalan Kinsey membuatnya dikirim ke sekolah asrama. Sebelum
ia pergi, mereka berempat memutuskan berlibur guna menghabiskan waktu bersama
sebagai keluarga. Tidak ada yang menyadari kebersamaan itu jadi yang terakhir
kali ketika tiga orang asing bertopeng melancarkan aksinya.
Pada film pertama, dengan hanya dua tokoh utama, kita tahu
mayoritas teror takkan berujung banjir darah apalagi kematian, menyebabkan
jalannya durasi membosankan. Di sini, kita tahu bakal ada yang meregang nyawa.
Tinggal masalah kapan dan bagaimana. Ini bukti peningkatan kapasitas Bertino
menyusun naskah, meski di waktu bersamaan, ia terjebak dalam keklisean horor
berupa kebodohan karakter yang dipaksakan hadir demi memperpanjang konflik.
Sempat dua kali para protagonis berpeluang menghabisi dua dari tiga antagonis. Tinggal
menarik pelatuk, tapi disebabkan alasan tak masuk akal, tindakan logis itu
urung dilakukan.
Kebodohan tersebut sempat menurunkan minat saya. Kenapa saya
harus mempedulikan karakternya bila filmnya urung memberi mereka harapan? Bukan
karena antagonis yang sukar dibunuh, melainkan protagonis yang bagai enggan selamat.
Untungnya, setelah melewati beberapa kematian yang disajikan secara “jinak” pun
minim kreativitas untuk ukuran slasher
(tusuk sana-sini), harapan mulai dimunculkan. Third act-nya menebus segala ketumpulan di awal, dengan adegan “pergulatan
kolam renang” selaku titik balik, sebab dari situ peluang tokohnya keluar
hidup-hidup mulai terasa.
Sebagai penggemar Carpenter yang piawai menempatkan
Michael Myers di area nihil cahaya, diam-diam mengintip sebelum tiba-tiba
menyergap, Roberts mampu merangkai ketegangan memakai teknik serupa. Bahkan jump scare paling mengejutkan nan menyeramkan
film ini melibatkan sudut gelap (petunjuk: we’re just started). Bukan cuma Carpenter. Referensi
terkait horor era lalu tumpah ruah di klimaks yang amat menyenangkan.
Mobil terbakar ala Christine (1983),
adegan penutup The Texas Chainsaw
Massacre (1974), dan tentunya lagu-lagu 80an seperti Making Love Out of Nothing at All dan I Think We’re Alone Now yang sempat dipakai oleh Mother’s Day, satu lagi horor dari medio
80an. The Strangers: Prey at Night
mampu mengungguli film pertama karena keberhasilannya menambal kekurangan-kekurangan
fatal pendahulunya.
A WRINKLE IN TIME (2018)
Rasyidharry
Maret 17, 2018
Ava DuVernay
,
Chris Pine
,
Deric McCabe
,
Fantasy
,
Kurang
,
Mindy Kaling
,
Oprah Winfrey
,
Reese Witherspoon
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Storm Reid
,
Zach Galifianakis
8 komentar
Ava DuVernay (Selma)
punya kepekaan soal isu kemanusiaan, itu harus diakui. Tapi menilik hasil akhir
A Wrinkle in Time, yang membawanya
mengukir sejarah sebagai wanita non-kulit putih pertama yang menggarap live action blockbuster berbiaya ratusan
juta dollar, hatinya jelas bukan di dunia fantasi. Walau visinya akan estetika
visual terlihat, DuVernay bagai tak percaya apa yang ia presentasikan nyata, setidaknya
dalam benaknya. Maka tidak heran ketika para manusia bersanding bersama
sosok-sosok “khayal”, kedua sisi gagal membaur, bahkan tampak canggung sebabs sang
sutradara sebatas bongkar pasang dan asal menerapkan CGI.
Ceritanya merupakan adaptasi novel berjudul sama karya
Madeleine L’Engle yang dianggap mustahil difilmkan. Tidak ada yang mustahil difilmkan
selama si pembuat film turut menyangkal kemustahilan itu. DuVernay pasti
meyakini gadis seperti Meg (Storm Reid), yang berubah murung hingga jadi korban
penindasan di sekolah pasca ayahnya, Dr. Alex Murry (Chris Pine), menghilang
selama 4 tahun, punya kekuatan. Mungkin juga DuVernay mempertimbangkan, bahwa
teori fiksi imiah Dr. Alex yang menyatakan manusia bisa melintasi semesta dalam
sekejap, berpoteni terealisasi satu hari kelak.
Tapi apakah ia percaya, atau terobsesi terhadap makhluk
astral seperti Mrs. Which (Oprah Winfrey), Mrs. Whatsit (Reese Witherspoon),
Mrs. Who (Mindy Kaling)? Saya ragu. Ketiganya datang menemui Meg, mengabarkan
jika ayahnya masih hidup di salah satu sudut semesta, meski nyawanya tengah
terancam. Mereka percaya Meg bisa diandalkan untuk mengalahkan entitas
kegelapan penebar kejahatan. Kenapa? Narasi “the chosen one” seperti ini perlu menjabarkan sisi spesial sang
protagonis. Apa yang membuat Meg spesial? Dia mencintai ayahnya? Saya juga, dan
Oprah Winfrey belum pernah mengetuk pintu rumah saya menawarkan bantuan.
Meg dipilih karena ia puteri Dr. Alex yang mendobrak batasan
sains umat manusia. Jadi sang ayah yang spesial, bukan Meg. Visualnya merupakan poin spesial lain, baik
tata kostum unik nan glamor yang dikenakan trio Mrs., sampai pemandangan di
berbagai planet selaku destinasi perjalanan Meg dan kawan-kawan. Planet pertama
paling memikat, bukan karena CGI menawan, melainkan keberhasilan DuVernay
membangun sense of wonder. Di
beberapa kesempatan, DuVernay juga sempat memamerkan kreativitas mengemas pemandangan
absurd, menjadikan A Wrinkle in Time blockbuster aneh dengan kekhasan.
Sayangnya setelah itu rentetan kecanggungan yang membuktikan
ketiadaan passion plus kurangnya
pengalaman berpengaruh buruk bagi gelaran non-realis macam ini. Lihat betapa aneh
Oprah dalam wujud raksasa berdiri kaku tanpa berbuat apa pun. Ini masalah pengadeganan, soal Mise en Scene, bukan cuma CGI buruk. Mayoritas umat manusia
mengagumi Oprah, tapi wajah raksasanya dibelai oleh Charles Wallace (Deric
McCabe), adik angkat Meg, justru terkean creepy
dan cringey. Sewaktu titik paling
menarik dalam petualangan adalah Zach Galifianakis yang secara mengejutkan
piawai melakoni akting dramatik, bisa dipastikan filmnya bermasalah. Storm
Reid, meski tak bermain buruk, belum mampu menangani kompleksitas protagonis
yang muram tapi wajib menarik simpati penonton.
“Tesser”. Demikian
perjalanan mengerutkan ruang dan waktu disebut. Alur naskah tulisan Jennifer
Lee dan Jeff Stockwell bak membawa penonton melakukan tesser, bergerak kasar keraap melompat mendadak, makin melucuti intensitas
emosi dan adrenalin petualangannya. Apalagi pertempuran puncak justru berujung
anti-klimaks. Kedua penulis tampak bingung meladeni konsep tinggi novelnya
ketika alih-alih perenungan filosofis, justru benang kusut yang terbentang. Perjalanan
berkeliling semesta membawa para tokoh menuju realisasi akan masalah
masing-masing, dan seperti filmnya sempat singgung, sejatinya semesta ada di
dalam diri seseorang. Intinya adalah menggali, mengenali, berdamai dengan diri
sendiri. Pesan indah yang tenggelam akibat kebingungan A Wrinkle in Time menghadapi kerumitannya sendiri.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
19 komentar :
Comment Page:Posting Komentar