10 FILM INDONESIA TERBAIK 2018

39 komentar
Setiap tahun, ketika menyusun daftar film Indonesia terbaik, pertanyaan yang muncul selalu sama, “Bagaimana progres perfilman kita setahun belakangan?”. Menilik dari segi finansial, jumlah total penonton film lokal tahun 2018 tengah menuju 50 juta, yang sejauh ini, merupakan angka terbesar sepanjang masa. Pun saya yakin, begitu Milly & Mamet dan Asal Kau Bahagia merampungkan masa tayangnya, untuk pertama kalinya kita bakal melihat ada 15 judul menembus sejuta penonton selama setahun.

Tapi bagaimana dengan kualitas karya? Bagi saya 2018 tetaplah tahun yang solid, meski dibanding 2017—yang memiliki Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, Sweet 20, Pengabdi Setan, Posesif, Night Bus, Critical Eleven, dan lain-lain—terasa ada penurunan.

Total 96 film lokal saya saksikan, baik di pemutaran reguler maupun festival. Awalnya saya hendak tak menyertakan film-film festival di daftar ini, karena beberapa di antaranya telah memperoleh tanggal penayangan, sedangkan sisanya tinggal menunggu “ketuk palu” dan telah memastikan diri menghiasi bioskop tahun depan. Tapi niat tersebut diurungkan karena terasa menutup mata terhadap pengalaman sinematik yang saya peroleh di festival.

Pertama, simak dulu lima honorabe mentions yang disusun berdasarkan urutan ranking terbawah sampai teratas.

HONORABLE MENTIONS:

27 STEPS OF MAY
Membaca review dan rating yang saya berikan, film ini memang semestinya ada di jajaran 10 besar. Namun fakta bahwa karakter wanita 27 Steps of May membutuhkan lelaki (dalam sosok seorang pesulap) guna mengalahkan trauma akibat diperkosa oleh lelaki, selalu mengganggu benak saya. Di luar itu, caranya bercerita, elemen artistik, hingga akting jajaran pemain khususnya Raihaanun, termasuk yang terbaik sepanjang tahun. (review)

JELITA SEJUBA: MENCINTAI KESATRIA NEGARA
Sebuah kejutan. Mengira akan disuguhi satu lagi propaganda kedigdayaan militer, saya justru menemukan filmnya amat sederhana, serta memanusiakan karakternya. Dua hal lain yang berkesan tak lain penampilan Putri Marino dan “adegan melamar” yang unik nan manis. (review)

ROMPIS
Romansa penuh sakarin yang berhasil membuat saya tersenyum nyaris sepanjang durasi. Keputusan menekankan pada interaksi antar-tokoh yang kerap menggelitik ketimbang asal pamer kalimat puitis atau pemandangan luar negeri jadi kunci keberhasilan. (review)

HOAX
Versi penyuntingan ulang dari Rumah dan Musim Hujan (2012) ini menghasilkan sajian unik yang secara mulus meleburkan drama keluarga, konflik identitas seksual, romansa, bahkan kisah mistis. (review)

ARUNA & LIDAHNYA
Belum maksimal sebagai food porn juga film road trip, tapi Edwin tetap membuktikan kapasitasnya bertutur lewat cara alternatif. Biar begitu, Aruna & Lidahnya merupakan panggung bagi Dian Sastrowardoyo. (review)

Berikut adalah 10 Film Indonesia Terbaik 2018 versi Movfreak.

10.WIRO SABLENG: PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Benar bahwa karya teranyar Angga Dwimas Sasongko ini banyak kekurangan, tapi selaku pembuka jalan blockbuster dalam industri kita, pencapaian Wiro Sableng luar biasa. Aksi solid, CGI apik, desain karakter pun menarik. Biarkan para skeptis yang berkata “Mending nggak usah pakai CGI kalau belum sebagus Hollywood” tinggal di zaman batu. (review)

9.AVE MARYAM
Tidak ada film lokal lain tahun ini yang punya visual secantik Ave Maryam. Kombinasi komposisi sinematografi, permainan cahaya dan warna, pula tata artistik, menyatu sempurna di tengah cerita mengenai konflik batin seorang suster dengan hasrat terpendamnya. (review)

8.MENUNGGU PAGI
Teddy Soeriaatmadja seolah meluangkan kesukaannya terhadap Quentin Tarantino kala menyusun filmnya. Latarnya boleh bertempat di satu malam sarat kekacauan, tapi kematangan Teddy bertutur membuat alurnya mengalir mulus. (review)

7.LOVE FOR SALE
Film Indonesia terbaik 2018 bagi kebanyakan orang. Andai bukan karena konklusinya, saya pun bakal berpikir demikian. Andibachtiar Yusuf berani menyajikan konsep segar tanpa melupakan daya hibur, sementara Gading Marten “naik kelas” sebagai aktor. (review)

6.KULARI KE PANTAI
Jika menontonnya satu atau dua tahun lalu, mungkin saya takkan sebegitu mencintai Kulari ke Pantai. Tapi setelah menghabiskan hari-hari penat khas ibukota, film ini memunculkan kerinduan akan alam serta suasana asri pedesaan. (review)

5.THE NIGHT COMES FOR US
Tahun ini adalah tahunnya Timo Tjahjanto. Pernyataan itu tidak bisa dibantah. Ketika Timo meluapkan segala keliaran imajinasinya, terciptalah sajian aksi dengan tingkat kebrutalan serta komplekitas pengadeganan, yang bahkan belum tentu berani dicoba sutradara veteran Hollywood sekalipun. (review)

4.KELUARGA CEMARA
Calon kuat film Indonesia pertama peraih sejuta penonton tahun depan. Drama keluarga tulus nan hangat yang sempurna mewakili kalimat ikonik, “Harta yang paling berharga adalah keluarga”. Siap-siap berurai air mata. (review)

3.SEBELUM IBLIS MENJEMPUT
Sekali lagi ini tahunnya Timo Tjahjanto. Sebelum Iblis Menjemput ibarat The Raid versi horor, yang enggan menginjak rem, terus menggelontorkan teror demi teror beroktan tinggi. Penampilan sinting Karina Suwandi pantas diganjar penghargaan. (review)

2.KUCUMBU TUBUH INDAHKU
Setelah puluhan tahun, Garin Nugroho masih berkutat di tema oedipus complex dengan beberapa sensualitas tak perlu. Kalau bukan karena itu, Kucumbu Tubuh Indahku akan bertengger di urutan pertama. Garin kembali menemukan sentuhannya perihal permainan simbol, penyatuan realisme dengan surealisme, serta pemanfaatan beragam bentuk kesenian yang mendukung narasi. (review)

1.TEMAN TAPI MENIKAH
Tidak sedikitpun saya menyangka jika film karya Rako Prijanto ini akan duduk di puncak daftar film Indonesia terbaik. Tapi Teman tapi Menikah memang salah satu komedi-romantis terbaik kita dalam beberapa waktu terakhir. Seluruh elemen hampir tanpa cela, dan terpenting, sesuai hakikatnya, film ini tampil romantis termasuk lewat konklusi manis sekaligus mengharukan miliknya. Adipati Dolken dan Vanesha Prescilla juga pantas menyandang status pasangan terbaik tahun ini. (review)

39 komentar :

Comment Page:

ASAL KAU BAHAGIA (2018)

12 komentar
Asal Kau Bahagia dibuat berdasarkan lagu berjudul sama milik Armada, nomor pop catchy bernuansa mellow yang mengajak pendengarnya meratapi cinta. Filmnya pun dikemas dalam bentuk serupa. Melodrama ringan yang mengajak penontonnya meratapi cinta, meski sayangnya, tak punya cukup daya untuk menyetir rasa biarpun tetap jadi suguhan nikmat di ranah kisah cinta remaja.

Alurnya langsung merangsek menuju persoalan utama, ketika Aliando alias Ali (Aliando Syarief) terlibat kecelakaan lalu lintas di tengah perjalanannya menemui sang kekasih, Aurora (Aurora Ribero). Ali koma, namun jiwanya masih berkeliaran layaknya manusia biasa, walau tak ada yang mampu melihatnya. Dia pun tak mampu menyentuh orang lain. Tanpa disangka, menjadi sosok tak terlihat justru membuka jalan baginya memahami isi hati Aurora, yang diam-diam telah enam bulan berselingkuh dengan Rassya (Teuku Rassya).

Ali hanya bisa memandang tak berdaya. Hatinya remuk, sementara saya bertanya-tanya, “Kalau ia bisa menyentuh barang, kenapa ia tidak menulis pesan guna memberitahukan kondisinya kepada Aurora?” Hal itu bakal menghemat waktu, tapi kita film ini takkan eksis. Beruntung, sahabatnya, Dewa (Dewa Dayana), bisa melihat Ali, lalu bersedia membantunya menguntit Aurora guna menyelidiki kebenaran hubungannya dengan Rassya.

Mengacu pada trailer, kita tahu bahwa nantinya, Dewa menjadi perantara komunikasi dua tokoh utama. Momen itu urung terjadi hingga jelang paruh akhir. Kembali, hal tersebut niscaya menghemat waktu, namun meniadakan kesempatan kita menikmati interaksi menghibur Ali-Dewa. Dewa adalah sosok “kawan-konyol-tapi-setia” yang kerap kita temui di film-film serupa. Ketepatan timing komedik Dewa Dayana, pula chemistry solid bersama Aliando, menghasilkan buddy comedy yang efektif memancing tawa.

Aurora adalah gadis populer, dan itu kerap memancing Ali mempertanyakan alasannya bersedia memacari pria introvert sepertinya. Tapi tak sekalipun terlihat introversi Ali maupun bagaimana ketertutupan itu mengganggu Aurora. Mungkin, naskah karya Aline Djayasukmana (Gila Lu Ndro) bersama sang mentor, Upi (Teman Tapi Menikah, Sweet 20), hendak menempatkan penonton di posisi Ali, yang tak menyadari ketidakbahagiaan sang kekasih. Namun ada perbedaan antara “menyamakan perspektif” dengan keluputan eksplorasi. Asal Kau Bahagia termasuk jenis kedua.

Alhasil, saat Rassya menyulut api asmara di hati Aurora, sulit memahami alasannya. Anda bisa berargumen bahwa cinta tidak butuh alasan. Cinta terjadi begitu saja, datang dan pergi seperti mendung. Masalahnya, film ini sendiri coba menjabarkan alasan itu, yang gagal dipresentasikan secara meyakinkan. Aurora menyebut Rassya lebih liar, seru, sosok pria ceria yang menghembuskan angin segar di hidupnya. Tapi, serupa Ali dengan introversinya, sisi tersebut tak tampak dari Rassya yang justru terkesan halus, bahkan kalah “membara” dibanding Ali.

Bukan berarti segala sisi naskah menemui kegagalan. Keengganan menabur “pemanis” berlebih patut diapresiasi. Bahasa (sok) puitis dihindari, berhati-hati pula dramatisasi, termasuk di momen paling menyedihkan, diolah. Selaras dengan itu adalah penyutradaraan Rako Prijanto (Teman Tapi Menikah, Bangkit!, 3 Nafas Likas) yang mengedepankan tuturan manis ketimbang drama bergelora. Didukung sinematografi Hani Pradigya (Teman Tapi Menikah, Terjebak Nostalgia, Wage) Rako menangkap beberapa gambar indah, menerapkan gerak lambat, juga memilih sudut kamera yang membuat kedua pemainnya (yang aslinya sudah rupawan) terlihat makin cantik di layar.

Bukan berarti dua pemain utama kita sekadar bermodalkan tampang. Sebaliknya, bisa jadi Asal Kau Bahagia telah memberi “It couple” berikutnya bagi perfilman Indonesia, yang kelak berpotensi melengserkan kedigdayaan Jefri Nichol-Amanda Rawles. Dibarengi deretan lagu yang mengalun syahdu di telinga, kebersamaan merekamemberi sokongan tambahan bagi film ini, di luar pondasi rapuh yang naskahnya sediakan.

Pasca debut meyakinkan di Susah Sinyal (2017), Aurora menunjukkan kemampuan memanggul beban sebagai pemeran utama. Kapasitasnya bermain drama menghadirkan kompleksitas bagi tokoh peranannya, yang mana gagal diberikan oleh naskahnya. Sedangkan untuk Aliando, semestinya inilah pembuka gerbang kesuksesan berkarir di layar lebar. Aliando menunjukkan jangkauan akting cukup luas, dari kebolehan menangani humor, pesona dalam interaksi kasual, sampai momen emosional.

Sayang, rute aman dipilih sebagai konklusi romantsime keduanya, yang turut melucuti peluang film ini menyuguhkan resolusi lebih dewasa—tanpa harus kehilangan sisi bittersweet—mengenai “the art of letting go” demi kebahagiaan sosok tercinta. Tapi sulit dipungkiri, banyak penonton akan terwakili oleh konfliknya, dan itu sudah menjadi cukup alasan guna memberi kesempatan pada Asal Kau Bahagia. Mungkin saja film ini merefleksikan seluk beluk kehidupan cinta anda.

12 komentar :

Comment Page:

2019 OSCAR NOMINEES PREDICTION

55 komentar
Well, this is a long shot. Membuat prediksi sebulan sebelum pengumuman nominasi (22 Januari) memang seperti perjudian besar. Tapi bukan masalah, toh ini cuma analisa senang-senang. Jadi, berikut adalah prediksi saya untuk peraih nominasi Oscar 2019 di setiap kategori (kecuali film-film pendek).

BEST VISUAL EFFECTS
Tiga judul mengunci status mereka: Avengers: Infinity War, Ready Player One, Black Panther. Mungkin komentar miring, “Ah, CGI Black Panther jelek, lihat klimaksnya yang terlihat palsu” bakal banyak terdengar, tapi efek visualnya bukan itu saja. Beberapa pemakaian CGI, khususnya dalam menghidupkan dunia beraneka kultur Wakanda, mungkin bakal terlewat dari pengamatan karena begitu halus. Dua slot sisa akan diperebutkan First Man, Mary Poppins Returns, dan Bumblebee.
Prediksi: Avengers: Infinity War, Black Panther, Ready Player One, First Man, Mary Poppins Returns

BEST FILM EDITING
Sebagai kontender utama untuk Film Terbaik, mestinya Roma dan A Star is Born akan melenggang mulus. Demikian pula First Man yang memiliki penyuntingan luar biasa.
Prediksi: Roma, A Star is Born, First Man, The Favourite, Widows

BEST COSTUME DESIGN
The Favourite kemungkinan besar bakal keluar sebagai jawara kategori ini, sementara Black Panther yang memadukan ragam budaya Afrika dipastikan jadi penantang. Mary Poppins Returns dengan varian kostum yang dikenakan Emily Blunt pun takkan dilewatkan juri. Persaingan sengit terjadi antara Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald, Bohemian Rhapsody, dan Mary Queen of Scots.
Prediksi: The Favourite, Black Panther, Mary Poppins Returns, Bohemian Rhapsody, Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald

BEST MAKEUP AND HAIRSTYLING
The Favourite di luar dugaan tak muncul di shortlist, memberi peluang pada Mary Queen of Scots sebagai sesama film period, disusul Vice yang memfasilitasi transformasi Christian Bale
Prediksi: Mary Queen of Scots, Vice, Black Panther

BEST CINEMATOGRAPHY
Roma dengan visual hitam-putih, First Man yang bernuansa home video, serta pemakaian cahaya alami di The Favourite akan mengisi daftar unggulan. Saling sikut akan terjadi antara If Beale Street Could Talk, A Star is Born, dan Black Panther.
Prediksi: Roma, First Man, The Favourite, If Beale Street Could Talk, A Star is Born

BEST PRODUCTION DESIGN
Empat posisi teratas pasti digenggam The Favourite, First Man, Black Panther, dan Mary Poppins Returns. Satu tempat tersisa jadi pertarungan dua film dengan gaya bertolak belakang, yaitu Roma dan Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald.
Prediksi: The Favourite, First Man, Black Panther, Mary Poppins Returns, Roma

BEST SOUND MIXING
Tentu A Star is Born sebagai film musik dan First Man lewat tata suara menghantui bakal berkuasa. A Quiet Place yang bermain-main dengan suara berpeluang meraih nominasi.
Prediksi: A Star is Born, First Man, Mary Poppins Returns, Black Panther, A Quiet Place

BEST SOUND EDITING
Tahun lalu kita memperoleh nominasi serupa di kedua kategori tata suara. Tahun ini, kemungkinan terjadi perbedaan, di mana Ready Player One berpeluang menggeser posisi A Star is Born
Prediksi: First Man, Mary Poppins Returns, Black Panther, A Quiet Place, Ready Player One

BEST ORIGINAL SONG
Seperti dua tahun lalu, rasanya keempat nominasi lain adalah penggembira di saat Shallow bakal melenggang mulus ke tangga juara.
Prediksi: Shallow – A Star is Born, All the Stars – Black Panther, The Place Where Lost Things Go – Mary Poppins Returns, Revelation – Boy Erased, I’ll Fight – RBG

BEST ORIGINAL SCORE
First Man dengan musik menghantui akan ditemani If Beale Street Could Talk dan Mary Poppins Returns mengamankan nominasi. Nicholas Brittel dalam Vice dan Terrence Blanchard di BlacKkKlansman dapat mengejutkan sewaktu-waktu.
Prediksi: If Beale Street Could Talk, First Man, Mary Poppins Returns, Black Panther, Isle of Dogs

BEST DOCUMENTARY FEATURE
Tiga judul yang paling banyak memperoleh buzz adalah Won’t You Be My Neighbor?, Free Solo, dan Minding the Gap. Seperinya nominasi takkan jauh-jauh dari mereka.
Prediksi: Won’t You Be My Neighbor?, Free Solo, Minding the Gap, RBG, Hale County This Morning This Evening

BEST FOREIGN LANGUAGE FILM
Sebagai penantang di kategori puncak alias Best Picture, status Roma takkan tergoyahkan. Never Look Away (Jerman) dan Cold War (Polandia) bakal saling jegal.
Prediksi: Roma (Meksiko), Shoplifters (Jepang), Burning (Korea Selatan), Capharnaüm (Lebanon), Cold War (Polandia)

BEST ANIMATED FEATURE FILM
Salah satu kategori yang rasanya takkan menghasilkan kejutan di jajaran nominasi. Mirai akan jadi perwakilan dari luar Hollywood.
Prediksi: Spider-Man: Into the Spider-Verse, Incredibles 2, Ralph Breaks the Internet, Isle of Dogs, Mirai

BEST ADAPTED SCREENPLAY
Para pengisi nominasi kategori ini pun rasanya sudah bisa dipastikan, kecuali jika tiba-tiba First Man memperoleh hype jelang detik-detik akhir. Dari skena indie, Leave No Trace pun berpeluang mengejutkan.
Prediksi: A Star is Born, Black Panther, Can You Ever Forgive Me?, If Beale Street Could Talk, BlacKkKlansman

BEST ORIGINAL SCREENPLAY
Persaingan cukup ketat di sini. Roma dan The Favourite mungkin sudah mengamankan posisi, namun Green Book, Vice, First Reformed, dan Eighth Grade masih bersaing ketat.
Prediksi: Roma, The Favourite, Vice, First Reformed, Eighth Grade

BEST SUPPORTING ACTRESS
Empat nama teratas sudah tak bisa diganggu gugat, tinggal menanti siapa yang akan memenangkan persaingan merebut nominasi antara Claire Foy (First Man) dan Thomasin Harcourt McKenzie (Leave No Trace).
Prediksi: Amy Adams (Vice), Regina King (If Beale Street Could Talk), Emma Stone (The Favourite), Rachel Weisz (The Favourite), Claire Foy (First Man)

BEST SUPPORTING ACTOR
Satu lagi kategori minim kejutan. Kecuali Disney melancarkan kampanye masif yang efektif untuk menggenjot peluang Michael B. Jordan (Black Panther).
Prediksi: Richard E. Grant (Can You Ever Forgive Me?), Adam Driver (BlacKkKlansman), Mahershala Ali (Green Book), Sam Elliott (A Star is Born), Timothée Chalamet (Beautiful Boy)

BEST ACTRESS
Satu-satunya pertanyaan di kategori ini adalah, apakah Yalitza Aparicio (Roma) si pendatang baru, atau Emily Blunt (Mary Poppins Returns) yang menyabet nominasi SAG, yang bakal mengisi sisa slot?
Prediksi: Glenn Close (The Wife), Lady Gaga (A Star is Born), Olivia Colman (The Favourite), Melissa McCarthy (Can You Ever Forgive Me?), Emily Blunt (Mary Poppins Returns)

BEST ACTOR
Ethan Hawke (First Reformed) dilupakan oleh juri SAG, memberi peluang kepada John David Washington (BlacKkKlansman). Status sebagai putera Denzel Washington yang amat dihormati di kalangan penggiat film turut menjadi faktor X.
Prediksi: Bradley Cooper (A Star is Born), Christian Bale (Vice), Rami Malek (Bohemian Rhapsody), Viggo Mortensen (Green Book), John David Washington (BlacKkKlansman)

BEST DIRECTOR
Damien Chazelle sanggup menciptakan perjalanan luar angkasa sekaligus penelusuran duka mencengangkan lewat First Man, tapi rasanya juri Oscar bakal cenderung memilih merayakan kembalinya Spike Lee ke performa terbaik dengan memberinya nominasi. Adam McKay (Vice) masih memiliki peluang, demikian pula sutradara wanita Debra Granik (Leave No Trace) apabila Oscar ingin memberi diversity di jajaran nominasi.
Prediksi: Bradley Cooper (A Star is Born), Alfonso Cuaron (Roma), Spike Lee (BlacKkKlansman), Yorgos Lanthimos (The Favourite), Ryan Coogler (Black Panther)

BEST PICTURE
Saya memprediksi bahwa kategori Best Picture tahun ini akan diisi oleh delapan judul. Tujuh film yang disebut pertama rasanya sudah mengamankan posisi. Sisa satu tempat akan diperebutkan Vice, Can You Ever Forgive Me?, Eighth Grade, dan First Man. Sedangkan Bohemian Rhapsody yang meraih nominasi di SAG berpeluang memberi kejutan.
Prediksi: Roma, A Star is Born, Black Panther, BlacKkKlansman, The Favourite, If Beale Street Could Talk, Green Book, Vice

55 komentar :

Comment Page:

ZERO (2018)

4 komentar
(PERINGATAN: Review ini mengandung SPOILER!)
Seperti impian protagonisnya, Zero adalah karya ambisius. Mungkin romansa paling ambisius yang saya saksikan sepanjang tahun. Berawal dari kota kecil bernama Meerut, karakternya dibawa melanglang buana menuju kehidupan glamor dunia hiburan, sebelum berakhir terbang ke luar angkasa. Demi memperoleh kepuasan, sebaiknya tinggalkan logika di rumah, dan jangan lupa membawa hati ketika menontonnya.

Saya merasa Bauua Singh (Shah Rukh Khan) si karakter utama pantas disebut “zero”. Ya, dia memang seorang pria kerdil dari pinggiran kota tanpa modal pendidikan tinggi, tapi pertama, ia jelas tampan (Come on, this is SRK that we’re talking about). Kedua, ia berasal dari keluarga kaya raya yang membuatnya bisa seenaknya menyebar uang ke jalanan, bahkan menghabiskan 600 ribu rupee, atau sekitar 124 juta rupiah guna menunjukkan cintanya kepada seorang wanita.

Itu terjadi dalam musikal berisi warna-warni menyala, semburan air, dan orkestra megah, yang disatukan oleh sutradara Aanand L. Rai (Tanu Weds Manu, Raanjhanaa) menjadi momen terindah film ini. Sedangkan wanita perebut hati Bauua adalah Aafia (Anushka Sharma), ilmuwan NASA penderita cerebral palsy yang harus menghabiskan harinya di kursi roda. Awalnya mereka saling benci. Bauua yang mengetahui Aafia dari foto di biro jodoh merasa tertipu melihat kondisinya. Sementara kejengahan Aafia dapat dipahami. Bauua adalah pria sok pintar, sok ganteng, egois, juga kurang ajar. Dia bahkan mengolok-olok kelumpuhan Aafia di sebuah konferensi pers. Namun kegigihan Aafia mampu meluluhkan hati Bauua, yang segera berusaha memperbaiki kesalahannya.

Zero bisa saja bergerak menyusuri formula drama romantika sarat makna tentang dua insan berkekurangan yang saling menemukan, lalu sama-sama membuktikan bahwa mereka menyimpan banyak kelebihan. Ternyata tidak. Seperti Bauua, Zero memiliki ambisi lebih besar.

Protagonis kita diberkahi kekuatan unik untuk menjatuhkan bintang. Dia hanya perlu mengacungkan jari, berhitung, “10, 9, 8, zero!”, dan bintang yang dimau jatuh dari langit. Rupanya Bauua ingin merengkuh “bintang” lain, yakni Babita Kumari (Katrina Kaif), seorang aktris film ternama. Terdengar bagai pungguk merindukan bulan, namun kala “kebetulan” dan “kegilaan” bertubrukan, jalan merebut hati si megabintang pun terbuka lebar. Zero mencapai titik balik begitu Bauua memilih mengejar impian muluknya, lalu meninggalkan wanita yang tulus mencintainya.

Babak pertama Zero jadi kisah cinta intim nan manis berkat duet maut Shah Rukh Khan-Anushka Sharma. Tuntutan performa akurat kala memerankan penderita cerebral palsy urung menghalangi Anushka menghantarkan emosi secara meyakinkan. Sementara SRK menyuntikkan cukup energi guna menghidupkan sosok pria dengan kepercayaan diri plus semangat tinggi.

Walau menimbulkan tanya perihal cara Bauua bertahan hidup (dan tetap bergelimang uang) pasca kabur dari rumah di saat peristiwa itu terjadi mendadak dan ia tak membawa apa pun, babak keduanya berhasil tampil sama menghiburnya dengan babak pertama. Protagonis kita semakin lengket dengan sang idola, yang rupanya adalah alkoholik dengan kehidupan berantakan, terlebih pasca ditinggalkan kekasihnya. Tapi sekali lagi, pesona Bauua terbukti sulit ditahan.

Setelah terlibat obrolan panjang lebar untuk pertama kali di sebuah pesta—yang dijadikan alat menampilkan sederet cameo dari Kajol, Rani Mukerji, Deepika Padukone, Alia Bhatt, hingga mendiang Sridevi dalam penampilan layar lebar terakhirnya—Babita membiarkan Bauua tinggal di dekatnya, mengajaknya ke lokasi syuting, pemotretan, bahkan tinggal di rumahnya. Sekilas, Zero terdengar akan melangkah menuju satu lagi kisah seputar karakter yang sukses mewujudkan impiannya, hanya untuk menyadari impian itu tak seindah angan, menyesal telah membuang hal-hal berharga demi ambisinya, lalu berusaha mendapatkannya lagi.

Pernyataan terakhir memang benar, tapi Bauua sama sekali tidak dikecewakan oleh Babita. Cita-citanya jadi kenyataan, namun secara bersamaan, ia merasa betapa cintanya bagi Aafia memang nyata, pula sebaliknya. Bauua “terbangun” kala kebahagiaan justru sedang menyinari hidupnya. Bagi saya, kondisi tersebut membuat kesadaran karakternya jauh lebih bermakna dan murni. Babita sendiri menyadari isi hati Bauua, menggiringnya memancing obrolan memikat di mobil, yang juga merupakan panggung pembuktian kapasitas akting dramatik Katrina Kaif.

Sampai di sini, terlihat jika naskah buatan kolaborator Aanand L. Rai sejak Strangers (2007), Himanshu Sharma, benar-benar mengesampingkan logika. Jangankan mendekap hati idola, keberhasilan membuat seorang ilmuwan NASA yang berperan besar merealisasikan ekspedisi ke Mars bertekuk lutut saja sudah terdengar di luar nalar. Toh semua kemustahilan itu nampak normal dibandingkan konten babak ketiganya, sewaktu Bauua coba menebus dosa besar pada Aafia lewat kegilaan besar.

Dia bisa mengendalikan bintang, pun menaklukkan seorang bintang, kini waktunya Bauua sungguh-sungguh pergi ke bintang. Sekembalinya dari hingar bingar dunia selebritas bersama Babita, Bauua mengetahui cinta sejatinya telah dilamar pria lain dan tengah mempersiapkan pernikahan. Tapi ia pantang menyerah. Dipustukannya mengikuti tes sebagai astronot dalam misi peluncuran kapal berawak manusia ke Mars. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini ia bertekad takkan kabur saat menghadapi rintangan.

Di permukaan, kenekatan itu terlihat tanpa arti. Seolah naskahnya asal berjalan nihil tujuan, dan digerakkan semata oleh ambisi guna memperbesar skala film. Tapi jika pernah merasakan keputusasaan akibat cinta, anda akan memahami dorongan berbuat hal gila demi mengekspresikan perasaan, meski jika dipikir masak-masak, tindakan itu tidak berguna. Zero berhasil mewakili kondisi tersebut.

Merupakan film SRK berbujet terbesar, Zero mempunyai efek visual memikat yang mengakodomasi ambisi tingginya. Agr SRK terlihat “mengecil”, film ini menerapkan forced perspective sebagaimana dipakai Peter Jackson di trilogi The Lord of the Rings, dikombinasikan dengan teknik double scale. Hasilnya naural. Bukan itu saja, CGI turut digunakan secara efektif di beberapa kesempatan, misalnya saat SRK dan Anushka melayanng di ruang bergravitasi nol, hingga adegan peluncuran roket.

Keluhan terbesar saya justru muncul tepat ketika film menyentuh titik pamungkas. Kentara, naskahnya menyimpan ide agar konklusinya tampil lebih dramatis, tapi (mungkin) karena Zero telah bergulir selama 164 menit, pula menjaga agar biaya produksi tak semakin membengkak, diputuskanlah merangkum ide tersebut menjadi epilog pendek yang terasa sambil lalu, tanpa substansi, tanpa dampak emosi. Padahal saya sendiri tak keberatan duduk 20-30 menit lebih lama. Sebab walau menyalahi nalar serta jauh dari sempurna, Zero merupakan kisah cinta epic yang sanggup menebar senyuman.

4 komentar :

Comment Page:

MARY POPPINS RETURNS (2018)

7 komentar
Sebagai musikal, Mary Poppins Returns adalah throwback lengkap bagi musikal oldskul Hollywood, khususnya judul-judul dari dapur Disney. Musik ceria, lirik lugu, hingga tarian di dalam studio yang mereka ulang sudut-sudut kota jadi beberapa contoh karakterisasi. Mungkin takkan sepenuhnya memuaskan selera penonton sekarang,  tapi mereka yang familiar pasti bakal mengapresiasi pencapaian Rob Marshall (Chicago, Memoirs of Geisha, Into the Woods) dan timnya. Tapi sebagai kisah soal hubungan ayah-anak beserta proses belajar masing-masing pihak, naskah karya David Magee (Finding Neverland, Life of Pi) kurang cermat dalam mengawinkan narasi dengan lagu. Alhasil, Mary Poppins Returns tak sampai memancing saya berujar, “Supercalifragilisticexpialidocious”.

Mengambil latar 25 tahun pasca film pertama, Jane (Emily Mortimer) dan Michael (Ben Whishaw) kini telah dewasa. Michael bahkan mempunyai tiga anak: Georgie (Joel Dawson), Annabel (Pixie Davis), dan John (Nathanael Saleh). Michael mesti merawat ketiganya sendiri pasca kematian sang istri yang amat memukulnya, memperbesar tekanan di tengah era Great Depression. Puncaknya ketika ia gagal melunasi hutang kepada bank dan terancam kehilangan rumah apabila tidak membayar dalam lima hari.

Saat itulah Mary Poppins (Emily Blunt) kembali guna “menawarkan” jasa mengasuh ketiga anak Michael, menarik mereka menuju proses pembelajaran tentang aspek-aspek kehidupan melalui lagu-lagu dan petualangan ajaib, sembari membantu sang ayah memenangkan rumahnya lagi.Turut serta pula Jack (Lin-Manuel Miranda), seorang lamplighter yang serupa Bert (Dick Van Dyke) di film pertama, merupakan sosok yang memahami kejaiban Mary Poppins.

Bila Bert memiliki aura misterius nan ajaib seperti Mary Poppins—yang ditunjukkan oleh beragam identitasnya sepanjang film—Jack sedikit membingungkan. Dia dapat muncul tiba-tiba di berbagai lokasi, namun sosoknya tak sebegitu “out-of-this-world”, khususnya saat film ini memberinya subplot romansa dengan Jane, yang urung memberi dampak kepada plot utama. Beruntung, Mary Poppins masih sosok yang sama: pengasuh tegas yang selalu tersenyum, mengagumkan dan gemar mengagumi diri sendiri melalui cermin serta lagu. Bisa dipahami, sebab memang mudah untuk kagum terhadapnya berkat Emily Blunt yang bagai menuangkan sihir ke dalam penampilannya.

Sebagai sutradara musikal veteran, Rob Marshall paham mesti berbuat apa. Beberapa sekuen fantasi akan membuatmu terpana berkat pengadeganan imajinatif plus keceriaan efek visual. Pada latar lebih “realistis”, Marshall tahu cara mengkreasi nuansa musikal klasik, sembari menyelipkan rujukan untuk film pertama. Hal serupa dilakukan Marc Shaiman (When Harry Met Sally...,Sleepless in Seatlle, Hairspray) dalam musik buatannya. Referensi terhadap lagu-lagu macam A Spoonful of Sugar dan Let’s Go Fly a Kite bisa didengar, meski hasil akhirnya, baik soal komposisi nada atau lirik, masih berada di bawah bayang-bayang kejayaan berbagai nomor ikonik tersebut, pun dengan daya bunuh tak seberapa kuat.

Tapi adegan musikalnya tak semudah itu menggerakkan perasaan akibat ketidakmampuan naskahnya bercerita lewat lagu. Mata saya terpuaskan, tapi hati ini, seringkali tetap dingin. Dalam musikal yang baik, lagu digunakan untuk mewakili proses memecahkan persoalan. Tapi dalam Mary Poppins Returns, persoalan yang perlu dipecahkan tampak buram. Sulit memahami konflik apa yang terjadi sebelum lagunya menyuguhkan jalan keluar. Rasanya bak mendengarkan seseorang memberi solusi panjang lebar untuk masalah yang kita sendiri tidak tahu sedang kita hadapi.

Setidaknya sebagai sajian selama masa liburan, Mary Poppins Returns tetap mengasyikkan dinikmati. Visual ceria, akting lovable Emily Blunt yang berpeluang memberi sang aktris nominasi Oscar perdana (andai mampu mengalahkan Yalitza Aparicio di Roma dalam perebutan sisa slot nominasi), juga kemunculan singkat namun menghibur dari Meryl Streep dengan tingkah eksentrik dan aksen Eropa Timurnya, cukup untuk melunasi waktu dan uang yang anda luangkan.

7 komentar :

Comment Page:

I WANT TO EAT YOUR PANCREAS (2018)

4 komentar
Pembaca reguler blog ini pasti tahu bahwa “kelemahan” saya adalah romansa bittersweet dramatis (tahun ini sudah ada On Your Wedding Day, The Hows of Us, Color Me True dan lain-lain). I Want to Eat Your Pancreas—selaku adaptasi novel berjudul sama karya Yoru Sumino yang sebelumnya telah diterjemahkan dalam format live action lewat Let Me Eat Your Pancreas (2017)—bisa tergabung dalam jajaran tontonan yang dengan senang hati saya tangisi, andai saja filmnya bersedia menghilangkan, atau setidaknya mengurangi usaha memenuhi “mimpi basah” pria-pria kesepian di paruh awal.

Protagonis kita adalah laki-laki tanpa nama (Mahiro Takasugi), seorang antisosial yang menenggelamkan diri dalam buku, mengaku lebih menikmati novel ketimbang dunia nyata, dan menjauh dari teman-teman sekelas karena berasumsi, mereka takkan mau bergaul dengan orang membosankan sepertinya. Bahkan matanya pun senantiasa sendu. Hingga Sakura Yamauchi (Lynn) si gadis populer, cantik, ceria, dan blak-blakan, memasuki hidupnya.

Keduanya bertemu di rumah sakit saat protagonis kita (selanjutnya kita sebut saja “A”) menemukan buku harian Sakura yang tertinggal. Tanpa basa-basi, Sakura memberitahu bahwa hidupnya takkan lama lagi akibat kanker yang menggerogoti pankreasnya. Tapi tidak seperti orang lain yang langsung bersikap luar biasa baik karena kasihan, A merespon dengan dingin. Bagi Sakura, itu justru bentuk kejujuran, yang membuatnya tertarik pada A, bahkan meminta si pria penyendiri menghabiskan waktu bersamanya, mendatangi tempat-tempat yang ingin ia kunjungi sebelum mati.

Sakura merupakan karakter menarik yang secara santai mengucapkan kata “mati” seolah itu tak berarti apa pun. Karena memang demikian adanya. I Want to Eat Your Pancreas membawa pesan mengenai kematian sebagai sebuah kepastian. Manusia bisa mati kapan saja. Seperti kata Sakura, orang yang sehat bisa saja meninggal lebih dulu daripada dia, dan mengetahui bahwa kanker kelak akan membunuhnya, tidak membuat Sakura merasa kondisinya spesial.

Melalui hubungan kedua tokoh utama (yang cenderung ke arah platonik), sutradara sekaligus penulis naskah Shin'ichirô Ushijima membawa kita untuk mengobservasi dampak dari rasa cinta, yang dapat mendorong seseorang berubah jadi lebih baik. Bukan atas dasar permintaan sang pujaan hati, melainkan karena seseorang mengalami suatu pembelajaran, yang membuatnya yakin jika perubahan tersebut perlu terjadi demi kebaikannya sendiri.

Benturan dua pribadi yang bertolak belakang kerap menghadirkan situasi menggelitik, namun seperti telah disinggung di atas, paruh pertamanya memunculkan kesan berbeda. Pendekatan aktif Sakura terhadap A bukan gambaran sosok yang mengagungkan hidup bebas, penuh semangat, dan tanpa rasa takut, tapi sebatas perversion terselubung. Saya bagai melihat fantasi pria yang bermimpi didatangi gadis cantik, yang menganggap sikap sinis dan kesendiriannya menarik. Beruntung hanya ada satu gadis. Jika lebih, I Want to Eat Your Pancreas bisa masuk kategori harem.

Ketidaknyamanan memuncak sewaktu filmnya mulai menyentuh tensi sensual di antara A dan Sakura. Berulang kali saya coba menampik pemikiran negatif itu, namun ketika melihat A melakukan hal kelewat batas yang begitu mudah Sakura maafkan (bahkan mempererat hubungan mereka), pemenuhan fantasi film ini tidak lagi bisa diterima. Saya sempat ingin keluar dari studio. Untungnya niat itu dibatalkan, sebab setelah melintasi separuh jalan, I Want to Eat Your Pancreas mulai berevolusi ke arah presentasi manis, bahkan indah, mengenai takdir, dengan taburan bumbu romansa.

Dibungkus goresan warna lembut, seiring A yang lebih terbuka dan belajar banyak hal dari Sakura, kehangatan mulai menyebar. Sampai tiba-tiba, dada ini rasanya seperti ditusuk-tusuk tatkala I Want to Eat Your Pancreas mengungkap kejutannya, yang masih menyinggung perihal misteri takdir. Narasinya cerdik mempermainkan ekspektasi penonton. Walau ditutup oleh epilog yang bergulir agak terlalu lama, konklusinya efektif mengaduk-aduk perasaan, sembari memberi resolusi memuaskan bagi perjalanan (salah satu) karakternya. Di luar babak awal yang “sakit”, I Want to Eat Your Pancreas tetap sebuah cerita bermakna yang layak dicoba.

4 komentar :

Comment Page: