KUTUK (2019)

35 komentar
Pepatah “Pengalaman adalah guru yang terbaik” memang benar. Menjalani debut sebagai produser sekaligus penulis naskah, Shandy Aulia memanfaatkan pengalamannya bermain di setumpuk horor buruk, menerapkan segala kelemahan yang ia temui untuk membuat Kutuk semakin busuk. Sambutlah “The Greatest Hits of Shandy Aulia’s Terrible, Horrible, No Good, Very Bad Horror Movie”.

Shandy memerankan Maya, gadis muda yang baru bekerja di sebuah panti jompo yang cuma punya satu pegawai, yakni Gendhis (Vitta Mariana) si perawat judes. Sikap tak menyenangkan Gendhis bukan saja ditujukan pada Maya, pulaElena (Alice Norin) si pemilik panti yang ramah. Nantinya anda akan tahu, kejudesan Gendhis—yang mengingatkan akan kegalakan palsu para senior saat ospek—disertakan oleh naskahnya hanya untuk menambah daya kejut twist terkutuk yang menanti di belakang.

Maya sendiri merupakan karakter yang berjalan di garis tipis pemisah “keberanian” dan “kebodohan”. Belum seberapa lama ia menginjakkan kaki di panti, ia sudah melihat hantu dan mendengar suara-suara aneh. Bahkan selepas mulai bekerja, setiap hari, apa pun yang Maya kerjakan selalu membawanya menuju peristiwa mengerikan. Keputusan Maya untuk terus bertahan bukan membuktikan ia punya nyali atau memedulikan para lansia, melainkan bahwa otak Maya ternyata juga maya.

Menulis naskahnya bersama Fajar Umbara (Sabrina, Mata Batin 2, Ikut Aku ke Neraka), Shandy menerapkan ilmu yang sepanjang karirnya ia pelajari, yaitu “PLOT FILM HOROR HARUS DIKESAMPINGKAN, DISIMPAN SAMPAI BABAK KETIGA DI MANA SEMUA RAHASIA MENDADAK DIUNGKAP LEWAT SATU SEKUEN KALA KARAKTER UTAMANYA MENDAPAT PENGLIHATAN”. Di sini Shandy dan Fajar bukan membuat “plot twist”, melainkan “twist plot”, yaitu kondisi tatkala plot sebuah film dihimpatkan dalam satu twist.

Jadi, di samping pengalaman supernatural Maya, apa yang film terkutuk ini tawarkan selama 82 menit durasinya? Adakah misteri? Atau gejolak drama? Jawabannya adalah “OBROLAN”, saudara-saudara. Kutuk senang sekali menampilkan karakternya menyesap secangkir teh sembari melontarkan dialog membosankan yang dihantarkan oleh para pemainnya tanpa nyawa.

Shandy yang malang. Dia nampak begitu lelah memproduksi sambil menggarap naskah film ini, ia terlihat tak punya sisa tenaga untuk berakting, sehingga menyampaikan baris demi baris kalimat secara datar. Tidak heran. Pasti dia (bersama Bung Fajar tentunya) harus memeras otak, bekerja ekstra, supaya bisa mencetuskan ide penciptaan kalimat menggelikan seperti, “Dari awal kamu memang sudah sentimen sama saya” atau “Kamu pasti udah kena nyinyirnya Gendhis ya?”. Nganu....kenapa gaya bicara karakter yang biasanya formal mendadak berubah ya Mbak Shandy, Mas Fajar? Dan berlatar tahun berapa sebenarnya film ini?

Pun tidak mengejutkan saat nyaris mustahil menemukan teror mengerikan di sini, meski sutradara Rudi Aryanto (Surat Cinta untuk Starla the Movie,The Way I Love You) telah berbaik hati tidak berusaha menghancurkan gendang telinga kita, dengan mengatur volume musik secukupnya, terlebih di menit-menit awal tatkala keheningan kerap dipakai. Setidaknya, Rudi berhasil menyelipkan satu jump scare cerdik nan mengejutkan (clue: melibatkan cermin) berkat pilihan timing sempurna.

Bersenjatakan peristiwa berdarah, klimaksnya menyimpan potensi, walau sayang, berakhir problematik. Rupanya, si hantu hanya coba memberitahukan sesuatu kepada Maya. Di horor kebanyakan, hal itu tak bisa seketika dilakukan karena butuh diadakan ritual dan/atau menyediakan perantara. Tapi Kutuk tidak memerlukan itu. Jadi kenapa baru terjadi jelang akhir? Kenapa pula Maya yang terus diganggu bila ternyata si hantu bukan menargetkan nyawanya? Sungguh produk terkutuk.

35 komentar :

Comment Page:

KOBOY KAMPUS (2019)

3 komentar
Seringkali, kata “representasi” menentukan kenikmatan kita menyaksikan sebuah film. Walau kualitasnya jeblok sekalipun, jika film itu sanggup mewakili aspek-aspek dalam hidup kita, kelemahannya bisa dimaafkan. Itulah yang terjadi antara saya dengan Koboy Kampus selaku karya terbaru Pidi Baiq, yang kali ini menyutradarai filmnya bersama Tubagus Deddy, yang sebelumnya menulis naskah Baracas: Barisan Anti Cinta Asmara (debut penyutradaraan Pidi).

Meski sadar betul betapa berantakan penceritaan Koboy Kampus, kisahnya mengingatkan saya pada masa-masa indah kala berkuliah kala studi terbengkalai akibat terlalu sering menghabiskan waktu di ruang seni bersama teman-teman, menyanyi, tertawa, memikirkan asmara, bicara ngalor ngidul soal segala hal, sembari mengutarakan sudut pandang absurd kami masing-masing.

Berlatar tahun 1995-1998 tatkala gejolak jelang reformasi makin memanas, filmnya memaparkan kehidupan Pidi Baiq (Jason Ranti), mahasiswa seni rupa ITB yang menginisiasi berdirinya “Negara Kesatuan Republik The Panasdalam” alih-alih ikut turun ke jalan. Meminjam ucapan Ninu (Ricky Harun), The Panasdalam adalah “kingdom of have fun” (plesetan “kingdom of heaven”), yakni tempat di mana rakyatnya bisa bersenang-senang biarpun kondisi Indonesia sedang kalut.

Tapi mereka tetap para mahasiswa kritis, sebagaimana filmnya tunjukkan melalui beberapa obrolan seputar politik hingga esensi bernegara. Koboy Kampus pun berpeluang memantik diskusi berisi ragam perspektif, andai karakter Pidi, yang bergelar “Imam Besar The Panasdalam”, tidak didesain sebagai sumber kebijaksanaan yang senantiasa menuntaskan masalah lewat petuah-petuah.

Mengenakan jaket jeans dan jago merangkai kata, Pidi memang tak ubahnya Dilan, yang kegombalannya digantikan kalimat-kalimat bernada filosofis mengenai isu sosial-politik. Dan seperti Dilan 1990, Koboy Kampus sejatinya tidak memiliki plot, bergerak layaknya kompilasi sketsa plus video klip.

Naskah yang juga ditulis oleh Pidi dan Tubagus selalu melemparkan konflik demi konflik secara acak, pula tanpa benang merah kecuali bahwa seluruh konflik itu melibatkan individu-individu dari The Panasdalam. Dari usaha menggaet hati mahasiswi, ancaman drop out, gesekan dengan KMSR (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) dan jajaran aktivis, pelarangan ospek, dan lain-lain. Mayoritas permasalahan di atas berujung memberi ide bagi Pidi menggubah lagu. Masalah diutarakan, Pidi bernyanyi, kemudian usai. Fokusnya nol besar, namun seperti telah disebutkan, secara personal, aktivitas-aktivitas The Panasdalam terasa begitu dekat.

Apalagi kisahnya bertempat di luar hingar bingar ibukota (Bandung), menjadikan keguyuban tokoh-tokohnya semakin terasa. Di balik canda tawa mereka ada keintiman hangat. Seolah saya sedang berkendara melewati kenangan tanpa destinasi pasti, tapi karena menghadirkan nuansa sentimentil, saya memilih pasrah, diam, menikmati pemandangan. Jajaran pemainnya pun solid, terlebih Jason Ranti, sehingga walau karakter Pidi kerap kurang manusiawi (lagi-lagi seperti Dilan), saya bisa menikmatinya berseloroh.  Turut mencuri perhatian adalah kejenakaan komedi deadpan Anfa Safitri sebagai Rianto si pria bernasib malang perihal percintaan. Tambahkan lagu-lagu bernada catchy dan berlirik jenaka milik The Panasdalam Bank, perjalanan ini semakin menyenangkan.

Tapi tedapat satu unsur problematik, yakni terkait persepsi Koboy Kampus terhadap Orde Baru. (SPOILER ALERT) Kadang filmnya seperti mendukung Soeharto (nyanyian Pidi yang menyindir revolusi, reformasi, dan demokrasi, sampai ucapan terima kasihnya kepada sang diktator), kadang seperti menentang Soeharto (keputusan “bersatu kembali” dengan Indonesia selepas keruntuhan Orde Baru). Saya teringat akan suatu artikel yang menyebut bahwa pembentukan Negara Kesatuan Republik The Panasdalam merupakan bentuk protes akan Soeharto. Tapi apa pun sudut pandang Pidi, ambiguitas ini menunjukkan kurang mulusnya penyampaian pesan Koboy Kampus.

3 komentar :

Comment Page:

STUBER (2019)

11 komentar
Di tengah kurangnya asupan film bagus (sejak The Lion King belum sekalipun saya memberi penilaian positif), saya tak menempatkan ekspektasi tinggi terhadap Stuber, mengingat belakangan, buddy action comedy bermutu semakin jarang. Sampai Dave Bautista dan Kumail Nanjiani datang, memperlihatkan bagaimana semestinya sub-genre satu ini diperlakukan.

Victor (Dave Bautista) adalah polisi tangguh yang terobsesi meringkus bandar narkoba bernama Tedjo (Iko Uwais). Obsesi itu merenggangkan hubungannya dengan sang puteri, Nicole (Natalie Morales). Bahkan Victor melupakan malam pameran karya seni Nicole, lalu menjadwalkan operasi lasik beberapa jam sebelumnya, membuat penglihatannya terganggu sepanjang hari. Berusaha memastikan kehadiran ayahnya, Nicole memaksa Victor mengunduh Uber.

Seperti kita ketahui bersama, kedatangan Victor bakal terganggu. Gangguan itu berbentuk laporan dari seorang informan bahwa malam itu Tedjo akan melakukan transaksi. Akibat kondisi mata yang tak memungkinkannya menyetir, Victor pun memesan Uber. Di situlah ia bertemu Stu (Kumail Nanjiani), sopir Uber yang susah payah mempertahankan rating empat, sebab kurang dari itu, ia akan kehilangan pekerjaan.

Stu tidak kalah buru-buru. Selepas mengakhiri hubungan dengan pacarnya, Becca (Betty Gilbin), gadis yang diam-diam Stu cintai, memintanya datang untuk berhubungan seks (sambil mabuk dan menonton When Harry Met Sally). Intinya, Becca ingin menjadikan Stu pelampiasan. Sebuah bumper. Sial bagi Stu, ini bukan perjalanan bintang lima mulus sebagaimana dia harapkan.

Alih-alih melesat menuju rumah Becca, Stu terjebak bersama Victor dalam satu hari gila penuh baku tembak, kejar-kejaran mobil, dan mayat-mayat bergelimpangan. Karena kondisi penglihatan Victor tengah memburuk, kebutuhannya akan bantuan Stu jadi suatu hal logis. Setidaknya, elemen itu bisa meminimalisir rasa janggal di benak penonton, karena keduanya sama-sama terpaksa, tidak berdaya, dan tak punya opsi lain.

Buddy movie wajib punya dua protagonis dengan kepribadian berlawanan, dan Stuber memenuhi itu, bahkan menjadikan perbedaan mereka jalan menyentil konsep maskulinitas. Bagi Victor laki-laki tidak boleh menangis, hatinya mesti sekeras batu, dan menganggap kelembutan sebagai kelemahan. Sebaliknya, Stu adalah sosok sensitif yang cenderung mengandalkan otak, pula percaya jika laki-laki berhak meneteskan air mata.

Naskah karya Tripper Clancy (Four Against the Bank, Hot Dog) belum maksimal memanfaatkan ciri menarik para protagonis, di mana Stuber cenderug menggambarkan gesekan mereka lewat adu mulut repetitif nan seadanya, ketimbang gambaran kreatif saat Victor dan Stu saling mengisi lewat keunggulan masing-masing, semisal saat Stu membantu Dave menggali informasi dengan cara “menyiksa” seorang penjahat.

Daya bunuh humornya juga terpengaruh, karena perihal mengocok perut pun filmnya main aman. Leluconnya minim kegilaan pendukung premis “kacaunya”, pula tak seberapa segar selaku pemicu tawa-tawa tak terduga. Untung ada Dave dan Kumail. Kunci sukses keduanya terletak di keengganan tampak konyol secara berlebih. Bahkan mereka bak tidak sedang melawak, tapi menunjukkan respon wajar kala dua orang terjebak dalam situasi yang sukar dipercaya. Khususnya Kumail. Didasari kebutuhan membangun dinamika, tokoh utama buddy comedy wajib diisi satu figur serius dan seorang “badut”, dan saya lelah melihat para badut bersikap seolah mereka adalah manusia terbodoh di dunia. Kumail berbeda. Stu histerikal, namun sesuai kondisi dan situasi.

Satu elemen lagi yang menghalangi Stuber menjadi “perjalanan bintang lima” adalah adegan aksinya. Baku hantam komedik Stu melawan Victor di pusat perbelanjaan memang percampuran sempurna aksi dengan komedi, namun selain itu, gampang dilupakan. Koreografi garapan Iko (memadukan bela dirinya dan street fighting brutal milik Dave) dilemahkan oleh penyutradaraan Michael Dowse (FUBAR, Goon, What If) yang terjangkit penyakit  quick cuts dan close up”. Bicara soal Iko, meski hanya diberi screen time pada sekuen pembuka dan klimaks, tidak seperti Triple Threat, Stuber menghormati sang aktor, di mana kehadirannya berpengaruh, pun ia berkesempatan membuat Dave Bautista babak belur.  

11 komentar :

Comment Page:

DETECTIVE CONAN: THE FIST OF BLUE SAPPHIRE (2019)

16 komentar
Saya meninggalkan anime Detective Conan selepas tidak lagi menonton televisi, berhenti membaca komiknya karena tak kunjung usai, dan meninggalkan film layar lebarnya yang lebih mementingkan aksi bombastis (adaptasi anime populer selalu demikian) ketimbang misteri, yang mana memancing ketertarikan saya akan seri ciptaan Gosho Aoyama ini dahulu. Pilihan itu sejatinya bisa dipahami, karena filmnya harus tampil sinematik, berbeda dibanding versi lain, sehinngga penonton punya alasan untuk mengeluarkan uang lebih.

Detective Conan: The Fist of Blue Sapphire merupakan installment terlaris kedua dalam franchise-nya, berhasil mengangkangi Avengers: Endgame di peringkat box office, serta merupakan film Detective Conan pertama yang mengambil latar internasioal (Singapura). Saya pun merasa ini waktunya kembali menjajal aksi Conan Edogawa memecahkan misteri. Dan jika kebetulan anda juga penggemar lama yang coba kembali, The Fist of Blue Sapphire adalah pilihan tepat. Anda takkan tersesat, karena di luar para tokoh utama, hanya ada nama-nama lama seperti Kaito Kid (Kappei Yamaguchi) dan Makoto Kyogoku (Nobuyuki Hiyama).

Kisahnya bermula saat seorang wanita terbunuh di Singapura. Tidak lama setelah ia meregang nyawa, terjadi ledakan yang menimbulkan kekacauan, sebelum tiba-tiba cairan merah seperti darah muncrat dari Merlion. Peristiwa terakhir tampak mengerikan, mencengangkan, dan misterius, meski sayang, jawaban yang filmnya siapkan atas anomali tersebut amat mengecewakan.

Kemudian bertemulah kita dengan Ran (Wakana Yamazaki), Sonoko (Naoko Matsui), dan Kogoro (Rikiya Koyama) yang mengunjungi Singapura guna menonton kompetisi karate di mana Makoto turut serta. Conan (Minami Takayama) yang awalnya kecewa tidak bisa ikut akibat masalah paspor, kaget ketika ia mendadak terbangun di Singapura. Kekagetannya bertambah saat mendapati ada Shinichi lain tengah bersama Ran. Tentu kita itu adalah samaran Kaito Kid.

Kali ini Kid berusaha mencuri batu safir legendaris yang ditatahkan di sabuk juara kompetisi karate yang Makoto ikuti. Tapi bukan hanya itu intensinya. Kembali ke pembunuhan di awal film, polisi menemukan kartu Kid yang berlumuran darah, otomatis menjadikannya tersangka. Di situlah ia memerlukan bantuan Conan guna membersihkan nama baiknya, dengan cara mencari sang pembunuh sebenarnya.

Naskah buatan Takahiro Ohkura (Detective Conan: Crimson Love Letter) tidak menampilkan misteri, atau setidaknya bukan misteri yang cukup kuat untuk mencengkeram atensi. Sejak awal kita sudah mengetahui siapa pelakunya. Bahkan filmnya pun tak berusaha menutupi itu. Pertanyaan yang tersisa bukan “siapa”, melainkan “bagaimana”. Bagaimana trik pembunuhan tersebut? Sebuah pertanyaan yang dikesampingkan oleh Takahiro atas nama gelaran aksi.

Sebagai film yang memiliki protagonis detektif, The Fist of Blue Sapphire begitu minim momen investigasi. Tanpa proses penyelidikan bertahap, kita langsung dihadapkan pada fase deduksi di paruh akhir, yang turut menyelipkan twist berlapis. Alih-alih mengejutkan, twist-nya semakin membuat penceritannya terlihat bak benang kusut. Sebuah twist yang datang entah dari mana, tanpa pondasi memadai, dan terasa mencurangi penonton.

Dan sebagai film yang memiliki protagonis detektif jenius, The Fist of Blue Sapphire terlalu gemar menampilkan kebodohan. Kebimbangan hati akibat intimidasi tak masuk akal salah satu karakter memperlihatkan kebodohan Makoto, keputusan mengejar mobil polisi di tengah sebuah kekacauan yang berujung membahayakan keselamatannya membuktikan kebodohan Sonoko, pun rencana besar sang antagonis tidak kalah bodoh.

Menariknya, sekuen aksi justru muncul sebagai penyelamat. Walau pengarahan sutradara debutan Tomoka Nagaoka (plus penyuntingan buruk) acap kali kacau akibat ketidaktepatan memilih fokus dalam frame yang berakhir menciptakan disorientasi membingungkan, secara keseluruhan ia cukup piawai membagun intensitas. Dibantu animasi solid, laga puncak di klimaksnya memang seru. Dari Conan, Kid, Makoto, sampai duet Kogoro-Ran, semua memamerkan kebolehan masing-masing.

Tomoka pun mampu melahirkan sekuen dramatis yang sedikit menyentuh definisi “indah” dalam mengemas peristiwa sebelum klimaks, ketika ia mematikan semua suara kecuali musik berbasis dentingan piano gubahan Katsuo Ono. Pun lagu tema buatan legendaris buatan sang komposer masih ampuh membuat tubuh “mantan penggemar” seperti saya bergetar. Sayang, keseluruhan filmnya tak mampu menumbuhkan keinginan untuk mengikuti lagi serinya (dalam media apa pun).

16 komentar :

Comment Page:

MA (2019)

6 komentar
Sebuah saran: Kalau ingin penonton mendukung karakter pembunuh atau psikopat dalam filmmu, pastikan ia membunuh dan/atau menyiksa korban yang tepat, yang penonton anggap pantas mendapatkannya. Di situlah letak kekeliruan Ma, thriller psikologis yang membuat saya kebingungan mesti merasakan apa, berekasi bagaimana, dan bersimpati kepada siapa.

Andai Scotty Landes selaku penulis naskah memasang target sederhana, Ma bisa menjadi cheap thrills yang sempurna sebagai tontonan seru tengah malam. Bahan bakunya mendukung. Sekelompok remaja termasuk protagonis kita, Maggie (Diana Silvers) yang baru saja pindah, terjebak dalam permainan gila seorang wanita misterius bernama Sue Ann (Octavia Spencer) alias "Ma". Diawali permintaan membelikan minuman keras, Ma justru mengajak mereka berpesta di ruang bawah tanah miliknya.

Di sana mereka bebas menenggak berbotol-botol minuman, menghisap ganja sepuasnya, tanpa takut ditangkap polisi sebagaimana terjadi sebelumnya. Satu-satunya aturan adalah "Dilarang menginjakkan kaki di lantai atas". Suatu larangan yang selalu dilontarkan karakter psikopat. Bocah-bocah ini jelas jarang menonton film.

Ma bisa bertahan di rute mudah, menempatkan fokus hanya pada proses para remaja menyadari adanya ketidakberesan dalam diri Ma, lalu berjuang kabur demi menyelamatkan nyawa mereka. Tapi film ini ingin lebih. Naskah awal Landes tak memiliki latar belakang bagi Ma, menjadikannya sesosok monster keji. Setelah sutradara Tate Taylor (The Help, The Girl on the Train) dan Spencer bergabung, barulah elemen itu dibuat demi terciptanya otentitas karakter, sekaligus menambahkan pesan anti-bullying.

Akhirnya, sesekali kita diajak mengintip masa lalu Ma, yang menjabarkan alasan mengapa ia mengundang remaja-remaja itu (makin lama jumlah "tamunya" makin besar). Alasan yang diharapkan memancing simpati penonton terhadap Ma, namun urung terjadi akibat ia (baca: filmnya) salah memilih korban. Saya memahami kesedihan Ma muda, tapi tak mendukung perbuatannya di masa kini. Apalagi berkat Diana Silvers, Maggie jadi protagonis yang gampang disukai.

Bukan masalah andai Ma sebatas cheap thrills, tapi presentasinya jelas berupa studi karakter yang mengedepankan eksplorasi psikis Ma, sembari membatasi jumlah situasi menegangkan. Sayang, seperti sudah dibahas di atas, filmnya salah memilih korban. Dari situlah Ma mulai terjebak di ketidakpastian dan bisa sepenuhnya tersedot dalam lubang hitam bernama "kemediokeran" kalau bukan karena Spencer. Menghabiskan karir memerankan figur hangat, Spencer bertransformasi memamerkan mood swing sekaligus memanusiakan sosok Ma. Tangisannya mengiris perasaan, sebaliknya, ia mengerikan saat tersenyum sambil merekam video, mengajak para remaja berpesta. Mungkin tetap sulit bersimpati padanya, namun Ma jelas bukan mesin pembunuh berhati hampa.

Klimaksnya menawarkan apa yang mayoritas penonton tunggu dalam wujud situasi singkat tapi menyakitkan tatkala Ma melepaskan segala beban mentalnya. Sayang, penyutradaraan Tate Taylor membuat momen puncaknya ditutup secara menggelikan. Bermaksud membangun kekacauan yang mewakili kondisi "run for your life!", kemasan canggung nihil intensitas dari sang sutradara menghapuskan peluang bagi paruh akhir filmnya menebus dosa-dosa sebelumnya.

6 komentar :

Comment Page:

PINTU MERAH (2019)

13 komentar
REVIEW INI MENGANDUNG SPOILER!
Pintu Merah bukan tipikal horor yang langsung angkat tangan perihal eksplorasi ide lalu membiarkan ketiadaan plot plus jump scare murahan mengambil alih. Memiliki lima penulis naskah (termasuk sang sutradara, Noviandra Santosa), film ini jelas mencurahkan daya upaya dalam usahanya membangun misteri, walau akhirnya kelemahan eksekusi di banyak departemen berujung menghasilkan produk akhir yang belum sesuai harapan.

Protagonisnya bernama Aya (Aura Kasih), wartawan yang atas perintah atasan, harus menulis artikel mengenai penemuan mayat di hutan. Awalnya Aya terpaksa, sampai ia menyadari bahwa: 1) Kasus serupa telah berulang kali terjadi selama bertahun-tahun; dan 2) Ini merupakan pembunuhan berantai. Berambisi membuktikan diri, Aya nekat menginvestigasi kasus itu sendirian meski mendapat tentangan dari rekannya, Leo (Cornelio Sunny).

Penyelidikan Aya membawanya ke rumah sakit tua yang diyakini punya peranan penting dalam rangkaian pembantaian tersebut. Rumah sakit ini sudah ditelantarkan selama 10 tahun, tidak terawat, namun saat Aya memasuki sebuah pintu merah, ia menemukan pemandangan mencengangkan. Bangunan terbengkalai itu kini kembali baru. Kemudian, Aya pun bertemu Alex (Miller Khan), mantan karyawan rumah sakit yang tak bisa mengingat kenapa ia berada di situ.

Ada kejanggalan. Konon, Aya adalah jurnalis kritis jago analisis. Dia berteori bahwa si pelaku pembunuhan berantai sedang bersembunyi di rumah sakit. Jadi, kenapa Aya mau semudah itu mempercayai pria tak dikenal yang melontarkan banyak pengakuan ambigu? Saya rasa keengganan sang bos menaruh kepercayaan pada Aya merupakan keputusan tepat.

Berusaha mencari jalan keluar, Aya dan Alex justru terkejut kala menyadari keduanya terjebak di sebuah loop. Tidak peduli berapa kali menuruni anak tangga, mereka selalu kembali di lantai yang sama. Penceritaannya—walau kerap terasa jumpy dan mengalir tak semulus sebuah long take apik selaku penggambaran loop yang karakternya lalui—melahirkan misteri berdosis memadai guna menyulut keingintahuan.

Menyenangkan pula melihat bagaimana di debutnya, Noviandra Santosa berani menekan pemakaian jump scare, menyelipkannya hanya di momen yang benar-benar perlu (mayoritas dialokasikan bagi klimaks). Di luar sesosok bayangan hasil kreasi CGI, desain hantu Pintu Merah pun cukup solid, dari wajah-wajah menyeramkan di dinding, hingga figur bertopeng di paruh akhir. Sayang, bukan cuma jump scare klise saja yang dikesampingkan Noviandra bersama tim penulisnya, melainkan teror secara keseluruhan.

Proses penyelidikan Aya berlangsung datar akibat minimnya urgensi, sewaktu kedua protagonis kita amat jarang menemukan ancaman berarti. Keduanya sekadar berputar-putar, menemui keanehan-keanehan yang tak sampai mengancam keselamatan, menyulitkan timbulnya kekhawatiran akan nasib mereka. Diperparah lagi dengan akting buruk Miller Khan dan Aura Kasih, yang bicara layaknya dua orang baru melakukan meditasi. Kalem, tenang, dingin, datar. Tidak ada tanda-tanda kalau nyawa mereka dalam bahaya.

Menjelang akhir, Pintu Merah mulai menderita penyakit khas horor kita (atau horor medioker di seluruh dunia), yakni klimaks miskin intensitas yang ditutup terlalu cepat, dan menempuh jalur malas guna menjawab misterinya. “Semua ini peristiwa mistis” seolah jadi mantera ampuh sewaktu penulis naskah horor kehabisan ide tentang cara “membungkus” alur. Andai saja Noviandra bersedia menambah kadar penerangan, Pintu Merah mungkin bakal mempunyai beberapa adegan disturbing di babak ketiganya. Namun serupa elemen lain, potensi itu terkubur oleh lemahnya eksekusi.  

13 komentar :

Comment Page:

DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI (2019)

8 komentar
Kritis. Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi memang film kritis, tapi bukan kritis terkait pemikiran tajam, melainkan kualitas yang mendekati titik nadir. Mengadaptasi cerpen berjudul sama karya Seno Gumira Ajidarma (Pendekar Tongkat Emas, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212) yang turut menulis naskahnya bersama sang sutradara John De Rantau (Denias Senandung di atas Awan, Wage), film ini tersesat dalam prosesnya mengulur cerita pendek menjadi tontonan berdurasi 96 menit.

Kisahnya mengetengahkan kehebohan yang melanda kampung di pinggiran Jakarta akibat kehadiran mahasiswi S2 cantik bernama Sophie (Elvira Devinamira). Kehebohan itu dikarenakan tiap kali Sophie mandi, pria-pria sekampung berkumpul, bahkan membayar tiket masuk guna mendengarnya membuka resleting, mengguyur dan menyabuni tubuh, dan—yang paling ditunggu—menyanyikan Jaran Goyang dengan suara serak-serak basah miliknya.

Suaranya begitu menghipnotis, pria-pria itu bahkan mencapai orgasme karena membayangkan bersetubuh dengan Sophie kala mendengar nyanyiannya. Tapi tidak seperti cerpennya, ada dua pria yang tak cuma mendengar, pula mengintip. Salah satunya adalah Yayu (Yayu AW Unru), karakter yang keberadaannya bak usaha menjustifikasi poligami. Meski hanya lewat lubang kecil, fakta bahwa keduanya bisa melihat tubuh Sophie, praktis melemahkan unsur soal keliaran imajinasi.

Saya suka cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Dipublikasikan pada tahun 1995, pesannya masih relevan sampai sekarang, khususnya kritik terhadap prasangka yang menggiring masyarakat menuju paranoia dan fitnah. Tersimpan pula sentilan soal definisi kebenaran, di mana disebutkan jika suatu hal dianggap “benar” apabila dianut oleh mayoritas.

Sayang, sindiran-sindiran tajam di atas terkubur di balik kebingungan para pembuatnya mengembangkan cerpen yang (tentunya) singkat nan padat. Hasilnya adalah tuturan berfokus lemah sekaligus repetitif. Terdapat dua situasi yang dipaparkan lagi dan lagi, dengan tiap pemaparan yang berlangsung terlampau lama. Pertama, pertengkaran rumah tangga akibat para suami kehilangan hasrat seksual. Kedua, protes para istri kepada Pak RT (Mathias Muchus). Mereka meminta Sophie segera diusir.

Setidaknya saya bisa merasakan sedikit angin segar melalui iringan lagu-lagu The Upstairst serta penampilan Mathias Muchus. Walau belum sampai mengentaskan filmnya dari keburukan, dua elemen itu punya daya hibur. Terkait The Upstairs, mungkin saya memang sudah rindu mendengar lagu-lagu macam Terekam (Tak Pernah Mati) atau Disko Darurat. Sementara Mathias Muchus mampu sesekali mengembalikan film ini ke hakikatnya, yakni memancing tawa penonton.

Satu metode lain yang dipakai untuk mengisi durasi adalah memberi story arc kepada Sophie. Dia memiliki love interest bernama Senja (David John Schaap), seorang penulis muda yang ditemuinya di bus. Alkisah, Sophie kecopetan. Beruntung, berkat kebodohan luar biasa si pencopet yang kabur sebelum orang-orang menyadari aksinya, Senja mampu melakukan pengejaran.

Peristiwa itulah awal dari deretan adegan canggung yang melibatkan Sophie dan Senja, sebutlah perkelahian Senja melawan pencopet yang menyelipkan aksi akrobatik tak perlu, obrolan berisi kalimat-kalimat yang menunjukkan usaha putus asa para penulis naskah agar pembicaraan terdengar bermakna namun berujung kegagalan menyulut romantisme maupun memprovokasi pemikiran, sampai (SPOILER) pertengkaran saat Sophie mengetahui kalau Senja diam-diam menulis novel tentang dirinya. Sophie menemukan manuskrip itu di kamar, tapi supaya lebih dramatis, ia membuangnya di jalanan.

Kemudian tibalah kita di konklusi, yang juga elemen paling problematik filmnya. Bukan saja melewatkan satu kalimat penting yang menutup cerpennya dalam lingkaran imajinasi tak berujung (clue: Alasan kenapa para suami masih gagal move on biarpun Sophie sudah pergi), konflik pun ditutup denga kesan bahwa memang nyanyian Sophie-lah penyebab semua kekacauan alih-alih sepenuhnya kesalahan imajinasi mesum para suami (dan prasangka para istri).

Apakah Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi tampil beda? Ya. Keputusan John De Rantau menerapkan beberapa pendekatan khas pertunjukan teater (situasi pemecah batasan realis dan surealis, gestur plus ekspresi besar pemain, tokoh dari beragam suku dengan beraneka ciri) harus diakui memang jarang ditemui di film-film kita belakangan. Tapi, apakah Wahana Rumah Hantu, Comic Kong X Kong, atau Arwah Noni Belanda tampil beda? Apakah judul-judul tersebut menampilkan sesuatu yang jarang ditemui? Apakah kualitasnya bagus? Silahkan direnungkan.

8 komentar :

Comment Page:

THE LION KING (2019)

25 komentar
The Lion King adalah korban pilihan artistik Disney yang bertujuan memanfaatkan kesuksesan live action remake mereka. Dibuat dalam format fotorealistik, Jon Favreu (Iron Man, The Jungle Book) beserta tim sudah mengerahkan kemampuan terbaik, tapi biar bagaimanapun, pendekatan realistis pada dasarnya memang kurang cocok membungkus kisah si raja rimba.

Mungkin anda sudah mendengar kritik terhadap minimnya ekspresi wajah para hewan di sini. Tidak sepenuhnya benar, sebab bila diperhatikan lebih teliti, di balik tampilan fisik mereka yang digarap luar biasa detail hingga ke tekstur terkecil, dapat ditemukan gurat-gurat wajah humanis meski tidak dalam bentuk ekspresi besar, yang mana cocok bagi karakter macam Sarabi (Alfre Woodard), tapi tidak untuk Mufasa (James Earl Jones), Scar (Chiwetel Ejiofor), apalagi Zazu  (John Oliver).

Bayangkan tengah menonton animasi aslinya, diisi plot serta adegan serupa, hanya saja pengemasannya menekankan realisme. Artinya, kita takkan melihat Scar menelan Zazu, atau sekuen musikal I Just Can’t Wait to Be King yang komikal nan berwarna. Patut disayangkan, namun gantinya, keagungan alam bisa dirasakan, sebagaimana di adegan pembuka saat hewan-hewan penghuni Pride Lands menyambut kelahiran Simba (Donald Glover menyuarakan Simba dewasa,  JD McCrary meyuarakan Simba kecil). Rafiki (John Kani) mengangkat si bayi singa, sementara awan memberi jalan bagi semburat cahaya matahari yang menimbulkan kesan surgawi.

Desain Simba kecil bakal membuat teriakan “Oooh” dan ”Aaaw” sering keluar dari mulut penonton, tapi ketika kelucuan Simba berhasil mencuri hati, tidak demikian soal hubungannya dan sang ayah. Mufasa merupakan sosok pemimpin berwibawa, sehingga menciptakan ekspresinya pun jadi pekerjaan rumit. Walau James Earl Jones tanpa cela, sang raja bak tanpa nyawa akibat wajah yang kurang menyatu dengan suara.

Berikutnya, anda tahu apa yang akan terjadi. Berniat membuktikan kepantasan dan keberaniannya selaku calon raja, Simba mengajak Nala (Beyoncé Knowles-Carter menyuarakan Nala dewasa, Shahadi Wright Joseph menjadi Nala kecil) daerah terlarang berupa kuburan gajah, yang rupanya menjadi sarang hyena. Itulah awal tragedi kala Scar, yang sejak lama berambisi bertahta, membunuh Mufasa yang juga kakaknya, lalu menimpakan kesalahan kepada Simba. Ketakutan, ia menuruti perintah pamannya agar pergi dari Pride Lands.

Momen ikonik tatkala Scar mendorong Mufasa dari tebing gagal dibuat ulang secara apik, kali ini bukan saja akibat kurangnya ekspresi para singa, pula suara Chiwetel Ejiofor yang tanpa aura kekejaman. Padahal, di adegan-adegan lain, Ejiofor mampu melakoni perannya dengan baik. Beruntung, begitu saya mulai bersiap sepenuhnya dikecewakan, paruh keduanya muncul sebagai penyelamat. Pertama, tentu berkat duo Timon-Pumbaa (Billy Eichner-Seth Rogen). Keduanya adalah mesin penghasil tawa yang seketika menjauhkan filmnya dari awan kelam miskin warna bernama “realisme”.

Pun di paruh ini, elemen musik serta visualnya semakin memikat. Mengkreasi ulang karya buatannya, Hans Zimmer dibantu African choir yang kembali dikomandani oleh Lebo M., melahirkan scoring yang mampu menggerakkan perasaan (King of Pride Rock berulang kali membuat saya bergetar), mengiringi visual revolusioner yang bukan saja mengandalkan teknologi tinggi, pula kepiawaian sang sinematografer, Caleb Deschanel (The Passion of the Christ, Never Look Away). Pemandangan alamnya serasa bagian program Disneynature atau dokumenter National Geographic, tentunya dengan tambahan proporsi kecantikan.

Musikalnya pun turut mendapat upgrade. Nomor The Lion Sleeps Tonight berlangsung lebih lama dan menyenangkan tanpa perlu menjadi terlampau komikal, sedangkan biarpun Can You Feel the Love Tonight milik Favreu tak seromantis versi aslinya, keberadaan vokal Beyoncé rasanya telah menutup kekurangan tersebut. Meski minim nuansa “dimabuk kepayang karena asmara”, saya dibuat tersentuh oleh lantunannya.

Modifikasi favorit saya yakni ketika selaku penulis naskah, Jeff Nathanson (Catch Me If You Can, The Terminal) mengembangkan mome kala Rafiki mengetahui bahwa Simba masih hidup. Dibarengi penyutradaraan kaya sensitivitas dari Favreu, sekuen tersebut menangkap substansi “circle of life” lewat perjalanan segenggam bulu, yang menunjukkan bagaimana semesta mempunyai kekuatannya sendiri guna menggiring makhluk-makhluk di dalamnya menuju jalan takdir di mana kebaikan berkuasa.

Semua pendekatan berbasis realisme di The Lion King rasaya lebih mudah diapresiasi penonton dewasa, khususnya yang memahami indahnya keagungan alam. Sebaliknya, penonton anak bisa saja menganggap filmnya kurang seru, bahkan klimaksnya mungkin terlalu mengerikan bagi mereka. Beberapa bocah di studio tempat saya menonton seketika mengangis begitu pertarungan liar antara sekumpulan hewan buas berlangsung di bawah langit malam. Because once again—for better or worse—that’s realistic.

25 komentar :

Comment Page:

SUPER 30 (2019)

2 komentar
Mahabarata dan Ramayana beberapa kali disebut dalam film ini, sebagai alat bantu karakternya menegaskan bahwa semua orang memiliki hakikat masing-masing yang tak bisa diubah. Pangeran selalu bergelimang kemewahan, sebaliknya rakyat jelata terus menderita. Perpsektif terseut selalu jadi alasan semua ketidakadilan, baik terkait ras, kasta, gender, atau sebagaimana tema utama Super 30, pendidikan.

Filmnya mengangkat kisah hidup Anand Kumar (Hrithik Roshan), seorang jenius matematika berkepribadian canggung dari keluarga miskin. Begitu tergila-gila ia pada matematika, Anand menyebut sang kekasih, Ritu (Mrunal Thakur), tidak cantik karena wajahnya tidak mencapai nilai rasio emas. Anand pun begitu polos, kata-kata manis seorang menteri (Pankaj Tripathi) kala kampanye langsung dia percaya.

Selama 155 menit, naskah garapan Sanjeev Dutta (Kites, Baaghi) menjabarkan perjalanan panjang Anand, dari keberhasilannya meraih beasiswa Cambridge hanya untuk kemudian membuangnya akibat ketiadaan biaya berangkat ke Inggris, hingga akhirnya menginisiasi program belajar Super 30, di mana tiap tahun Anand mengajar 30 anak tidak mampu secara gratis, membantu mereka mempersiapkan ujian masuk IIT (Indian Institutes of Technology).

Bukan perjalanan mudah tentunya. Anand mesti menghadapi setumpuk rintangan, termasuk dari dirinya sendiri, kala ia sempat menjadi sosok yang senantiasa ia benci. Disudutkan kemiskinan, Anand menerima tawaran mengajar di lembaga bimbingan belajar eksklusif, bergelimang harta, meski hal tersebut manusiawi. Arnand tak bisa sepenuhnya disalahkan, mengingat seluruh penderitaan yang sudah ia lalui.

Masalahnya, saya tidak merasa melihat seseorang yang berubah, melainkan dua orang berbeda. Anand bertransformasi dari pria polos yang tulus menjadi, well, Hrithik Roshan. Sebenarnya sang aktor meyakinkan dalam memerankan dua versi karakternya. Mata Anand sebelum bergabung di bimbel memancarkan kenaifan, sementara sesudahnya, dipenuhi luka dan amarah. Tapi Hrithik urung menciptakan keterkaitan di antara keduanya, seolah lupa kalau bukan sedang bermain di seri Krrish.

Bukan seutuhnya kekeliruan Hrithik. Inkonsistensi naskah turut ambil bagian. Memang naskah Super 30 cukup kacau perihal mengolah karakter, sebutlah kemunculan mendadak sesosok wartawan di pertengahan durasi, memposisikan Ritu hanya sebagai pemantik atau penyelesai masalah ketimbang tokoh yang utuh, hingga kurangnya porsi bocah-bocah Super 30 yang membuat keputusan menjadikan Fugga (Vijay Verma) narator patut dipertanyakan.

Kesungguhan ketigapuluh anak itu menuntut ilmu, bahkan sampai mempertaruhkan nyawa demi menginjakkan kaki di kediaman Anand selalu jadi pemandangan menggetarkan. Super 30 efektif perihal mengingatkan tentang persoalan nyata. Begitu nyata sekaligus terjadi di mana saja, sampai semuanya nampak terlampau familiar. Demikian juga metode mengajar Anand yang tak lagi nampak unik, karena film bertema pendidikan berisi karakter guru yang membawa siswa-siswi belajar di luar kelas guna menerapkan teori di kehidupan sehari-hari, sudah sering kita saksikan.

Klimaksnya berniat tampil beda, tatkala ilmu-ilmu yang Anand ajarkan harus para murid ajarkan dalam situasi tak terduga, namun alih-alih menginspirasi, Super 30 justru bergeser dari film biografi seputar pendidikan ke arah tontonan anak ala Home Alone, dalam dramatisasi yang membuatnya lupa berpijak pada realita. Menghibur, pun sutradara Vikas Bahl (Shaandaar, Queen) punya bakat mengemas suguhan ringan nan menyenangkan, tapi jelas melenceng dari jalur yang diletakkan sedari awal.

Super 30 memang menyimpan sederet kekurangan. Belum jika saya menyinggung mengenai CGI berkualitas rendah yang beberapa kali membuat bagian tubuh aktornya terpotong, atau proses pewarnaan yang bagai lalai dilakukan pada satu-dua shot. Tapi perjalanan seorang pria yang terpaksa mematikan impiannya lalu menghidupkan impian bocah-bocah malang ini pada dasarnya adalah kisah luar biasa, kelemahan-kelemahann di atas tak kuasa mengubur kehangatannya.

2 komentar :

Comment Page:

0.0 MHZ (2019)

10 komentar
Premis segar dan mengerikan tentang frekuensi yang dapat memanggil makhluk halus, sudah cukup untuk menjual 0.0MHz, selain tentunya debut akting layar lebar Jung Eun-ji “Apink”. Rasa penasaran muncul karena saya tidak tahu ke arah mana ide dasar tersebut dapat dikembangkan. Tapi ternyata, sutradara sekaligus penulis naskah Yoo Sung-dong (Mr. Housewife, Death Bell 2: Bloody Camp) pun tidak lebih banyak tahu.

Struktur alurnya mengikuti formula film-film “cabin in the woods”, yakni soal sekumpulan remaja, berbekal keingintahuan (plus kebodohan) mendatangi rumah tua angker. Mereka, termasuk So-hee (Jung Eun-ji) dan sang pengagum rahasia, Sang-yeob (Lee Seung-yeol, anggota boy group INFINITE), tergabung dalam klub horor bernama 0.0MHz, yang berambisi membuktikan (atau membantah?) keberadaan hantu.

Adegan pembukanya brutal nan menjanjikan, menampilkan seorang dukun melakukan ritual guna mengusir hantu penghuni rumah itu hanya untuk berakhir tewas mengenaskan. Begitu pula sekuen berikutnya, ketika So-hee dan Sang-yeob berjalan beriringan, sementara di belakang keduanya, samar-samar nampak dua hantu berwujud nenek-nenek dan anak kecil, diam-diam mengikuti.

Momen yang turut berfungsi menyiratkan kemampuan supernatural So-hee tersebut, bertempat di siang hari bolong. Tanpa jump scare, tanpa makhluk bertampang seram, hanya situasi normal sehari-hari, namun tak berapa lama, terasa ada yang tidak beres dari dua sosok tersebut. Yoo Sung-dong membawa kengerian dengan cara menggiring penonton membayangkan bahwa detik ini, di belakang kita, mungkin saja sesuatu sedang mengikuti.

Sayagnya, dengan penuh penyesalan saya mesti mengatakan jika 10 menit pertama itu adalah bagian terbaik 0.0MHz. Setelahnya, Sung-dong seolah kebingungan mengolah bahan baku yang dimiliki. Sesampainya di rumah angker yang dituju, karakternya mulai memanggil hantu memakai metode yang menggabungkan unsur sains dan klenik. Namun di luar ritual itu, naskahnya kehabisan akal, tak tahu harus membawa ide menariknya ke mana.

Sung-dong menyerah, lalu memilih menerapkan taktik malas, di mana si hantu berambut panjang penghuni rumah—yang merasuki seorang karakter pasca pelaksanaan ritual—akan muncul tiap kali sang medium tertidur. 0.0MHz berubah menjadi horor klise berisi aksi sesosok hantu memburu dan membunuh para remaja satu per satu.

Selepas pembuka, saya mengira filmnya bakal menerapkan kekerasan tingkat tinggi dalam menghabisi korban, hanya untuk dikecewakan, karena yang menanti di depan adalah pembantaian tanpa taji, tanpa memperlihatkan satu pun kematian secara langsung. Bahkan bodycount-nya begitu rendah bagi film yang mengusung tagline It only ends with a death” dan “You are all dead”.

Terkait penyutradaraan, Yoo Sung-dong sejatinya berani menjalani tantangan untuk mengandalkan gambar-gambar bernuansa tidak nyaman ketimbang jump scare generik, sayang, eksekusinya murahan. Bagian mana yang mengerikan dari repetisi orang-orang tercekik rambut? Dan sewaktu rupa hantu akhirnya diungkap, yang nampak justru pemandangan memalukan akibat CGI berkualitas rendah.

Babak ketiganya sempat memantik sedikit harapan, saat pengaturan tempo solid, penyuntingan dinamis, ditambah penempatan tepat musik elektroniknya, berhasil membangun jembatan menegangkan menuju klimaks. Tapi lagi-lagi, ketika klimaks itu tiba, cuma kekecewaan yang tertinggal, disebabkan konten adegan tak menarik (salah satu karakter mencambuki karakter lain), dan tentu saja, hantu CGI memalukan tadi.

Klimaksnya turut berpotensi menghadirkan puncak emosi dengan menyinggung perihal hubungan kompleks keluarga So-hee, namun gagal mendapat hasil sesuai harapan akibat elemen drama yang datang tiba-tiba, tidak didahului pembangunan yang layak. Itu masalah akut lain naskahnya, yang berkali-kali melemparkan rahasia dan/atau dosa masa lalu karakternya secara mendadak. Bahkan hubungan So-hee dan Sang-yeob pun ambigu. Apakah mereka teman lama? Bagaimana pertemuan keduanya terjadi?

0.0MHz merekrut dua idol sebagai protagonis, dan mereka melakukan pekerjaannya dengan baik meski jauh dari spesial. Seung-yeol hanya berakting mengikuti pola pria pemalu canggung yang sudah kita temui ribuan kali di film lain, sedangkan kapasitas Eun-ji ditekan oleh tuntutan peran, yang memaksanya lebih banyak diam dan memasang tampang misterius. Biar demikian, secercah talentanya masih dapat kita saksikan. Beberapa gerak tubuh maupun ekspresinya niscaya sempurna diterapkan dalam drama remaja quirky, sementara adegan penutup film ini menyiratkan kemampuannya menangani komedi-romantis ringan.

10 komentar :

Comment Page:

THE HUSTLE (2019)

2 komentar
The Hustle selaku remake dari Dirty Rotten Scoundrels (1988) yang juga hasil remake Bedtime Story (1964) tidak semestinya dibuat. Serupa banyak film daur ulang masa kini (Ghostbusters, Ocean’s 8, What Men Want), gender protagonis diubah menjadi perempuan, dengan harapan menambah relevansi.Tapi cara The Hustle menangani materi adaptasinya justru bagai menarik pesan women’s empowerment-nya mundur beberapa langkah.

Tonton Dirty Rotten Scoundrels, dan anda akan menyadari jika filmnya bergerak bak sajian seksis sebelum twist finalnya datang membalikkan keadaan. Ditulis naskahnya oleh Jac Schaeffer (Captain Marvel, Black Widow), The Hustle mempertahankan twis tersebut, tapi karena perubahan gender karakternya, efek yang dihasilkan pun berlawanan.  

Pun ini adalah reka ulang yang malas, khususnya di paruh pertama. Bukan cuma alur, banyak sudut kamera bahkan dialognya sama persis dengan Dirty Rotten Scoundrels. Rasanya seperti menonton film yang sama, namun bukannya Michael Caine, kita melihat Anne Hathaway memamerkan karisma, sementara pesona penuh warna Steve Martin digantikan kekonyolan Rebel Wilson.

Josephine (Anna Hathaway) dan Penny (Rebel Wilson) sama-sama seorang penipu ulung, hanya saja “berbeda kasta”. Ketika Josephine lebih berkelas dan menjalankan aksinya di kasino mewah, Penny memilih bar biasa sebagai lahan mencari mangsa. Target mereka selalu sama, yaitu laki-laki. Tanpa disengaja, keduanya bertemu di kereta, sama-sama sedang menuju Beaumont-sur-Mer.

Dari situlah kompetisi bermula, sewaktu Josephine dan Penny tak hanya menipu para korban, pula satu sama lain demi ambisi menguasa teritori. Alhasil, taruhan dilakukan. Siapa yang berhasil merampas uang sebesar $500 ribu dari seorang penemu aplikasi populer bernama Thomas (Alex Sharp) jadi pemenangnya.

Perbedaan mendasar The Hustle dibanding pendahulunya adalah soal gaya melucu. Banyolan bodoh sarat slapstick jadi andalan, yang sesungguhnya cukup efektif memancing tertawa di beberapa bagian berkat Anne Hathaway dan Rebel Wilson yang memang ahli melakoni kekonyolan. Ditambah lagi, penyutradaraan Chris Addison sama bertenaganya. 

Tapi sekali lagi, tidakkah itu mengkhianati intensi pembuatan remake ini? Pemilihan humornya, ditambah keputusan mempertahankan twist milik Dirty Rotten Scoundrels sebagaimana saya singgung di atas, membuat para wanita film ini sepenuhnya jadi sosok bodoh. Tidak sekalipun saya dibuat percaya bahwa keduanya merupakan jenius di bidang tipu-menipu.

Jac Schaeffer seperti kurang memahami sumber adaptasinya, sehingga tiap kali ia melakukan perubahan, ketimbang memperoleh penyegaran, filmnya justru memburuk di berbagai aspek, entah soal penyampaian pesan, penokohan, atau komedi. Ambil contoh “adegan rolet”.

Pada Dirty Rotten Scoundrels, situasi itu muncul dua kali. Kemunculan pertama berfungsi mengukuhkan modus operandi Lawrence (Michael Caine), di mana ia memasang taruhan di angka yang sama dengan  sang target, lalu berharap kalah (yang kemungkinan besar akan terjadi) guna menyedot simpati. Alhasil, saat dalam situasi kedua Lawrence malah terus meraup kemenangan, tercipta kelucuan. Sementara The Hustle hanya memiliki situasi kedua, berujung melemahkan dampak kejenakaan berbalut ironinya.

Melangkah ke paruh kedua, The Hustle makin berani menerapkan perubahan. Paling kentara dialami Josephine, yang pelan-pelan kehilangan ketenangan dan wibawa. Hal itu dilakukan supaya kelucuan meningkat, meski sayangnya, hasil yang didapat lagi-lagi berlawanan dari keinginan. Buddy comedy macam ini baru akan efektif jika kedua tokoh utama punya ciri berlawanan, yang artinya, menjadikan Josephine karakter konyol serupa Penny, berakibat melemahkan komedinya.

Durasi The Hustle hampir 20 menit lebih pendek ketimbang pendahulunya karena Schaffer memangkas banyak momentum, yang alih-alih menambah dinamika filmnya selaku hiburan bertempo cepat, justru terasa bak simplifikasi konflik, serta wujud ketergesaan penceritaan. Seolah film ini tidak sabar mempresentasikan kejutan besarnya.

Terakhir, usaha menghembuskan rasa melalui romansa yang juga bertindak selaku perlawanan terhadap standar kecantikan, turut menemui kegagalan. Rasa yang hendak diciptakan tertutupi oleh kekonyolan. Tapi jika anda belum menonton Dirty Rotten Scoundrels dan tak ambil pusing tentang alasan eksistensi remake ini, besar kemungkinan, The Hustle adalah tontonan yang cukup untuk mengembangkan senyum kepuasan.

2 komentar :

Comment Page: