WIRO SABLENG: PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 (2018)

66 komentar
Saya bukan pembaca novel Wiro Sableng karya Bastian Tito yang konon berjumlah 183 judul, pun memori akan serialnya sedikit buram karena usia yang masih terlalu muda untuk memproses secara lengkap, walau serupa bocah-bocah yang tumbuh di era 90an, lagu temanya amat menancap di kepala. Tapi saya gemar membaca komik termasuk manga. Ketika sederet karakter berpenampilan kerena dengan kemampuan tak kalah keren berkumpul, bertarung bersama dalam satu pertempuran dahsyat, walau beberapa dari mereka muncul di saat yang terlalu tepat pula tanpa motivasi jelas kecuali memeriahkan suasana, saya sudah dibuat kegirangan. Itulah inti film Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.

Kita bertemu si A, B, C, berkesempatan menyaksikan mereka adu ilmu meski kepribadian mereka tak pernah benar-benar kita tahu. Setidaknya kita tahu tentang Wiro (Vino G. Bastian) dengan masa lalu tragis yang tergambar di adegan pembuka tatkala melihat langsung Mahesa Birawa (Yayan Ruhian) membantai kedua orang tuanya. Selama 17 tahun berikutnya, Wiro ditempa oleh Sinto Gendeng (Ruth Marini) yang mewariskan ilmu silat 212 beserta kapak maut naga geni miliknya. Demikian pula Vino, meneruskan warisan sang ayah memerankan si pendekar sableng dengan baik. Bersikap bak bocah gila, Vino bertukar canda bersama Ruth Marini, yang meski ditutupi riasan tebal, mampu menyelipkan emosi, di luar tentunya kegendengan menggelitik. Interaksi Wiro-Sinto selalu berhasil memancing tawa.

Sinto Gendeng menugaskan muridnya memburu Mahesa Birawa tanpa memberi tahu bahwa dialah pembunuh orang tuanya, sebab fakta itu bakal menyulut nafsu balas dendam yang menggiring pendekar menuju kegelapan. Sebuah poin, yang oleh trio penulis naskahnya: Sheila Timothy (juga selaku produser), Tumpal Tampubolon (Tabula Rasa, Rocket Rain), dan Seno Gumira Ajidarma (Pendekar Tongkat Emas), dijadikan pesan filosofis yang memang wajib tersimpan dalam film martial arts.

Sepanjang perjalanan, Wiro bertemu sekumpulan tokoh-tokoh unik seperti Dewa Tuak (Andy /rif) serta muridnya, Anggini (Sherina Munaf), Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarazi), dan Marsha Timothy sebagai Bidadari Angin Timur yang demikian glamor layaknya penghuni kahyangan dalam balutan gaun rancangan Tex Saverio. Akhirnya tidak ada satu pun dari nama-nama tadi yang bisa kita tinjau lebih dalam karakterisasinya, namun mereka sanggup menghadirkan interaksi hidup dengan pahlawan kita, sehingga di sela-sela aksi pun hiburannya tetap berjalan lancar.

Senang mendapati di dalam ambisi menciptakan blockbuster raksasa yang digarap luar biasa serius, film ini tidak bersikap “sok serius” saat bertutur. Karena di antara memori-memori buram di kepala, satu hal yang saya ingat pasti terkait serial Wiro Sableng adalah elemen kerasnya dunia persilatan dan kejenakaan yang saling mengisi dan berpadu mulus. Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 terbukti menghormati warisan pendahulunya, dengan contoh terbaik pada satu adegan ketika satu sosok familiar muncul sementara musik yang tak kalah familiar turut mengalun di belakang.

Yayan Ruhian adalah Mahesa Birawa, pemimpin sekelompok bandit yang berencana merebut tampuk kekuasaan dari Raja Kamandaka yang diperankan Dwi Sasono, yang melafalkan kalimat menggunakan suara tenggorokan layaknya Christian Bale sebagai Batman, sebagai usaha menjauhkan cap “komedian”. Bukan saja berakting, Yayan turut memegang posisi pengarah laga, memastikan setiap baku hantam terjalin dinamis. Beruntung, biarpun ini merupakan satu langkah mengejar pencapaian Hollywood, Angga Dwimas Sasongko (Filosofi Kopi, Surat dari Praha, Bukaan 8) urung terjangkit penyakit banyak film aksi produksi mereka yang menerapkan quick cut plus shaky cam overdosis. Kamera Ipung Rachmat Syaiful (Kala, Janji Joni, Surga yang tak Dirindukan 2) bergerak seperlunya, menangkap cukup jelas tiap jurus para pendekar. Sayang, satu kelemahan justru bertempat pada satu pukulan pamungkas yang mengakibatkan puncak pertarungan berakhir antiklimaks.

Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 telah memancing obrolan ketika 20th Century Fox melalui bendera Fox International Productions turut serta memproduksi filmnya. Alhasil biaya sebesar US$ 3 juta atau sekitar Rp 44 miliar pun didapat. Angka yang besar bagi kita, namun tergolong mikro pada lingkup Hollywood (that’s even smaller than “The Raid 2: Berandal”), sehingga kurang bijak apabila berharap parade CGI sekelas blockbuster seharga ratusan juta dollar. CGI diterapkan tepat guna, memperlihatkan hasil mumpuni terlebih kala membungkus beragam jurus, dengan salah satu momen paling menarik saat Kala Hijau (Gita Arifin) terjun ke medan pertempuran. Tapi elemen visual Wiro Sableng bukan sebatas CGI. Departemen artistiknya, dari dekorasi istana selaku panggung klimaks yang berkilauan hingga tata busana yang berjasa mengkreasi tokoh-tokoh berpenampilan ikonik, amat memuaskan mata. Terima kasih pada Adrianto Sinaga (Ada Apa dengan Cinta?, Tusuk Jelangkung) dan tim.

Gangguan justru diciptakan tata suaranya. Musik garapan Aria Prayogi (dwilogi The Raid, Killers, Headshot) berusaha terdengar bombastis, dan ya, gempuran perkusinya sanggup menghadirkan intensitas di berbagai momen laga, tapi sewaktu bertemu celetukan-celetukan karakternya, terjadi perlombaan berat sebelah melawan kalimat yang aktornya ucapkan. Kalimat-kalimat yang kerap tenggelam, sulit dicerna, memaksa saya mengandalkan subtitle Bahasa Inggris guna memahami dialog Bahasa Indonesia.

Jadi begitulah. This isn’t a great movie, but definitely a highly entertaining one. Hiburan yang memahami cara memancing tawa, hiburan yang tahu bagaimana menciptakan suguhan, yang walau tak mendalam, tersaji nikmat, apalagi tatkala klimaksnya menempatkan nyaris seluruh karakter dalam pertarungan meski tak seluruhnya dipersatukan dalam satu frame dan beberapa di antaranya bertindak selaku deus-ex-machina. Pastinya, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 telah membuka jalan blockbuster Indonesia melangkah ke tingkat lebih tinggi. Jangan segera beranjak dari tempat duduk begitu film usai, karena terdapat mid-credits scene yang menyiratkan musuh besar berikutnya, yang diperankan salah satu aktor terbesar Indonesia sekarang.

66 komentar :

Comment Page:

PETUALANGAN MENANGKAP PETIR (2018)

4 komentar
Petualangan Menangkap Petir adalah film menyenangkan dengan tokoh sentral anak-anak, meski bukan film anak yang sepenuhnya berhasil. Sebab bila terlontar pertanyaan mengenai pesan apa yang dapat diserap, saya hanya bisa menjawab, “Jadi orang tua jangan protektif secara berlebihan”, dan “Cobalah memahami keinginan anak”. Sebagai film anak, karya penyutradaraan ketiga Kuntz Agus (#republiktwitter, Surga yang Tak Dirindukan) ini malah lebih lantang mengkritisi kalangan dewasa walau meluangkan sepanjang durasi menyoroti aktivitas karakter bocahnya. Mungkin ini hasil proses bawah sadar ketika para pembuatnya, serupa salah satu dialog yang mereka tulis, kerap “lupa cara menjadi anak kecil”.

Tujuan dasar Petualangan Menangkap Petir sebenarnya sederhana, yakni melecut supaya anak-anak tak ragu mengejar mimpi, juga berpetualang ke luar rumah, bertemu teman-teman nyata ketimbang melulu berkutat di balik gadget dan dunia maya. Tapi dalam konteks film ini, bila pokok-pokok bahasan di atas dirunut kembali, semua masalah justru berpangkal di orang tua ketimbang anak. Bukan sang anak, Sterling (Bima Azriel) yang meragu, melainkan sang ibu, Beth (Putri Ayudya) yang mengekang. Semua tergantung pada Beth. Masalah hanya akan tuntas saat Beth yang tersadar, bukan Sterling.

Meninjau situs personalnya, dapat disimpulkan Beth adalah seorang penggiat soal pendidikan terhadap anak, yang kerap membahas bagaimana agar anak bisa bermain sesuka hati, bersenang-senang tanpa perlu membahayakan diri dengan keluar rumah. Berbanding terbalik dengan sang suami, Mahesa (Darius Sinathrya), yang sejatinya ingin Sterling mengeksplorasi dunia luar, namun enggan menyulut masalah dengan Beth. Sterling, yang selama ini tinggal di Hong Kong, menjadi YouTuber tenar berkat beragam konten kreatif, berinteraksi dengan ribuan “teman” meski tak ada satu pun pernah ia temui langsung.

Kesuksesan itu membuat Sterling berat hati kala orang tuanya memutuskan pindah ke Jakarta. Sementara persiapan kepindahan dilakukan, Sterling dititipkan di  rumah kakeknya (Slamet Rahardjo) di Selo, Boyolali. Kekhawatiran bakal merasa jengah karena tinggal di kampung seketika sirna pasca bertemu Gianto alias Jaiyen (Fatih Unru) dengan segala gairahnya soal film khususnya akting. Mengetahui aktivitas Sterling di YouTube, Jaiyen pun langsung mengajaknya membuat film mengenai legenda Ki Ageng Sela yang konon, sanggup menangkap petir ketika tengah bertani.

Aktivitas Sterling di Selo mengasyikkan, apalagi bagi penonton seperti saya yang berasal dari daerah pedesaan di Jawa. Semua terasa familiar, dari lokasi sampai cara interaksi penuh selorohan menggelitik warga berlogat setempat, termasuk kemunculan singkat duo Pangsit-Benjo sebagai penjual jamu tradisional. Para aktor ciliknya pun tampak menikmati, yangjadi elemen terkait anak terbaik di film ini. Bima Azriel apik memerankan seorang bocah yang jengah atas tekanan bertubi-tubi ibunya. Bima memperlihatkan seperti apa kekesalan terpendam yang pelan-pelan dipupuk, menunggu meledak di kemudian hari. Keberhasilan Putri Ayudya memerankan ibu super protektif yang memudahkan kita mendukung “pemberontakan” Sterling. Jangan kaget kalau Beth mengingatkan pada sosok-sosok di sekitar anda.

Tapi pencuri perhatian terbesar tetap Fatih Unru yang bukan cuma jago mengocok perut, juga melakoni momen dramatik. Ada adegan ketika ia dituntut melakukan akting dalam akting, dan itu tampak meyakinkan, mematenkan Jaiyen sebagai pondasi motivasi pengejaran mimpi filmnya. Agak aneh sebenarnya saat motivasi motivasi itu datang dari sosok pendukung ketimbang Sterling yang seringkali sekedar mengikuti kemauan sobatnya. Jaiyen sendiri bicara bak orang dewasa penggemar film alih-alih anak kecil dengan kemurnian mimpinya. Eddie Cahyono (Siti) dan Jujur Prananto (Ada Apa Dengan Cinta? Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara) selaku penulis naskah berusaha memposisikan diri sebagai anak kecil, kemudian gagal, bak aktor yang berakting buruk.

Guna menolong proses pembuatan film, Sterling dan Jaiyen meminta bantuan dua videografer pernikahan, Arifin (Abimana Aryasatya) dan Kriwil (Arie Kriting), yang konon pernah membuat film fenomenal, namun secara tersirat disampaikan bahwa mereka tak pernah merampungkan karya itu, sehingga berbagi mimpi serupa kedua bocah tersebut. Menurut Ifa Isfansyah selaku produser eksekutif, Petualangan Menangkap Petir didasari mimpinya bersama Kuntz Agus membuat film anak dan film tentang film. Sayang, mereka sulit menahan diri untuk tidak menyelipkan filosofi mengenai film, seperti kalimat “film itu magis” atau penyebutan istilah macam “Mise-en-scène”, yang terdengar kurang pas di film anak. Semoga beruntung menjelaskan artinya pada anak-anak anda. Hal-hal “ke-sinema-an” tadi dicuapkan Abimana, yang akhirnya memerankan karakter “serius tapi santai” seperti saat mencuri perhatian tujuh tahun lalu di Catatan Harian Si Boy walau penokohan Arifin sendiri dangkal.

Seperti saya sebutkan di awal, di luar setumpuk kelemahannya, Petualangan Menangkap Petir masih sebuah tontonan menyenangkan. Kuntz Agus mampu membungkus kegiatan karakternya membuat film dengan seru. Bocah-bocah ini tidak peduli meski cuma berbekal properti buatan tangan seadanya juga akting sebisanya, sebab mereka hanya berniat bersenang-senang. Setidaknya Petualangan Menangkap Petir berpotensi menyediakan alternatif kegiatan aktif bagi anak: Membuat film. Walau lagi-lagi, menurut film ini, semuanya tergantung pada orang tua. 

4 komentar :

Comment Page:

SEARCHING (2018)

32 komentar
Could you please tell me everything you know about your son/daughter?”. Tentu kita sering mendengar pertanyaan serupa diajukan pihak kepolisian terhadap orang tua dalam film tentang hilangnya seseorang. Tapi David Kim (John Cho) tidak benar-benar mampu menjawab. Dia tidak berteman atau mengikuti sang puteri, Margot (Michelle La), di sosial media, tidak pula mengenal satu pun temannya di dunia nyata. Kondisi yang menjadikan Searching—seperti tagline-nya—bukan cuma usaha mencari keberadaan Margot, juga proses David mencari tahu siapa Margot sesungguhnya.

Beberapa arsip dari kompter keluarga Kim membuka filmnya, menunjukkan tahun-tahun bahagia mereka, sedari lahirnya Margot, video aktivitas bersama, sampai foto-foto hari pertama tiap Margot menempuh tahun ajaran baru di sekolah. Iringan musik indah berbasis piano buatan Torin Borrowdale akan membuat hati terenyuh seketika. Musiknya bak diambil dari katalog Pixar, dan secara kebetulan, ini merupakan montage pembuka paling menyentuh yang pernah saya saksikan sejak Up (2009). Sayang, seperti Up, montage dalam debut penyutradaraan Aneesh Chaganty berujung duka kala istri David, Pamela (Sara Sohn), meninggal akibat kanker. Lalu segalanya berubah.

David enggan membahas perihal kematian sang istri, mengakibatkan hubungannya dengan Margot merenggang. Saat suatu malam si gadis remaja tak kembali pulang, David pun kelimpungan. Polisi dihubungi, kasus orang hilang dibuka, investigasi dimulai. David sendiri melakukan pencarian via internet, memeriksa akun sosial media juga podcast buatan Margot, yang berperan membuka mata David, bahwa ia sama sekali tak mengenal sang puteri. David tak mampu mengunjungi langsung teman-teman Margot sebab ia tak tahu siapa mereka, menjadikan proses mencari melalui internet suatu langkah masuk akal. Itu bantuan terbesar yang bisa David sumbangkan untuk Detektif Rosemary Vick (Debra Messing) yang bertugas menangani kasusnya.

Investigasi online David secara mengejutkan tampil realistis. Mencari kata sandi akun melalui verifikasi surel, memanfaatkan Google guna mencari nomor kontak, semua merupakan hal-hal yang bisa, bahkan kemungkinan sering penonton lakukan. Dan—koreksi kalau saya salah—seluruh situs yang Searching munculkan benar-benar bisa diakses. Pada film di mana internet berperan besar, tentu tidak lengkap jika kisahnya tak menyentil perilaku warganet. Begitu pemberitaan kasus Margot membesar, rekan-rekan sekelas yang tak terlalu akrab berbondong-bondong mengaku sebagai sahabat, latah menyuarakan simpati melalui status media sosial. Tidak dalam kuantitas besar, namun elemen di atas cukup memberi satir menggelitik seputar kepalsuan dan panjat sosial dunia maya.

Beberapa penonton tentu akan menyandingkan Searching dengan Unfriended (2014) mengingat keduanya sama-sama mengambil sudut pandang rekaman webcam. Tapi tidak. Searching mengembangkan teknik itu lebih jauh. Bukan aja komputer, telepon genggam, CCTV, hingga liputan berita turut dipakai, memberi variasi penjaga kestabilan intensitas tanpa perlu melenceng dari konsep dasar.  Variasi lain dimiliki tone-nya, yang meski serius dan sesekali menyentuh teritori yang cukup kelam, naskah buatan Aneesh Chaganty dan Sev Ohanian masih punya waktu menyelipkan humor, yang makin lucu karena bukan mustahil, beberapa kerap kita lakukan selama menjalani keseharian bersosial media.

Sebagai sutradara, Chaganty melakukan pekerjaan luar biasa ketika sanggup mengangkat tensi ke tingkatan lebih tinggi ketika film memasuki pertengahan, yang biasanya, jadi momen saat thriller kehilangan daya cengkeramnya. Peningkatan tersebutbertempat di “adegan danau”, sewaktu investigasinya “banting setir”, bergerak ke arah tak terduga yang semakin darurat, semakin genting, semakin menegangkan. Dan semakin intens filmnya, bertambah pula tantangan bagi John Cho menghadirkan performa meyakinkan mengingat hampir sepanjang durasi, ia hanya menatap layar komputer maupun telepon genggam. Tapi Cho lancar mengolah rasa, mejadikan film ini layaknya rekaman pengakuan dosa yang jujur dan personal.

Setiap fase pencarian mengungkap fakta baru sedikit demi sedikit, dan setiap fakta, mengarahkan kita menuju kejutan. Banyak kejutan. Setelah skenario suatu situasi berjalan, memang mudah menebak apakah itu faktual atau misleading, tapi anda takkan menduga kebenaran sesunggunya. Setidaknya, tidak secara detail nan menyeluruh. Pun kebenaran tersebut masih selaras dengan tema utama film, bukti jika keberadaannya bukan semata demi faktor kejutan. Twist terbaik tidak (hanya) dinilai dari seberapa mengejutkan. Twist terbaik tidak datang entah dari mana, tapi serupa yang dicontohkan Searching, tertanam sepanjang film. Andai kita dan David memberi perhatian lebih.....

32 komentar :

Comment Page:

SULTAN AGUNG: TAHTA, PERJUANGAN, CINTA (2018)

7 komentar
Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta menempatkan penonton di posisi sebagaimana kita sehari-hari, sebagai rakyat, menyikapi seorang pemimpin. Coba pikirkan, seberapa sering anda meragukan Camat, Bupati, Gubernur, sampai Presiden? Kita cenderung—dan merupakan hal wajar—menghakimi mereka berdasarkan apa yang terlihat kini. Karena kita pun tidak tahu menahu soal pertimbangan di belakang. Apalagi saat suatu keputusan lebih berorientasi jangka panjang. Masalahnya, walau film ini berhasil menghadirkan pemahaman soal proses di balik layar itu, hal paling esensial, yakni hasil, urung ditampilkan.

Pembicaraan terkait politik beserta filosofi di belakangnya memang rumit, namun satu jam pertama Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta tampil lebih sederhana, yang mana merupakan paruh terbaiknya. Wajah bila sederhana, sebab inilah masa di mana Sultan Agung alias Raden Mas Rangsang (Marthino Lio) masih muda dan berguru pada Ki Jejer (Deddy Sutomo) di padepokan. Menimba ilmu, baik fisik maupun batin, jadi konsentrasi utama, yang tentu saja diselingi romantika. Raden Mas Rangsang memadu kasih dengan Lembayung (Putri Marino), seorang rakyat biasa.

Romansanya hidup, selain berkat selipan interaksi keseharian santai kaya selipan humor, juga perpaduan apik Marthino-Marino. Putri Marino memudahkan siapa saja mencintai Lembayung, si gadis dengan kekuatan fisik pula batin. Ya, batinnya tergoncang kala Raden Mas Rangsang didapuk sebagai Raja sehingga mesti pulang ke Kraton sekaligus menikahi wanita lain yang ditentukan mendiang ayahnya. Tapi seiring kemampuan Putri mengguncang hati penonton lewat luapan emosi, turut ditegaskan bahwa ia ikhlas, memahami jika tiada pilihan. Jadilah elemen romansanya tak menyentuh ranah dramatisasi opera sabun. Ini tentang sepasang muda-mudi kuat yang mendahulukan kepentingan negeri.

Di antaranya, beberapa adegan laga yang disusun solid oleh Hanung Bramantyo sesekali mengisi, menghasilkan adu jurus menghibur khas kisah pendekar masa lampau. Fase masa muda Sultan Agung ditutup perebutan kekuasaan sarat intrik serta pertumpahan darah yang mana tak pernah lepas dari sejarah kerajaan mana pun. Kemudian kisahnya melompat beberapa tahun, beranjak menyelami konflik politis kompleks dan peperangan kolosal yang mengetengahkan perlawanan Kerajaan Mataram terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie alias VOC.

Dari Marthino Lio, Sultan Agung dewasa anti diperankan Ario Bayu. Anda akan sadar betapa cerdik casting film ini begitu melihat kemiripan paras kedua aktor. Ario memerankan Sultan Agung yang telah tumbuh jadi Raja berkepribadian keras yang menolak berkompromi kala VOC berusaha menundukkan Mataram melalui kedok kerja sama dagang dengan aturan mencekik. Lembayung dewasa diperankan Adinia Wirasti, yang bukan saja jago mengolah rasa, juga meyakinkan melakoni porsi aksi. Sementara Ario, lewat wibawanya, mulus memerankan Raja yang mantap menyerukan teriakan perang “Mukti utawa mati!”.

Sultan Agung memutuskan menabuh genderang perang, mengerahkan ribuan rakyat termasuk sekumpulan petani guna menyerbu VOC di Batavia, meski menurut beberapa pihak termasuk sang paman, Tumenggung Notoprojo (Lukman Sardi), itu bak misi bunuh diri. Tapi Sultan tidak bergeming. Mengapa harus mengalah kalau ujungnya kehilangan harga diri sebagai budak penjajah? Di sini kompleksitas muncul, ketika mereka yang menaruh kepercayaan sekalipun, pasti akan bertanya-tanya, “Apakah Sultan sudah dibutakan harga diri sampai membiarkan ribuan rakyat meregang nyawa?”.

Korban berjatuhan, pasukan Mataram tersudut, kian mudah baik bagi rakyat dan penonton meragukan Sultan. Sepanjang pertempuran, jarang kita melihat Sultan, apalagi memperoleh detail soal pendorong keputusan kontroversialnya. Naskah karya BRA Mooryati Soedibyo (juga produser dan produser eksekutif), Ifan Ismail (The Gift, Ayat-Ayat Cinta 2), dan Bagas Pudjilaksono memang sengaja meninggalkan penonton dalam ketidaktahuan, serupa yang dialami pasukan Mataram di medan perang, yang lebih sering kita tengok kondisinya. Kita sama-sama ada dalam “ruang gelap”, menduga-duga maksud Sultan sebagaimana pada umumnya rakyat mempertanyakan sikap sang pemimpin.

Sekuen peperangan di benteng Batavia tampil problematik. Benar tata artistik, semisal kostum dan properti persenjataan tampak solid. CGI yang dipakai menggambarkan ribuan manusia di medan laga pun nyaman dilihat. Poin mengganjal justru ketiadaan paparan taktik. Apa taktik Mataram, hingga Jan Pieterzoon Coen (Hans de Kraker) kaget, mempertanyakan dari mana mereka paham cara mengepung benteng? Kita hanya akan melihat serbuan acak yang terkesan asal gempur. Lalu apa sebab VOC berbalik unggul? Tidak ada perubahan taktik, kecuali mendadak beberapa orang, termasuk J.P. Coen, menembakkan senapan (yang anehnya, merupakan pengulangan adegan flashback sebelumnya). Atau karena menang jumlah? Sulit dipastikan, mengingat sepanjang sekuen, pasukan Mataram justru terlihat unggul kuantitas.

Setelah lokasi pindah ke hutan, baru peperangan lebih menarik. Satu-satunya momen berisi taktik jitu hadir di sini, sewaktu prajurit Mataram menggunakan otak, memanfaatkan alam guna memberi pukulan terbesar bagi VOC. Pada fase ini, ada tata kamera menarik berupa siluet berlatar belakang warna jingga dari nyala obor. Faozan Rizal memang ahli bermain bayangan. Contoh lain eksplorasi bayangan dalam sinematografi tersaji ketika ibunda Sultan Agung, Gusti Ratu Banowati (Christine Hakim) memberi petuah kepada sang anak. Suasana ruang remang-remang, sebagian wajah Christine maupun Marthino gelap, memunculkan keintiman nan khidmat.  

Kembali menuju keputusan kontroversial Sultan. Pernyataan jika perang ini bakal terasa dampaknya 100 tahun ke depan merupakan kunci. Saat itulah asumsi saya menjadi fakta, didukung oleh sekuen berikutnya, yang menegaskan mengapa kebesaran Sultan Agung perlu kita ketahui. Sultan memikirkan masa depan. Dia memupuk bibit generasi mendatang agar kelak dapat menuai perjuangan generasi kini, yang dengan terpaksa harus berkorban bertaruh nyawa. Masalahnya, hasil nyata siasat Sultan Ahanya ditaruh di teks sebelum credit akhir. Kita tak pernah melihatnya divisualisasikan. Itu kenapa, setelah 148 menit, Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta terasa baru melaju separuh jalan. Tidak peduli seberapa mumpuni, separuh jalan tetaplah kurang utuh.

7 komentar :

Comment Page:

CINTA SAMA DENGAN CINDOLO NA TAPE (2018)

4 komentar
Cinta Sama dengan Cindolo na Tape adalah tontonan membingungkan, canggung, layaknya pertemuan dengan gebetan yang berujung kekacauan, grogi, tidak tahu mesti berkata apa. Akhirnya untuk menyampaikan maksud sederhana pun sulit, hanya bisa meracau, bicara tidak keruan. Seperti film ini, yang bermaksud menyampaikan perihal sederhana, bahwa cinta serupa cendol dan tape, walau manis di awal akan basi kalau dibiarkan terlalu lama, tapi terbata-bata akibat terjebak dalam narasi tanpa arah pasti.

Film ini melanjutkan kisah film pendek berjudul sama karya Rusmin Nuryadin (kini menjadi penulis naskah) yang beberapa tahun lalu “meledak” di Makassar. Dua sahabat, Timi (A Thesar Resandy) dan Ian (Brilian Rexy Sondakh), yang di film pendeknya masih siswa SMP, sekarang telah duduk di bangku SMA. Hubungan mereka merenggang setelah Timi merasa mendapat pengaruh buruk dari Ian, yang gemar membolos, malas belajar, dan bergaul dengan berandalan. Singkatnya, Timi ingin bertobat. Sampai datang Cinde (Maizura), siswi pindahan dari Jakarta, yang seketika merenggut hati Timi, pun sebaliknya.

Ian menganggap kehadiran Cinde membuat Timi melupakannya. Dia bingung, mengapa kawan lamanya menjauh. Ian tidak sendiri. Saya pun bingung, kesulitan memahami jalan pikiran atau motivasi perbuatan semua karakternya. Ambil satu adegan sebagai contoh. Ian mendatangi Cinde, mencurahkan kekesalannya soal perubahan Timi. Cinde mengamini. Namun ketika Cinde coba menenangkan, Ian tersinggung, merasa si gadis malah membela Timi. Lalu Ian pergi sambil tetap mengomel, memaksa Cinde mengaku kalau sebenarnya ia menyukai Timi. Apa ada cinta segitiga di sini? Tersirat demikian di satu kesempatan, hanya untuk dibantah di kesempatan lain.

Semakin membingungkan, selain akibat naskahnya, juga karena ketidakmampuan sutradara Andi Burhamzah bertutur lewat visual dalam debutnya ini. Konon, diam punya jutaan arti, tapi Cinta Sama dengan Cindolo na Tape membuatnya jadi milyaran alias gagal memberi titik terang. Kesubtilan bisa berujung baik. Artinya sang pencerita menghargai intelegensi penonton, enggan menyuapi mereka. Tapi kesubtilan yang baik mesti mengandung petunjuk-petunjuk yang mengarahkan pemaknaan menuju satu tujuan, pula tidak saling berkontradiksi sebagaimana terjadi di sini.

Penampilan jajaran pemain makin menambah kekusutan, khususnya kala dituntut bicara melalui mimik wajah, yang ketimbang menyiratkan isi hati, justru menegaskan kecanggungan serta ketidaknyamanan di depan kamera. Apalagi sewaktu muncul jeda berhiaskan keheningan. Saya dibuat bertanya-tanya, apakah ada humor yang hendak menyusul? Apakah ini momen dramatis saat seseorang begitu terpana? Atau sekedar adegan yang dibiarkan mengalir terlalu lama di ruang penyuntingan? Departemen penyuntingan memang bermasalah.  Banyak adegan dimulai terlalu cepat atau diakhiri terlalu lama. Miskin dinamika, apalagi saat bersinggungan dengan barter kalimat antara pemain.  Kelemahan yang turut menyulut masalah pada komedinya.

Sebagian humornya berpotensi lucu. Di atas kertas, ide-ide segar Rusmin Nuryadin dapat dirasakan. Namun ide-ide tersebut mayoritas berupa humor yang membutuhkan gerak dinamis guna menciptakan kesan dadakan agar mampu tampil lucu. Lelucon soal cokelat adalah contoh sempurna ketika seluruh kekurangan-kekurangan bersatu membunuh kelucuan komedi. Naskah yang menambahkan dialog tak perlu pasca punch line, sutradara yang luput memainkan dinamika, penyuntingan yang sekedar “potong-dan-sambung”, hingga akting para pemain yang ada di ambang batas antara deadpan comic atau murni datar.

Sebaliknya, paparan dramanya justru bergerak liar ke sana kemari layaknya setumpuk film pendek dengan karakter sama namun tema berbeda yang dipaksa bersatu. Cinta Sama dengan Cindolo na Tape awalnya cuma kisah cinta biasa berbalut lika-liku dunia remaja: laki-laki bertemu perempuan, sang sahabat cemburu, pertemanan mereka renggang. Itu saja merupakan pondasi solid, tapi bak merasa belum cukup kompleks, konflik di atas menemukan resolusi di pertengahan durasi, kemudian filmnya berpindah menuju permasalahan berikutnya. Benang merahnya tetap sama. Tetap soal “Cinta adalah cindolo na tape”, tetap membahas para laki-laki “mati kiri” yang dibutakan cinta, melupakan teman-temannya. Tapi serupa karakternya, yakni remaja yang terombang-ambing tak menentu, Cinta Sama dengan Cindolo na Tape bergerak semaunya ke segala penjuru, menggantung penonton dalam ketidakpastian, layaknya akhir pahit sebuah hubungan romansa.

4 komentar :

Comment Page:

SESAT (2018)

4 komentar
Dalam Sesat, Sammaria Simanjuntak (Demi Ucok, Cin(t)a) menuntun kita menyusuri proses karakternya menghadapi duka. Diperlihatkan seluk beluknya dengan seksama, memastikan kita paham dan melangkah sesuai jalur, selama kita bersedia menaruh perhatian. Tapi saat tiba waktunya menangani teror makhluk halus pengabul permintaan, sang penunjuk jalan justru bak kebingungan sendiri. Keharusan menakut-nakuti, yang nampak bukan salah satu keahliannya, membuat Sammaria tersesat.

Bicara storytelling alias penceritaan, di antara jajaran horor lokal tahun ini, Sesat memang yang terbaik. Melalui naskah hasil karyanya bersama Evanggala Rasuli, Sammaria memaparkan sebuah keluarga kecil yang tidak sempurna, tapi jelas bahagia. Khususnya ketika menyoroti hubungan hangat Amara (Laura Theux) dengan ayahnya (Willem Bivers). Kehangatan singkat yang membuat saya ingin menghabiskan waktu lebih lama berada di tengah-tengah mereka. Begitu pula dengan Amara yang begitu terpukul setelah sang ayah meninggal. Sebab dialah pendukung terbesar mimpi Amara sebagai atlet, juga perekat kala ia dan sang ibu (Vonny Cornelia) kerap berselisih.

Kini bersama ibu dan adiknya, Kasih (Rebecca Klopper), Amara terpaksa tinggal di Desa Beremanyan, di rumah sang kakek (Arswendy Bening Swara), si penulis novel yang tampak merahasiakan sesuatu sebagaimana tatapan tak ramah nan misterius warga setempat. Makan waktu beberapa lama sampai Sesat memulai usahanya menggedor jantung penonton, tapi Sammaria tidak meninggalkan kita dalam kehampaan. Di tengah pergerakan lambat temponya, senantiasa hadir sesuatu untuk dituturkan, entah pergumulan batin Amara atau mitologi setan Beremanyan yang dijabarkan selangkah demi selangkah.

Berkat informasi dari seorang teman sekolah (Endy Arfian), Amara mengetahui kemampuan Beremanyan mengabulkan permintaan siapa saja yang memanggilnya, meski untuk itu, pengorbanan perlu dilakukan. Melalui kliping surat kabar yang tertempel di dinding ruang kerja kakek, kita diberi pemahaman akan riwayat Desa Beremanyan yang dinaungi keberuntungan. Amara pun yakin legenda tersebut benar adanya, dan tatkala ia akhirnya nekat melakukan ritual, itu bisa memaklumi, sebab campur aduk kesedihan akibat kehilangan, kerinduan, juga kesepian memang mampu menyeret manusia melakukan hal gila.

Saya tidak bisa membahas detail progresnya, kecuali bahwa Sesat melangkah ke ranah serupa karya klasik Brian De Palma, yang sekaligus menandai bertambahnya kecepatan laju film ini, sembari menyelipkan elemen gore yang cukup efektif memancing ngeri. Selain rapi bercerita, naskahnya menyimpan pengembangan menarik yang mengandung dua kejutan. Pertama perihal mitologi Beremanyan, yang muncul bukan sekedar atas nama efek kejut, pula masuk akal sekaligus memperkaya bangunan dunianya. Kedua, sewaktu Sammaria dan Evanggala memelintir selipan romansanya, yang justru menghadirkan relevansi seputar remaja. Apabila disimak, intisari keduanya saling bertautan, yakni ego yang meruntuhkan kepedulian.

Sejak tadi saya membahas elemen penceritaan, karena Sesat sendiri seperti memilih berkonsentrasi di sana. Sempat luput mengeksplorasi detail peran penting suatu benda kesayangan Amara yang berujung menciptakan kebingungan, pada akhirnya kebingungan penonton belum ada apa-apanya dibandingkan yang Sammaria rasakan sewaktu menyajikan teror. Selain peristiwa berdarah di sekolah plus jump scare pertama yang efektif menggedor jantung berkat ketepatan timing meski triknya tergolong murahan, praktis Sesat dipenuhi cara menakut-nakuti medioker.

Sammaria seolah terlalu khawatir menjadi murahan, kemudian memilih berhemat menampilkan sosok Beremanyan, yang akhirnya berujung fatal akibat pengadeganan canggung di sana-sini. Daripada penampakan si peneror, Sammaria lebih banyak menampilkan dampak yang terjadi pada korban. Tubuh mereka diseret, dilempar, dibanting ke sana kemari, dalam kemasan tak meyakinkan, yang acap kali didorong sudut kamera serta perpindahan adegan yang kurang memfasilitasi kengerian.  Musik buatan “trio Pengabdi Setan”, Aghi Narottama, Bemby Gusti, dan Tony Merle sesekali memperdengarkan sentuhan unik namun tak menolong lemahnya departemen penyutradaraan.

Ketimbang kulminasi teror, klimaksnya justru menjadi puncak kelemahan filmnya menebar teror. Sebenarnya, konklusi yang Sesat miliki adalah titik akhir yang sesuai untuk mengakhiri seluruh proses karakternya, namun ketiadaan puncak gejolak dalam pertarungan manusia melawan iblis, yang hadir tak sekuat pertarungan manusia melawan sisi gelapnya sendiri, meninggalkan ketidakpuasan teramat besar pasca filmnya usai. Sebuah potensi besar yang gagal terpenuhi, setidaknya Sesat bukan horor pesakitan, sekaligus memberi karir Laura Theux—yang membuat Amara lebih berwarna ketimbang banyak protagonis horor lokal—“nyawa baru” pasca Jaran Goyang yang memalukan.

4 komentar :

Comment Page:

CHRISTOPHER ROBIN (2018)

8 komentar
Bahkan sebelum Christopher Robin memaparkan permasalahannya, saat baru mencapai sekuen pembuka berupa hari perpisahan Christopher dengan teman-temannya para penghuni Hundred Acre Wood, mata saya sudah basah. Karena saya, dan kemungkinan banyak penonton dewasa lain, mengamini ketika Christopher berkata, “I’ve cracked”. Ditekan oleh apa yang sering disebut “realita”, yang pelan tapi pasti melucuti kebahagiaan kita. Momen pembuka itu menghadirkan haru karena mengembalikan ingatan saya akan hari-hari lalu yang lebih sederhana namun bahagia, tatkala tawa jadi barang yang murah harganya.

Beberapa ulasan menuding film ini melakukan simplifikasi terhadap problematika dunia nyata, ada juga yang menyebutnya menawarkan solusi tidak sehat karena mengajak penonton berlindung di bawah memori masa kecil ketimbang berdiri tegak menghadapi segala masalah. Yes, I’ve cracked indeed. Tapi saya bersyukur tidak jatuh sedalam penulis ulasan-ulasan di atas yang terlanjur dikuasai pil pahit kehidupan. Dan Christopher Robin bak pengingat supaya tak terjerumus ke lubang serupa.

Walau benar bahwa film ini sederhana. Ditulis oleh Alex Ross Perry (Queen of Earth, Nostalgia), Tom McCarthy (Up, Spotlight), dan Allison Schroeder (Hidden Figures) yang terinspirasi dari buku Winnie-the-Pooh karya A. A. Milne dan E. H. Shepard, yang juga menginspirasi terciptanya seri animasi produksi Disney, naskahnya setia mengikuti formula film keluarga khususnya soal hubungan berjarak ayah dan anak. Tentu perlu diingat bahwa petualangan Pooh dan kawan-kawan memang selalu sederhana, sebab kisahnya menelusuri masa kanak-kanak, di mana logika kaku serta kompleksitas pikir belum mengalahkan kekayaan imajinasi.

Bagi Christopher Robin (Ewan McGregor), logika dan kerumitan kini merupakan makanan sehari-hari. Gemblengan sekolah asrama hingga terjun ke medan perang membentuk pola pikir Christopher dewasa, yang telah menikahi Evelyn (Hayley Atwell), dan memiliki seorang puteri bernama Madeline (Bronte Carmichael). Kesibukan Christopher menghadirkan jarang antara ia dan Madeline, yang sebentar lagi bakal mengikuti jejaknya bersekolah di asrama, meski si gadis sendiri tak menginginkannya. Ditambah tekanan di kantor, makin runyam gejolak di hati Christopher. Sampai Pooh (Jim Cummings) datang berkunjung.

Christopher belum (atau menolak?) menyadari bahwa ia membutuhkan Pooh. Pikirannya berisi hal-hal yang (dia kira) diperlukan untuk menggapai kebahagiaan, daripada hal-hal yang sesungguhnya dia inginkan, yang bisa mempersembahkan kebahagiaan saat itu juga. Tapi film ini memastikan Christopher masih punya hati. Orientasinya pekerjaan, tapi ketika si atasan, Giles Winslow Jr. (Mark Gatiss), menyuruhnya memecat sejumlah karyawan demi penghematan, nuraninya menolak. Pun saat Pooh meminta bantuan mencari teman-temannya yang hilang, meski dikejar deadline, Christopher akhirnya bersedia. Kesediaan yang membawanya menuju rangkaian petualangan, termasuk pertarungan melawan Heffalumps, monster berwujud gajah yang memangsa rasa bahagia. Sejatinya Christopher lah Heffalumps itu. Dia memangsa kebahagiaannya sendiri, dan bukan mustahil, sang puteri.

Bila telah familiar dengan kisah Winnie the Pooh, atau setidaknya menonton animasi tahun 2011 yang menawan itu, anda tahu mesti berekspektasi apa. Sebuah petualangan make-believe sederhana tetapi sarat imajinasi yang menyenangkan diikuti berkat tingkah tokoh-tokohnya. Dihidupkan oleh CGI bernuansa realisme tanpa perlu kehilangan sentuhan cartoonish, mereka masih gemar (tanpa diniati) melontarkan lelucon bodoh yang mencapai puncak kelucuan tiap melibatkan permainan kata.

CGI mumpuni memudahkan kita percaya jika Ewan McGregor, yang punya pesona memadahi selaku tokoh utama di dunia semi-fantasi, benar-benar menggendong Eeyore atau membelai bulu lembut Pooh yang menggemaskan. Melengkapi elemen visualnya adalah sinematografi, yang berkat sensibilitas Matthias Koenigswieser di belakang kamera dalam menangkap cahaya senja maupun ekosistem Hundred Acre Wood, tampil selaras dengan kelihaian sutradara Mark Forster (Finding Neverland, Quantum of Solace, World War Z) menyusun adegan lembut yang ampuh menyentil rasa.

Butuh waktu hingga kisahnya mulai konsisten menampilkan kehangatan serta momen magis, pun perubahan 180 derajat hati Christopher Robin terasa mendadak. Proses untuk mencapai sana sudah cukup panjang, hanya untuk keteteran kala harus menampilkan titik balik yang meyakinkan. Namun Christopher Robin sudah cukup indah sekaligus bermakna, sehingga saya bersedia melupakan kekurangan-kekurangan tersebut. Film ini tidak mengajak menutup mata akan realita, tetapi jika kita bersedia berkorban guna mengejar keberhasilan dunia nyata, tidak ada salahnya sesekali berkorban meluangkan waktu sejenak, melupakan segalanya, lalu berbahagia bersama orang-orang tercinta.

8 komentar :

Comment Page:

MILE 22 (2018)

10 komentar
Melalui Mile 22, Peter Berg (Battleship, Lone Survivor, Deepwater Horizon) jelas ingin membuat The Raid versinya. Berg sendiri mengaku, bekerja bersama Iko Uwais merupakan alasannya membuat film ini. Menurut Gareth Evans, bukan saja aktor, Iko adalah pengarah laga (peran yang juga dilakoni di Mile 22) yang piawai menciptakan koreografi yang tampak menawan di kamera. Artinya, agar kemampuan itu terfasilitasi, gerakan buatannya perlu diperlihatkan seutuh mungkin, alih-alih dimutilasi oleh penyuntingan liar, trik malas yang jamak dipakai, termasuk di sini. Tapi kita sedang membicarakan Iko Uwais. Tidak ada yang bisa menghentikannya melambungkan kualitas sekuen aksi. Dampaknya bisa berkurang, namun tak bisa dilenyapkan. Ditambah kesediaan Berg menyipratkan darah, setiap laga yang melibatkan Iko dalam Mile 22 jauh lebih baik dibanding gabungan semua film aksi generik Hollywood.

Pertanyaannya, apa tujuan penyuntingan liarnya dipilih? Apalagi teknik itu dipakai bukan cuma di tengah baku hantam, melainkan keseluruhan film, menghasilkan momen-momen blink-it-and-you’ll-miss-it, yang berfungsi sebagai penjelas. Penonton dituntut menjaga fokus—yang mana melelahkan bila dilakukan terus menerus selama 94 menit—bila enggan tersesat. Untunglah, seperti telah disinggung, Berg ingin membuat The Raid versinya, yang berarti, mempunyai alur sesederhana mungkin. Sekelompok agen rahasia menempuh perjalanan 22 mil guna mengantar aset yang menyimpan kode perangkat keras berisi lokasi senjata pemusnah masal, sembari menghadapi pasukan yang dikirim musuh. Sesederhana itu.

Salah satu agen, James Silva (Mark Wahlberg), merupakan pria temperamental pengidap ADHD, yang sulit berdiam diri, dan bila suasana terlalu intens, memainkan karet gelang pemberian mendiang sang ibu yang selalu ia kenakan di tangan. Itu dia. Salah satu alasan Berg menerapkan kesan manic bagi temponya yaitu untuk menyelaraskan pergerakan film dengan kondisi mental protagonis. Perlukah? Tentu tidak. Lagipula Mile 22 tidak dituturkan melalui sudut pandang James dan berpusat pada dirinya seorang. James perlu berbagi porsi dengan beberapa tokoh lain.

Pertama Alice Kerr (Lauren Cohan), anggota tim James yang diberi subplot perihal kesulitannya menjaga hubungan dengan sang puteri pasca bercerai. Kisah sampingan ini coba menggambarkan bahwa profesi dalam bidang spionase tak memungkinkan orang-orangnya menjalani hidup normal, namun hanya tampil sekilas tanpa resolusi maupun dampak emosi. Tokoh kedua tentu saja Li Noor (Iko Uwais), polisi Indocarr yang mengkhianati bangsanya dengan membocorkan rahasia pada pihak Amerika.

Ya, anda tidak salah baca. Ketika negara lain seperti Rusia disebut memakai nama aslinya, Indonesia berubah menjadi Indocarr. Rumor menyebutkan, naskah buatan Lea Carpenter awalnya menggunakan nama Indonesia, pun filmnya sempat berniat mengambil gambar di sini. Sayang rencana itu batal akibat semrawutnya kondisi Jakarta serta ketiadaan insentif dari pemerintah. Alhasil, proses dipindah ke Bogota, Kolombia. Bisa dipahami, walau semestinya mereka bisa memikirkan alternatif nama yang lebih baik, sebab Indocarr terdengar seperti showroom mobil.

Memerankan sosok misterius, gaya kalem jelas cocok dilakoni Iko untuk sekarang, hingga kapasitas akting dramatiknya pelan-pelan meningkat suatu hari nanti. Paling tidak saya lebih nyaman menyaksikannya mengucap sepatah dua patah kata daripada akting berlebihan Mark Wahlberg, dengan mata melotot yang menggelikan serta pengucapan kalimat dibuat-buat selaku usaha mati-matian mengesankan sosok hiperaktif. Sedangkan pada porsi laga jelas Iko tak tertandingi. Menjalani mayoritas stunt-nya dengan tangan diborgol, dia menyayat tubuh lawan, meremukkan tulang mereka, bergerak indah bak penari menarikan tarian mematikan, membuktikan kapasitas sebagai bintang laga terbaik masa kini.

Kembali menyinggung persoalan penyuntingan kilat dan keliaran tempo, tampaknya tujuan Berg memilih teknik tersebut supaya mengurangi penurunan tensi, menjaga filmnya sepadat mungkin. Sense of urgency. Itu yang dicari, dan itu pula yang berhasil diciptakan. Walau kadang terasa bagai tes daya tahan, selama anda mampu bertahan, Mile 22 akan menjadi sajian laga spionase cepat, liar sekaligus cekatan, yang menolak melepaskan penonton dari cengkeraman intensitasnya. Berg paham betul alurnya setipis kertas, lalu memilih memacu filmnya agar penonton tidak berkesempatan menyadari itu kemudian merasa bosan.

10 komentar :

Comment Page:

DI BALIK LAYAR - CRAZY GIRLFRIEND STADIUM 3

8 komentar
Artikel kali ini bukan sebuah review, bukan pula membahas film, melainkan web series Crazy Girlfriend musim ketiga yang merupakan hasil produksi Web TV Asia Indonesia. Bukan, ini juga bukan artikel endorsement. Seperti judulnya, saya akan membahas sedikit proses di balik layar (sambil sedikit promosi) serial ini, karena kebetulan, saya berkontribusi menulis naskahnya.

Saya termasuk penonton musim pertamanya yang tayang awal 2017 lalu dan cukup menyukainya. Bukan konsep baru, tapi kegilaan Karina Nadila sebagai Gladys si pacar sinting jelas hiburan menyenangkan di waktu senggang. Lebih dari setahun berselang, Gandhi Fernando berniat melanjutkan Crazy Girlfriend yang cukup lama tertunda, salah satunya karena persoalan biaya.  Saya pun setuju menjadi penulis naskah, karena sebelumnya pun sempat menulis beberapa episode Gadun the Series.

Pertanyaannya, “Bagaimana membuat serial dengan biaya minim, atau bahkan sama sekali nihil?”. Akhirnya tercetus ide untuk mengubah konsep. Setelah musim pertama dan kedua yang memiliki story arc panjang dengan durasi tiap episode sekitar 5 menit (bahkan lebih), diputuskan bahwa musim ketiga cenderung berbentuk sketsa berdurasi 1-2 menit. Saya pun mulai menulis sekitar 15 episode. Proses yang cukup memusingkan, karena lagi-lagi terbentur soal dana, beberapa ide tidak bisa dimasukkan. Semua episode harus berlokasi di satu tempat (indoor) dan hanya melibatkan dua pemain: Karina dan Gandhi.

Saya sadar, setelah menembak pacarnya sendiri di musim kedua, meningkatkan kegilaan Gladys bukan hal mudah. Saya pun memutuskan menambah unsur absurditas (contohnya bisa dilihat di episode pertama yang saya unggah di bawah). Tapi itu saja tidak cukup. Perlu ada modifikasi lain. “Nino (Gandhi Fernando) harus lebih berperan dalam humornya!”, begitu pikir saya. Menyaksikan beberapa episode lama, saya berujar, “He’s too manly, too normal”. “Kejantanan” Nino pun saya lucuti. Jadilah musim ketiga menampilkan Nino yang baru, lebih lemah, lebih cengeng, lebih penakut, lebih pasif, lebih (merasa) teraniaya.

Ditambah beberapa skrip yang sudah Gandhi tulis sebelumnya (3 episode berkelanjutan yang menampilkan 2 bintang tamu), proses pengambilan gambar pun dimulai. Sekitar 12 episode diambil selama 1 hari. Sayang saya tidak bisa bercerita banyak mengenai proses ini karena kebetulan sedang ada di luar kota.
Sekarang episode pertama Crazy Girlfriend 3—yang seperti musim-musim sebelumnya masih disutradarai oleh Achmad Romieyang berjudul Kamu Selingkuh? akhirnya sudah diunggah di kanal YouTube Gandhi Fernando. Kalian juga bisa menonton episode pertamanya di bawah artikel ini. Selamat menikmati dengan santai!

8 komentar :

Comment Page:

GOLD (2018)

7 komentar
Saya menggemari sepak bola cukup lama (hampir 2 dekade) untuk tahu bahwa Gold mengeksplorasi ragam intriknya, khususnya yang terjadi di luar lapangan dengan baik. Tapi bukankah film ini mengangkat soal hoki lapangan? Benar, tapi kedua cabang olahraga tersebut menawarkan dinamika senada. Sama-sama dimainkan secara tim, dan—sebagaimana olahraga lain—memiliki federasi di tiap negara. Terpenting, keduanya sama-sama mampu menyatukang bangsa yang terpecah belah.  

Berbeda dibanding fillm olahraga kebanyakan, karya pertama sutradara Reema Kagti sejak Talaash: The Answer Lies Within enam tahun lalu ini dibuka oleh keberhasilan protagonisnya meraih gelar juara. Pada Olimpiade 1936 di Berlin, India merebut medali emas hoki lapangan untuk kali ketiga beruntun. Tapi baik bagi para atlet atau sang manajer, Tapan Das (Akshay Kumar), kemenangan itu terasa hambar, karena diraih di bawah nama British India. Saat itu India memang masih dijajah Inggris. Tapan pun bermimpi suatu hari, pasca kemerdekaan, tim nasional bakal menyabet emas Olimpiade dengan nama India, mengibarkan bendera India, menyanyikan lagu kebangsaan India ketimbang God Save the Queen.

Sampai Perang Dunia II meletus, dua penyelenggaraan Olimpiade pun dibatalkan, menghancurkan mimpi sekaligus kehidupan Tapan yang kini hanya pemabuk dengan setumpuk hutang. Maka tatkala Olimpiade 1948 di London resmi diumukan, ia menawarkan diri memimpin tim hoki lapangan India untuk meraih emas sekaligus mengalahkan para penjajah di negerinya sendiri. Balas dendam setelah penindasan 200 tahun pun dicanangkan. Dari sosok “hero”, Tapan sempat terjerumus menjadi “zero”, lalu berusaha meraih status “hero” kembali.

Kita tahu nantinya Tapan bakal dianggap pahlawan lagi, namun jalan menuju ke sana tidak sesederhana itu. Beberapa pemain, termasuk Samrat (Kunal Kapoor) sang legenda hoki India pula kapten timnas 8 tahun lalu, telah memutuskan pensiun. Tapan harus membentuk tim baru, yang tentu menyimpan setumpuk rintangan termasuk perihal finansial. Ketua federasi mendukung 100%, tapi Mr. Mehta (Atul Kale) selaku sekretaris justru berusaha sekuat tenaga menyingirkan Tapan dengan mengeksploitasi citra buruknya. Bukan rahasia kalau musuh terbesar atlet negara bukan lawan di turnamen melainkan para petinggi yang terlampau campur tangan entah demi kepentingan pribadi atau golongan. Bentuk campur tangan mereka bahkan sampai pada keputusan di ruang ganti. Gold memberi kita visualisasi akan skenario tersebut.

Masalah seputar pemain tak kalah runyam. Skuat sudah terkumpul hanya untuk terpecah, yang ironisnya akibat kemerdekaan, di mana sebagian besar anggota tim menjadi warga negara Pakistan. Belum lagi pertikaian dua pemain andalan, si kaya Raghubir Pratap Singh (Amit Sadh) dengan Himmat Singh (Sunny Kaushal), karena berebut posisi penyerang. Sedangkan pemain lain turut terbagi dalam kubu sesuai suku serta daerah masing-masing. Beranjak dari situ, naskah buatan Rajesh Devraj menjabarkan nilai sportivitas pertama, yakni soal kerja sama tim. Dan sebagai film olahraga yang baik, Gold menawarkan solusi atas masalah di atas lewat suatu metode latihan, yang efektif menjelaskan pesannya baik pada para atlet maupun penonton. Tentu kenyataannya takkan sesederhana itu. Sekali latihan mustahil menyelesaikan segalanya. Namun dalam realita film yang terbatas durasi, selama intisari berhasil disampaikan, itu sudah cukup.

Kembali mengenai perebutan posisi Raghubir-Himmat, datang nilai sportivitas berikutnya, mengenai kesabaran serta kesediaan mengesampingkan ego. Hal begini jamak terjadi. Salah satu pemain dicadangkan atau dimainkan di posisi yang tak diinginkan, sehingga ia memutuskan menyerah, menyulut masalah, atau pergi dari tim. Saat akhirnya Raghubir dan Himmat sanggup menyiasati persoalan itu untuk bersatu demi bangsa, emosi saya pun ikut bergejolak.

Gold membawa penonton menuju roller coaster emosi. Penyutradaraan Reema Kagti terhadap momen pertandingan memang tidak spesial. Kadang pilihan sudut kamera kurang mengakomodasi para pemain pamer kemampuan atau aksi saling oper cantik selaku bukti bahwa tim mulai padu. Tetapi ketegangan  tetap setia mencengkeram, sebab perjuangan protagonisnya mudah menggaet simpati. Saya ingin tim nasional India membawa pulang medali emas. Jadi jangan heran kalau tiap mereka mencetak gol atau memenangkan pertandingan, air mata haru turut mengalir.

Anda tidak sendiri. Akshay Kumar hadir untuk menangis, meluapkan amarah, dan berteriak menggugah semangat juang bersama penonton. Setelah Pad Man di awal tahun (dan deretan performa memukau tahun-tahun sebelumnya), sekali lagi Akshay menampilkan raut wajah yang terasa begitu jujur berekspresi, alhasil penonton dibuat merasakan emosi serupa. Pun dia suntikkan aliran energi dalam beberapa sekuen musikal. Deretan lagunya diproduksi oleh Zee Music Company, sehingga anda bisa berekspektasi mendengar nomor-nomor yang begitu bersahabat di telinga.

Momen pamungkasnya memilih pendekatan kontemplatif ketimbang euforia total. Melihat proses yang Tapan lalui, pilihan tersebut dapat dimengerti walau membuat konklusinya urung mencapai puncak potensi emosi. Tapi jika—seperti saya—anda menyaksikan Gold bersama warga atau keturunan India, ketika lagu kebangsaan terdengar di penghujung film dan mereka mulai berdiri (budaya yang mestinya bisa kita contoh), “hutang emosi” film ini rasanya langsung terbayar lunas. Konflik ras serta agama boleh memecah masyarakat, bahkan lebih buruk, menghancurkan bangsa. Tapi Gold memastikan, bahwa olahraga, atau dalam konteks ini hoki, siap merekatkan semuanya.

7 komentar :

Comment Page:

GENTAYANGAN (2018)

6 komentar
Jangan tonton film ini sendirian. Bukan karena Gentayangan begitu mengerikan, melainkan berbagai kekurangannya lebih mengasyikkan bila ditertawakan bersama teman-teman. Ketika belakangan perfilman kita dibanjiri horor berkualitas tiarap, Gentayangan jadi makhluk langka. Keburukannya tidak membuat hati panas seperti produk-produk MD Pictures, tapi kekonyolan yang termasuk teritori so-bad-it’s-good, hingga nyaris membuatnya layak menerima gelar “Azrax-nya horor tanah air”. Satu-satunya penghalang adalah masih terdapat “kelemahan konvensional” macam jump scare ala kadarnya yang dibalut musik berisik.

Bukan hasil mengejutkan bila melihat keberadaan Shyam Ramsay, sang legenda horor kelas B Bollywood yang karyanya terdiri atas judul-judul seperti Purana Mandir (1984), Veerana (1988), hingga Bandh Darwaza (1990), meski bagi publik Indonesia, mungkin karyanya yang paling dikenal adalah serial Nagin. Saya menonton beberapa filmnya, sehingga tahu mesti berekspektasi apa dan harus memasang perspektif bagaimana kala menyikapi Gentayangan. Jadi sewaktu tali yang menarik Ronny P. Tjandra masih tampak jelas, saya harus menganggapnya sebagai bagian hiburan, bukan kelalaian yang wajib dicaci, walau itu bukan suatu kesengajaan.

Ceritanya berpusat pada Abimanyu (Baim Wong) yang terpaksa mengajak keluarganya pindah ke Hotel Kaki Langit peninggalan orang tuanya setelah bisnisnya bangkrut. Tidak butuh waktu lama sampai hantu-hantu gentayangan mulai mengganggu mereka dalam teror yang terinspirasi dari kengerian di Hotel Overlook milik The Shining (1980). Bahkan beberapa referensi terhadap film buatan Stanley Kubrick itu pun bermunculan, seperti penggunaan kapak, juga momen ikonik “Here’s Johnny!”.

Masalah finansial Abimanyu tak pernah menemui jalan keluar, tapi saya menyukai bagaimana naskah yang ditulis Adi Nugroho (Kuldesak, Jelangkung, Ruang) menyediakan alasan logis mengapa Abimanyu sekeluarga tidak segera meninggalkan hotel. Kesulitan uang menghilangkan opsi tinggal di tempat lain, ditambah lagi larangan pergi dari pihak kepolisian pasca peristiwa berdarah mulai terjadi. Saya bisa merasakan ada film bagus terkubur dalam Gentayangan (berdasarkan kisah di balik layar yang saya dengar memang demikian faktanya). Konsep terornya menyiratkan hal serupa. Walau beberapa medioker, ada segelintir yang kreatif, sebutlah “bola kepala” dan hantu wanita yang terbang, merenggut salah satu karakter dari belakang.

Justru penyutradaraan Shyam Ramsay yang sudah membuat film selama 46 tahun jadi pelaku jatuhnya kualitas Gentayangan. Menolak memperhatikan timing di setiap jump scare, Shyam pun gagal membangun atmosfer, walau hotel dengan sederet patung sebagai properti merupakan modal memadahi guna mencuatkan kesan mencekam berbasis set. Tapi jika bukan karena sang legenda hidup, kita takkan memperoleh barisan kekonyolan. Shyam membiarkan pemainnya berakting buruk, dan acap kali, kombinasi dua aspek itu (penyutradaraan + akting) menghasilkan hiburan tiada tara.

Perihal tersebut, gelar MVP (Most Valuable Player, bukan Multivision Plus) jadi milik Jelita Callebaut yang memerankan Sheila, adik Abimanyu. Menjalani debut yang sayangnya kurang jelita, sang aktris membalikkan tubuh bak bintang iklan sampo sedang mengibaskan rambut yang berkibar-kibar. Dia pun kelabakan kala diminta mengikuti pekikan khas para Scream Queens. Teriakannya dipaksakan, kaku, akibat harus melalui ancang-ancang yang begitu kentara, atau terkadang, memakai dua kali tarikan nafas supaya terdengar panjang. Berkat Jelita, pefroma dangkal Nadine Alexandra sebagai Sofia, istri Abimanyu, kalah menonjol.

Bertengger di posisi kedua adalah Haydar Salishz sebagai Arman yang memukau lewat akting sekaku otot orang yang kurang olahraga. Contohnya sudah dibeberkan oleh trailer. Didorong hantu, Arman tersungkur menabrak meja dalam sebuah pemandangan dibuat-buat konyol. Semakin konyol kala Haydar berteriak datar, “Siapa di situ?!”. Momen emas ini mencapai puncak setelah Kania (Brianna Simorangkir), kekasih Arman, menjawab “Ada orang di sini? Ada orang di situ? Nggak kelihatan tuh. Jangan-jangan...hantu?”. Sungguh materi meme yang sempurna. Kasus berbeda dialami Baim Wong yang berusaha keras memberi layer dalam interpretasinya soal frustrasi. Baim berniat menambah dinamika, menolak asal berteriak, coba variatif memainkan intonasi walau tak selalu berhasil dan kadang menciptakan kelucuan tak disengaja lain.

6 komentar :

Comment Page: