THE SHAPE OF WATER (2017)

19 komentar
Guillermo del Toro menyebut The Shape of Water, yang membawanya meraih Oscar untuk Best Director (pun filmnya memenangkan Best Picture), selaku ekspresi atas hal-hal yang mengisi kekhawatirannya sebagai orang dewasa khususnya soal cinta, setelah dalam 9 film sebelumnya, del Toro mengunjungi mimpi serta ketakutannya semasa kecil. Mungkin ia takut dunia mulai kehabisan cinta. The Shape of Water diawali keinginan del Toro melihat kisah cinta antar-spesies Creature from the Black Lagoon (1954) berujung bahagia, pasca niat membuat remake-nya ditolak pihak studio. Dan jelas ia menuturkan seluruh adegan dengan penuh cinta dan kelembutan.

Cinta yang dimaksud bukan cuma pada tataran romantis, pula tak hanya sesama manusia, tapi antar makhluk hidup. Elisa Esposito (Sally Hawkins) si protagonis wanita merupakan tuna wicara yang menjadi petugas kebersihan di suatu laboratorium rahasia milik pemerintah. Elisa bertetangga dengan Giles (Richard Jenkins), pelukis tua yang karirnya mentok, pula seorang gay. Menengok kondisi masing-masing, keduanya berhak merasa takut jika tidak ada lagi cinta bagi mereka. Alhasil saat Elisa bertemu “Amphibian Man” (Doug Jones) yang dikurung, disiksa, dijadikan bahan eksperimen laboratorium tempatnya bekerja, ia hanya ingin mencintai makhluk malang yang juga sedang sendirian pula ketakutan ini.
Mengambil setting waktu era 60-an kala Perang Dingin, del Toro bersama Vanessa Taylor (Hope Springs, Divergent) mendapat banyak bekal guna menyampaikan pesan melalui naskahnya. Inilah masa di mana kebencian, kecurigaan, ketakutan, segala emosi negatif memuncak. Narasi pada adegan pembuka—ketika kita dibawa menyelami “kamar bawah air” ditemani musik indah gubahan Alexandre Desplat—yang Jenkins bacakan mengandung kalimat “And the tale of love and loss, and the monster, who tried to destroy it all”. “Monster” di sini adalah Kolonel Richard Strickland (Michael Shannon) yang keji sekaligus pelaku pelecehan, kubu Amerika dan Rusia yang hendak memanfaatkan bahkan membunuh si manusia ikan, sampai pelayan cafe rasis pula homophobic.

Sejatinya isu-isu The Shape of Water masih relevan, tetapi pemakaian latar masa lalu merupakan keputusan tepat. Membawanya ke tatanan modern berpotensi memunculkan distraksi. Penonton yang makin haus akan “film kritis” bakal condong memperhatikan isu ketimbang cerita utama. Dengan begini, beragam unsur tersebut jadi sebatas subteks yang bersifat memperkaya, sementara sorotan utama tetap seputar romansa fantasi. Pun terkait latar lawasnya, musik Desplat bagai berasal dari suguhan klasik Hollywood; dreamy, kental nuansa fantasi yang memancarkan keindahan, harapan, pula imaji. Keindahan yang turut dihasilkan tim desain produksinya, termasuk dalam mengemas rumah Elisa yang seperti berasal dari dunia dark fairy tale, sesuatu yang sering jadi lahan bermain del Toro.
Saya membayangkan del Toro mengarahkan di lokasi dengan mata berbinar, tersenyum lebar, penuh aura positif. Adegan pembuka dan penutup yang puitis itu takkan bisa dihasilkan oleh pria pemurung. Tentunya ia pun dianugerahi daya kreasi plus imajinasi tinggi, yang terbukti ketika momen musikal “dadakan”mulai mengisi. Momen yang diawali serta diakhiri oleh transisi cerdik nan rapi guna mewakili isi hati Elisa, karakter yang jadi media Sally Hawkins memperlihatkan makna ketulusan dalam berakting. Hawkins memberi performa yang mampu seketika mencuri perasaan penonton hanya melalui senyuman. Sewaktu Elisa berbahagia, saya berbahagia. Sewaktu Elisa jatuh cinta, cinta itu turut menjangkiti perasaan saya.

Bagi Guillermo del Toro, cinta berbentuk seperti air. Tidak bisa didefinisikan, namun keberadaannya senantiasa mengisi ruang-ruang kosong, kemudian berubah menyesuaikan wujud ruang tersebut. Kita butuh film-film semacam The Shape of Water. Film yang selain membicarakan cinta, turut dibuat dengan cinta, tanpa melupakan pentingnya sisi estetika.

19 komentar :

Comment Page:

READY PLAYER ONE (2018)

25 komentar
Pada 2045 saat dunia menjadi kumuh akibat overpopulasi, polusi, korupsi, dan perubahan iklim, umat manusia memilih “kabur” ke OASIS (Ontologically Anthropocentric Sensory Immersive Simulation), dunia virtual ciptaan James Halliday (Mark Rylance) yang dapat diakses memakai kacamata VR, di mana seseorang bebas menjadi siapa saja serta melakukan apa saja. Pada 2018 saat dunia kerap lupa bersenang-senang, umat manusia mestinya “kabur” ke Ready Player One, dunia imajinatif ciptaan Steven Spielberg, yang sebaiknya dinikmati memakai kacamata 3D. Kostum XI dapat memaksimalkan sensasi OASIS yang karakternya alami,  sedangkan format 4DX menghasilkan efek serupa bagi filmnya.

Berasal dari novel fenomenal berjudul sama buatan Ernest Cline (juga selaku penulis naskah bersama Zak Penn) yang dipenuhi referensi kultur populer 80-an, jelas tak ada yang lebih pantas menggarap adaptasi layar lebarnya selain Spielberg. Pertama, ia termasuk sosok paling berpengaruh yang membentuk kultur populer masa itu lewat trilogi Indiana Jones (1981-1989), sampai E.T. the Extra-Terrestrial (1982). Kedua, tidak ada sutradara sehebat dirinya perihal merangkai hiburan visioner kental kreativitas bertabur efek spesial berskala besar. Sekali lagi, TIDAK ADA.
Wade Watts (Tye Sheridan), bocah yatim piatu berusia 18 tahun yang tinggal di pemukiman kumuh di Columbus, Ohio, merupakan protagonis kita. Seperti orang-orang yang lebih betah memamerkan diri di dunia maya (baca: sosial media) karena merasa sosok aslinya payah, Wade pun menghabiskan mayoritas waktunya di OASIS. Menggunakan avatar bernama Parzival, Wade mengikuti kompetisi mencari easter eggs yang ditinggalkan Halliday sebelum meninggal. Si pemenang bakal mewarisi kepemilikan OASIS plus hadiah-hadiah lain. Masalahnya, rintangan yang mesti dihadapi teramat sulit, belum lagi ancaman dari Nolan Sorrento (Ben Mendelsohn) beserta perusahaan penyedia peralatan VR miliknya, IOI (Innovative Online Industries), yang berambisi menguasai OASIS.

Saya berharap Ready Player One meluangkan sedikit lagi waktu menyelami dunia maupun karakternya lebih jauh, namun kehebatan Spielberg merangkai spectacle membuat saya tidak keberatan langsung terjun ke dalam aksi bombastis sejak menit awal. Balapan melintasi versi OASIS untuk New York di mana bola-bola besi raksasa, T-Rex, hingga King Kong telah menanti guna menggagalkan usaha menemukan easter eggs. Ini baru tahap pertama, tapi itu urung memudahkan perjuangan Parzival dengan mobil “Back to the Future” miliknya menembus garis akhir. Begitu pula Art3mis (Olivia Cooke), sosok pemain terkenal pengendara motor merah dari animasi Akira yang jadi pujaan Parzival.

Balapan tersebut membuktikan betapa Spielberg paham cara membangun tensi. Reruntuhan gedung yang membuat mobil saling bertabrakan, amukan King Kong yang menghancurkan kendaraan pemain layaknya mainan plastik murahan, bukan sekedar pawai CGI. Terdapat dimensi, bobot, alih-alih gambar rekayasa komputer yang beterbangan tanpa massa tubuh. Berkatnya, kesan bahwa para tokoh sungguh terancam bahaya pun terasa. Menegangkan, tetapi Spielberg tak pernah lalai menyuntikkan nuansa senang-senang.
Ready Player One mengajak kita merayakan hidup, baik di dunia nyata maupun maya. Keseimbangan itu dibutuhakan. Spielberg wants us to know what it feels like to live our lives at its fullest. Caranya adalah meniadakan set piece yang sifatnya filler. Total ada 3 kunci diperlukan demi mendapatkan hadiah dari Halliday, dan tiap fase pencarian kunci mengandung momen penyulut decak kagum dan sorak sorai berupa visualisasi kelas wahid Spielberg terhadap ide tertulis Cline. Di tangan Spielberg, hal terpenting bukan “ada berapa tokoh dan/atau referensi budaya populer?”, melainkan bagaimana semua dirangkum menjadi adegan solid. Pun naskahnya meniadakan kesan “pamer”, sehingga tur mengelilingi Hotel Overlook, lantai dansa nol gravitasi dilengkapi lagu Stayin’ Alive, sampai pergumulan “tiga raksasa” di klimaks bak fase alamiah yang wajib alurnya lalui.

Tetap ada cela. Sebagai film mengenai ajakan agar tak melupakan realita, adegan “dunia nyata” film ini kekurangan daya pikat. Saya merasa seperti manusia-manusia di dalamnya yang memilih kehidupan OASIS ketimbang kenyataan. Satu-satunya momen (mendekati) realita yang tampil menarik terletak menjelang akhir, Mark Rylance memperlihatkan akting kaya sensitivitas sebagai Halliday, si pria jenius yang introvert pula canggung soal sosialisasi. Namun di kemunculan pamungkasnya, dibalut kehangatan ala Spielberg, Rylance menunjukkan bahwa Halliday telah berubah. Lebih dewasa, lebih matang, lebih bijak. Kita semua mampu mengalami perubahan serupa asal tidak terlampau lama menetap di dunia maya.

25 komentar :

Comment Page:

#TEMANTAPIMENIKAH (2018)

19 komentar
Kita menyukai keajaiban. #TemanTapiMenikah adalah film tentang keajaiban. Tidak perlu kehadiran makhluk-makhluk mitologi atau ilmu sihir. Menyebut “cinta sendiri adalah keajaiban”, rasanya tidak berlebihan, sebab, karenanya banyak hal-hal di luar nalar terjadi. Termasuk persahabatan yang akhirnya berlanjut ke jenjang pernikahan, sebagaimana perjalanan pasangan Ditto Percussion dan Ayudia Bing Slamet yang berawal dari pertemanan selama 12 tahun. Keduanya merangkum kisah itu ke dalam buku berjudul sama yang jadi materi adaptasi filmnya.

Bukunya sendiri kerap disebut “Buku Kuning”, yang merujuk pada sampulnya. Berniat menyesuaikan, sisi visual filmnya dikemas lewat nuansa kekuningan. Cerah, menyenangkan. Sama seperti momen pembuka saat Ditto (Adipati Dolken) duduk menanti Ayu (Vanesha Prescilla) di sebuah kafe. Suara-suara di sekitarnya; gelas, sendok, kucuran air, dan lain-lain, mulai menciptakan ritme harmonis. Setidaknya di kepala Ditto. Kepekaan terhadap ketukan ritmis dia miliki, karena passion-nya di bidang musik, khususnya perkusi. Ini asal muasal kata “Percussion” hadir selaku nama belakangnya.
Biar begitu, kalau bukan didorong Ayu, Ditto mungkin takkan menekuni perkusi. Gadis ini cinta pertamanya, sejak mengidolakan Ayu dari layar kaca ketika masih kecil, kemudian bertemu di bangku SMP, lalu bersahabat sampai masa kuliah. Ditto memilih memendam perasaan demi melindungi kedekatan mereka. Walau artinya dia mesti tabah mendapati sang pujaan hati menjalin hubungan dengan pria lain. Sungguh mengasyikkan persahabatan Dito-Ayu. Selalu menghabiskan waktu berdua, saling tolong sembari saling ejek, termasuk soal pacar masing-masing. Mereka selalu tertawa, begitu pula saya.

Bermula sejak dinamisnya adegan pembuka, interaksi dua tokoh utama tak pernah luput memancing senyum. Beberapa berkat kecerdikan naskah buatan Johanna Wattimena dan Upi merangkai interaksi tanpa mengumbar kalimat puitis, beberapa berkat penyutradaraan Rako Prijanto (3 Nafas Likas, Sang Kiai, Bangkit!) yang mengutamakan kesan natural ketimbang memaksakan kekonyolan atau dramatisasi, tapi mayoritas berkat chemistry luar biasa Adipati dan Vanesha. Pria tampan dan wanita cantik dengan busana tak berlebihan namun memikat mata yang rutin memancing tawa bahagia satu sama lain. Sulit untuk tidak terbuai oleh keduanya.
Tanpa terbebani keharusan merespon gombalan-gombalan aneh, Vanesha tampil lepas. Kemudian ada Adipati dalam salah satu penampilan paling menghiburnya. Pun kapasitasnya melakoni drama tetap kentara. Pada sebuah momen, Ayu menangis membelakangi Ditto yang hanya bisa memandang, memasang wajah iba. Bagi saya, mise en scene seperti itu, kala seorang tokoh menyuarakan isi hati pada orang lain secara non-verbal tanpa orang lain itu sadari (contohnya “belaian” Celine untuk Jesse di Before Sunset), punya emosi lebih kuat. Penonton bagai diajak memasuki ruang personal si tokoh yang hanya diketahui dia dan kita. Bagi aktor, adegan macam ini butuh ketepatan timing serta kenaturalan merespon situasi.

Nyaris selalu tertawa oleh kelucuan atau tersenyum karena rasa manisnya, #TemanTapiMenikah juga berhasil mengalirkan air mata sewaktu menyaksikan resolusi romantika Ditto-Ayu di lokasi konser yang telah kosong. Nihil puisi, tiada pula ucapan “I love you”. Cuma dua sahabat yang masih melontarkan ejekan demi ejekan, bedanya kali ini mereka telah menyimpan perasaan serupa. Bukan tangis kesedihan, bahkan mungkin juga bukan haru. Entahlah. Mendadak terasa sesuatu yang manis dan indah. Sulit menjelaskannya menggunakan nalar, karena seperti telah disinggung, eksistensi cinta memang di luar nalar, atau dengan kata lain, keajaiban.

19 komentar :

Comment Page:

DANUR 2: MADDAH (2018)

27 komentar
Danur 2: Maddah adalah teror yang kehabisan daya akibat buruknya naskah. Apa perlunya horor memiliki naskah bagus? Bukankah menjadi seram sudah cukup? Benar, tapi banyak yang lupa atau luput memahami, bahwa kengerian dan kestabilan intensitas membutuhkan kekuatan naskah. Awi Suryadi (Danur: I Can See Ghosts, Badoet) adalah sutradara horor berbakat dengan sejumlah visi memikat soal membangun teror. Tapi Awi juga punya batasan. Tatkala (seperti film pertama) Maddah nampak bak mozaik jump scare satu setengah jam ketimbang jalinan plot, ia pun kelabakan, seperti tengah menimba di sumur hingga kering, kemudian mengambil tanah basah di dasar sumur, memerasnya, berharap menemukan air. Tentu cuma ada kotoran.

Saya belum membaca Maddah buatan Risa Saraswati, tapi jumlah halaman naskah ciptaan Lele Laila (Danur: I Can See Ghosts, Keluarga Tak Kasat Mata) rasanya tidak sampai setengah novel setebal 252 halaman itu. Naskah yang disusun bukan demi menyampaikan cerita utuh melainkan memenuhi kuota 92 menit durasinya. Caranya bebas, termasuk mengulang adegan mimpi sebanyak tiga kali. Awi pun dibebani tugas sama. Dibantu sinematografer Adrian Sugiono (Danur: I Can See Ghosts, Jomblo Keep Smile), kamera kerap bergerak pelan, melayang layaknya arwah kehilangan tujuan yang sesekali mampu mencuatkan atmosfer mencekam, namun lebih sering terkesan cuma untuk mengulur waktu.
Prilly Latuconsina kembali sebagai Risa dan ia terlihat makin nyaman serta solid memerankan gadis indigo yang mempunyai teman-teman berwujud hantu anak kecil. Setelah mengalahkan Asih (baca: puluhan ekspresi seram Shareefa Daanish), Risa diminta oleh sepupunya, Angki (Shawn Adrian), menyelidiki rumah barunya, termasuk sikap aneh ayahnya, Ahmad (Bucek), yang  gemar mengurung diri di dalam paviliun. Risa melihat penampakan, Angki melihat penampakan, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki), adik Risa, melihat penampakan. Semua melihat penampakan, walau tiada yang lebih mengerikan dibanding hantu yang mengikuti gerakan Tina (Sophia Latjuba) kala berzikir. That’s one of the creepiest scene in our horror movie ever.

Pondasi Danur 2: Maddah memang sekedar kompilasi penampakan yang dijahit paksa, tapi sekali lagi, Awi Suryadi adalah sutradara horor berbakat. Mayoritas jump scare ditempatkan pada timing tepat yang efektif memberi kejutan. Pun keputusan menempatkan versi berbeda dari adegan dalam trailer terbukti mampu mengecoh ekspektasi. Tapi tak ada elemen yang peningkatannya melebihi tata rias. Apabila Asih di film pertama cuma mengandalkan kebolehan Shareefa Daanish bermain raut muka, Maddah diberkahi keberadaan Maria Margaretha Earlene yang menciptakan riasan mengerikan sekaligus kreatif alih-alih sekedar gaya “muka hancur” sebagaimana banyak horor dalam negeri. Elena Viktoria Holovcsak si pemeran hantu dengan tubuh tinggi ditambah tawa menggelegar makin melengkapi efektivitas teror sang antagonis terbaru.
Sayangnya seperti ada yang lupa menyalakan lampu di set Danur 2: Maddah. Hampir tiap momen dibuat segelap mungkin sampai sulit mengamati apa yang tersaji di layar, termasuk terornya. Jangankan paviliun, rumah sakit saja tampak seperti bangunan angker tanpa penghuni dengan kamar, lorong, pula musala remang-remang . Lalai menyalakan lampu, Awi dan Adrian malah asyik “bergaya” memainkan sudut-sudut kamera. Dutch tilt dan “kawan-kawan” digunakan tanpa maksud pasti, nihil memberi dampak terhadap pembangunan intensitas.

Danur 2: Maddah menyimpan setumpuk kekurangan. Itu pasti. Kemudian saya coba mengingat-ingat. Selain Pengabdi Setan yang ada di level berbeda, dalam 5 tahun terakhir, berapa banyak horor lokal punya teror seefektif Maddah? Ada, tapi tidak banyak. Apalagi melihat pendahulunya, Maddah merupakan lonjakan kualitas. Keputusan saya sudah bulat untuk memberi nilai 3 bintang. Sampai konklusinya memberi twist menipu yang menjadikan segala teror yang Risa hadapi berakhir percuma serta tidak masuk akal, bahkan di tataran logika horor supernatural. Oh, lagi-lagi permasalahan naskah. Masih menganggap sajian horor tidak perlu memperhatikan naskah?

27 komentar :

Comment Page:

HICHKI (2018)

9 komentar
Hichki, atau dalam Bahasa Indonesia berarti “cegukan”, mengisahkan wanita penderita sindrom Tourette, sebuah kondisi di mana seseorang mengeluarkan gerakan atau ucapan spontan (tic) tanpa mampu dikontrol. Dari suara-suara acak sampai sumpah serapah, dari gerakan kecil hingga kejang-kejang. Bagi penderita Tourette berada di muka umum bukan perkara mudah, karena minimnya pemahaman akan penyakit ini mengakibatkan pandangan miring publik terhadap mereka.  Dengan kondisi tersebut, protagonis film ini mesti mengajar murid-murid luar biasa nakal, yang saking nakalnya, pihak sekolah menganggap mereka sampah yang lebih baik musnah.

Tentu semakin jauh alur berjalan, kita dan sang guru, Naina Mathur (Rani Mukerji) mendapati bahwa anak-anak itu sejatinya bukan biang onar. Hanya butuh perhatian lebih. Hichki memang kisah inspiratif konvensional soal guru bermasalah yang coba menolong murid bermasalah, dan seiring usaha si guru berlangsung, tanpa disadari ia turut menyelesaikan masalahnya sendiri. Naskah yang ditulis empat orang termasuk sutradara Siddharth P. Malhotra bergerak mengikuti pakem yang sudah diterapkan ratusan film di luar sana, mulai Dead Poets Society, Half Nelson, bahkan produk lokal macam Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara, ketika sang guru menerapkan pola mengajar unik guna menangani siswa-siswi unik.
Belajar di luar kelas, memakai telur sebagai peraga, atau materi-materi lain di samping kurikulum yang hanya bisa kita impikan terjadi di dunia nyata supaya kegiatan mempelajari rumus fisika dan matematika di sekolah dulu lebih menyenangkan. Tentu ada sosok oposisi. Wadia (Neeraj Kabi), guru kelas 9A (kelas terbaik, sementara 9F yang diajar Naina adalah yang terburuk) dengan pola pikir kolot yang menganggap kebahagiaan tak berbanding lurus dengan kesuksesan. “We’re luckier but they’re definitely happier”, begitu ucap salah satu murid 9A melihat siswa-siswi Naina belajar sambil tertawa. Sebagaimana banyak film motivasional, dialog buatan Ankur Chaudhry tak masuk akal namun enak didengar pula quotable.

Bisa dipastikan keteguhan Naina akan meluluhkan hati anak-anak 9F. Bisa dipastikan pula, seorang anak bakal lebih sulit ditaklukkan. Peran itu diemban Aatish (Harsh Mayar) yang gemar berkelahi dengan anak 9A, tetapi di waktu bersamaan diam-diam menyukai gadis di kelas itu. Romantika Aatish, seperti halnya perselisihan Naina dengan ayahnya atau potret kemiskinan yang memancing sikap berat sebelah terkait hak memperoleh pendidikan, hadir bukan sebagai distraksi. Fokus berhasil dijaga, sedangkan sempilan-sempilan di atas berguna memberi dimensi kepada para tokoh, memanusiakan mereka alih-alih sekedar alat pengeruk inspirasi.
Demikian juga alasan kegigihan Naina membantu 9F yang memiliki dasar kuat. Dahulu ia pun diremehkan, dianggap bermasalah, aneh, dan sebagainya. Wajar bila Naina merasakan ikatan. Memerankan karakter dengan sindrom yang memiliki simtom gamblang, akting Mukerji menghindarkan kesan parodi tak sensitif dari sosok Naina. Perhatikan saat tic-nya muncul di sela-sela perbincangan. Seolah kondisi ini telah sekian lama menjadia bagian hidup Mukerji. Pasca 4 tahun “cuti melahirkan”, performa aktris peraih piala Filmfare Awards terbanyak ini (7 kemenangan dari 17 nominasi) sama sekali tidak terkikis.

Mengadaptasi buku Front of the Class: How Tourette Syndrome Made Me the Teacher I Never Had buatan motivator asal Amerika, Brad Cohen, Hichki memang formulaik, tapi mengikuti kesuksesan drama edukatif dan motivasional produksi Bollywood belakangan, hatinya ada di tempat yang tepat. Air mata haru, atau setidaknya seperti saya, senyum lebar bakal mengembang mengamati perjuangan Naina Mathur. Paling penting, selaras dengan tujuan besar si tokoh utama, yakni memberi pendidikan, Hichki memberi sepintas pemahaman tentang sindrom Tourette. Belum mendetail, namun melihat fakta banyak penonton belum mengenal penyakit ini,  pencapaian filmnya sudah cukup.

9 komentar :

Comment Page:

KENAPA HARUS BULE? (2018)

7 komentar

Perkenalkan Pipin Kartika (Putri Ayudya), gadis 29 tahun dengan make up “mencolok”. Perona mata biru, lipstik merah menyala, juga bedak luar biasa tebal namun tidak rata yang membuat wajah dan lehernya berbeda warna, seolah berusaha menutupi kulit sawo matang miliknya. Pipin ingin dicintai, tapi keinginan itu terbentur standar kecantikan. Pipin tidak cantik, setidaknya begitu menurutnya, yang merasa rendah diri akibat sejak kecil kerap disamakan dengan monyet oleh teman-temannya. Itulah mengapa ia berhasrat menikahi bule. Selain demi memperbaiki keturunan, Pipin percaya paras eksotisnya lebih disukai bule ketimbang pria lokal. Di samping perihal standar kecantikan, Kenapa Harus Bule? turut menyinggung inferioritas masyarakat kita terhadap bangsa asing, khususnya dari negara Barat.

Karya penyutradaraan kedua Andri Cung setelah The Sun, The Moon & The Hurricane (2014)—atau ketiga jika menghitung segmen Insomnights (bersama Witra Asliga) dan Rawa Kucing di omnibus 3Sum (2013)—ini mengetengahkan bagaimana keputusasaan Pipin mencari bule, kemudian memilih pindah ke Bali atas saran sahabatnya, Arik (Michael Kho). Saya tak keberatan apabila keseluruhan film ini diisi perbincangan Arik dan Pipin. Pertama kali keduanya mengisi layar bersama, kita disuguhi perbincangan renyah dalam mobil yang dikemas lewat satu take tanpa putus. Di The Sun, The Moon & The Hurricane, Andri kerap memakai teknik serupa, namun tanpa dinamika seperti ini. Sebab kali ini ia punya duo Putri Ayudya-Michael Kho.
Sungguh seperti sahabat karib, mereka lancar bertukar kata, canda, sambil disisipi sedikit sindiran yang takkan mengejutkan jika ternyata bagian improvisasi.  Putri Ayudya menunjukkan akurasi performa sebagai pengejar bule yang bukan berasal dari kalangan ekonomi ke atas, khususnya terkait pelafalan Bahasa Inggris medok yang kerap dicampur ungkapan Bahasa Indonesia, misalnya “Make a new friend is okay anyway KAAN?”. Energi di balik totalitasnya sanggup pula memancing tawa tatkala sang sutradara terbukti kurang piawai membangun momen komedik.

Di Bali, Pipin terpapar dua pilihan: Buyung (Natalius Chendana), pria dari masa lalunya yang tampan, mapan, perhatian, pula mencintainya, tetapi bukan bule, atau Gianfranco Battaglia (Cornelio Sunny), bule Italia yang telah lama ia idam-idamkan. Film ini mengetengahkan proses mencari bule yang justru berujung menemukan makna cinta, sehingga mudah menebak dengan siapa Pipin menjatuhkan pilihan. Namun karena filmnya lebih jarang memperlihatkan kebersamaan Pipin dengan pria pilihannya daripada si pesaing, hubungan mereka kurang berkembang, kurang merekah, sehingga konklusi pun terasa kurang bermakna di hati.
Walau demikian saya menyukai perspektif bijak dalam pesan yang diutarakan Andri Cung. Ketimbang menyerang pola pikir mayoritas masyarakat tentang pernikahan dengan amarah, Andri mengambil jalan tengah. “Jangan memaksakan diri menikah, tapi jangan juga tidak menikah cuma karena menyerah”. Ditambah hal lain yang Pipin temukan yaitu “pemberdayaan”, Kenapa Harus Bule? jelas mengandung pesan penting, meski mengenai eksekusi, baik di tataran romantis maupun komedi, setumpuk kelamahan masih perlu diperbaiki. Apalagi kalau  ke depannya, Andri masih berniat menjadikan komedi satir macam ini sebagai lahan ekspresi.

Jangan mencari pencapaian teknis, sebab sinematografi, pilihan shot, tata artistik, suara, dan elemen-elemen pendukung lain tampil seadanya. Biarpun tidak sampai selevel posternya yang jauh lebih norak daripada make up Pipin, aspek teknis Kenapa Harus Bule? jelas ada di taraf medioker. Sebagaimana The Sun, The Moon & The Hurricane, Andri Cung mengesampingkan teknis sambil mengedepankan konten. Di sini, naskah tulisannya cukup efektif menjabarkan latar serta motivasi karakter melalui cara yang subtil sehingga tidak perlu memakan banyak waktu untuk eksposisi berkepanjangan.

7 komentar :

Comment Page:

PACIFIC RIM: UPRISING (2018)

11 komentar

We are cancelling the apocalypse!”, demikian pidato membahana Jenderal Stacker Pentecost (Idris Elba) yang menentukan nuansa Pacific Rim (2013). Sebuah akhir dunia, ketika di tengah malam gelap, di antara gedung-gedung pencakar langit, monster raksasa alias Kaiju melancarkan serangannya, dan nyaris tiada harapan bagi umat manusia. Dalam Uprising, sekuel yang tiga tahun lalu sepertinya mustahil direalisasikan akibat performa box office film pertamanya biasa saja, atmosfer itu dilucuti, sementara mayoritas aksi terjadi di siang hari bolong. Singkatnya, Pacific Rim: Uprising memilih berpindah ke aliran “Bayhem”.

Tapi sutradara debutan Steven S. DeKnight bukan Michael Bay, sebagaimana Jake Pentecost (John Boyega), putera Stacker Pentecost, bukanlah ayahnya. Putera seorang pahlawan perang yang mengorbankan nyawa demi menutup portal penghubung dunia kita dengan Kaiju, Jake justru menjadi pencuri rongsokan sisa-sisa Jaeger. Juga mengorek rongsokan adalah gadis remaja bernama Amara Namani (Cailee Spaeny) yang ingin (lalu berhasil) membangun Jaeger seorang diri. Keduanya bertemu, sedikit bersitegang dalam interaski love/hate menarik yang membuat saya berharap barter kalimat mereka terjalin lebih sering.
Alih-alih demikian, rivalitas setengah matang antara Jake dengan Nate Lambert (Scott Eastwood), salah satu pilot Jaeger justru sempat mengambil alih sentral. Pertmuan mereka terjadi setelah Jake dan Amara harus “menebus dosa” dengan bergabung di kesatuan militer setelah direferensikan oleh Mako (Rinko Kikuchi), protagonis film pertama sekaligus saudari tiri Jake. Amara dengan bakat mekaniknya, sementara Jake mewarisi kehebatan sang ayah mengendalikan Jaeger. Beberapa kali, Jake menegaskan bahwa ia dan ayahnya berbeda. Saya setuju. Boyega jelas bukan Elba. Dia lucu, likeable, tapi kekurangan karisma sebagai jagoan utama film aksi.

Kita tahu akan ada titik balik pada sikap Jake, dan kemunculan Mako menyiratkan apa pemicunya. Saya amat menantikan titik balik tersebut, poin di mana Jake, beserta filmnya, bakal total terjun ke medan perang. Karena, keputusan menghilangkan atmosfer “impending doom” ditambah kurangnya daya tarik dalam alur meminimalkan tensi tatkala layar tidak sedang diisi pertarungan Jaeger melawan Kaiju. Apalagi sepanjang paruh awal jarak tiap pertarungan terlampau jauh. Tapi titik balik yang saya nanti baru benar-benar terlihat begitu markas militer diserbu serangan mendadak. Tempo dipercepat dan pertaruhan nyawa meningkat, yang bermuara pada totalitas klimaks.
Sekali lagi, Steven S. DeKnight bukan Michael Bay yang piawai merangkai ledakan bombastis memikat mata dalam rentetan pertempuran para raksasa yang nyaris seluruhnya dikemas bak puncak segalanya. Bagusnya, DeKnight menyusun koreografi pertempuran ketimbang sekedar membenturkan besi-besi tanpa bentuk maupun orientasi gerakan pasti. Ada kesadaran terhadap ruang, waktu, juga wujud. Robot-robot DeKnight bisa berguling, menendang, berkelahi dengan lincah, memamerkan beraneka ragam senjata, dan penonton takkan kesulitan mengamati apa yang tengah terjadi dan melibatkan siapa saja.

Saya yakin akan sering mendengar pertanyaan “lebih bagus mana dibanding film pertama?”. Biar saya jabarkan. Kalau anda menyukai Pacific Rim dengan alasan seperti saya, yaitu atmosfer “hari akhir” yang mengiringi pertarungan seru, besar kemungkinan Uprising kurang memuaskan. Tapi jika anda menyukainya karena alasan berbeda, atau justru sebaliknya, bukan merupakan penggemar disebabkan pertempuran di film pertama kurang mengedepankan unsur “fun” boleh jadi sekuelnya menghadirkan kesenangan. Setidaknya, bagi penonton yang mencari aksi imajinatif seputar robot raksasa, Pacific Rim: Uprising masih memberikan tempat bernaung.

11 komentar :

Comment Page:

THE PRINCESS AND THE MATCHMAKER (2018)

Tidak ada komentar

The Princess and the Matchmaker adalah film yang membuat saya tidak peduli akan intrik-intrik alurnya dan sekedar menantikan bit demi bit komedi yang dibawakan oleh pemeran utamanya yang handal. Pertanyaannya, seberapa lama sebuah film mampu bertahan dengan hanya mengandalkan itu. Tidak lama. Tapi rasanya golongan penonton wanita muda penggila kultur Korea—yang berdasarkan pengalaman serta observasi mudah terpancing antusiasme dan teriakannya—takkan peduli. Pada film di mana Kang Min-hyuk (CNBLUE) tampil sebagai pemeran pendukung sementara Choi Min-ho (Shinee) dan Lee Seung-gi menjadi kakak beradik, teriakan maupun desahan manja mereka memang sukar dibendung.

Itu terjadi saat gala premiere. Studio langsung gegap gempita kala kemunculan perdana Seung-gi, meskipun kamera sekedar menampilkan sekelebat wajahnya yang tertutup Gat (topi tradisional Korea). Dia memerankan Seo Do-yoon si jago ramal kepercayaan istana. Ya, sang Raja (Kim Sang-kyung) amat percaya hal-hal demikian, termasuk mempercayai ahli astrologi untuk mengadakan sayembara pencarian calon suami bagi Puteri Songhwa (Shim Eun-kyung). Dia percaya, pernikahan bakal menghentikan kemarau berkepanjangan. Berbekal keahlian meramalnya, Do-yoon diminta menyeleksi siapa di antara para calon paling cocok menikahi sang Puteri.
Namun Songhwa bukan Puteri biasa. Dia dianggap terkutuk. Konon melihat wajahnya saja bisa mendatangkan kutukan. Dia pun bukan Puteri manis penurut. Khawatir terhadap nasihnya yang segera menikahi orang asing, Songhwa nekat berkomplot dengan pelayan agar bisa keluar dari istana supaya berkesempatan memata-matai calon suaminya satu per satu. Total ada 4 pria, dan The Princess and the Matchmaker mengetengahkan bagaiman Songhwa menemukan kejanggalan di masing-masing calon, baik yang dikemas jenaka maupun serius. Kita tahu jika takdir nantinya menyatukan ia dengan si peramal yang juga tengah berusaha menyembuhkan kebutaan kakaknya yang diperankan CHOI MIN-HO dari SHINEE. Sayup-sayup teriakan fangirls itu terdengar lagi.

Di satu adegan, tepatnya pertemua pertama kedua tokoh utama, Songhwa mengendap-endap di malam hari sambil mengenakan kostum angsa. Tingkahnya konyol. Kekonyolan yang sanggup mengemban beban menyokong dinamika film berkat ketepatan comedic timing Shim Eun-kyung yang sebelumnya dikenal lewat judul-judul seperti Sunny (2011) sampai Miss Granny (2014). Seung-gi, bermodalkan pesona di balik ketenangannya adalah tandem yang tepat bagi kejenakaan Eun-kyung. Interaksi keduanya hidup, asyik, menggelitik, sebagaimana kebutuhan utama suatu komedi-romantis.
Andai saja naskah garapan Lee So-mi menjalin alurnya lebih rapi, tanpa perlu memperumit keadaan dengan menerapkan sejumlah flashback singkat yang makin membingungkan akibat kurang cakapnya sutradara debutan Hong Chang-pyo menangani penuturan non-linier tersebut. Kompleksitas ini tak perlu, mengingat intrik politik perebutan kekuasaan dalam The Princess and the Matchmaker sejatinya biasa, pun telah jamak ditemui dalam film-film serupa. Keberadaannya melemahkan dinamika sekaligus intensitas. Sementara proses “matchmaking” yang dilakukan Do-yoon sebenarnya menarik, dikemas layaknya usaha memecahkan kode. Sayang, lagi-lagi hadir kerumitan tidak perlu. Kali ini terkait permainan kata yang sulit diikuti karena ketiadaan waktu berkenalan atau pemahaman di awal soal metode ramal-meramal itu.

Tujuan film ini sederhana saja, yaitu menyajikan hiburan ringan. Memberi tawa pada penonton kala mendapati Songhwa berlawanan dengan kepatuhan maupun keanggunan yang jadi keharusan sikap seorang Puteri di era Joseon, atau kerajaan mana pun khususnya di masa lalu.  The Princess and the Matchmaker semestinya setia di jalur tersebut, alih-alih beralih ke ranah yang lebih serius dan kelam di sepertiga akhir durasi. Seiring membesarnya bahaya yang dihadapi Songhwa, seiring menghilangnya senyum serta kecanggungan menggelitik sang Puteri, semakin pupus pula daya tarik The Princess and the Matchmaker.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ANNIHILATION (2018)

24 komentar
Saya sudah menjumpai begitu banyak film bagus. Lebih dari Annihilation. Tapi baru kali ini timbul urgensi untuk menonton ulang tepat setelah film berakhir. Alasannya sederhana. Karya penyutradaraan kedua Alex Garland (Ex Machina) ini terasa segar juga unik. Membuka jalan melakukan terobosan tanpa batas adalah kekuatan utama genre fiksi ilmiah (yang kerap dilupakan para pembuatnya), dan Garland memanfaatkannya guna menciptakan cerita, visual, serta dunia baru nan misterius yang belum pernah saya temui. Walau beberapa penonton bakal membencinya, karena seperti hidup, Annihilation enggan menawarkan kepastian.

Lena (Natalie Portman), ahli biologi sekaligus mantan prajurit, mungkin tidak membenci hidup, tapi jelas kurang antusias menjalaninya. Setahun berlalu setelah sang suami, Kane (Oscar Isaac) yang juga seorang tentara, hilang kala bertugas. Sehingga betapa mengejutkan ketika Kane tiba-tiba pulang meski ada yang berbeda dari dirinya. Kane hanya diam, menjawab singkat pertanyaan Lena, kemudian kejang sambil muntah darah. Di tengah perjalanan menuju rumah sakit, polisi menyergap ambulans yang ditumpanginya, membawa Lena dan Kane ke fasilitas rahasia bernama “Area X”. Semua terjadi hanya dalam 11 menit durasi. Untuk film yang diberi label “slow paced”, Annihilation bergerak cepat dari satu titik ke titik berikutnya.  
Ketiadaan momen bombastis adalah alasan filmnya disebut lambat. Pun tidak butuh waktu lama bagi kita (dan Lena) melihat “the shimmer”, area di balik gelombang elektromagnet warna-warni bak pelangi yang cakupannya meluas secara berkala. Semua tim yang dikirim ke sana hilang. Adegan pembukanya, di mana Lomax (Benedict Wong) menginterogasi Lena memperlihatkan jika ia memutuskan masuk dan jadi satu-satunya yang keluar hidup-hidup. Di film lain, itu bakal mengurangi intensitas. Namun Annihilation bukan film lain. Tersimpan setumpuk misteri yang menarik ditelusuri selain “apakah protagonisnya selamat?”.

Garland menjadikan “the shimmer” wahana bermain dengan kemungkinan tanpa batas. Selain Lena selaku ahli biologi, ada Anya (Gina Rodriguez) si paramedis, Josie (Tessa Thompson) si fisikawan, Cass (Tuva Novotny) si geologis, dan psikolog sekaligus pemimpin ekspedisi, Dr. Ventress (Jennifer Jason Leigh). Tapi “the shimmer” memporak-porandakan pemahaman saintific mereka. Seluruh organisme di sana adalah anomali dengan perubahan susunan DNA. Karakternya terpana, pun saya, ketika ditemani scoring elektronik garapan Ben Salisbury dan Geoff Barrow serta lagu Helplessly Hoping yang sama-sama menghipnotis, mendapati desain produksi menawan seperti bunga beraneka warna hingga tumbuhan berbentuk manusia (atau sebaliknya?). Dibantu tim artistiknya, Garland menunjukkan definisi dari “visioner”.
Pertanyaannya, “apakah tokoh-tokohnya juga ingin mengubah struktur diri mereka?”. Bukan cuma bicara di tataran fisik, pula psikis. Keempat wanita ini memendam luka sembari merusak diri sendiri. Self-destruct. Itu poin utama alur sekaligus kunci memecahkan misteri Annihilation yang bakal mencapai puncak absurditas pada klimaks. Seperti diungkap Dr. Ventress. self-destruct berbeda dengan bunuh diri, alias bukan akhir. Mayoritas dari kita melakukannya. Suatu proses natural yang nantinya berujung berubahan, menciptakan sesuatu yang baru. This is what the whole story of “Annihilation”, especially its weird climax is all about.

Sudah menontonnya dua kali, saya berkesempatan memperhatikan beragam detail termasuk akting Natalie Portman. Serupa dialog-dialog dalam naskah buatan Garland yang mengadaptasi novel berjudul sama milik Jeff VanderMeer, Portman handal memainkan kesubtilan, menyampaikan informasi terkait isi hati karakternya secara tersirat melalui perubahan kecil di raut wajah. Annihilation pun sama subtilnya, karena lagi-lagi sama seperti hidup, segalanya tak selalu terpapar gamblang. Perlu melalui proses pemahaman panjang serta beragam, yang menurut film ini, salah satunya adalah dance battle menghadapi alien peniru wujud dan gerakan kita.

24 komentar :

Comment Page:

THE STRANGERS: PREY AT NIGHT (2018)

7 komentar

Di luar beberapa kesunyian serta shot mencekam yang memanfaatkan ruang gelap, The Strangers (2008) tak ubahnya prank berkepanjangan selama 107 menit. Tanpa plot, tanpa penggalian karakter, tanpa kejadian signifikan. Satu dekade berselang, Bryan Bertino selaku sutradara sekaligus penulis skenario film pertama, telah terlibat di lima film lain dalam berbagai kapasitas. Artinya, banyak hal telah dipelajari, mulai teknik penulisan, sampai realisasi terhadap kapasitas diri, sehingga ia pun menyerahkan tampuk penyutradaraan kepada orang lain yang lebih kompeten.

Johannes Roberts (The Other Side of the Door, 47 Meters Down) kini memegang kendali, mengarahkan naskah yang Bertino buat bersama Ben Ketai. Dibanding Bertino, Roberts tahu film-film apa yang tepat dijadikan referensi sambil memberi tribute yang karena ditempatkan secara pas, mampu menguatkan estetika film ketimbang sekedar penghormatan kosong. John Carpenter adalah panutannya. Maka tidak heran saat musik berbasis denting piano creepy ala musik tema Halloween (1978) yang ikonik itu membuka The Strangers: Prey at Night, sekuel dengan skala serta kualitas yang melebihi pendahulunya.
Skala membesar artinya jumlah tokoh bertambah. Bukan cuma sepasang kekasih suram yang tengah bertengkar, tapi empat orang anggota keluarga: Mike (Martin Henderson) sang ayah, Cindy (Christina Hendricks) sang ibu, Luke (Lewis Pullman) sang anak laki-laki, dan Kinsey (Bailee Madison), sang anak perempuan sekaligus sumber masalah yang selalu memberontak pula bersikap ketus. Kenakalan Kinsey membuatnya dikirim ke sekolah asrama. Sebelum ia pergi, mereka berempat memutuskan berlibur guna menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga. Tidak ada yang menyadari kebersamaan itu jadi yang terakhir kali ketika tiga orang asing bertopeng melancarkan aksinya.

Pada film pertama, dengan hanya dua tokoh utama, kita tahu mayoritas teror takkan berujung banjir darah apalagi kematian, menyebabkan jalannya durasi membosankan. Di sini, kita tahu bakal ada yang meregang nyawa. Tinggal masalah kapan dan bagaimana. Ini bukti peningkatan kapasitas Bertino menyusun naskah, meski di waktu bersamaan, ia terjebak dalam keklisean horor berupa kebodohan karakter yang dipaksakan hadir demi memperpanjang konflik. Sempat dua kali para protagonis berpeluang menghabisi dua dari tiga antagonis. Tinggal menarik pelatuk, tapi disebabkan alasan tak masuk akal, tindakan logis itu urung dilakukan.
Kebodohan tersebut sempat menurunkan minat saya. Kenapa saya harus mempedulikan karakternya bila filmnya urung memberi mereka harapan? Bukan karena antagonis yang sukar dibunuh, melainkan protagonis yang bagai enggan selamat. Untungnya, setelah melewati beberapa kematian yang disajikan secara “jinak” pun minim kreativitas untuk ukuran slasher (tusuk sana-sini), harapan mulai dimunculkan. Third act-nya menebus segala ketumpulan di awal, dengan adegan “pergulatan kolam renang” selaku titik balik, sebab dari situ peluang tokohnya keluar hidup-hidup mulai terasa.

Sebagai penggemar Carpenter yang piawai menempatkan Michael Myers di area nihil cahaya, diam-diam mengintip sebelum tiba-tiba menyergap, Roberts mampu merangkai ketegangan memakai teknik serupa. Bahkan jump scare paling mengejutkan nan menyeramkan film ini melibatkan sudut gelap (petunjuk: we’re just started). Bukan cuma Carpenter. Referensi terkait horor era lalu tumpah ruah di klimaks yang amat menyenangkan. Mobil terbakar ala Christine (1983), adegan penutup The Texas Chainsaw Massacre (1974), dan tentunya lagu-lagu 80an seperti Making Love Out of Nothing at All dan I Think We’re Alone Now yang sempat dipakai oleh Mother’s Day, satu lagi horor dari medio 80an. The Strangers: Prey at Night mampu mengungguli film pertama karena keberhasilannya menambal kekurangan-kekurangan fatal pendahulunya.

7 komentar :

Comment Page:

A WRINKLE IN TIME (2018)

8 komentar

Ava DuVernay (Selma) punya kepekaan soal isu kemanusiaan, itu harus diakui. Tapi menilik hasil akhir A Wrinkle in Time, yang membawanya mengukir sejarah sebagai wanita non-kulit putih pertama yang menggarap live action blockbuster berbiaya ratusan juta dollar, hatinya jelas bukan di dunia fantasi. Walau visinya akan estetika visual terlihat, DuVernay bagai tak percaya apa yang ia presentasikan nyata, setidaknya dalam benaknya. Maka tidak heran ketika para manusia bersanding bersama sosok-sosok “khayal”, kedua sisi gagal membaur, bahkan tampak canggung sebabs sang sutradara sebatas bongkar pasang dan asal menerapkan CGI.

Ceritanya merupakan adaptasi novel berjudul sama karya Madeleine L’Engle yang dianggap mustahil difilmkan. Tidak ada yang mustahil difilmkan selama si pembuat film turut menyangkal kemustahilan itu. DuVernay pasti meyakini gadis seperti Meg (Storm Reid), yang berubah murung hingga jadi korban penindasan di sekolah pasca ayahnya, Dr. Alex Murry (Chris Pine), menghilang selama 4 tahun, punya kekuatan. Mungkin juga DuVernay mempertimbangkan, bahwa teori fiksi imiah Dr. Alex yang menyatakan manusia bisa melintasi semesta dalam sekejap, berpoteni terealisasi satu hari kelak.
Tapi apakah ia percaya, atau terobsesi terhadap makhluk astral seperti Mrs. Which (Oprah Winfrey), Mrs. Whatsit (Reese Witherspoon), Mrs. Who (Mindy Kaling)? Saya ragu. Ketiganya datang menemui Meg, mengabarkan jika ayahnya masih hidup di salah satu sudut semesta, meski nyawanya tengah terancam. Mereka percaya Meg bisa diandalkan untuk mengalahkan entitas kegelapan penebar kejahatan. Kenapa? Narasi “the chosen one” seperti ini perlu menjabarkan sisi spesial sang protagonis. Apa yang membuat Meg spesial? Dia mencintai ayahnya? Saya juga, dan Oprah Winfrey belum pernah mengetuk pintu rumah saya menawarkan bantuan.

Meg dipilih karena ia puteri Dr. Alex yang mendobrak batasan sains umat manusia. Jadi sang ayah yang spesial, bukan Meg.  Visualnya merupakan poin spesial lain, baik tata kostum unik nan glamor yang dikenakan trio Mrs., sampai pemandangan di berbagai planet selaku destinasi perjalanan Meg dan kawan-kawan. Planet pertama paling memikat, bukan karena CGI menawan, melainkan keberhasilan DuVernay membangun sense of wonder. Di beberapa kesempatan, DuVernay juga sempat memamerkan kreativitas mengemas pemandangan absurd, menjadikan A Wrinkle in Time blockbuster aneh dengan kekhasan.
Sayangnya setelah itu rentetan kecanggungan yang membuktikan ketiadaan passion plus kurangnya pengalaman berpengaruh buruk bagi gelaran non-realis macam ini. Lihat betapa aneh Oprah dalam wujud raksasa berdiri kaku tanpa berbuat apa pun. Ini masalah pengadeganan, soal Mise en Scene, bukan cuma CGI buruk. Mayoritas umat manusia mengagumi Oprah, tapi wajah raksasanya dibelai oleh Charles Wallace (Deric McCabe), adik angkat Meg, justru terkean creepy dan cringey. Sewaktu titik paling menarik dalam petualangan adalah Zach Galifianakis yang secara mengejutkan piawai melakoni akting dramatik, bisa dipastikan filmnya bermasalah. Storm Reid, meski tak bermain buruk, belum mampu menangani kompleksitas protagonis yang muram tapi wajib menarik simpati penonton.

Tesser”. Demikian perjalanan mengerutkan ruang dan waktu disebut. Alur naskah tulisan Jennifer Lee dan Jeff Stockwell bak membawa penonton melakukan tesser, bergerak kasar keraap melompat mendadak, makin melucuti intensitas emosi dan adrenalin petualangannya. Apalagi pertempuran puncak justru berujung anti-klimaks. Kedua penulis tampak bingung meladeni konsep tinggi novelnya ketika alih-alih perenungan filosofis, justru benang kusut yang terbentang. Perjalanan berkeliling semesta membawa para tokoh menuju realisasi akan masalah masing-masing, dan seperti filmnya sempat singgung, sejatinya semesta ada di dalam diri seseorang. Intinya adalah menggali, mengenali, berdamai dengan diri sendiri. Pesan indah yang tenggelam akibat kebingungan A Wrinkle in Time menghadapi kerumitannya sendiri.   

8 komentar :

Comment Page: