10 FILM INDONESIA TERBAIK 2018
Setiap tahun, ketika menyusun
daftar film Indonesia terbaik, pertanyaan yang muncul selalu sama, “Bagaimana
progres perfilman kita setahun belakangan?”. Menilik dari segi finansial,
jumlah total penonton film lokal tahun 2018 tengah menuju 50 juta, yang sejauh
ini, merupakan angka terbesar sepanjang masa. Pun saya yakin, begitu Milly & Mamet dan Asal Kau Bahagia merampungkan masa
tayangnya, untuk pertama kalinya kita bakal melihat ada 15 judul menembus
sejuta penonton selama setahun.
Tapi bagaimana dengan kualitas
karya? Bagi saya 2018 tetaplah tahun yang solid, meski dibanding 2017—yang memiliki
Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak,
Sweet 20, Pengabdi Setan, Posesif, Night Bus, Critical Eleven, dan
lain-lain—terasa ada penurunan.
Total 96 film lokal saya saksikan,
baik di pemutaran reguler maupun festival. Awalnya saya hendak tak menyertakan
film-film festival di daftar ini, karena beberapa di antaranya telah memperoleh
tanggal penayangan, sedangkan sisanya tinggal menunggu “ketuk palu” dan telah
memastikan diri menghiasi bioskop tahun depan. Tapi niat tersebut diurungkan
karena terasa menutup mata terhadap pengalaman sinematik yang saya peroleh di
festival.
Pertama, simak dulu lima honorabe mentions yang disusun
berdasarkan urutan ranking terbawah sampai teratas.
HONORABLE MENTIONS:
27 STEPS OF MAY
Membaca review dan rating yang saya berikan, film ini memang semestinya ada
di jajaran 10 besar. Namun fakta bahwa karakter wanita 27 Steps of May membutuhkan lelaki (dalam sosok seorang pesulap)
guna mengalahkan trauma akibat diperkosa oleh lelaki, selalu mengganggu benak
saya. Di luar itu, caranya bercerita, elemen artistik, hingga akting jajaran
pemain khususnya Raihaanun, termasuk yang terbaik sepanjang tahun. (review)
JELITA SEJUBA: MENCINTAI KESATRIA NEGARA
Sebuah kejutan. Mengira akan
disuguhi satu lagi propaganda kedigdayaan militer, saya justru menemukan
filmnya amat sederhana, serta memanusiakan karakternya. Dua hal lain yang
berkesan tak lain penampilan Putri Marino dan “adegan melamar” yang unik nan
manis. (review)
ROMPIS
Romansa penuh sakarin yang berhasil
membuat saya tersenyum nyaris sepanjang durasi. Keputusan menekankan pada interaksi
antar-tokoh yang kerap menggelitik ketimbang asal pamer kalimat puitis atau
pemandangan luar negeri jadi kunci keberhasilan. (review)
HOAX
Versi penyuntingan ulang dari Rumah dan Musim Hujan (2012) ini
menghasilkan sajian unik yang secara mulus meleburkan drama keluarga, konflik
identitas seksual, romansa, bahkan kisah mistis. (review)
ARUNA & LIDAHNYA
Belum maksimal sebagai food porn juga film road trip, tapi Edwin tetap membuktikan kapasitasnya bertutur lewat
cara alternatif. Biar begitu, Aruna &
Lidahnya merupakan panggung bagi Dian Sastrowardoyo. (review)
Berikut adalah 10 Film Indonesia
Terbaik 2018 versi Movfreak.
10.WIRO SABLENG: PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Benar bahwa karya teranyar Angga
Dwimas Sasongko ini banyak kekurangan, tapi selaku pembuka jalan blockbuster dalam industri kita,
pencapaian Wiro Sableng luar biasa.
Aksi solid, CGI apik, desain karakter pun menarik. Biarkan para skeptis yang
berkata “Mending nggak usah pakai CGI kalau belum sebagus Hollywood” tinggal di
zaman batu. (review)
9.AVE MARYAM
Tidak ada film lokal lain tahun ini
yang punya visual secantik Ave Maryam. Kombinasi
komposisi sinematografi, permainan cahaya dan warna, pula tata artistik,
menyatu sempurna di tengah cerita mengenai konflik batin seorang suster dengan
hasrat terpendamnya. (review)
8.MENUNGGU PAGI
Teddy Soeriaatmadja seolah meluangkan
kesukaannya terhadap Quentin Tarantino kala menyusun filmnya. Latarnya boleh
bertempat di satu malam sarat kekacauan, tapi kematangan Teddy bertutur membuat
alurnya mengalir mulus. (review)
7.LOVE FOR SALE
Film Indonesia terbaik 2018 bagi
kebanyakan orang. Andai bukan karena konklusinya, saya pun bakal berpikir
demikian. Andibachtiar Yusuf berani menyajikan konsep segar tanpa melupakan daya
hibur, sementara Gading Marten “naik kelas” sebagai aktor. (review)
6.KULARI KE PANTAI
Jika menontonnya satu atau dua
tahun lalu, mungkin saya takkan sebegitu mencintai Kulari ke Pantai. Tapi setelah menghabiskan hari-hari penat khas
ibukota, film ini memunculkan kerinduan akan alam serta suasana asri pedesaan. (review)
5.THE NIGHT COMES FOR US
Tahun ini adalah tahunnya Timo
Tjahjanto. Pernyataan itu tidak bisa dibantah. Ketika Timo meluapkan segala
keliaran imajinasinya, terciptalah sajian aksi dengan tingkat kebrutalan serta
komplekitas pengadeganan, yang bahkan belum tentu berani dicoba sutradara
veteran Hollywood sekalipun. (review)
4.KELUARGA CEMARA
Calon kuat film Indonesia pertama
peraih sejuta penonton tahun depan. Drama keluarga tulus nan hangat yang
sempurna mewakili kalimat ikonik, “Harta yang paling berharga adalah keluarga”.
Siap-siap berurai air mata. (review)
3.SEBELUM IBLIS MENJEMPUT
Sekali lagi ini tahunnya Timo
Tjahjanto. Sebelum Iblis Menjemput
ibarat The Raid versi horor, yang
enggan menginjak rem, terus menggelontorkan teror demi teror beroktan tinggi.
Penampilan sinting Karina Suwandi pantas diganjar penghargaan. (review)
2.KUCUMBU TUBUH INDAHKU
Setelah puluhan tahun, Garin
Nugroho masih berkutat di tema oedipus
complex dengan beberapa sensualitas tak perlu. Kalau bukan karena itu, Kucumbu Tubuh Indahku akan bertengger di
urutan pertama. Garin kembali menemukan sentuhannya perihal permainan simbol,
penyatuan realisme dengan surealisme, serta pemanfaatan beragam bentuk kesenian
yang mendukung narasi. (review)
1.TEMAN TAPI MENIKAH
Tidak sedikitpun saya menyangka
jika film karya Rako Prijanto ini akan duduk di puncak daftar film Indonesia
terbaik. Tapi Teman tapi Menikah
memang salah satu komedi-romantis terbaik kita dalam beberapa waktu terakhir.
Seluruh elemen hampir tanpa cela, dan terpenting, sesuai hakikatnya, film ini
tampil romantis termasuk lewat konklusi manis sekaligus mengharukan miliknya. Adipati
Dolken dan Vanesha Prescilla juga pantas menyandang status pasangan terbaik
tahun ini. (review)
ASAL KAU BAHAGIA (2018)
Rasyidharry
Desember 28, 2018
Aliando Syarief
,
Aline Djayakusuma
,
Aurora Ribero
,
Cukup
,
Dewa Dayana
,
Fantasy
,
Hani Pradigya
,
Indonesian Film
,
Rako Prijanto
,
REVIEW
,
Romance
,
Teuku Rassya
,
Upi
12 komentar
Asal Kau Bahagia dibuat berdasarkan lagu berjudul sama milik Armada, nomor
pop catchy bernuansa mellow yang mengajak pendengarnya
meratapi cinta. Filmnya pun dikemas dalam bentuk serupa. Melodrama ringan yang
mengajak penontonnya meratapi cinta, meski sayangnya, tak punya cukup daya
untuk menyetir rasa biarpun tetap jadi suguhan nikmat di ranah kisah cinta remaja.
Alurnya langsung merangsek menuju
persoalan utama, ketika Aliando alias Ali (Aliando Syarief) terlibat kecelakaan
lalu lintas di tengah perjalanannya menemui sang kekasih, Aurora (Aurora
Ribero). Ali koma, namun jiwanya masih berkeliaran layaknya manusia biasa,
walau tak ada yang mampu melihatnya. Dia pun tak mampu menyentuh orang lain.
Tanpa disangka, menjadi sosok tak terlihat justru membuka jalan baginya
memahami isi hati Aurora, yang diam-diam telah enam bulan berselingkuh dengan
Rassya (Teuku Rassya).
Ali hanya bisa memandang tak
berdaya. Hatinya remuk, sementara saya bertanya-tanya, “Kalau ia bisa menyentuh
barang, kenapa ia tidak menulis pesan guna memberitahukan kondisinya kepada
Aurora?” Hal itu bakal menghemat waktu, tapi kita film ini takkan eksis.
Beruntung, sahabatnya, Dewa (Dewa Dayana), bisa melihat Ali, lalu bersedia
membantunya menguntit Aurora guna menyelidiki kebenaran hubungannya dengan
Rassya.
Mengacu pada trailer, kita tahu bahwa nantinya, Dewa menjadi perantara
komunikasi dua tokoh utama. Momen itu urung terjadi hingga jelang paruh akhir. Kembali,
hal tersebut niscaya menghemat waktu, namun meniadakan kesempatan kita
menikmati interaksi menghibur Ali-Dewa. Dewa adalah sosok “kawan-konyol-tapi-setia”
yang kerap kita temui di film-film serupa. Ketepatan timing komedik Dewa Dayana, pula chemistry solid bersama Aliando, menghasilkan buddy comedy yang efektif memancing tawa.
Aurora adalah gadis populer, dan
itu kerap memancing Ali mempertanyakan alasannya bersedia memacari pria
introvert sepertinya. Tapi tak sekalipun terlihat introversi Ali maupun bagaimana
ketertutupan itu mengganggu Aurora. Mungkin, naskah karya Aline Djayasukmana (Gila Lu Ndro) bersama sang mentor, Upi (Teman Tapi Menikah, Sweet 20), hendak
menempatkan penonton di posisi Ali, yang tak menyadari ketidakbahagiaan sang
kekasih. Namun ada perbedaan antara “menyamakan perspektif” dengan keluputan
eksplorasi. Asal Kau Bahagia termasuk
jenis kedua.
Alhasil, saat Rassya menyulut api
asmara di hati Aurora, sulit memahami alasannya. Anda bisa berargumen bahwa
cinta tidak butuh alasan. Cinta terjadi begitu saja, datang dan pergi seperti mendung.
Masalahnya, film ini sendiri coba menjabarkan alasan itu, yang gagal
dipresentasikan secara meyakinkan. Aurora menyebut Rassya lebih liar, seru,
sosok pria ceria yang menghembuskan angin segar di hidupnya. Tapi, serupa Ali
dengan introversinya, sisi tersebut tak tampak dari Rassya yang justru terkesan
halus, bahkan kalah “membara” dibanding Ali.
Bukan berarti segala sisi naskah
menemui kegagalan. Keengganan menabur “pemanis” berlebih patut diapresiasi. Bahasa
(sok) puitis dihindari, berhati-hati pula dramatisasi, termasuk di momen paling
menyedihkan, diolah. Selaras dengan itu adalah penyutradaraan Rako Prijanto (Teman Tapi Menikah, Bangkit!, 3 Nafas Likas)
yang mengedepankan tuturan manis ketimbang drama bergelora. Didukung
sinematografi Hani Pradigya (Teman Tapi Menikah,
Terjebak Nostalgia, Wage) Rako menangkap beberapa gambar indah, menerapkan
gerak lambat, juga memilih sudut kamera yang membuat kedua pemainnya (yang aslinya
sudah rupawan) terlihat makin cantik di layar.
Bukan berarti dua pemain utama kita
sekadar bermodalkan tampang. Sebaliknya, bisa jadi Asal Kau Bahagia telah memberi “It
couple” berikutnya bagi perfilman Indonesia, yang kelak berpotensi
melengserkan kedigdayaan Jefri Nichol-Amanda Rawles. Dibarengi deretan lagu
yang mengalun syahdu di telinga, kebersamaan merekamemberi sokongan tambahan
bagi film ini, di luar pondasi rapuh yang naskahnya sediakan.
Pasca debut meyakinkan di Susah Sinyal (2017), Aurora menunjukkan
kemampuan memanggul beban sebagai pemeran utama. Kapasitasnya bermain drama menghadirkan
kompleksitas bagi tokoh peranannya, yang mana gagal diberikan oleh naskahnya. Sedangkan
untuk Aliando, semestinya inilah pembuka gerbang kesuksesan berkarir di layar
lebar. Aliando menunjukkan jangkauan akting cukup luas, dari kebolehan
menangani humor, pesona dalam interaksi kasual, sampai momen emosional.
Sayang, rute aman dipilih sebagai konklusi
romantsime keduanya, yang turut melucuti peluang film ini menyuguhkan resolusi lebih
dewasa—tanpa harus kehilangan sisi bittersweet—mengenai
“the art of letting go” demi
kebahagiaan sosok tercinta. Tapi sulit dipungkiri, banyak penonton akan terwakili
oleh konfliknya, dan itu sudah menjadi cukup alasan guna memberi kesempatan
pada Asal Kau Bahagia. Mungkin saja
film ini merefleksikan seluk beluk kehidupan cinta anda.
2019 OSCAR NOMINEES PREDICTION
Well, this is a long shot. Membuat prediksi sebulan sebelum
pengumuman nominasi (22 Januari) memang seperti perjudian besar. Tapi bukan
masalah, toh ini cuma analisa senang-senang. Jadi, berikut adalah prediksi saya
untuk peraih nominasi Oscar 2019 di setiap kategori (kecuali film-film pendek).
BEST VISUAL EFFECTS
Tiga judul mengunci status mereka: Avengers: Infinity War, Ready Player One,
Black Panther. Mungkin komentar miring, “Ah, CGI Black Panther jelek, lihat klimaksnya yang terlihat palsu” bakal
banyak terdengar, tapi efek visualnya bukan itu saja. Beberapa pemakaian CGI,
khususnya dalam menghidupkan dunia beraneka kultur Wakanda, mungkin bakal
terlewat dari pengamatan karena begitu halus. Dua slot sisa akan diperebutkan First Man, Mary Poppins Returns, dan Bumblebee.
Prediksi: Avengers: Infinity War, Black Panther, Ready Player One, First Man,
Mary Poppins Returns
BEST FILM EDITING
Sebagai kontender utama untuk Film
Terbaik, mestinya Roma dan A Star is Born akan melenggang mulus.
Demikian pula First Man yang memiliki
penyuntingan luar biasa.
Prediksi: Roma, A Star is Born, First Man, The Favourite, Widows
BEST COSTUME DESIGN
The Favourite kemungkinan besar bakal keluar sebagai jawara
kategori ini, sementara Black Panther yang
memadukan ragam budaya Afrika dipastikan jadi penantang. Mary Poppins Returns dengan varian kostum yang dikenakan Emily
Blunt pun takkan dilewatkan juri. Persaingan sengit terjadi antara Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald,
Bohemian Rhapsody, dan Mary Queen of Scots.
Prediksi: The Favourite, Black Panther, Mary Poppins Returns, Bohemian Rhapsody, Fantastic
Beasts: The Crimes of Grindelwald
BEST MAKEUP AND HAIRSTYLING
The Favourite di luar dugaan tak muncul di shortlist, memberi peluang pada Mary
Queen of Scots sebagai sesama film period, disusul Vice yang memfasilitasi transformasi Christian Bale
Prediksi: Mary Queen of Scots, Vice, Black Panther
BEST CINEMATOGRAPHY
Roma dengan visual hitam-putih, First Man yang bernuansa home
video, serta pemakaian cahaya alami di The
Favourite akan mengisi daftar unggulan. Saling sikut akan terjadi antara If Beale Street Could Talk, A Star is Born, dan
Black Panther.
Prediksi: Roma, First Man, The Favourite, If Beale Street Could Talk, A Star is Born
BEST PRODUCTION DESIGN
Empat posisi teratas pasti
digenggam The Favourite, First Man, Black
Panther, dan Mary Poppins Returns.
Satu tempat tersisa jadi pertarungan dua film dengan gaya bertolak belakang,
yaitu Roma dan Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald.
Prediksi: The Favourite, First Man, Black Panther, Mary Poppins Returns, Roma
BEST SOUND MIXING
Tentu A Star is Born sebagai film musik dan First Man lewat tata suara menghantui bakal berkuasa. A Quiet Place yang bermain-main dengan
suara berpeluang meraih nominasi.
Prediksi: A Star is Born, First Man, Mary Poppins Returns, Black Panther, A Quiet Place
BEST SOUND EDITING
Tahun lalu kita memperoleh nominasi
serupa di kedua kategori tata suara. Tahun ini, kemungkinan terjadi perbedaan,
di mana Ready Player One berpeluang
menggeser posisi A Star is Born
Prediksi: First Man, Mary Poppins Returns, Black Panther, A Quiet Place, Ready Player One
BEST ORIGINAL SONG
Seperti dua tahun lalu, rasanya
keempat nominasi lain adalah penggembira di saat Shallow bakal melenggang mulus ke tangga juara.
Prediksi: Shallow – A Star is Born, All the Stars – Black Panther, The Place
Where Lost Things Go – Mary Poppins Returns, Revelation – Boy Erased, I’ll
Fight – RBG
BEST ORIGINAL SCORE
First Man dengan musik menghantui akan ditemani If Beale Street Could Talk dan Mary Poppins Returns mengamankan
nominasi. Nicholas Brittel dalam Vice dan
Terrence Blanchard di BlacKkKlansman dapat
mengejutkan sewaktu-waktu.
Prediksi: If Beale Street Could Talk, First Man, Mary Poppins Returns, Black Panther, Isle of Dogs
BEST DOCUMENTARY FEATURE
Tiga judul yang paling banyak
memperoleh buzz adalah Won’t You Be My Neighbor?, Free Solo, dan
Minding the Gap. Seperinya nominasi
takkan jauh-jauh dari mereka.
Prediksi: Won’t You Be My Neighbor?, Free Solo, Minding the Gap, RBG, Hale County
This Morning This Evening
BEST FOREIGN LANGUAGE FILM
Sebagai penantang di kategori
puncak alias Best Picture, status Roma takkan tergoyahkan. Never Look Away (Jerman) dan Cold War (Polandia) bakal saling jegal.
Prediksi: Roma (Meksiko), Shoplifters (Jepang),
Burning (Korea Selatan), Capharnaüm (Lebanon), Cold War (Polandia)
BEST ANIMATED FEATURE FILM
Salah satu kategori yang rasanya
takkan menghasilkan kejutan di jajaran nominasi. Mirai akan jadi perwakilan dari luar Hollywood.
Prediksi: Spider-Man: Into the Spider-Verse, Incredibles 2, Ralph Breaks the
Internet, Isle of Dogs, Mirai
BEST ADAPTED SCREENPLAY
Para pengisi nominasi kategori ini
pun rasanya sudah bisa dipastikan, kecuali jika tiba-tiba First Man memperoleh hype jelang
detik-detik akhir. Dari skena indie, Leave No Trace pun berpeluang
mengejutkan.
Prediksi: A Star is Born, Black Panther, Can You Ever Forgive Me?, If Beale
Street Could Talk, BlacKkKlansman
BEST ORIGINAL SCREENPLAY
Persaingan cukup ketat di sini. Roma dan The Favourite mungkin sudah mengamankan posisi, namun Green Book, Vice, First Reformed, dan Eighth Grade masih bersaing ketat.
Prediksi: Roma, The Favourite, Vice, First Reformed, Eighth Grade
BEST SUPPORTING ACTRESS
Empat nama teratas sudah tak bisa
diganggu gugat, tinggal menanti siapa yang akan memenangkan persaingan merebut
nominasi antara Claire Foy (First Man)
dan Thomasin Harcourt McKenzie (Leave No
Trace).
Prediksi: Amy Adams (Vice), Regina King (If Beale Street Could Talk), Emma Stone (The Favourite), Rachel Weisz (The
Favourite), Claire Foy (First Man)
BEST SUPPORTING ACTOR
Satu lagi kategori minim kejutan.
Kecuali Disney melancarkan kampanye masif yang efektif untuk menggenjot peluang
Michael B. Jordan (Black Panther).
Prediksi: Richard E. Grant (Can You Ever Forgive Me?), Adam Driver (BlacKkKlansman), Mahershala Ali (Green Book), Sam Elliott (A Star is Born), Timothée Chalamet (Beautiful Boy)
BEST ACTRESS
Satu-satunya pertanyaan di kategori
ini adalah, apakah Yalitza Aparicio (Roma)
si pendatang baru, atau Emily Blunt (Mary
Poppins Returns) yang menyabet nominasi SAG, yang bakal mengisi sisa slot?
Prediksi: Glenn Close (The Wife), Lady Gaga (A Star is Born), Olivia Colman (The Favourite), Melissa McCarthy (Can You Ever Forgive Me?), Emily Blunt (Mary Poppins Returns)
BEST ACTOR
Ethan Hawke (First Reformed) dilupakan oleh juri SAG, memberi peluang kepada
John David Washington (BlacKkKlansman).
Status sebagai putera Denzel Washington yang amat dihormati di kalangan
penggiat film turut menjadi faktor X.
Prediksi: Bradley Cooper (A Star is Born), Christian Bale (Vice), Rami Malek (Bohemian Rhapsody), Viggo Mortensen (Green Book), John David Washington (BlacKkKlansman)
BEST DIRECTOR
Damien Chazelle sanggup menciptakan
perjalanan luar angkasa sekaligus penelusuran duka mencengangkan lewat First Man, tapi rasanya juri Oscar bakal
cenderung memilih merayakan kembalinya Spike Lee ke performa terbaik dengan
memberinya nominasi. Adam McKay (Vice)
masih memiliki peluang, demikian pula sutradara wanita Debra Granik (Leave No Trace) apabila Oscar ingin
memberi diversity di jajaran
nominasi.
Prediksi: Bradley Cooper (A Star is Born), Alfonso Cuaron (Roma), Spike Lee (BlacKkKlansman), Yorgos Lanthimos (The Favourite), Ryan Coogler (Black
Panther)
BEST PICTURE
Saya memprediksi bahwa kategori Best Picture tahun ini akan diisi oleh delapan
judul. Tujuh film yang disebut pertama rasanya sudah mengamankan posisi. Sisa satu
tempat akan diperebutkan Vice, Can You
Ever Forgive Me?, Eighth Grade, dan First
Man. Sedangkan Bohemian Rhapsody
yang meraih nominasi di SAG berpeluang memberi kejutan.
Prediksi: Roma, A Star is Born, Black Panther, BlacKkKlansman, The Favourite, If
Beale Street Could Talk, Green Book, Vice
ZERO (2018)
Rasyidharry
Desember 23, 2018
Aanand L. Rai
,
Alia Bhatt
,
Anushka Sharma
,
Deepika Padukone
,
Himanshu Sharma
,
Hindi Movie
,
Kajol
,
Lumayan
,
Rani Mukerji
,
REVIEW
,
Romance
,
Shah Rukh Khan
,
Sridevi
4 komentar
(PERINGATAN: Review ini
mengandung SPOILER!)
Seperti impian protagonisnya, Zero adalah karya ambisius. Mungkin
romansa paling ambisius yang saya saksikan sepanjang tahun. Berawal dari kota
kecil bernama Meerut, karakternya dibawa melanglang buana menuju kehidupan
glamor dunia hiburan, sebelum berakhir terbang ke luar angkasa. Demi memperoleh
kepuasan, sebaiknya tinggalkan logika di rumah, dan jangan lupa membawa hati
ketika menontonnya.
Saya merasa Bauua Singh (Shah Rukh
Khan) si karakter utama pantas disebut “zero”.
Ya, dia memang seorang pria kerdil dari pinggiran kota tanpa modal pendidikan
tinggi, tapi pertama, ia jelas tampan (Come
on, this is SRK that we’re talking about). Kedua, ia berasal dari keluarga
kaya raya yang membuatnya bisa seenaknya menyebar uang ke jalanan, bahkan
menghabiskan 600 ribu rupee, atau sekitar 124 juta rupiah guna menunjukkan
cintanya kepada seorang wanita.
Itu terjadi dalam musikal berisi
warna-warni menyala, semburan air, dan orkestra megah, yang disatukan oleh
sutradara Aanand L. Rai (Tanu Weds Manu, Raanjhanaa)
menjadi momen terindah film ini. Sedangkan wanita perebut hati Bauua adalah
Aafia (Anushka Sharma), ilmuwan NASA penderita cerebral palsy yang harus menghabiskan harinya di kursi roda. Awalnya
mereka saling benci. Bauua yang mengetahui Aafia dari foto di biro jodoh merasa
tertipu melihat kondisinya. Sementara kejengahan Aafia dapat dipahami. Bauua
adalah pria sok pintar, sok ganteng, egois, juga kurang ajar. Dia bahkan mengolok-olok
kelumpuhan Aafia di sebuah konferensi pers. Namun kegigihan Aafia mampu
meluluhkan hati Bauua, yang segera berusaha memperbaiki kesalahannya.
Zero bisa saja bergerak menyusuri formula drama romantika sarat
makna tentang dua insan berkekurangan yang saling menemukan, lalu sama-sama
membuktikan bahwa mereka menyimpan banyak kelebihan. Ternyata tidak. Seperti
Bauua, Zero memiliki ambisi lebih
besar.
Protagonis kita diberkahi kekuatan
unik untuk menjatuhkan bintang. Dia hanya perlu mengacungkan jari, berhitung, “10,
9, 8, zero!”, dan bintang yang dimau jatuh
dari langit. Rupanya Bauua ingin merengkuh “bintang” lain, yakni Babita Kumari
(Katrina Kaif), seorang aktris film ternama. Terdengar bagai pungguk merindukan
bulan, namun kala “kebetulan” dan “kegilaan” bertubrukan, jalan merebut hati si
megabintang pun terbuka lebar. Zero
mencapai titik balik begitu Bauua memilih mengejar impian muluknya, lalu
meninggalkan wanita yang tulus mencintainya.
Babak pertama Zero jadi kisah cinta intim nan manis berkat duet maut Shah Rukh
Khan-Anushka Sharma. Tuntutan performa akurat kala memerankan penderita cerebral palsy urung menghalangi Anushka
menghantarkan emosi secara meyakinkan. Sementara SRK menyuntikkan cukup energi
guna menghidupkan sosok pria dengan kepercayaan diri plus semangat tinggi.
Walau menimbulkan tanya perihal cara Bauua bertahan hidup (dan tetap bergelimang uang) pasca kabur dari
rumah di saat peristiwa itu terjadi mendadak dan ia tak membawa apa pun, babak
keduanya berhasil tampil sama menghiburnya dengan babak pertama. Protagonis
kita semakin lengket dengan sang idola, yang rupanya adalah alkoholik dengan
kehidupan berantakan, terlebih pasca ditinggalkan kekasihnya. Tapi sekali lagi,
pesona Bauua terbukti sulit ditahan.
Setelah terlibat obrolan panjang
lebar untuk pertama kali di sebuah pesta—yang dijadikan alat menampilkan
sederet cameo dari Kajol, Rani
Mukerji, Deepika Padukone, Alia Bhatt, hingga mendiang Sridevi dalam penampilan
layar lebar terakhirnya—Babita membiarkan Bauua tinggal di dekatnya,
mengajaknya ke lokasi syuting, pemotretan, bahkan tinggal di rumahnya. Sekilas,
Zero terdengar akan melangkah menuju
satu lagi kisah seputar karakter yang sukses mewujudkan impiannya, hanya untuk
menyadari impian itu tak seindah angan, menyesal telah membuang hal-hal berharga
demi ambisinya, lalu berusaha mendapatkannya lagi.
Pernyataan terakhir memang benar,
tapi Bauua sama sekali tidak dikecewakan oleh Babita. Cita-citanya jadi
kenyataan, namun secara bersamaan, ia merasa betapa cintanya bagi Aafia memang
nyata, pula sebaliknya. Bauua “terbangun” kala kebahagiaan justru sedang
menyinari hidupnya. Bagi saya, kondisi tersebut membuat kesadaran karakternya
jauh lebih bermakna dan murni. Babita sendiri menyadari isi hati Bauua,
menggiringnya memancing obrolan memikat di mobil, yang juga merupakan panggung
pembuktian kapasitas akting dramatik Katrina Kaif.
Sampai di sini, terlihat jika naskah buatan kolaborator Aanand L. Rai sejak Strangers (2007), Himanshu Sharma, benar-benar
mengesampingkan logika. Jangankan mendekap hati idola, keberhasilan membuat
seorang ilmuwan NASA yang berperan besar merealisasikan ekspedisi ke Mars
bertekuk lutut saja sudah terdengar di luar nalar. Toh semua kemustahilan itu
nampak normal dibandingkan konten babak ketiganya, sewaktu Bauua coba menebus
dosa besar pada Aafia lewat kegilaan besar.
Dia bisa mengendalikan bintang, pun
menaklukkan seorang bintang, kini waktunya Bauua sungguh-sungguh pergi ke
bintang. Sekembalinya dari hingar bingar dunia selebritas bersama Babita, Bauua
mengetahui cinta sejatinya telah dilamar pria lain dan tengah mempersiapkan
pernikahan. Tapi ia pantang menyerah. Dipustukannya mengikuti tes sebagai
astronot dalam misi peluncuran kapal berawak manusia ke Mars. Berbeda dengan
sebelumnya, kali ini ia bertekad takkan kabur saat menghadapi rintangan.
Di permukaan, kenekatan itu
terlihat tanpa arti. Seolah naskahnya asal berjalan nihil tujuan, dan
digerakkan semata oleh ambisi guna memperbesar skala film. Tapi jika pernah
merasakan keputusasaan akibat cinta, anda akan memahami dorongan berbuat hal
gila demi mengekspresikan perasaan, meski jika dipikir masak-masak, tindakan
itu tidak berguna. Zero berhasil
mewakili kondisi tersebut.
Merupakan film SRK berbujet
terbesar, Zero mempunyai efek visual
memikat yang mengakodomasi ambisi tingginya. Agr SRK terlihat “mengecil”, film
ini menerapkan forced perspective
sebagaimana dipakai Peter Jackson di trilogi The Lord of the Rings, dikombinasikan dengan teknik double scale. Hasilnya naural. Bukan itu
saja, CGI turut digunakan secara efektif di beberapa kesempatan, misalnya saat
SRK dan Anushka melayanng di ruang bergravitasi nol, hingga adegan peluncuran
roket.
Keluhan terbesar saya justru muncul
tepat ketika film menyentuh titik pamungkas. Kentara, naskahnya menyimpan ide
agar konklusinya tampil lebih dramatis, tapi (mungkin) karena Zero telah bergulir selama 164 menit,
pula menjaga agar biaya produksi tak semakin membengkak, diputuskanlah
merangkum ide tersebut menjadi epilog pendek yang terasa sambil lalu, tanpa
substansi, tanpa dampak emosi. Padahal saya sendiri tak keberatan duduk 20-30
menit lebih lama. Sebab walau menyalahi nalar serta jauh dari sempurna, Zero merupakan kisah cinta epic yang sanggup menebar senyuman.
MARY POPPINS RETURNS (2018)
Rasyidharry
Desember 22, 2018
Ben Whishaw
,
Cukup
,
David Magee
,
Dick Van Dyke
,
Emily Blunt
,
Emily Mortimer
,
Joel Dawson
,
Lin-Manuel Miranda
,
Marc Shaiman
,
Meryl Streep
,
Musical
,
Nathanael Saleh
,
Pixie Davis
,
REVIEW
,
Rob Marshall
7 komentar
Sebagai musikal, Mary Poppins Returns adalah throwback lengkap bagi musikal oldskul
Hollywood, khususnya judul-judul dari dapur Disney. Musik ceria, lirik lugu,
hingga tarian di dalam studio yang mereka ulang sudut-sudut kota jadi beberapa
contoh karakterisasi. Mungkin takkan sepenuhnya memuaskan selera penonton
sekarang, tapi mereka yang familiar
pasti bakal mengapresiasi pencapaian Rob Marshall (Chicago, Memoirs of Geisha, Into the Woods) dan timnya. Tapi sebagai kisah soal hubungan
ayah-anak beserta proses belajar masing-masing pihak, naskah karya David Magee
(Finding Neverland, Life of Pi) kurang
cermat dalam mengawinkan narasi dengan lagu. Alhasil, Mary Poppins Returns tak sampai memancing saya berujar, “Supercalifragilisticexpialidocious”.
Mengambil latar 25 tahun pasca film
pertama, Jane (Emily Mortimer) dan Michael (Ben Whishaw) kini telah dewasa.
Michael bahkan mempunyai tiga anak: Georgie (Joel Dawson), Annabel (Pixie
Davis), dan John (Nathanael Saleh). Michael mesti merawat ketiganya sendiri
pasca kematian sang istri yang amat memukulnya, memperbesar tekanan di tengah era
Great Depression. Puncaknya ketika ia
gagal melunasi hutang kepada bank dan terancam kehilangan rumah apabila tidak
membayar dalam lima hari.
Saat itulah Mary Poppins (Emily
Blunt) kembali guna “menawarkan” jasa mengasuh ketiga anak Michael, menarik
mereka menuju proses pembelajaran tentang aspek-aspek kehidupan melalui
lagu-lagu dan petualangan ajaib, sembari membantu sang ayah memenangkan
rumahnya lagi.Turut serta pula Jack (Lin-Manuel Miranda), seorang lamplighter yang serupa Bert (Dick Van
Dyke) di film pertama, merupakan sosok yang memahami kejaiban Mary Poppins.
Bila Bert memiliki aura
misterius nan ajaib seperti Mary Poppins—yang ditunjukkan oleh beragam
identitasnya sepanjang film—Jack sedikit membingungkan. Dia dapat muncul
tiba-tiba di berbagai lokasi, namun sosoknya tak sebegitu “out-of-this-world”, khususnya saat film ini memberinya subplot
romansa dengan Jane, yang urung memberi dampak kepada plot utama. Beruntung,
Mary Poppins masih sosok yang sama: pengasuh tegas yang selalu tersenyum,
mengagumkan dan gemar mengagumi diri sendiri melalui cermin serta lagu. Bisa
dipahami, sebab memang mudah untuk kagum terhadapnya berkat Emily Blunt yang bagai
menuangkan sihir ke dalam penampilannya.
Sebagai sutradara musikal veteran,
Rob Marshall paham mesti berbuat apa. Beberapa sekuen fantasi akan membuatmu
terpana berkat pengadeganan imajinatif plus keceriaan efek visual. Pada latar lebih
“realistis”, Marshall tahu cara mengkreasi nuansa musikal klasik, sembari
menyelipkan rujukan untuk film pertama. Hal serupa dilakukan Marc Shaiman (When Harry Met Sally...,Sleepless in
Seatlle, Hairspray) dalam musik buatannya. Referensi terhadap lagu-lagu
macam A Spoonful of Sugar dan Let’s Go Fly a Kite bisa didengar, meski
hasil akhirnya, baik soal komposisi nada atau lirik, masih berada di bawah
bayang-bayang kejayaan berbagai nomor ikonik tersebut, pun dengan daya bunuh
tak seberapa kuat.
Tapi adegan musikalnya tak semudah
itu menggerakkan perasaan akibat ketidakmampuan naskahnya bercerita lewat lagu.
Mata saya terpuaskan, tapi hati ini, seringkali tetap dingin. Dalam musikal
yang baik, lagu digunakan untuk mewakili proses memecahkan persoalan. Tapi
dalam Mary Poppins Returns, persoalan
yang perlu dipecahkan tampak buram. Sulit memahami konflik apa yang terjadi
sebelum lagunya menyuguhkan jalan keluar. Rasanya bak mendengarkan seseorang memberi
solusi panjang lebar untuk masalah yang kita sendiri tidak tahu sedang kita
hadapi.
Setidaknya sebagai sajian selama masa
liburan, Mary Poppins Returns tetap
mengasyikkan dinikmati. Visual ceria, akting lovable Emily Blunt yang berpeluang memberi sang aktris nominasi
Oscar perdana (andai mampu mengalahkan Yalitza Aparicio di Roma dalam perebutan sisa slot nominasi), juga kemunculan singkat
namun menghibur dari Meryl Streep dengan tingkah eksentrik dan aksen Eropa
Timurnya, cukup untuk melunasi waktu dan uang yang anda luangkan.
I WANT TO EAT YOUR PANCREAS (2018)
Rasyidharry
Desember 21, 2018
Animated
,
Cukup
,
Japanese Movie
,
Lynn
,
Mahiro Takasugi
,
REVIEW
,
Shin'ichiro Ushijima
4 komentar
Pembaca reguler blog ini pasti tahu
bahwa “kelemahan” saya adalah romansa bittersweet
dramatis (tahun ini sudah ada On Your
Wedding Day, The Hows of Us, Color Me True dan lain-lain). I Want to Eat Your Pancreas—selaku
adaptasi novel berjudul sama karya Yoru Sumino yang sebelumnya telah
diterjemahkan dalam format live action
lewat Let Me Eat Your Pancreas (2017)—bisa
tergabung dalam jajaran tontonan yang dengan senang hati saya tangisi, andai
saja filmnya bersedia menghilangkan, atau setidaknya mengurangi usaha memenuhi “mimpi
basah” pria-pria kesepian di paruh awal.
Protagonis kita adalah laki-laki
tanpa nama (Mahiro Takasugi), seorang antisosial yang menenggelamkan diri dalam
buku, mengaku lebih menikmati novel ketimbang dunia nyata, dan menjauh dari
teman-teman sekelas karena berasumsi, mereka takkan mau bergaul dengan orang
membosankan sepertinya. Bahkan matanya pun senantiasa sendu. Hingga Sakura
Yamauchi (Lynn) si gadis populer, cantik, ceria, dan blak-blakan, memasuki
hidupnya.
Keduanya bertemu di rumah sakit
saat protagonis kita (selanjutnya kita sebut saja “A”) menemukan buku harian
Sakura yang tertinggal. Tanpa basa-basi, Sakura memberitahu bahwa hidupnya
takkan lama lagi akibat kanker yang menggerogoti pankreasnya. Tapi tidak
seperti orang lain yang langsung bersikap luar biasa baik karena kasihan, A
merespon dengan dingin. Bagi Sakura, itu justru bentuk kejujuran, yang
membuatnya tertarik pada A, bahkan meminta si pria penyendiri menghabiskan
waktu bersamanya, mendatangi tempat-tempat yang ingin ia kunjungi sebelum mati.
Sakura merupakan karakter menarik
yang secara santai mengucapkan kata “mati” seolah itu tak berarti apa pun.
Karena memang demikian adanya. I Want to
Eat Your Pancreas membawa pesan mengenai kematian sebagai sebuah kepastian.
Manusia bisa mati kapan saja. Seperti kata Sakura, orang yang sehat bisa saja meninggal
lebih dulu daripada dia, dan mengetahui bahwa kanker kelak akan membunuhnya,
tidak membuat Sakura merasa kondisinya spesial.
Melalui hubungan kedua tokoh utama
(yang cenderung ke arah platonik), sutradara sekaligus penulis naskah Shin'ichirô
Ushijima membawa kita untuk mengobservasi dampak dari rasa cinta, yang dapat
mendorong seseorang berubah jadi lebih baik. Bukan atas dasar permintaan sang
pujaan hati, melainkan karena seseorang mengalami suatu pembelajaran, yang
membuatnya yakin jika perubahan tersebut perlu terjadi demi kebaikannya
sendiri.
Benturan dua pribadi yang bertolak
belakang kerap menghadirkan situasi menggelitik, namun seperti telah disinggung
di atas, paruh pertamanya memunculkan kesan berbeda. Pendekatan aktif Sakura
terhadap A bukan gambaran sosok yang mengagungkan hidup bebas, penuh semangat, dan
tanpa rasa takut, tapi sebatas perversion
terselubung. Saya bagai melihat fantasi pria yang bermimpi didatangi gadis
cantik, yang menganggap sikap sinis dan kesendiriannya menarik. Beruntung hanya
ada satu gadis. Jika lebih, I Want to Eat
Your Pancreas bisa masuk kategori harem.
Ketidaknyamanan memuncak sewaktu
filmnya mulai menyentuh tensi sensual di antara A dan Sakura. Berulang kali
saya coba menampik pemikiran negatif itu, namun ketika melihat A melakukan hal kelewat
batas yang begitu mudah Sakura maafkan (bahkan mempererat hubungan mereka), pemenuhan
fantasi film ini tidak lagi bisa diterima. Saya sempat ingin keluar dari
studio. Untungnya niat itu dibatalkan, sebab setelah melintasi separuh jalan, I Want to Eat Your Pancreas mulai
berevolusi ke arah presentasi manis, bahkan indah, mengenai takdir, dengan
taburan bumbu romansa.
Dibungkus goresan warna lembut, seiring
A yang lebih terbuka dan belajar banyak hal dari Sakura, kehangatan mulai
menyebar. Sampai tiba-tiba, dada ini rasanya seperti ditusuk-tusuk tatkala I Want to Eat Your Pancreas mengungkap
kejutannya, yang masih menyinggung perihal misteri takdir. Narasinya cerdik
mempermainkan ekspektasi penonton. Walau ditutup oleh epilog yang bergulir agak
terlalu lama, konklusinya efektif mengaduk-aduk perasaan, sembari memberi
resolusi memuaskan bagi perjalanan (salah satu) karakternya. Di luar babak awal
yang “sakit”, I Want to Eat Your Pancreas
tetap sebuah cerita bermakna yang layak dicoba.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
39 komentar :
Comment Page:Posting Komentar