REVIEW - MORBIUS
Di awal peluncurannya, baik MCU maupun DCEU sama-sama tersendat (proyek DC bahkan terancam berhenti). Tapi seburuk apa pun hasilnya, tujuan Marvel Studios dan Warner Bros selalu jelas. MCU ingin menghibur lewat tuturan ringan ditambah shared universe, sementara DCEU mulai bersinar lewat eksplorasi genre. Eksistensi dua pihak ini saling melengkapi. Lalu Sony menghadirkan SSU (Sony's Spider-Man Universe).
Benar bahwa Warner Bros sempat latah ingin meniru pola bisnis Marvel, namun tidak dengan pendekatan estetikanya. Counterprogramming jadi misi mereka. Tapi Sony bak cuma bergerak berdasarkan gagasan, "Mari manfaatkan kesuksesan Marvel Studios mengembangkan properti kita".
Sony enggan tampil seceria MCU, sambil menampik pendekatan (lebih) dewasa DCEU. Sajian "hidup segan mati tak mau" macam Venom (2018) pun lahir. Venom: Let There Be Carnage (2021) membaik, namun kesan tersebut muncul karena buruknya film pertama. Lalu datang Morbius, yang menegaskan bahwa franchise ini belum benar-benar berkembang.
Dibantu Dr. Martine (Adria Arjona), Dr. Michael Morbius (Jared Leto) bereksperimen memadukan DNA manusia dan kelelawar, dengan harapan bisa menyembuhkan penyakit darah langka yang ia derita. Eksperimen yang sejatinya tak sesuai kode etik itu didanai oleh Milo (Matt Smith), sahabat Morbius yang mengidap penyakit serupa. Kita tahu akhirnya eksperimen itu berujung mengubah Morbius menjadi vampir haus darah.
Penokohan Morbius sejatinya agak menjauhi stereotip "ilmuwan gila pemakai segala cara". Dia menyadari ketidaketisan risetnya, tapi tetap nekat demi orang lain. Motivasinya adalah sahabat dan para pasien, alih-alih mengatasnamakan kejayaan sains. Desain Morbius si vampir pun didukung kombinasi solid antara efek prostetik dan CGI. Di beberapa kesempatan, wajah Morbius berubah selama beberapa detik akibat kurang mampu mengontrol diri, dan hasilnya cukup meyakinkan.
Walau demikian, Morbius bukan protagonis yang perjalanannya menarik diikuti selama 104 menit (apalagi jika dikembangkan ke sekuel-sekuel serta lintas franchise). Leto tidak bermain buruk, hanya saja karakter Figur Morbius ada di area serba tanggung. He was not fun nor engaging. Elemen terbaik film ini justru Matt Smith yang bersenang-senang dengan gaya over-the-top.
Sewaktu Milo turut bertransformasi, muncul potensi menampilkan drama persahabatan tragis, sayang, naskahnya lemah. Mendapati nama Matt Sazama dan Burk Sharpless, yang sebelumnya menulis naskah untuk film-film seperti Dracula Untold (2014), The Last Witch Hunter (2015), dan Gods of Egypt (2016), kelemahan itu tidak mengejutkan.
Aroma "bad storytelling" sejatinya telah tercium sejak kekacauan sekuen pembuka, yang bahkan gagal menyusun timeline secara jelas. Semakin jauh kisah bergulir, semakin kentara kalau kedua penulis tidak tahu cara menciptakan tontonan menghibur bertema superhero. Naskahnya terlalu hambar untuk sebuah popcorn flick, tapi terlalu dangkal untuk mengikat lewat penceritaan. Cuma asal berjalan didasari pemikiran "pokoknya selesai".
Daniel Espinosa selaku sutradara berusaha menyuntikkan sedikit gaya melalui pemakaian gerak lambat, tapi ketika pondasi adegan aksinya sendiri sudah nihil kreativitas, tidak banyak yang bisa dilakukan. Cerita dan aksinya sama saja. Tanpa dinamika, tanpa hati, tanpa intensitas, tanpa kreativitas. Tidak heran babak puncaknya tampil antiklimaks.
Di titik ini mungkin mayoritas penonton sudah tahu credits-scene milik Morbius (ada dua adegan di tengah kredit). Espinosa sudah memberi konfirmasi, beberapa materi promosi (termasuk trailer rilisan 2020) pun ikut "membocorkannya". Pertanyaannya, "Kenapa?". Jika diposisikan sebagai kejutan dalam credits-scene, kenapa diungkap jauh-jauh hari? Sony memang tidak tahu cara menjual film ini selain mendompleng kesuksesan trilogi Spider-Man MCU, seperti halnya ketidaktahuan mereka tentang pendekatan yang pas bagi Morbius (dan keseluruhan franchise-nya).
REVIEW - THE FALLOUT
The Fallout adalah film yang "kecil". Ceritanya tidak melebar ke luar, tapi meresap ke dalam, memberi ruang bicara pada hal-hal terpendam. Hal yang mungkin terlalu menyakitkan (dan tak jarang membingungkan) untuk diutarakan, atau dianggap anomali oleh orang lain sehingga timbul rasa segan untuk mengungkapkannya.
Vada (Jenna Ortega), Mia (Maddie Ziegler), dan Quinton (Niles Fitch) bersembunyi di toilet kala penembakan massal terjadi di sekolah mereka. Seperti ketiganya, penonton tidak menyaksikan langsung peristiwa itu. Hanya beberapa suara tembakan dan ekspresi ketakutan. Di dalam bilik toilet sempit, penonton dibuat tercekat oleh kecemasan menyesakkan yang mereka rasakan.
Sebuah pembuka yang efektif sekaligus sensitif. Megan Park selaku penulis naskah sekaligus sutradara menjauhi ranah eksploitasi. Park bukan ingin memerah tragedi, melainkan menelusuri psikologis. Setelahnya, Vada dihantui trauma. Dia mengurung diri di kamar, tak berdaya kala mimpi buruk terus mendatangi tidurnya.
Hubungannya dan sang adik, Amelia (Lumi Pollack), yang dahulu erat kini merenggang. Pun dengan kedua orang tuanya (John Ortiz, Julie Bowen), yang kesulitan menghadapi situasi Vada. Vada sendiri bukan merasa tidak dipedulikan. Sebaliknya, ia tahu ayah dan ibunya adalah orang tua yang baik. Dia enggan membuat mereka menderita dengan menyampaikan segalanya, yang akhirnya malah membuat dirinya makin menderita. Di sini, naskah menunjukkan pemahaman atas subjeknya. Pemahaman soal rumitnya sebuah luka.
Ketika sahabatnya, Nick (Will Ropp), merespon trauma dengan berusaha terlibat aktif dalam pergerakan terkait penembakan di sekolah, sejatinya Vada ingin ambil bagian. Tapi ia tidak mampu. The Fallout menjabarkan bahwa tiap orang punya cara masing-masing dalam menangani trauma. Ketika "mengubah luka jadi hal positif" cenderung diagungkan publik, film ini memberi ruang bagi individu seperti Vada.
Lalu terjalin unlikely friendship antara Vada dengan Mia. Jika Vada adalah gadis canggung (tapi tidak terasing secara sosial, sehingga The Fallout lebih terasa universal ketimbang sederet film coming-of-age dewasa ini), maka Mia bak berasal dari dunia berbeda. Dia populer, dikenal luas lewat video dance di Instagram miliknya. Perbedaan itu lenyap. Jurang bernama status sosial dilucuti, memperlihatkan dua manusia yang terikat oleh luka.
Dipandu penyutradaraan sarat sensitivitas, kita diajak menyambangi sisi personal keduanya. Serupa metode Anna (Shailene Woodley), psikolog yang dikunjungi Vada, Megan Park membiarkan rasa mengalir dengan sendirinya. Emosi yang penonton rasakan merupakan hasil observasi berujung pemahaman, alih-alih paksaan melalui letupan dramatisasi.
Itulah mengapa musik garapan Finneas O'Connell cocok membungkus The Fallout. Sebagaimana karya-karya yang ia telurkan bersama Billie Eilish, Finneas melahirkan kesenduan menghipnotis. Musik jadi latar penguat tanpa mendistraksi departemen lain, terutama akting.
Baik Jenna Ortega maupun Maddie Ziegler sudah kita kenal betul sebelum film ini, tapi di The Fallout keduanya naik kelas. Khususnya Ortega, yang menginterpretasikan "individu dengan trauma" secara kaya, bermodalkan jangkauan aktingnya yang luas. Sebagai cast termuda, Lumi Pollack tak mau ketinggalan mengaduk-aduk emosi. Kalimat "Why are you mad at me?" merupakan pertanyaan menusuk nan jujur dari seorang bocah polos, yang rupanya juga tercabik-cabik hatinya.
The Fallout punya konklusi yang mungkin mengejutkan bagi sebagian orang, tapi sesungguhnya sangat nyata. Sebuah perspektif realistis tanpa pemanis. Karena seperti judulnya, ini adalah cerita mengenai "kejatuhan". Jatuh bukan sebuah kesalahan. Jatuh tidak berarti kita bukan manusia yang utuh.
(HBO Max, HBO GO, Catchplay)
PREDIKSI PEMENANG ACADEMY AWARDS 2022
Academy Awards tahun ini berpeluang melahirkan sejarah, sebab besar kemungkinan, kategori Best Picture bakal dimenangkan oleh film orisinal OTT untuk kali pertama. The Power of the Dog (Netflix) dan CODA (Apple) merupakan kandidat terdepan. Beberapa sejarah lain turut diciptakan Drive My Car sebagai peraih nominasi Best Picture dan Best Adapted Screenplay pertama dari Jepang, pun Ryusuke Hamaguchi jadi sutradara Jepang ketiga yang menerima nominasi Best Director.
Beberapa sejarah di atas (dan masih banyak lagi capaian historis lain), setidaknya membuat gelaran tahun ini sedikit lebih menarik ketimbang 2021 yang cukup hambar akibat puncak pandemi. Karena itu pula proses prediksi tahun ini agak rumit, mengingat "sejarah baru" juga berarti "area baru". Kondisi baru yang bisa jadi terlepas dari formula-formula Oscar sebelumnya. Berikut adalah prediksi sekaligus pilihan pribadi saya untuk tiap kategori di Academy Awards ke-94.
BEST VISUAL EFFECTS
Will Win: Paul Lambert, Tristan Myles, Brian Connor, dan Gerd Nefzer - Dune
Should Win: Paul Lambert, Tristan Myles, Brian Connor, dan Gerd Nefzer - Dune
BEST FILM EDITING
Will Win: Joe Walker - Dune
Should Win: Myron Kerstein dan Andrew Weisblum - Tick, Tick... Boom!
BEST COSTUME DESIGN
Will Win: Jenny Beavan - Cruella
Should Win: Jenny Beavan - Cruella
BEST MAKEUP AND HAIRSTYLING
Will Win: Nadia Stacey, Naomi Donne, dan Julia Vernon - Cruella
Should Win: Nadia Stacey, Naomi Donne, dan Julia Vernon - Cruella
BEST CINEMATOGRAPHY
Will Win: Greig Fraser - Dune
Should Win: Greig Fraser - Dune
BEST PRODUCTION DESIGN
Will Win: Patrice Vermette (production design), Zsuzsanna Sipos (set decoration) - Dune
Should Win: Patrice Vermette (production design), Zsuzsanna Sipos (set decoration) - Dune
BEST SOUND
Will Win: Mark Ruth, Mark Mangini, Theo Green, Doug Hemphill, dan Ron Bartlett - Dune
Should Win: Mark Ruth, Mark Mangini, Theo Green, Doug Hemphill, dan Ron Bartlett - Dune
BEST ORIGINAL SONG
Will Win: Dos Oruguitas - Encanto
Should Win: Dos Oruguitas - Encanto
BEST ORIGINAL SCORE
Will Win: Hans Zimmer - Dune
Should Win: Hans Zimmer - Dune
BEST ANIMATED SHORT FILM
Will Win: Robin Robin
Should Win: belum menonton semua nominee
BEST LIVE ACTION SHORT FILM
Will Win: The Long Goodbye
Should Win: belum menonton semua nominee
BEST DOCUMENTARY SHORT SUBJECT
Will Win: The Queen of Basketball
Should Win: belum menonton semua nominee
BEST DOCUMENTARY FEATURE
Will Win: Summer of Soul (...Or, When the Revolution Could Not Be Televised)
Should Win: Summer of Soul (...Or, When the Revolution Could Not Be Televised)
BEST INTERNATIONAL FEATURE FILM
Will Win: Drive My Car
Should Win: Drive My Car
BEST ANIMATED FEATURE FILM
Will Win: Encanto
Should Win: The Mitchells vs. the Machines
BEST ADAPTED SCREENPLAY
Will Win: Sian Heder - CODA
Should Win: Ryusuke Hamaguchi dan Takamasa Oe - Drive My Car
BEST ORIGINAL SCREENPLAY
Will Win: Kenneth Branagh - Belfast
Should Win: Eskil Vogt dan Joachim Trier - The Worst Person in the World
BEST SUPPORTING ACTRESS
Will Win: Ariana DeBose - West Side Story
Should Win: Ariana DeBose - West Side Story
BEST SUPPORTING ACTOR
Will Win: Troy Kotsur - CODA
Should Win: Troy Kotsur - CODA
BEST ACTRESS
Will Win: Jessica Chastain - The Eyes of Tammy Faye
Should Win: Olivia Colman - The Lost Daughter
BEST ACTOR
Will Win: Will Smith - King Richard
Should Win: Andrew Garfield - Tick, Tick... Boom!
BEST DIRECTOR
Will Win: Jane Campion - The Power of the Dog
Should Win: Steven Spielberg - West Side Story
BEST PICTURE
Will Win: CODA
Should Win: Drive My Car > CODA > West Side Story > The Power of the Dog > Dune > King Richard > Nightmare Alley > Licorice Pizza > Don't Look Up
REVIEW - THE BAD GUYS
Ingat bagaimana Quentin Tarantino membuka Pulp Fiction? Pumpkin dan Honey Bunny mengobrol santai di sebuah diner sebelum menjalankan aksi perampokan. Menyusul berikutnya adalah perdebatan Vincent Vega dan Jules Winnfield tentang burger di tengah misi pembunuhan. Gabungkan keduanya, maka jadilah adegan pembuka The Bad Guys.
Mr. Wolf (Sam Rockwell) dan Mr. Snake (Marc Maron) duduk di restoran, "bertukar pikiran" soal mana makanan yang lebih enak: kue atau guinea pig. Kemudian, dibungkus dengan single take, keduanya berjalan santai menuju bank yang jadi target jarahan. Siapa sangka penghormatan bagi karya Tarantino (yang dilakukan secara sempurna alias bukan gimmick asal-asalan) dapat ditemukan di animasi anak?
Belakangan baru saya tahu, Aaron Blabey, kreator seri buku anak berjudul sama yang diadaptasi filmnya, merupakan pengagum Tarantino. Referensi di dalamnya pun nampak jelas. Jika pembukanya "mencomot" Pulp Fiction, maka keseluruhan alurnya bak cerminan Reservoir Dogs.
Mr. Wolf adalah pimpinan sekelompok kriminal yang aksinya senantiasa merepotkan polisi, pula meresahkan warga. Anggotanya terdiri dari Mr. Snake si pembobol brankas, Mr. Shark (Craig Robinson) si ahli menyamar, Ms. Tarantula (Awkwafina) si peretas, dan Mr. Piranha (Anthony Ramos) si tukang pukul. Kelimanya menikmati status sebagai "orang jahat", karena selama ini, cap itulah yang masyarakat sematkan, hanya karena tampilan fisik mereka dianggap mengerikan.
Film ini berlatar dunia di mana manusia dan hewan antropomorfisme tinggal berdampingan. Kisahnya coba menyentil perihal stigma di lingkup sosial, namun bangunan dunianya kurang kuat. Apakah para protagonis dibenci karena mereka hewan buas? Kalau demikian, kenapa Diane (Zazie Beetz) yang berwujud rubah bisa menjadi gubernur tanpa tentangan? Mengapa ada hewan antropomorfisme dan ada juga hewan biasa? Saya takkan mengeluhkan hal-hal di atas dalam memandang film animasi anak andai Zootopia belum eksis.
Lubang itu toh tidak mengubah fakta kalau mereka merupakan korban ketidakadilan. Alhasil, mudah mendukung mereka, termasuk saat Profesor Marmalade (Richard Ayodae), guinea pig yang dipuja karena kemuliaan hatinya, mencetuskan eksperimen untuk memunculkan kebaikan dari hati kelima penjahat tersebut.
Hal paling menonjol di The Bad Guys tentu estetikanya. Ditangani Pierre Perifel di kursi penyutradaraan, kombinasi animasi 3D dengan sentuhan ala gambar tangan 2D bukan cuma memberi keunikan lewat visual tajam, pula menambah energi. Terutama pada adegan aksi, ketika gerak-gerak bertempo tinggi makin tampak dinamis. Ditambah humor lucu yang efektif memanfaatkan konsep "bad-guys-go-good" serta karakteristik hewani karakternya, The Bad Guys pun tampil makin mumpuni sebagai hiburan.
Terpenting, filmnya tak melupakan hati. Protagonisnya kerap bertingkah absurd, namun ikatan di antara mereka amat kuat, memberi nyawa bagi tuturan The Bad Guys mengenai persahabatan. Khususnya Mr. Wolf dan Mr. Snake. Jajaran pengisi suara berperan besar di sini. Terdapat momen kala Mr. Snake merasa dikhianati sang sahabat, dan voice acting Marc Maron membuat perpecahan keduanya terasa menyakitkan.
The Bad Guys memang kisah mengenai para penjahat yang mencicipi nikmatnya berlaku baik. Tapi kisahnya tidak berpesan agar individu membuang identitas mereka demi kebaikan. "Memperbaiki" bukan berarti membunuh jati diri. "Memulai kembali" bukan berarti membuang segala hal yang ada. Kita hanya perlu menjadi versi lebih baik dari diri kita yang asli.
REVIEW - BABY BLUES
Baby Blues punya salah satu naskah dengan perspektif paling memuakkan yang pernah saya tonton. Penyutradaraan memadai, departemen akting memuaskan, tapi naskah buatan Imam Darto (Pretty Boys, Selesai) bagai pembelaan tidak tahu malu dari laki-laki, saat disebut "kurang memahami kesulitan wanita pasca melahirkan". Ini bukan ketidakpekaan yang polos, melainkan seperti acungan jari tengah pada isu peran gender.
Dinda (Aurelie Moeremans) dan Dika (Vino G. Bastian) baru menyambut kelahiran bayi mereka. Dinda berhenti bekerja, guna mencurahkan seluruh waktunya untuk si buah hati. Tentu prakteknya tidak mudah. Apalagi ia mesti menghadapi kecerewetan ibu mertua (Ratna Riantiarno). Minimal ayah mertuanya (Mathias Muchus) selalu bersikap bijak, dan beberapa kali mengingatkan agar jangan mencampuri urusan keluarga anak mereka.
Sedangkan Dika, yang bekerja sebagai pelayan kafe, tak meringankan beban istri. Dia enggan bangun tengah malam tiap anaknya menangis, pula lebih memilih bermain PlayStation bersama teman-teman daripada membantu Dinda.
Lewat sekitar 30 menit, barulah elemen body-swap yang jadi jualan utama diperkenalkan. Tubuh Dinda dan Dika tertukar, selepas keduanya terlibat pertengkaran hebat. Pertengkaran yang cukup mengguncang berkat akting Vino dan Aurelie, yang sama-sama piawai meluapkan emosi. Pasca body-swap pun akting mereka masih jadi elemen terbaik Baby Blues. Aurelie lebih serampangan, sementara Vino berlaku feminin secara menggelitik tanpa harus menjadi karikatur murahan.
Film body-swap biasanya menukar tubuh dua tokoh agar mereka saling memahami perspektif masing-masing. Tapi naskah Baby Blues bukan berusaha menyamakan frekuensi karakternya, namun wujud pembelaan seperti telah disebut sebelumnya.
Dika bukan suami yang terhimpit keadaan. Menyadari kebutuhan finansial keluarganya meningkat sedangkan pemasukan menurun, bukannya lebih keras membanting tulang, ia cuma pasrah bekerja di cafe sepi konsumen. Dika jarang pulang bukan karena lembur, tapi untuk bermain PlayStation bersama temannya. Alias, Dika memiliki eskapisme. Dinda tidak. Seharian ia merawat anak, mendengarkan ocehan mertua, tanpa berkesempatan membahagiakan diri walau hanya sejenak.
Bagaimana mungkin, dengan kondisi di atas, naskahnya berani berkata, "Tolong pahami juga situasi suami"? Apa yang perlu Dinda pahami saat Dika enggan melakukan pengorbanan setara? Pernah mendengar laki-laki tidak mau kalah dengan membandingkan menstruasi dengan sunat? Kira-kira demikian film ini.
Pertukaran tubuhnya lebih ke arah ucapan, "Lihat? Berat kan kerja kayak suami?" ketimbang menghadirkan proses seimbang. Sebelum melahirkan, Dinda pernah bekerja. Tapi saat berada di tubuh Dika, ia digambarkan bak sama sekali buta soal mencari nafkah. Sebaliknya, Dika menjalani hari dengan lancar sebagai ibu, cepat belajar, tanpa melewati tekanan-tekanan layaknya sang istri. Di sini laki-laki digambarkan superior. Sangat superior, sampai bisa menjadi "ibu yang lebih baik" daripada wanita.
Bahkan tanpa menyinggung soal seksisme pun, naskahnya tetap kacau. Apa perlunya menambahkan konflik tentang mama Dinda (Aida Nurmala)? Saya rasa itu sebatas kebingungan penulis mencari cara guna mengakhiri kisah, hingga merasa butuh menyelipkan masalah baru sebagai jembatan penghubung.
Untunglah humornya cukup efektif memancing tawa. Selaku sutradara, Andibachtiar Yusuf punya sense serta energi yang menguatkan presentasi komedi yang membawa semangat over-the-top. Momen "kunjungan ke orang pintar" jadi contoh terbaik. Kemunculan karakter pria misterius memang inkonsisten, di mana kedatangannya tanpa pola sehingga kurang pas jika disebut "narator", tapi seperti biasa, Erick Estrada piawai melakoni keabsurdan semacam ini. Kejanggalan diubahnya jadi kelucuan.
Sampai lagi-lagi tabiat buruk Imam Darto kumat. Salah satu komedinya yang mengeksploitasi tubuh wanita bak berasal dari zaman kegelapan. Entah bagaimana adegan tersebut dituliskan, tapi kali ini Andibachtiar turut bertanggung jawab, saat menaruh fokus kamera ke tubuh wanita memakai male gaze murahan. Studio tempat saya menonton diisi cukup banyak orang, dan tak satu pun tertawa. Perasaan tidak nyaman kentara menyelimuti ruangan.
Di jalan pulang, saya melewati tempat sampah yang terisi penuh, dan anehnya hidung saya tak terganggu. Mungkin karena baru saja mencium aroma yang jauh lebih menjijikkan. Aroma insekuritas laki-laki.
REVIEW - THE LOST CITY
Perhatikan posternya. Channing Tatum dan Sandra Bullock muncul dua kali, Daniel Radcliffe membawa lentera entah untuk apa, Da'Vine Joy Randolph melenggang santai dengan pakaian rapi di tengah api, begitu pula Brad Pitt yang seolah dipaksa masuk, sedangkan Oscar Nunez malah berpose bersama kambing. Mudah mencapnya buruk, tapi bagi saya, ini poster yang sadar betul sedang menjual tontonan seperti apa.
Serupa posternya, The Lost City penuh kebodohan, secara sadar menjual kekonyolan, yang dimotori kehandalan duo Bullock-Tatum menangani komedi. Bullock memerankan Loretta Sage, penulis novel petualangan, yang berkat sentuhan romansa erotika, digandrungi wanita paruh baya. Apalagi karena di sampulnya, Dash, sosok jagoan dalam novel Loretta, diperankan oleh Alan (Channing Tatum), si model tampan berbadan kekar namun berotak tumpul.
Alan diam-diam menyukai Loretta. Ketika si novelis diculik oleh miliarder bernama Abigail (Daniel Radcliffe tampak bersenang-senang berakting over-the-top), yang percaya bahwa Loretta tahu cara menemukan harta di kota yang hilang sebagaimana tercantum di bukunya, Alan langsung menyambangi pulau milik Abigail guna menyelamatkan si pujaan hati.
Berlawanan dengan karakter Dash, dia bukan jagoan aksi atau petualang ulung. Sehingga uluran bantuan dari Jack Trainer (Brad Pitt), mantan anggota Navy Seal yang kini menjadi instruktur kebugaran. Selain parodi untuk citra Pitt, Jack Trainer juga merupakan "kembaran" Jack T. Colton (Michael Douglas), protagonis Romancing the Stone (1984), yang jelas menginspirasi alur film ini. Walau sebatas extended cameo, Pitt mencuri perhatian saat memarodikan persona khasnya sambil tetap tampil badass di sekuen laga.
Screentime Pitt mungkin di bawah 10 menit. Sisanya adalah petualangan kental formula screwball comedy, di mana battle of sexes terjadi antara pria yang tak memenuhi segala kriteria khas jagoan maskulin, dan wanita yang lebih mendominasi. Baik Bullock maupun Tatum sama-sama tanpa cela dalam melakoni dinamika tersebut, selalu memancing tawa lewat talenta individual serta chemistry kuat layaknya pasangan yang sudah sering melucu bersama (ini kolaborasi perdana mereka).
Tatum adalah salah satu aktor paling multitalenta di muka bumi. Dia bisa berakting dramatik, piawai menangani humor, meyakinkan sebagai jagoan aksi, pula jago menari. Semua talenta itu dimanfaatkan sebaik mungkin di sini. Sedangkan Bullock akan membuat penonton sulit memercayai bahwa Juli nanti ia telah menginjak 58 tahun. Bukan cuma soal tampak muda. Terpenting, Bullock masih mempunyai energi yang diperlukan screwball comedy.
Ada poin menarik terkait usia. Biasanya, film-film arus utama cenderung memasangkan aktor pria dengan wanita yang lebih muda. Akibatnya, karir pelakon wanita cenderung kalah awet dibanding pria. Contohnya, mari simak lagi Romancing the Stone, di situ Michael Douglas (40 tahun) tampil bersama Kathleen Turner (30 tahun). The Lost City sebaliknya. Si pria jauh lebih muda (Tatum 42 tahun, Bullock 58 tahun).
Di departemen penyutradaraan, duet Aaron dan Adam Nee alias "the Nee brothers" menangani aksi tidak secara spesial, termasuk soal minimnya set piece besar khas suguhan petualangan, namun tetap solid. Bukan perkara besar, sebab lagi-lagi, kombinasi Bullock-Tatum punya daya hibur tinggi.
Sewaktu wujud sesungguhnya dari "harta kota yang hilang" terungkap, The Lost City memunculkan romantisme manis tak terduga (setidaknya untuk ukuran film konyol seperti ini), yang sejalan dengan bentuk filmnya. Bahwa harta termahal serta petualangan terakbar adalah saat cinta turut berperan.
REVIEW - JAKARTA VS EVERYBODY
Seksualitas, kisah seputar narkoba yang tidak digiring ke ranah iklan layanan masyarakat atau tearjerker, Jefri Nichol tampil bukan sebagai sosok "bad-but-good boy". Poin-poin tersebut rasanya bakal membuat Jakarta vs Everybody banyak menerima label "berani" dan "berbeda". Keberaniannya memang harus diakui, tetapi karya terbaru sutradara Ertanto Robby Soediskam ini sesungguhnya termasuk suguhan tipikal.
Tipikal sebuah film yang berkeinginan tampil liar, dengan mendesain sang protagonis sebagai individu dengan hidup yang sejauh mungkin menjauhi moralitas, sembari menyelipkan beberapa "adegan panas". Jakarta vs Everybody terlalu sibuk berusaha tampil liar, sampai lupa untuk tampil dalam.
Dom (Jefri Nichol) tengah merasakan kerasnya merantau di ibu kota. Mimpinya menjadi aktor selalu menemui tembok penghalang, dari proses kurang menyenangkan sebagai figuran, hingga casting director nakal. Di tengah keputusasaan, ia bertemu Radit (Ganindra Bimo) dan Pinkan (Wulan Guritno), sepasang kekasih sekaligus bandar narkoba. Demi bertahan hidup, Dom memutuskan bergabung sebagai kurir.
Alur Jakarta vs Everybody didominasi keseharian Dom, yang memakai talenta keaktorannya, memerankan beragam sosok untuk memuluskan aksi. Menyaksikan Dom bermain peran (baca: menyamar), dari sebatas mengenakan seragam kurir pizza hingga bertransformasi jadi waria, lalu mengaplikasikan ilmu "cara mengantar dan menyembunyikan narkoba", adalah pemandangan menarik.
Alih-alih di depan kamera, Dom menerapkan bakat aktingnya di dunia gelap. Terselip ironi, namun naskah buatan Ertanto (berdasarkan cerita buah pikirnya bersama Jefri) lalai membukakan pintu menuju ruang intim karakternya. Jika ngin membangun paralel antara "Dom si aktor" dan "Dom si kurir narkoba", dinamika psikis yang ia lewati di tiap transformasi, pula pertentangan batinnya, perlu dieksplorasi. Jakarta vs Everybody terlalu dangkal memandang konsep akting. Apa yang diperlihatkan di sini tak ubahnya cosplay semata.
Alhasil di beberapa titik filmnya terasa repetitif. Dom menyamar, menaruh narkoba, mengamati si konsumen, selesai. Setidaknya, berkat permainan tempo apik dari sang sutradara, visual berhiaskan warna-warna cantik, pula ditambah selipan humor, film ini tak pernah membosankan sepanjang kurang lebih 101 menit durasinya.
Gerakannya cepat. Terlebih kala departemen penyuntingan menampilkan lompatan-lompatan kasar antar adegan. Bukan kekurangan, melainkan kesengajaan guna mewakili keliaran kisahnya, juga upaya menghidupkan wajah ibu kota yang selalu bergulir kencang seolah tak terkendali.
Jakarta vs Everybody beruntung diisi jajaran cast mumpuni. Ganindra Bimo, Wulan Guritno, pula Jajang C. Noer sebagai Ratih si pengurus apartemen, tampil solid sesuai porsi masing-masing. Sedangkan Jefri menegaskan kelebihan terbesarnya, yang sesungguhnya telah sang aktor kerap perlihatkan, yakni kenaturalan. Serupa Reza Rahadian hanya saja dengan gaya jauh berbeda, Jefri jagonya mempertahankan realisme dalam situasi kasual, sembari melahirkan chemistry alami dengan siapa pun lawan mainnya.
Lalu ada Dea Panendra sebagai Khansa si perias mayat sekaligus salah satu pelanggan Dom. Di antara semua karakter, Khansa, yang memasang foto-foto mayat hasil riasannya di kamar, paling memancing keinginan untuk mengenal lebih jauh. Apalagi Dea kembali unjuk gigi sebagai scene stealer (urusan sensualitas, dia juga yang tampil paling berani di sini). "Alah jembut stereotype" bakal jadi kandidat quote of the year berkatnya.
Sayangnya, meski mempunyai deretan pemain handal, naskah Ertanto Robby Soediskam masih diganggu kelemahan layaknya Ave Maryam (2018), yaitu dorongan memasukkan kalimat bijak nan puitis, tanpa memperhatikan apakah kalimat tersebut terlontar dari mulut orang yang tepat. Misal saat Radit membicarakan perihal konsep realita dan waktu, atau celetukan Khansa mengenai hidup dan mati. Bukan soal gagasan, tapi pilihan diksi yang tak sesuai dengan penokohan keduanya.
Begitulah Jakarta vs Everybody. Ada kalanya menghibur, bersinar, namun tak jarang terjatuh ke dalam lubang-lubang kekurangan. Mungkin filmnya terlalu jauh meresapi nyawa ibu kota, di mana memperoleh segala hal baik sesuai kemauan tanpa direcoki keburukan merupakan kemustahilan.
(Bioskop Online)
REVIEW - MARLEY
Film Indonesia yang menjadikan anjing sebagai tokoh sentral masih bisa dihitung jari. Sebelum Marley, seingat saya di kategori fiksi panjang baru ada Boni dan Nancy (1974) serta June & Kopi (2021). Sehingga karya penyutradaraan M. Ainun Ridho ini patut diapresiasi. Apalagi di luar banyak kekurangannya, Marley punya beberapa nilai penting yang membuatnya pas dijadikan tontonan keluarga (baca: materi belajar anak). Sampai tiba ending yang merusak segalanya. Tapi itu bakal saya bahas belakangan.
Pertama mari berkenalan dulu dengan protagonisnya. Doni (Tengku Tezi) namanya, seorang guru matematika SD yang dikenal lewat gaya mengajar uniknya. Beberapa guru mengaguminya, termasuk Vina (Tyas Mirasih) yang diam-diam disukai Doni, tapi banyak pula yang menentang karena dianggap menyalahi kurikulum. Alhasil Doni pun dipecat.
Tentu situasi ini memberatkan si pengajar muda. Apalagi ia juga mesti merawat Marley, anjing yang ditemukannya di tengah jalan setelah kabur dari tempat penjagalan. Tercetus ide membuat tempat les, tapi murid tak kunjung datang. Rupanya Doni, si guru muda dengan teknik mengajar kreatif, cuma terpikir taktik promosi door-to-door konvensional. Sebatas menyebar informasi melalui media sosial saja tidak dilakukan.
Ketepatan Tengku Tezi memerankan Doni pun mengundang pertanyaan. Dia punya aura pria baik, namun kekurangan karisma yang mana harus dimiliki. Karena biarpun citranya bersahabat, Doni tetap figur pemimpin bagi murid-murid (seperti Robin Williams di Dead Poets Society misal). Tezi bahkan kerap terlalu konyol untuk bisa kita anggap serius, pula kesulitan tiap dituntut berakting serius. Buruknya mixing suara, terutama saat dialog dan musik tampil beriringan, sama sekali tidak membantu.
Masalah terbesar dari naskah buatan M. Ainun Ridho dan Haikal Damara (dari cerita milik Denny Siregar sang produser eksekutif) terletak pada fokus. Ketimbang sepenuhnya mengeksplorasi isu perdagangan anjing sebagai konsumsi manusia, Marley lebih banyak berkutat di persoalan pendidikan. Sejatinya bukan masalah selama dibarengi konsistensi, tapi klimaksnya sendiri berkata sebaliknya.
Klimaks Marley menghadirkan lomba matematika dan konfrontasi antara Doni dengan para penjual daging anjing secara bersamaan. Dua konflik itu tak saling menguatkan. Tiada pengaruh dalam keputusan memunculkan keduanya di satu waktu. Nihil substansi, cenderung mendistraksi sekaligus melemahkan intensitas.
Untungnya dua konflik tersebut mendatangkan pesan penting bagi anak (walau juga membuktikan bahwa naskah lebih mementingkan berpesan dibanding penceritaan memadai) terkait "bakat anak yang berbeda-beda" dan cara memperlakukan anjing. Soal poin kedua, lagi-lagi naskahnya menampakkan inkonsistensi. Karakter tetangga Doni (Emmie Lemu) berkali-kali melempar nasihat berbunyi "asu itu hewan sensitif", menegur Doni kala membentak Marley, hanya untuk kemudian melempar sapu lidi ke arah si anjing yang mencuri bra miliknya.
Subplot yang tampil paling mulus (meski belum layak disebut "bagus") justru romansa. Percintaan sarat interaksi canggung miliknya mampu bekerja dengan baik berkat Tyas Mirasih, sebagai satu-satunya cast yang membawa realisme di penampilannya. Romansa ini pula yang jadi medium menghantarkan emosi pada babak puncak (sekali lagi, wujud inkonsistensi naskah dalam menentukan fokus). Lalu sampailah kita di ending.
Seolah berangkat dari perspektif ketinggalan zaman bahwa "emosional" bersinonim dengan "kesedihan", naskahnya menutup cerita melalui tragedi yang datang tiba-tiba entah dari mana. Konklusi yang membuat seluruh proses yang kita saksikan dan pedulikan selama lebih dari satu setengah jam terasa percuma. Konklusi yang sama sekali tidak berkontribusi pada satu pun isu atau konflik utama.
Marley adalah film keluarga. Pacing penceritaannya cepat agar nyaman disaksikan penonton anak. Jajaran antagonisnya cenderung cartoonish agar menghibur (dan tidak terlalu menakutkan) bagi penonton anak. Konklusinya mengkhianati semangat itu. Bukan mengajarkan tentang kehilangan selaku bagian kehidupan, namun sekadar shock value, yang lupa kalau anak perlu diperlihatkan dampak baik dari perbuatan baik.
REVIEW - KIMI
Ditulis naskahnya oleh David Koepp (Jurassic Park, Mission: Impossible, Spider-Man), Kimi punya cerita sederhana. Saking sederhananya, ada kesan pembuatannya didasari pemikiran, "Film apa yang bisa diproduksi selama pandemi?". Biar demikian, kehadiran Steven Soderbergh di kursi sutradara bak memberi garansi bahwa cerita sederhana itu dapat disulap jadi tontonan spesial.
"Kimi" bukan nama protagonisnya, melainkan smart speaker canggih milik perusahaan Amygdala, yang memancing kontroversi karena memonitor para pengguna atas nama "peningkatan layanan". Data-data direkam, termasuk seluruh perintah suara yang diberikan ke Kimi. Angela (Zoë Kravitz) bekerja sebagai "penerjemah" di Amygdala. Semisal Kimi tidak memahami bahasa slang, Angela yang bertugas menginput data baru terkaitnya.
Sesuai protokol pandemi, Angela bekerja dari apartemennya. Pun serupa banyak orang di tengah serangan COVID, ia tidak berani bepergian. Cuma melangkah keluar beberapa meter saja sudah mendatangkan kecemasan. Tapi saat Angela bersedia membukakan pintu bagi sang kekasih yang tinggal di seberang, Terry (Byron Bowers), bahkan berhubungan seks, kita tahu bukan virus (satu-satunya) sumber ketakutan Angela.
Kondisi mental Angela mendapat ujian tatkala salah satu rekaman Kimi menunjukkan kemungkinan terjadinya tindak kriminal. Angela dengan agorafobianya, yang menghabiskan semua waktu sendirian dalam kamar, jarang melakukan interaksi sosial, dan lebih banyak mengintip situasi luar melalui jendela, harus mencari cara mengungkap kejahatan tersebut.
Menciptakan komparasi dengan Rear Window (1952) baik terkait perilaku karakter serta penggunaan interior apartemen selaku mayoritas latar, Kimi merupakan Hitchcockian yang disederhanakan. Alurnya tidak memodifikasi formula, namun kesederhanaannya efektif. Intriknya punya cukup daya guna menjaga kestabilan intensitas selama 89 menit durasinya.
Begitu pula sentilan mengenai isu surveillance dan respon publik terhadap tindak kekerasan di sekitar mereka. Tidak dieksplorasi secara mendalam, tapi mampu membuat penonton berdiri di belakang Angela. Kita dibuat yakin tengah mendukung figur yang tepat, dalam perjuangannya melawan musuh yang juga tepat (untuk dibenci).
Dan sesuai dugaan, Soderbergh menyulap kesederhanaan penuturan jadi tontonan yang jauh lebih menarik. Sejak dulu, karya-karya Soderbergh selalu menonjolkan permainan warna. Peralihan ke medium digital pun salah satunya didasari pilihan gaya itu. Kimi memperlihatkan bagaimana kegemaran Soderbergh akan warna-warna mencolok amat terfasilitasi oleh kamera digital. Gambarnya tajam. Apalagi begitu Kimi keluar dari kamar, di mana tambahan cahaya natural menyajikan visual distinct, sembari kameranya bergerak dinamis mewakili kecemasan si protagonis, yang tak kalah menonjol dibanding warna-warna di sekitar berkat rambut birunya (pilihan estetika yang sekilas remeh, namun berdampak besar).
Satu-satunya ganjalan datang dari musik. Ditangani oleh Cliff Martinez selaku kolaborator Soderbergh sejak Kafka (1991), nuansa noir klasik yang kerap dipakai terkesan kurang cocok, berkontradiksi dengan visual digital modern filmnya. Justru musik elektronik yang biasanya menjadi ciri khas Martinez (dan sesekali masih terdengar) lebih pas membungkus Kimi.
Untungnya kekurangan di atas cuma batu sandungan kecil dibandingkan pencapaian menyeluruh Kimi. Tujuan utamanya adalah melahirkan thriller menghibur, yang mana berhasil. Klimaksnya memuaskan. Sebagai thriller, babak puncaknya merupakan bukti kreativitas Koepp, yang mesti memutar otak guna menciptakan keseruan dalam kisah berskala kecil.
Sementara dilihat dari proses sang protagonis, klimaksnya ibarat wujud kemenangan mutlak, saat ia sanggup mengubah hal-hal yang sebelumnya adalah sumber masalah, menjadi keuntungan. Kravitz tampil kuat sebagai Angel, menghidupkan kecemasan, sesekali meletupkan rasa, sembari mendefinisikan "kekuatan". Pasca The Batman dan Kimi, rasanya Zoë Kravitz sudah siap jadi salah satu penguasa baru industri.
(HBO Max)
REVIEW - AMBULANCE
Michael Bay adalah soal ledakan. Tidak keliru, walau anggapan itu kerap jadi simplifikasi atas kemampuan sang sutradara. Penceritaannya kacau, humornya buruk, tapi satu yang orang-orang lupa (atau tidak mau tahu), Bay jago membuat sebuah film tampak lebih mahal dari aslinya. Berikan seri Transformers ke sineas lain, dengan naskah serta bujet sama persis, kemungkinan besar hasilnya bakal generik.
Ambulance pun sama. Remake film Denmark berjudul sama ini masih terjangkit segala penyakit Bayhem, tapi tidak sekalipun terlihat generik. Sebab dalam situasi remeh pun Bay selalu coba melahirkan money shot, meski kali ini, beberapa pilihan gaya sang sutradara yang bertujuan agar filmnya makin megah, cukup sering memberi gangguan.
Sekitar 20-30 menit awal Ambulance merupakan prolog. Proses persiapan panggung utama berupa extended car chase selama kurang lebih dua jam. William (Yahya Abdul-Mateen II), seorang veteran perang, membutuhkan uang bagi operasi sang istri, yang memaksanya kembali berurusan dengan Danny (Jake Gyllenhaal), si saudara angkat. Tiada pilihan lain baginya selain mengikuti rencana Danny untuk merampok bank.
Perampokan berujung kacau tatkala aparat di bawah pimpinan Kapten Monroe (Garret Dillahunt) menyerbu. Satu-satunya jalan keluar adalah mencuri ambulans sambil menjadikan polisi yang terluka dan Cam (Eiza Gonzales), seorang teknisi medis, sebagai sandera.
Ambulance mengandung setiap ciri Bayhem, baik positif maupun negatif. Di setiap shot mahal (dibantu Roberto De Angelis selaku sinematografer, orang berjalan atau mengambil barang pun dibuat megah), terselip juga lelucon-lelucon hambar yang menegaskan kurang piawainya Bay menangani timing komedi. Ketika salah satu karakter membahas soal The Rock (1996), rasanya seperti mendengar individu dengan kepekaan sosial rendah sedang berusaha keras melucu, tanpa memahami situasi serta selera humor teman-temannya. Canggung, tidak nyaman.
Setidaknya performa jajaran pemain lebih menyenangkan untuk disimak dibanding humornya. Yahya Abdul-Mateen II memiliki aura simpatik yang memudahkan kita memahami, saat stockholm syndrome terjalin antara beberapa karakter dengannya. Sementara Gyllenhaal tampil menghibur, over-the-top sesuai kebutuhan, walau unsur penokohan yang menyebut Danny sebagai "ekspertis metode penyelidikan FBI" tak pernah benar-benar meyakinkan.
Itulah yang filmnya butuhkan. Kapasitas Bay menggeber aksi bombastis sama sekali tidak berkurang, namun sebagai tontonan 136 menit, Ambulance perlu tambahan adu taktik, intrik yang memperkaya kejar-kejaran tanpa hentinya. Terbukti, momen-momen seperti "operasi darurat" dan "strategi tipu daya militer" memberi variasi menyegarkan.
Intinya, Ambulance punya semua hal yang disukai pecinta Bay, sekaligus dibenci pengkritiknya. Tapi seperti telah disebutkan, beberapa pilihan gaya Bay berisiko mengganggu kenikmatan, bahkan bagi mereka yang sebatas mencari hiburan, yang berkontradiksi dengan tujuan filmnya.
Kacaunya penyuntingan kerap menghadirkan kebingungan mengenai runtutan peristiwa, sehingga melemahkan momentum adegan. Tapi tiada yang lebih memusingkan dibanding banyaknya penggunaan FPV drone. Bay bak anak kecil yang menemukan mainan baru, lalu memakainya sesering mungkin, bahkan ketika tidak dibutuhkan (ada yang cuma perlu tracking shot biasa, sedangkan beberapa aerial shot terkesan dipaksakan muncul). Seolah kita mendadak dipaksa menunggangi roller coaster yang ekstrim. Pusing, mual, disorienting. Hasilnya bertentangan dengan "memuaskan penonton sebanyak mungkin" selaku prinsip dasar Bayhem.
REVIEW - THE BOOK OF FISH
Film atau drama saeguk identik dengan nuansa glamor. Tata artistik serta busana mewah dengan warna cerah seolah jadi kewajiban. Tengok saja The King and the Clown (2005) buatan sutradara Lee Joon-ik yang sampai sekarang bertengger di posisi 10 daftar film Korea Selatan paling laris sepanjang masa. Selang 17 tahun, The Book of Fish membawa Joon-ik menyambangi genre tersebut untuk kali keempat.
Tapi kali ini mewahnya kerajaan diganti area pantai Heuksando (Pulau Gunung Hitam), sedangkan ragam warna ditukar dengan sinematografi hitam putih (warna lain cuma muncul di tiga adegan) hasil tangkapan kamera Lee Eui-tae (kolaborator Joon-ik di Sunset in My Hometown). Karena The Book of Fish bukan mengenai keglamoran. Bukan juga soal gelimang harta. Tapi proses belajar yang membawa karakternya makin merunduk, seiring bertambahnya ilmu yang mengisi kepala mereka.
Berlatar Joseon tahun 1801, seorang cendekiawan bernama Jeong Yak-jeon (sosok sejarah asli, diperankan oleh Sol Kyung-gu) diasingkan ke Heuksando akibat memeluk Katolik. Di masa itu, orang-orang Katolik dipersekusi karena dianggap mengkhianati kepercayaan konfusianisme yang jadi landasan bangsa.
Meski berstatus "orang pandai", justru Yak-jeon yang menemukan banyak ilmu baru di Heuksando. Salah satunya tentang ikan, yang ia dapat dari Chang-dae (karakter fiktif, diperankan oleh Byun Yo-han), nelayan yang biarpun memiliki perspektif konservatif perihal kepercayaan, sejatinya tekun belajar. Dia jauh lebih berpengetahuan dibanding warga desa lain.
Cendekiawan tua liberal, nelayan muda cerdas konservatif. Kombinasi menarik, yang masing-masing penokohannya penuh kontradiksi bila dilihat memakai stigma publik (Bagaimana bisa yang tua liberal sedangkan yang muda konservatif? Bagaimana bisa rakyat jelata gemar menenggelamkan diri dalam literatur?). Naskah buatan Kim Se-gyeom seolah menantang arogansi penonton dan karakter, yang merasa serba tahu.
Awalnya, kedua protagonis masih dikuasai arogansi masing-masing. Yak-jeon berjalan dan bicara sebagaimana bangsawan di tengah para jelata, Chang-dae mencap Yak-jeon "pengkhianat sesat". Seiring bertambahnya interaksi, pertukaran ilmu pun terjadi. Chang-dae minta dijadikan murid, Yak-jeon minta diajari tentang ikan guna menulis ensiklopedia kehidupan laut.
The Book of Fish adalah film tentang "belajar". Jika mengacu ke anggapan "film bagus bisa membawa penonton berada di posisi karakternya", maka film ini bagus. Serupa dua tokoh utama, kita dibuat merasa tidak tahu apa-apa, kemudian tertarik ikut belajar. Belajar tentang ikan, tentang sistem yang mencekik rakyat (orang mati dan tunas pinus yang tumbuh secara liar dikenai pajak), hingga tentang tujuan dari proses belajar itu sendiri.
Walau sekilas tampak seperti arthouse, baik dari premis maupun pilihan artistik, nyatanya The Book of Fish amat ringan. Selipan humor efektif, interaksi renyah dua protagonis, sampai kepiawaian sutradara bermain rasa dibantu iringan musik garapan Bang Jun-seok yang memperkuat dramatisasi, semua mencerminkan sensitivitas khas sineas Korea Selatan dalam melahirkan karya bergizi yang tetap bisa dinikmati kalangan luas.
Mengingat sentral ceritanya adalah soal belajar, kesan berproses pun wajib filmnya munculkan. Akting Sol Kyung-gu dan Byun Yo-han berperan besar dalam tercapainya hal itu. Terutama Yo-han, yang mampu menangani pendewasaan Chang-dae. Di paruh akhir, walau batin masih bergejolak, ia bukan lagi nelayan muda naif. Departemen artistiknya turut membantu. Sinematografi dan tata riasnya melebur amat baik, sehingga proses penuaan karakter berjalan natural. Pilihan warna hitam putih mengurangi kemungkinan kejanggalan tata rias terekspos.
Penceritaannya memang tidak sempurna. Subplot seputar pemberdayaan wanita tampil bak pernak-pernik yang mampir sejenak untuk kemudian dilupakan. Pun ada kesenjangan antara paruh awal dan akhir. Sejam keduanya tidak buruk, tampil layaknya drama inspirasional generik yang mengandung hati, tapi sejam pertamanya merupakan pencapaian luar biasa. Hangat, menyenangkan, mencerahkan.
(Klik Film)
REVIEW - THE ADAM PROJECT
Mungkin karir penyutradaraan Shawn Levy adalah salah satu yang paling underrated. Namanya jarang dielu-elukan. Padahal sebelum The Adam Project, total ia menyutradarai 13 judul, dan hampir semuanya meraup untung, dengan sembilan di antaranya menembus angka 100 juta dollar. Ada kata "hampir", karena data terkait debutnya, Just in Time (1997) sulit ditemukan, termasuk apakah film ini dirilis di bioskop atau langsung ke DVD.
Dia bukan Spielberg, Nolan, atau Cameron, yang bisa mendatangkan penonton hanya bermodalkan nama. Sebuah pertanda kalau Levy paham keinginan penonton luas. Di luar trilogi Night at the Museum, beberapa waktu terakhir Levy mulai melebarkan sayap dari komedi berskala kecil ke blockbuster seperti Real Steel (2011) dan Free Guy (2021). Pemahaman Levy nampak betul di kedua film tersebut. Pemahaman bahwa penonton menggandrungi "paket lengkap", yang dapat menghadirkan keseruan, tawa, pula air mata.
The Adam Project berjalan di trek serupa. Sebuah fiksi ilmiah dengan elemen perjalanan waktu sebagai media menuturkan drama keluarga. Adam (Walker Scobell) adalah bocah 12 tahun yang jadi korban bully di sekolah, sedangkan di rumah, hubungannya dengan sang ibu, Ellie (Jennifer Garner), kurang baik. Adam kesulitan beradaptasi selepas ayahnya, Louis (Mark Ruffalo), meninggal dunia.
Sampai terjadilah pertemuan antara Adam dengan dirinya dari tahun 2050 (Ryan Reynolds), yang mencari kebenaran terkait istrinya, Laura (Zoe Saldana), yang dikabarkan tewas saat menjalankan misi di tahun 2018. Naskah buatan Jonathan Tropper berdasarkan draft awal hasil tulisan T.S. Nowlin, Jennifer Flackett, dan Mark Levin, muncul dengan aturannya soal paradoks perjalanan waktu melalui gagasan bernama "fixed time", yang bertujuan menyederhanakan. Lebih tepatnya, naskahnya berkata, "Jangan terlalu dipikirkan, bukan itu poin utama filmnya".
Memang benar. Elemen perjalanan waktu hanya alat untuk memfasilitasi pemakaian teknologi canggih dalam adegan aksi walau berlatar masa kini, juga menyampaikan kisah mengenai penyesalan seorang anak. Kalimat "Boys always come back to their mamas" yang diucapkan Adam dewasa jadi kunci.
Adam kecil kerap mengeluarkan kalimat-kalimat ketus yang menyakiti hati ibunya. Tapi karena Ellie berusaha tegar, rasa sakit itu tak pernah muncul ke permukaan. Adam kecil tentu belum menyadarinya, namun lain halnya dengan Adam dewasa. Lalu di suatu bar, dalam momen paling menyentuh filmnya, tercipta interaksi intim antara Ellie dengan puteranya dari masa depan, yang mungkin mewakili kegundahan, juga penyesalan banyak penonton.
Momen di atas memberi makna lebih bagi perjalanan waktunya. Rasanya konsep perjalanan waktu begitu diharapkan bisa terjadi di dunia nyata, karena kita, manusia, dapat memperbaiki masa lalu. Tidak melulu soal hal-hal besar. Bisa juga tindakan sederhana seperti ungkapan cinta kasih yang dahulu amat sulit terucap hingga melahirkan penyesalan.
Interaksi ibu-anak itu berhasil, salah satunya berkat akting Reynolds. Dia dan Levy ibarat pasangan sempurna. Serupa sang sutradara, Reynolds pun merupakan "paket lengkap". Comic timing Reynolds memaksimalkan materi humor naskahnya, sosoknya meyakinkan sebagai action hero, dan paling penting, akting dramatiknya mampu menjembatani ikatan emosi penonton dengan film. Kapasitas terbesar Reynolds adalah, walau memiliki fisik ala megabintang Hollywood (wajah tampan, badan kekar), ia terasa dekat (setidaknya terkesan demikian). Karismanya mampu membuat penonton berujar, "I can see me in him".
Hebatnya, Scobell si aktor cilik sukses mengimbangi seniornya. Celotehan-celotehan tajam sekaligus pintar, keseimbangannya menangani drama dan komedi, menjadikan Scobell tandem sepadan, sekaligus versi muda yang meyakinkan bagi Reynolds.
Aksinya pun memuaskan berkat pengarahan Levy yang sarat kreativitas, juga ketepatan dalam memilih shot. Sekuen aksi di tengah hutan, yang turut jadi perkenalan kita dengan Laura, adalah contoh terbaik. Bahkan sewaktu penceritaan The Adam Project cenderung generik dan klise pasca melewati babak kedua pun, gelaran aksi Levy sukses menjaga filmnya tetap menghibur. Sekali lagi, kombinasi "duo paket lengkap" Levy dan Reynolds terbukti ampuh menghantarkan winning formula. Tidak heran keduanya kembali berkolaborasi di film ketiga Deadpool.
(Netflix)
REVIEW - TURNING RED
Turning Red sebenarnya klise jika menilik pola berceritanya. Konflik orang tua-anak, kesenjangan generasi, hingga pencarian identitas dalam proses tumbuh kembang, yang ditutup oleh klimaks berorientasi aksi. Formulanya lebih dekat ke animasi konvensional Disney ketimbang judul-judul terbaik Pixar. Tapi eksekusinya tampil segar berkat satu hal: sentuhan Asia.
Meilin "Mei" Lee (Rosalie Chiang), remaja 13 tahun, terkekang oleh sang ibu, Ming Lee (Sandra Oh). Dia mesti berprestasi di sekolah, sembari membantu mengurus kuil milik keluarga. Mei ingin bebas. Dan tiada gesekan lebih besar dibanding kala anak melewati fase pubertas. Sehingga masalah muncul saat Mei mulai "memerah". "Memerah" bukan ungkapan figuratif bagi menstruasi (walau jelas merupakan metafora terhadapnya). Mei bertransformasi jadi panda merah berukuran besar tiap emosinya tak terkendali.
Secara keseluruhan Turning Red cenderung formulaik, kecuali di satu titik, yakni ketika Ming dengan cepat mengetahui kondisi puterinya. Kucing-kucingan antara Mei (yang berusaha menyembunyikan perubahannya) dengan Ming pun tidak berlangsung terlalu lama. Dari situlah gerbang menuju perjalanan sarat nuansa kultural menarik terbuka.
Domee Shi melakoni debut penyutradaraan sekaligus menulis naskah bersama Julia Cho. Pada 2019, film pendek buatannya, Bao, menyabet piala Oscar di kategori Best Animated Short Film. Keterampilannya membawa cerita klise naik kelas menggunakan unsur kultural sudah nampak di situ, dan berhasil ia ulangi di Turning Red.
"Kultural" bukan cuma perihal ritual atau hal-hal spiritual, pula dinamika keluarga. Misal terkait keengganan Turning Red mengantagonisasi Ming. Sikap protektif miliknya dipandang selaku kasih sayang tulus. Hanya cara penyalurannya yang kurang tepat. Sebab tatkala kepedulian dan perhatian yang tidak anak harapkan justru dihadirkan, apalagi secara berlebih (tendensi orang tua Asia), alih-alih mendekatkan, dampaknya malah menjauhkan.
Akhirnya seperti Mei, anak "berpaling" pada teman, yang cenderung mau memahami serta menerima apa adanya. Bersama mereka, Mei selalu tertawa, terbuka, ceria, menampakkan wajah yang tidak pernah orang tuanya lihat. Tiga sahabat Mei, Miriam (Ava Morse), Priya (Maitreyi Ramakrishnan), dan Abby (Hyein Park), punya kepribadian beragam yang makin menyemarakkan filmnya.
Kesenjangan generasi turut dibahas. Mei dan teman-teman mengidolakan boy band bernama 4*Town, yang oleh sang ibu langsung dicap "tidak bermoral" biarpun baru menyaksikannya sekilas di televisi. Inilah mengapa Turning Red amat relevan (realitanya, sering muncul perpecahan akibat sinsime orang tua pada idola anak) sekaligus penting ditonton orang tua. Supaya timbul kesadaran, bahwa daripada menyalahkan panda merah (baca: pubertas) yang dianggap merebut si buah hati, membuka pikiran pada preferensi mereka bakal jauh lebih berguna.
Perihal masalah generasional ini diperdalam lewat kemunculan karakter Wu Lee (Wai Ching Ho), nenek Mei dari pihak ibunya. Penonton diajak melihat efek domino dari gagalnya keluarga menyikapi kesenjangan antar generasi. Tapi sekali lagi, melalui sensitivitasnya, Domee Shi bukan sedang menyalahkan pihak mana pun.
Third act-nya memadukan aksi unik ala film kaiju dengan drama (keluarga dan persahabatan) menyentuh, di mana visual cantik serta peleburan musik tradisional dengan modern melahirkan harmoni estetika indah. Estetika yang membuat filmnya lebih segar dibanding buatan "sineas Barat", meski mengangkat formula serupa.
Tapi keunggulan utama Turning Red bukan tampilan luarnya, melainkan nilai yang tertanam di dalam. Nilai kekeluargaan khas Asia yang membuat individunya berusaha mencari keseimbangan. Bahkan setelah kebebasan didapat, Mei menyatakan kerinduan akan kondisi di mana 100% waktu dicurahkan bagi (dan bersama) keluarga. Karena Mei ingin "bebas". Bukan "lepas".
(Disney+ Hotstar)
REVIEW - LICORICE PIZZA
Status auteur memberi kebebasan membuat film apa saja. Kritikus dan cinephile bakal berpikir dua kali untuk memberi cap "buruk" bagi karya para auteur. Entah didorong kekhawatiran disebut "gagal paham", atau keyakinan "filmnya pasti bagus".
Licorice Pizza dihantam beberapa kontroversi. Hubungan wanita 25 tahun dengan remaja 15 tahun yang jadi sentral cerita dianggap romantisasi terhadap pedofilia. Tudingan rasisme pun diterima akibat ada karakter berbicara memakai aksen yang mengolok-olok orang Asia. Tapi toh film ini tetap banjir pujian, bahkan menyabet tiga nominasi Academy Awards termasuk Best Picture.
Mari bayangkan, andai Licorice Pizza bukan hasil karya auteur macam Paul Thomas Anderson. Jangankan berakhir dipuja, saya tak yakin filmnya bakal diproduksi. PTA bisa melenggang karena para pengamat bersedia "repot-repot" menganalisis lebih dalam, didasari pemikiran, "Seorang Paul Thomas Anderson mustahil berbuat demikian".
Benar atau tidak filmnya problematik itu kembali pada kepercayaan tiap penonton, tapi PTA jelas sengaja bermain-main di garis batas. Naskahnya mengambil latar 1973 (terinspirasi dari Gary Goetzman yang memulai memulai karir sebagai aktor cilik di masa tersebut). Sebuah era penuh keliaran dilihat dari sisi mana pun.
Gary Valentine (Cooper Hoffman), aktor berumur 15 tahun, jatuh cinta pada Alana Kane (Alana Haim), asisten fotografer berumur 25 tahun. Selisih usia, ditambah fakta kalau Gary masih di bawah umur, membuat Alana enggan menjalin hubungan. Mereka pun akhirnya cuma berteman. Pertemanan rumit yang melibatkan kecemburuan, bisnis-bisnis nekat, seluk-beluk industri perfilman, hingga setumpuk fenomena sosial 70an.
Dipandang melalui kacamata filmis, meski merupakan karya paling cerah dan ringan dari PTA, sama sekali tidak kehilangan sentuhan briliannya. Seperti biasa, sang sutradara sekaligus penulis naskah menolak teknik narasi konvensional. Alur tersusun atas fragmen demi fragmen yang seolah saling terpisah. Bukan wujud penuturan buruk, namun kesengajaan guna menggambarkan bagaimana tangkapan memori bekerja. Mungkin serupa keping-keping kenangan dalam album foto.
Penyuntingan Andy Jurgensen menciptakan kesan "ketidakrapian yang rapi", sembari menambah sentuhan unik lewat beberapa transisi. Tidak jarang penonton akan mengira masih menyaksikan adegan yang sama, hanya untuk kemudian mendapati latar waktu dan tempat sudah berganti. Kecerdikan PTA memilih shot turut membantu eksekusi trik itu.
Sekuen terbaiknya adalah puncak dari segmen yang mempertemukan Gary dan Alana dengan Jon Peters (Bradley Cooper) si produser eksentrik. Seperti saya sebut di atas, kisahnya melibatkan bisnis-bisnis nekat yang lahir dari kepala Gary. Salah satunya berjualan kasur air. Ketika proses pemasangan kasur di rumah Peters berujung kekacauan, keduanya terjebak dalam aksi kejar-kejaran (well, kind of).
Alana duduk di balik kemudi truk. Tanpa bahan bakar (krisis minyak sedang menghantam), di tengah area perbuktikan curam nan berliku. Keputusan yang ia ambil berjasa melahirkan sekuen kebut-kebutan unik, intens, juga lucu, yang turut mewakili proses protagonisnya. Menjalani fase kehidupan gila di tengah masa yang jauh lebih gila, mereka cuma bisa berjalan dengan prinsip "you gotta roll with it", sambil tetap menjaga agar tidak keluar jalur.
Cooper Hoffman dan Alana Haim sama-sama memikat memerankan dua muda-mudi beda usia dalam satu dilema. Gary sedang bertransisi. Walau masih di bawah usia legal, ia bukan lagi bocah. Dia belum cukup dewasa untuk minum alkohol atau terlibat aktivitas seksual, tapi jelas bukan lagi bocah sebagaimana aktor cilik lain. Alana merasa harus mulai menata hidupnya dan memberi kontribusi lebih, tapi ia masih bergaul bersama para remaja.
Kembali ke kontroversi yang filmnya hadapi. Saya setuju bila hubungan dua tokoh utama tergolong percintaan polos tanpa tendensi romantisasi. Tapi bagaimana dengan hal lain? PTA memandang Licorice Pizza sebagai potret apa adanya bagi suatu masa. Perspektif seksis di banyak lini (marketing bisnis, industri film, dll.) hingga cultural appropriation jadi gambaran realita. Tidak keliru. Tapi apakah seluruhnya diperlukan guna memperkuat narasi utama?
Mendekati akhir, kondisi terkait gay yang mesti menyembunyikan orientasi seksual mereka ikut dibahas. PTA membuat protagonisnya memberi respon heartful, tatkala mayoritas publik bersikap sebaliknya. Artinya, di situ PTA menunjukkan kuasa selaku pembuat karya, yang mempunyai kebebasan membentuk dunia sesuai keinginan. Anggapan "potret realita apa adanya" terdengar seperti dalih individu yang berlagak tidak berdaya padahal memegang kuasa. Licorice Pizza adalah film dengan craftmanship kelas wahid, tapi sebagai auteur, PTA semestinya bisa bersikap lebih bijak.
(iTunes)
12 komentar :
Comment Page:Posting Komentar