REVIEW - BARB AND STAR GO TO VISTA DEL MAR

1 komentar

Ditulis oleh Kristen Wiig dan Annie Mumolo (juga selaku produser) yang sebelumnya melahirkan naskah brilian peraih nominasi Oscar, Bridesmaids (2011), pun terdapat nama Adam McKay dan Will Ferrell di jajaran produser. Maka tidak heran saat Barb and Star Go to Vista Del Mar terasa bak hasil kawin silang antara sketsa Saturday Night Live dengan seri Anchorman. Konyol, absurd, mungkin tak langsung mengikat di pengalaman pertama, namun mengundang ketertarikan mengunjunginya lagi. 

Wiig dan Mumolo memerankan Star dan Barb, yang telah bersahabat puluhan tahun. Keduanya adalah parodi sosok wanita usia 40an tahun: gemar memakai kulot, rambut kaku nan mengembang penuh hairspray, dan luar biasa ceriwis. Semua dibicarakan, termasuk hal-hal tak penting. Pernah keduanya menciptakan karakter khayalan bernama Trish, membayangkan detail-detail kehidupan khayalnya, bahkan menangisi akhir hidup khayalnya yang tragis.  

Saking doyannya berbicara, mereka pun bergabung di "Talk Club", yang diketuai Debbie (Vanessa Bayer dalam satu lagi peran psikotik yang kerap ia lakoni di SNL). Sampai tiba saat di mana hidup mereka terasa stagnan, mendorong Star dan Barb berlibur ke Vista Del Mar, berharap menemukan kemeriahan hidup, dan pastinya pria tampan. Ya, keduanya bertemu pria tampan bernama Edgar (Jamie Dornan), tanpa tahu kalau Edgar datang bukan untuk bersenang-senang.

Didorong rasa cinta terhadap Sharon (Kristen Wiig dalam balutan wig berbeda, serta riasan pucat) yang sejauh ini bertepuk sebelah tangan, Edgar bersedia melaksanakan misi membunuh seluruh warga Vista Del Mar. Apa alasan Sharon menaruh dendam kepada Vista Del Mar? Film ini akan menjelaskannya, yang diawali dengan kisah klise mengenai bocah korban perisakan, sebelum berkembang ke arah tidak terduga. Tidak terduga dalam artian "luar biasa absurd" tentu saja.

Absurditas Barb and Star Go to Vista Del Mar acap kali berujung kejutan, hingga pada titik naskahnya lebih berusaha memancing respon "WTF?!" ketimbang tawa. Berbeda dengan Bridesmaids, di mana keanehannya menciptakan kelucuan, di sini, keanehannya menciptakan, well, keanehan. Tapi seperti telah saya sebut, serupa dwilogi Anchorman, pengalaman menonton pertama bisa jadi lebih banyak membuat anda garuk-garuk kepala, namun imajinasi tanpa batas Wiig dan Mumolo membuat rewatch value-nya tinggi. Tidak semua humor harus menunggu pengalaman menonton kedua (atau ketiga, dan seterusnya) untuk menjadi lucu. Beberapa langsung menunjukkan pesonanya, sebutlah musikal berlirik konyol yang sesekali merangsek masuk.

Seusai menonton, bakal sulit menghapus momen-momennya dari ingatan, termasuk deretan cameo-nya (kemunculan Reba McEntire adalah yang terbaik). Melakoni debut penyutradaraan film layar lebar naratifnya, Josh Greenbaum mampu menerjemahkan visi gila kedua penulis ke dalam parade visual penuh warna (figuratively and literally), yang memperkuat tiap gagasan humor. Sedangkan terkait akting, rasanya tidak perlu saya panjang lebar membahas penampilan Wiig dan Mumolo. Khususnya Wiig, sebagai ahlinya memerankan karakter "unik" sepanjang karir SNL-nya.

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - SLAXX

Tidak ada komentar

Menampilkan celana jeans pembunuh, Slaxx mengusung semangat yang sama dengan judul-judul seperti Little Shop of Horrors (1986), Evil Bong (2006), hingga Rubber (2010). Sebuah horor-komedi kelas B, yang semakin bersinar justru seiring bertambahnya kebodohan film. Kali ini latarnya adalah dunia industri fashion, yang sudah menjadi rahasia umum, bahwa di balik keglamorannya, selalu menyimpan sisi kelam.

Libby (Romane Denis) begitu antusias menyambut hari pertamanya bekerja di perusahaan pakaian Canadian Cotton Clothier (CCC). Kekagumannya terhadap sang pimpinan, Harold Landsgrove (Stephen Bogaert), yang selalu menegaskan, bahwa CCC menentang eksploitasi pekerja, pemakaian buruh anak, serta penggunaan GMO dalam pembuatan produk. Identitas sempurna bagi perusahaan yang tumbuh di antara woke generation.

Para karyawan dipanggil "CCC Family", tempat kerja disebut "ekosistem", Craig (Brett Donahue) selaku manajer nampak ramah dengan senyum yang tak pernah luntur. Semuanya sempurna. Tapi Libby terlalu bersemangat untuk menyadari, bahwa suatu hal yang terlihat sempurna justru patut dicurigai. Sampai produk terbaru mereka, "super shapers", celana jeans berbahan revolusioner yang bisa menyesuaikan ukuran tubuh pemakainya, hidup dan mulai melakukan pembantaian.

Malam itu jadi panggung yang pas bagi aksi pembunuhan, karena seluruh karyawan tengah menjalani lockdown dalam toko, guna mempersiapkan acara peluncuran super shapers keesokan paginya. Libby dan Craig jadi yang pertama menemukan mayat salah satu karyawan, yang teronggok di toilet dengan tubuh terbelah dua dan isi perut berceceran. Libby hendak melapor ke polisi, tapi Craig melarang. Pertama, lockdown tak memungkinkan mereka menghubungi pihak luar. Kedua, Craig tidak mau merusak acara peluncuran, agar menjaga peluangnya menerima promosi.

Ya, walau satu nyawa sudah melayang, semua pekerjaan mesti berjalan normal, senada dengan isu soal keengganan perusahaan memedulikan kesejahteraan karyawan. Sutradara Elza Kephart, yang menulis naskahnya bersama Patricia Gomez, memang sengaja menjadikan Slaxx sebuah satir. Rasisme, Kapitalisme, eksploitasi industri fashion terhadap tenaga kerja, semua disentil, meski sayangnya secara kurang tajam. Pun humornya, seperti ketika Libby membahas lagu Hamara India dengan Shruti (Sehar Bhojani), tak seberapa efektif memancing tawa. Klise. Sindiran bagi casual racism, dalam bentuk yang sudah berulang kali diterapkan oleh komedi lain, dengan banyak di antaranya memiliki presentasi lebih baik.

Alurnya bergerak repetitif di awal. Seorang karakter diam-diam memakai super shapers (entah keinginan pribadi atau akibat kendali hipnotis celana tersebut), tewas dibantai, kemudian filmnya mengulangi pola itu dengan karakter lain. Barulah ketika eksistensi celana pembunuh itu diketahui semua orang, kegilaan meningkat, dan Slaxx tampil (sedikit) lebih variatif. Durasi 76 menit dimanfaatkan maksimal tanpa ada momen terbuang, termasuk meniadakan elemen pengulur waktu, misalnya figur skeptis yang meragukan keberadaan celana jeans pembunuh.

Selain brutal, metode membunuhnya pun cukup variatif, sama kreatifnya dengan bagaimana Kephart memvisualkan super shapers, yang terkadang nampak bak seekor ular raksasa kala sedang menikmati darah korban. Ya, selain membunuh, celana jeans ini juga meminum darah. Semakin banyak darah diminum, logo di bagian belakang celana, berubah warna dari kuning menjadi merah. Entah kenapa. Hal ini tak pernah dijelaskan. Puncaknya antiklimaks, kurang memaksimalkan potensi membanjiri layar dengan darah, namun tak sampai menghapus fakta bahwa Slaxx merupakan hiburan konyol yang menyenangkan.


Available on SHUDDER

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - FAREWELL AMOR

Tidak ada komentar

Farewell Amor termasuk jenis film kecil yang beredar di beberapa festival circuit, namun tidak cukup high profile untuk bisa menarik perhatian publik luas, lalu kemudian meramaikan musim penghargaan, juga tidak terlalu obscure dan artsy untuk bisa mengumpulkan cult following di jajaran cinephile. Apalagi atensi terkait tema "kehidupan imigran" tertuju pada Minari. 

Awalnya saya pun tak banyak berekspektasi terhadap debut Ekwa Msangi (sutradara sekaligus penulis naskah) ini, yang dibuat berdasarkan film pendek Farewell Meu Amor (2016) karyanya. Hingga kemudian sensitivitas Msangi mengejutkan saya. Bahkan sejak adegan pembuka, kala terjadi reuni mengharukan antara Walter (Ntare Mwine), dengan sang istri, Esther (Zainab Jah), dan puteri remajanya, Sylvia (Jaime Lawson).  

Ketiganya bertemu setelah 17 tahun lalu, pasca berakhirnya perang saudara, Walter meninggalkan Angola menuju Amerika Serikat, di mana ia bekerja sebagai sopir taksi, sedangkan Esther dan Sylvia pindah ke Tanzania. Sekilas reuni tersebut sarat kebahagiaan, namun segera kita melihat munculnya batu sandungan atas harapan membangun keluarga harmonis berlandaskan American Dream. 

Sylvia tampak canggung di depan ayahnya. Tapi bukankah itu wajar selepas belasan tahun tak bersua? Benar, namun pelan-pelan perbedaan mendasar mulai terpampang nyata. Sungguh terkejut Walter, mendapati istrinya kini begitu menaati agama, berdoa penuh semangat meminta dijauhkan dari "kehancuran akibat setan", bahkan menolak meminum alkohol. Padahal Esther yang ia dahulu ia kenal adalah wanita ceria yang gemar berpesta dan menari.

Walter sendiri menyimpan rahasia. Ketika Esther terus setia, Walter menghabiskan bertahun-tahun di Amerika bersama wanita bernama Linda (Nana Mensah), yang terpaksa ia tinggalkan, begitu istri dan anaknya tiba. Sementara kedua orang tuanya kesulitan membangun ulang hubungan, Sylvia tak ketinggalan diterpa masalah. Dari tindak rasisme oleh sesama kulit hitam yang memanggilnya "Afrika", hingga keinginan mengikuti kompetisi tari yang ditentang sang ibu. 

Msangi membagi alurnya menjadi tiga chapter yang diberi judul sesuai nama tiga karakter utama. Tiap chapter berfungsi mengajak penonton mengenal karakternya lebih jauh. Baik penyutradaraan maupun penulisan, Msangi selalu mengedepankan empati. Penonton dibuat mengerti, tanpa harus menyetujui. Tindakan yang keliru (perselingkuhan Walter, fanatisme Esther) tetap keliru, namun berkat pemahaman mendalam, kita takkan membenci mereka, bahkan bersimpati.

Keputusan Walter menjalin hubungan dengan Linda, alih-alih ketidaksetiaan, cenderung didasari kesepian serta keputusasaan. Melihat kondisi terkait imigrasi, peluangnya tidak pernah bertemu lagi dengan keluarganya memang lebih besar. Kesendirian turut menghantui Esther, yang telah kehilangan begitu banyak (dan takut kehilangan lebih banyak lagi), sehingga membutuhkan pegangan, yang ia temukan dalam ajaran agama. 

Kompleks, berat, tapi sekali lagi, Msangi bercerita dengan empati. Ketimbang luapan amarah selaku kritik, fokusnya adalah mengekspresikan kepedulian bagi imigran. Alhasil, Farewell Amor pun menjadi kisah positif yang percaya akan harapan. Bermodal nuansa positif itu, di ranah lebih universal, filmnya bicara tentang keluarga. Bahwa apa pun yang terjadi pada hubungan suami-istri, jangan sampai anak yang menanggung akibatnya.


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - GODZILLA VS. KONG

12 komentar

Godzilla vs. Kong punya segala plus-minus film kaiju modern, dengan keunggulan terbesarnya adalah keberhasilan memenuhi janji yang telah diutarakan sejak 2014, ketika Godzilla membuka waralaba MonsterVerse. Janji bahwa, tatkala mayoritas film berlabel "versus" cenderung ragu memberi jawaban definitif, kedua monster ini bakal saling baku hantam hingga muncul satu pemenang. Well, sort of. Konklusinya tetap mencoba bersikap adil, tapi paling tidak, setelah melalui 103 menit durasinya, anda bisa menjawab pertanyaan soal siapa yang lebih kuat di antara Godzilla dan Kong.

Kenapa Kong tidak terlibat di Godzilla: King of the Monsters (2019), padahal seperti judulnya, di situ terjadi pertarungan besar yang menentukan siapa raja para monster? Rupanya Dr. Ilene Andrews (Rebecca Hall) beserta tim, menyembunyikan Kong di suatu ekosistem buatan, guna melindunginya dari serangan Godzilla. Dr. Ilene mempunyai puteri angkat bernama Jia (Kaylee Hottle), penduduk asli Skull Island yang menjadi yatim piatu pasca bencana alam merenggut nyawa orang tuanya. Timbul ikatan batin antara Kong dan Jia, yang memungkinkannya berkomunikasi dengan sang monster. 

Sementara, setelah tiga tahun, Godzilla mendadak melancarkan serangan kepada manusia, yang membuat CEO Apex (perusahaan yang mengkhususkan diri pada "masalah Titan"), Walter Simmons (Demián Bichir), mengirim geolog Monarch, Dr. Nathan Lind (Alexander Skarsgård), mencari lokasi asal para Titan, yang dipercaya menyimpan sumber tenaga untuk melindungi umat manusia dari Godzilla. 

Jika ada satu janji yang gagal dipenuhi, itu adalah pemberian fokus mutlak kepada monster. Sebab lagi-lagi, jajaran karakter manusia membosankan, lebih mendominasi. Bahkan naskah buatan Eric Pearson (Thor: Ragnarok, Black Widow) dan Max Borenstein (Godzilla, Kong: Skull Island) memaksa memberi porsi bagi Madison (Millie Bobby Brown), dengan alasan, sebagai advokat yang berjuang membersihkan nama baik Godzilla. Yeah, sure. Like Godzilla cares about his reputation. 

Betul bahwa penonton perlu memahami alasan Godzilla kembali berubah dari pelindung menjadi ancaman bagi manusia. Tapi peran itu bisa diberikan pada karakter lain (yang jumlahnya sudah cukup banyak), alih-alih menambah subplot tak substansial, yang makin melemahkan intensitas film ketika adu jotos dua monster tengah absen. Selain tidak penting, Madison, bersama temannya, Josh (Julian Dennison), dan Bernie (Brian Tyree Henry), podcaster khusus konspirasi teori soal Titan, juga jadi alasan puncak pertarungan berakhir prematur, pula sedikit antiklimaks. 

Daripada mencari alasan agar para manusia punya tugas untuk dilakukan, mengapa tidak meluangkan waktu mengeksplorasi mitologi saja? Di pertengahan cerita, filmnya sempat membawa kita dalam petualangan menuju "sisi lain bumi". Menuju dunia dengan desain visual fantastis nan imajinatif tempat Titan berasal. Sayangnya perjalanan itu berakhir mengecewakan, karena tak sedikitpun menjabarkan mitologi mengenai Titan. Ya, Pearson dan Borenstein merasa perlu menambah subplot tentang usaha membersihkan nama baik Godzilla, namun tidak dengan legenda menarik seputar monster-monsternya.

Walau perbaikan naskah dapat mengangkat kualitas keseluruhan film, Godzilla vs. Kong bakal baik-baik saja selama adegan aksinya memuaskan. Di sinilah Adam Wingard, selepas kegagalan beruntun di Blair Witch (2016) dan Death Note (2017), sukses mengembalikan reputasi sebagai salah satu sutradara Hollywood paling menjanjikan. Biarpun Godzilla dan Kong baru beradu sewaktu durasi menginjak sekitar 40 menit, pun jika ditotal cuma ada tiga sekuen aksi masif (sekuen ketiga selaku klimaks sejatinya perpanjangan sekuen kedua), eksekusi Wingard membuatnya amat memuaskan.

Diiringi musik bombastis gubahan Junkie XL, segala macam metode pertarungan dikerahkan oleh Wingard, baik tangan kosong maupun memakai senjata (termasuk atomic breath milik Godzilla). Meski menyajikan pertempuran antar raksasa, kameranya bergerak dinamis, ditambah beberapa penempatan unik. Misalnya saat kamera ditaruh di kokpit pesawat yang sedang lepas landas, sementara di belakangnya, Kong nampak beraksi, memberi kesan imersif, seolah penonton berada di tengah medan laga. 

Godzilla vs. Kong juga mampu menengahi preferensi penonton mengenai latar waktu. Ada yang menyukai siang hari karena semua detail pertarungan terlihat, ada pula yang memilih malam gelap demi kesan apocalyptic. Film ini memiliki keduanya. Bahkan klimaksnya berlangsung di kedua latar waktu. Seperti sempat saya singgung di atas, momen puncaknya berakhir prematur dan sedikit antiklimaks (entah kenapa kedua penulis merasa perlu "membantu" mengakhiri pertarungan), tapi tak menutup fakta bahwa Wingard mampu melahirkan salah satu "threesome" (ya, bukan cuma melibatkan dua monster) paling epik di layar lebar.


Available on HBO MAX & CINEMAS

12 komentar :

Comment Page:

REVIEW - NOTTURNO

Tidak ada komentar

Notturno dibuka oleh keheningan, tatkala langit fajar masih belum diterangi cahaya matahari. Kemudian derap sepatu sepasukan tentara yang tengah berlari, memecah keheningan. Lalu kembali sunyi, sebelum rombongan tentara berikutnya menyusul. Begitu seterusnya. Kesunyian memang erat menemani dokumenter garapan sutradara Gianfranco Rosi (Fire at Sea) ini, yang mewakili Italia di Academy Awards 2021, meski akhirnya gagal meraih nominasi.

Keheningan lain adalah saat Rosi mengikuti perahu seorang pemburu bebek melintasi rawa-rawa gelap. Sampai di satu titik, langit dan perairan berubah warna menjadi jingga. Apakah matahari sudah mulai terbit? Saya kira demikian, hingga sayup-sayup terdengar suara peluru. Rupanya warna tadi ditimbulkan oleh kebakaran akibat pecahnya baku tembak. Keheningan di Notturno terkadang bak kedamaian, namun sejatinya, itu adalah sisa-sisa duka dan trauma dalam wujud berbeda.

Melakukan pengambilan gambar selama sekitar tiga tahun, Rosi menyoroti keseharian warga Suriah, Irak, dan Lebanon, yang tinggal di dekat zona peperangan. Diperlihatkan bagaimana mereka berusaha menjalani kehidupan sehari-hari secara normal. Tapi setelah beragam teror mencekam (termasuk dari ISIS) bertahun-tahun, "hidup normal" menjadi sebuah kemewahan yang nyaris mustahil terbeli.

Dari obrolan beberapa tentara, kita mendengar ISIS sudah hampir menyerah. Pun selain sekilas suara tembakan, kita tidak pernah melihat perang secara langsung. Karena bukan perang itu sendiri yang Rosi ingin perlihatkan, melainkan luka-luka batin yang tersisa. Walau bukan sesuatu yang kasat mata, hal itu terasa betul menghantui sepanjang film. 

Nyaris tidak ada alunan musik. Bahkan interaksi verbal ditekan seminimal mungkin, dan baru terdengar bila sebuah situasi mustahil terjadi tanpanya. Misal konseling yang dilakukan seorang guru kepada bocah-bocah, yang diminta menggambar pengalaman mereka selama ISIS menancapkan kukunya. Bocah-bocah ini berbicara kasual, mendeskripsikan siksaan fisik maupun psikis (ada yang dipukuli, ada yang menyaksikan pemenggalan, dan lain-lain), seolah semua itu merupakan rutinitas. Memilukan.

Bukan cumam menyutradarai, Rosi juga menangani departemen suara, pula sinematografi, yang diisi gambar-gambar indah. Di balik keindahan tersebut, tersimpan suasana "dingin" yang mewakili luka manusia-manusianya. Tapi pengarahan Rosi juga memunculkan kejanggalan. Banyak momen terkesan direkayasa (staged). Tentu tidak ada dokumenter yang nihil campur tangan sineasnya, sekalipun mengusung gaya-gaya seperti fly on the wall, observasional, atau cinéma vérité. Namun jadi masalah ketika "rekayasa" itu memancing distraksi.

Salah satunya soal kadar keheningan yang terlampau mendominasi, sehingga malah menjauhkan nuansa realisme. Di sisi lain, caranya merekonstruksi narasi berjasa melahirkan momen-momen heartbreaking. Dua yang paling menonjol sama-sama menyoroti duka seorang ibu. Ibu pertama tengah meratap di penjara tempat anaknya (dan ribuan orang Kurdi lain) tewas setelah mengalami penyiksaan, sedangkan ibu berikutnya, memperdengarkan pesan suara puterinya, yang jadi korban penculikan ISIS. 

Bagi banyak penonton, Notturno mungkin bukan dokumenter yang bersahabat akibat ketiadaan figur sentral. Individu datang dan pergi, tanpa ada yang benar-benar kita kenal, kecuali wujud duka yang mereka alami. Pilihan ini bukannya tanpa tujuan. Rosi tidak sedang menuturkan kisah perseorangan, melainkan pengalaman kolektif. Cenderung sulit memunculkan keterikatan rasa? Betul, namun setidaknya, Notturno memberi inovasi, khususnya bagi penonton yang semakin lelah dengan teknik talking head dalam dokumenter konvensional.


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE UNITED STATES VS. BILLIE HOLIDAY

8 komentar

Walau judulnya terdengar seperti sebuah kasus, pun terdapat adegan persidangan saat Billie Holiday (Andra Day) dituntut atas pemakaian narkoba, film yang menandai kembalinya Lee Daniels di kursi sutradara setelah sewindu absen (disibukkan oleh dua serial, Empire dan Star) ini, membicarakan isu kemanusiaan yang lebih besar. Sekaligus personal, karena judulnya merujuk pada kesan, betapa seluruh negeri seolah berusaha menyerang sang legenda jazz.

Ditulis oleh Suzan-Lori Parks, naskahnya mengambil beberapa bagian dari buku Chasing the Scream karya jurnalis Johann Hari, yang mengupas kampanye war on drugs, yang alih-alih murni menumpas narkoba, kerap jadi alat kriminalisasi. Salah satu korbannya Billie, yang mulai disoroti oleh pemerintah, pasca merilis lagu Strange Fruit. 

"Southern trees bear a strange fruit. Blood on the leaves and blood on the root. Black bodies swingin' in the Southern breeze. Strange fruit hangin' from the poplar trees". Demikian bunyi bait pertama lagu tersebut, yang menyuarakan kemarahan atas maraknya penggantungan terhadap orang kulit hitam, yang terjadi sejak 1830an, dan belum mereda hingga 1950an, tatkala Billie berada di puncak karir. Sesungguhnya sampai sekarang pun sama, hanya saja, tali digantikan oleh pistol, dan para pria berseragam biru semakin aktif turut serta.

Harry J. Anslinger (Garrett Hedlund) dari Federal Bureau of Narcotics (FBN), berambisi menangkap Billie, yang menurutnya berpotensi jadi provokator. Tentunya itu sebatas sampul bagi sikap rasis Anslinger, yang sempat berkata, bahwa narkoba dan orang kulit hitam merupakan kontaminasi bagi negara. Billie dilarang membawakan Strange Fruit di atas panggung. Sewaktu ia nekat, sama seperti yang kita saksikan di Straight Outta Compton (2015) tatkala N.W.A. menyanyikan Fuck tha Police, Billie dipaksa turun. Cara kotor lain juga dilakukan, mulai dari memasukkan heroin ke kantong Billie, hingga mengirim Jimmy Fletcher (Trevante Rhodes), agen FBN kulit hitam, yang kelak menjalin romansa dengan Billie. 

Begitu besar potensi The United States vs. Billie Holiday, dan rasanya Parks pun menyadari itu. Dia sadar telah mendapat materi kaya, yang bisa dieksplorasi ke berbagai arah, terkait isu rasisme. Bisa dibawa ke skala luas mengenai sistem, bisa ke ranah personal, mengenai perjuangan seorang wanita yang tak pernah merasa dirinya pantas merengkuh kebahagiaan. Masa lalu kelam membuatnya menyentuh narkoba, pula terlibat dalam banyak percintaan tidak sehat. Akibatnya, Billie menyalahkan diri sendiri, kemudian menolak peluang-peluang untuk mencicipi kebahagiaan. 

Parks tinggal memutuskan arah mana yang mau diambil. Namun, seolah merasa sayang memilih satu opsi dan meninggalkan sisanya, Parks berujung menyatukan semuanya, menjadi 130 menit biografi yang tidak pernah jelas titik fokusnya. Serupa mayoritas biopic, alur terbagi menjadi fragmen-fragmen yang gagal menciptakan keutuhan, dengan lompatan kasar antara satu dengan lainnya. Pun ketimbang pendalaman masalah, tiap fragmen tampil bak checklist semata, sekadar memberitahukan suatu topik daripada mengolahnya. Semakin ke belakang, penceritaannya semakin berantakan, saat Parks dan Daniels seolah bertutur sambil memencet tombol fast forward, menyingkat poin-poin penting menggunakan montase stylish. 

Ya, The United States vs. Billie Holiday seolah lebih mementingkan gaya. Bukan substansi. Terkesannya, Lee Daniels yang selama ini identik lewat drama-drama konvensional macam Precious (2009) dan The Butler (2013), mencoba tampil segar, namun gagal. Daniels lebih mementingkan efek-efek transisi, seperti saat visual khas film lawas menjembatani perpindahan adegan. Bukan cuma keperluannya patut dipertanyakan, timing kapan efek itu muncul dan hilang pun terkesan acak. 

Tengok pula bagaimana Daniels membungkus salah satu peristiwa paling shocking sepanjang film. Peristiwa itu tidak memerlukan sentuhan macam-macam untuk menciptakan dampak, tapi sang sutradara malah menggunakan pengadeganan sureal, mendadak membaurkan ruang dan waktu, yang mungkin diniati untuk memunculkan kesan "mimpi buruk", namun justru memunculkan distraksi. Sesekali, kita melihat slideshow foto-foto karakter. Sebuah teknik yang jamak dipakai dalam dokumenter. Apakah Daniels ingin menjadikan filmnya bak dokumenter kuasi? Tidak juga. Lebih seperti gaya-gaya yang hadir begitu acak.

Beruntung Andra Day tampil sebagai penyelamat, melalui penampilan yang membawanya memenangkan Golden Globe sekaligus menyabet nominasi Oscar. Selain mampu meniru suara Billie (meski sama-sama penyanyi, tetap saja itu bukan hal gampang), Day berhasil menerjemahkan sosok Billie Holiday dengan sempurna. Rapuh dan bermasalah tentu, namun "nyala apinya" selalu menolak padam. Matanya tajam, membara, tidak kenal takut, khususnya kala menyanyikan Strange Fruit, di mana kamera hanya diam menangkap wajah sang aktris, seolah terpaku pada pesonanya (andai pendekatan serupa, di mana sineas percaya pada kekuatan akting, terus dipakai sepanjang durasi). Day mampu menghembuskan kekuatan, bahkan sewaktu fisik Billie mencapai titik terlemah akibat sirosis (Day mengurangi berat badannya sampai 20 kilogram), yang menariknya, di situlah hatinya berada dalam kondisi terkuat.


Available on HULU

8 komentar :

Comment Page:

REVIEW - ZACK SNYDER'S JUSTICE LEAGUE

39 komentar

Saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar mengenai bagaimana pergerakan #ReleaseTheSnyderCut berhasil merealisasikan apa yang sebelumnya nampak mustahil. Tapi saya perlu menegaskan, bahwa Zack Snyder's Justice League jauh lebih baik, sekaligus film yang "berbeda" dibanding versi Joss Whedon (saya termasuk sebagian kecil penonton yang cukup menikmatinya).

Kata "berbeda" di sini punya definisi yang tak sederhana. Garis besar alurnya masih sama. Bruce Wayne / Batman (Ben Affleck) membentuk tim metahuman yang terdiri dari Diana Prince / Wonder Woman (Gal Gadot), Arthur Curry / Aquaman (Jason Momoa), Barry Allen / The Flash (Ezra Miller), dan Victor Stone / Cyborg (Ray Fisher), guna menghadapi Steppenwolf (Ciarán Hinds), yang bersama pasukan Parademons miliknya, berusaha mengumpulkan tiga Mother Boxes. Merasa tak cukup kuat, para superhero memutuskan untuk menghidupkan kembali Clark Kent / Superman (Henry Cavill). 

Gagasan dasarnya serupa, namun pengembangannya berbeda. Konon cuma 20% dari versi bioskopnya yang merupakan hasil karya Snyder. Sedangkan 80% sisanya adalah footage baru ditambah modifikasi konsep lama. Sebelum menontonnya, saya termasuk kalangan yang menganggap pernyataan di atas hanya strategi marketing belaka. Sungguh saya keliru. Begitu menyaksikan Snyder Cut, saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin jajaran eksekutif Warner Bros. menonton ini, kemudian berujar, "Film ini buruk dan terlalu gelap. Mari buat versi lebih ringan dengan kisah lebih sederhana"?

Tanpa campur tangan Whedon pun, film ini jauh lebih ringan dari Batman v Superman: Dawn of Justice berkat beberapa sentuhan humor, meski masih seperti biasa, Snyder bukan sutradara yang piawai soal comic timing. Soal durasi yang mencapai empat jam (tepatnya 242 menit, dibagi dalam enam babak plus epilog), saya yakin, bila dahulu berkesempatan menyelesaikan visi aslinya, Snyder takkan merilis film sepanjang itu, walau tentunya bakal lebih dari dua jam sebagaimana mandat Warner Bros. (durasi tiga jam seperti Avengers: Endgame rasanya masuk akal). 

Versi ini mencapai empat jam karena Snyder tidak harus menerapkan asas kill your darlings (menghapus bagian-bagian yang dirasa kurang penting, seberapa pun sang pembuat karya mencintainya). Biarpun tidak lebih dari lima menit, turut terdapat adegan baru. Menurut Snyder, "adegan Knightmare" di mana Joker (Jared Leto) dan Batman bertemu, merupakan satu-satunya tambahan, namun saya cukup meyakini, momen penutupnya, tatkala Bruce disambangi oleh cameo salah satu karakter, baru diambil belakangan, mengacu pada konsep cerita dua sekuel Justice League yang tak menyertakan karakter itu, ditambah massa otot Ben Affleck yang berkurang. Harus diakui, beberapa update tersebut adalah wujud fan service menyenangkan, yang memancing rasa penasaran terhadap kelanjutan kisahnya (kini pergerakan RestoreTheSnyderVerse mulai bergema). 

Di luar itu, perbedaan mendasar sudah nampak sejak menit pertama. Momen saat Batman memancing Parademon menggunakan ketakutan seorang pencuri hilang. Bahkan di sini, modus operandi Parademons bukanlah mencium aroma rasa takut, yang otomatis mengubah cara membunuh Steppenwolf. Sebagai gantinya, kita menyaksikan lagi kematian Superman, di mana teriakannya menciptakan gelombang suara begitu kuat, hingga mencapai Atlantis dan Themyscira, yang makin menegaskan bagaimana tragedi itu berdampak luar biasa.

Kemudian Steppenwolf memulai invasinya, dan semakin kentara superioritas Snyder Cut. Tengok pertempuran di Themyscira. Versi Whedon berlangsung cuma lima menit, sedangkan versi Snyder hingga sekitar 10-11 menit. Whedon yang menyebut dirinya feminis, rupanya tidak sehebat Snyder perihal menunjukkan kehebatan prajurit wanita Amazon, yang dengan lantang berteriak, "We have no fear!" kepada Steppenwolf. Dan sungguh Snyder memperlihatkan ketiadaan rasa takut mereka, melalui pertempuran dahsyat yang juga mengandung bobot emosional lebih. Ketimbang sekadar membuat Steppenwolf menerobos keluar dari kuil penyimpanan Mother Box, di sini kuil itu ditenggelamkan bersama puluhan prajurit Amazon. Bukan sebatas tragedi, melainkan pengorbanan berbasis kepahlawanan. 

Kesan di atas makin kentara, lewat bertambahnya unsur kekerasan. Zack Snyder's Justice memang mendapat rating R karena beberapa cipratan darah, yang meski tak sampai membuat filmnya layak dicap "gory", terbukti meningkatkan dampak adegan aksi, bahkan di saat kelemahan CGI masih terasa di sana-sini. Musik gubahan Tom Holkenborg a.k.a. Junkie XL terdengar menggelegar, menambah nuansa epik, yang tak dimiliki buatan Danny Elfman. Bukan berarti hasil karya Elfman buruk, hanya saja, bukan iringan yang pas guna membungkus aksi masif para dewa. Begitu pula rasio aspek 4:3 khas IMAX, sehingga jajaran superhero-nya tampak bak dewa-dewa agung yang berdiri di tengah umat manusia.

Naskah Chris Terrio juga terkatrol kualitasnya, baik soal penokohan maupun penceritaan. Saya mengeluhkan bagaimana Batman v Superman: Dawn of Justice dan Justice League membuat salah satu superhero paling badass sepanjang masa terlihat bak pecundang di hadapan lawan (serta kawan) berkekuatan super. Kali ini, Snyder dan Terrio sanggup menjadikan Batman jauh lebih berguna, tanpa mengsampingkan fakta bahwa ia manusia biasa. Berkat teknologi serta kepintarannya, jangankan melawan Parademons, Batman bisa menahan mata laser Superman, walau cuma sementara. 

Saya bukan penggemar Affleck kala ia mengenakan mantel Batman, namun sebagai Bruce Wayne, ia salah satu yang terbaik (bagi saya, cuma kalah dari Michael Keaton). Penokohan Bruce lebih konsisten, betul-betul memperlihatkan proses perubahannya, dari figur paranoid di Batman v Superman: Dawn of Justice, menjadi, well, paranoid yang lebih memiliki harapan, serta mulai bersedia menaruh kepercayaan terhadap orang lain. 

Cyborg jauh lebih berkembang lagi. Penonton diajak mempelajari betapa luar biasa potensi kekuatannya (penutup trilogi Justice League berencana menjadikannya semacam "dewa teknologi"), pula lebih terikat secara emosional, terkait konflik batin Victor. Kita tahu mengapa ia begitu membenci sang ayah (Joe Morton), mengapa proses tranformasinya begitu memilukan, pun konklusi hubungan ayah-anak tersebut berbeda. Lebih emosional, yang memungkinkan Fisher memberi performa dramatik solid. 

Meski tak sampai meningkatkan kelasnya di jajaran villain film superhero secara signifikan, Steppenwolf tak luput diberi bobot lebih, sebagai pelayan Darkseid (Ray Porter) yang pernah berkhianat, dan tengah berusaha mengembalikan kepercayaan tuannya. Semua terjadi, sebab Snyder benar-benar peduli dan mengenal karakter-karakternya. Alhasil pengarahannya juga sarat sensitivitas, walau dalam bentuk dramatisasi penuh gerak lambat plus musik folk/rock, yang bagi sebagian penonton mungkin dianggap berlebihan. Aksi Barry menyelamatkan Iris (Kiersey Clemons) diiringi lagu Song to the Siren adalah peristiwa "cinta pada pandangan pertama" yang cheesy tetapi manis, sedangkan Distant Sky milik Nick Cave menemani rutinitas Lois Lane (Amy Adams) membeli kopi di pagi hari. Perlukah? Mungkin tidak, tapi bukankah sewaktu patah hati, dirundung duka akibat kehilangan, merindukan seseorang, atau malah gabungan ketiganya, hidup kita memang bagai berada dalam gerak lambat, yang makin terasa "nikmat" jika ditemani rintik hujan dan lagu-lagu sendu? 

Kalau anda seperti saya, yang mempertanyakan cara kerja Mother Boxes di versi bioskop, maka film ini muncul dengan jawaban. Daripada perdebatan mengenai etika yang tak lebih dari versi medioker dari pertengkaran Avengers di The Avengers, "rapat perdana" Justice League berisikan eksposisi tentang itu, sekaligus penjelasan mengapa Superman menjadi individu berbeda ketika dibangkitkan lagi. Lalu saat ingatannya kembali, terdapat penjelasan lebih nyata sekaligus heartful, yang makin emosional berkat What Are You Going to Do When You Are Not Saving the World buatan Hans Zimmer. 

Superioritas Zack Snyder's Justice League makin tidak bisa disangkal begitu mencapai klimaks. Salah satu alasan saya menyukai Justice League adalah kembalinya Superman sebagai beacon of hope, dan nyatanya, Snyder melakukan hal serupa secara lebih baik. Mengenakan kostum hitamnya, Superman muncul, mengucapkan kalimat paling badass sepanjang film, kemudian melancarkan serangan brutal. Masih deus-ex-machina yang overpoweres, tapi kali ini dia tidak bekerja sendirian. Kedatangannya membuat Justice League bekerja lebih efektif sebagai tim. 

Tapi sebagaimana keseluruhan film, poin terbaik klimaksnya terletak pada gagasan besar di universe Snyder, sekaligus bagaimana ia memperlakukan para jagoan layaknya dewa. Misalnya di momen paling jaw-dropping berbalut visual fantastis, tatkala The Flash memamerkan salah satu kekuatan terhebatnya (that somehow mirroring one moment in the third act of 'Avengers: Infinity War', but this time for the heroes' sake). Justice League adalah tim berisi gabungan dewa, yang juga bertarung melawan para dewa, dan Zack Snyder's Justice League memperlakukan mereka sebagaimana mestinya. 


Available on HBO MAX / HBO GO / MOLA TV

39 komentar :

Comment Page:

REVIEW - WILLY'S WONDERLAND

Tidak ada komentar

Ada dua jenis film Nicolas Cage. Deretan aksi straight-to-DVD dan suguhan absurd seperti Mandy (2018) dan Color Out of Space (2019). Jenis pertama lebih baik dilenyapkan, namun yang kedua, memberikan garansi tontonan menyenangkan. Seperti Willy's Wonderland ini, yang daya tariknya berasal dari fakta, bahwa Cage ditempatkan dalam situasi abnormal di mana segalanya dapat terjadi, yang membuatnya tak perlu menahan diri (Is he ever?)

Cage memerankan pria tanpa nama, yang mobilnya terjebak paku di Hayesville, sebuah kota terpencil di sekitar Nevada. Karena si mekanik tak menerima kartu kredit sebagai alat pembayaran, sedangkan ketiadaan jaringan internet membuat ATM mustahil diakses, jagoan kita terpaksa menerima pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih selama semalam, di Willy's Wonderland, sebuah pusat hiburan keluarga yang sudah terbengkalai. 

Terdapat delapan boneka animatronik di situ, dan bisa ditebak, mereka bukan boneka biasa. Serupa premis gim Five Night at Freddy's, mereka bisa bergerak, bahkan menyerang. Ya, menyerang Nicolas Cage. Sungguh keputusan bodoh. Mereka mengira Cage terjebak bersama mereka, namun sebenarnya, merekalah yang terjebak bersama Cage. 

Karakter Cage bukan saja tanpa nama, pula tak sekalipun berbicara. Melalui flasback sekilas, kita tahu kedelapan boneka tersebut telah merenggut nyawa banyak manusia. Mungkin di awal, seperti saya, anda bakal mengira sang protagonis memang sengaja mengurung dirinya sebagai bentuk aksi balas dendam. Tapi tidak. He's just a wrong guy in a wrong place and time (wrong for those animatronics of course). 

Penokohannya mengingatkan pada formula "pria tanpa nama" yang kerap kita temui di film western (salah satu animatronik pun sempat memanggilnya "koboi"). Sesosok serigala penyendiri, seorang pengembara, yang lebih dekat ke arah figur dari legenda ketimbang manusia biasa. Dan penguatan kesan misterius oleh naskah buatan G. O. Parsons itu sempurna, mengingat protagonis kita adalah jagoan yang tak bergeming meski animatronik hidup berwajah mengerikan mendadak berdiri di hadapannya, lalu membalut lukanya menggunakan duck tape. Kombinasikan dengan gaya akting histeris khas Cage, mudah bagi penonton mendukungnya, bukan simpatik atau relatable, melainkan karena sosoknya keren.

Pola penceritaannya sendiri termasuk repetitif. Cage membersihkan tiap sudut ruangan, alarm berbunyi, ia rehat sambil minum bir, melawan monster, lalu ulangi. Berlangsung demikian, hingga sekelompok remaja yang dipimpin Liv (Emily Tosta), datang guna memberi pertolongan. Menolong Nicolas Cage??? That's cute. Ketimbang pertolongan, mereka malah menambah masalah, dan tentu saja, stok tubuh untuk dibantai. Selain itu, para remaja ini juga berfungsi melontarkan eksposisi mengenai sejarah kelam Hayesville. 

Termasuk Liv, remaja-remaja ini begitu bodoh dan/atau menyebalkan, sehingga menciptakan kepuasan tersendiri kala satu demi satu dari mereka meregang nyawa. Sayangnya, metode pembunuhan Willy's Wonderland tidak seberapa variatif. Minim kreativitas, meski banyak darah. Kreativitas yang tentu perlu dimaksimalkan, apalagi sewaktu Kevin Lewis selaku sutradara, menerapkan metode-metode pengambilan gambar seperti crash zoom dan dutch angle, seolah hendak "memantaskan filmnya" untuk berdiri di jajaran b-movie sejati. Setidaknya, walau belum memaksimalkan potensinya, Willy's Wonderland yang digerakkan secara cepat oleh Lewis, tak menyisakan momen membosankan.


Available on iTUNES & CINEMAS

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - JUDAS AND THE BLACK MESSIAH

7 komentar

Film biografi mengenai pentolan Black Panther Party yang diproduseri oleh sutradara Black Panther sekaligus dibintangi oleh aktor peraih nominasi Oscar. Terdengar seperti proyek primadona Hollywood bukan? Sebuah "Oscar bait". Begitu pikir Shaka King, selaku sutradara sekaligus penulis naskah (bersama Will Berson) film ini. Saya pun berpikir demikian. Rupanya tidak. 

Forest Whitaker dan Antoine Fuqua pernah coba mengangkat kisah hidup Fred Hampton. Proyek itu tak terealisasi. Duo komedian Lucas Bersaudara (Kenny Lucas dan Keith Lucas) juga sempat melempar ide serupa ke Netflix dan A24. Semua menolak. Sebelum akhirnya Judas and the Black Messiah terealisasi, itu pun pasca melalui berbagai penolakan. Mengapa pada era di mana film superhero kulit hitam meraup milyaran dollar, serta black movies kerap berjaya di ajang penghargaan, Hollywood tetap memalingkan wajah dari kehidupan Fred Hampton?

Tentu jawabannya adalah "propaganda". Tanyakan pada orang non-kulit hitam mengenai Black Panther Party, besar kemungkinan, mayoritas mengasosiasikan organisasi tersebut dengan radikalisme. Bisa kita lihat di film ini, bagaimana direktur FBI, J. Edgar Hoover (Martin Sheen), mencap mereka sebagai teroris. Sementara bawahannya, Roy Mitchell (Jesse Plemons), menyamakan Black Panther dengan Ku Klux Klan. Itulah mengapa kemunculan Judas and the Black Messiah teramat penting, guna mengenalkan wajah asli Black Panther Parthym, khususnya Fred Hampton, kepada dunia.

Fred (Daniel Kaluuya) adalah sang "Black Messiah" sebagaimana dirujuk oleh judulnya. Seorang pemuda ketua Black Panther Party cabang Illinois. Sosoknya dikenal sebagai orator hebat yang mampu menggerakkan api perjuangan massa. Tidak heran, sebab ia hafal deretan pidato-pidato Malcolm X di luar kepala. Sedangkan Yudas yang dimaksud adalah William "Bill" O'Neal (Lakeith Stanfield), yang ditangkap akibat tindak pencurian mobil. Melalui Mitchell, pihak FBI memberi tawaran. Jika Bill ingin bebas, dia harus menyusup ke dalam Black Panther Illinois.

Penyamaran bukan hal asing bagi Bill, yang tiap menjalankan aksinya, mengaku sebagai anggota FBI menggunakan lencana palsu. Kenapa perlu repot-repot memalsukan identitas? Bukankah cukup bermodal senjata api, perampokan dapat dilakukan? "Badge is scarier than gun", ungkapnya. Kalimat itu sempurna merangkum isu rasisme filmnya. Bahkan hingga kini, lencana kepolisian lebih berpotensi membawa maut bagi orang kulit hitam ketimbang pistol. Dan di mana pun, golongan "orang-orang berseragam" ini memang punya tendensi besar menyalahgunakan otoritas mereka.  

Awalnya Bill tidak keberatan (afterall, he was a bad guy who stole from his own people by dressing as "pig"). Hingga kemudian muncul dilema. Fred beserta anggota Black Panther lain menerimanya. Bahkan Bill naik pangkat menjadi ketua bagian keamanan. Di lain pihak, Mitchell pun memperlakukannya dengan baik, memberinya bayaran cukup tinggi (total dia menerima sekitar $200 ribu), pun mengajak Bill makan malam di rumahnya. 

Stainfeld membuat kita bersimpati kepada Bill. Ya, ia seorang "tikus mata-mata", namun Bill pun seorang korban, yang dijadikan pion belaka. Tapi kenapa filmnya mengambil sudut pandang sang pengkhianat guna menuturkan kisah Fred Hampton? Di versi awal, Will Berson menjuduli naskahnya The Assassination of Chairman Fred Hampton by the Closet Queen Mulatto Edgar Hoover. Karena sama seperti The Assassination of Jesse James by the Coward Robert Ford (2007) karya Andrew Dominik, film ini memperlihatkan bagaimana si pengkhianat, sepanjang proses penyusupannya, mengenali targetnya. 

Judas and the Black Messiah bak proses belajar orang luar mengenai Fred Hampton. Sebagaimana banyak dari penonton, awalnya Bill mengenal Fred lewat propaganda kulit putih pembencinya. Bill adalah penonton, yang pelan-pelan mengetahui, bahwa fakta di lapangan, berbanding terbalik dengan apa yang diajarkan. Ketimbang memecah belah Fred malah menyatukan, khususnya saat mencetuskan Rainbow Coalition, sebuah gerakan multikultural bersama Crowns (organisasi kulit hitam selain Black Panther), Young Lords (beranggotakan orang Puerto Rico), dan Young Patriots, yang meski memasang bendera Konfederasi, sejatinya merupakan kelompok sayap kiri pembela hak imigran.

Kaluuya tampil berwibawa, menghidupkan api dalam diri Fred Hampton. Tiap orasinya melontarkan kobaran semangat perjuangan, namun tak lupa, matanya memancarkan ketulusan. Ketulusan yang berasal dari rasa percaya terhadap people power. Menyaksikan Kaluuya, anda akan meyakini kemampuan Fred Hampton menyatukan publik melalui ucapannya. Di beberapa kesempatan, Shaka King selaku sutradara menggunakan low-angle guna menangkap akting Kaluuya, menguatkan kesan mythical dan powerful karakternya.

Dibantu iringan musik bernuansa jazz garapan Mark Isham dan Craig Harris, di mana keteraturan isian ritmik dapat sewaktu-waktu bertransformasi menjadi keliaran, King membangun intensitas yang terjaga rapi selama kurang lebih 126 menit durasinya. Keputusan berfokus pada wajah kekasih Fred, Deborah Johnson (Dominique Fishback), melalui close-up shot, guna menggambarkan tragedi yang kita semua tahu bakal terjadi, turut membuktikan sensitivitas sang sutradara. Deborah nampak tertegun. Tapi air mata tidak sedikitpun mengalir. Menandakan penolakan memadamkan api revolusi.


Available on HBO MAX

7 komentar :

Comment Page:

REVIEW - GREENLAND

1 komentar

Menginjak usia 51 tahun, kentara bahwa fisik Gerard Butler tak lagi seprima dulu sebagai jagoan aksi. Biarpun berkarisma, dia bukan Liam Neeson, yang berkat wibawa tingkat dewa, mampu menutupi kelemahan fisik, sekalipun sudah uzur. Butler mengambil keputusan cerdik saat memutuskan terlibat di Greenland. Keputusan yang mungkin bisa memperpanjang karirnya, supaya tak semata bergantung pada seri Has Fallen, yang direncanakan bakal merilis judul keempatnya tahun depan. 

Meski sama-sama mengetengahkan bencana, berbeda dengan Geostorm (2017), film arahan sutradara Ric Roman Waugh (Angel Has Fallen) ini tak menuntut sang aktor berlarian menerjang badai dan tsunami. Butler cuma pria paruh baya biasa yang terjebak dalam kehancuran dunia. Bukan agen rahasia, bukan mantan militer. Bahkan setelah membunuh satu orang secara tidak sengaja pun, jiwanya terguncang. Greenland menempatkan Butler di tengah spektakel khas Hollywood, tanpa perlu menjadikannya one-man army.

Butler memerankan John, seorang structural engineer, yang hubungannya dengan sang istri, Allison (Morena Baccarin), mengalami keretakan setelah ia berselingkuh. Puteranya, Nathan (Roger Dale Floyd), menderita diabetes dan harus rutin menerima asupan insulin. Jelang perayaan ulang tahun Nathan, dunia dihebohkan oleh kemunculan tiba-tiba sebuah komet bernama Clarke, yang meski berukuran cukup besar, diyakini takkan menabrak bumi. Tentu jika perkiraan NASA itu tepat, tidak akan ada film ini.

Serpihan-serpihan Clarke menghantam bumi, menghancurkan satu demi satu kota di seluruh dunia. Bukan itu saja, dalam waktu 48 jam, serpihan terbesar segera menyusul, yang disinyalir bakal memusnahkan sebagian besar populasi makhluk hidup. Seperti halnya film bencana kebanyakan, Greenland tidak langsung tancap gas. Tapi ketimbang prolog hambar berisi pembangunan latar belakang karakter seadanya dan eksposisi membosankan (salah satu penyakit film bencana), Waugh piawai membangun intensitas, memunculkan ketegangan lewat "sinyal-sinyal" bahaya.

Kita dibuat merasakan kecemasan karakternya, yang pelan-pelan menyadari bahwa Clarke bukan fenomena alam bersahabat, salah satunya melalui berita di televisi yang seiring waktu juga mulai bergeser, dari ajakan menikmati indahnya pemandangan hujan komet di langit, menjadi laporan-laporan mengerikan. Waugh menghidupkan penantian harap-harap cemas, sebelum akhirnya berkembang jadi histeria massal. Sementara gambar-gambar berisi pesawat tempur dan komet yang malang melintang di langit luas, menunjukkan betapa kecilnya para protagonis kita. Menekankan bahwa ini adalah cerita tentang orang-orang biasa yang menghadapi hari kiamat.

Tanpa harus bergantung pada CGI (kecuali momen serangan gelombang kejut yang pemakaiannya efektif), first act-nya begitu menegangkan, sehingga kegagalan sisa filmnya mencapai tingkat intensitas serupa, layak dimaafkan. Tidak buruk, namun tanpa perbedaan kualitas signifikan, bila dibanding sesama mid-budget disaster movie lain. Ada adegan kebut-kebutan di atas mobil sembari menghindari hujan meteor, pesawat yang terpaksa mendarat darurat, dan deretan pemandangan familiar lain.

Kerap menulis naskah thriller berlokasi tunggal seperti Buried (2010) hingga ATM (2012), Chris Sparling tampak sedikit kerepotan menangani kisah berskala raksasa. Berbagai plot hole yang disengaja muncul demi menambah permasalahan, jamak ditemui. Bagaimana mungkin penyakit diabetes Nathan tidak diketahui? Kenapa orang-orang tanpa undangan akhirnya diperbolehkan memasuki bungker? 

Tapi naskah Sparling mampu menyediakan kendaraan yang sempurna bagi Butler guna menjaga eksistensi. Greenland bukan soal ketangguhan sesosok jagoan menembus kiamat, melainkan perjuangan bertahan hidup sebuah keluarga. Bahkan second act-nya sempat memisahkan John dan Allison, memberi kesempatan pada Butler dan Baccarin menghantarkan performa dramatik memadai. Bagi Butler, ini berarti ia tidak perlu mengangkat senjata, berlarian menghindari bencana, atau pamer otot ala Leonidas, agar bisa membintangi suguhan blockbuster, tanpa harus banyak mengubah citra. 

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - TOM & JERRY

1 komentar

Tahukah kalian bahwa seri Tom and Jerry yang menghiasi masa kecil kita dahulu, mengantongi tujuh piala Academy Awards untuk kategori Best Animated Short Film? Raihan yang menjadikannya seri kartun pemenang piala terbanyak bersama dengan Silly Symphony (1929-1939) milik Disney. Rata-rata durasi tujuh menit memang wadah sempurna bagi rangkaian slapstick imajinatifnya. 

Selang 29 tahun pasca film layar lebar berdurasi panjang perdananya (yang membuat Tom dan Jerry berbicara, mendapat respon negatif kritikus, serta flop di pasaran), hadirlah animasi hybrid karya sutradara Tim Story (Barbershop, Taxi, Fantastic Four) ini, yang meski belum menandingi kreativitas 114 judul animasi pendek buatan William Hanna dan Joseph Barbera, pula takkan meramaikan ajang penghargaan apa pun, mampu sedikit mengembalikan kenangan para penggemar. 

Tentu aksi kejar-kejaran Tom dan Jerry, yang kali ini menciptakan kekacauan di New York, tidak cukup mengisi durasi 101 menitnya. Sehingga naskah buatan Kevin Costello (Brigsby Bear) menambahkan karakter Kayla (Chloë Grace Moretz), gadis muda yang berambisi meraih kesuksesan di kota besar. Demi impiannya, Kayla sampai mencuri CV orang lain, lalu nekat mendaftar sebagai bagian tim Hotel Royal Gate, dalam merencanakan pernikahan mewah dua selebritas, Ben (Colin Jost) dan Preeta (Pallavi Sharda), yang bakal melibatkan drone, gajah, harimau, dan sebagainya.

Rencana pernikahan gila-gilaan hingga ketidaksukaan Terence (Michael Peña) selaku atasannya, rupanya bukan akhir rintangan. Kayla masih harus mengurusi pertengkaran Tom dan Jerry, yang berpotensi menimbulkan kekacauan di Hari-H. Kisah Kayla sekilas tidak cocok bersandingan dengan dunia Tom & Jerry, yang umumnya, nyaris tanpa karakter manusia, apalagi sebagai sentral cerita. Tapi Moretz adalah aktris serbabisa, yang mampu meleburkan diri di kejenakaan dunia kartun. Bukan cuma Moretz, seluruh penampil termasuk Peña, piawai soal interaksi dengan figur-figur animasi. 

Selain talenta pemain, gaya hybrid-nya turut membantu mulusnya penyatuan dua dunia. Story menetapkan "aturan", di mana semua hewan ditampilkan dalam bentuk animasi, menciptakan pemahaman bahwa memang demikian perwujudan hewan di dunia filmnya. Animasi hybrid-nya colorful, atraktif, dan ketika energi sang sutradara (selaku penggemar serialnya) ditambahkan, mata penonton dibuat terus menempel pada absurditas-absurditas di layar, sebutlah "animal tornado" khas "kartun Minggu pagi". 

Pada titik tertentu, bahkan setelah mendapat tambahan kisah mengenai Kayla, alurnya memang mencapai titik jenuh. Wajar, mengingat tidak banyak variasi atau bahan eksplorasi. Pesan anti-kebenciannya pun bakal cukup sulit disampaikan pada penonton anak, mengingat tidak peduli berapa kali keduanya berdamai, pada akhirnya Tom dan Jerry bakal kembali bermusuhan. 

Tapi rangkaian aksi bermodalkan slapstick sarat kekerasan yang dahulu kerap menyulut kontroversi, menginjeksi cukup tenaga. Sementara beberapa pemandangan familiar, seperti kemunculan sosok setan dan malaikat di samping telinga Tom, maupun tokoh-tokoh pendukung seperti Spike si buldog (Bobby Cannavale) sampai Butch si kucing liar (Nicky Jam), akan membangkitkan nostalgia penonton lama. Alhasil, serupa keawetan franchise-nya, meski ada kalanya tampak melelahkan sekaligus repetitif, pesonanya tidak pernah benar-benar mati. 


Available on HBO MAX & CINEMAS

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - COMING 2 AMERICA

3 komentar

Jauh sebelum penonton film mengenal Wakanda, Coming to America (1988) sudah lebih dulu muncul dengan Zamunda. Sebuah negara fiktif di Afrika yang makmur, dengan istana mewah, pakaian glamor, serta tradisi-tradisi unik. Salah satunya rutinitas pagi Pangeran Akeem (Eddie Murphy), saat pelayan wanita membersihkan "royal penis" miliknya. Ditengok sekarang, bagaimana film itu menggambarkan wanita memang nampak bermasalah, dan menilik premisnya, Coming 2 America bak usaha melakukan penebusan. 

Selang 33 tahun sejak film pertama, Akeem dan Lisa (Shari Headley) telah dikaruniai tiga anak. Semuanya perempuan, yang artinya, menurut tradisi Zamunda, tak satu pun dari mereka berhak atas tahta. Meski demikian, puteri sulung mereka, Meeka (KiKi Layne), pantang menyerah dan terus mempersiapkan diri sebagai calon penguasa Zamunda. Sampai sebelum ajalnya, Raja Jaffe Joffer (James Earl Jones) menyampaikan kabar mengejutkan: Akeem mempunyai anak laki-laki di Queens!

Lavelle (Jermaine Fowler) namanya, putera dari Mary (Leslie Jones). Demi menjaga kejutan, saya takkan memberi tahu bagaimana Akeem, yang dahulu cuma berfokus pada Lisa, bisa berhubungan dengan Mary. Tapi momen itu memberi kesempatan pada departemen efek visual untuk unjuk gigi, menciptakan flashback dengan CGI mumpuni, yang membuat Eddie Murphy dan Arsenio Hall terlihat tiga dekade lebih muda. Momen yang turut menunjukkan, sebagaimana sekuel/remake berjeda waktu lama lain, Coming 2 America juga penuh nostalgia.

Nostalgia baik berupa kemunculan sosok-sosok lama seperti "trio pangkas rambut" (masih diperankan Murphy dan Hall berbalut tata rias luar biasa) yang masih jago mengocok perut lewat selorohan tanpa saringan mereka, tipe-tipe humor familiar yang juga belum kehilangan daya bunuh, atau momen-momen bersifat referencial. Sedikit penyesuaian muncul di sana-sini, sebutlah restoran McDowell's yang kini berpindah ke Zamunda, dan mempunyai versi kulit hitam dari Ronald McDonald selaku maskot. 

Naskah buatan dua penulis film pertamanya, Barry W. Blaustein dan David Sheffield, yang kali ini mendapat tambahan tenaga dari Kenya Barris (Barbershop: The Next Cut, The Witches), memastikan agar komedinya tetap memuaskan penggemar lama. Tapi bagaimana dengan elemen lain? Di sinilah masalah terbesar Coming 2 America berada. 

Ketimbang sekuel, Coming 2 America lebih seperti remake terselubung, di mana unsur nostalgia kerap jatuh menjadi pengulangan semata. Lavelle tidak hanya dipersiapkan sebagai pangeran, pula calon suami bagi puteri Jenderal Izzi (Wesley Snipes), penguasa Nextdoria selaku rival dari Zamunda, sekaligus kakak Imani (Vanessa Bell Calloway). Ya, mantan calon istri Akeem yang ia "kutuk" sehingga terus melompat dengan satu kaki sambil menggonggong. Berikutnya, menyusul poin-poin alur, yang mencerminkan perjalanan Akeem dahulu.

Saya bukan golongan anti "repetisi-berkedok-tribute". Saya bersuka cita kala mendapati The Force Awakens merupakan carbon copy dari A New Hope. Nostalgia itu menyenangkan. Pun sejatinya, repetisi tersebut malah bisa dimanfaatkan guna menguatkan gagasan utama kisahnya, yakni tentang Akeem, yang seiring pertambahan usia, semakin mirip dengan hal yang dulu dibencinya: kekolotan sang ayah. 

Film pertama sukses mengubah resistensi Akeem terhadap hal konservatif menjadi suguhan komedi-romantis yang amat manis. Ada hati. Ada rasa. Pencapaian itu gagal diulangi, akibat para penulis seolah kebingungan menaruh fokus. Apakah soal Akeem yang mencari kembali "api" dalam dirinya? Apakah soal Lavelle yang mengejar kebebasan? Apakah soal para wanita Zamunda? Hasilnya tumpang tindih. Bukan saja repetisi, Coming 2 America adalah repetisi yang disajikan sambil memencet tombol fast forward, sementara para pembuatnya mencentang checklist, tiap alurnya melewati poin demi poin film pertama yang ingin diulangi.

Seharusnya ini menjadi kendaraan Eddie Murphy membangkitkan karirnya, namun walau ia mampu memberi kehangatan di segelintir momen dramatik, Akeem seperti terpinggirkan dari franchise-nya sendiri. Begitu pun para wanitanya. Ketangguhan KiKi Layne, keberhasilan Headley (masih secantik 33 tahun lalu) menjadikan Lisa figur bijak serupa mendiang Madge Sinclair sebagai Ratu Aoleon dahulu, maupun "keliaran" Leslie Jones, jadi sia-sia. Sedangkan percintaan Lavelle dan Mirembe (Nomzamo Mbatha) si royal groomer jauh dari romantisme Akeem-Lisa, akibat presentasi yang buru-buru serta kurangnya fokus pada hubungan keduanya. Mau bagaimana lagi? Kisahnya memang terlalu penuh.

Paling tidak, jika sebatas mencari hiburan atau obat rindu, sutradara Craig Brewer (Hustle & Flow, Dolemite Is My Name) sanggup melahirkan lanjutan, yang dalam konteks hiburan, masih menyimpan tenaga dan jiwa yang sama dengan pendahulunya. 


Available on PRIME VIDEO

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - RAYA AND THE LAST DRAGON

4 komentar

Karakter Raya (Kelly Marie Tran) di Raya and the Last Dragon, tak ubahnya nama-nama seperti Merida, Elsa, dan Moana, memimpin langkah animasi Disney menuju era baru, sebagai protagonis wanita (tidak harus termasuk "Disney Princess") kuat nan mandiri, yang tak terlibat romansa, tak perlu menunggu satu kecupan dari pria untuk memancarkan cahayanya. 

Sah atau tidaknya film ini sebagai representasi orang Asia Tenggara mungkin menyulut perdebatan, meski gelombang protes tersebut bagi saya malah bentuk ketidakhormatan terhadap Kelly. Seorang keturunan Vietnam, yang tengah berusaha bangkit pasca menjadi korban rasisme para penggemar Star Wars. Keterlibatannya membuat film ini patut dirayakan. 

Di luar soal representasi, sebagaimana dilakukan Black Panther dengan budaya Afrika, Raya and the Last Dragon meleburkan elemen-elemen kultural Asia Tenggara, guna melahirkan dunia fiktif bernama Kumandra, yang tampil beda, terlihat menyegarkan dibanding animasi Disney lain. Sebuah sekuen di awal yang merangkum sejarah Kumandra misalnya, dikemas menggunakan estetika bak pertunjukan wayang. Sebuah epos, ketimbang flashback generik ala Hollywood. 

Dahulu kala, manusia dan naga hidup harmonis di Kumandra. Sampai Druun, entiti jahat berbentuk asap hitam dengan cahaya ungu di intinya, menyerang. Umat manusia selamat berkat pengorbanan para naga. Seluruh naga punah, termasuk Sisu (Awkwafina), yang konon merupakan pahlawan terbesar di peperangan itu. Sisu meninggalkan permata naga ajaib yang dapat melindungi dari Druun, namun manusia malah saling berperang memperebutkannya, berujung memecah belah mereka menjadi lima suku: Heart, Fang, Spine, Tail, dan Falon. 

Raya merupakan puteri dari kepala suku Heart, Benja (Daniel Dae Kim), yang bertugas menjaga permata tadi. Cita-cita Benja adalah menyatukan lagi seluruh suku, agar keharmonisan Kumandra dapat kembali. Diundanglah keempat suku lain dalam perjamuan, yang justru berakhir bencana, tatkala Namaari (Gemma Chan), puteri kepala suku Fang, menipu Raya dengan tujuan mencuri permata naga. Timbul kekacauan, saat secara tak sengaja permata itu pecah, membangkitkan Druun yang seketika mengubah orang-orang menjadi batu, termasuk Benja. Sekali lagi, peradaban manusia terancam.

Beberapa tahun berselang, kita berjumpa lagi dengan Raya. Dia bukan lagi sesosok bocah. Ditemani sahabatnya, armadillo raksasa bernama Tuk Tuk (Alan Tudyk), Raya melakukan perjalanan mengumpulkan pecahan permata naga yang tersebar di tiap suku, untuk membangkitkan Sisu, yang diharapkan mampu memulihkan segalanya, termasuk sang ayah. Raya dipersenjatai pedang ayahnya yang tampak seperti keris raksasa (satu lagi sentuhan kultural menarik), namun senjata terkuat yang membuatnya jadi salah satu protagonis wanita Disney favorit saya sepanjang masa, adalah keberanian. Melalui suaranya, Kelly menghidupkan keberanian Raya. 

Tapi ada satu hal yang masih harus Raya pelajari, yakni soal rasa percaya. Sulit baginya mempercayai orang lain, apalagi setelah pengkhianatan Namaari, yang di awal pertemuan mereka, bersikap layaknya teman. Raya belajar menaruh rasa percaya, tatkala umat manusia dikuasai keserakahan. Druun bukanlah antagonis utama film ini. Bahkan, Druun bisa dipandang bukan sebagai monster, melainkan wabah, yang diciptakan pula ditularkan oleh keserakahan manusia, yang mana adalah musuh sesungguhnya.

Di tiap daerah, kawan perjalanan Raya bertambah. Ada Boun (Izaac Wang, yang mencuri perhatian lewat debutnya di Good Boys) si bocah 10 tahun pemilik restoran perahu dari Tail, Noi (Thalia Tran) si balita penipu dari Talon yang melancarkan aksi bersama trio ongis (separuh monyet, separuh lele), dan Tong (Benedict Wong) si prajurit bertubuh besar namun berhati lembut dari Spine. Mereka merupakan jajaran tokoh pendukung penuh warna yang mudah mencuri hati penonton, khususnya Noi yang menggemaskan. Pun fakta bahwa selain berasal dari lokasi berbeda, mereka juga mempunyai kepribadian, usia, serta gender berbeda-beda, turut mewakili pesan utama filmnya, yakni soal "persatuan di balik perbedaan". 

Naskah buatan Qui Nguyen (keturunan Vietnam) dan Adele Lim (berkebangsaan Malaysia) memang apik perihal menjalin pesan bermakna. Kelemahannya, naskah kerap terburu-buru. Alurnya kerap terkesan bergerak melewati jalan pintas, termasuk beberapa simplifikasi, semisal terlalu mudahnya upaya membangkitkan Sisu. Menurut legenda, jiwa Sisu masih bersemayam di salah satu dari sekian banyak ujung sungai di Kumandra. Tentu sebagai makhluk legendaris nan misterius, kebangkitannya takkan segampang merapal mantra sederhana bukan? Well, pikir lagi.

Berlatar dunia sarat keajaiban, rupanya tak otomatis menghindarkan Raya and the Last Dragon dari plot generik. Bahkan cenderung seperti video game yang terdiri atas deretan checkpoint, di mana jagoan kita tiba di suatu lokasi, melewati beberapa rintangan, mengambil permata, lalu beranjak menuju lokasi berikutnya guna melakukan proses serupa. Begitu pula penanganan aksi duo sutradara, Don Hall (Winnie the Pooh, Big Hero 6) dan Carlos López Estrada (Blindspotting), yang biarpun jauh dari kata "buruk", tidaklah sefantastis premisnya. 

Beruntung, segala kekurangan di atas, dibayar oleh kemampuan mereka mengolah rasa. Jangan mengharapkan pertempuran epik naga melawan monster di klimaks, namun di situlah puncak emosi film terletak. Karena Raya and the Last Dragon bukanlah kisah soal pertempuran fisik, melainkan batin. Saya teringat pada klimaks Guardians of the Galaxy, tapi dengan dampak emosi berkali-kali lipat. 

Saya dibuat terharu bukan cuma karena unsur drama, juga oleh keindahannya. Visualnya memanjakan mata, tapi seindah apa pun rasanya menyaksikan Sisu terbang di bawah guyuran hujan, keindahan terbesar justru muncul dari pemandangan yang terasa dekat. Terutama di Heart. Bentangan alam hijau, deretan pohon kelapa, dan dataran yang basah selepas guyuran hujan, membuat saya ingin berdiri, merasakan siraman matahari pagi di sana. 

4 komentar :

Comment Page: