REVIEW - THE DOLL 3

11 komentar

Ada masa di mana tiap tahun kita disuguhi horor garapan Rocky Soraya, entah seri The Doll maupun Mata Batin. Belum lagi judul-judul seperti Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018) dan Jeritan Malam (2019). Masa itu berakhir kala pandemi tiba (mungkin ditambah perolehan penonton Mata Batin 2 yang tak sampai separuh film pertama). 

Selepas absen tiga tahun, Rocky kembali lewat installment yang konon bakal menutup kisah The Doll, dan sang sutradara masih sama. Masih mengandalkan gore, gemar memecahkan kaca, menomorsatukan gaya. Perbedaan terletak pada sosok bonekanya.

Jika Ghawiah dan Sabrina memerlukan medium manusia guna menebar teror, maka Bobby lebih mandiri. Sebab kini Rocky dan tim memakai boneka animatronik, yang kabarnya memakan biaya dua miliar. Apakah sepadan? Bagi saya, iya. 

Tapi mari membahas alurnya terlebih dahulu. Pasca sebuah kecelakaan yang menewaskan orang tua mereka, Tara (Jessica Mila) dan Gian (Zizie Zidane) hanya memiliki satu sama lain. Hidup Tara bahagia. Kisah cintanya dan Aryan (Winky Wiryawan) berjalan mulus, pun Tara menjalin hubungan baik dengan puteri kekasihnya, Mikha (Montserrat Gizelle). Sebaliknya, Gian yang terlibat langsung dalam kecelakaan amat menderita. Luka di wajahnya belum hilang, sebagaimana luka batin akibat trauma. 

Singkat cerita, Gian bunuh diri. Teringat akan cerita sahabatnya, Rere (Masayu Anastasia), tentang ritual memasukkan arwah ke dalam boneka, membuat Tara nekat melakukan hal serupa. Arwah Gian dipanggil agar bersemayam dalam tubuh boneka canggih bernama Bobby. Berharap bisa mengucap kata perpisahan secara layak, Tara malah mendapati sang adik telah berubah. 

Hal-hal itulah yang harus anda lewati sebelum The Doll 3 menampakkan taringnya. Naskahnya kembali ditulis oleh Riheam Junianti, sehingga masih menyimpan masalah seperti judul-judul sebelumnya, yaitu berupa prolog melelahkan. Eksplorasi elemen psikologisnya terlalu dangkal untuk dapat menjustifikasi keputusan Gian bunuh diri, sedangkan kalimat-kalimat corny yang mendominasi interaksi antar karakter, makin kentara karena naskah bak mewajibkan seluruh perasaan diutarakan secara verbal. 

Bagi yang mengenal betul karya-karya Rocky, tentu sudah mengantisipasi semua itu, lalu bersabar menantikan banjir darah begitu film memasuki second act. Sekali lagi, Rocky masih sama. Masih mengedepankan teknik pengambilan gambar stylish (kamera berputar, menembus lubang intip pintu, dll.), pula masih total perihal gore. 

Bersenjatakan pisau, tiada bagian tubuh yang luput disambangi oleh Bobby. Perut, dada, punggung, leher, kepala, tenggorokan, semua ditebas. Rocky enggan menahan diri, bahkan saat dihadapkan dengan karakter anak. Apalagi, seperti kita tahu, tokoh-tokoh dalam film Rocky bak kecoak. Susah mati. Lihatlah Mikha. Selepas jatuh dari tangga, rumah pohon, lift, nyawanya belum juga melayang. Adegan bunuh diri Gian pun jauh lebih brutal dari perkiraan. 

Rocky menunjukkan pengalaman sebagai sineas slasher, yang disokong jajaran tim tata efek khusus mumpuni. Kepala terpenggal, atau saat seorang karakter jatuh menimpa mobil, semua tampak meyakinkan. Tentu boneka animatronik Bobby turut berperan. Geraknya mulus dengan cakupan yang cukup luas, pun ekspresi wajahnya kaya. Shot favorit saya adalah ketika Bobby "bepose" di tangga sembari mengacungkan pisau. That's cool. Sayang, aksinya dinodai oleh kebutusan absurd membuat si boneka pembunuh melontarkan sumpah serapah dalam Bahasa Inggris. Seisi studio tertawa, mendapati momen konyol yang bertolak belakang dengan tone serius filmnya. 

Bukan film Rocky Soraya namanya kalau tidak ditutup menggunakan epilog terlampau panjang guna mengungkap twist yang sama sekali tak diperlukan (meski kali ini bukan soal perselingkuhan). Ya, tiga tahun berselang, Rocky Soraya masih sama. For better or worse. 

11 komentar :

Comment Page:

REVIEW - TOP GUN: MAVERICK

21 komentar

Popularitas Top Gun tidak bisa disangkal. Merupakan film berpendapatan tertinggi sepanjang 1986 (meraup 357 juta dollar, atau sekitar 940 juta dollar jika dikonversi ke nilai sekarang), yang konon memicu lonjakan pendaftaran US Navy sampai 500%. Sebuah blockbuster khas 80an yang ringan, menghibur, cheesy, tapi sejujurnya, tidak luar biasa. Sekuelnya, Top Gun: Maverick yang menyusul 36 tahun berselang, adalah spesies berbeda. 

Menggantikan mendiang Tony Scott di kursi sutradara, Joseph Kosinski beralih dari parade CGI yang menyusun awal karirnya, dari beberapa iklan berbasis CGI hingga film-film macam Tron: Legacy (2010) dan Oblivion (2013), guna melahirkan salah satu sekuel terbaik sepanjang masa, yang melebihi pendahulunya di segala lini. 

Menit-menit awalnya bak reka ulang film pertama. Serupa, bukan cuma di adegan, pula teks intro yang memperkenalkan apa itu program Top Gun. Pete "Maverick" Mitchell (Tom Cruise) pun masih sama. Masih sosok biang masalah, juga masih berstatus kapten. Maverick menghindari peluang naik pangkat agar bisa terus menjadi pilot. Tepatnya pilot uji coba.

Sekuen aerial perdana hadir saat Maverick menguji coba pesawat dengan target mencapai Mach 10 (10 kali kecepatan suara). Di sinilah Kosinski memamerkan sentuhannya. Tentu sekuen tersebut intens dan bombastis. Tapi siapa menduga kalau di beberapa titik ia bakal meminimalkan suara, lalu fokus pada keindahan lanskap langit yang dibelah oleh jejak lesatan jet? Seolah Kosinski mengingatkan bahwa "terbang" merupakan keajaiban bagi umat manusia. 

Pada akhir film pertama, Maverick memutuskan bergabung sebagai instruktur Top Gun, yang ternyata cuma berjalan dua bulan. Mengajar bukan panggilan hidupnya. Tatkala teknologi makin berkembang, dan otomatisasi mulai menggeser pilot manusia, masih adakah tempat bagi Maverick? 

Jawaban datang setelah Top Gun memanggilanya lagi. Kali ini bukan untuk pelatihan biasa, melainkan persiapan menuju misi berbahaya. Begitu berbahaya, reaksi pertama Maverick adalah, "Tidak semua pilot bakal pulang dengan selamat". Langsung tampak perbedaan mendasar alur dalam naskah buatan Ehren Kruger, Eric Warren Singer, dan Christopher McQurrie dibanding Top Gun. Sejak awal, kita dan karakternya mengetahui keberadaan misi.

Masih dipenuhi latihan (termasuk olahraga di pantai, meski voli digantikan american football, dan tak lagi beraroma homoerotic), namun latihan di Maverick terasa lebih esensial. Penonton dibuat memahami detail strategi, pun semakin jauh latihan berlangsung, semakin meningkat kesulitannya, semakin pula kita merasakan betapa berbahaya misi tersebut. Apalagi saat melalui sekuen luar biasa intens, filmnya menegaskan kalau bahaya tidak hanya berasal dari peluru, rudal, atau radar musuh. Alam bisa sama, atau malah lebih mematikan.

Di ranah penokohan, naskahnya mengembangkan karakter Maverick tanpa harus mengubah jati diri. Masih nekat, penuh percaya diri, tapi lebih bisa meredam ego. Tetap ingin bebas, tapi mulai mendambakan tempat untuk pulang, yang diwakili oleh romansanya dan Penny (Jennifer Connelly), yang namanya sempat disinggung sekilas di film pertama (cara cerdik mengubah love interest si protagonis). 

Setelah terbang puluhan tahun, Maverick banyak mendapati kematian sesama pilot, termasuk sahabatnya, Goose (Anthony Edwards). Kematian mereka menyisakan duka di hati para orang tercinta. Tapi siapa yang akan kehilangan Maverick andai ia tiada? Maverick yang selama ini senantiasa "kehilangan", kini berusaha untuk "menemukan". 

Salah satunya menemukan kedamaian. Kematian Goose masih belum mampu ia lupakan. Terlebih, putera sang sahabat, Rooster (Miles Teller), tergabung dalam tim yang dilatihnya. Rooster sendiri menyimpan rasa benci terhadap Maverick. 

Elemen drama di atas dilakoni Cruise dengan amat baik. Saking seringnya menantang maut, banyak orang lupa bahwa Cruise adalah aktor bagus pemilik tiga nominasi Oscar. Sewaktu Maverick dan Iceman (Val Kilmer) terlibat obrolan soal "merelakan", jangkauan akting dramatik Cruise mencapai titik terbaiknya. 

Tapi mari lupakan tetek bengek penceritaan. Semua datang menonton demi dogfight bukan? Saya berani menyebut Top Gun: Maverick memiliki rangkaian dogfight terbaik yang pernah ditampilkan di layar lebar. Lebih megah, lebih kompleks, tapi menariknya, lebih mudah dicerna ketimbang film pertama (siapa melawan siapa, siapa ada di pesawat mana, dll.). 

Semua dogfight memukau, tapi third act-nya berada di tingkatan berbeda. Penuh manuver berbahaya serta aerobatics yang mendefinisikan "you won't believe it until you see it". Hell, even after you saw it, you won't believe that those are achievable. 

Kuncinya terletak pada efek praktikal. CGI dipakai secukupnya kala benar-benar dibutuhkan. Sedangkan sisanya, kamera milik Claudio Miranda selaku sinematografer, menangkap jet asli yang membelah angkasa. Realisme menguat berkat penempatan kamera di kokpit yang dioperasikan langsung oleh cast (mereka sungguh duduk di kursi penumpang dalam pesawat yang mengudara). 

Penceritaannya cenderung klise? Mungkin, tapi rasanya itu bukan perihal yang patut dikeluhkan. Apa perlunya mempermasalahkan keklisean, saat Top Gun: Maverick adalah blockbuster sempurna, dengan jajaran spektakel yang belum pernah ada sebelumnya. Bahkan selipan humornya juga efektif menambah daya hibur. Joseph Kosinski mengembalikan sinema blockbuster ke hakikatnya, yakni sajian yang membuat penonton menyaksikan, kemudian memercayai kemustahilan. 

21 komentar :

Comment Page:

REVIEW - RRR

15 komentar

Ada istilah "maximalist film", untuk menyebut film yang "bertentangan" dengan prinsip minimalis. Jika membuka Wikipedia, nama-nama seperti Zack Snyder, Quentin Tarantino, John Woo, Tim Burton, dan (tentu saja) Michael Bay diidentikkan dengan gaya tersebut. Tidak keliru, namun di hadapan RRR buatan S. S. Rajamouli (dwilogi Baahubali), karya-karya mereka bak tontonan sederhana.

RRR adalah maximalist sesungguhnya. Film over-the-top di tiap lini, dan mustahil dilahirkan industri film lain. RRR membuat superhero Hollywood terlihat kerdil. RRR merupakan film superhero yang lahir berdasarkan kultur "mengagungkan para pahlawan", yang sekali lagi, tak dipunyai industri lain. Hanya India, atau dalam konteks film ini, Telugu.

Ditulis sendiri naskahnya oleh Rajamouli, RRR (singkatan dari "Rise Roar Revolt") mengangkat kisah fiksi mengenai dua figur pahlawan nyata, Komaram Bheem dan Alluri Sitarama Raju. Keduanya hidup di satu era, namun tidak pernah bersinggungan. Rajamouli mengimajinasikan, apa jadinya kalau mereka bertemu, berteman, lalu bertarung bersama. 

Paruh awal RRR memberi contoh bagaimana jagoan dalam film mestinya diperkenalkan. Raju (Ram Charan), seorang polisi berdedikasi, menerobos ratusan demonstran seorang diri hanya untuk menangkap satu provokator sebagaimana diperintahkan sang atasan, sedangkan Bheem (N. T. Rama Rao Jr.), pelindung suku Gond, diperlihatkan bertarung satu lawan satu dengan harimau. Penonton langsung sadar, keduanya bukan manusia biasa. Superhero. 

Jalan mereka bersilangan setelah Gubernur Scott (Ray Stevenson) dan istrinya, Catherine (Alison Doody) membawa paksa gadis cilik dari suku Gond. Sebagai pelindung, Bheem berangkat ke Delhi guna melakukan misi penyelamatan. Kabar kedatangan Bheem didengar oleh pihak Inggris, dan Raju pun dikirim untuk menangkapnya. 

Alih-alih berkonfrontasi, karena tak tahu wajah satu sama lain, hubungan Raju-Bheem justru diawali persahabatan. Pertemuan perdana keduanya menegaskan pendekatan Rajamouli terhadap tiap momen: membuatnya lebih gila dari yang diperlukan. Apakah menyelamatkan bocah di sungai perlu melibatkan motor, kuda, serta aksi akrobatik ekstrim? Tentu tidak, tapi sungguh gaya yang keren. Bukan cuma di aksi. Lihat bagaimana dua jagoan kita berjabat tangan di bawah air. 

Semuanya gila. Bahkan karakter pendukungnya saja mampu menangkap ular berbisa dengan tangan kosong tanpa harus melihatnya. Diiringi musik megah milik M. M. Keeravani yang ampuh memacu adrenalin, Rajamouli tidak sekalipun menahan diri, melempar aksi-aksi spektakuler yang dapat penonton rasakan seluruh impact-nya, entah itu pukulan, kepala yang terbentur batu, pecutan cambuk, maupun lesatan timah panas. 

Durasi 182 menitnya sama sekali tidak terasa (saya tidak keberatan kalau ditambah sampai empat jam), sebab filmnya amat piawai menjaga atensi. Hampir tiap situasi meninggalkan kekaguman, serta rasa penasaran akan apa yang menyusul berikutnya. Rasa penasaran itu lalu berubah ke kaget, karena RRR rutin menawarkan hal tidak terduga. Entah jenis aksi, pilihan shot, maupun peristiwa yang dimunculkan. 

Dibantu sinematografer langganannya, K. K. Senthil Kumar, Rajamouli memastikan sepak terjang dua jagoannya selalu nampak epik. Beragam shot megah, yang acap kali dihiasi gerak lambat kerap jadi andalan. Selain over-the-top, aksinya pun kreatif. Sekuen "serangan hewan" sudah jadi salah satu momen sinematik paling ikonik tahun ini dengan gif yang beredar di mana-mana, sementara klimaksnya memberi definisi unik untuk istilah "persatuan". 

Menariknya, di antara parade machismo membara itu, RRR mengangkat bromance yang tampil berlawanan. Manis, murni, hangat. Bromance di mana dua pria gahar alan-jalan berdua, makan berdua, menjalani semua bersama sambil tertawa bahagia. Tentu mereka pun menari berdua dalam nomor musikal Naacho Naacho yang meriah. 

Charan dan Rao sempurna melakoni peran masing-masing. Sama-sama punya kapasitas fisik bak superhero yang membuat mereka meyakinkan kala melakoni laga "tidak manusiawi", kedua aktor pun mudah membuat penonton tenggelam dalam hubungan fiktif Bheem-Raju. Apalagi kita tahu bakal datang titik saat bromance ini pecah. 

Melalui flashback yang menampilkan Ajay Devgn sebagai ayah Raju, pula subplot mengenai Sita (Alia Bhatt), tunangan Raju, filmnya menjabarkan bahwa sang polisi berdedikasi bukanlah pengkhianat bangsa, sembari menegaskan tema besarnya: kepahlawanan. 

RRR merupakan epos. Selain atas nama hiburan, pendekatan maximalist miliknya juga wujud ekspresi kekaguman, pemujaan, pengagungan pada jasa para pahlawan, dengan menjadikan mereka sosok superhero. Jangan lewatkan aksi dua jagoan yang mampu memutar motor di udara, semudah melempar handuk ini. 

(Netflix)

15 komentar :

Comment Page:

REVIEW - CYBER HELL: EXPOSING AN INTERNET HORROR

Tidak ada komentar

"It was just seen as another violence case against women", ucap seorang narasumber menyikapi dinginnya reaksi publik atas kasus yang diangkat oleh dokumenter ini. Saking seringnya terjadi, kekerasan seksual terhadap wanita mulai dianggap biasa. Muncul pembiaran. Sebuah kasus dipandang sebagai tambahan data statistik belaka. Seolah lupa, atau bahkan tidak peduli, bahwa satu kasus baru berarti satu lagi hidup manusia di ambang kehancuran. 

Cyber Hell: Exposing an Internet Horror menyoroti investigasi terhadap kasus Nth Room yang terjadi di Korea Selatan pada tahun 2018-2020. Modus operandinya adalah memeras korban yang dicuri data pribadinya (termasuk foto) lewat metode phishing. Jika tak ingin data itu disebar, korban harus menuruti kemauan pelaku, dari mengambil foto telanjang, hingga merekam video sensual. 

Foto dan video itu lalu dibagikan ke beberapa grup Telegram, yang punya anggota tidak kurang dari 60 ribu orang. Total ada 103 korban, dengan 26 di antaranya masih di bawah umur. Tentu dengan jumlah pelaku sebanyak itu, kemungkinan untuk bertatap muka di dunia nyata amat besar. Alhasil, beberapa korban takut beraktivitas di luar rumah. 

Filmnya mengajak penonton menelusuri detail kasus melalui investigasi berbagai pihak. Jurnalis koran The Hankyoreh yang menerima petunjuk anonim dari surel, sepasang wartawan muda, pembuat acara televisi di SBS dan JTBC, sampai kepolisian. Masing-masing dari mereka turut hadir selaku narasumber.  

Prosesnya jauh dari mulus, akibat tingkat kerahasiaan dan sistem yang dipakai pelaku. Apalagi kala terungkap bahwa ada lebih dari satu pelaku. Bagi yang belum familiar dengan kasusnya, saya akan sedikit memberi penjelasan. Target utamanya adalah Baksa, pengelola grup Doctor's Room di Telegram. Tapi bukan Baksa pelaku pertamanya, melainkan God God, sosok misterius di balik penciptaan Nth Room, yang menginspirasi banyak grup lain termasuk Doctor's Room. 

Kenapa saya merasa perlu menjelaskan hal di atas ketika filmnya sendiri mengupas tentangnya? Di situ masalahnya. Sebagai sutradara, Choi Jin-seong mampu melahirkan dokumenter stylish. Pernak-perniknya kreatif. Google Map dipakai menjabarkan detail lokasi, shot estetis menghiasi layar, sementara animasi jadi cara cerdik mengakali penggambaran situasi agar tak terkesan eksploitatif. Sayangnya, ia bukan pencerita handal. 

Pendekatan bergaya tersebut, ditambah permainan tempo cepat, memang menghasilkan tontonan menghibur, namun runtutan investigasi jadi kurang rapi. Bila belum familiar dengan kasusnya, poin-poin seperti siapa Baksa dan God God, pula kaitan antara mereka, berpotensi membingungkan. 

Sebagai sineas pria, Choi juga luput menaruh simpati kepada para korban yang notabene wanita (pun menyaksikan perkataan jajaran narasumber, sangat kentara perbedaan perspektif pria dan wanita). Tidak adanya narasumber dari pihak korban bukan berarti sisi emosional mereka boleh terlupakan. Cyber Hell lebih tertarik merangkai spektakel ketimbang menyentuh humanisme atau mengulik problem sosial masyarakat yang lebih esensial guna memahami akar persoalan. 

Cyber Hell: Exposing an Internet Horror bisa berbuat lebih, tapi ia tetap penting disimak. Terutama bagi penonton di luar Korea Selatan, minimal dokumenter ini bak pembawa kabar, pemberi informasi mengenai betapa mengerikannya neraka dunia di era internet. Setidaknya informasi itu memberi peluang bagi individu guna melindungi diri, tatkala sistem dan masyarakat masih menolak untuk peduli.  

(Netflix)

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - SRIMULAT: HIL YANG MUSTAHAL - BABAK PERTAMA

9 komentar

Status sebagai "babak pertama" memang melukai narasi milik Srimulat: Hil yang Mustahal. Naskah buatan Fajar Nugros tampil bak prolog yang diulur-ulur, kemudian usai sebelum memberi payoff sepadan (masalah khas film yang kisahnya dipecah). Secara penceritaan, filmnya lemah. 

Tapi di menit awal, ketika dalam gerak lambat, satu demi satu anggota Srimulat turun dari mobil yang dikerumuni para penggemar, sementara Whiskey and Soda kepunyaan Roberto Delgado yang lebih dikenal publik Indonesia sebagai "lagu tema Srimulat" terdengar, saya bisa merasakan kekaguman Fajar pada kelompok komedi legendaris itu. Srimulat: Hil yang Mustahal mungkin kurang lihai bercerita, namun ia jelas dibuat memakai cinta. 

Alurnya sederhana. Popularitas Srimulat sebagai grup lawak di Jawa telah tersebar, dan mereka pun diundang ke Jakarta guna tampil di televisi nasional. Teguh (Rukman Rosadi), selaku pemimpin Srimulat, mengutus Asmuni (Teuku Rifnu Wikana) untuk mengepalai rombongan yang terdiri dari Timbul (Dimas Anggara), Tarsan (Ibnu Jamil), Tessy (Erick Estrada), Basuki (Elang El Gibran), Nunung (Zulfa Maharani), Paul (Morgan Oey), Anna (Naima Al Jufri), serta istri Teguh, Djudjuk (Erika Carlina).

Muncul satu nama baru, yaitu Gepeng (Bio One), pemain kendang yang justru lebih lucu dari mereka semua. Teguh mengizinkannya bergabung, meski beberapa pihak keberatan, khususnya Tarsan. Penggambaran Tarsan di sini cukup menarik. Penggambarannya tak dipaksakan "sempurna", walau "Tarsan asli" tampil sebagai cameo. Bahkan di salah satu bagian, meski tersirat, filmnya menyebut Tarsan "tidak lucu", karena tugasnya adalah membuat anggota lain terlihat lucu. 

Ada juga bumbu romansa antara Gepeng dan Royani (Indah Permatasari), puteri Babe Makmur (Rano Karno) si pemilik kontrakan tempat Srimulat tinggal selama di Jakarta. Tapi fokus utama tetap tentang para anggota Srimulat, terutama proses mereka mencari kekhasan masing-masing, seperti Tarsan dengan seragam tentara, atau Tessy yang mendapat ide memakai batu akik serta pakaian wanita. 

Penuturannya memang kurang rapi. Kadang tampak ingin bercerita, tetapi bentuknya tidak jarang seperti kumpulan sketsa. Untungnya, kumpulan sketsa yang lucu. Selain humor toilet yang cenderung menjijikkan alih-alih menggelitik, sisanya efektif memancing tawa. Seperti sudah saya sebut, kekaguman Fajar terhadap Srimulat amat kentara. Dia tahu letak "daya bunuh" tiap lawakan, lalu mempresentasikannya berbekal timing serta semangat yang tepat. Ini karya terbaik seorang Fajar Nugros.

Ensemble cast-nya juga berjasa besar. Salah satu ensemble cast terbaik di film kita. Saking bagusnya, sulit memilih sosok favorit. Merujuk pada kemiripan tampang dan gerak-gerik, Ibnu Jamil cukup menonjol. Apalagi ia berhasil "lulus ujian" tatkala muncul di satu frame bersama Tarsan. Tapi bukan berarti nama lain kalah bagus. Bio One di performa terbaik, Teuku Rifnu mengolah citra intimidatifnya selaku penguat komedi, Zulfa Maharani sempurna memotret ke-lebay-an Nunung, sedangkan Elang El Gibran sempat memamerkan kekuatan dramatik di sebuah momen non-verbal.

Momen favorit saya adalah sewaktu anggota Srimulat berkumpul di teras bersama Ki Sapari (Whani Darmawan), kemudian melempar satu per satu lawakan klasik yang sudah kita kenal betul. Saya tertawa, tapi anehnya, juga terharu. Aneh, karena sebagai anak 90an, kenangan saya akan Srimulat yang bubar pada 1989 jelas sedikit. Hanya lewat acara Aneka Ria Srimulat (1995-2003), itu pun sebatas tahu, bukan menggemari. 

Sampai saya sadar, rasa haru tersebut bukan dipicu nostalgia tentang Srimulat, melainkan memori-memori indah yang dibawa lawakannya. Kaki terinjak, melorot dari kursi, dan lain-lain, adalah lawakan yang senantiasa muncul di tongkrongan. Lakukan itu, maka orang-orang yang tumbuh pasca era kejayaan Srimulat pun tetap bakal berkata, "Waah Srimulat". Srimulat telah meresap begitu kuat dalam keseharian kita. Srimulat lebih dari salah satu bagian kultur, melainkan kultur itu sendiri. 

Lawakan Srimulat memang "lawakan tongkrongan". "Gayeng" kalau kata kami orang Jawa. Itulah mengapa pemakaian teras sebagai latar menjadi penting. Tempat yang identik dengan kesantaian, tawa, kehangatan, kebersamaan. Sama seperti nilai-nilai usungan Srimulat.

9 komentar :

Comment Page:

REVIEW - KAMBODJA

2 komentar

Saya sangat ingin menyukai Kambodja. Karya terbaru sutradara Rako Prijanto ini cukup menyegarkan, mengingat romansa dewasa tergolong jarang mengisi perfilman kita. Pun keputusannya "meminjam" beberapa gaya Wong Kar-wai jadi pernak-pernik yang menarik. Sayang, setumpuk potensi miliknya lebih banyak berguguran ketimbang bermekaran. 

Anda tidak salah baca. Kambodja merupakan upaya Rako dan Anggoro Saronto (penulis naskah) untuk memindahkan karya Wong Kar-wai ke latar Indonesia. Khususnya In the Mood for Love (2000). Karakter dengan profesi jurnalis, perselingkuhan, pertukaran pasangan, pemakaian gerak lambat, rantang makanan, mahjong, semua ada. Bahkan ending-nya juga berlatar "kamboja", walau punya pemaknaan berbeda (konon terinspirasi dari lagu Menanti Di Bawah Pohon Kemboja milik Nien Lesmana). 

Jakarta 1955, Danti (Della Dartyan), seorang pustakawan, baru pindah ke kos baru bersama sang suami, Sena (Revaldo), yang jadi petinggi sebuah partai politik. Menilik latar waktunya, walau tak pernah disebut secara gamblang, mudah ditebak partai apa yang dimaksud. Pasutri lain, Bayu (Adipati Dolken) si penulis dan Lastri (Carmela van der Kruk) si biduan adalah tetangga mereka. 

Kesampingkan iklim politiknya, pengembangan alur Kamodja kurang lebih serupa dengan In the Mood for Love. Hubungan para pasutri memburuk, sampai kesepian mendekatkan Danti dan Bayu. Seperti Wong Kar-wai pula, naskah buatan Anggoro Saronto bertutur bak keping-keping memori, yang lebih disatukan oleh aliran rasa.

Masalahnya, dalam usaha untuk tetap terasa "pop", Kambodja masih mengutamakan gaya bercerita konvensional (bukan berbasis vibe), yang mana membutuhkan keteraturan narasi. Tatkala jembatan-jembatan penghubung antar momen kerap ditiadakan, hasilnya adalah drama bertempo lambat, namun dengan progresi alur buru-buru yang sering terkesan "patah". 

Naskah juga kerepotan menyeimbangkan romansa dan politik. Apakah politik sebatas latar pembangun suasana? Tidak juga, sebab elemen itu berpengaruh besar di pengembangan cerita. Tapi eksplorasinya cenderung dangkal. Di paruh akhir, Bayu berkata pada Danti bahwa ia mengalami perubahan idealisme, tak lagi fanatik memuja satu paham dan figur. Tapi seperti apa pastinya idealisme Bayu, luput dipaparkan. Penokohannya pun jadi lemah.

Danti sendiri bukan karakter yang "matang", tapi Della membuatnya bagai magnet. Kambodja ingin tampil elegan, dan Della mendefinisikan "elegan". Kala mendapati Bayu diam-diam menulis cerita berdasarkan hubungan mereka, ia marah. Tidak secara meletup-letup. Della menahannya, dan kita bisa melihat gradasi emosinya, dari susah payah menekan amarah, lalu perlahan semakin tenang. Semua tampak dari emosi dan permainan napas. 

Mengambil latar 50an, departemen artistik Kambodja cukup menarik disimak. Memang ada kalanya para pemain kelepasan, berbicara layaknya manusia modern, tapi jumlahnya masih bisa dimaafkan. Sedangkan di departemen musik, sangat kentara keinginan Rako untuk mereplikasi gaya Michael Galasso di In the Mood for Love melalui orkestra mendayu dan beberapa sampling musik klasik (Air on the G String milik Bach, Clair de lune milik Debussy). Indah di telinga, meski pemakaiannya agak berlebih, sampai terkadang menenggelamkan dialog.

Kekurangan dalam pengarahan Rako adalah, ia tak mampu mengimbangi keindahan audio dengan visual sebanding. Misal sebuah momen romantis nan intim beriringkan Clair de lune. Datar, kurang impactful. Kambodja berambisi tampil estetis, namun tanpa sense yang memadai dari para pembuatnya. 

(Klik Film)

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - DOCTOR STRANGE IN THE MULTIVERSE OF MADNESS

41 komentar

 

(Tulisan ini mengandung SPOILER)

Menginjeksi formula horor ke film superhero sebenarnya bukan langkah baru. Scott Derrickson di Doctor Strange (2016) dan James Wan dalam Aquaman (2018) mempertahankan akar mereka selaku sineas horor, walau penerapannya sebatas bumbu pemanis. Tapi Multiverse of Madness berbeda. Menggantikan Derrickson yang mundur pada fase pra-produksi, Sam Raimi melahirkan installment MCU perdana yang total melangkah ke ranah horor. 

Multiverse of Madness bukan film superhero ber-gimmick horor, melainkan peleburan seimbang antara kedua genre, yang mendorong batasan rating PG-13 sejauh mungkin. Pun sebagai pecinta komik yang karya-karyanya kerap "meminjam" elemen medium tersebut, bahkan jauh sebelum Spider-Man (2002), Raimi, dibantu naskah buatan Michael Waldron (serial Loki), menciptakan tontonan yang "sangat komik". 

Di sinilah istilah "Earth-616" (kontinuitas utama cerita Marvel) akhirnya diperkenalkan, tatkala Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) harus mengarungi multiverse guna menolong America Chavez (Xochitl Gomez) dari kejaran sosok gelap. Kekuatan Chavez yang membuatnya mampu melintasi multiverse jadi alasan pengejaran tersebut. 

Strange tidak sendiri. Wong (Benedict Wong) sang Sorcerer Supreme dan Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen) turut memberi bantuan. Seperti kita tahu, pasca WandaVision, Wanda telah bertransformasi jadi Scarlet Witch, dan kondisi mentalnya tengah jauh dari stabil selepas kehilangan suami berserta kedua anak yang diciptakannya menggunakan sihir. Multiverse of Madness menandai perubahan sepenuhnya Wanda dari "Avengers yang terluka" menjadi antagonis. 

Master of the Mystic Arts berkonfrontasi dengan penyihir pemilik chaos magic. Menyelipkan setumpuk referensi, baik untuk karyanya sendiri (The Evil Dead, Drag Me to Hell) maupun orang lain (Carrie), ketimbang baku hantam generik dua manusia super, Raima mengemas pertarungan itu bak teror mistis khas horor. Bahkan di berbagai kemunculannya, Wanda seperti hantu penuh dendam. Di satu titik ia serupa Sadako yang muncul dengan gerakan mengerikan, sedangkan di kesempatan lain ia bisa tiba-tiba hadir, meneror di tengah keheningan. 

Pilihan shot, pencahayaan, jump scare, hingga sedikit gore, menebarkan aroma horor pekat. Feige nampaknya sadar, percuma merekrut Raimi kalau ujungnya cuma jadi director for hire biasa. Raimi diberi kebebasan berkreasi. Selain elemen horor kelam, sentuhan campy pun dapat ditemukan di berbagai sisi. Pertarungan dua versi Doctor Strange jadi contoh. Kreatif, over-the-top, dan terpenting, "sangat komik". 

Tentu bukan berarti Multiverse of Madness lepas total dari skema besar MCU. Sebaliknya, kisahnya membuka gerbang pengembangan konsep multiverse secara lebih luas. Ada beberapa cameo (termasuk satu di mid-credits scene). Jumlahnya memang tak segila harapan banyak orang, tapi sekali lagi, eksekusinya (yang bisa jadi terasa kontroversial atau malah mengecewakan bagi sebagian pihak) membuktikan pemahaman Raimi terkait komik. Tepatnya soal tendensi komik memperlakukan cameo dari semesta non-utama. Sadarkah anda akan kemunculan salah satu lagu tema 90an paling ikonik pada kemunculan seorang cameo-nya?

Multiverse of Madness punya bujet standar MCU (200 juta dollar), namun berkat visi personal Raimi, hasil akhirnya tampak jauh lebih mahal dari biasanya, terutama di ranah visual. Berbagai shot sureal estetis, dan tentu saja sekuen "menembus multiverse" selaku highlight visualnya, adalah momen-momen yang memanjakan mata. 

Kelemahan filmnya terletak pada penceritaan. Raimi, yang piawai dalam hal memacu adrenalin (build-up menuju pertempuran di Kamar-Taj amat intens), menggerakkan alur begitu cepat, sampai tercipta jurang lebar antara pacing untuk adegan aksi dengan drama. Setiap aksi berhenti, Raimi bagai menginjak pedal rem secara mendadak, kemudian berjalan lambat cenderung draggy, sebelum tiba-tiba melaju kencang lagi. 

Ada kalanya mengganggu, tapi di saat bersamaan, makin menekankan bahwa ini karya Sam Raimi. Orang yang mengubah wajah dunia horor melalui trilogi Evil Dead. Liar. Frantic. Dan bukan berarti Raimi melupakan sensitivitas. Multiverse of Madness ibarat sekuel bagi WandaVision dan episode keempat What If...? (What If... Doctor Strange Lost His Heart Instead of His Hands?). Keduanya punya satu kesamaan: cinta.

Lebih spesifik lagi, "kehilangan cinta". Strange dan Wanda sama-sama mengalami kehilangan tersebut, dan Multiverse of Madness merupakan fase mereka belajar merelakan. Strange mesti menerima bahwa ia dan Christine (Rachel McAdams) mungkin tak ditakdirkan bersama. McAdams akhirnya diberi peran signifikan, dalam romansa yang melahirkan satu lagi kalimat ikonik. Lupakan "I love you 3000". Sekarang waktunya "I love you in every universe" untuk dikutip di mana-mana.

Duka Wanda jauh lebih besar sekaligus menyakitkan, yang mana memberi Elizabeth Olsen kesempatan memamerkan performa terbaiknya. Wanda ia bawa berevolusi, dari didominasi kesedihan dalam WandaVision menjadi dikuasai amarah. Tidak berlebihan menyebutnya salah satu akting paling cemerlang sepanjang sejarah MCU. 

Sebagaimana Ant-Man (2015) yang tampil kuat justru karena motivasi sederhana karakternya (keluarga), film ini mengusung semangat yang mirip. Kegilaan yang mengancam stabilitas multiverse dipicu oleh satu pertanyaan: Sejauh mana kehilangan bisa mendorong seseorang berbuat hal ekstrim? Tidak ada antagonis sesuai definisi umum di sini. Hanya orang-orang yang ingin menyembuhkan luka mereka.

41 komentar :

Comment Page:

REVIEW - FRESH

3 komentar

Debut penyutradaraan Mimi Cave ini sebenarnya mengikuti pola standar horor/thriller bertema "date gone wrong". Tapi yang membuat Fresh terasa "fresh" adalah tambahan bumbu-bumbunya, dari komedi gelap, sentuhan empowerment, hingga romansa. Romansa yang menyedihkan. 

Bahkan di 30 menit pertama, sebelum title card dan kredit pembuka yang jadi titik balik genrenya, Fresh benar-benar dibungkus bak romansa biasa. Noa (Daisy Edgar-Jones) mencoba peruntungan di aplikasi kencan, namun belum juga bertemu si pria idaman. Noa justru menemukannya di dunia nyata, tepatnya di supermarket, kala berkenalan dengan Steve (Sebastian Stan). 

Tidak seperti pria-pria dari aplikasi, Steve memikat Noa setelah kencan perdana, di mana keduanya langsung berhubungan seks. Tidak butuh waktu lama sampai Steve mengajak Noa berlibur. Interaksi mereka benar-benar tampak manis, salah satunya berkat chemistry Edgar-Jones dan Stan. Kalau bukan karena Mollie (Jonica T. Gibbs), sahabat Noa yang menyinggung beberapa red flag soal Steve (tidak punya Instagram, tiba-tiba memberi kejutan) walau dengan nada bercanda, mungkin saya lupa kalau sedang menonton thriller. 

Benar saja, Steve menyimpan rahasia. Rahasia kelam, kejam, brutal. Sebenarnya, selain tanda-tanda yang Mollie sampaikan, ada petunjuk lain mengenai kepribadian Steve. Petunjuk ini lebih subtil, yakni akting Stan. Dia menghidupkan sosok pria baik-baik, yang bila diperhatikan, baik lewat mata maupun senyumannya, menyiratkan kegelapan. Hanya saja, Noa dibutakan oleh romansa, yang setelah sekian lama dicari akhirnya ia miliki, untuk dapat menyadari itu. 

Pasca Steve membuka topengnya, perlahan Fresh mulai menyuguhkan adegan disturbing, yang sejatinya cenderung "ramah" jika dibandingkan film-film bertema serupa lainnya. Bukan bentuk keraguan atau kurangnya totalitas, melainkan upaya Mimi Cave untuk lebih bermain di ranah psikis yang menyulut ketidaknyamanan. Less-fun, more unsettling. 

Fresh tidak mengeksploitasi kekerasan, tapi membicarakan kebejatan. Pun naskah buatan Lauryn Kahn menunjukkan bahwa perbuatan karakternya bukan tindak kekerasan semata, tapi turut menyentuh ranah fetishishm. Di sini perihal empowerment diselipkan. Wanita kembali jadi objek pemuas hasrat pria, dan satu-satunya harapan berasal dari ikatan antar wanita itu sendiri. Klimaksnya menegaskan itu, menolak formula "male savior" serta "damsel in distress", sembari menyuarakan betapa wanita yang menutup mata, atau bahkan membela kebejatan tersebut, juga merupakan sumber masalah. 

Menariknya, hingga jelang third act Fresh tetap mempertahankan elemen romansa. Ditemani humor-humor gelap, Fresh jadi romansa menyedihkan tentang sepasang individu yang mencari figur "the one", merasa telah menemukannya, hanya untuk kembali merasakan kehilangan akibat dosa salah satu dari mereka. 'Fresh' is more relatable than it seems. 

(Disney+ Hotstar)

3 komentar :

Comment Page: