KUTUK (2019)
Rasyidharry
Juli 28, 2019
Alice Norin
,
Fajar Umbara
,
horror
,
Indonesian Film
,
REVIEW
,
Rudi Aryanto
,
Sangat Jelek
,
Shandy Aulia
,
Vitta Mariana
35 komentar
Pepatah “Pengalaman adalah guru
yang terbaik” memang benar. Menjalani debut sebagai produser sekaligus penulis
naskah, Shandy Aulia memanfaatkan pengalamannya bermain di setumpuk horor
buruk, menerapkan segala kelemahan yang ia temui untuk membuat Kutuk semakin busuk. Sambutlah “The Greatest Hits of Shandy Aulia’s Terrible, Horrible, No Good, Very Bad Horror Movie”.
Shandy memerankan Maya, gadis muda
yang baru bekerja di sebuah panti jompo yang cuma punya satu pegawai, yakni
Gendhis (Vitta Mariana) si perawat judes. Sikap tak menyenangkan Gendhis bukan
saja ditujukan pada Maya, pulaElena (Alice Norin) si pemilik panti yang ramah.
Nantinya anda akan tahu, kejudesan Gendhis—yang mengingatkan akan kegalakan
palsu para senior saat ospek—disertakan oleh naskahnya hanya untuk menambah
daya kejut twist terkutuk yang
menanti di belakang.
Maya sendiri merupakan karakter
yang berjalan di garis tipis pemisah “keberanian” dan “kebodohan”. Belum
seberapa lama ia menginjakkan kaki di panti, ia sudah melihat hantu dan mendengar
suara-suara aneh. Bahkan selepas mulai bekerja, setiap hari, apa pun yang Maya
kerjakan selalu membawanya menuju peristiwa mengerikan. Keputusan Maya untuk
terus bertahan bukan membuktikan ia punya nyali atau memedulikan para lansia,
melainkan bahwa otak Maya ternyata juga maya.
Menulis naskahnya bersama Fajar
Umbara (Sabrina, Mata Batin 2, Ikut Aku
ke Neraka), Shandy menerapkan ilmu yang sepanjang karirnya ia pelajari,
yaitu “PLOT FILM HOROR HARUS DIKESAMPINGKAN, DISIMPAN SAMPAI BABAK KETIGA DI MANA
SEMUA RAHASIA MENDADAK DIUNGKAP LEWAT SATU SEKUEN KALA KARAKTER UTAMANYA
MENDAPAT PENGLIHATAN”. Di sini Shandy dan Fajar bukan membuat “plot twist”, melainkan “twist plot”, yaitu kondisi tatkala plot
sebuah film dihimpatkan dalam satu twist.
Jadi, di samping pengalaman
supernatural Maya, apa yang film terkutuk ini tawarkan selama 82 menit
durasinya? Adakah misteri? Atau gejolak drama? Jawabannya adalah “OBROLAN”,
saudara-saudara. Kutuk senang sekali
menampilkan karakternya menyesap secangkir teh sembari melontarkan dialog
membosankan yang dihantarkan oleh para pemainnya tanpa nyawa.
Shandy yang malang. Dia nampak
begitu lelah memproduksi sambil menggarap naskah film ini, ia terlihat tak
punya sisa tenaga untuk berakting, sehingga menyampaikan baris demi baris
kalimat secara datar. Tidak heran. Pasti dia (bersama Bung Fajar tentunya) harus
memeras otak, bekerja ekstra, supaya bisa mencetuskan ide penciptaan kalimat
menggelikan seperti, “Dari awal kamu memang sudah sentimen sama saya” atau “Kamu
pasti udah kena nyinyirnya Gendhis ya?”. Nganu....kenapa gaya bicara karakter
yang biasanya formal mendadak berubah ya Mbak Shandy, Mas Fajar? Dan berlatar
tahun berapa sebenarnya film ini?
Pun tidak mengejutkan saat nyaris
mustahil menemukan teror mengerikan di sini, meski sutradara Rudi Aryanto (Surat Cinta untuk Starla the Movie,The Way I
Love You) telah berbaik hati tidak berusaha menghancurkan gendang telinga
kita, dengan mengatur volume musik secukupnya, terlebih di menit-menit awal
tatkala keheningan kerap dipakai. Setidaknya, Rudi berhasil menyelipkan satu jump scare cerdik nan mengejutkan (clue: melibatkan cermin) berkat pilihan timing sempurna.
Bersenjatakan peristiwa berdarah,
klimaksnya menyimpan potensi, walau sayang, berakhir problematik. Rupanya, si
hantu hanya coba memberitahukan sesuatu kepada Maya. Di horor kebanyakan, hal
itu tak bisa seketika dilakukan karena butuh diadakan ritual dan/atau
menyediakan perantara. Tapi Kutuk tidak
memerlukan itu. Jadi kenapa baru terjadi jelang akhir? Kenapa pula Maya yang
terus diganggu bila ternyata si hantu bukan menargetkan nyawanya? Sungguh
produk terkutuk.
KOBOY KAMPUS (2019)
Rasyidharry
Juli 26, 2019
Anfa Safitri
,
Comedy
,
Cukup
,
Indonesian Film
,
Jason Ranti
,
Pidi Baiq
,
REVIEW
,
Ricky Harun
,
Tubagus Deddy
3 komentar
Seringkali, kata “representasi”
menentukan kenikmatan kita menyaksikan sebuah film. Walau kualitasnya jeblok sekalipun,
jika film itu sanggup mewakili aspek-aspek dalam hidup kita, kelemahannya bisa
dimaafkan. Itulah yang terjadi antara saya dengan Koboy Kampus selaku karya terbaru Pidi Baiq, yang kali ini
menyutradarai filmnya bersama Tubagus Deddy, yang sebelumnya menulis naskah Baracas: Barisan Anti Cinta Asmara
(debut penyutradaraan Pidi).
Meski sadar betul betapa berantakan
penceritaan Koboy Kampus, kisahnya mengingatkan
saya pada masa-masa indah kala berkuliah kala studi terbengkalai akibat terlalu
sering menghabiskan waktu di ruang seni bersama teman-teman, menyanyi, tertawa,
memikirkan asmara, bicara ngalor ngidul soal
segala hal, sembari mengutarakan sudut pandang absurd kami masing-masing.
Berlatar tahun 1995-1998 tatkala
gejolak jelang reformasi makin memanas, filmnya memaparkan kehidupan Pidi Baiq
(Jason Ranti), mahasiswa seni rupa ITB yang menginisiasi berdirinya “Negara Kesatuan Republik The
Panasdalam” alih-alih ikut turun ke jalan. Meminjam ucapan Ninu (Ricky Harun),
The Panasdalam adalah “kingdom of have
fun” (plesetan “kingdom of heaven”),
yakni tempat di mana rakyatnya bisa bersenang-senang biarpun kondisi Indonesia
sedang kalut.
Tapi mereka tetap para mahasiswa
kritis, sebagaimana filmnya tunjukkan melalui beberapa obrolan seputar politik
hingga esensi bernegara. Koboy Kampus pun
berpeluang memantik diskusi berisi ragam perspektif, andai karakter Pidi, yang
bergelar “Imam Besar The Panasdalam”, tidak didesain sebagai sumber
kebijaksanaan yang senantiasa menuntaskan masalah lewat petuah-petuah.
Mengenakan jaket jeans dan jago
merangkai kata, Pidi memang tak ubahnya Dilan, yang kegombalannya digantikan
kalimat-kalimat bernada filosofis mengenai isu sosial-politik. Dan seperti Dilan 1990, Koboy Kampus sejatinya tidak memiliki plot, bergerak layaknya
kompilasi sketsa plus video klip.
Naskah yang juga ditulis oleh Pidi dan Tubagus selalu melemparkan konflik demi konflik secara acak,
pula tanpa benang merah kecuali bahwa seluruh konflik itu melibatkan individu-individu
dari The Panasdalam. Dari usaha menggaet hati mahasiswi, ancaman drop out, gesekan dengan KMSR (Keluarga
Mahasiswa Seni Rupa) dan jajaran aktivis, pelarangan ospek, dan lain-lain.
Mayoritas permasalahan di atas berujung memberi ide bagi Pidi menggubah lagu.
Masalah diutarakan, Pidi bernyanyi, kemudian usai. Fokusnya nol besar, namun
seperti telah disebutkan, secara personal, aktivitas-aktivitas The Panasdalam
terasa begitu dekat.
Apalagi kisahnya bertempat di luar
hingar bingar ibukota (Bandung), menjadikan keguyuban tokoh-tokohnya semakin
terasa. Di balik canda tawa mereka ada keintiman hangat. Seolah saya sedang
berkendara melewati kenangan tanpa destinasi pasti, tapi karena menghadirkan nuansa
sentimentil, saya memilih pasrah, diam, menikmati pemandangan. Jajaran
pemainnya pun solid, terlebih Jason Ranti, sehingga walau karakter Pidi kerap
kurang manusiawi (lagi-lagi seperti Dilan), saya bisa menikmatinya berseloroh. Turut mencuri perhatian adalah kejenakaan komedi deadpan Anfa Safitri sebagai Rianto si pria bernasib malang perihal percintaan. Tambahkan lagu-lagu bernada catchy dan
berlirik jenaka milik The Panasdalam Bank, perjalanan ini semakin menyenangkan.
Tapi tedapat satu unsur problematik,
yakni terkait persepsi Koboy Kampus terhadap
Orde Baru. (SPOILER ALERT) Kadang
filmnya seperti mendukung Soeharto (nyanyian Pidi yang menyindir revolusi,
reformasi, dan demokrasi, sampai ucapan terima kasihnya kepada sang diktator),
kadang seperti menentang Soeharto (keputusan “bersatu kembali” dengan Indonesia
selepas keruntuhan Orde Baru). Saya teringat akan suatu artikel yang menyebut
bahwa pembentukan Negara Kesatuan Republik The Panasdalam merupakan bentuk
protes akan Soeharto. Tapi apa pun sudut pandang Pidi, ambiguitas ini
menunjukkan kurang mulusnya penyampaian pesan Koboy Kampus.
STUBER (2019)
Rasyidharry
Juli 25, 2019
Action
,
Betty Gilbin
,
Comedy
,
Cukup
,
Dave Bautista
,
Iko Uwais
,
Kumail Nanjiani
,
Michael Dowse
,
Natalie Morales
,
REVIEW
,
Tripper Clancy
11 komentar
Di tengah kurangnya asupan film
bagus (sejak The Lion King belum
sekalipun saya memberi penilaian positif), saya tak menempatkan ekspektasi
tinggi terhadap Stuber, mengingat
belakangan, buddy action comedy bermutu
semakin jarang. Sampai Dave Bautista dan Kumail Nanjiani datang, memperlihatkan
bagaimana semestinya sub-genre satu
ini diperlakukan.
Victor (Dave Bautista) adalah
polisi tangguh yang terobsesi meringkus bandar narkoba bernama Tedjo (Iko
Uwais). Obsesi itu merenggangkan hubungannya dengan sang puteri, Nicole
(Natalie Morales). Bahkan Victor melupakan malam pameran karya seni Nicole,
lalu menjadwalkan operasi lasik beberapa jam sebelumnya, membuat penglihatannya
terganggu sepanjang hari. Berusaha memastikan kehadiran ayahnya, Nicole memaksa
Victor mengunduh Uber.
Seperti kita ketahui bersama,
kedatangan Victor bakal terganggu. Gangguan itu berbentuk laporan dari seorang
informan bahwa malam itu Tedjo akan melakukan transaksi. Akibat kondisi mata
yang tak memungkinkannya menyetir, Victor pun memesan Uber. Di situlah ia
bertemu Stu (Kumail Nanjiani), sopir Uber yang susah payah mempertahankan
rating empat, sebab kurang dari itu, ia akan kehilangan pekerjaan.
Stu tidak kalah buru-buru. Selepas
mengakhiri hubungan dengan pacarnya, Becca (Betty Gilbin), gadis yang diam-diam
Stu cintai, memintanya datang untuk berhubungan seks (sambil mabuk dan menonton
When Harry Met Sally). Intinya, Becca
ingin menjadikan Stu pelampiasan. Sebuah bumper. Sial bagi Stu, ini bukan
perjalanan bintang lima mulus sebagaimana dia harapkan.
Alih-alih melesat menuju rumah
Becca, Stu terjebak bersama Victor dalam satu hari gila penuh baku tembak,
kejar-kejaran mobil, dan mayat-mayat bergelimpangan. Karena kondisi penglihatan
Victor tengah memburuk, kebutuhannya akan bantuan Stu jadi suatu hal logis. Setidaknya,
elemen itu bisa meminimalisir rasa janggal di benak penonton, karena keduanya sama-sama
terpaksa, tidak berdaya, dan tak punya opsi lain.
Buddy movie wajib punya dua protagonis dengan kepribadian
berlawanan, dan Stuber memenuhi itu,
bahkan menjadikan perbedaan mereka jalan menyentil konsep maskulinitas. Bagi Victor
laki-laki tidak boleh menangis, hatinya mesti sekeras batu, dan menganggap
kelembutan sebagai kelemahan. Sebaliknya, Stu adalah sosok sensitif yang cenderung
mengandalkan otak, pula percaya jika laki-laki berhak meneteskan air mata.
Naskah karya Tripper Clancy (Four Against the Bank, Hot Dog) belum maksimal
memanfaatkan ciri menarik para protagonis, di mana Stuber cenderug menggambarkan gesekan mereka lewat adu mulut repetitif
nan seadanya, ketimbang gambaran kreatif saat Victor dan Stu saling mengisi
lewat keunggulan masing-masing, semisal saat Stu membantu Dave menggali
informasi dengan cara “menyiksa” seorang penjahat.
Daya bunuh humornya juga terpengaruh,
karena perihal mengocok perut pun filmnya main aman. Leluconnya minim kegilaan
pendukung premis “kacaunya”, pula tak seberapa segar selaku pemicu tawa-tawa
tak terduga. Untung ada Dave dan Kumail. Kunci sukses keduanya terletak di keengganan
tampak konyol secara berlebih. Bahkan mereka bak tidak sedang melawak, tapi menunjukkan
respon wajar kala dua orang terjebak dalam situasi yang sukar dipercaya. Khususnya
Kumail. Didasari kebutuhan membangun dinamika, tokoh utama buddy comedy wajib diisi satu figur serius dan seorang “badut”, dan
saya lelah melihat para badut bersikap seolah mereka adalah manusia terbodoh di
dunia. Kumail berbeda. Stu histerikal, namun sesuai kondisi dan situasi.
Satu elemen lagi yang menghalangi Stuber menjadi “perjalanan bintang lima”
adalah adegan aksinya. Baku hantam komedik Stu melawan Victor di pusat
perbelanjaan memang percampuran sempurna aksi dengan komedi, namun selain itu,
gampang dilupakan. Koreografi garapan Iko (memadukan bela dirinya dan street fighting brutal milik Dave)
dilemahkan oleh penyutradaraan Michael Dowse (FUBAR, Goon, What If) yang terjangkit penyakit “quick
cuts dan close up”. Bicara soal
Iko, meski hanya diberi screen time pada
sekuen pembuka dan klimaks, tidak seperti Triple
Threat, Stuber menghormati sang aktor, di mana kehadirannya berpengaruh,
pun ia berkesempatan membuat Dave Bautista babak belur.
DETECTIVE CONAN: THE FIST OF BLUE SAPPHIRE (2019)
Rasyidharry
Juli 24, 2019
Animated
,
Japanese Movie
,
Kappei Yamaguchi
,
Katsuo Ono
,
Kurang
,
Minami Takayama
,
Nobuyuki Hiyama
,
REVIEW
,
Rikiya Koyama
,
Takahiro Okura
,
Tomoka Nagaoka
,
Wakana Yamazaki
16 komentar
Saya meninggalkan anime Detective Conan selepas tidak lagi
menonton televisi, berhenti membaca komiknya karena tak kunjung usai, dan
meninggalkan film layar lebarnya yang lebih mementingkan aksi bombastis (adaptasi
anime populer selalu demikian) ketimbang
misteri, yang mana memancing ketertarikan saya akan seri ciptaan Gosho Aoyama
ini dahulu. Pilihan itu sejatinya bisa dipahami, karena filmnya harus tampil
sinematik, berbeda dibanding versi lain, sehinngga penonton punya alasan untuk
mengeluarkan uang lebih.
Detective Conan: The Fist of Blue Sapphire merupakan installment terlaris kedua dalam franchise-nya, berhasil mengangkangi Avengers: Endgame di peringkat box office, serta merupakan film Detective Conan pertama yang mengambil
latar internasioal (Singapura). Saya pun merasa ini waktunya kembali menjajal
aksi Conan Edogawa memecahkan misteri. Dan jika kebetulan anda juga penggemar lama
yang coba kembali, The Fist of Blue
Sapphire adalah pilihan tepat. Anda takkan tersesat, karena di luar para
tokoh utama, hanya ada nama-nama lama seperti Kaito Kid (Kappei Yamaguchi) dan
Makoto Kyogoku (Nobuyuki Hiyama).
Kisahnya bermula saat seorang
wanita terbunuh di Singapura. Tidak lama setelah ia meregang nyawa, terjadi
ledakan yang menimbulkan kekacauan, sebelum tiba-tiba cairan merah seperti
darah muncrat dari Merlion. Peristiwa terakhir tampak mengerikan, mencengangkan,
dan misterius, meski sayang, jawaban yang filmnya siapkan atas anomali tersebut
amat mengecewakan.
Kemudian bertemulah kita dengan Ran
(Wakana Yamazaki), Sonoko (Naoko Matsui), dan Kogoro (Rikiya Koyama) yang
mengunjungi Singapura guna menonton kompetisi karate di mana Makoto turut
serta. Conan (Minami Takayama) yang awalnya kecewa tidak bisa ikut akibat
masalah paspor, kaget ketika ia mendadak terbangun di Singapura. Kekagetannya
bertambah saat mendapati ada Shinichi lain tengah bersama Ran. Tentu kita itu
adalah samaran Kaito Kid.
Kali ini Kid berusaha mencuri batu
safir legendaris yang ditatahkan di sabuk juara kompetisi karate yang Makoto
ikuti. Tapi bukan hanya itu intensinya. Kembali ke pembunuhan di awal film, polisi
menemukan kartu Kid yang berlumuran darah, otomatis menjadikannya tersangka. Di
situlah ia memerlukan bantuan Conan guna membersihkan nama baiknya, dengan cara
mencari sang pembunuh sebenarnya.
Naskah buatan Takahiro Ohkura (Detective Conan: Crimson Love Letter)
tidak menampilkan misteri, atau setidaknya bukan misteri yang cukup kuat untuk
mencengkeram atensi. Sejak awal kita sudah mengetahui siapa pelakunya. Bahkan
filmnya pun tak berusaha menutupi itu. Pertanyaan yang tersisa bukan “siapa”,
melainkan “bagaimana”. Bagaimana trik pembunuhan tersebut? Sebuah pertanyaan
yang dikesampingkan oleh Takahiro atas nama gelaran aksi.
Sebagai film yang memiliki
protagonis detektif, The Fist of Blue
Sapphire begitu minim momen investigasi. Tanpa proses penyelidikan
bertahap, kita langsung dihadapkan pada fase deduksi di paruh akhir, yang turut
menyelipkan twist berlapis. Alih-alih
mengejutkan, twist-nya semakin
membuat penceritannya terlihat bak benang kusut. Sebuah twist yang datang entah dari mana, tanpa pondasi memadai, dan
terasa mencurangi penonton.
Dan sebagai film yang memiliki
protagonis detektif jenius, The Fist of
Blue Sapphire terlalu gemar menampilkan kebodohan. Kebimbangan hati akibat
intimidasi tak masuk akal salah satu karakter memperlihatkan kebodohan Makoto,
keputusan mengejar mobil polisi di tengah sebuah kekacauan yang berujung
membahayakan keselamatannya membuktikan kebodohan Sonoko, pun rencana besar
sang antagonis tidak kalah bodoh.
Menariknya, sekuen aksi justru
muncul sebagai penyelamat. Walau pengarahan sutradara debutan Tomoka Nagaoka
(plus penyuntingan buruk) acap kali kacau akibat ketidaktepatan memilih fokus
dalam frame yang berakhir menciptakan
disorientasi membingungkan, secara keseluruhan ia cukup piawai membagun
intensitas. Dibantu animasi solid, laga puncak di klimaksnya memang seru. Dari
Conan, Kid, Makoto, sampai duet Kogoro-Ran, semua memamerkan kebolehan
masing-masing.
Tomoka pun mampu melahirkan sekuen
dramatis yang sedikit menyentuh definisi “indah” dalam mengemas peristiwa
sebelum klimaks, ketika ia mematikan semua suara kecuali musik berbasis
dentingan piano gubahan Katsuo Ono. Pun lagu tema buatan legendaris buatan sang
komposer masih ampuh membuat tubuh “mantan penggemar” seperti saya bergetar.
Sayang, keseluruhan filmnya tak mampu menumbuhkan keinginan untuk mengikuti
lagi serinya (dalam media apa pun).
MA (2019)
Rasyidharry
Juli 22, 2019
Diana Silvers
,
Kurang
,
Octavia Spencer
,
REVIEW
,
Scotty Landes
,
Tate Taylor
,
Thriller
6 komentar
Sebuah saran: Kalau ingin penonton mendukung karakter pembunuh atau psikopat dalam filmmu, pastikan ia membunuh dan/atau menyiksa korban yang tepat, yang penonton anggap pantas mendapatkannya. Di situlah letak kekeliruan Ma, thriller psikologis yang membuat saya kebingungan mesti merasakan apa, berekasi bagaimana, dan bersimpati kepada siapa.
Andai Scotty Landes selaku penulis naskah memasang target sederhana, Ma bisa menjadi cheap thrills yang sempurna sebagai tontonan seru tengah malam. Bahan bakunya mendukung. Sekelompok remaja termasuk protagonis kita, Maggie (Diana Silvers) yang baru saja pindah, terjebak dalam permainan gila seorang wanita misterius bernama Sue Ann (Octavia Spencer) alias "Ma". Diawali permintaan membelikan minuman keras, Ma justru mengajak mereka berpesta di ruang bawah tanah miliknya.
Di sana mereka bebas menenggak berbotol-botol minuman, menghisap ganja sepuasnya, tanpa takut ditangkap polisi sebagaimana terjadi sebelumnya. Satu-satunya aturan adalah "Dilarang menginjakkan kaki di lantai atas". Suatu larangan yang selalu dilontarkan karakter psikopat. Bocah-bocah ini jelas jarang menonton film.
Ma bisa bertahan di rute mudah, menempatkan fokus hanya pada proses para remaja menyadari adanya ketidakberesan dalam diri Ma, lalu berjuang kabur demi menyelamatkan nyawa mereka. Tapi film ini ingin lebih. Naskah awal Landes tak memiliki latar belakang bagi Ma, menjadikannya sesosok monster keji. Setelah sutradara Tate Taylor (The Help, The Girl on the Train) dan Spencer bergabung, barulah elemen itu dibuat demi terciptanya otentitas karakter, sekaligus menambahkan pesan anti-bullying.
Akhirnya, sesekali kita diajak mengintip masa lalu Ma, yang menjabarkan alasan mengapa ia mengundang remaja-remaja itu (makin lama jumlah "tamunya" makin besar). Alasan yang diharapkan memancing simpati penonton terhadap Ma, namun urung terjadi akibat ia (baca: filmnya) salah memilih korban. Saya memahami kesedihan Ma muda, tapi tak mendukung perbuatannya di masa kini. Apalagi berkat Diana Silvers, Maggie jadi protagonis yang gampang disukai.
Bukan masalah andai Ma sebatas cheap thrills, tapi presentasinya jelas berupa studi karakter yang mengedepankan eksplorasi psikis Ma, sembari membatasi jumlah situasi menegangkan. Sayang, seperti sudah dibahas di atas, filmnya salah memilih korban. Dari situlah Ma mulai terjebak di ketidakpastian dan bisa sepenuhnya tersedot dalam lubang hitam bernama "kemediokeran" kalau bukan karena Spencer. Menghabiskan karir memerankan figur hangat, Spencer bertransformasi memamerkan mood swing sekaligus memanusiakan sosok Ma. Tangisannya mengiris perasaan, sebaliknya, ia mengerikan saat tersenyum sambil merekam video, mengajak para remaja berpesta. Mungkin tetap sulit bersimpati padanya, namun Ma jelas bukan mesin pembunuh berhati hampa.
Klimaksnya menawarkan apa yang mayoritas penonton tunggu dalam wujud situasi singkat tapi menyakitkan tatkala Ma melepaskan segala beban mentalnya. Sayang, penyutradaraan Tate Taylor membuat momen puncaknya ditutup secara menggelikan. Bermaksud membangun kekacauan yang mewakili kondisi "run for your life!", kemasan canggung nihil intensitas dari sang sutradara menghapuskan peluang bagi paruh akhir filmnya menebus dosa-dosa sebelumnya.
PINTU MERAH (2019)
Rasyidharry
Juli 20, 2019
Aura Kasih
,
Cornelio Sunny
,
horror
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Miller Khan
,
Noviandra Santosa
,
REVIEW
13 komentar
REVIEW INI MENGANDUNG SPOILER!
Pintu Merah bukan tipikal horor yang langsung angkat tangan perihal
eksplorasi ide lalu membiarkan ketiadaan plot plus jump scare murahan mengambil alih. Memiliki lima penulis naskah
(termasuk sang sutradara, Noviandra Santosa), film ini jelas mencurahkan daya
upaya dalam usahanya membangun misteri, walau akhirnya kelemahan eksekusi di banyak
departemen berujung menghasilkan produk akhir yang belum sesuai harapan.
Protagonisnya bernama Aya (Aura
Kasih), wartawan yang atas perintah atasan, harus menulis artikel mengenai
penemuan mayat di hutan. Awalnya Aya terpaksa, sampai ia menyadari bahwa: 1)
Kasus serupa telah berulang kali terjadi selama bertahun-tahun; dan 2) Ini
merupakan pembunuhan berantai. Berambisi membuktikan diri, Aya nekat menginvestigasi
kasus itu sendirian meski mendapat tentangan dari rekannya, Leo (Cornelio
Sunny).
Penyelidikan Aya membawanya ke
rumah sakit tua yang diyakini punya peranan penting dalam rangkaian pembantaian
tersebut. Rumah sakit ini sudah ditelantarkan selama 10 tahun, tidak terawat,
namun saat Aya memasuki sebuah pintu merah, ia menemukan pemandangan
mencengangkan. Bangunan terbengkalai itu kini kembali baru. Kemudian, Aya pun bertemu
Alex (Miller Khan), mantan karyawan rumah sakit yang tak bisa mengingat kenapa
ia berada di situ.
Ada kejanggalan. Konon, Aya adalah
jurnalis kritis jago analisis. Dia berteori bahwa si pelaku pembunuhan berantai
sedang bersembunyi di rumah sakit. Jadi, kenapa Aya mau semudah itu mempercayai
pria tak dikenal yang melontarkan banyak pengakuan ambigu? Saya rasa keengganan
sang bos menaruh kepercayaan pada Aya merupakan keputusan tepat.
Berusaha mencari jalan keluar, Aya
dan Alex justru terkejut kala menyadari keduanya terjebak di sebuah loop. Tidak peduli berapa kali menuruni
anak tangga, mereka selalu kembali di lantai yang sama. Penceritaannya—walau kerap
terasa jumpy dan mengalir tak semulus
sebuah long take apik selaku
penggambaran loop yang karakternya
lalui—melahirkan misteri berdosis memadai guna menyulut keingintahuan.
Menyenangkan pula melihat bagaimana
di debutnya, Noviandra Santosa berani menekan pemakaian jump scare, menyelipkannya hanya di momen yang benar-benar perlu
(mayoritas dialokasikan bagi klimaks). Di luar sesosok bayangan hasil kreasi
CGI, desain hantu Pintu Merah pun
cukup solid, dari wajah-wajah menyeramkan di dinding, hingga figur bertopeng di
paruh akhir. Sayang, bukan cuma jump
scare klise saja yang dikesampingkan Noviandra bersama tim penulisnya,
melainkan teror secara keseluruhan.
Proses penyelidikan Aya berlangsung
datar akibat minimnya urgensi, sewaktu kedua protagonis kita amat jarang
menemukan ancaman berarti. Keduanya sekadar berputar-putar, menemui
keanehan-keanehan yang tak sampai mengancam keselamatan, menyulitkan timbulnya
kekhawatiran akan nasib mereka. Diperparah lagi dengan akting buruk Miller Khan
dan Aura Kasih, yang bicara layaknya dua orang baru melakukan meditasi. Kalem,
tenang, dingin, datar. Tidak ada tanda-tanda kalau nyawa mereka dalam bahaya.
Menjelang akhir, Pintu Merah mulai menderita penyakit
khas horor kita (atau horor medioker di seluruh dunia), yakni klimaks miskin
intensitas yang ditutup terlalu cepat, dan menempuh jalur malas guna menjawab
misterinya. “Semua ini peristiwa mistis” seolah jadi mantera ampuh sewaktu
penulis naskah horor kehabisan ide tentang cara “membungkus” alur. Andai saja
Noviandra bersedia menambah kadar penerangan, Pintu Merah mungkin bakal mempunyai beberapa adegan disturbing di babak ketiganya. Namun
serupa elemen lain, potensi itu terkubur oleh lemahnya eksekusi.
DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI (2019)
Rasyidharry
Juli 19, 2019
Comedy
,
David Johnnn Schaap
,
Elvira Devinamira
,
Indonesian Film
,
Jelek
,
John De Rantau
,
Mathias Muchus
,
REVIEW
,
Seno Gumira Ajidarma
,
Yayu AW Unru
8 komentar
Kritis. Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi memang film kritis, tapi bukan
kritis terkait pemikiran tajam, melainkan kualitas yang mendekati titik nadir.
Mengadaptasi cerpen berjudul sama karya Seno Gumira Ajidarma (Pendekar Tongkat Emas, Wiro Sableng:
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212) yang turut menulis naskahnya bersama sang
sutradara John De Rantau (Denias
Senandung di atas Awan, Wage), film ini tersesat dalam prosesnya mengulur
cerita pendek menjadi tontonan berdurasi 96 menit.
Kisahnya mengetengahkan kehebohan
yang melanda kampung di pinggiran Jakarta akibat kehadiran mahasiswi S2 cantik
bernama Sophie (Elvira Devinamira). Kehebohan itu dikarenakan tiap kali Sophie
mandi, pria-pria sekampung berkumpul, bahkan membayar tiket masuk guna
mendengarnya membuka resleting, mengguyur dan menyabuni tubuh, dan—yang paling
ditunggu—menyanyikan Jaran Goyang dengan
suara serak-serak basah miliknya.
Suaranya begitu menghipnotis,
pria-pria itu bahkan mencapai orgasme karena membayangkan bersetubuh dengan
Sophie kala mendengar nyanyiannya. Tapi tidak seperti cerpennya, ada dua pria
yang tak cuma mendengar, pula mengintip. Salah satunya adalah Yayu (Yayu AW
Unru), karakter yang keberadaannya bak usaha menjustifikasi poligami. Meski
hanya lewat lubang kecil, fakta bahwa keduanya bisa melihat tubuh Sophie,
praktis melemahkan unsur soal keliaran imajinasi.
Saya suka cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi.
Dipublikasikan pada tahun 1995, pesannya masih relevan sampai sekarang,
khususnya kritik terhadap prasangka yang menggiring masyarakat menuju paranoia
dan fitnah. Tersimpan pula sentilan soal definisi kebenaran, di mana disebutkan
jika suatu hal dianggap “benar” apabila dianut oleh mayoritas.
Sayang, sindiran-sindiran tajam di
atas terkubur di balik kebingungan para pembuatnya mengembangkan cerpen yang
(tentunya) singkat nan padat. Hasilnya adalah tuturan berfokus lemah sekaligus
repetitif. Terdapat dua situasi yang dipaparkan lagi dan lagi, dengan tiap
pemaparan yang berlangsung terlampau lama. Pertama, pertengkaran rumah tangga
akibat para suami kehilangan hasrat seksual. Kedua, protes para istri kepada
Pak RT (Mathias Muchus). Mereka meminta Sophie segera diusir.
Setidaknya saya bisa merasakan
sedikit angin segar melalui iringan lagu-lagu The Upstairst serta penampilan
Mathias Muchus. Walau belum sampai mengentaskan filmnya dari keburukan, dua
elemen itu punya daya hibur. Terkait The Upstairs, mungkin saya memang sudah
rindu mendengar lagu-lagu macam Terekam (Tak Pernah Mati) atau Disko Darurat. Sementara Mathias Muchus
mampu sesekali mengembalikan film ini ke hakikatnya, yakni memancing tawa
penonton.
Satu metode lain yang dipakai untuk
mengisi durasi adalah memberi story arc
kepada Sophie. Dia memiliki love interest
bernama Senja (David John Schaap), seorang penulis muda yang ditemuinya di
bus. Alkisah, Sophie kecopetan. Beruntung, berkat kebodohan luar biasa si
pencopet yang kabur sebelum orang-orang menyadari aksinya, Senja mampu
melakukan pengejaran.
Peristiwa itulah awal dari deretan
adegan canggung yang melibatkan Sophie dan Senja, sebutlah perkelahian Senja
melawan pencopet yang menyelipkan aksi akrobatik tak perlu, obrolan berisi
kalimat-kalimat yang menunjukkan usaha putus asa para penulis naskah agar
pembicaraan terdengar bermakna namun berujung kegagalan menyulut romantisme maupun
memprovokasi pemikiran, sampai (SPOILER)
pertengkaran saat Sophie mengetahui kalau Senja diam-diam menulis novel tentang
dirinya. Sophie menemukan manuskrip itu di kamar, tapi supaya lebih dramatis,
ia membuangnya di jalanan.
Kemudian tibalah kita di konklusi,
yang juga elemen paling problematik filmnya. Bukan saja melewatkan satu kalimat
penting yang menutup cerpennya dalam lingkaran imajinasi tak berujung (clue: Alasan kenapa para suami masih
gagal move on biarpun Sophie sudah
pergi), konflik pun ditutup denga kesan bahwa memang nyanyian Sophie-lah
penyebab semua kekacauan alih-alih sepenuhnya kesalahan imajinasi mesum para
suami (dan prasangka para istri).
Apakah Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi tampil beda? Ya. Keputusan John De
Rantau menerapkan beberapa pendekatan khas pertunjukan teater (situasi pemecah
batasan realis dan surealis, gestur plus ekspresi besar pemain, tokoh dari
beragam suku dengan beraneka ciri) harus diakui memang jarang ditemui di
film-film kita belakangan. Tapi, apakah Wahana Rumah Hantu, Comic Kong X Kong, atau Arwah Noni Belanda tampil beda? Apakah judul-judul tersebut
menampilkan sesuatu yang jarang ditemui? Apakah kualitasnya bagus? Silahkan direnungkan.
THE LION KING (2019)
Rasyidharry
Juli 18, 2019
Adventure
,
Alfre Woodard
,
Beyoncé
,
Billy Eichner
,
Caleb Deschanel
,
Chiwetel Ejiofor
,
Donald Glover
,
Hans Zimmer
,
James Earl Jones
,
Jeff Nathanson
,
John Oliver
,
Jon Favreau
,
Lumayan
,
Musical
,
REVIEW
,
Seth Rogen
25 komentar
The Lion King adalah korban pilihan artistik Disney yang bertujuan
memanfaatkan kesuksesan live action
remake mereka. Dibuat dalam format fotorealistik, Jon Favreu (Iron Man, The Jungle Book) beserta tim
sudah mengerahkan kemampuan terbaik, tapi biar bagaimanapun, pendekatan
realistis pada dasarnya memang kurang cocok membungkus kisah si raja rimba.
Mungkin anda sudah mendengar kritik
terhadap minimnya ekspresi wajah para hewan di sini. Tidak sepenuhnya benar,
sebab bila diperhatikan lebih teliti, di balik tampilan fisik mereka yang
digarap luar biasa detail hingga ke tekstur terkecil, dapat ditemukan gurat-gurat
wajah humanis meski tidak dalam bentuk ekspresi besar, yang mana cocok bagi
karakter macam Sarabi (Alfre Woodard), tapi tidak untuk Mufasa (James Earl
Jones), Scar (Chiwetel Ejiofor), apalagi Zazu
(John Oliver).
Bayangkan tengah menonton animasi
aslinya, diisi plot serta adegan serupa, hanya saja pengemasannya menekankan
realisme. Artinya, kita takkan melihat Scar menelan Zazu, atau sekuen musikal I Just Can’t Wait to Be King yang
komikal nan berwarna. Patut disayangkan, namun gantinya, keagungan alam bisa
dirasakan, sebagaimana di adegan pembuka saat hewan-hewan penghuni Pride Lands
menyambut kelahiran Simba (Donald Glover menyuarakan Simba dewasa, JD McCrary meyuarakan Simba kecil). Rafiki
(John Kani) mengangkat si bayi singa, sementara awan memberi jalan bagi
semburat cahaya matahari yang menimbulkan kesan surgawi.
Desain Simba kecil bakal membuat
teriakan “Oooh” dan ”Aaaw” sering keluar dari mulut penonton, tapi ketika
kelucuan Simba berhasil mencuri hati, tidak demikian soal hubungannya dan sang
ayah. Mufasa merupakan sosok pemimpin berwibawa, sehingga menciptakan
ekspresinya pun jadi pekerjaan rumit. Walau James Earl Jones tanpa cela, sang
raja bak tanpa nyawa akibat wajah yang kurang menyatu dengan suara.
Berikutnya, anda tahu apa yang akan
terjadi. Berniat membuktikan kepantasan dan keberaniannya selaku calon raja,
Simba mengajak Nala (Beyoncé Knowles-Carter menyuarakan Nala dewasa, Shahadi
Wright Joseph menjadi Nala kecil) daerah terlarang berupa kuburan gajah, yang
rupanya menjadi sarang hyena. Itulah awal tragedi kala Scar, yang sejak lama
berambisi bertahta, membunuh Mufasa yang juga kakaknya, lalu menimpakan
kesalahan kepada Simba. Ketakutan, ia menuruti perintah pamannya agar pergi
dari Pride Lands.
Momen ikonik tatkala Scar mendorong
Mufasa dari tebing gagal dibuat ulang secara apik, kali ini bukan saja akibat
kurangnya ekspresi para singa, pula suara Chiwetel Ejiofor yang tanpa aura
kekejaman. Padahal, di adegan-adegan lain, Ejiofor mampu melakoni perannya dengan
baik. Beruntung, begitu saya mulai bersiap sepenuhnya dikecewakan, paruh
keduanya muncul sebagai penyelamat. Pertama, tentu berkat duo Timon-Pumbaa
(Billy Eichner-Seth Rogen). Keduanya adalah mesin penghasil tawa yang seketika
menjauhkan filmnya dari awan kelam miskin warna bernama “realisme”.
Pun di paruh ini, elemen musik
serta visualnya semakin memikat. Mengkreasi ulang karya buatannya, Hans Zimmer dibantu African
choir yang kembali dikomandani oleh Lebo M., melahirkan scoring yang mampu menggerakkan perasaan
(King of Pride Rock berulang kali
membuat saya bergetar), mengiringi visual revolusioner yang bukan saja
mengandalkan teknologi tinggi, pula kepiawaian sang sinematografer, Caleb
Deschanel (The Passion of the Christ,
Never Look Away). Pemandangan alamnya serasa bagian program Disneynature atau dokumenter National Geographic,
tentunya dengan tambahan proporsi kecantikan.
Musikalnya pun turut mendapat upgrade. Nomor The Lion Sleeps Tonight berlangsung lebih lama dan menyenangkan
tanpa perlu menjadi terlampau komikal, sedangkan biarpun Can You Feel the Love Tonight milik Favreu tak seromantis versi
aslinya, keberadaan vokal Beyoncé rasanya telah menutup kekurangan tersebut. Meski
minim nuansa “dimabuk kepayang karena asmara”, saya dibuat tersentuh oleh
lantunannya.
Modifikasi favorit saya yakni
ketika selaku penulis naskah, Jeff Nathanson (Catch Me If You Can, The Terminal) mengembangkan mome kala Rafiki
mengetahui bahwa Simba masih hidup. Dibarengi penyutradaraan kaya sensitivitas
dari Favreu, sekuen tersebut menangkap substansi “circle of life” lewat perjalanan segenggam bulu, yang menunjukkan
bagaimana semesta mempunyai kekuatannya sendiri guna menggiring makhluk-makhluk
di dalamnya menuju jalan takdir di mana kebaikan berkuasa.
Semua pendekatan berbasis realisme
di The Lion King rasaya lebih mudah
diapresiasi penonton dewasa, khususnya yang memahami indahnya keagungan alam.
Sebaliknya, penonton anak bisa saja menganggap filmnya kurang seru, bahkan
klimaksnya mungkin terlalu mengerikan bagi mereka. Beberapa bocah di studio
tempat saya menonton seketika mengangis begitu pertarungan liar antara
sekumpulan hewan buas berlangsung di bawah langit malam. Because once again—for better or worse—that’s realistic.
SUPER 30 (2019)
Rasyidharry
Juli 15, 2019
Biography
,
Cukup
,
Hindi Movie
,
Hrithik Roshan
,
Mrunal Thakur
,
REVIEW
,
Sanjeev Dutta
,
Vikas Bahl
2 komentar
Mahabarata dan Ramayana beberapa
kali disebut dalam film ini, sebagai alat bantu karakternya menegaskan bahwa
semua orang memiliki hakikat masing-masing yang tak bisa diubah. Pangeran
selalu bergelimang kemewahan, sebaliknya rakyat jelata terus menderita.
Perpsektif terseut selalu jadi alasan semua ketidakadilan, baik terkait ras,
kasta, gender, atau sebagaimana tema utama Super
30, pendidikan.
Filmnya mengangkat kisah hidup
Anand Kumar (Hrithik Roshan), seorang jenius matematika berkepribadian canggung
dari keluarga miskin. Begitu tergila-gila ia pada matematika, Anand menyebut
sang kekasih, Ritu (Mrunal Thakur), tidak cantik karena wajahnya tidak mencapai
nilai rasio emas. Anand pun begitu polos, kata-kata manis seorang menteri (Pankaj
Tripathi) kala kampanye langsung dia percaya.
Selama 155 menit, naskah garapan Sanjeev Dutta (Kites, Baaghi) menjabarkan perjalanan panjang Anand,
dari keberhasilannya meraih beasiswa Cambridge hanya untuk kemudian membuangnya
akibat ketiadaan biaya berangkat ke Inggris, hingga akhirnya menginisiasi
program belajar Super 30, di mana tiap tahun Anand mengajar 30 anak tidak mampu
secara gratis, membantu mereka mempersiapkan ujian masuk IIT (Indian Institutes of Technology).
Bukan perjalanan mudah tentunya.
Anand mesti menghadapi setumpuk rintangan, termasuk dari dirinya sendiri, kala ia
sempat menjadi sosok yang senantiasa ia benci. Disudutkan kemiskinan, Anand menerima
tawaran mengajar di lembaga bimbingan belajar eksklusif, bergelimang harta, meski
hal tersebut manusiawi. Arnand tak bisa sepenuhnya disalahkan, mengingat
seluruh penderitaan yang sudah ia lalui.
Masalahnya, saya tidak merasa
melihat seseorang yang berubah, melainkan dua orang berbeda. Anand bertransformasi
dari pria polos yang tulus menjadi, well,
Hrithik Roshan. Sebenarnya sang aktor meyakinkan dalam memerankan dua versi
karakternya. Mata Anand sebelum bergabung di bimbel memancarkan kenaifan, sementara
sesudahnya, dipenuhi luka dan amarah. Tapi Hrithik urung menciptakan
keterkaitan di antara keduanya, seolah lupa kalau bukan sedang bermain di seri Krrish.
Bukan seutuhnya kekeliruan Hrithik.
Inkonsistensi naskah turut ambil bagian. Memang naskah Super 30 cukup kacau perihal mengolah karakter, sebutlah kemunculan
mendadak sesosok wartawan di pertengahan durasi, memposisikan Ritu hanya
sebagai pemantik atau penyelesai masalah ketimbang tokoh yang utuh, hingga
kurangnya porsi bocah-bocah Super 30 yang membuat keputusan menjadikan Fugga (Vijay
Verma) narator patut dipertanyakan.
Kesungguhan ketigapuluh anak itu
menuntut ilmu, bahkan sampai mempertaruhkan nyawa demi menginjakkan kaki di
kediaman Anand selalu jadi pemandangan menggetarkan. Super 30 efektif perihal mengingatkan tentang persoalan nyata. Begitu
nyata sekaligus terjadi di mana saja, sampai semuanya nampak terlampau
familiar. Demikian juga metode mengajar Anand yang tak lagi nampak unik, karena
film bertema pendidikan berisi karakter guru yang membawa siswa-siswi belajar
di luar kelas guna menerapkan teori di kehidupan sehari-hari, sudah sering kita
saksikan.
Klimaksnya berniat tampil beda,
tatkala ilmu-ilmu yang Anand ajarkan harus para murid ajarkan dalam situasi tak
terduga, namun alih-alih menginspirasi, Super
30 justru bergeser dari film biografi seputar pendidikan ke arah tontonan anak
ala Home Alone, dalam dramatisasi
yang membuatnya lupa berpijak pada realita. Menghibur, pun sutradara Vikas Bahl
(Shaandaar, Queen) punya bakat
mengemas suguhan ringan nan menyenangkan, tapi jelas melenceng dari jalur yang
diletakkan sedari awal.
Super 30 memang menyimpan sederet kekurangan. Belum jika saya
menyinggung mengenai CGI berkualitas rendah yang beberapa kali membuat bagian tubuh
aktornya terpotong, atau proses pewarnaan yang bagai lalai dilakukan pada
satu-dua shot. Tapi perjalanan
seorang pria yang terpaksa mematikan impiannya lalu menghidupkan impian bocah-bocah
malang ini pada dasarnya adalah kisah luar biasa, kelemahan-kelemahann di atas tak
kuasa mengubur kehangatannya.
0.0 MHZ (2019)
Rasyidharry
Juli 14, 2019
horror
,
Jung Eun-ji
,
Korean Movie
,
Kurang
,
Lee Seung-yeol
,
REVIEW
,
Yoo Sung-dong
10 komentar
Premis segar dan mengerikan tentang
frekuensi yang dapat memanggil makhluk halus, sudah cukup untuk menjual 0.0MHz, selain tentunya debut akting
layar lebar Jung Eun-ji “Apink”. Rasa penasaran muncul karena saya tidak tahu
ke arah mana ide dasar tersebut dapat dikembangkan. Tapi ternyata, sutradara
sekaligus penulis naskah Yoo Sung-dong (Mr.
Housewife, Death Bell 2: Bloody Camp) pun tidak lebih banyak tahu.
Struktur alurnya mengikuti formula
film-film “cabin in the woods”, yakni
soal sekumpulan remaja, berbekal keingintahuan (plus kebodohan) mendatangi rumah
tua angker. Mereka, termasuk So-hee (Jung Eun-ji) dan sang pengagum rahasia,
Sang-yeob (Lee Seung-yeol, anggota boy
group INFINITE), tergabung dalam klub horor bernama 0.0MHz, yang berambisi
membuktikan (atau membantah?) keberadaan hantu.
Adegan pembukanya brutal nan
menjanjikan, menampilkan seorang dukun melakukan ritual guna mengusir hantu
penghuni rumah itu hanya untuk berakhir tewas mengenaskan. Begitu pula sekuen
berikutnya, ketika So-hee dan Sang-yeob berjalan beriringan, sementara di
belakang keduanya, samar-samar nampak dua hantu berwujud nenek-nenek dan anak
kecil, diam-diam mengikuti.
Momen yang turut berfungsi menyiratkan
kemampuan supernatural So-hee tersebut, bertempat di siang hari bolong. Tanpa jump scare, tanpa makhluk bertampang seram,
hanya situasi normal sehari-hari, namun tak berapa lama, terasa ada yang tidak
beres dari dua sosok tersebut. Yoo Sung-dong membawa kengerian dengan cara menggiring
penonton membayangkan bahwa detik ini, di belakang kita, mungkin saja sesuatu
sedang mengikuti.
Sayagnya, dengan penuh penyesalan
saya mesti mengatakan jika 10 menit pertama itu adalah bagian terbaik 0.0MHz. Setelahnya, Sung-dong seolah
kebingungan mengolah bahan baku yang dimiliki. Sesampainya di rumah angker yang
dituju, karakternya mulai memanggil hantu memakai metode yang menggabungkan
unsur sains dan klenik. Namun di luar ritual itu, naskahnya kehabisan akal, tak
tahu harus membawa ide menariknya ke mana.
Sung-dong menyerah, lalu memilih
menerapkan taktik malas, di mana si hantu berambut panjang penghuni rumah—yang merasuki
seorang karakter pasca pelaksanaan ritual—akan muncul tiap kali sang medium
tertidur. 0.0MHz berubah menjadi
horor klise berisi aksi sesosok hantu memburu dan membunuh para remaja satu per
satu.
Selepas pembuka, saya mengira
filmnya bakal menerapkan kekerasan tingkat tinggi dalam menghabisi korban,
hanya untuk dikecewakan, karena yang menanti di depan adalah pembantaian tanpa taji,
tanpa memperlihatkan satu pun kematian secara langsung. Bahkan bodycount-nya begitu rendah bagi film
yang mengusung tagline “It only ends with a death” dan “You are all dead”.
Terkait penyutradaraan, Yoo
Sung-dong sejatinya berani menjalani tantangan untuk mengandalkan gambar-gambar
bernuansa tidak nyaman ketimbang jump
scare generik, sayang, eksekusinya murahan. Bagian mana yang mengerikan
dari repetisi orang-orang tercekik rambut? Dan sewaktu rupa hantu akhirnya diungkap,
yang nampak justru pemandangan memalukan akibat CGI berkualitas rendah.
Babak ketiganya sempat memantik
sedikit harapan, saat pengaturan tempo solid, penyuntingan dinamis, ditambah
penempatan tepat musik elektroniknya, berhasil membangun jembatan menegangkan
menuju klimaks. Tapi lagi-lagi, ketika klimaks itu tiba, cuma kekecewaan yang
tertinggal, disebabkan konten adegan tak menarik (salah satu karakter
mencambuki karakter lain), dan tentu saja, hantu CGI memalukan tadi.
Klimaksnya turut berpotensi
menghadirkan puncak emosi dengan menyinggung perihal hubungan kompleks keluarga
So-hee, namun gagal mendapat hasil sesuai harapan akibat elemen drama yang
datang tiba-tiba, tidak didahului pembangunan yang layak. Itu masalah akut lain
naskahnya, yang berkali-kali melemparkan rahasia dan/atau dosa masa lalu
karakternya secara mendadak. Bahkan hubungan So-hee dan Sang-yeob pun ambigu.
Apakah mereka teman lama? Bagaimana pertemuan keduanya terjadi?
0.0MHz merekrut dua idol sebagai
protagonis, dan mereka melakukan pekerjaannya dengan baik meski jauh dari
spesial. Seung-yeol hanya berakting mengikuti pola pria pemalu canggung yang
sudah kita temui ribuan kali di film lain, sedangkan kapasitas Eun-ji ditekan
oleh tuntutan peran, yang memaksanya lebih banyak diam dan memasang tampang
misterius. Biar demikian, secercah talentanya masih dapat kita saksikan. Beberapa
gerak tubuh maupun ekspresinya niscaya sempurna diterapkan dalam drama remaja quirky, sementara adegan penutup film
ini menyiratkan kemampuannya menangani komedi-romantis ringan.
THE HUSTLE (2019)
Rasyidharry
Juli 13, 2019
Alex Sharp
,
Anne Hathaway
,
Chris Addison
,
Comedy
,
Jac Schaeffer
,
Kurang
,
Rebel Wilson
,
REVIEW
2 komentar
The Hustle selaku remake dari
Dirty Rotten Scoundrels (1988) yang
juga hasil remake Bedtime Story (1964)
tidak semestinya dibuat. Serupa banyak film daur ulang masa kini (Ghostbusters, Ocean’s 8, What Men Want),
gender protagonis diubah menjadi perempuan, dengan harapan menambah relevansi.Tapi
cara The Hustle menangani materi
adaptasinya justru bagai menarik pesan women’s
empowerment-nya mundur beberapa langkah.
Tonton Dirty Rotten Scoundrels, dan anda akan menyadari jika filmnya
bergerak bak sajian seksis sebelum twist
finalnya datang membalikkan keadaan. Ditulis naskahnya oleh Jac Schaeffer (Captain Marvel, Black Widow), The Hustle mempertahankan twis tersebut, tapi karena perubahan
gender karakternya, efek yang dihasilkan pun berlawanan.
Pun ini adalah reka ulang yang
malas, khususnya di paruh pertama. Bukan cuma alur, banyak sudut kamera bahkan
dialognya sama persis dengan Dirty Rotten
Scoundrels. Rasanya seperti menonton film yang sama, namun bukannya Michael
Caine, kita melihat Anne Hathaway memamerkan karisma, sementara pesona penuh
warna Steve Martin digantikan kekonyolan Rebel Wilson.
Josephine (Anna Hathaway) dan Penny
(Rebel Wilson) sama-sama seorang penipu ulung, hanya saja “berbeda kasta”.
Ketika Josephine lebih berkelas dan menjalankan aksinya di kasino mewah, Penny
memilih bar biasa sebagai lahan mencari mangsa. Target mereka selalu sama,
yaitu laki-laki. Tanpa disengaja, keduanya bertemu di kereta, sama-sama sedang
menuju Beaumont-sur-Mer.
Dari situlah kompetisi bermula, sewaktu
Josephine dan Penny tak hanya menipu para korban, pula satu sama lain demi
ambisi menguasa teritori. Alhasil, taruhan dilakukan. Siapa yang berhasil
merampas uang sebesar $500 ribu dari seorang penemu aplikasi populer bernama
Thomas (Alex Sharp) jadi pemenangnya.
Perbedaan mendasar The Hustle dibanding pendahulunya adalah
soal gaya melucu. Banyolan bodoh sarat slapstick
jadi andalan, yang sesungguhnya cukup efektif memancing tertawa di beberapa
bagian berkat Anne Hathaway dan Rebel Wilson yang memang ahli melakoni kekonyolan.
Ditambah lagi, penyutradaraan Chris Addison sama bertenaganya.
Tapi sekali lagi, tidakkah itu
mengkhianati intensi pembuatan remake ini?
Pemilihan humornya, ditambah keputusan mempertahankan twist milik Dirty Rotten Scoundrels
sebagaimana saya singgung di atas, membuat para wanita film ini sepenuhnya
jadi sosok bodoh. Tidak sekalipun saya dibuat percaya bahwa keduanya merupakan
jenius di bidang tipu-menipu.
Jac Schaeffer seperti kurang
memahami sumber adaptasinya, sehingga tiap kali ia melakukan perubahan,
ketimbang memperoleh penyegaran, filmnya justru memburuk di berbagai aspek,
entah soal penyampaian pesan, penokohan, atau komedi. Ambil contoh “adegan
rolet”.
Pada Dirty Rotten Scoundrels, situasi itu muncul dua kali. Kemunculan
pertama berfungsi mengukuhkan modus operandi Lawrence (Michael Caine), di mana
ia memasang taruhan di angka yang sama dengan
sang target, lalu berharap kalah (yang kemungkinan besar akan terjadi) guna
menyedot simpati. Alhasil, saat dalam situasi kedua Lawrence malah terus meraup
kemenangan, tercipta kelucuan. Sementara The
Hustle hanya memiliki situasi kedua, berujung melemahkan dampak kejenakaan
berbalut ironinya.
Melangkah ke paruh kedua, The Hustle makin berani menerapkan
perubahan. Paling kentara dialami Josephine, yang pelan-pelan kehilangan
ketenangan dan wibawa. Hal itu dilakukan supaya kelucuan meningkat, meski
sayangnya, hasil yang didapat lagi-lagi berlawanan dari keinginan. Buddy comedy macam ini baru akan efektif
jika kedua tokoh utama punya ciri berlawanan, yang artinya, menjadikan
Josephine karakter konyol serupa Penny, berakibat melemahkan komedinya.
Durasi The Hustle hampir 20 menit lebih pendek ketimbang pendahulunya karena
Schaffer memangkas banyak momentum, yang alih-alih menambah dinamika filmnya
selaku hiburan bertempo cepat, justru terasa bak simplifikasi konflik, serta
wujud ketergesaan penceritaan. Seolah film ini tidak sabar mempresentasikan kejutan
besarnya.
Terakhir, usaha menghembuskan rasa melalui
romansa yang juga bertindak selaku perlawanan terhadap standar kecantikan,
turut menemui kegagalan. Rasa yang hendak diciptakan tertutupi oleh kekonyolan.
Tapi jika anda belum menonton Dirty
Rotten Scoundrels dan tak ambil pusing tentang alasan eksistensi remake ini, besar kemungkinan, The Hustle adalah tontonan yang cukup
untuk mengembangkan senyum kepuasan.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
35 komentar :
Comment Page:Posting Komentar