THE SPECIALS (2019)
Rasyidharry
Maret 29, 2020
Benjamin Lesieur
,
Bryan Mialoundama
,
Drama
,
Eric Toledano
,
European Film
,
Grandbrothers
,
Lumayan
,
Olivier Nakache
,
Reda Kateb
,
REVIEW
,
Vincent Cassel
6 komentar
Berangkat dari kisah nyata Stephane
Benhamou dan Daoud Tatou yang mendedikasikan hidup mereka guna membantu
anak-anak kurang beruntung yang ditelantarkan sistem, The Specials menuturkan kisah orang-orang spesial dengan layak, solid,
walau tidak secara spesial. Diarahkan sekaligus ditulis oleh Olivier Nakache
dan Éric Toledano, serupa karya terbesar mereka, The Intouchables (2011), The
Specials juga tampil ringan, cukup informatif, meski kualitas naskah masih
jadi permasalahan terbesar.
Tokoh sentralnya adalah Bruno
(Vincent Cassel) yang menjalankan organisasi Voice of the Righteous, selaku suaka bagi para penderita autis yang
ditolak oleh masyarakat. Bahkan sistem pun tak bersahabat pada mereka. Selama
15 tahun, Voice of the Righteous beroperasi
tanpa sertifikat resmi. Pemegang otoritas mulai melakukan investigasi yang
kemungkinan besar bakal berujung pembubaran organisasi itu. Kalau benar
demikian, bagaimana nasib anak-anak asuh Bruno?
Padahal pihak rumah sakit, yang mengakui
bahwa keharusan mereka mematuhi protokol acap kali menghalangi penderita autis
menerima bantuan, sering merujuk pasien ke organisasi milik Bruno yang tak
segan menerapkan metode “out of the box”.
Pemerintah berusaha menegakkan peraturan tanpa menyediakan solusi alternatif.
Berbeda dengan Bruno yang selalu berkata “I
will find a solution”, bahkan tatkala sebenarnya ia sangat kerepotan.
The Specials menggambarkan betapa chaotic keseharian Bruno. Biarpun mendapat bantuan dari sahabatnya,
Malik (Reda Kateb), yang mengelola organisasi bernama The Hatch yang berfungsi mendidik anak-anak jalanan, segalanya
tidak terasa mudah bagi Bruno. Teleponnya selalu berbunyi, menghalanginya
menikmati hal-hal personal termasuk berkencan. Kekacauan tersebut diwakili momen
menggelitik saat seorang tetangga protes karena suara berisik dari apartemen
tempat Voice of the Righteous merawat
bocah-bocah autis.
Kekacauan yang sayangnya turut
menular ke cara naskahnya bercerita. Kata “specials”
di judulnya tidak hanya merujuk pada penderita autis, pula Bruno, Malik, dan
remaja-remaja pengasuh lain, yang kebanyakan juga memiliki latar belakang kurang
beruntung. The Specials berusaha
menyoroti semua figur tersebut, yang malah menjadikan fokusnya berserakan.
Tidak ada karakter yang benar-benar digali mendalam.
Dylan (Bryan Mialoundama) si anak
didik Malik yang paling bermasalah sesungguhnya cukup menarik dalam prosesnya memahami
autism sembari memperbaiki diri sendiri, tapi ia ibarat teman yang hanya kita
temui di kantor. Tidak sedikit pun kita tahu kehidupan personalnya. Bruno
otomatis mendapat porsi lebih, tapi nasibnya tidak jauh beda. Sebagaimana sang
karakter yang tidak sempat memperhatikan urusan personal, penonton juga akan
kesulitan membangun keintiman dengannya. Kelemahan film ini terkait fokus
sebenarnya sudah tercium sejak adegan pembuka yang memperlihatkan seorang gadis
penderita autis berlari histeris di tengah kota. Beberapa pekerja sosial
berusaha mengejarnya. Setelahnya si gadis tak pernah tampak lagi.
Jajaran cast-nya bermain baik, khususnya mengingat fakta karakter mereka tidak
diberikan pondasi memadai oleh naskahnya. Cassell merupakan protagonis yang
mudah menarik simpati lewat kepedulian dan kasih sayangnya, lewat bagaimana ia
berusaha memendam perasaan tertekan demi anak-anak asuh, lewat kecanggungannya
di depan wanita. The Specials turut menampilkan
aktor dengan autisme, yaitu Benjamin Lesieur sebagai Joseph, bocah yang
menginspirasi Bruno mendirikan Voice of
the Righteous. Nominasi Most
Promising Actor di ajang César Awards Februari lalu memang pantas
didapatkannya.
The Specials sempat membahas beberapa isu, sebutlah ketakutan publik
kepada penderita autis, persepsi keliru tentang gangguan perkembangan itu
(seorang ibu meyakini puteranya dikutuk), dan seperti telah disebut, perihal
sistem yang kurang mendukung. Kebanyakan sebatas pernak-pernik sambil lalu,
tapi bila dipandang selaku wadah informasi baru untuk penonton awam, film ini
telah menjalankan fungsinya. Dan serupa The Intouchables, Olivier Nakache dan
Éric Toledano mampu menghangatkan hati penonton lewat beberapa montage yang dibarengi music garapan
Grandbrothers, juga konklusi uplifting yang
memberi ganjaran atas kesediaan kita menghabiskan waktu bersama tokoh-tokohnya
selama hampir dua jam.
Available on KLIK FILM
METAMORPHOSIS (2019)
Rasyidharry
Maret 26, 2020
Bae Sung-woo
,
Cukup
,
horror
,
Kim Hong-sun
,
Korean Movie
,
REVIEW
,
Sung Dong-il
1 komentar
Setan dapat menyerupai manusia,
memecah belah, lalu membawa kegelapan yang membuat manusia bertindak layaknya setan.
Metamorphosis menyampaikan gagasan
tersebut lewat cara kelam nan kejam, yang seringkali mencengangkan walau pada
mayoritas kesempatan, film arahan sutradara Kim Hong-sun (Traffickers, Broker) ini berkutat dalam keklisean elemen-elemen horor
bertema eksorsisme.
Pengusiran setan, gerakan akrobatik
saat dirasuki setan, pendeta dengan krisis iman. Metamorphosis punya semua ciri formulaik tersebut, yang bahkan
sudah dimunculkan sedari adegan pembuka, kala ritual eksorsisme yang dilakukan Joong-soo
(Bae Sung-woo) berujung kegagalan dan memakan korban. Seorang gadis remaja
tewas mengenaskan. Sejak itu reputasi Joong-soo tercoreng, dan trauma
membuatnya berhenti melakukan eksorsisme.
Keluarga sang pendeta turut kena
batunya. Kakak Joong-soo, Gang-goo (Sung Dong-il), beserta istri dan tiga
anaknya, terpaksa pindah rumah. Anak-anak Gang-goo menerima ejekan di sekolah
akibat kegagalan sang paman. Tapi baru sehari, keanehan mulai terjadi. Mayat
kucing yang dikuliti, hingga suara-suara aneh dari rumah tetangga misterius di
malam hari. Puncaknya ketika setan mulai meniru sosok satu demi satu anggota
keluarga untuk melakukan hal-hal mengerikan.
Ketimbang pemandangan yang jamak
ditemui di horor rumah berhantu dan/atau eksorisme seperti penampakan atau korban
kesurupan berjalan sambil kayang, premis shapeshifter
yang diusung Metamorphosis menciptakan
bentuk teror lebih segar. Belum lagi, gangguan si setan peniru terhadap
keluarga korban cukup mengerikan. Filmnya bermain-main dengan simbol kasih
sayang orang tua pada anak. Kecupan hangat ayah pada anak perempuan sebelum
tidur diubah jadi perversi, sementara alih-alih cinta, sang ibu memasak
dibarengi kegilaan. Orang tua selaku figur pelindung dijadikan sumber teror.
Zona nyaman dan rasa aman anak-anak mereka pun lenyap.
Metamorphosis juga bukan horor yang ragu-ragu mengumbar kekerasan.
Dibantu tata efek spesial praktikal yang mumpuni, Kim Hong-sun mampu
memvisualkan pemandangan menyeramkan nan menjijikkan bak neraka. Salah satunya
saat Gang-goo menyambangi rumah si tetangga misterius, kemudian mendapati
setumpuk bangkai hewan dalam kondisi mengenaskan. Organ tubuh berserakan, darah
bukan cuma mengalir, bahkan sempat menghujani ruangan.
Menjembatani momen-momen gruesome tersebut adalah jalinan alur
termasuk misteri dan paparan mengenai krisis iman yang terlampau familiar,
tanpa dibarengi modifikasi atau penelusuran mendalam. Rasanya seperti
menyaksikan pertunjukan sulap yang trik, hasil, maupun presentasinya sudah kita
hafal betul, sehingga ketertarikan untuk menaruh perhatian pun tak begitu
tinggi.
Tapi kembali lagi, walau secara
kesatuan utuh kurang mengikat, Metamorphosis
punya beberapa momen-momen terpisah yang solid urusan meneror. Hong-sun
cukup cerdik membungkus jump scare
melalui perpaduan timing serta gerak
kamera tak terduga, yang efektif memberi daya kejut. Pun sebuah sekuen
menegangkan mampu ia lahirkan, sewaktu modus operandi shapeshifting sang hantu mulai mengancam nyawa karakternya. Sayang,
pencapaian itu gagal diulangi saat mengeksekusi klimaks draggy yang berlarut-larut, walau telah diawali kejutan dan shock value.
Ya, shock value. Itulah senjata lain Metamorphosis guna mengatasi alur formulaiknya. Suatu keputusan
mencengangkan diambil naskahnya untuk menekankan tragedi yang menimpa para
protagonis, sekaligus menunjukkan bahwa sang setan tidak main-main. Ketidakberdayaan
Gang-goo sekeluarga diperkuat, sampai mencapai titik di mana penonton mungkin
juga akan merasakan ketiadaan harapan, karena di film ini, tidak ada satu figur
pun yang sepenuhnya bisa dijadikan sumber harapan.
Available on KLIK FILM
THE PLATFORM (2019)
Rasyidharry
Maret 24, 2020
Antonia San Juan
,
Bagus
,
David Desola
,
Galder Gaztelu-Urrutia
,
horror
,
Iván Massagué
,
Jon D. Domínguez
,
Pedro Rivero
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Thriller
,
Zorion Eguileor
5 komentar
Tempat bertingkat sebagai gambaran
sistem kasta, human nature,
halusinasi protagonis tentang sosok yang telah tiada akibat rasa bersalah. The Platform punya semua elemen familiar
tersebut. Tapi yang menjadikannya lebih dari sebatas repetisi adalah
keseimbangan perspektif, yang bukan sebatas mengkritik golongan atas karena “memakan”
golongan bawah, pula mengobservasi bagaimana golongan bawah juga saling “makan”.
Hanya saja, pada film ini, aktivitas “saling makan” juga terjadi secara
literal.
Kisahnya mengenai penjara berbentuk
menara, dengan jumlah tingkat tidak diketahui, setidaknya sebelum memasuki third act. Seluruh tingkat dipenuhi
amarah dan frustrasi, namun ketika golongan atas tersulut emosinya karena tampilan
panna cotta yang kurang sempurna, golongan bawah tertekan, sebab ada
kemungkinan mereka sama sekali tidak bisa makan. Mendapat makanan sisa 100
orang sudah merupakan keberuntungan.
Protagonis kita, Goreng (Iván
Massagué), terbangun di tingkat 48. Rekan satu selnya adalah pria tua bernama
Trimagasi (Zorion Eguileor). Jangan kaget mendengar nama-nama karakternya yang
terdengar seperti kata dalam Bahasa Indonesia. Selain keduanya, masih ada Imoguiri
(dari “Imogiri”) hingga Brambang (Bahasa Jawa untuk “bawang merah”). Melalui
penjabaran Trimagasi, Goreng (juga penonton) belajar tentang berbagai aturan di
penjara itu.
Soal mimbar berisi makanan yang
disajikan tingkat per tingkat sehingga semakin rendah tingkat seseorang semakin
kecil peluangnya memperoleh jatah, sampai perihal tingkat yang berubah tiap
bulan. Dari tingkat atas yang penuh keuntungan, bisa saja seorang tahanan
dipindah ke tingkat bawah di bulan berikutnya. Pun nyaris mustahil kabur dari
sana, walau jelang akhir, terungkap bahwa sebenarnya ada cara, yang akhirnya
memancing pertanyaan, “Mengapa tidak ada yang terpikir melakukan itu
sebelumnya?”.
Naskah buatan David Desola dan Pedro
Rivero mampu mendetailkan aturan-aturan serta sistem di penjara, yang berfungsi
sebagai pengikat atensi, karena bersama Goreng, kita selalu mempelajari hal
baru yang tak jarang melahirkan kejutan. Ditambah permainan pacing yang mumpuni dari sutradara Galder
Gaztelu-Urrutia, dinamika The Platform sama
sekali tidak terganggu oleh keterbatasan latarnya.
Di luar ambiguitas konklusi yang
sedikit menyimpan alegori keagamaan, tidak ada banyak ruang bagi kesubtilan di
film ini. The Platform bukan Parasite, yang paparan isu sosialnya
dapat menenggelamkan penonton dalam diskusi berkepanjangan. The Platform adalah tamparan, bahkan
pukulan brutal yang bukan untuk memancing perenungan, melainkan kesadaran hasil
dari keterkejutan.
Grotesque. Kesan itu yang langsung terasa, tatkala darah dan isi
perut manusia ditumpahkan, lewat pemandangan yang bakal memuaskan para
penggemar film genre. Terbukti,
filmnya berhasil memenangkan kategori Midnight
Madness pada Toronto International Film Festival tahun lalu. Sinematografi
arahan Jon D. Domínguez menekankan kegilaan, termasuk melalui penggunaan
lampu-lampu merah, yang bahkan membuat sebuah adegan seks imajiner menghadirkan
ketidaknyamanan.
Terkai presentasi isu kelas sosial
maupun human nature, sudut pandang
film ini adil, tanpa pemanis untuk memuaskan para aktivis pembela proletar
(sederhananya, ini bukan “film SJW”), dan itulah mengapa perspektifnya tampil
segar. Benar bahwa golongan atas menolak menghormati mereka yang di bawah,
menganggap dirinya terlalu tinggi untuk sekadar menyapa. Alhasil para petinggi
tak tahu betapa kacau kondisi di bawah. Tapi di waktu bersamaan, golongan bawah
terlanjur bersikap apatis, menyimpan sentimen negatif yang penuh generalisasi
terhadap golongan atas.
Kedua pihak sama-sama cuma
memedulikan cara mengenyangkan diri sendiri dan dikuasi ketidakpedulian.
Golongan atas menolak berbagi makanan, sedangkan yang di bawah menolak mengakui
kesalahan dan melimpahkannya pada mereka yang di atas. “Semua salah orang kaya!
Kalau mereka peduli, kami pasti tidak akan berbuat buruk!”, begitu katanya. Sebuah
lingkaran setan. Akhirnya, sewaktu pertukaran peran dilakukan, sama sekali
tiada perubahan, sebab yang tersisa hanya hasrat balas dendam dan prasangka.
Di tengah pandemi seperti sekarang,
ada sebuah momen yang menarik perhatian saya karena relevansinya yang tinggi.
Imoguiri (Antonia San Juan), mantan pengelola yang secara sukarela mendekam
dalam penjara, berusaha mengajak tahanan lain agar menjatah makanan mereka,
supaya tahanan di tingkat bahwa mendapat bagian. Mereka menolak. Mereka tak
peduli akan soladaritas semacam itu. Tapi begitu Goreng mengancam bakal
mengencingi makanan, mereka menurut. Sama seperti masyarakat kita yang tak
memahami istilah “tinggi” seperti social
distancing dan semacamnya. Mereka perlu dipersuasi menggunakan metode
sederhana dengan kata-kata to the point
yang menekankan pada hukuman, atau dampak buruk mengerikan yang bakal menimpa
jika tidak patuh.
Available on NETFLIX
COLOR OUT OF SPACE (2019)
Rasyidharry
Maret 22, 2020
Bagus
,
Brendan Meyer
,
Elliot Knight
,
horror
,
Joely Richardson
,
Julian Hilliard
,
Madeleine Arthur
,
Nicolas Cage
,
Q'orianka Kilcher
,
REVIEW
,
Richard Stanley
,
Scarlett Amaris
,
Science-Fiction
,
Steve Annis
,
Tommy Chong
4 komentar
Color out of Space dibuka dengan memperlihatkan gadis bernama Lavinia
(Madeleine Arthur) sedang melakukan ritual Wicca,
sebuah kepercayaan paganisme modern. Terlihat aneh, tapi beberapa menit
kemudian keanehan itu bisa dimaklumi, setelah kita tahu bahwa Lavinia adalah
puteri Nathan Gardner, yang diperankan oleh Nicolas Cage. Kata “aneh” dan
Nicolas Cage sudah seperti gula dan semut. Ditambah lagi, film ini merupakan
adaptasi cerita pendek karya H. P. Lovecraft (The Colour out of Space), di mana kenormalan bersifat langka.
Selepas istrinya, Theresa (Joely
Richardson), menjalani mastektomi, Nathan membawa keluarganya pindah ke
peternakan milik ayahnya di pinggiran kota kecil fiktif bernama Arkham. Di sana
Nathan hidup sebagai petani tomat dan memerah susu alpaka (karena Nicolas Cage
bebas melakukan apa saja). Selain Lavinia, Nathan dan Theresa punya dua putera:
Benny (Brendan Meyer) yang gemar mengisap ganja bersama Ezra (Tommy Chong),
seorang hippie yang tinggal di tengah hutan; dan si bungsu Jack (Julian Hilliard).
Mereka berlima ditambah Ward (Elliot
Knight ), seorang hidrolog yang seketika menarik perhatian Lavinia, tidak
menyadari kalau kedamaian di area pedesaan itu takkan bertahan lama. Suatu
malam, cahaya ungu yang menyilaukan menerangi sekitaran rumah Keluarga Gardner,
bersamaan dengan jatuhnya sebuah meteorit. Itulah awal peristiwa-peristiwa di
luar nalar, yang akan membuat Nicolas Cage melakukan rutinitasnya: berteriak
sambil memukul-mukul mobil dan melempar tomat ke tempat sampah bak pebasket
tengah unjuk gigi memamerkan slam dunk.
Sebuah hiburan tersendiri bagi yang familiar dengan gaya aktingnya.
Mencapai pertengahan—dari durasi
111 menit yang sejatinya terlalu panjang untuk adaptasi cerita pendek Lovecraft
yang tak bertele-tele—Color out of Space hanya
paparan anomali demi anomali, yang sekadar melempar tanda tanya tanpa
mengikutsertakan penonton dalam investigasi misteri. Bukan berarti tiada
petunjuk ditebar, hanya saja, proses memecahkan misteri tak dijadikan pilar
cerita.
Sejatinya itu selaras dengan
kekhasan karya Lovecraft, di mana tokoh-tokohnya terjebak dalam situasi di luar
kontrol yang tak memberi peluang bagi mereka untuk sebatas memahaminya. Tapi
durasi yang terlalu lama memunculkan kesan monoton tatkala penonton hanya bisa
pasrah terbawa arus, walau sutradara Richard Stanley—yang kembali setelah
pemecatan kontroversialnya dari proyek The
Island of Dr. Moreau (1996)—bersama Steve Annis (I Am Mother) selaku sinematografer mampu melahirkan deretan visual flashy menghipnotis yang terkesan “otherwordly”, sebagaimana seharusnya
adaptasi karya Lovecraft dilakukan. Pancaran cahaya dan aura ungu, mata serta
mulut manusia yang bersinar, Color out of
Space bagai komik cosmic yang
aneh.
Kemudian pesona (baca: kesintingan)
filmnya mulai meningkat kala Stanley mulai merambah ranah body horror, menghadirkan parade efek praktikal disturbing memikat yang memberi makna
lain terhadap pernyataan “family stick
together”. Anda akan terkejut, terperangah, merasa jijik, dan mengeluarkan
respon-respon lain yang menggambarkan ketidakpercayaan mengenai peristiwa tak
masuk akal, yang semakin mendekati akhir, semakin terasa sureal.
Tapi apa yang sesungguhnya terjadi?
Meski tidak secara langsung melakukan investigasi misteri, naskah buatan
Richard Stanley dan Scarlett Amaris menawarkan beberapa subteks. Pertama soal
pemimpin inkompeten sekaligus tak bertanggungjawab, yang di film ini diwakili
oleh dua sosok, yaitu Walikota Tooma (Q'orianka Kilcher) yang cuma peduli pada
pembangunan infrastruktur serta elektabilitas ketimbang menangani kontaminasi
air, dan Nathan selaku kepala keluarga.
Nathan memaksakan otoritas,
membentak anak-anaknya jika dirasa tidak becus menjalankan perintah, tetapi
ketika salah satu dari mereka terluka, yang ia lakukan cuma duduk diam,
menenggelamkan diri dalam alkohol sambil mengamuk sendiri meluapkan frustrasi.
Seiring waktu, ucapan“semua bakal baik-baik saja” atau “segalanya terkendali”
dari Nathan semakin terdengar hampa.
Perihal kontaminasi air, Color out of Space juga sebuah tuturan enviromentalist terselubung tentang
usaha alam mengembalikan kondisinya seperti sedia kala sebelum dicemari
manusia, dengan sosok “color” sebagai
perpanjangan tangan. Karya-karya Lovecraft memang mengenal figur yang disebut “Great Old Ones”, yakni dewa-dewa yang
dahulu menguasai Bumi. Jadi siapa sebenarnya kanker yang menggerogoti? Apakah
mereka atau kita (manusia)?
Available on KLIK FILM
BUKU HARIANKU (2020)
Rasyidharry
Maret 15, 2020
Alim Sudio
,
Angling Sagaran
,
Dwi Sasono
,
Ence Bagus
,
Gary Iskak
,
Indonesian Film
,
Kila Putri Alam
,
Kurang
,
Musical
,
REVIEW
,
Slamet Rahardjo
,
Widi Mulia
,
Widuri Puteri
,
Wina Marrino
1 komentar
Saya selalu mengapresiasi film anak
dalam negeri. Generasi muda kita membutuhkannya. Termasuk Buku Harianku, walau plot maupun deretan lagunya kental nuansa recycle. Musikal dalam kisah tentang
anak kota menyambangi desa dan/atau berlibur ke rumah kakek, sudah jadi pola berulang
sejak era Petualangan Sherina dua
dekade lalu hingga kini. Bahkan sebagaimana di Petualangan Menangkap Petir (2018), tokoh kakek juga diperankan
Slamet Rahardjo.
Kila (Kila Putri Alam) merindukan
mendiang ayahnya, Arya (Dwi Sasono) yang gugur saat bertugas sebagai tentara.
Walau amat menyayangi Kila, sang ibu, Riska (Widi Mulia), selalu sibuk bekerja.
Pun rencana liburan ke Bali mesti diundur karena Riska mendapat tugas dadakan
dari kantor. Kila pun terpaksa menghabiskan liburan sementara waktu di rumah
Kakek Prapto (Slamet Rahardjo), yang terletak di Desa Goalpara, Sukabumi.
Figur kakek identik dengan rasa
sayang luar biasa kepada cucu, tapi tidak dengan Kakek Prapto. Sebagai
pensiunan tentara, ia begitu keras, bahkan menganggap bocah seperti Kila hanya
merepotkan saja. Walau dibuat kesal, Kila juga menemukan sahabat baru di
Goalpara. Namanya Rintik (Widuri Putri), puteri Keling (Ence Bagus) dan Neneng
(Wina Marrino) yang bekerja untuk Kakek Prapto. Biarpun Rintik memiliki
disabilitas (bisu), hubungan mereka sama sekali tidak terhalang.
Disabilitas memang tak seharusnya
menghalangi pertemanan. Itu merupakan satu dari sekian banyak pesan bernilai
yang dituturkan oleh naskah buatan Alim Sudio. Perihal belajar bahasa isyarat, anjuran
makan sayur, ajakan mencintai alam, dan pastinya nilai kekeluargaan merupakan hal-hal
penting yang dapat anda ajarkan saat membawa anak/adik/keponakan menonton Buku Harianku.
Setidaknya berkat pesan-pesan di
atas, anda takkan pulang dengan tangan kosong, mengingat sebagai musikal, film
ini kurang berhasil. Walau semakin membaik seiring durasi, tata suara
pada menit-menit awal seperti tanpa melewati proses mixing, yang mana merupakan kelemahan fatal bagi sebuah musikal.
Deretan lagunya catchy, pun
mengandung lirik ringan mengenai kehidupan sehari-hari yang mudah dicerna
penonton anak. Tapi akibat kemiripan di sana-sini, lagu-lagunya bagai “pengulangan”
dari lagu-lagu populer yang sudah lebih dulu muncul.
Apalagi belum semua momen
musikalnya mencapai standar tontonan layar lebar. Disutradarai oleh Angling Sagaran
(From London to Bali, Tabu) dengan
tim dari EKI (Eksotika Karmawibangga Indonesia) sebagai pengarah tari, sekuen
musikal Buku Harianku sering kekurangan
tenaga, seolah tak melalui proses rehearsal
(banyak musikal anak kita yang punya hasil jauh lebih baik), walau musikalnya
melahirkan satu pemandangan hangat ketika Rintik dan Kila berdiri di panggung
17-an.
Terkait penceritaan, terdapat
beberapa lubang. Pertama soal perubahan sikap karakter. Kakek Prapto semestinya
dibawa melewati transformasi dari seorang kakek ketus menjadi lebih ramah, tapi
gradasi itu tak nampak karena ambiguitas penokohan. Kadang ia galak, kadang
melembut, sehingga saat titik balik sesungguhnya terjadi, dampaknya tidak
terlalu besar. Sedangkan di kesempatan lain, Neneng sempat memarahi Kila yang
dianggapnya membahayakan Rintik. Tapi keesokan harinya, semua kembali seperti
semula, seolah tidak terjadi apa-apa. Permintaan maaf dari Neneng kepada Kila
sebenarnya sudah cukup untuk menambal lubang itu.
Terdapat subplot lain mengenai Samsudi
(Gary Iskak), seorang pebisnis yang berniat membangun resor dengan kedok
memajukan pertanian Desa Goalpara. Konflik ini muncul hanya untuk memenuhi
obligasi dalam aturan tak tertulis film anak, di mana keberadaan sosok penjahat
merupakan kewajiban. Tapi selain nihil substansi dan takkan berdampak sedikit
pun andai dihilangkan, pilihan konklusinya terkesan malas. Ini bukan
simplifikasi guna memudahkan penonton anak, melainkan “simply lazy”.
Beruntung, Buku Harianku masih memiliki jajaran pemain yang tampil cukup
solid. Di luar inkonsistensi penokohannya, Slamet Rahardjo tidak pernah gagal
menambahkan hati. Begitu juga Ence Bagus, yang layak mendapat pengakuan lebih
dari “sekadar” seorang komedian. Sementara Kila Putri Alam tidak terbebani kala
melakoni peran utama dalam debut layar lebarnya. Santai, luwes, dan natural
untuk ukuran aktris cilik, ia adalah figur yang pas untuk memimpin penonton
anak mengarungi petualangan bernama Buku
Harianku, yang sayangnya berjalan tidak terlalu mulus ini.
MARIPOSA (2020)
Rasyidharry
Maret 13, 2020
Alim Sudio
,
Angga Yunanda
,
Ariyo Wahab
,
Cukup
,
Ersa Mayori
,
Fajar Bustomi
,
Indonesian Film
,
REVIEW
,
Romance
,
Zara JKT48
18 komentar
Seperti sempat saya singgung di
ulasan Teman tapi Menikah 2, penonton
kita sedang jatuh hati pada adaptasi Wattpad bertema romansa remaja yang
membawa ciri-ciri seperti judul “asing”, gombalan unik (baca: absurd), dan tipikal
bad boy yang cenderung brengsek
ketimbang keren. Mariposa, yang
diangkat dari kisah buatan Luluk HF, sebenarnya
turut mengusung formula serupa, tapi pendekatan ringan lewat sentuhan humor dan
kemasan artistik yang diberi perhatian, membuatnya unggul dibanding banyak
kompatriotnya.
Acha (Adhisty Zara) menyukai teman
sekolahnya, Iqbal (Angga Yunanda). Tapi seperti sudah disinggung di atas, tentu
saja Iqbal tidak membalas cinta Acha, bersikap dingin bahkan sedikit kasar
padanya. Iqbal sangat kaku. Kekakuan yang dipicu tuntutan tinggi sang ayah
(Ariyo Wahab), agar Iqbal selalu jadi nomor satu di bidang akademis, termasuk
menjuarai olimpiade sains tingkat nasional. Tujuannya adalah memperoleh
beasiswa untuk berkuliah di Inggris. Iqbal punya alasan kuat menghindari urusan
percintaan. Kondisi tersebut berlawanan dengan keluarga Acha. Sang ibu (Ersa Mayori), yang seorang Army (penggemar BTS) sekaligus pengagum hal-hal berbau budaya populer Korea Selatan, ibarat sahabat bagi Acha, yang bisa ia ajak berbagi banyak hal termasuk tentang cinta.
Pun meski sesekali kelewatan,
penolakan Iqbal sebenarnya bisa cukup dipahami. Obsesi Acha sebenarnya sering
kelewatan. Dia selalu mengikuti Iqbal, terus menghubunginya, bersikap seolah
keduanya berpacaran. Penanganan keliru dapat menjadikan Acha karakter creepy, namun Zara adalah figur likeable yang mampu memberi kepolosan,
sehingga bentuk obsesinya bisa dijustifikasi sebagai kenaifan polah cinta
monyet remaja.
Berlangsung selama hampir dua jam
(117 menit), Mariposa mengalami
stagnansi ketika kisahnya sebatas tersusun atas repetisi-repetisi situasi
ketika Acha menggoda Iqbal hanya untuk menerima respon dingin. Jangan pula
berharap ada eksplorasi mendalam mengenai metafora metamorfosis ulat jadi
kupu-kupu (“mariposa” adalah Bahasa Spanyol yang berarti “kupu-kupu”)
yang sejatinya cuma gimmick untuk
membuai target pasar bocah/remaja awal. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh
Alim Sudio selaku penulis naskah adaptasinya.
“Perbaikan” yang dilakukan adalah
memperlakukan romantikanya tidak terlalu serius, melalui selipan
humor-humor segar. Tengok adegan di perpustakaan, atau sekuen menggelitik
tentang “perjalanan kue keju Belanda”. Alhasil, walau ceritanya tidak banyak
berprogres dan memiliki durasi cukup panjang, Mariposa takkan terasa melelahkan. Apalagi visualnya cukup
memanjakan mata, melalui penggunaan warna-warna pastel (khususnya kombinasi
biru-merah muda) pada seragam dan properti serta pencahayaan lembut.
Selain stagnansi kisah, muncul juga
masalah perihal pembangunan intensitas di babak akhir yang menyoroti
pelaksanaan olimpiade. Menyulap aktivitas mengerjakan soal tertulis jadi
pemandangan menegangkan bukan perkara mudah, dan pengarahan Fajar Bustomi belum
berhasil mencapai titik itu. Dan sewaktu lomba memasuki babak rebutan,
pemakaian teknik quick cut guna
meningkatkan dinamika justru kerap membuat pusing kepala.
Beruntung Mariposa menyimpan konklusi yang berhasil menjadi puncak emosi.
Berpengalaman mengarahkan trilogi Dilan, Fajar tahu cara menciptakan momen menggemaskan berisi pengakuan cinta ala
remaja, yang juga menyentuh hati berkat penampilan heartful Zara. Aktris muda ini memang tidak bisa dipandang remeh.
BLOODSHOT (2020)
Rasyidharry
Maret 12, 2020
Action
,
David S. F. Wilson
,
Eiza Gonzales
,
Eric Heisserer
,
Guy Pearce
,
Jeff Wadlow
,
Jelek
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Talulah Riley
,
Vin Diesel
13 komentar
Vin Diesel merupakan salah satu aktor
paling membosankan. Bukan cuma akting dan pilihan
peran, dandanannya pun selalu tipikal. Hanya beberapa menit setelah membuka
film dengan atribut tentara lengkap, Diesel langsung menanggalkannya, untuk lagi-lagi
memperlihatkan singlet putih kegemarannya, yang tak kuasa menutupi otot-otot
besarnya. Merupakan kewajaran jika di beberapa titik, anda lupa bahwa Bloodshot
adalah satu lagi adaptasi komik pahlawan super.
Diesel
memerankan Ray Garrison, seorang tentara yang hidupnya berakhir tragis. Sang
istri, Gina (Talulah Riley) tewas di depan matanya. Ray sendiri dibunuh oleh
orang yang sama tidak lama kemudian. Anehnya, Ray hidup kembali. Dia terbangun
di laboratorium milik Dr. Emil Harting (Guy Pearce) tanpa satu pun memori
tertinggal. Rupanya, jasad Ray disumbangkan oleh Angkatan bersenjata Amerika
Serikat guna dijadikan bahan eksperimen nanoteknologi.
Berkatnya,
Ray punya kemampuan penyembuhan super cepat terhadap luka. Singkatnya, dia
(nyaris) tidak bisa mati. Efek lainnya adalah peningkatan kekuatan fisik yang
jauh di atas manusia normal. Hingga akhirnya ingatan Ray kembali, menjadikannya
mesin pembunuh yang digerakkan oleh satu tujuan: balas dendam. Tapi kisah Bloodshot
tidak sesederhana itu. Dalam satu lagi tuturan berisi subteks “kemerdekaan
diri” yang acap kali dipakai film berpremis serupa, Jeff Wadlow (Kick-Ass 2.
Fantasy Island) dan Eric Heisserer (Arrival, Bird Box) selaku
penulis naskah, melempar kejutan di akhir first act yang sepenuhnya
mengubah arah cerita.
Kejutan yang harus
diakui cukup pintar, khususnya mengingat Bloodshot merupakan “film-superhero-Vin-Diesel”.
Pintar, karena twist tersebut mampu mengecoh tanpa menipu, dan secara
meyakinkan menggiring persepsi penonton. Bukan kecurangan, sebab sejak menit
awal, kita melihat semuanya lewat kacamata Ray. Kita tidak lebih tahu dari sang
protagonis. Mudah pula menerima kemustahilan di baliknya, sebab Bloodshot secara
jelas menegaskan statusnya sebagai suguhan fiksi-ilmiah yang mengedepankan penggunaan
berbagai teknologi canggih.
Sayangnya
tidak semua teknologi itu berhasil dimanfaatkan. Banyak potensi alat/senjata
terbuang percuma akibat lemahnya sutradara debutan David S. F. Wilson mengarahkan
adegan aksi. Sebagai film penuh kecanggihan, deretan aksi Bloodshot tampak
medioker dan miskin kreativitas. Apalagi rating PG-13 miliknya menghalangi pemaksimalan
premis tentang jagoan yang tidak bisa mati. Filmnya butuh lebih banyak momen
seperti saat wajah Ray remuk dihantam peluru. ‘Bloodshot’ needs more
blood.
Penyuntingan kilat
yang memudarkan koreografi, gerak lambat membosankan yang memudarkan intensitas,
sampai klimaks penuh pemaksaan eksploitas CGI buruk sekelas video game,
membuat Bloodshot bahkan tidak cukup menyenangkan sebagai film popcorn
sekali tonton. Dan sewaktu ketangguhan Eiza González sebagai prajurit
wanita bernama KT gagal dieksplorasi, sementara Vin Diesel hanya meyakinkan kala memperdengarkan suara dan ekspresi "gahar" sedangkan permainan emosi lainnya tampak menggelikan, semakin sedikit pula alasan
meluangkan waktu demi film ini.
CUTIES & THE FAKE (2019)
Rasyidharry
Maret 10, 2020
Araya A. Hargate
,
Comedy
,
Cukup
,
Kittiphak Thongauam
,
Peak Pattarasaya Kreursuwansiri
,
Petch Paopetch Charoensook
,
Pingpong Thongchai Thongkanthom
,
REVIEW
,
Ter Ratthanant Janyajirawong
,
Thai Movie
1 komentar
Kata “tootsie” dipakai di Thailand untuk menyebut pria
gay yang campy, dengan gaya maupun perilaku heboh, berlebihan, dan
mungkin dianggap norak oleh banyak orang. Cuties & The Fake (punya
judul asli Tootsies & The Fake) ibarat perayaan bagi para tootsies,
menjadikan mereka sebagai sosok-sosok lucu tanpa harus mengolok-olok secara ofensif.
Mereka campy, tapi ke-campy-an itu cukup menyenangkan pula
berwarna, sama berwarnanya dengan dandanan tokoh-tokohnya.
Kisahnya menyoroti persahabatan tiga gay, Gus (Petch Paopetch
Charoensook), Golf (Pingpong Thongchai Thongkanthom), dan Kim (Ter Ratthanant
Janyajirawong); plus lesbian bernama Natty (Peak Pattarasaya Kreursuwansiri). Mengadaptasi
serial televisi populer berjudul Diary of Tootsies yang berlangsung
selama dua musim, filmnya menganggap semua penonton sudah menyaksikan
serialnya, saat meniadakan penjelasan terhadap beberapa latar belakang konflik
serta hubungan antar karakter.
Tanpa membaca informasi di internet, penonton awam mungkin
takkan tahu bahwa Natty seorang lesbian. Padahal fakta tersebut berguna memperumit
kondisi ketika sang ibu (Dee Chanana Nutakom), yang lebih mencintai kucing
ketimbang puterinya, menolak membagi warisan bila Natty tidak segera punya
anak. Begitu pula mantan pacar Golf yang memilih jadi biksu, atau terciptanya dilema
cinta segitiga sewaktu Gus, yang kini tinggal bersama kekasihnya, bereuni
dengan sang mantan, Top (JJ Kritsanapoom Pibulsonggram).
Beberapa memang sebatas sempilan, namun tidak sedikit pula yang
berakhir melemahkan kualitas narasi. Apalagi naskahnya memang kurang baik
perihal mengembangkan konflik yang mempunyai banyak cabang. Praktis, amunisi Cuties
& The Fake tinggal menyisakan komedi yang berasal dari rentetan
kekacauan absurd setelah pertemuan Golf dengan selebritis idolanya, Cathy (Araya
A. Hargate).
Seabsurd apa? Simak deskripsi berikut: Suatu hari, Golf, yang
beprofesi sebagai make-up artist, sedang bekerja. Kim turut serta setelah
dipecat dari pekerjaan sebagai pramugara, akibat insiden di pesawat yang tidak
akan saya ungkap demi menjaga elemen kejutan dan kelucuan. Di situlah Golf
bertemu Cathy. Gugup, tubuhnya pun bercucuran keringat (“orang gemuk banyak
berkeringat” merupakan salah satu running joke film ini). Ketika Golf
jatuh dari kursi yang remuk akibat tak kuat menopang bobotnya, Cathy berusaha
membantu, tapi justru terpeleset gara-gara tangan Golf licin oleh keringat. Berkat
kebiasan berlatih yoga, Cathy bisa kayang untuk menopang tubuhnya. Malang, saat
hendak berdiri, kepala Cathy malah terbentur hidung Kim yang mengeras karena
terlalu sering suntik silikon. Cathy pun koma.
Akibat terancam gagal memenuhi kontrak mengisi suatu acara, Cathy
berpotensi dituntut oleh pihak penyelenggara. Sampai muncul ide dari otak gila
Golf dan Kim, untuk mencari “kembaran” sang bintang. Caranya? Mendatangi satu per satu wanita yang pernah mengoperasi wajah mereka agar mirip Cathy. Dari
beberapa kandidat, terpilih Nam, seorang penjual nasi goreng pinggir jalan.
Masalahnya, kepribadian Nam dan Cathy amat berlawanan.
Apabila Cathy dikenal ramah dan manis bak malaikat, maka Nam cenderung kasar
serta melempar sumpah serapah sesering menarik napas. Selain kelucuan,
kehadiran Nam turut memberi panggung bagi Araya memamerkan dualitas akting. Gradasinya
memang belum sempurna, apalagi sewaktu penampilan Nam sudah dipermak, namun menyaksikan
wanita cantik satu ini melakukan hal-hal memalukan adalah hiburan tersendiri.
Film komedi tidak mengenal istilah “terlalu lucu”, tapi lain
cerita dengan “terlalu berusaha lucu”. Cuties & The Fake menerapkan
setumpuk gaya. Permainan kata, humor kentut, humor toilet, humor seks, humor meta,
slapstick, sampai parodi terhadap Pee Mak (2013) yang dari sananya
sudah berbentuk horor-komedi. Beberapa tampil datar, terlebih saat timing enggan
diperhatikan, mengingat ranjau lelucon disebar hampir di tiap sudut. Tapi
sewaktu menemui sasaran, tawa yang dilahirkan tidak main-main.
Di luar kekurangannya, Cuties & The Fake tetap
tontonan crowd pleasure. Sutradara Kittiphak Thongauam punya energi
sekaligus visi mengemas absurditas memadai, didukung totalitas jajaran
pemainnya melakoni karakter-karakter bigger-than-life yang menarik…..kecuali
Gus. Sang protagonis sekaligus narator selaku pemilik buku harian tempatnya
menuliskan seluruh kisah film ini, justru merupakan figure paling membosankan.
Konfliknya gagal dikembangkan, kontribusinya dalam momen-momen komedik emas
pun tergolong minim dibanding duet maut Golf-Kim.
MEKAH I'M COMING (2020)
Rasyidharry
Maret 06, 2020
Bagus
,
Comedy
,
Dwi Sasono
,
Ephy Sekuriti
,
Indonesian Film
,
Jeihan Angga
,
Krisna Purna
,
Michelle Ziudith
,
REVIEW
,
Rizky Nazar
,
Romance
,
Totos Rasiti
12 komentar
Lebih dari kelucuannya, Mekah I’m Coming, yang sebelumnya
mengusung judul Haji Hoax, punya value besar karena keberaniannya
menertawakan isu bertema religi. Ketika bangsa ini semakin kehilangan selera
humor akibat mabuk agama, Jeihan Angga selaku sutradara sekaligus penulis
naskah, seolah membawa saya kembali ke masa tatkala lawakan “Bahasa Arab” milik
Bajaj Bajuri dulu belum dianggap
ofensif. Bukan agama yang ditertawakan, melainkan kengawuran penganutnya.
Ibu saya pernah bercerita tentang
keputusannya keluar dari grup WhatsApp haji, karena orang-orang di dalamnya
memanggil satu sama lain dengan sebutan “Bu Hajjah”. “Ya itu kan grup haji.
Otomatis semua haji dan hajjah. Ngapain manggil bu hajjah/pak haji? Kayak minta
ditinggikan banget!”, ujarnya kesal. Realitanya memang demikian. Haji adalah
gelar maha dahsyat yang sering membuat pemiliknya dipandang atau merasa lebih
tinggi, lebih mulia, lebih memahami agama.
Karenanya, saat terancam kehilangan
kekasihnya, Eni (Michelle Ziudith), yang oleh sang ayah, Haji Soleh (Totos
Rasiti), bakal dijodohkan dengan Pietoyo (Dwi Sasono) si saudagar kaya dari
kota, Eddy (Rizky Nazar) mantap berkata, “Saya akan naik haji tahun ini!”. Eddy
sampai harus menjual bengkel kecilnya sebagai biaya. Tapi, akibat keterbatasan
kuota, ia harus mengantre 10 tahun. Terpojok, Eddy nekat menerima tawaran
sebuah agen perjalanan yang berjanji bisa memberangkatkannya haji tahun ini
dengan biaya 240 juta rupiah.
Seperti sudah kita tahu dari trailer-nya, agen tersebut rupanya
membohongi Eddy. Bersama “calon jemaah” lain bernama Fajrul (Ephy Sekurity),
Eddy terjebak di Jakarta karena keduanya merasa malu untuk pulang ke rumah
dalam kondisi gagal naik haji. Jeihan Angga lalu membawa penonton mendatangi
sebuah daerah yang ditinggali oleh banyak korban penipuan agen perjalanan, yang
memilih tidak pulang kampung sebelum benar-benar berangkat haji. Kita diajak
mengintip sebuah sudut realita kelam Indonesia, dibawa mengetahui dampak besar
dari komersialisasi agama serta pengultusan gelar haji.
Keduanya memang saling berkaitan.
Tanpa pengultusan, dampak psikis yang dihasilkan takkan sebesar itu. Jeihan
mampu memunculkan pemahaman terhadap isu tersebut melalui gaya penuh canda,
tanpa memaksakan diri berpindah ke jalur drama sebagaimana kebanyakan komedi lokal yang menyelipkan
subteks di alurnya. Momen yang paling dekat menyentuh ranah dramatis adalah
peristiwa romantis tak terduga di penghujung cerita. Peristiwa yang sejatinya
tidak logis, namun bisa diterima, mengingat sejak awal Mekah I’m Coming jelas sudah menjauhkan diri dari logika.
Humornya memang masih cenderung hit-and-miss akibat tidak seluruh elemen
penyutradaraan (timing, pengemasan hook sebuah banyolan) berjalan mulus. Tapi,
keberanian Jeihan Angga menerapkan ide-ide kreatif dalam debutnya ini patut
diberi pujian tinggi. Ditemani musik bernuansa Timur Tengah garapan Krisna
Purna (Ayat-Ayat Cinta 2, Petualangan
Menangkap Petir, Abracadabra), Jeihan memamerkan absurditas komedi, yang
acap kali hadir dalam bentuk tak terduga, berkat kombinasi referensi segudang dengan
keliaran ide sarat kreativitas, yang biasanya hanya akan berhenti sebagai
kelakar konyol pada obrolan warung kopi. Ketika banyak sineas khawatir karyanya
tampak norak jika secara total menerapkan komedi receh dan/atau tertawa di atas
isu berbau agama, Jeihan melakukan keduanya.
Tertular kegilaan sang sutradara
adalah jajaran pemainnya. Rizky Nazar, Ephy Sekuriti, hingga Totos Rasiti,
semuanya menghibur. Tapi kejutan terbesar ditampilkan Michelle Ziudith.
Meninggalkan zona nyamannya, Michelle tidak ragu mempermalukan diri demi
efektivitas komedi dalam performa terbaik yang bisa saja membuka jalan baru
bagi karirnya. Mekah I’m Coming pun
menandai penampilan terakhir mendiang Ria Irawan, dan sungguh persembahan yang
pantas untuk aktris legendaris sepertinya. Selamat jalan Mbak Ria.
THE CLOSET (2020)
Rasyidharry
Maret 05, 2020
Cukup
,
Ha Jung-woo
,
Heo Yool
,
horror
,
Kim Kwang-bin
,
Kim Nam-gil
,
Korean Movie
,
Park Sung-woong
,
REVIEW
Tidak ada komentar
Apa kaitan keluarga disfungsional
dengan lemari? Ada anak yang menjadikan lemari sebagai tempat sembunyi saat
semua tekanan terlampau berat, ada pula mereka yang dikurung di lemari sebagai
bentuk hukuman dari orang tua. Lemari jamak jadi sarana menakut-nakuti dalam horor,
tapi jarang yang memberinya substansi seperti The Closet, sebuah kisah saat penderitaan bocah-bocah memanggil sesosok
arwah.
Sang-won (Ha Jung-woo), seorang
arsitek, dan puterinya, Yi-na (Heo Yool), baru pindah ke rumah baru yang
berdekatan dengan alam. Kepindahan tersebut bertujuan untuk memperbaiki hubungan
mereka yang canggung, pasca kecelakaan maut yang menelan nyawa istri Sang-won. Akibat
kecelakaan itu pula Sang-won kerap terkena serangan kepanikan. Masalahnya, Yi-na
selalu diam. Boneka-boneka impor mahal yang menurut Sang-won diinginkan
puterinya, sama sekali tak disentuh.
Di situlah masalahnya. Komunikasi
nyata tidak pernah terjadi, dan Sang-won tak pernah menanyakan, apa yang
sebenarnya Yi-na mau. “Orang tua menentukan hal terbaik bagi anak tanpa mencari
tahu apa keinginan si anak”. Kim Kwang-bin selaku sutradara sekaligus penulis
naskah menyelipkan konflik—yang entah sudah diangkat berapa ratus ribu kali oleh
film dari beraneka genre—ke dalam pola horor formulaik yang punya elemen-elemen
alur familiar: Yi-na mulai berubah setelah bertemu “teman” yang berasal dari
lemari kamarnya, hingga kemudian ia menghilang. Bahkan third act-nya kembali menghadirkan perjalanan memasuki alam lain.
The Closet memang punya kisah klise. Pembedanya terletak di
subteks perihal pola asuh dan penelantaran anak, yang selepas terkuaknya
jawaban misteri, terasa semakin kelam nan menyakitkan. Terlebih, pengadeganan Kwang-bin
(yang menyertakan senyum menyeramkan Park Sung-woong) mampu menguatkan nuansa disturbing pada momen tersebut.
Seringkali, horor di kehidupan sehari-hari memang tidak kalah mengerikan dibanding
teror makhluk halus. Ada pula sentilan mengenai media framing, yang sayangnya sekadar numpang lewat.
Sebagaimana menu kegemaran
Guillermo del Toro, The Closet menampilkan
tragedi, ditambah hantu-hantu sedih yang sejatinya (juga) merupakan korban. Hantu-hantu
yang dihidupkan oleh tata rias yang tampak cukup realistis. Desainnya mungkin
tak seberapa kreatif (bola mata putih, luka-luka di sekitar mata), tapi
setidaknya menyimpan arti, bukan cuma “agar wajah mereka kelihatan rusak”, mengingat
hantu di sini dipanggil “The Blinded”.
Tapi elemen tragedi itu memberi
dampak negatif di klimaks, tatkala Kwang-bin lebih fokus menampilkan
melodrama daripada membangun ketegangan. Padahal, sepanjang durasi, sang
sutradara telah menunjukkan kapasitas mengemas teror melalui beberapa jump scare yang berhasil mengejutkan
berkat ketepatan timing, meski
terkadang volume musiknya berlebihan.
Di luar genre horor yang selalu
diminati, daya tarik terbesar The Closet jelas
keterlibatan Ha Jung-woo. Bersama Kim Nam-gil yang memerankan Kyung-hoon si
pengusir setan, dia melahirkan dynamic
duo, yang bermodalkan kepribadian berlawanan keduanya (Sang-won serius,
sementara Kyung-hoon gemar bercanda dan sering bersikap semaunya), kerap
memproduksi interaksi menarik, bahkan tak jarang menggelitik, termasuk sebuah
humor meta tentang film terbesar Ha
Jung-woo.
GUNS AKIMBO (2020)
Rasyidharry
Maret 03, 2020
Action
,
Comedy
,
Cukup
,
Daniel Radcliffe
,
Jason Lei Howden
,
Natasha Liu Bordizzo
,
REVIEW
,
Samara Weaving
,
Stefan Ciupek
4 komentar
Sutradara sekaligus penulis naskah
Jason Lei Howden (Deathgasm) mungkin
meyakini dirinya telah membuat produk gila-gilaan melalui suguhan aksi-komedi
yang lebih “terasa video game” dari adaptasi layar lebar video game sungguhan. Tapi, meski sikap “semau
gue” yang diusungnya menyenangkan, Guns
Akimbo tidak segila yang dibayangkan (dan diharapkan) Howden.
Deretan soundtrack-nya membuatmu menghentakkan kaki, ada darah di
sana-sini, jajaran pemain pun tampil apik tanpa menganggap semuanya terlampau
serius. Tapi pada masa di mana pendekatan ala video game pernah dilakukan secara lebih ekstrim (tonton Hardcore Henry), sedangkan koreografi plus
tata kamera dinamis mulai jadi tren di film aksi “serius” arus utama, sebatas
menggerakkan kamera seliar mungkin tidak lagi terasa spesial.
Daniel Radcliffe memerankan Miles,
programer komputer yang hidup sebagai pecundang. Sang bos selalu menjadikannya
bulan-bulanan; kekasihnya, Nova (Natasha Liu Bordizzo) meninggalkannya;
hari-harinya cuma diisi bermain video
game dan memancing amarah para trolls
di internet. Sampai ketika Miles membuat keributan di forum Skizm, sebuah
kelab bawah tanah yang menyelenggarakan sekaligus menyiarkan langsung
pertarungan sampai mati antara kriminal-kriminal sinting.
Akibatnya, Miles disatroni pihak
Skizm. Sepasang pistol ditancapkan di kedua tangannya, dan ia dipaksa terlibat pertarungan
hidup-mati melawan Nix (Samara Weaving), si pembunuh gila yang juga jawara
Skizm. Walau sudah menjadi aturan tak tertulis di film aksi bahwa tidak semudah
itu bagi seorang jagoan untuk terkena peluru, rasanya tetap mengganggu, saat
Nix, yang mampu mengenai sasaran dalam mobil yang melaju kencang pula membantai
sekelompok kriminal berbahaya seorang diri, kesulitan menembak Miles walau
entah sudah berapa ratus peluru ia lepaskan.
Tidak ada alur padat, hanya
kejar-kejaran dan tembak-tembakan ala film aksi kelas b dicampur permainan shoot ‘em up, yang mengandalkan pengarahan
penuh gaya sang sutradara. Howden, dibantu sinematografi garapan Stefan Ciupek,
seolah menganggap kamera diam sebagai hal tabu. Tidak usah sampai membahas keliaran
gerak kamera dan penyuntingan dalam membungkus baku tembak yang turut diisi
warna-warna berkontras tinggi, di luar adegan aksi pun, Guns Akimbo menolak diam. Kamera berputar, melakukan gerak spiral
yang menghasilkan dua dampak berlawanan: kadang terkesan dinamis, tapi lebih
sering membuat perut mual atau minimal sakit kepala.
Tapi saya merupakan pembohong kalau
menyebut filmnya sepenuhya gagal memberi hiburan. Setidaknya, tempo cepat yang
diterapkan Howden tidak memberi kesempatan pada rasa kantuk untuk menyerang. Seperti
seseorang dengan tenaga berlebih yang bisa memberi semangat di hari-harimu,
walau terkadang terasa mengesalkan. Tapi tidak ada yang mengesalkan dari
performa dua pemeran utama, khususnya Samara Weaving.
Radcliffe sebagai pria pengecut
yang konyol mampu memancing tawa lewat totalitasnya dalam mempermalukan diri
sendiri, tapi Weaving, dengan umpatan-umpatan, teriakan manik, ejekan menusuk,
dan hirupan-hirupan kokain yang memacu adrenalinnya kala menghabisi musuh,
adalah bintang utama. Mayhem (2017), The Babysitter (2017), Ready or Not (2019), Guns Akimbo, dan nantinya Snake Eyes di akhir 2020, aktris kelahiran
Australia telah memantapkan image sebagai
wanita tangguh yang tak ragu menumpahkan darah.
Guns Akimbo mencapai titik terbaik tiap kali Radcliffe dan Weaving
berbagi layar, saling bertukar kelakar. Itulah kenapa babak ketiganya begitu
memikat. Sayang, kuantitas kebersamaan mereka tidak sebanyak itu, dan
karenanya, kualitas Guns Akimbo pun
tidak sebagus itu.
ONWARD (2020)
Rasyidharry
Maret 01, 2020
Animated
,
Chris Pratt
,
Dan Scanlon
,
Jason Headley
,
Julia Louis-Dreyfus
,
Keith Bunin
,
Lumayan
,
Mel Rodriguez
,
REVIEW
,
Tom Holland
1 komentar
Melalui Onward, Pixar kembali mengkreasi dunia imajinatif mereka sendiri.
Bayangkan Zootopia, tapi ganti para
hewan yang berperilaku dan hidup bagai manusia, dengan makhluk-makhluk mitologi.
Unicorn berebut makanan di tempat sampah seperti kucing liar, naga menggantikan
peran anjing selaku peliharaan, centaur berprofesi sebagai polisi, dan
lain-lain. Dan dalam dunia berisi deretan makhluk ajaib tersebut, tidak ada
keajaiban berupa sihir sebagaimana selalu kita lihat di berbagai kisah fantasi
yang melibatkan mereka.
Lebih tepatnya, sihir sudah
menghilang, digantikan oleh teknologi yang penggunaannya lebih praktis. Tidak
perlu merapal mantra, tidak perlu melalui latihan intens. Konsep menarik, walau
sulit menghilangkan harapan bahwa naskah buatan sutradara Dan Scanlon (Monsters University) bersama Keith Bunin
(Horns) dan Jason Headley (A Bad Idea Gone Wrong) lebih
mengeksplorasi cara kerja dunianya, sebagaimana selalu jadi keunggulan
judul-judul terbaik Pixar.
Di dunia inilah protagonis kita hidup.
Namanya Ian (Tom Holland), elf remaja yang canggung dalam bersosialisasi. Kakaknya,
Barley (Chris Pratt) terobsesi pada sejarah dunia khususnya ilmu sihir beserta
petualangan ajaibnya. Sedangkan sang ibu, Laurel (Julia Louis-Dreyfus),
sepeninggal suaminya, tengah menjalin hubungan dengan polisi centaur, Colt
Bronco (Mel Rodriguez).
Ian tidak pernah bertemu sang ayah,
dan cuma bisa mengenalnya lewat cerita-cerita Barley, beberapa lembar foto,
serta sebuah kaset berisi rekaman suaranya. Hati seperti ditusuk-tusuk saat
melihat Ian menciptakan obrolan imajiner dengan ayahnya menggunakan rekaman
tersebut. Jika momen itu terasa jujur dan intim, mungkin karena ide kisahnya
sendiri Scanlon dapat dari pengalaman personal kala sewaktu remaja, ia menerima
rekaman suara mendiang ayahnya dari seorang kerabat.
Lalu bertepatan dengan ulang tahun
ke-16 Ian, Laurel memberi kejutan. Sebuah kado dari sang ayah. Semakin
mengejutkan, karena kado itu adalah tongkat sihir beserta mantra yang dapat
membangkitkan orang mati selama sehari. Tapi akibat kurang pengalaman, Ian
hanya berhasil mengembalikan kaki ayahnya. Maka, Ian dan Barley harus berpacu
dengan waktu, menjalani misi guna mengembalikan ayah mereka secara utuh.
Sepanjang misi yang mempertemukan
keduanya dengan berbagai rintangan, mulai dari geng motor fairy, hingga gua
rahasia penuh teka-teki dan jebakan, Ian turut melatih kemampuannya sebagai
penyihir muda. Keberadaan ilmu sihir (dan elemen fantasi secara umum), membantu
Onward tampil lebih segar, biarpun alurnya
mengusung pakem standar film road trip.
Khususnya perihal spektakel, di mana Scanlon menunjukkan perkembangan pesat
sebagai sutradara pasca menjalani debutnya tujuh tahun lalu.
Disokong visual memikat yang
membantu menghidupkan dunia imajinatifnya (meski bukan produk visual terbaik
Pixar), Scanlon menyuguhkan petualangan mengasyikkan, yang melibatkan aksi seru
nan menegangkan dan proses memecahkan teka-teki sederhana. Sihir memang kerap
jadi jalan penyelesai masalah, tapi tidak berakhir sebagai jalan keluar yang
(terlalu) mudah, sebab Onward memastikan
bahwa Ian harus belajar dan bertumbuh lebih dulu. Alhasil, pertarungan besar di
klimaks jadi luar biasa memuaskan, sebab di situlah protagonis kita akhirnya membuktikan
perkembangannya setelah proses panjang.
Holland dan Pratt tidak
kesulitan menghidupkan figur remaja canggung dan pemuda nyeleneh, mengingat
peran semacam itu sudah beberapa kali keduanya lakoni. Hal serupa berlaku pada
Pixar, yang dikenal sebagai jagonya mengaduk-aduk perasaan penonton. Di sini,
bahkan pemandangan kecil seperti sepasang kaki yang saling bersentuhan saja
bisa begitu bermakna. Justru momen besarnya, yang diharapkan memberi puncak
emosi, mungkin takkan bisa diterima semua penonton.
Pertama, perlu dipahami dahulu,
pesan apa yang Onward ingin
sampaikan. Seperti judulnya, ini adalah kisah soal melangkah maju. Bukan
tentang mengejar masa lalu, melainkan bagaimana masa lalu berguna untuk masa
kini dan nanti. Sosok ayah yang telah tiada (masa lalu) membantu Ian menyadari
betapa berharganya Barley (masa kini). Ilmu sihir (masa lalu), berkontribusi
pada proses tumbuh kembang Ian (masa depan). Sementara di lingkup keluarga, Onward mengajak untuk lebih
memperhatikan orang-orang tercinta yang masih berada di samping kita, bukannya
tenggelam pada kerinduan terhadap sosok tercinta lain yang telah tiada.
Secara dampak emosi, resolusinya bisa
jadi dianggap antiklimaks, atau malah mengkhianati, oleh sebagian penonton, walau sebenarnya, pilihan konklusi itu sesuai dengan tujuan
filmnya. Sepertinya Onward juga
bentuk terapi pribadi bagi Scanlon sendiri. Bisa dipahami. TAPI, filmnya
terlanjur memberondong dengan ekspektasi yang melibatkan hati. Dan setelah
semua itu, tidak keliru bila ada penonton yang merasa dicurangi. Meminjam
istilah Jawa, apa yang Onward lakukan
itu “bener ning ora pener”.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Posting Komentar