REVIEW - CLASS ACTION PARK

1 komentar

Beroperasi selama 18 tahun (1978-1996), Action Park yang terletak di Vernon, New Jersey, terkenal atas desain wahana tak ideal yang memakan total enam nyawa. Jumlah korban cedera? Tidak terhitung. Tapi Class Action Park bukan cuma dokumenter soal taman hiburan berbahaya. Bukan juga sebatas keserakahan satu individu yang menginisiasinnya, pula soal praktek korupsi dan budaya 80an, di mana remaja Amerika memuja semangat kebebasan tanpa kontrol.

Tidak pakai basa-basi, filmnya langsung bergerak ekstra cepat, menyeret kita langsung ke pusat aksi. Butuh waktu untuk membiasakan dengan tempo bertuturnya. Pun di beberapa bagian, penceritaannya agak berantakan, di mana pokok bahasan bisa mendadak berpindah. Tapi rasanya tak ada yang keberatan, karena daya tariknya tinggi, serta sarat fakta-fakta unik nan mengejutkan.

Duo sutradara Seth Porges dan Chris Charles Scott III menerapkan gaya konvensional, mewawancarai beberapa narasumber sambil diselingi stok rekaman Action Park di masa kejayaannya. Satu per satu, mantan pegawai dan pengunjung menuturkan deretan kegilaan di taman hiburan yang didirikan oleh Eugene Mulvihill tersebut. Siapa Eugene Mulvihill? Nanti kita akan sampai ke sana. Terlebih dulu, filmnya menyoroti berbagai wahana yang dipandang paling “ekstrim”.

“Ekstrim” di sini berarti “berpotensi mematikan”. Mayoritas wahana dibuat berdasarkan ide-ide impulsif Mulvihill, yang kemudian direalisasikan oleh orang-orang yang tak memiliki latar belakang pendidikan teknik. Salah satunya Cannonball Loop, seluncuran air yang mempunyai putaran 360 derajat bak roller coaster. Hasilnya? Wajah-wajah berlumuran darah, gigi-gigi tanggal yang tertancap di seluncuran, hingga orang-orang yang tersangkut di tengah putaran.

Ada pula Alpine Slide, di mana pengunjung duduk di sebuah kereta luncur, lalu bergerak menuruni area pegunungan dengan kecepatan tinggi, di lintasan berbahan semen. Sepanjang tahun 1984-1985, tercatat ada 14 patah tulang dan 26 cedera kepala akibat wahana ini. Di sekolah, saat seseorang datang dengan luka di tubuh, respon dari teman-temannya adalah, “Alpine Slide, huh?”, walau mungkin luka itu disebabkan oleh hal lain. Cedera yang didapat di Action Park bagai battle scars yang bisa dibanggakan. Bahkan meski sekadar kaki melepuh akibat panasnya lantai yang terbuat dari aspal hitam jalan raya.

Kenapa para karyawan bersikap acuh terhadap kondisi tersebut? Pertanyaan lebih besarnya, “Kenapa tempat berbahaya itu begitu digandrungi?”. Terkait karyawan tidak mengherankan, sebab mayoritas dari mereka adalah remaja yang datang hanya demi mabuk-mabukkan dan berhubungan seks di sebuah kabin berbau busuk. Sedangkan pengunjungnya adalah perwujudan kebebasan 80an, yang mendambakan tempat di mana hukum tak berlaku. Mereka bebas melanggar aturan memakai wahana, bersumpah serapah, mabuk, dan sebagainya.

Di sinilah kita harus kembali pada sosok Eugene Mulvihill. Tidak mengherankan jika Action Park begitu liar, karena sang pendiri pun adalah seseorang yang memimpikan dunia tanpa hukum. Bermula dari bisnis kotor di wall street, menciptakan perusahaan asuransi palsu untuk memuluskan berdirinya Action Park, hingga berurusan dengan mafia, Mulvihill juga dideskripsikan oleh para koleganya sebagai pria dengan segudang gagasan gila. Begitu gila, salah satu pebisnis membatalkan rencana berinvestasi. Nama pebisnis itu Donald Trump.

Menjaga supaya tak perlu menampilkan rekaman bernuansa kekerasan, Porges dan Charles Scott III memakai animasi sebagai media menggambarkan momen-momen ekstrim, termasuk kecelakaan. Animasi 2D sederhana yang jauh dari kemewahan teknologi, tapi justru sempurna mewakili kesann aneh dan konyol kisahnya.

Memasuki 25 menit terakhir, Class Action Park menjamah ranah lebih serius, kala membahas tentang George Larsson Jr., orang pertama yang tewas di sana, setelah meluncur keluar lintasan Alpin Slide pada 8 Juli 1980. Selang 16 tahun, dan setelah lima orang lagi meregang nyawa, barulah Action Park ditutup. Mengapa selama itu? Karena— secara tidak mengejutkan —banyak pemegang kekuasaan dan figur terpandang di Vernon, menerima “santunan” dari Mulvihill, atau bekerja di bawahnya.  

Walau saya berharap porsi pihak yang dirugikan ditambah, secara keseluruhan film ini cukup adil dalam memainkan perspektif terhadap Action Park: Suatu produk dari suatu masa, yang kerap memancing romantisasi dari para saksi mata, sambil tetap mengakui betapa buruk dan berbahaya tempat tersebut. Bukankah kita sering begitu? Cerita mengenai kegilaan dan kenakalan masa lalu jauh lebih seru untuk dikenang.


Available on HBO MAX

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE ONE AND ONLY IVAN

3 komentar

Saya belum membaca novel anak The One and Only Ivan karya K. A. Applegate, yang terinspirasi dari kisah nyata tentang seekor gorila bernama Ivan. Tapi mengacu pada seri Animorphs, sang penulis punya kecenderungan menyelipkan kisah kelam di balik sampul cerita remaja/semua umur. The One and Only Ivan tidak jauh beda, dan sewaktu ceritanya dibungkus dalam kemasan ala Disney, hasilnya adalah suguhan krisis identitas, meski tetap menghibur, pun tentunya, memiliki hati.

Memang di sini tidak ada serbuan alien, remaja yang terjebak di tubuh elang selamanya, atau konklusi depresif di mana protagonisnya melancarkan misi bunuh diri. Tokoh utamanya adalah Ivan (Sam Rockwell), seekor gorila yang jadi bintang utama pertunjukan sirkus Big Top Mall milik Mack (Bryan Cranston). Kalau hewan-hewan lain mesti melakukan trik, Ivan cukup memamerkan sisi buasnya, memukul-mukul dada sambil mengaum. Tapi lambat laun, minat publik meredup. Mereka terancam bangkrut.

Sampai Mack mendatangkan hewan baru, yakni gajah kecil menggemaskan bernama Ruby (Brooklynn Prince). Di bawah asuhan Stella (Angelina Jolie) si gajah senior, Ruby langsung jadi bintang pertunjukan. Ivan terpaksa menerima kebintangannya terpinggirkan. Hingga suatu peristiwa memaksa Ivan mengesampingkan ego, demi kelangsungan hidup para hewan, khususnya Ruby.

Sekilas terdengar seperti film anak mengenai hewan yang bisa bicara, bukan? Tapi, seiring kita diajak mengenali tiap karakter, semakin jelas bahwa The One and Only Ivan tidak sesederhana itu. Sebuah flashback menjelaskan bagaimana Mack ditinggalkan sang istri, karena Ivan yang sejak bayi mereka adopsi, mulai tumbuh dewasa dan kerap menciptakan kekacauan di rumah. Lalu soal Julia (Ariana Greenblatt), puteri salah satu karyawan Big Top Mall, yang hampir setiap hari berinteraksi dengan Ivan. Tersirat kalau ibu Julia tidak dalam kondisi baik-baik saja (kemungkinan terjangkit kanker).

Latar kandang-kandang sempit selaku rumah barisan hewan yang kerap bertingkah jenaka, bak ilusi yang menutupi realita kelam di luarnya. Bicara soal kandang, The One and Only Ivann turut mengusung isu eksploitasi hewan, yang diburu di tengah habitatnya oleh manusia. Beberapa tewas, beberapa dijebloskan dalam kurungan sebagai bahan tontonan sirkus maupun kebun binatang.

Bagi manusia, hewan-hewan itu sebatas alat pencari uang, yang dapat dengan mudah disingkirkan. Walau sudah merawat Ivan sejak bayi, ketika tuntutan finansial datang, Mack dengan gampang menggantikan posisi gorila tersebut sebagai bintang pertunjukan. Sedangkan bagi hewan-hewan dalam kandang, terbiasa dikurung nyaris seumur hidup, membuat mereka lupa rasanya kebebasan.  

Di sini terjadi kontradiksi. Naskah buatan Mike White (School of Rock, Pitch Perfect 3) menyampaikan tentang pentingnya bagi hewan untuk hidup di habitat asli, namun secara bersamaan, merayakan showmanship. Hal itu diperkuat oleh pengadeganan Thea Sharrock (Me Before You), yang lebih banyak memperlihatkan sisi magis ketimbang eksploitatif tiap pertunjukan. Mungkin tujuannya adalah membuat semua itu tidak hitam-putih, tapi yang terasa justru kebingungan menentukan arah, antara menyentil isu di atas, atau membuat film semua umur ala Disney seperti biasa.

Sejatinya The One and Only Ivan memenuhi hampir semua syarat untuk menjadi film bertema talking animals menyentuh. Sharrock piawai membangun emosi melalui bahasa visual, sebagaimana pada pertemuan pertama Stella dan Ruby, yang digambarkan lewat dua belalai yang saling bersentuhan. Kualitas CGI mumpuni sanggup menciptakan ekspresi-ekspresi kaya rasa di wajah karakter hewan, khususnya Ivan. Musik orkestra gubahan Craig Armstrong (Moulin Rouge!, The Great Gatsby, Me Before You) juga ampuh mengaduk-aduk perasaan, termasuk pada ending, yang sejatinya, merupakan satu lagi wujud krisis identitas dan kenaifan filmnya, yang merayakan kemerdekaan palsu.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - WARKOP DKI REBORN 4

5 komentar

"Nongkrong di warung kopi, Nyentil sana dan sini

Sekedar suara rakyat kecil, Bukannya mau usil"

Begitu bunyi lirik lagu Obrolan Warung Kopi milik Warkop DKI, yang menyiratkan peran mereka, yang bukan sebatas pelawak biasa, melainkan tukang sentil sana-sini yang mewakili keresahan rakyat melalui banyolan. Atas nama modernisasi, esensi tersebut memudar, bahkan nyaris sepenuhnya lenyap, sejak proyek reborn pertama diluncurkan empat tahun lalu. Modernisasi salah kaprah, yang cuma meng-upgrade gaya, biaya, serta teknologi, tapi tidak humor, apalagi sentilannya.

Bahkan setelah Warkop DKI Reborn 3 (2019) mengganti sosok-sosok yang terlibat, baik di depan maupun belakang layar, hasilnya masih sama, kalau tidak lebih buruk. Perolehan jumlah penonton yang menurun drastis (sekitar 843 ribu) seolah membuktikan bahwa publik sudah lelah dengan proyek reborn, yang alih-alih “melahirkan kembali”, justru terasa asing ini.

Melanjutkan kisah film sebelumnya, trio Dono (Aliando Syarief), Kasino (Adipati Dolken), dan Indro (Randy Nidji) terlibat petualangan di Maroko, guna menyelamatkan Inka (Salshabilla Adriani). Dibantu gadis setempat, Aisyah (Aurora Ribero), ketiganya mesti menghadapi barisan penjahat, termasuk bos mafia bernama Aminta Bacem, yang diperankan oleh “kembaran” Amitabh Bachhan, Rajkumar Bakhtiani. Memang Rajkumar sangat mirip dengan sang aktor legendaris, tapi di luar itu, tidak ada kualitas apa pun yang ia tawarkan.

Apakah kalian ingat alasan Dono-Kasino-Indro sampai di Maroko? Apakah kalian ingat kalau semua kekacauan ini bermula saat Komandan Cok (Indro Warkop) merekrut mereka untuk membongkar praktek pencucian uang di industri film yang dilakukan oleh Amir Muka (Ganindra Bimo)? Wajar jika tidak. Sebab naskah buatan sutradara Rako Prijanto dan Anggoro Saronto membuang persoalan di atas.

Selama sekitar 103 menit, Warkop DKI Reborn 4 hanya meninggalkan satu poin: Trio protagonisnya harus menyelamatkan Inka. Perjalanan 103 menit yang dibungkus penceritaan berantakan, di mana satu adegan dengan adegan berikutnya, dipaksakan saling berkaitan, atau malah tanpa kaitan sama sekali. Penyuntingan buruk yang menciptakan transisi-transisi kasar pun semakin menambah sakit kepala kala menonton.

Kelemahan itu sejatinya bisa disangkal dengan opini, “film Warkop DKI bukan soal kerapian bercerita”. Tidak salah. Tapi bagaimana terkait kemampuannya menghibur lewat perpaduan aksi dan komedi? Rako bukan sutradara yang piawai mengolah aksi. Tentu saja saya mengatakan itu bukan didasari keinginan melihat laga sekelas The Raid, melainkan ketiadaan antusiasme. Eksekusinya tak bertenaga.

Sedangkan humornya, meski masih dibarengi efek suara konyol ala sinetron murahan, dan lebih sederhana (baca: kurang kreatif) dibanding film-film sebelumnya (Dua seri Jangkrik Boss dengan keanehan khas Anggy Umbara, Warkop DKI Reborn 3 dengan visualisasi lawakan dari kaset Warkop DKI), masih bisa memancing beberapa tawa berkat penampilan trio aktor utama. Adipati bukanlah Kasino. Setidaknya, akan sulit baginya meniru cara bicara Kasino. Sesuatu yang ia sadari, sehingga memilih fokus pada gestur dan ekspresi jenaka. Aliando, biarpun diganggu riasan buruk, mampu meneruskan pencapaian Abimana dalam menghidupkan kembali sosok Dono di layar lebar. Sedangkan Randy lebih subtil, namun jika ditanya, “Siapa yang paling mirip luar-dalam dengan Warkop DKI asli?”, saya bakal menyebut namanya.

Sayang, performa mereka jadi tak maksimal akibat materi yang hit-and-miss, pula kental seksime. Benar bahwa film-film Warkop DKI rilisan Soraya tampil serupa, tapi bukan berarti harus diikuti. Bukankah ini modernisasi? Hal-hal seperti inilah yang mestinya mendapatkan upgrade. Bukan skala, teknologi, apalagi penambahan twist tak perlu yang seolah jadi suatu keharusan agar sebuah film dipandang “keren”.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

5 komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE FIGHT

Tidak ada komentar

Tidak kurang dari 147 gugatan hukum telah dilayangkan oleh American Civil Liberties Union (ACLU) terhadap pemerintahan Trump. Gugatan pertama muncul hanya seminggu setelah pelantikan, ketika Trump meresmikan larangan masuk untuk muslim. The Fight mengangkat empat kasus di antaranya. Tapi dokumenter garapan Elyse Steinberg dan Josh Kriegman— yang kali ini membentuk trio sutradara bersama Eli B. Despres, yang sempat menjadi editor mereka di Weiner (2016)— ini lebih mengedepankan para manusia, ketimbang tetek bengek persidangan.

Bahkan emosi sudah diaduk-aduk sejak menit awal, saat menyoroti para imigran yang terancam dideportasi. Kita diingatkan bahwa kasus tersebut melibatkan manusia-manusia yang dipisahkan paksa dengan orang-orang tercinta. Kemudian kita diperkenalkan pada lima pengacara ACLU: Brigitte Amiri, Joshua Block, Lee Gelernt, Dale Ho, dan Chase Strangio. Kelimanya terjun menangani empat kasus terbesar, yakni soal aborsi, LGBT di ranah militer, hak pilih, dan imigran.

Tidak punya banyak waktu guna menghadapi “Goliath” bernama “Pemerintahan Donald Trump”, kelima “David” ini mencurahkan segala daya upaya hingga nyaris tak punya waktu bagi keluarga di rumah, mengumpulkan materi, melakukan simulasi persidangan (disebut “moot court”). Mereka bergerak cepat dan tangkas, begitu pula filmnya. Ketiga sutradara membungkus The Gift dengan tempo cepat, tanpa kehilangan kerapian bertutur, sehingga penonton awam takkan kesulitan mencerna poin-poin seputar hukum dan persidangan.

Menariknya, kita hampir tidak pernah masuk ke ruang sidang, mengingat adanya larangan merekam di beberapa jenis persidangan. Sebagai gantinya, dipakailah beberapa sekuen animasi, menambah varian gaya, selain talking head konvensional, dan vérité yang menangkap detail aktivitas kelima pengacara kita. Sementara beberapa footage, baik pidato Trump, maupun rekaman penuturan kroco-kroconya, efektif untuk mengingatkan penonton tentang betapa kacau rezimnya, yang sejak detik pertama telah menunjukkan degradasi nilai-nilai kemanusiaan.

Sayangnya, begitu intensitas keempat kasus tadi meningkat, di mana permasalahan jadi makin pelik, makin sulit pula bagi filmnya menjaga kesolidan bercerita. Mulai terasa, bahwa jumlah konflik The Fight melebihi apa yang para pembuatnya mampu tampilkan. Dinamika mulai lalai dijaga, akibat tuntutan merangkum semua kasus, yang silih berganti memunculkan progres baru.

Di luar keempat kasus tadi, tragedi tabrak lari di tengah unjuk rasa di Charlottesville, rupanya tak dikesampingkan. Kontroversi mencuat kala ACLU, berbasis hak kebebasan bicara, membela para white supremacist dan neo-Nazi untuk menggelar rasa. Perihal itu pun menciptakan perbedaan pendapat di jajaran petinggi, bahkan beberapa anggota memilih keluar. Tapi cuma sekelumit fakta yang dipaparkan. Ketimbang eksplorasi, keberadaannya sebatas obligasi, karena akan terasa janggal apabila peristiwa itu dilewatkan. Tragedi Charlottesville pantas mendapat dokumenternya sendiri, yang mengupas kompleksitas prinsip free speech.

The Fight bukan tentang itu. The Fight adalah tentang minoritas-minoritas tertindas, dan penyalahgunaan kekuatan di tangan penguasa penghancur kemanusiaan. Pertempuran David melawan Goliath, di mana dengan mudah, penonton bakal membela sang David. Jika tidak, maka anda bukan target pasar film ini, yang menggambarkan pengacara-pengacara ACLU bak superhero dunia nyata. Apakah keliru? Tidak, kalau anda, seperti saya, termasuk target pasarnya, yang meyakini bahwa Amerika dipimpin oleh sesosok supervillain dunia nyata.


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - ENOLA HOLMES

2 komentar

Women are never to be entirely trusted—not the best of them”, ucap Sherlock Holmes dalam novel The Sign of the Four (1890). Tidak perlu riset mendalam untuk menyimpulkan bahwa Sherlock bukan pembela kesetaraan. Bagaimana jadinya, jika ia memiliki adik perempuan yang mewarisi pemikiran feminisme ibu mereka, pula tidak kalah dalam urusan deduksi dibanding sang detektif ternama? Gagasan menarik itu mendasari Enola Holmes, yang mengadaptasi seri novel The Enola Holmes Mysteries (tepatnya buku pertama, The Case of the Missing Marquess) karya Nancy Springer.

Seperti namanya yang merupakan kebalikan dari kata “alone”, Enola (Millie Bobby Brown) tumbuh seorang diri, sementara kedua kakaknya, Mycroft (Sam Claflin) dan Sherlock (Henry Cavill) telah angkat nama dalam karir masing-masing. Ibunya yang eksentrik, Eudoria (Helena Bonham Carter), mengajari Enola untuk hidup mandiri, membekalinya dengan segala ilmu, baik pengetahuan dari buku-buku maupun latihan bela diri. Hingga tepat di ulang tahunnya yang ke-16, Enola mendapati sang ibu menghilang.

Niat Enola mencari ibunya menemui rintangan saat kedua kakaknya pulang, khususnya dari kengototan Mycroft untuk mengirimnya ke sekolah kepribadian, agar Enola menjadi “wanita bermartabat” sehingga mudah mencari suami. Bagaimana dengan Sherlock? Dibanding dua perwujudan terbaru yang paling dikenal publik (versi Robert Downey Jr. dan Benedict Cumberbatch), Sherlock milik Henry Cavill cenderung hangat, ramah, berpikiran lebih terbuka soal gender, dan less-psychotic. Beberapa kali ia membela, bahkan menolong Enola. Bukan sosok Sherlock terbaik, dengan penggambaran yang disederhanakan, namun jelas paling cocok bagi target pasar young adult film ini.

Naskah buatan Jack Thorne (Wonder, The Secret Garden) mengandung formula-formula pokok (baca: keklisean) film bertema empowerment dari arus utama: protagonis wanita yang ingin bebas sehingga dianggap liar, pria kolot yang meyakini kalau wanita harus penuh sopan santum sekaligus menganggap feminisme merupakan bentuk kegilaan, tokoh wanita yang turut melanggengkan pola pikir kuno tersebut, hingga benih romansa yang melibatkan pria pendukung kesetaraan gender. Pria itu adalah seorang Viscount Tewkesbury muda (Louis Partridge) yang kabur dari rumah.

Selain mencari keberadaan ibunya, kini Enola juga harus melindungi Tewkesbury dari kejaran pembunuh (Burn Gorman) yang entah dikirim oleh siapa. Terciptalah kisah mengenai proses remaja perempuan mengenal kerasnya dunia luar, dan mesti berjuang dengan menerapkan segala yang ibunya ajarkan. Sebuah drama keluarga, sebuah kisah dua perempuan.

Lega rasanya melihat Millie Bobby Brown (juga menjadi salah satu produser film ini) tak terjebak dalam stereotip perannya di Stranger Things. Penampilannya bertenaga, menggelitik sebagai karakter yang kerap “menembus dinding keempat”, juga meyakinkan sebagai detektif cerdas. Kecerdasan yang bukan cuma berlaku di urusan memecahkan misteri, pula membuatnya mampu mengubah simbol-simbol seksisme menjadi hal yang menguntungkannya.

Perjalanan Enola mengumpulkan keping-keping petunjuk (mayoritas berbentuk permainan kata) menyenangkan diikuti, apalagi ketika Harry Bradbeer, yang melakoni debut penyutradaraannya, menerapkan beberapa gaya visual unik. Menghibur. Setidaknya di paruh pertama, sebelum filmnya kehilangan sense of urgency memasuki pertengahan durasi. Tanpa kejutan, dan seiring berjalannya waktu, jumlah pertanyaan yang memancing rasa penasaran makin berkurang. Enola berhasil mengungguli semua orang, baik laki-laki atau perempuan. Tapi apakah ia sungguh-sungguh memecahkan kasusnya? Jawabannya “tidak”. Alhasil, biarpun menyajikan petualangan menyenangkan selaku pembuka franchise potensial, elemen empowering milik Enola Holmes tak begitu memuaskan.


Available on NETFLIX

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - BLACK IS KING

2 komentar

Salah satu pencapaian terbesar Black Panther dua tahun lalu adalah memperlihatkan Afrika dan black culture melalui perspektif yang tak pernah dipakai industri arus utama: superior, berteknologi tinggi, indah. Kalau ada yang bisa melakukannya lagi, tentu saja Beyoncé orangnya. She’s so iconic, so influential, white people can only dream of having her as one of their own. Bertindak selaku pendamping visual bagi The Lion King: The Gift (album yang dikurasi oleh Beyoncé seiring perilisan film The Lion King), Black is King merupakan media sang artis menumpahkan seluruh visinya. Sebuah magnun opus seorang Beyoncé Giselle Knowles-Carter.

Kisahnya tidak jauh berbeda dengan The Lion King, yakni tentang seorang pangeran Afrika cilik (Folajomi Akinmurele) yang diasingkan dari kerajaan setelah kematian sang ayah (Sibusiso Mbeje). Sementara tahta jatuh ke tangan pamannya yang jahat (Warren Masemola), si pangeran tumbuh jadi pria dewasa (Nyaniso Dzedze) yang melupakan akar kebudayaannya. Hingga ia mulai tersadar, dan di bawah bimbingan leluhurnya (Beyoncé), berusaha merebut kembali mahkota kerajaan, dan terpenting, “pulang ke rumah”.

Alurnya tidak bergerak secara konvensional. Kental surealisme, diiringi puisi-puisi gubahan Yrsa Daley-Ward, sambil diselingi visualisasi lagu-lagu dari The Lion King: The Gift yang mewakili bagian-bagian narasi. Beyoncé, yang (selain berakting, bernyanyi, dan menyutradarai) juga menulis naskahnya bersama Clover Hope dan Andrew Morrow, mencetuskan ide pembuatan Black is King selepas perilisan video klip Spirit pada Juli 2019. Awalnya ia berniat memproduksi klip-klip berdurasi semenit untuk tiap lagu, lalu berkembang menjadi video penuh, sebelum akhirnya memutuskan membuat proyek berskala besar ini.

Tidak bisa dipungkiri, video-video ini memang lebih cocok dirilis secara terpisah. Semuanya lagu kelas satu nan adiktif, yang akan tertancap di ingatan pendengar untuk waktu lama. Ketika disatukan sebagai musikal berdurasi hampir satu setengah jam (tepatnya 85 menit), muncul keharusan menciptakan kesatuan narasi koheren. Poin tersebut kurang berhasil dilakukan filmnya. Klip-klip musiknya luar biasa, namun berdiri sendiri-sendiri, menghasilkan emosi yang parsial, alih-alih saling mendukung sebagai satu kesatuan utuh.

Tapi bukankah Black is King memakai pendekatan sureal? Kesalahpahaman terkait surealisme adalah soal ketiadaan aturan. Surealisme tetap membutuhkan “pola”, hanya saja, presentasi pola tersebut lebih lentur, tidak terikat pakem-pakem logika dan realita. Contohnya, di film ini ada sesosok pria bertubuh biru (Stephen Ojo) yang merupakan perwujudan bawah sadar si pangeran. Tapi apa tindakan yang membuat si pria biru dapat diasosiasikan ke peran tersebut?

Setidaknya, cuplikan kalimat dari The Lion King cukup membantu penonton menyusun keping-keping “teka-tekinya”. Dan menerjemahkan perjalanan Simba menjadi tuturan soal black culture adalah ide brilian. Beyoncé dan tim berhasil menarik esensi dari kisah tersebut, kemudian menerapkannya ke dalam isu-isu relevan. Soal individu berkulit hitam yang menemukan kembali jati dirinya, melalui warisan leluhur serta kebudayaan yang begitu indah, sebelum dijamah tangan-tangan serakah kolonialisme, yang dalam The Lion King, diwakili oleh Scar dan para hyena.

Narasinya mungkin tak semulus harapan, namun pencapaian artistiknya membuat itu mudah dilupakan. Black is King adalah masterpiece visual yang melawan penggambaran kulit hitam di media arus utama. “We’re the beauty before they knew what beauty was”, ungkap Beyoncé. Dan itu disajikan sempurna, lewat keglamoran dan kemeriahan tanpa cela. Gambar-gambar yang diambil di tiga benua (Afrika, Amerika Utara, Eropa), yang sesekali dipercantik oleh pemakaian CGI tepat guna, merupakan keindahan epik hasil kepiawaian 12 sinematografer, sementara tata rambut serta busananya berkreativitas tinggi, tanpa melucuti unsur kebudayaan.

Beyoncé, bersama tim sutradara yang total beranggotakan sembilan orang termasuk dirinya, melahirkan deretan klip-klip musik yang punya kekhasan dan keunggulan berbeda-beda, yang sekali lagi, dibuat berdasarkan berbagai sumber kebudayaan. Find Your Way Back bak petualangan kosmik, yang juga referensi terhadap kepercayaan astrologi suku Dogon. My Power yang menemani klimaks perebutan tahta melambangkan tujuh kekuatan Afrika, yang didasari kepercayaan suku Yoruba terhadap Orisha, roh utusan Dewa Olodumare.

Favorit personal saya adalah Brown Skin Girl, yang seperti judulnya, mengisahkan cantiknya wanita-wanita Afrika dengan kulit gelap mereka. Selain nama-nama besar seperti Lupita Nyong’o, Naomi Campbell, dan Kelly Rowland, ibu Beyoncé, Tina Knowles-Lawson, dan kedua puterinya, Blue Ivy dan Rumi Carter, turut tampil di lagu ini. Sederhana, namun amat menyentuh, pula begitu personal. Saat Beyoncé berkata “Cause you’re beautiful” pada Kelly, ada kehangatan dari senyum tulus dua wanita. Puncak emosinya tentu kala Blue Ivy menutup lagu dengan nyanyiannya. Indah! Semua individu yang terlibat di sini luar biasa. Tapi Beyoncé adalah, well, Beyoncé. Mengenakan total 69 kostum, entah sebagai figur ibu, leluhur yang mengawasi dari “atas”, maupun musisi yang sempurna di segala sisi, pesonanya tiada tanding. Black is king, and Beyoncé is the king of the king.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - ON THE RECORD

1 komentar

“Kamu lebih mementingkan ini daripada urusan ras?”. Demikian tanggapan sebagian black community, saat seorang wanita kulit hitam mengungkap pelecehan seksual yang ia terima dari pria kulit hitam berpengaruh. Si korban dituduh “menggembosi pergerakan” akibat “mencoreng nama baik” si pelaku. Begitulah  saat pergerakan berevolusi jadi kepentingan-kepentingan, di mana keberhasilannya terasa bak kemenangan ego-ego pribadi para anggota semata, ketimbang memajukan kemanusiaan itu sendiri.

On the Record karya Kirby Dick dan Amy Ziering (The Invisible War, The Hunting Ground) menyoroti fenomena di atas melalui rekaman wawancara dengan Drew Dixon dan wanita-wanita lain yang dilecehkan oleh Russell Simmons, co-founder dari label hip hop ternama, Def Jam. Selama 20 tahun lebih, Dixon memendam luka. Bahkan sewaktu gerakan #MeToo mencuat, ia tetap meragu. “Kalau para selebritis kulit putih saja tidak dipercaya, apalagi kami yang berkulit hitam?”, ungkapnya.

Terlebih, Russell Simmons amat dihormati di black community. Dia dijuluki “The Godfather of Hip Hop”. Bukan julukan main-main, sebab musik hip hop sendiri dipandang sebagai media berekspresi orang kulit hitam, yang kebebasannya bersuara sangat dikekang. Dixon khawatir dituduh menggembosi pergerakan, pun tak ingin merusak citra hip hop, yang mana sangat dia cintai.

Sebagai dokumenter, On the Record terasa sangat personal. Sakit rasanya, mendengar Dixon, dengan penuh keberanian, menceritakan malam di mana Simmons memperkosanya, setelah sebelumnya sempat menggoda dan meraba-raba tubuhnya. Semakin menyakitkan, sebab Dixon sendiri bukan figur sembarangan. Dia bukan karyawan rendahan. Dia memegang jabatan eksekutif di divisi A&R, pula produser yang melahirkan sederet karya luar biasa, termasuk jajaran peraih piala Grammy. Wanita sehebat itu, dengan posisi setinggi itu, seolah tidak ada apa-apanya di hadapan pria penguasa.

Tapi penderitaan Dixon belum usai. Pasca pemerkosaan, dia memilih hengkang dari Def Jam, lalu berlabuh di Arista Records, tempat di mana kejayaan kembali ia temukan. Sayangnya, itu cuma seumur jagung. Saat tampuk kepemimpinan berpindah dari Clive Davis ke tangan L.A. Reid, semua terulang. Dixon yang terus menampik ajakan Reid, berujung disabotase karirnya oleh si bos. Deretan musisi muda rekomendasinya selalu ditolak. Siapa saja? Dari Kanye West sampai John Legend!

Muncul pertanyaan perihal kesetaraan. Apabila ada pria dan wanita memegang posisi sama secara de jure, apakah secara de facto mereka setara? Apakah keduanya diperlakukan sama rata? Apakah keduanya memegang kekuatan yang berimbang? Bukti kalau masalah kesetaraan tidak sesederhana itu.

Selain Dixon dan korban Simmons lainnya, On the Record menampilkan para ekspertis selaku narasumber. Walau menginjeksi perspektif baru bagi kisahnya, misal tentang misogyny dalam lingkup industri hip hop, pula konteks historis terkait korelasi isu seksisme dengan rasisme, kehadirannya sempat melemahkan fokus serta dinamika di beberapa titik, karena biar bagaimana pun, penonton takkan memiliki ikatan personal dengan mereka.

Bagi Drew Dixon, musik adalah passion, juga hidupnya. Setelah karirnya hancur di tangan Reid, ia memilih mengasingkan diri dari industri musik, yang juga berarti, mengasingkan diri dari dirinya sendiri. Tahun demi tahun berlalu, sampai ketika memutuskan bercerita kepada The New York Times, Dixon membuka “kotak” tersebut, melahirkan kisah mengenai individu yang menemukan kembali dirinya. Film pun berakhir dengan harapan, namun tak sepenuhnya bahagia. Tidak bagi Dixon, tidak bagi para penyintas lain, tidak bagi semua wanita di seluruh dunia.

Begitu ceritanya dimuat, Dixon mengaku sempat terjebak di “a new dark place”. Dia menceraikan sang suami, tinggal sendirian, dan berusaha “berkenalan lagi” dengan dirinya. Dixon mulai mengajar dan membuat musik lagi, kali ini bersama musisi-musisi muda. Tapi bagaimana dengan para pelaku? L.A. Reid masih berjaya di industri musik, sedangkan Russell Simmons pun lepas dari hukuman. Kabarnya, pada 2019 Simmons kabur ke Bali.

Salah satu narasumber berkata, betapa dulu ia merasa sedih, karena wanita di tahun 1992 masih dihantui kekhawatiran untuk berkata jujur, akibat takut dipandang buruk oleh publik. Ada yang lebih menyedihkan dari itu: Wanita di tahun 2020 masih dihantui kekhawatiran untuk berkata jujur, akibat takut dipandang buruk oleh publik. Memang mustahil menutup On the Record  dengan akhir yang (sepenuhnya) bahagia. Karena realitanya, “happy ending” memang belum terjadi.


Available on HBO MAX

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - BUCIN

Tidak ada komentar

Banyaknya permintaan mengulas Bucin sepertinya didasari harapan membaca caci maki. Lupakan. Itu takkan terjadi. Fakta kalau Chandra Liow melakoni debut penyutradaraan banyak menyulut keraguan, didasari antipati publik terhadap banyak Youtuber. Walau tak memendam antipati serupa, sejujurnya saya pun ragu. Sehingga mengejutkan, ketika Liow berhasil melahirkan karya, yang biarpun dipenuhi lubang, lebih sinematis dibanding setumpuk komedi tanah air. Liow sadar bahwa ia sedang membuat film. Bukan sebatas melucu.

Terkait kisah, judulnya sudah menjelaskan semua, yakni tentang pria-pria bucin. Andovi (Andovi da Lopez) bak budak yang selalu menuruti permintaan kekasihnya, Kirana (Widika Sidmore); Tommy (Tommy Limm) terpaksa mengikuti kemauan Julia (Karina Salim) untuk segera menikah; Jovi (Jovial da Lopez) ragu untuk mengakhiri hubungannya dengan Cilla (Kezia Aletheia); sedangkan Chandra (Chandra Liow), well, seorang jomblo yang kehadirannya sebatas pelengkap.

Keempatnya sepakat mengikuti kelas anti bucin milik Vania (Susan Sameh). Bukan kelas biasa, sebab Vania memakai metode ekstrim, sebutlah membius kliennya, mengurung mereka di escape room, dan lain-lain, yang membuatnya lebih tepat menjadi penerus Jigsaw ketimbang penyandang gelar PhD Psikologi. Apakah akhirnya para protagonis kita memperoleh pelajaran berharga terkait percintaan? Hal itu patut dipertanyakan.

Ditulis naskahnya oleh Jovial (naskah keempatnya setelah Tak Kemal Maka Tak Sayang, Youtubers, dan Modus), Bucin menampilkan masalah-masalah romantika yang familiar. Beberapa dari anda mungkin menganggapnya relatable. Tapi jangan mengharapkan eksplorasi berlapis nan mendalam seputar kompleksitas hubungan. Keempat tokoh utama, khususnya Andovi dan Tommy, mengalami barisan konflik serupa, pun acap kali menjalaninya bersama, namun entah bagaimana, keduanya menarik kesimpulan, kemudian mengambil keputusan berbeda. Jangan sebut “individual differences”. Naskahnya sama sekali tak menyinggung itu. Jovial memaksakan konklusi sesuai kemauannya tanpa menciptakan hasil natural sebagai dampak proses tiap kasus.

Lain cerita tentang pendekatan artistik. Seperti saya sebut di atas, sebagai sutradara, Chandra sadar tengah membuat film. Bukan semata merekam lawakan. Berbagai gaya, termasuk komedi visual diterapkan. Chandra jelas ingin bergaya, kadang terkesan ingin pamer referensi, seperti saat memasukkan kekhasan sineas-sineas yang (mungkin) jadi favoritnya, semisal Edgar Wright. Style over substance? Ya. Apakah keliru? Tidak juga. Setidaknya penyutradaraan Liow membuat Bucin tampil cukup segar. Saya pun yakin, seiring pengalaman serta pendewasaan, kecenderungan “pamer gaya” itu perlahan bakal memudar.

Di luar humor visual, banyolannya cukup menggelitik, ASALKAN bukan soal bucin maupun seksual, yang sudah terlalu sering kita temui. Favorit personal saya adalah running joke tentang Chandra sebagai “(self-proclaimed) master of escape room”. Gading Marten muncul sebagai cameo, seperti biasa menertawakan masalah percintaannya sendiri, yang tak peduli mau diulang berapa kali pun di banyak film, tetap lucu berkat penghantaran sang aktor, ditambah kemasan olok-olok yang selalu berbeda.

Saya menerima pendekatan style over substance dalam penyutradaraan, namun tidak dengan penulisan naskahnya. Memasuki paruh akhir, Jovial memunculkan twist tanpa esensi, yang malah membuatnya kebingungan merangkum pesan utama film. Twist itu memancing pertanyaan-pertanyaan. Apakah karakter Jovial akhirnya memang belajar dari kesalahan? Kenapa semudah itu baginya “lolos”? Bukankah ia tertolong karena kebucinan Cilla yang disalahartikan sebagai “bentuk cinta”? Kalau begitu, apakah film ini memandang bucin sebagai hal negatif atau positif? Pun twist-nya menambah masalah yang sejatinya tak perlu. Bukankah outcome-nya tidak adil bagi Vania, pula wanita-wanita lain di luar sana?

Padahal tersimpan potensi menghadirkan perspektif cukup dewasa, di mana menghilangkan bucin bukan berarti meniadakan cinta dan hubungan (terutama terkait konflik yang dialami Tommy). Sungguh konklusi yang amat disayangkan, mengingat sekali lagi, bagi Chandra Liow, Bucin adalah debut penyutradaraan yang menjanjikan.


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - BENYAMIN BIANG KEROK 2

6 komentar

Terkait Benyamin Biang Kerok (2018), saya termasuk minoritas. Saya tidak menentang, tidak membenci, meski harus diakui, hasilnya jauh dari kata “bagus”. Sangat jauh. Setidaknya ada visi yang jelas, walau apakah visi tersebut cocok diterapkan, patut dipertanyakan. Direncanakan sebagai trilogi, setelah film pertama mendapat respon cenderung negatif, baik perihal ulasan, jumlah penonton (730 ribu tidak sedikit, namun jelas bukan angka yang diharapkan), belum lagi perseteruan hak cipta, kabar perilisan film kedua tak kunjung jelas, sebelum akhirnya tayang di Disney+ Hotstar.

Berbeda dengan pendahulunya, Benyamin Biang Kerok 2 bak produk asal jadi, tanpa arah, yang buru-buru diselesaikan guna mengejar tanggal tayang di streaming platform. Selepas rekap beberapa menit yang tidak banyak membantu akibat kisah film pertamanya kurang meninggalkan kesan, protagonis kita, Pengki (Reza Rahadian), berkata pada penonton, jika petualangannya melawan sindikat mafia pimpinan Said (Qomar) demi menyelamatkan sang pujaan hati, Aida (Delia Husein), bakal lebih seru dari film-film Amerika. Berarti, Hanung bersama trio penulis naskahnya, Bagus Bramanti, Senoaji Julius, dan Hilman Mutasi, masih berniat membuat blockbuster mahal, sarat aksi berteknologi tinggi, juga bertabur CGI.

Tapi itu tidak terlihat. Aksi bisa dihitung jari, sementara CGI, selain kuantitasnya menurun drastis, begitu pula kualitasnya. Ada satu momen yang berpotensi melahirkan hiburan berupa pertarungan absurd, di mana Sabeni (Rano Karno), ayah Pengki, memancarkan laser untuk menghajar habis anak buah Hengki (Hamka Siregar) yang berniat membunuh Pengki, disusul tembakan gelombang dari gitar elektrik Nurlela (Lydia Kandou). Tapi efek visualnya setengah (atau malah seperempat?) matang, yang diperparah oleh kecanggungan pengadeganan Hanung.

Mau dibawa ke mana film ini? Seberapa buru-buru penyelesaiannya? Jangankan pasca-produksi, saya pun mempertanyakan, apakah proses produksi, termasuk pick-up, benar-benar sudah usai jauh-jauh hari? Alurnya sendiri sudah dilukai oleh keputusan memecah cerita. Terasa betul kisah dimulai dari tengah, sehingga tanpa struktur penceritaan layak. Belum lagi, perpindahan antar adegan tidak dijembatani secara mulus, seolah tidak ada stok transisi yang cukup.

Misalnya sewaktu Pengki, Somad (Adjis Doaibu), dan Achie (Aci Resti) hendak pergi ke hutan di Kalimantan menggunakan helikopter, untuk memecahkan misteri harta karun Soekarno, yang diduga jadi incaran utama para mafia. Sayang, helikopter kepunyaan Nyak Mami (Meriam Bellina) tiba-tiba mogok. Lalu Achie berkata, bahwa dia tahu harus berbuat apa. Sejurus kemudian, kita melihat CGI shot yang menampilkan sebuah pesawat di angkasa. Mendadak mereka telah tiba di tujuan. Pesawat siapa itu? Mengapa efek visualnya tampak amat mentah? Bagaimana pula Hengki beserta anak buahnya bisa tahu persis keberadaan ketiganya di tengah hutan keramat?

Paling tidak saya menikmati penampilan para pelakon senior, khususnya Rano Karno dan Lydia Kandou, yang berusaha sekuat tenaga memaksimalkan porsi masing-masing. Reza, bermodalkan kejenakaan gestur serta permainan logat dan warna suaranya pun masih nyaman disaksikan. Satu yang benar-benar mengganggu, terlebih di third act, hanya Aci Resi dengan gerutuan dan rengekan menyebalkan yang tak kunjung berakhir.

Artinya jajaran cast berhasil menyelamatkan film ini bukan? Kata “menyelamatkan” rasanya berlebihan. Paruh akhirnya membuat Benyamin Biang Kerok 2 tidak terselamatkan. Antiklimaks, cuma menampilkan sekelumit aksi singkat berisi serbuan beruang dengan CGI menyedihkan, nomor musikal cringey nan murahan diiringi lagu hip hop, pula konklusi dadakan yang menyisakan banyak subplot tanpa resolusi.

Satu hal paling fatal: rambut Pengki berubah! Itu bukan rambut Pengki, tapi rambut Reza. Pengki beralasan, rambutnya dipotong oleh suku pedalaman. Saya curiga, konklusinya adalah pick-up yang diambil jauh setelah produksi selesai, besar kemungkinan untuk menghapus jembatan menuju film ketiga, yang konon merupakan adaptasi Tarsan Kota (1974). Syukurlah bila memang demikian. Cukup. Berhenti sampai di sini.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

6 komentar :

Comment Page:

REVIEW - CARGO

4 komentar

Urusan kuantitas film fiksi-ilmiah, bahkan di ranah Asia pun Bollywood masih tertinggal. Tapi melalui debutnya, sutradara sekaligus penulis naskah Arati Kadav telah melahirkan karya yang belum (atau bahkan tidak akan pernah) mampu dibuat oleh Hollywood sekalipun. Cargo kental dipengaruhi elemen kultural, baik tradisional maupun populer, yang mempengaruhi pendekatan cerita, pula gaya pengemasannya.

Sekilas Cargo serupa film-film berlingkup sempit dengan latar pesawat luar angkasa yang membicarakan kesendirian, keterasingan, dan eksistensi, seperti Solaris, Moon, atau High Life. Vikrant Massey memerankan Prahastha, astronot yang sudah bertahun-tahun bertugas seorang diri di pesawat Pushpak 634A. Bedanya, Prahastha bukan manusia. Dia iblis. Ya, iblis, setan, atau apalah sebutannya. Dia iblis yang bisa membuat benda-benda di sekitarnya melayang. Bagaimana iblis menjadi astronot?

Alkisah, pada 2027, bangsa keturunan iblis yang disebut Homo Rakshasa, menandatangani perjanjian damai dengan manusia, demi mengubah citra buruk nan menyeramkan mereka. Rakshas Manushya Peace Treaty adalah nama perjanjian itu. Mereka menciptakan program, di mana manusia yang meninggal akan dikirim ke pesawat luar angkasa. Tubuh mereka dikembalikan seperti sedia kala, ingatan mereka dihapus, sebelum kemudian bereinkarnasi.

Tidak ada penjabaran detail, baik santifik maupun magis, soal bagaimana setelah masuk ke suatu ruangan, seseorang dapat bereinkarnasi. Dan rasanya itu tidak perlu. Fokus Cargo adalah soal manusia-manusia (baca: iblis-iblis) yang bertugas. Setiap kisahnya mengajak kita mengintip ke luar pesawat guna mengamati peristiwadi Bumi, selalu timbul pertanyaan yang mendistraksi. Misalnya, “Setelah perjanjian, bagaimana dinamika kehidupan kedua bangsa? Apakah manusia dan iblis saling bersandingan?”.

Berbeda dibanding kompatriot-kompatriot asal Hollywood yang contohnya saya sebut di atas, Cargo bukan kontemplasi sunyi, tidak pula selalu serius, apalagi depresif. Bahkan Arati Kadav mendesain agar filmnya dapat menghibur penonton luas, lewat kejenakaan berbasis keunikan dunianya. Dari radio kita mendengar berita seputar aktris separuh manusia separuh ular, sedangkan suatu talk show di televisi dipandu oleh centaurides.

Arati mampu menyeimbangkan drama kontemplatif dan momen-momen ringan, dengan pacing yang penuh kesabaran, namun tidak draggy. Desain interior Pushpak 634A cukup meyakinkan, sementara CGI yang memadai —mengingat belum jauhnya industri Bollywood melangkah di genre ini— menghidupkan eksterior, juga beberapa elemen terkait sosok serta kemampuan para iblis.

Kisahnya mulai menyentuh pertanyaan yang lebih kompleks selepas kedatangan Yuvishka (Shweta Tripathi), sang lulusan terbaik yang bertugas sebagai asisten Prahastha. Awalnya Prahastha keberatan, tapi begitu menyaksikan Yuvishka bekerja, ditambah lagi ia mempunyai kemampuan menyembuhkan, hatinya mulai luluh. Tidak. Tidak ada romansa klise di antara mereka. Prahastha menyimpan urusan percintaannya sendiri yang selalu ia sembunyikan, sedangkan Yuvishka punya masalah lain untuk dipusingkan.

Ada ganjalan terkait perkenalan kekuatan Yuvishka. Salah satu cargo (sebutan bagi orang meninggal yang dikirim ke Pushpak 634A) diceritakan mengalami luka bakar begitu parah setelah tewas akibat ledakan. Tapi, para cargo sebelumnya tak pernah nampak memiliki luka. Padahal ada yang tewas di kecelakaan lalu lintas, dalam lift, dan lain-lain. Inkonsistensi terkait “rules” di atas, semata-mata muncul hanya untuk membuka jalan bagi Yuvishka unjuk gigi.

Berikutnya, seiring menguatnya hubungan dua tokoh utama, yang dibarengi chemistry solid Vikrant dan Shweta, kisahnya mulai mencuatkan pertanyaan-pertanyaan terkait kehidupan. Sayangnya, naskah buatan Arati cuma menyentuh bagian permukaan, lalai menggali lebih dalam. Alhasil, terjadi beberapa ambiguitas tak perlu (apa pastinya alasan kekuatan Yuvishka menghilang lalu kembali?) pun pesannya terkesan rancu.

Pada dasarnya Cargo bicara tentang “kehampaan” berlatar ruang hampa luar angkasa. Sebelum kedatangan Yuvishka, Prahastha terkekang oleh kehampaan bernama kesendirian, mengalienasi dirinya akibat rasa takut atas kesedihan yang dihasilkan perpisahan, apabila ia menjalin hubungan dengan orang lain. Lalu, lewat kisah para cargo, timbul perungan, “Jika setelah kematian hanya ada ketiadaan berupa akhir cerita, apa perlunya hidup?”.

Sebagaimana disiratkan dalam ucapan Nitigya (Nandu Madhav), petugas yang tiap hari berkomunikasi dari stasiun di Bumi, saat memperlihatkan kekuatan menghilangnya, “Mustahil menghilang sepenuhnya”. Menurut Cargo, selalu ada jejak yang tertinggal saat seseorang mencapai akhir perjalanan. Jejak berupa kenangan dan legacy. Tapi pernyataan tersebut berakhir sebatas gagasan permukaan, tanpa dibarengi penuturan yang mampu menggugah perasaan. Walau membuatnya kurang maksimal, kekurangan tersebut tak melenyapkan pencapaian Cargo, yang sekali lagi membuktikan kapasitas Bollywood menyulap materi kurang bersahabat jadi sajian yang mudah diakses kalangan luas.

Available on NETFLIX

4 komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE DEVIL ALL THE TIME

2 komentar

Beberapa saat sebelum film usai, protagonis kita, Arvin Russell (Tom Holland), duduk dalam mobil, kelelahan, lalu menguap bersamaan dengan terdengarnya pidato Presiden Lyndon B. Johnson di radio, perihal ajakan bagi para pemuda untuk terjun ke Perang Vietnam, guna membuktikan pada komunis bahwa Amerika tak terkalahkan. Seolah kalimat bernada patriotisme itu sekadar omong kosong (dan memang demikian). Momen tersebut melemparkan pikiran saya kembali ke awal film, kemudian mempertanyakan, “Siapa iblis sebenarnya?”.

Diangkat dari novel berjudul sama karya Donald Ray Pollock, The Devil All the Time membuka presentasinya dengan memperkenalkan kita pada Sersan Willard Russell (Bill Skarsgård) yang baru kembali dari penugasannya di Kepulauan Solomon selama Perang Dunia II. Dari namanya, bisa ditebak bahwa Willard merupakan ayah Arvin. Willard menikahi pelayan cafe bernama Charlotte (Haley Bennett), dan selepas kelahiran Arvin, memilih tinggal di perbukitan terpencil di Knockemstiff.

Walau tahun demi tahun telah berlalu, Willard masih dihantui peristiwa mengerikan saat salah satu rekannya disalib dan disiksa oleh tentara Jepang. Willard membunuh si rekan demi mengakhiri penderitannya, tak tahu kalau hal itu justru memberinya derita berkepanjangan. Willard pun membuat tempat ibadahnya sendiri di tengah hutan, memasang salib yang membuatnya terus mengingat kejadian traumatis itu, pun mengajak Arvin kecil berdoa di sana. Melihat mata Skarsgård, kita tahu Willard tak pernah sepenuhnya keluar dari neraka dunia, bahkan terperosok semakin dalam.

Tapi bukan itu saja kisah yang filmnya miliki. Ada soal Helen (Mia Wasikowska), gadis religius yang menikahi Roy (Harry Melling), seorang pengkhotbah radikal; Lenora (Eliza Scanlen), puteri Helen dengan religiusitas serupa sang ibu, yang bertemu Preston (Robert Pattinson) si pendeta pedofil; pasangan suami-istri Carl (Jason Clarke) dan Sandy (Riley Keough) yang melakukan pembunuhan berantai sebagai metode spiritual untuk mendekatkan diri pada Tuhan; juga Sheriff Lee (Sebastian Stan) si polisi korup.

Selain paling menjual, duo Holland-Pattinson juga memberi penampilan terbaik di antara jajaran ensemble cast. Bergaya ala James Dean, Holland mengenyahkan citra “remaja baik-baik” yang didapatnya setelah memerankan Peter Parker, sebagai pemuda yang tak ragu menggunakan kekerasan, karena itulah yang diajarkan sang ayah. Sedangkan Pattinson memudahkan penonton mengutuk karakternya, tapi di saat bersamaan, terpaku, betah menatap layar di tiap kemunculannya.

Begitu banyak kisah dengan latar waktu dan tempat berlainan mampu diatasi oleh naskah yang ditulis sutradara Antonio Campos bersama saudaranya, Paulo Campos. Alih-alih berantakan, banyaknya cabang justru membuat tuturannya padat, di mana dinamika selalu terjaga tanpa satu pun titik membosankan. Pemakaian voice over turut membantu mengarahkan penonton memahami detail maupun keterkaitan antar peristiwa yang cukup rumit. Penulis novelnya, Donald Ray Pollock, menjadi narator dengan suara berat nan parau yang memperkuat atmosfer. Kita bak mendengarkan pria tua yang sudah menyaksikan segala kegelapan dunia, bercerita ditemani sebotol wiski.

Dan tak bisa dipungkiri, The Devil All the Time memang gelap. Sangat gelap. Nuansa depresif membungkus cerita yang dipenuhi kematian, baik pembunuhan maupun bunuh diri, yang ketimbang sadisme, lebih mengedepankan dampak psikis. Belum lagi urusan pelecehan, hingga degradasi moral lain. Perlu/tidaknya semua itu sejatinya patut diperdebatkan, namun jelas bukan tanpa maksud. Membaca cuplikan alur di atas, selain beberapa kejutan yang mempertemukan jalan tiap karakter,mungkin anda sudah bisa menangkap satu lagi benang merah, yakni religiusitas.

Mayoritas kegilaan karakternya didasari pengabdian kepada Tuhan. Tapi ini bukan bentuk menyalahkan agama, melainkan gambaran betapa mengerikan kala penerapan agama itu diinterpretasikan oleh manusia-manusia (baca: warga Amerika) yang tak mampu berpikir jernih akibat goncangan di jiwa mereka. Goncangan yang menurut filmnya, bermula dari peperangan. Bahwa satu persoalan mental akibat perang dapat berdampak panjang serta luas. Semakin mengerikan, karena tidak ada tanda-tanda kalau semuanya segera berakhir, kala para penguasa (pimpinan negara, pemuka agama) masih menyalahgunakan kekuatan mereka. The characters act in the name of God, but it was the devil all the time.


Available on NETFLIX

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - HAMILTON

1 komentar

Hamilton merekam pertunjukan musikal Broadway berjudul sama (tepatnya tiga pertunjukan yang disatukan) karya Lin-Manuel Miranda. Kita bak diajak duduk bersama para penonton di Richard Rogers Theatre yang dapat kita dengar tawa serta tepuk tangannya sepanjang pementasan. Tapi tak sekalipun kita dibawa naik ke atas panggung. Kamera selalu menangkap peristiwa dari depan, bahkan dalam beberapa setup shot (termasuk 13-14 nomor musikal) yang diambil menggunakan Steadicam, crane, dan dolly.

Seolah ada sekat yang tak ingin ditembus sutradara Thomas Kail. Filmnya membiarkan realita panggung tetap berada di panggung, memisahkannya dengan realita sesungguhnya di kursi penonton. Sebab yang ingin diberikan adalah pengalaman menonton. Ketika close up digunakan, tujuannya bukan membaurkan realita, namun sebatas “ganti rugi” atas atmosfer yang takkan dirasakan saat menyaksikan di layar. Pendekatan konvensional mungin bakal melahirkan musikal yang lebih kuat, tapi inilah hasil terbaik yang bisa didapat dari tujuan di atas.

Naskah milik Miranda mengadaptasi buku biografi Alexander Hamilton buatan Ron Chernow. Penyesuaian yang cukup berani, diterapkan. Beberapa yang paling utama adalah penggunaan musik hip hop modern, dan memakai pemain non-kulit putih untuk memerankan para founding fathers Amerika Serikat. Miranda membuat sebuah kisah yang “sangat kulit putih” menjadi kaya keragaman. Manusia-manusia rasis dan penganut white supremacy niscaya kebakaran jenggot mendengar lirik “Immigrant, we get the job done!”.

Miranda sendiri memerankan Hamilton, seorang imigran asal Pulau Nevis, Karibia, yang sepanjang 160 menit kita ikuti perjalanannya. Dimulai dari kedatangannya di New York pada 1776; terlibat perlawanan atas penjajahan Raja George III (Jonathan Groff) bersama teman-temannya, termasuk aristokrat Prancis, Marquis de Lafayette (Daveed Diggs) dan Hercules Mulligan (Okieriete Onaodowan) si mata-mata keturunan Irlandia; menjadi tangan kanan George Washington (Christopher Jackson) selama Revolusi Amerika Serikat; hingga menduduki jabatan Menteri Keuangan selepas kemerdekaan.

Apabila belum terbiasa menonton musikal berbentuk sung-through, mungkin anda akan kesulitan menangkap deretan “pelajaran sejarah” versi Lin-Manuel Miranda. Apalagi bukan cuma dinyanyikan, mayoritas dialog dijadikan rap. Tapi bagi yang familiar, akan mudah terkesima, baik oleh pertunjukannya sendiri, maupun penerjemahannya ke media film.  

Saya terpukau oleh aktor-aktornya, yang tetap prima bergerak lincah penuh tenaga ke tiap sudut panggung sambil melempar bait-bait rap, yang butuh perpaduan stamina dengan teknik pernapasan luar biasa. Saya pun terpukau oleh estetikanya. Permainan tata lampu, pergantian set yang membaur mulus dengan tarian, hingga pusat panggung yang bisa diputar 360 derajat sebagai alat bermain-main dengan blocking, di mana kesempurnaan timing pergerakan dan nyanyian para pemain merupakan kewajiban.

Terkait filmnya, dibantu penyuntingan Jonah Moran, Kail mampu memperkuat penekanan momen, yang di panggung dicapai lewat permainan lampu dan gerak aktor. Kail tahu, kapan mesti memakai wide shot, medium shot, tracking shot, dan close-up, untuk menghadirkan kesan sedekat mungkin dengan menontonnya langsung di gedung pertunjukan. Meski harus diakui pencapaian Hamilton jelas amat bergantung pada kualitas pertunjukannya. 

Sedangkan pilihan musiknya adalah pencapaian tinggi. Hip hop sarat kata-kata tajam selaku wadah kreativitas pengadeganan termasuk kala pertemuan kabinet yang memanas disulap jadi rap battle, R&B, sampai pop dan balada, bersatu menciptakan ragam warna serta dampak rasa. Adrenalin dipacu, air mata pun beberapa kali mengalir. Sedangkan tawa paling banyak hadir setiap George III menampakkan diri. Sosoknya bak badut, sebagai satir atas kekejamannya, yang berkata hendak mengungkapkan cinta kasih terhadap rakyat melalui pembantaian. Pun saya tergelak mendengar keterkejutannya atas pengunduran diri George Washington sebagai Presiden, sebab ia tidak tahu kalau pemimpin negara bisa meletakkan jabatan.

Arogansi, ditambah kekuasaan, mungkin membuat George III lupa, atau bahkan tak peduli soal bagaimana sejarah mencatat namanya. Tapi Hamilton peduli. Begitu pun Aaron Burr (Leslie Odom Jr.). Keduanya boleh berbeda ideologi. Hamilton selalu tancap gas, sedangkan Burr memilih sabar menanti. Tapi, sewaktu bangsa terbentuk, mereka sama-sama ingin meletakkan pondasi bagi buah hati masing-masing. “Gotta start a new nation, gotta meet my son”, ungkap Hamilton dengan mata berkaca-kaca.

Tapi saat urusan legacy berbenturan dengan kotornya politik, penerapannya tak semudah itu. Terjadi aksi saling serang, saling mengkhianati, bahkan tragedi. Dari situlah kita melihat jika film ini (otomatis pertunjukannya pun sama) menolak mengultuskan sang protagonis. Hamilton jauh dari kesan suci, namun bukan berarti legacy-nya sia-sia. Momen penutupnya menyampaikan itu, ketika sang istri, Eliza (Phillipa Soo) menyanyikan nomor emosional, Who Lives, Who Dies, Who Tells Your Story. Sebenarnya bukan di akhir saja Eliza mencuri perhatian. Setiap kemunculannya selalu memancing haru.

Eliza bukan karakter utama. Judul film dan pertunjukan tidak menggunakan namanya, Walau demikian, sebagaimana figur-figur lain, ia merupakan bagian substansial narasi yang tercatat dalam sejarah dan legacy-nya akan selalu dikenang. And of course, that “gasp”. Gestur penutup kecil yang memunculkan banyak pertanyaan. Mengapa Eliza terkesiap? Apakah ia mendobrak batasan realita ruang dan waktu lalu melihat bagaimana legacy-nya diturunkan seiring perkembangan bangsa yang ia saksikan kelahirannya? Ataukah itu momen “breaking the fourth wall” di mana Eliza bertatap mata dengan penonton, menyadari bahwa selama ini pembentukan legacy-nya selalu disaksikan? Atau wujud “tanda seru” dari Lin-Manuel Miranda, guna menutup kisahnya yang bak rangkaian kalimat pernyataan-pernyataan tegas?

Available on DISNEY+ HOTSTAR

1 komentar :

Comment Page: