WIRO SABLENG: PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 (2018)
Rasyidharry
Agustus 30, 2018
Action
,
Angga Dwimas Sasongko
,
Fariz Alfarazi
,
Indonesian Film
,
Lumayan
,
Marsha Timothy
,
REVIEW
,
Ruth Marini
,
Seno Gumira Ajidarma
,
Sheila Timothy
,
Sherina Munaf
,
Tumpal Tampubolon
,
Vino G. Bastian
,
Yayan Ruhian
66 komentar
Saya bukan pembaca novel Wiro Sableng karya Bastian Tito yang
konon berjumlah 183 judul, pun memori akan serialnya sedikit buram karena usia
yang masih terlalu muda untuk memproses secara lengkap, walau serupa bocah-bocah
yang tumbuh di era 90an, lagu temanya amat menancap di kepala. Tapi saya gemar
membaca komik termasuk manga. Ketika
sederet karakter berpenampilan kerena dengan kemampuan tak kalah keren
berkumpul, bertarung bersama dalam satu pertempuran dahsyat, walau beberapa
dari mereka muncul di saat yang terlalu tepat pula tanpa motivasi jelas kecuali
memeriahkan suasana, saya sudah dibuat kegirangan. Itulah inti film Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212.
Kita bertemu si A, B, C,
berkesempatan menyaksikan mereka adu ilmu meski kepribadian mereka tak pernah
benar-benar kita tahu. Setidaknya kita tahu tentang Wiro (Vino G. Bastian)
dengan masa lalu tragis yang tergambar di adegan pembuka tatkala melihat
langsung Mahesa Birawa (Yayan Ruhian) membantai kedua orang tuanya. Selama 17
tahun berikutnya, Wiro ditempa oleh Sinto Gendeng (Ruth Marini) yang mewariskan
ilmu silat 212 beserta kapak maut naga geni miliknya. Demikian pula Vino,
meneruskan warisan sang ayah memerankan si pendekar sableng dengan baik.
Bersikap bak bocah gila, Vino bertukar canda bersama Ruth Marini, yang meski
ditutupi riasan tebal, mampu menyelipkan emosi, di luar tentunya kegendengan menggelitik. Interaksi
Wiro-Sinto selalu berhasil memancing tawa.
Sinto Gendeng menugaskan muridnya
memburu Mahesa Birawa tanpa memberi tahu bahwa dialah pembunuh orang tuanya,
sebab fakta itu bakal menyulut nafsu balas dendam yang menggiring pendekar
menuju kegelapan. Sebuah poin, yang oleh trio penulis naskahnya: Sheila Timothy
(juga selaku produser), Tumpal Tampubolon (Tabula
Rasa, Rocket Rain), dan Seno Gumira Ajidarma (Pendekar Tongkat Emas), dijadikan pesan filosofis yang memang wajib
tersimpan dalam film martial arts.
Sepanjang perjalanan, Wiro bertemu
sekumpulan tokoh-tokoh unik seperti Dewa Tuak (Andy /rif) serta muridnya,
Anggini (Sherina Munaf), Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarazi), dan Marsha
Timothy sebagai Bidadari Angin Timur yang demikian glamor layaknya penghuni
kahyangan dalam balutan gaun rancangan Tex Saverio. Akhirnya tidak ada satu pun
dari nama-nama tadi yang bisa kita tinjau lebih dalam karakterisasinya, namun
mereka sanggup menghadirkan interaksi hidup dengan pahlawan kita, sehingga di
sela-sela aksi pun hiburannya tetap berjalan lancar.
Senang mendapati di dalam ambisi
menciptakan blockbuster raksasa yang
digarap luar biasa serius, film ini tidak bersikap “sok serius” saat bertutur.
Karena di antara memori-memori buram di kepala, satu hal yang saya ingat pasti
terkait serial Wiro Sableng adalah
elemen kerasnya dunia persilatan dan kejenakaan yang saling mengisi dan berpadu
mulus. Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 terbukti menghormati warisan pendahulunya, dengan contoh
terbaik pada satu adegan ketika satu sosok familiar muncul sementara musik yang
tak kalah familiar turut mengalun di belakang.
Yayan Ruhian adalah Mahesa Birawa,
pemimpin sekelompok bandit yang berencana merebut tampuk kekuasaan dari Raja
Kamandaka yang diperankan Dwi Sasono, yang melafalkan kalimat menggunakan suara
tenggorokan layaknya Christian Bale sebagai Batman, sebagai usaha menjauhkan
cap “komedian”. Bukan saja berakting, Yayan turut memegang posisi pengarah
laga, memastikan setiap baku hantam terjalin dinamis. Beruntung, biarpun ini
merupakan satu langkah mengejar pencapaian Hollywood, Angga Dwimas Sasongko (Filosofi Kopi, Surat dari Praha, Bukaan 8)
urung terjangkit penyakit banyak film aksi produksi mereka yang menerapkan quick cut plus shaky cam overdosis. Kamera Ipung Rachmat Syaiful (Kala, Janji Joni, Surga yang tak Dirindukan
2) bergerak seperlunya, menangkap cukup jelas tiap jurus para pendekar. Sayang,
satu kelemahan justru bertempat pada satu pukulan pamungkas yang mengakibatkan
puncak pertarungan berakhir antiklimaks.
Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 telah
memancing obrolan ketika 20th Century Fox melalui bendera Fox International
Productions turut serta memproduksi filmnya. Alhasil biaya sebesar US$
3 juta atau sekitar Rp 44 miliar pun didapat. Angka yang besar bagi kita, namun
tergolong mikro pada lingkup Hollywood (that’s
even smaller than “The Raid 2: Berandal”), sehingga kurang bijak apabila
berharap parade CGI sekelas blockbuster
seharga ratusan juta dollar. CGI diterapkan tepat guna, memperlihatkan hasil mumpuni
terlebih kala membungkus beragam jurus, dengan salah satu momen paling menarik
saat Kala Hijau (Gita Arifin) terjun ke medan pertempuran. Tapi elemen visual Wiro Sableng bukan sebatas CGI.
Departemen artistiknya, dari dekorasi istana selaku panggung klimaks yang
berkilauan hingga tata busana yang berjasa mengkreasi tokoh-tokoh berpenampilan
ikonik, amat memuaskan mata. Terima kasih pada Adrianto Sinaga (Ada Apa dengan Cinta?, Tusuk Jelangkung)
dan tim.
Gangguan justru diciptakan tata
suaranya. Musik garapan Aria Prayogi (dwilogi The Raid, Killers, Headshot) berusaha terdengar bombastis, dan ya,
gempuran perkusinya sanggup menghadirkan intensitas di berbagai momen laga,
tapi sewaktu bertemu celetukan-celetukan karakternya, terjadi perlombaan berat
sebelah melawan kalimat yang aktornya ucapkan. Kalimat-kalimat yang kerap tenggelam,
sulit dicerna, memaksa saya mengandalkan subtitle
Bahasa Inggris guna memahami dialog Bahasa Indonesia.
Jadi begitulah. This isn’t a great movie, but definitely a highly entertaining one.
Hiburan yang memahami cara memancing tawa, hiburan yang tahu bagaimana
menciptakan suguhan, yang walau tak mendalam, tersaji nikmat, apalagi tatkala
klimaksnya menempatkan nyaris seluruh karakter dalam pertarungan meski tak
seluruhnya dipersatukan dalam satu frame
dan beberapa di antaranya bertindak selaku deus-ex-machina.
Pastinya, Wiro Sableng: Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 telah membuka jalan blockbuster
Indonesia melangkah ke tingkat lebih tinggi. Jangan segera beranjak dari
tempat duduk begitu film usai, karena terdapat mid-credits scene yang menyiratkan musuh besar berikutnya, yang
diperankan salah satu aktor terbesar Indonesia sekarang.
PETUALANGAN MENANGKAP PETIR (2018)
Rasyidharry
Agustus 27, 2018
Abimana Aryasatya
,
Bima Azriel
,
Comedy
,
Cukup
,
Darius Sinathrya
,
Drama
,
Eddie Chayono
,
Fatih Unru
,
Indonesian Film
,
Jujur Prananto
,
Kuntz Agus
,
Putri Ayudya
,
REVIEW
,
Slamet Rahardjo
4 komentar
Petualangan Menangkap Petir adalah film menyenangkan dengan
tokoh sentral anak-anak, meski bukan film anak yang sepenuhnya berhasil. Sebab
bila terlontar pertanyaan mengenai pesan apa yang dapat diserap, saya hanya
bisa menjawab, “Jadi orang tua jangan protektif secara berlebihan”, dan “Cobalah
memahami keinginan anak”. Sebagai film anak, karya penyutradaraan ketiga Kuntz
Agus (#republiktwitter, Surga yang Tak
Dirindukan) ini malah lebih lantang mengkritisi kalangan dewasa walau
meluangkan sepanjang durasi menyoroti aktivitas karakter bocahnya. Mungkin ini
hasil proses bawah sadar ketika para pembuatnya, serupa salah satu dialog yang
mereka tulis, kerap “lupa cara menjadi anak kecil”.
Tujuan dasar Petualangan Menangkap Petir sebenarnya sederhana, yakni melecut supaya
anak-anak tak ragu mengejar mimpi, juga berpetualang ke luar rumah, bertemu
teman-teman nyata ketimbang melulu berkutat di balik gadget dan dunia maya.
Tapi dalam konteks film ini, bila pokok-pokok bahasan di atas dirunut kembali,
semua masalah justru berpangkal di orang tua ketimbang anak. Bukan sang anak,
Sterling (Bima Azriel) yang meragu, melainkan sang ibu, Beth (Putri Ayudya)
yang mengekang. Semua tergantung pada Beth. Masalah hanya akan tuntas saat Beth
yang tersadar, bukan Sterling.
Meninjau situs personalnya, dapat
disimpulkan Beth adalah seorang penggiat soal pendidikan terhadap anak, yang
kerap membahas bagaimana agar anak bisa bermain sesuka hati, bersenang-senang
tanpa perlu membahayakan diri dengan keluar rumah. Berbanding terbalik dengan
sang suami, Mahesa (Darius Sinathrya), yang sejatinya ingin Sterling mengeksplorasi
dunia luar, namun enggan menyulut masalah dengan Beth. Sterling, yang selama
ini tinggal di Hong Kong, menjadi YouTuber
tenar berkat beragam konten kreatif, berinteraksi dengan ribuan “teman” meski
tak ada satu pun pernah ia temui langsung.
Kesuksesan itu membuat Sterling
berat hati kala orang tuanya memutuskan pindah ke Jakarta. Sementara persiapan
kepindahan dilakukan, Sterling dititipkan di
rumah kakeknya (Slamet Rahardjo) di Selo, Boyolali. Kekhawatiran bakal
merasa jengah karena tinggal di kampung seketika sirna pasca bertemu Gianto
alias Jaiyen (Fatih Unru) dengan segala gairahnya soal film khususnya akting.
Mengetahui aktivitas Sterling di YouTube, Jaiyen pun langsung mengajaknya
membuat film mengenai legenda Ki Ageng Sela yang konon, sanggup menangkap petir
ketika tengah bertani.
Aktivitas Sterling di Selo
mengasyikkan, apalagi bagi penonton seperti saya yang berasal dari daerah
pedesaan di Jawa. Semua terasa familiar, dari lokasi sampai cara interaksi
penuh selorohan menggelitik warga berlogat setempat, termasuk kemunculan
singkat duo Pangsit-Benjo sebagai penjual jamu tradisional. Para aktor ciliknya
pun tampak menikmati, yangjadi elemen terkait anak terbaik di film ini. Bima
Azriel apik memerankan seorang bocah yang jengah atas tekanan bertubi-tubi
ibunya. Bima memperlihatkan seperti apa kekesalan terpendam yang pelan-pelan
dipupuk, menunggu meledak di kemudian hari. Keberhasilan Putri Ayudya
memerankan ibu super protektif yang memudahkan kita mendukung “pemberontakan”
Sterling. Jangan kaget kalau Beth mengingatkan pada sosok-sosok di sekitar
anda.
Tapi pencuri perhatian terbesar
tetap Fatih Unru yang bukan cuma jago mengocok perut, juga melakoni momen
dramatik. Ada adegan ketika ia dituntut melakukan akting dalam akting, dan itu
tampak meyakinkan, mematenkan Jaiyen sebagai pondasi motivasi pengejaran mimpi
filmnya. Agak aneh sebenarnya saat motivasi motivasi itu datang dari sosok
pendukung ketimbang Sterling yang seringkali sekedar mengikuti kemauan
sobatnya. Jaiyen sendiri bicara bak orang dewasa penggemar film alih-alih anak
kecil dengan kemurnian mimpinya. Eddie Cahyono (Siti) dan Jujur Prananto (Ada
Apa Dengan Cinta? Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara) selaku penulis naskah berusaha
memposisikan diri sebagai anak kecil, kemudian gagal, bak aktor yang berakting
buruk.
Guna menolong proses pembuatan
film, Sterling dan Jaiyen meminta bantuan dua videografer pernikahan, Arifin
(Abimana Aryasatya) dan Kriwil (Arie Kriting), yang konon pernah membuat film
fenomenal, namun secara tersirat disampaikan bahwa mereka tak pernah
merampungkan karya itu, sehingga berbagi mimpi serupa kedua bocah tersebut. Menurut
Ifa Isfansyah selaku produser eksekutif, Petualangan
Menangkap Petir didasari mimpinya bersama Kuntz Agus membuat film anak dan
film tentang film. Sayang, mereka sulit menahan diri untuk tidak menyelipkan
filosofi mengenai film, seperti kalimat “film itu magis” atau penyebutan
istilah macam “Mise-en-scène”, yang
terdengar kurang pas di film anak. Semoga beruntung menjelaskan artinya pada
anak-anak anda. Hal-hal “ke-sinema-an” tadi dicuapkan Abimana, yang akhirnya
memerankan karakter “serius tapi santai” seperti saat mencuri perhatian tujuh
tahun lalu di Catatan Harian Si Boy
walau penokohan Arifin sendiri dangkal.
Seperti saya sebutkan di awal, di
luar setumpuk kelemahannya, Petualangan
Menangkap Petir masih sebuah tontonan menyenangkan. Kuntz Agus mampu
membungkus kegiatan karakternya membuat film dengan seru. Bocah-bocah ini tidak
peduli meski cuma berbekal properti buatan tangan seadanya juga akting
sebisanya, sebab mereka hanya berniat bersenang-senang. Setidaknya Petualangan Menangkap Petir berpotensi
menyediakan alternatif kegiatan aktif bagi anak: Membuat film. Walau lagi-lagi, menurut film ini, semuanya tergantung pada orang tua.
SEARCHING (2018)
Rasyidharry
Agustus 27, 2018
Aneesh Chaganty
,
Debra Messing
,
John Cho
,
Michelle La
,
REVIEW
,
Sangat Bagus
,
Sara Sohn
,
Sev Ohanian
,
Thriller
32 komentar
“Could you please tell me everything you know about your son/daughter?”.
Tentu kita sering mendengar pertanyaan serupa diajukan pihak kepolisian
terhadap orang tua dalam film tentang hilangnya seseorang. Tapi David Kim (John
Cho) tidak benar-benar mampu menjawab. Dia tidak berteman atau mengikuti sang
puteri, Margot (Michelle La), di sosial media, tidak pula mengenal satu pun
temannya di dunia nyata. Kondisi yang menjadikan Searching—seperti tagline-nya—bukan
cuma usaha mencari keberadaan Margot, juga proses David mencari tahu siapa
Margot sesungguhnya.
Beberapa arsip dari kompter
keluarga Kim membuka filmnya, menunjukkan tahun-tahun bahagia mereka, sedari
lahirnya Margot, video aktivitas bersama, sampai foto-foto hari pertama tiap
Margot menempuh tahun ajaran baru di sekolah. Iringan musik indah berbasis
piano buatan Torin Borrowdale akan membuat hati terenyuh seketika. Musiknya bak
diambil dari katalog Pixar, dan secara kebetulan, ini merupakan montage pembuka paling menyentuh yang
pernah saya saksikan sejak Up (2009).
Sayang, seperti Up, montage dalam debut penyutradaraan Aneesh
Chaganty berujung duka kala istri David, Pamela (Sara Sohn), meninggal akibat
kanker. Lalu segalanya berubah.
David enggan membahas perihal
kematian sang istri, mengakibatkan hubungannya dengan Margot merenggang. Saat
suatu malam si gadis remaja tak kembali pulang, David pun kelimpungan. Polisi
dihubungi, kasus orang hilang dibuka, investigasi dimulai. David sendiri
melakukan pencarian via internet, memeriksa akun sosial media juga podcast buatan Margot, yang berperan membuka
mata David, bahwa ia sama sekali tak mengenal sang puteri. David tak mampu
mengunjungi langsung teman-teman Margot sebab ia tak tahu siapa mereka,
menjadikan proses mencari melalui internet suatu langkah masuk akal. Itu
bantuan terbesar yang bisa David sumbangkan untuk Detektif Rosemary Vick (Debra
Messing) yang bertugas menangani kasusnya.
Investigasi online David secara mengejutkan tampil realistis. Mencari kata
sandi akun melalui verifikasi surel, memanfaatkan Google guna mencari nomor
kontak, semua merupakan hal-hal yang bisa, bahkan kemungkinan sering penonton
lakukan. Dan—koreksi kalau saya salah—seluruh situs yang Searching munculkan benar-benar bisa diakses. Pada film di mana
internet berperan besar, tentu tidak lengkap jika kisahnya tak menyentil
perilaku warganet. Begitu pemberitaan kasus Margot membesar, rekan-rekan
sekelas yang tak terlalu akrab berbondong-bondong mengaku sebagai sahabat, latah
menyuarakan simpati melalui status media sosial. Tidak dalam kuantitas besar,
namun elemen di atas cukup memberi satir menggelitik seputar kepalsuan dan
panjat sosial dunia maya.
Beberapa penonton tentu akan
menyandingkan Searching dengan Unfriended (2014) mengingat keduanya
sama-sama mengambil sudut pandang rekaman webcam.
Tapi tidak. Searching mengembangkan
teknik itu lebih jauh. Bukan aja komputer, telepon genggam, CCTV, hingga
liputan berita turut dipakai, memberi variasi penjaga kestabilan intensitas tanpa
perlu melenceng dari konsep dasar. Variasi lain dimiliki tone-nya, yang meski serius dan sesekali menyentuh teritori yang
cukup kelam, naskah buatan Aneesh Chaganty dan Sev Ohanian masih punya waktu menyelipkan
humor, yang makin lucu karena bukan mustahil, beberapa kerap kita lakukan
selama menjalani keseharian bersosial media.
Sebagai sutradara, Chaganty melakukan
pekerjaan luar biasa ketika sanggup mengangkat tensi ke tingkatan lebih tinggi
ketika film memasuki pertengahan, yang biasanya, jadi momen saat thriller kehilangan daya cengkeramnya.
Peningkatan tersebutbertempat di “adegan danau”, sewaktu investigasinya “banting
setir”, bergerak ke arah tak terduga yang semakin darurat, semakin genting,
semakin menegangkan. Dan semakin intens filmnya, bertambah pula tantangan bagi
John Cho menghadirkan performa meyakinkan mengingat hampir sepanjang durasi, ia
hanya menatap layar komputer maupun telepon genggam. Tapi Cho lancar mengolah
rasa, mejadikan film ini layaknya rekaman pengakuan dosa yang jujur dan
personal.
Setiap fase pencarian mengungkap
fakta baru sedikit demi sedikit, dan setiap fakta, mengarahkan kita menuju
kejutan. Banyak kejutan. Setelah skenario suatu situasi berjalan, memang mudah
menebak apakah itu faktual atau misleading,
tapi anda takkan menduga kebenaran sesunggunya. Setidaknya, tidak secara detail
nan menyeluruh. Pun kebenaran tersebut masih selaras dengan tema utama film,
bukti jika keberadaannya bukan semata demi faktor kejutan. Twist terbaik tidak (hanya) dinilai dari seberapa mengejutkan. Twist terbaik tidak datang entah dari
mana, tapi serupa yang dicontohkan Searching,
tertanam sepanjang film. Andai kita dan David memberi perhatian lebih.....
SULTAN AGUNG: TAHTA, PERJUANGAN, CINTA (2018)
Rasyidharry
Agustus 26, 2018
Adinia Wirasti
,
Ario Bayu
,
Biography
,
Christine Hakim
,
Cukup
,
Deddy Sutomo
,
Faozan Rizal
,
Hanung Bramantyo
,
Indonesian Film
,
Lukman Sardi
,
Marthino Lio
,
Putri Marino
,
REVIEW
7 komentar
Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta menempatkan penonton di
posisi sebagaimana kita sehari-hari, sebagai rakyat, menyikapi seorang
pemimpin. Coba pikirkan, seberapa sering anda meragukan Camat, Bupati,
Gubernur, sampai Presiden? Kita cenderung—dan merupakan hal wajar—menghakimi mereka
berdasarkan apa yang terlihat kini. Karena kita pun tidak tahu menahu soal
pertimbangan di belakang. Apalagi saat suatu keputusan lebih berorientasi
jangka panjang. Masalahnya, walau film ini berhasil menghadirkan pemahaman soal
proses di balik layar itu, hal paling esensial, yakni hasil, urung ditampilkan.
Pembicaraan terkait politik beserta
filosofi di belakangnya memang rumit, namun satu jam pertama Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta
tampil lebih sederhana, yang mana merupakan paruh terbaiknya. Wajah bila sederhana,
sebab inilah masa di mana Sultan Agung alias Raden Mas Rangsang (Marthino Lio)
masih muda dan berguru pada Ki Jejer (Deddy Sutomo) di padepokan. Menimba ilmu,
baik fisik maupun batin, jadi konsentrasi utama, yang tentu saja diselingi romantika.
Raden Mas Rangsang memadu kasih dengan Lembayung (Putri Marino), seorang rakyat
biasa.
Romansanya hidup, selain berkat
selipan interaksi keseharian santai kaya selipan humor, juga perpaduan apik
Marthino-Marino. Putri Marino memudahkan siapa saja mencintai Lembayung, si
gadis dengan kekuatan fisik pula batin. Ya, batinnya tergoncang kala Raden Mas
Rangsang didapuk sebagai Raja sehingga mesti pulang ke Kraton sekaligus
menikahi wanita lain yang ditentukan mendiang ayahnya. Tapi seiring kemampuan
Putri mengguncang hati penonton lewat luapan emosi, turut ditegaskan bahwa ia ikhlas,
memahami jika tiada pilihan. Jadilah elemen romansanya tak menyentuh ranah
dramatisasi opera sabun. Ini tentang sepasang muda-mudi kuat yang mendahulukan
kepentingan negeri.
Di antaranya, beberapa adegan laga
yang disusun solid oleh Hanung Bramantyo sesekali mengisi, menghasilkan adu
jurus menghibur khas kisah pendekar masa lampau. Fase masa muda Sultan Agung
ditutup perebutan kekuasaan sarat intrik serta pertumpahan darah yang mana tak
pernah lepas dari sejarah kerajaan mana pun. Kemudian kisahnya melompat beberapa
tahun, beranjak menyelami konflik politis kompleks dan peperangan kolosal yang mengetengahkan
perlawanan Kerajaan Mataram terhadap Vereenigde
Oostindische Compagnie alias VOC.
Dari Marthino Lio, Sultan Agung dewasa
anti diperankan Ario Bayu. Anda akan sadar betapa cerdik casting film ini begitu melihat kemiripan paras kedua aktor. Ario memerankan
Sultan Agung yang telah tumbuh jadi Raja berkepribadian keras yang menolak
berkompromi kala VOC berusaha menundukkan Mataram melalui kedok kerja sama
dagang dengan aturan mencekik. Lembayung dewasa diperankan Adinia Wirasti, yang
bukan saja jago mengolah rasa, juga meyakinkan melakoni porsi aksi. Sementara
Ario, lewat wibawanya, mulus memerankan Raja yang mantap menyerukan teriakan perang
“Mukti utawa mati!”.
Sultan Agung memutuskan menabuh
genderang perang, mengerahkan ribuan rakyat termasuk sekumpulan petani guna
menyerbu VOC di Batavia, meski menurut beberapa pihak termasuk sang paman, Tumenggung
Notoprojo (Lukman Sardi), itu bak misi bunuh diri. Tapi Sultan tidak bergeming.
Mengapa harus mengalah kalau ujungnya kehilangan harga diri sebagai budak
penjajah? Di sini kompleksitas muncul, ketika mereka yang menaruh kepercayaan
sekalipun, pasti akan bertanya-tanya, “Apakah Sultan sudah dibutakan harga diri
sampai membiarkan ribuan rakyat meregang nyawa?”.
Korban berjatuhan, pasukan Mataram tersudut,
kian mudah baik bagi rakyat dan penonton meragukan Sultan. Sepanjang
pertempuran, jarang kita melihat Sultan, apalagi memperoleh detail soal
pendorong keputusan kontroversialnya. Naskah karya BRA Mooryati Soedibyo (juga
produser dan produser eksekutif), Ifan Ismail (The Gift, Ayat-Ayat Cinta 2), dan Bagas Pudjilaksono memang sengaja
meninggalkan penonton dalam ketidaktahuan, serupa yang dialami pasukan Mataram di
medan perang, yang lebih sering kita tengok kondisinya. Kita sama-sama ada
dalam “ruang gelap”, menduga-duga maksud Sultan sebagaimana pada umumnya rakyat
mempertanyakan sikap sang pemimpin.
Sekuen peperangan di benteng
Batavia tampil problematik. Benar tata artistik, semisal kostum dan properti
persenjataan tampak solid. CGI yang dipakai menggambarkan ribuan manusia di
medan laga pun nyaman dilihat. Poin mengganjal justru ketiadaan paparan taktik.
Apa taktik Mataram, hingga Jan Pieterzoon Coen (Hans de Kraker) kaget,
mempertanyakan dari mana mereka paham cara mengepung benteng? Kita hanya akan
melihat serbuan acak yang terkesan asal gempur. Lalu apa sebab VOC berbalik
unggul? Tidak ada perubahan taktik, kecuali mendadak beberapa orang, termasuk
J.P. Coen, menembakkan senapan (yang anehnya, merupakan pengulangan adegan flashback sebelumnya). Atau karena
menang jumlah? Sulit dipastikan, mengingat sepanjang sekuen, pasukan Mataram justru
terlihat unggul kuantitas.
Setelah lokasi pindah ke hutan,
baru peperangan lebih menarik. Satu-satunya momen berisi taktik jitu hadir di
sini, sewaktu prajurit Mataram menggunakan otak, memanfaatkan alam guna memberi
pukulan terbesar bagi VOC. Pada fase ini, ada tata kamera menarik berupa siluet
berlatar belakang warna jingga dari nyala obor. Faozan Rizal memang ahli bermain
bayangan. Contoh lain eksplorasi bayangan dalam sinematografi tersaji ketika
ibunda Sultan Agung, Gusti Ratu Banowati (Christine Hakim) memberi petuah kepada
sang anak. Suasana ruang remang-remang, sebagian wajah Christine maupun Marthino
gelap, memunculkan keintiman nan khidmat.
Kembali menuju keputusan
kontroversial Sultan. Pernyataan jika perang ini bakal terasa dampaknya 100
tahun ke depan merupakan kunci. Saat itulah asumsi saya menjadi fakta, didukung
oleh sekuen berikutnya, yang menegaskan mengapa kebesaran Sultan Agung perlu
kita ketahui. Sultan memikirkan masa depan. Dia memupuk bibit generasi
mendatang agar kelak dapat menuai perjuangan generasi kini, yang dengan
terpaksa harus berkorban bertaruh nyawa. Masalahnya, hasil nyata siasat Sultan
Ahanya ditaruh di teks sebelum credit
akhir. Kita tak pernah melihatnya divisualisasikan. Itu kenapa, setelah 148
menit, Sultan Agung: Tahta, Perjuangan,
Cinta terasa baru melaju separuh jalan. Tidak peduli seberapa mumpuni, separuh
jalan tetaplah kurang utuh.
CINTA SAMA DENGAN CINDOLO NA TAPE (2018)
Rasyidharry
Agustus 24, 2018
A Thesar Resandy
,
Andi Burhamzah
,
Brilian Rexy Sondakh
,
Comedy
,
Indonesian Film
,
Jelek
,
Maizura
,
REVIEW
,
Romance
,
Rusmin Nuryadin
4 komentar
Cinta Sama dengan Cindolo na Tape adalah tontonan membingungkan,
canggung, layaknya pertemuan dengan gebetan yang berujung kekacauan, grogi,
tidak tahu mesti berkata apa. Akhirnya untuk menyampaikan maksud sederhana pun sulit,
hanya bisa meracau, bicara tidak keruan. Seperti film ini, yang bermaksud menyampaikan
perihal sederhana, bahwa cinta serupa cendol dan tape, walau manis di awal akan
basi kalau dibiarkan terlalu lama, tapi terbata-bata akibat terjebak dalam
narasi tanpa arah pasti.
Film ini melanjutkan kisah film
pendek berjudul sama karya Rusmin Nuryadin (kini menjadi penulis naskah) yang
beberapa tahun lalu “meledak” di Makassar. Dua sahabat, Timi (A Thesar Resandy)
dan Ian (Brilian Rexy Sondakh), yang di film pendeknya masih siswa SMP,
sekarang telah duduk di bangku SMA. Hubungan mereka merenggang setelah Timi
merasa mendapat pengaruh buruk dari Ian, yang gemar membolos, malas belajar,
dan bergaul dengan berandalan. Singkatnya, Timi ingin bertobat. Sampai datang
Cinde (Maizura), siswi pindahan dari Jakarta, yang seketika merenggut hati
Timi, pun sebaliknya.
Ian menganggap kehadiran Cinde
membuat Timi melupakannya. Dia bingung, mengapa kawan lamanya menjauh. Ian
tidak sendiri. Saya pun bingung, kesulitan memahami jalan pikiran atau motivasi
perbuatan semua karakternya. Ambil satu adegan sebagai contoh. Ian mendatangi
Cinde, mencurahkan kekesalannya soal perubahan Timi. Cinde mengamini. Namun ketika
Cinde coba menenangkan, Ian tersinggung, merasa si gadis malah membela Timi. Lalu
Ian pergi sambil tetap mengomel, memaksa Cinde mengaku kalau sebenarnya ia
menyukai Timi. Apa ada cinta segitiga di sini? Tersirat demikian di satu
kesempatan, hanya untuk dibantah di kesempatan lain.
Semakin membingungkan, selain akibat
naskahnya, juga karena ketidakmampuan sutradara Andi Burhamzah bertutur lewat
visual dalam debutnya ini. Konon, diam punya jutaan arti, tapi Cinta Sama dengan Cindolo na Tape membuatnya
jadi milyaran alias gagal memberi titik terang. Kesubtilan bisa berujung baik.
Artinya sang pencerita menghargai intelegensi penonton, enggan menyuapi mereka.
Tapi kesubtilan yang baik mesti mengandung petunjuk-petunjuk yang mengarahkan
pemaknaan menuju satu tujuan, pula tidak saling berkontradiksi sebagaimana
terjadi di sini.
Penampilan jajaran pemain makin
menambah kekusutan, khususnya kala dituntut bicara melalui mimik wajah, yang
ketimbang menyiratkan isi hati, justru menegaskan kecanggungan serta
ketidaknyamanan di depan kamera. Apalagi sewaktu muncul jeda berhiaskan
keheningan. Saya dibuat bertanya-tanya, apakah ada humor yang hendak menyusul?
Apakah ini momen dramatis saat seseorang begitu terpana? Atau sekedar adegan
yang dibiarkan mengalir terlalu lama di ruang penyuntingan? Departemen
penyuntingan memang bermasalah. Banyak adegan
dimulai terlalu cepat atau diakhiri terlalu lama. Miskin dinamika, apalagi saat
bersinggungan dengan barter kalimat antara pemain. Kelemahan yang turut menyulut masalah pada komedinya.
Sebagian humornya berpotensi lucu.
Di atas kertas, ide-ide segar Rusmin Nuryadin dapat dirasakan. Namun ide-ide
tersebut mayoritas berupa humor yang membutuhkan gerak dinamis guna menciptakan
kesan dadakan agar mampu tampil lucu. Lelucon soal cokelat adalah contoh
sempurna ketika seluruh kekurangan-kekurangan bersatu membunuh kelucuan komedi.
Naskah yang menambahkan dialog tak perlu pasca punch line, sutradara yang luput memainkan dinamika, penyuntingan
yang sekedar “potong-dan-sambung”, hingga akting para pemain yang ada di ambang
batas antara deadpan comic atau murni
datar.
Sebaliknya, paparan dramanya justru
bergerak liar ke sana kemari layaknya setumpuk film pendek dengan karakter sama
namun tema berbeda yang dipaksa bersatu. Cinta
Sama dengan Cindolo na Tape awalnya cuma kisah cinta biasa berbalut
lika-liku dunia remaja: laki-laki bertemu perempuan, sang sahabat cemburu, pertemanan
mereka renggang. Itu saja merupakan pondasi solid, tapi bak merasa belum cukup
kompleks, konflik di atas menemukan resolusi di pertengahan durasi, kemudian
filmnya berpindah menuju permasalahan berikutnya. Benang merahnya tetap sama.
Tetap soal “Cinta adalah cindolo na tape”,
tetap membahas para laki-laki “mati kiri” yang dibutakan cinta, melupakan
teman-temannya. Tapi serupa karakternya, yakni remaja yang terombang-ambing tak
menentu, Cinta Sama dengan Cindolo na
Tape bergerak semaunya ke segala penjuru, menggantung penonton dalam
ketidakpastian, layaknya akhir pahit sebuah hubungan romansa.
SESAT (2018)
Rasyidharry
Agustus 24, 2018
Aghi Narottama
,
Arswendy Bening Swara
,
Bemby Gusti
,
Cukup
,
Endy Arfian
,
Evanggala Rasuli
,
horror
,
Indonesian Film
,
Laura Theux
,
Rebecca Klopper
,
REVIEW
,
Sammaria Simanjuntak
,
Tony Merle
,
Vonny Cornelia
4 komentar
Dalam Sesat, Sammaria Simanjuntak (Demi
Ucok, Cin(t)a) menuntun kita menyusuri proses karakternya menghadapi duka.
Diperlihatkan seluk beluknya dengan seksama, memastikan kita paham dan
melangkah sesuai jalur, selama kita bersedia menaruh perhatian. Tapi saat tiba
waktunya menangani teror makhluk halus pengabul permintaan, sang penunjuk jalan
justru bak kebingungan sendiri. Keharusan menakut-nakuti, yang nampak bukan salah
satu keahliannya, membuat Sammaria tersesat.
Bicara storytelling alias penceritaan, di antara jajaran horor lokal tahun
ini, Sesat memang yang terbaik. Melalui
naskah hasil karyanya bersama Evanggala Rasuli, Sammaria memaparkan sebuah
keluarga kecil yang tidak sempurna, tapi jelas bahagia. Khususnya ketika
menyoroti hubungan hangat Amara (Laura Theux) dengan ayahnya (Willem Bivers).
Kehangatan singkat yang membuat saya ingin menghabiskan waktu lebih lama berada
di tengah-tengah mereka. Begitu pula dengan Amara yang begitu terpukul setelah
sang ayah meninggal. Sebab dialah pendukung terbesar mimpi Amara sebagai atlet,
juga perekat kala ia dan sang ibu (Vonny Cornelia) kerap berselisih.
Kini bersama ibu dan adiknya, Kasih
(Rebecca Klopper), Amara terpaksa tinggal di Desa Beremanyan, di rumah sang
kakek (Arswendy Bening Swara), si penulis novel yang tampak merahasiakan
sesuatu sebagaimana tatapan tak ramah nan misterius warga setempat. Makan waktu
beberapa lama sampai Sesat memulai
usahanya menggedor jantung penonton, tapi Sammaria tidak meninggalkan kita
dalam kehampaan. Di tengah pergerakan lambat temponya, senantiasa hadir sesuatu
untuk dituturkan, entah pergumulan batin Amara atau mitologi setan Beremanyan
yang dijabarkan selangkah demi selangkah.
Berkat informasi dari seorang teman
sekolah (Endy Arfian), Amara mengetahui kemampuan Beremanyan mengabulkan
permintaan siapa saja yang memanggilnya, meski untuk itu, pengorbanan perlu
dilakukan. Melalui kliping surat kabar yang tertempel di dinding ruang kerja
kakek, kita diberi pemahaman akan riwayat Desa Beremanyan yang dinaungi
keberuntungan. Amara pun yakin legenda tersebut benar adanya, dan tatkala ia
akhirnya nekat melakukan ritual, itu bisa memaklumi, sebab campur aduk
kesedihan akibat kehilangan, kerinduan, juga kesepian memang mampu menyeret
manusia melakukan hal gila.
Saya tidak bisa membahas detail progresnya,
kecuali bahwa Sesat melangkah ke
ranah serupa karya klasik Brian De Palma, yang sekaligus menandai bertambahnya
kecepatan laju film ini, sembari menyelipkan elemen gore yang cukup efektif memancing ngeri. Selain rapi bercerita,
naskahnya menyimpan pengembangan menarik yang mengandung dua kejutan. Pertama perihal
mitologi Beremanyan, yang muncul bukan sekedar atas nama efek kejut, pula masuk
akal sekaligus memperkaya bangunan dunianya. Kedua, sewaktu Sammaria dan
Evanggala memelintir selipan romansanya, yang justru menghadirkan relevansi seputar
remaja. Apabila disimak, intisari keduanya saling bertautan, yakni ego yang meruntuhkan
kepedulian.
Sejak tadi saya membahas elemen
penceritaan, karena Sesat sendiri
seperti memilih berkonsentrasi di sana. Sempat luput mengeksplorasi detail peran
penting suatu benda kesayangan Amara yang berujung menciptakan kebingungan,
pada akhirnya kebingungan penonton belum ada apa-apanya dibandingkan yang
Sammaria rasakan sewaktu menyajikan teror. Selain peristiwa berdarah di sekolah
plus jump scare pertama yang efektif
menggedor jantung berkat ketepatan timing
meski triknya tergolong murahan, praktis Sesat
dipenuhi cara menakut-nakuti medioker.
Sammaria seolah terlalu khawatir
menjadi murahan, kemudian memilih berhemat menampilkan sosok Beremanyan, yang
akhirnya berujung fatal akibat pengadeganan canggung di sana-sini. Daripada
penampakan si peneror, Sammaria lebih banyak menampilkan dampak yang terjadi
pada korban. Tubuh mereka diseret, dilempar, dibanting ke sana kemari, dalam
kemasan tak meyakinkan, yang acap kali didorong sudut kamera serta perpindahan
adegan yang kurang memfasilitasi kengerian. Musik buatan “trio Pengabdi Setan”, Aghi Narottama, Bemby Gusti, dan Tony Merle
sesekali memperdengarkan sentuhan unik namun tak menolong lemahnya departemen
penyutradaraan.
Ketimbang kulminasi teror,
klimaksnya justru menjadi puncak kelemahan filmnya menebar teror. Sebenarnya,
konklusi yang Sesat miliki adalah
titik akhir yang sesuai untuk mengakhiri seluruh proses karakternya, namun
ketiadaan puncak gejolak dalam pertarungan manusia melawan iblis, yang hadir
tak sekuat pertarungan manusia melawan sisi gelapnya sendiri, meninggalkan
ketidakpuasan teramat besar pasca filmnya usai. Sebuah potensi besar yang gagal
terpenuhi, setidaknya Sesat bukan
horor pesakitan, sekaligus memberi karir Laura Theux—yang membuat Amara lebih
berwarna ketimbang banyak protagonis horor lokal—“nyawa baru” pasca Jaran Goyang yang memalukan.
CHRISTOPHER ROBIN (2018)
Rasyidharry
Agustus 22, 2018
Alex Ross Perry
,
Allison Schroeder
,
Bagus
,
Comedy
,
Drama
,
Ewan McGregor
,
Fantasy
,
Hayley Atwell
,
Jim Cummings
,
Marc Forster
,
REVIEW
,
Tom McCarthy
8 komentar
Bahkan sebelum Christopher Robin memaparkan permasalahannya, saat baru mencapai
sekuen pembuka berupa hari perpisahan Christopher dengan teman-temannya para
penghuni Hundred Acre Wood, mata saya sudah basah. Karena saya, dan kemungkinan
banyak penonton dewasa lain, mengamini ketika Christopher berkata, “I’ve cracked”. Ditekan oleh apa yang
sering disebut “realita”, yang pelan tapi pasti melucuti kebahagiaan kita.
Momen pembuka itu menghadirkan haru karena mengembalikan ingatan saya akan hari-hari
lalu yang lebih sederhana namun bahagia, tatkala tawa jadi barang yang murah
harganya.
Beberapa ulasan menuding film ini
melakukan simplifikasi terhadap problematika dunia nyata, ada juga yang
menyebutnya menawarkan solusi tidak sehat karena mengajak penonton berlindung
di bawah memori masa kecil ketimbang berdiri tegak menghadapi segala masalah. Yes, I’ve cracked indeed. Tapi saya
bersyukur tidak jatuh sedalam penulis ulasan-ulasan di atas yang terlanjur dikuasai
pil pahit kehidupan. Dan Christopher
Robin bak pengingat supaya tak terjerumus ke lubang serupa.
Walau benar bahwa film ini
sederhana. Ditulis oleh Alex Ross Perry (Queen
of Earth, Nostalgia), Tom McCarthy (Up,
Spotlight), dan Allison Schroeder (Hidden
Figures) yang terinspirasi dari buku Winnie-the-Pooh
karya A. A. Milne dan E. H. Shepard, yang juga menginspirasi terciptanya seri
animasi produksi Disney, naskahnya setia mengikuti formula film keluarga
khususnya soal hubungan berjarak ayah dan anak. Tentu perlu diingat bahwa petualangan
Pooh dan kawan-kawan memang selalu sederhana, sebab kisahnya menelusuri masa
kanak-kanak, di mana logika kaku serta kompleksitas pikir belum mengalahkan
kekayaan imajinasi.
Bagi Christopher Robin (Ewan
McGregor), logika dan kerumitan kini merupakan makanan sehari-hari. Gemblengan
sekolah asrama hingga terjun ke medan perang membentuk pola pikir Christopher
dewasa, yang telah menikahi Evelyn (Hayley Atwell), dan memiliki seorang puteri
bernama Madeline (Bronte Carmichael). Kesibukan Christopher menghadirkan jarang
antara ia dan Madeline, yang sebentar lagi bakal mengikuti jejaknya bersekolah
di asrama, meski si gadis sendiri tak menginginkannya. Ditambah tekanan di
kantor, makin runyam gejolak di hati Christopher. Sampai Pooh (Jim Cummings)
datang berkunjung.
Christopher belum (atau menolak?)
menyadari bahwa ia membutuhkan Pooh. Pikirannya berisi hal-hal yang (dia kira)
diperlukan untuk menggapai kebahagiaan, daripada hal-hal yang sesungguhnya dia
inginkan, yang bisa mempersembahkan kebahagiaan saat itu juga. Tapi film ini
memastikan Christopher masih punya hati. Orientasinya pekerjaan, tapi ketika si
atasan, Giles Winslow Jr. (Mark Gatiss), menyuruhnya memecat sejumlah karyawan
demi penghematan, nuraninya menolak. Pun saat Pooh meminta bantuan mencari
teman-temannya yang hilang, meski dikejar deadline,
Christopher akhirnya bersedia. Kesediaan yang membawanya menuju rangkaian
petualangan, termasuk pertarungan melawan Heffalumps, monster berwujud gajah
yang memangsa rasa bahagia. Sejatinya Christopher lah Heffalumps itu. Dia
memangsa kebahagiaannya sendiri, dan bukan mustahil, sang puteri.
Bila telah familiar dengan kisah
Winnie the Pooh, atau setidaknya menonton animasi tahun 2011 yang menawan itu,
anda tahu mesti berekspektasi apa. Sebuah petualangan make-believe sederhana tetapi sarat imajinasi yang menyenangkan
diikuti berkat tingkah tokoh-tokohnya. Dihidupkan oleh CGI bernuansa realisme
tanpa perlu kehilangan sentuhan cartoonish,
mereka masih gemar (tanpa diniati) melontarkan lelucon bodoh yang mencapai
puncak kelucuan tiap melibatkan permainan kata.
CGI mumpuni memudahkan kita percaya
jika Ewan McGregor, yang punya pesona memadahi selaku tokoh utama di dunia
semi-fantasi, benar-benar menggendong Eeyore atau membelai bulu lembut Pooh
yang menggemaskan. Melengkapi elemen visualnya adalah sinematografi, yang
berkat sensibilitas Matthias Koenigswieser di belakang kamera dalam menangkap
cahaya senja maupun ekosistem Hundred Acre Wood, tampil selaras dengan
kelihaian sutradara Mark Forster (Finding
Neverland, Quantum of Solace, World War Z) menyusun adegan lembut yang
ampuh menyentil rasa.
Butuh waktu hingga kisahnya mulai
konsisten menampilkan kehangatan serta momen magis, pun perubahan 180 derajat
hati Christopher Robin terasa mendadak. Proses untuk mencapai sana sudah cukup
panjang, hanya untuk keteteran kala harus menampilkan titik balik yang
meyakinkan. Namun Christopher Robin
sudah cukup indah sekaligus bermakna, sehingga saya bersedia melupakan
kekurangan-kekurangan tersebut. Film ini tidak mengajak menutup mata akan
realita, tetapi jika kita bersedia berkorban guna mengejar keberhasilan dunia
nyata, tidak ada salahnya sesekali berkorban meluangkan waktu sejenak, melupakan
segalanya, lalu berbahagia bersama orang-orang tercinta.
MILE 22 (2018)
Rasyidharry
Agustus 22, 2018
Action
,
Iko Uwais
,
Lauren Cohan
,
Lea Carpenter
,
Lumayan
,
Mark Wahlberg
,
Peter Berg
,
REVIEW
,
Thriller
10 komentar
Melalui Mile 22, Peter Berg (Battleship,
Lone Survivor, Deepwater Horizon) jelas ingin membuat The Raid versinya. Berg sendiri mengaku, bekerja bersama Iko Uwais
merupakan alasannya membuat film ini. Menurut Gareth Evans, bukan saja aktor,
Iko adalah pengarah laga (peran yang juga dilakoni di Mile 22) yang piawai menciptakan koreografi yang tampak menawan di kamera.
Artinya, agar kemampuan itu terfasilitasi, gerakan buatannya perlu
diperlihatkan seutuh mungkin, alih-alih dimutilasi oleh penyuntingan liar, trik
malas yang jamak dipakai, termasuk di sini. Tapi kita sedang membicarakan Iko
Uwais. Tidak ada yang bisa menghentikannya melambungkan kualitas sekuen aksi. Dampaknya
bisa berkurang, namun tak bisa dilenyapkan. Ditambah kesediaan Berg menyipratkan
darah, setiap laga yang melibatkan Iko dalam Mile 22 jauh lebih baik dibanding gabungan semua film aksi generik
Hollywood.
Pertanyaannya, apa tujuan
penyuntingan liarnya dipilih? Apalagi teknik itu dipakai bukan cuma di tengah
baku hantam, melainkan keseluruhan film, menghasilkan momen-momen blink-it-and-you’ll-miss-it, yang
berfungsi sebagai penjelas. Penonton dituntut menjaga fokus—yang mana
melelahkan bila dilakukan terus menerus selama 94 menit—bila enggan tersesat.
Untunglah, seperti telah disinggung, Berg ingin membuat The Raid versinya, yang berarti, mempunyai alur sesederhana
mungkin. Sekelompok agen rahasia menempuh perjalanan 22 mil guna mengantar aset
yang menyimpan kode perangkat keras berisi lokasi senjata pemusnah masal, sembari
menghadapi pasukan yang dikirim musuh. Sesederhana itu.
Salah satu agen, James
Silva (Mark Wahlberg), merupakan pria temperamental pengidap ADHD, yang sulit berdiam
diri, dan bila suasana terlalu intens, memainkan karet gelang pemberian
mendiang sang ibu yang selalu ia kenakan di tangan. Itu dia. Salah satu alasan
Berg menerapkan kesan manic bagi temponya
yaitu untuk menyelaraskan pergerakan film dengan kondisi mental protagonis. Perlukah?
Tentu tidak. Lagipula Mile 22 tidak
dituturkan melalui sudut pandang James dan berpusat pada dirinya seorang. James
perlu berbagi porsi dengan beberapa tokoh lain.
Pertama Alice Kerr (Lauren Cohan),
anggota tim James yang diberi subplot perihal kesulitannya menjaga hubungan
dengan sang puteri pasca bercerai. Kisah sampingan ini coba menggambarkan bahwa
profesi dalam bidang spionase tak memungkinkan orang-orangnya menjalani hidup
normal, namun hanya tampil sekilas tanpa resolusi maupun dampak emosi. Tokoh
kedua tentu saja Li Noor (Iko Uwais), polisi Indocarr yang mengkhianati
bangsanya dengan membocorkan rahasia pada pihak Amerika.
Ya, anda tidak salah baca. Ketika
negara lain seperti Rusia disebut memakai nama aslinya, Indonesia berubah
menjadi Indocarr. Rumor menyebutkan, naskah buatan Lea Carpenter awalnya
menggunakan nama Indonesia, pun filmnya sempat berniat mengambil gambar di
sini. Sayang rencana itu batal akibat semrawutnya kondisi Jakarta serta
ketiadaan insentif dari pemerintah. Alhasil, proses dipindah ke Bogota, Kolombia.
Bisa dipahami, walau semestinya mereka bisa memikirkan alternatif nama yang
lebih baik, sebab Indocarr terdengar seperti showroom mobil.
Memerankan sosok misterius, gaya
kalem jelas cocok dilakoni Iko untuk sekarang, hingga kapasitas akting
dramatiknya pelan-pelan meningkat suatu hari nanti. Paling tidak saya lebih
nyaman menyaksikannya mengucap sepatah dua patah kata daripada akting
berlebihan Mark Wahlberg, dengan mata melotot yang menggelikan serta pengucapan
kalimat dibuat-buat selaku usaha mati-matian mengesankan sosok hiperaktif.
Sedangkan pada porsi laga jelas Iko tak tertandingi. Menjalani mayoritas stunt-nya dengan tangan diborgol, dia
menyayat tubuh lawan, meremukkan tulang mereka, bergerak indah bak penari
menarikan tarian mematikan, membuktikan kapasitas sebagai bintang laga terbaik
masa kini.
Kembali menyinggung persoalan
penyuntingan kilat dan keliaran tempo, tampaknya tujuan Berg memilih teknik
tersebut supaya mengurangi penurunan tensi, menjaga filmnya sepadat mungkin. Sense of urgency. Itu yang dicari, dan
itu pula yang berhasil diciptakan. Walau kadang terasa bagai tes daya tahan,
selama anda mampu bertahan, Mile 22
akan menjadi sajian laga spionase cepat, liar sekaligus cekatan, yang menolak
melepaskan penonton dari cengkeraman intensitasnya. Berg paham betul alurnya
setipis kertas, lalu memilih memacu filmnya agar penonton tidak berkesempatan
menyadari itu kemudian merasa bosan.
DI BALIK LAYAR - CRAZY GIRLFRIEND STADIUM 3
Rasyidharry
Agustus 20, 2018
Achmad Romie
,
Gandhi Fernando
,
Indonesian Film
,
Karina Nadila
,
TV Series
8 komentar
Artikel kali ini bukan sebuah review, bukan pula membahas film,
melainkan web series Crazy Girlfriend musim ketiga yang merupakan hasil produksi Web TV Asia Indonesia. Bukan,
ini juga bukan artikel endorsement.
Seperti judulnya, saya akan membahas sedikit proses di balik layar (sambil
sedikit promosi) serial ini, karena kebetulan, saya berkontribusi menulis
naskahnya.
Saya termasuk penonton musim
pertamanya yang tayang awal 2017 lalu dan cukup menyukainya. Bukan konsep baru,
tapi kegilaan Karina Nadila sebagai Gladys si pacar sinting jelas hiburan
menyenangkan di waktu senggang. Lebih dari setahun berselang, Gandhi Fernando
berniat melanjutkan Crazy Girlfriend
yang cukup lama tertunda, salah satunya karena persoalan biaya. Saya pun setuju menjadi penulis naskah, karena
sebelumnya pun sempat menulis beberapa episode Gadun the Series.
Pertanyaannya, “Bagaimana membuat
serial dengan biaya minim, atau bahkan sama sekali nihil?”. Akhirnya tercetus
ide untuk mengubah konsep. Setelah musim pertama dan kedua yang memiliki story arc panjang dengan durasi tiap
episode sekitar 5 menit (bahkan lebih), diputuskan bahwa musim ketiga cenderung
berbentuk sketsa berdurasi 1-2 menit. Saya pun mulai menulis sekitar 15
episode. Proses yang cukup memusingkan, karena lagi-lagi terbentur soal dana,
beberapa ide tidak bisa dimasukkan. Semua episode harus berlokasi di satu
tempat (indoor) dan hanya melibatkan
dua pemain: Karina dan Gandhi.
Saya sadar, setelah menembak
pacarnya sendiri di musim kedua, meningkatkan kegilaan Gladys bukan hal mudah. Saya
pun memutuskan menambah unsur absurditas (contohnya bisa dilihat di episode
pertama yang saya unggah di bawah). Tapi itu saja tidak cukup. Perlu ada
modifikasi lain. “Nino (Gandhi Fernando) harus lebih berperan dalam humornya!”,
begitu pikir saya. Menyaksikan beberapa episode lama, saya berujar, “He’s too manly, too normal”. “Kejantanan”
Nino pun saya lucuti. Jadilah musim ketiga menampilkan Nino yang baru, lebih lemah, lebih cengeng, lebih penakut, lebih pasif, lebih (merasa) teraniaya.
Ditambah beberapa skrip yang sudah
Gandhi tulis sebelumnya (3 episode berkelanjutan yang menampilkan 2 bintang
tamu), proses pengambilan gambar pun dimulai. Sekitar 12 episode diambil selama
1 hari. Sayang saya tidak bisa bercerita banyak mengenai proses ini karena
kebetulan sedang ada di luar kota.
Sekarang episode pertama Crazy Girlfriend 3—yang seperti
musim-musim sebelumnya masih disutradarai oleh Achmad Romie—yang berjudul Kamu
Selingkuh? akhirnya sudah diunggah di kanal YouTube Gandhi Fernando. Kalian juga bisa menonton episode pertamanya di bawah artikel ini. Selamat
menikmati dengan santai!
GOLD (2018)
Rasyidharry
Agustus 19, 2018
Akshay Kumar
,
Amit Sadh
,
Atul Kale
,
Bagus
,
Drama
,
History
,
Kunal Kapoor
,
Rajesh Devraj
,
Reema Kagti
,
REVIEW
,
Sports
,
Sunny Kaushal
7 komentar
Saya menggemari sepak bola cukup
lama (hampir 2 dekade) untuk tahu bahwa Gold
mengeksplorasi ragam intriknya, khususnya yang terjadi di luar lapangan dengan
baik. Tapi bukankah film ini mengangkat soal hoki lapangan? Benar, tapi kedua
cabang olahraga tersebut menawarkan dinamika senada. Sama-sama dimainkan secara
tim, dan—sebagaimana olahraga lain—memiliki federasi di tiap negara.
Terpenting, keduanya sama-sama mampu menyatukang bangsa yang terpecah belah.
Berbeda dibanding fillm olahraga
kebanyakan, karya pertama sutradara Reema Kagti sejak Talaash: The Answer Lies Within enam tahun lalu ini dibuka oleh
keberhasilan protagonisnya meraih gelar juara. Pada Olimpiade 1936 di Berlin, India
merebut medali emas hoki lapangan untuk kali ketiga beruntun. Tapi baik bagi
para atlet atau sang manajer, Tapan Das (Akshay Kumar), kemenangan itu terasa
hambar, karena diraih di bawah nama British India. Saat itu India memang masih
dijajah Inggris. Tapan pun bermimpi suatu hari, pasca kemerdekaan, tim nasional
bakal menyabet emas Olimpiade dengan nama India, mengibarkan bendera India,
menyanyikan lagu kebangsaan India ketimbang God
Save the Queen.
Sampai Perang Dunia II meletus, dua
penyelenggaraan Olimpiade pun dibatalkan, menghancurkan mimpi sekaligus
kehidupan Tapan yang kini hanya pemabuk dengan setumpuk hutang. Maka tatkala
Olimpiade 1948 di London resmi diumukan, ia menawarkan diri memimpin tim hoki
lapangan India untuk meraih emas sekaligus mengalahkan para penjajah di
negerinya sendiri. Balas dendam setelah penindasan 200 tahun pun dicanangkan.
Dari sosok “hero”, Tapan sempat
terjerumus menjadi “zero”, lalu
berusaha meraih status “hero”
kembali.
Kita tahu nantinya Tapan bakal
dianggap pahlawan lagi, namun jalan menuju ke sana tidak sesederhana itu.
Beberapa pemain, termasuk Samrat (Kunal Kapoor) sang legenda hoki India pula kapten
timnas 8 tahun lalu, telah memutuskan pensiun. Tapan harus membentuk tim
baru, yang tentu menyimpan setumpuk rintangan termasuk perihal finansial. Ketua
federasi mendukung 100%, tapi Mr. Mehta (Atul Kale) selaku sekretaris justru
berusaha sekuat tenaga menyingirkan Tapan dengan mengeksploitasi citra
buruknya. Bukan rahasia kalau musuh terbesar atlet negara bukan lawan di
turnamen melainkan para petinggi yang terlampau campur tangan entah demi kepentingan
pribadi atau golongan. Bentuk campur tangan mereka bahkan sampai pada keputusan
di ruang ganti. Gold memberi kita
visualisasi akan skenario tersebut.
Masalah seputar pemain tak kalah
runyam. Skuat sudah terkumpul hanya untuk terpecah, yang ironisnya akibat
kemerdekaan, di mana sebagian besar anggota tim menjadi warga negara Pakistan.
Belum lagi pertikaian dua pemain andalan, si kaya Raghubir Pratap Singh (Amit
Sadh) dengan Himmat Singh (Sunny Kaushal), karena berebut posisi penyerang. Sedangkan
pemain lain turut terbagi dalam kubu sesuai suku serta daerah masing-masing.
Beranjak dari situ, naskah buatan Rajesh Devraj menjabarkan nilai sportivitas
pertama, yakni soal kerja sama tim. Dan sebagai film olahraga yang baik, Gold menawarkan solusi atas masalah di
atas lewat suatu metode latihan, yang efektif menjelaskan pesannya baik pada
para atlet maupun penonton. Tentu kenyataannya takkan sesederhana itu. Sekali latihan
mustahil menyelesaikan segalanya. Namun dalam realita film yang terbatas
durasi, selama intisari berhasil disampaikan, itu sudah cukup.
Kembali mengenai perebutan posisi
Raghubir-Himmat, datang nilai sportivitas berikutnya, mengenai kesabaran serta
kesediaan mengesampingkan ego. Hal begini jamak terjadi. Salah satu pemain
dicadangkan atau dimainkan di posisi yang tak diinginkan, sehingga ia
memutuskan menyerah, menyulut masalah, atau pergi dari tim. Saat akhirnya
Raghubir dan Himmat sanggup menyiasati persoalan itu untuk bersatu demi bangsa,
emosi saya pun ikut bergejolak.
Gold membawa penonton menuju roller coaster emosi. Penyutradaraan Reema
Kagti terhadap momen pertandingan memang tidak spesial. Kadang pilihan sudut
kamera kurang mengakomodasi para pemain pamer kemampuan atau aksi saling oper cantik
selaku bukti bahwa tim mulai padu. Tetapi ketegangan tetap setia mencengkeram, sebab perjuangan
protagonisnya mudah menggaet simpati. Saya ingin tim nasional India membawa
pulang medali emas. Jadi jangan heran kalau tiap mereka mencetak gol atau
memenangkan pertandingan, air mata haru turut mengalir.
Anda tidak sendiri. Akshay Kumar
hadir untuk menangis, meluapkan amarah, dan berteriak menggugah semangat juang
bersama penonton. Setelah Pad Man di
awal tahun (dan deretan performa memukau tahun-tahun sebelumnya), sekali lagi
Akshay menampilkan raut wajah yang terasa begitu jujur berekspresi, alhasil
penonton dibuat merasakan emosi serupa. Pun dia suntikkan aliran energi dalam
beberapa sekuen musikal. Deretan lagunya diproduksi oleh Zee Music Company,
sehingga anda bisa berekspektasi mendengar nomor-nomor yang begitu bersahabat
di telinga.
Momen pamungkasnya memilih
pendekatan kontemplatif ketimbang euforia total. Melihat proses yang Tapan
lalui, pilihan tersebut dapat dimengerti walau membuat konklusinya urung
mencapai puncak potensi emosi. Tapi jika—seperti saya—anda menyaksikan Gold bersama warga atau keturunan India,
ketika lagu kebangsaan terdengar di penghujung film dan mereka mulai berdiri
(budaya yang mestinya bisa kita contoh), “hutang emosi” film ini rasanya
langsung terbayar lunas. Konflik ras serta agama boleh memecah masyarakat, bahkan
lebih buruk, menghancurkan bangsa. Tapi Gold
memastikan, bahwa olahraga, atau dalam konteks ini hoki, siap merekatkan
semuanya.
GENTAYANGAN (2018)
Rasyidharry
Agustus 18, 2018
Adi Nugroho
,
Baim Wong
,
Brianna Simorangkir
,
Haydar Salishz
,
horror
,
Indonesian Film
,
Jelita Callebaut
,
Kurang
,
Nadine Alexandra
,
REVIEW
,
Ronny P. Tjandra
,
Shyam Ramsay
6 komentar
Jangan tonton film ini sendirian.
Bukan karena Gentayangan begitu
mengerikan, melainkan berbagai kekurangannya lebih mengasyikkan bila
ditertawakan bersama teman-teman. Ketika belakangan perfilman kita dibanjiri
horor berkualitas tiarap, Gentayangan
jadi makhluk langka. Keburukannya tidak membuat hati panas seperti
produk-produk MD Pictures, tapi kekonyolan yang termasuk teritori so-bad-it’s-good, hingga nyaris
membuatnya layak menerima gelar “Azrax-nya
horor tanah air”. Satu-satunya penghalang adalah masih terdapat “kelemahan konvensional”
macam jump scare ala kadarnya yang dibalut
musik berisik.
Bukan hasil mengejutkan bila melihat
keberadaan Shyam Ramsay, sang legenda horor kelas B Bollywood yang karyanya
terdiri atas judul-judul seperti Purana
Mandir (1984), Veerana (1988), hingga Bandh Darwaza (1990), meski bagi publik Indonesia, mungkin karyanya yang
paling dikenal adalah serial Nagin.
Saya menonton beberapa filmnya, sehingga tahu mesti berekspektasi apa dan harus
memasang perspektif bagaimana kala menyikapi Gentayangan. Jadi sewaktu tali yang menarik Ronny P. Tjandra masih
tampak jelas, saya harus menganggapnya sebagai bagian hiburan, bukan kelalaian
yang wajib dicaci, walau itu bukan suatu kesengajaan.
Ceritanya berpusat pada Abimanyu
(Baim Wong) yang terpaksa mengajak keluarganya pindah ke Hotel Kaki Langit
peninggalan orang tuanya setelah bisnisnya bangkrut. Tidak butuh waktu lama
sampai hantu-hantu gentayangan mulai mengganggu mereka dalam teror yang
terinspirasi dari kengerian di Hotel Overlook milik The Shining (1980). Bahkan beberapa referensi terhadap film buatan
Stanley Kubrick itu pun bermunculan, seperti penggunaan kapak, juga momen
ikonik “Here’s Johnny!”.
Masalah finansial Abimanyu tak
pernah menemui jalan keluar, tapi saya menyukai bagaimana naskah yang ditulis
Adi Nugroho (Kuldesak, Jelangkung, Ruang)
menyediakan alasan logis mengapa Abimanyu sekeluarga tidak segera meninggalkan
hotel. Kesulitan uang menghilangkan opsi tinggal di tempat lain, ditambah lagi
larangan pergi dari pihak kepolisian pasca peristiwa berdarah mulai terjadi.
Saya bisa merasakan ada film bagus terkubur dalam Gentayangan (berdasarkan kisah di balik layar yang saya dengar
memang demikian faktanya). Konsep terornya menyiratkan hal serupa. Walau
beberapa medioker, ada segelintir yang kreatif, sebutlah “bola kepala” dan
hantu wanita yang terbang, merenggut salah satu karakter dari belakang.
Justru penyutradaraan Shyam Ramsay
yang sudah membuat film selama 46 tahun jadi pelaku jatuhnya kualitas Gentayangan. Menolak memperhatikan timing di setiap jump scare, Shyam pun gagal membangun atmosfer, walau hotel dengan
sederet patung sebagai properti merupakan modal memadahi guna mencuatkan kesan
mencekam berbasis set. Tapi jika bukan karena sang legenda hidup, kita takkan
memperoleh barisan kekonyolan. Shyam membiarkan pemainnya berakting buruk, dan
acap kali, kombinasi dua aspek itu (penyutradaraan + akting) menghasilkan hiburan
tiada tara.
Perihal tersebut, gelar MVP (Most Valuable Player, bukan Multivision
Plus) jadi milik Jelita Callebaut yang memerankan Sheila, adik Abimanyu. Menjalani
debut yang sayangnya kurang jelita, sang aktris membalikkan tubuh bak bintang
iklan sampo sedang mengibaskan rambut yang berkibar-kibar. Dia pun kelabakan
kala diminta mengikuti pekikan khas para Scream
Queens. Teriakannya dipaksakan, kaku, akibat harus melalui ancang-ancang yang
begitu kentara, atau terkadang, memakai dua kali tarikan nafas supaya terdengar
panjang. Berkat Jelita, pefroma dangkal Nadine Alexandra sebagai Sofia, istri Abimanyu, kalah menonjol.
Bertengger di posisi kedua adalah Haydar Salishz sebagai Arman yang memukau lewat akting sekaku otot orang yang kurang olahraga. Contohnya sudah dibeberkan oleh trailer. Didorong hantu, Arman tersungkur menabrak meja dalam sebuah pemandangan dibuat-buat konyol. Semakin konyol kala Haydar berteriak datar, “Siapa di situ?!”. Momen emas ini mencapai puncak setelah Kania (Brianna Simorangkir), kekasih Arman, menjawab “Ada orang di sini? Ada orang di situ? Nggak kelihatan tuh. Jangan-jangan...hantu?”. Sungguh materi meme yang sempurna. Kasus berbeda dialami Baim Wong yang berusaha keras memberi layer dalam interpretasinya soal frustrasi. Baim berniat menambah dinamika, menolak asal berteriak, coba variatif memainkan intonasi walau tak selalu berhasil dan kadang menciptakan kelucuan tak disengaja lain.
Bertengger di posisi kedua adalah Haydar Salishz sebagai Arman yang memukau lewat akting sekaku otot orang yang kurang olahraga. Contohnya sudah dibeberkan oleh trailer. Didorong hantu, Arman tersungkur menabrak meja dalam sebuah pemandangan dibuat-buat konyol. Semakin konyol kala Haydar berteriak datar, “Siapa di situ?!”. Momen emas ini mencapai puncak setelah Kania (Brianna Simorangkir), kekasih Arman, menjawab “Ada orang di sini? Ada orang di situ? Nggak kelihatan tuh. Jangan-jangan...hantu?”. Sungguh materi meme yang sempurna. Kasus berbeda dialami Baim Wong yang berusaha keras memberi layer dalam interpretasinya soal frustrasi. Baim berniat menambah dinamika, menolak asal berteriak, coba variatif memainkan intonasi walau tak selalu berhasil dan kadang menciptakan kelucuan tak disengaja lain.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
66 komentar :
Comment Page:Posting Komentar