JUNGLEE (2019)

1 komentar
Junglee, secara mengejutkan berhasil sebagai dua bentuk. Pertama, selaku tontonan edukatif guna mengajak anak-anak mencintai hewan, sekaligus menunjukkan betapa keji para pemburu gading gajah. Kedua, selaku hiburan, berkat kemampuan fisik impresif Vidyut Jammwal dalam memamerkan jurus-jurus Kalaripayattu yang jadi ciri khasnya, tersajilah suguhan laga hard-hitting.

Dibuka oleh kutipan pernyataan Thomas Schmidt yang berbunyi, “No one in the world needs an elephant tusk but an elephant”, Junglee menuturkan cerita mengenai Raj (Vidyut Jammwal), dokter hewan yang membuka praktek di Mumbai setelah 10 tahun lalu meninggalkan rumah setelah kematian sang ibu akibat kanker. Raj menyalahkan ayahnya (Thalaivasal Vijay), yang ia anggap hanya mempedulikan penangkaran gajah miliknya dan tak berusaha maksimal menyembuhkan sang istri.

Memperingati 10 tahun kematian sang ibu, Raj akhirnya bersedia pulang, bereuni dengan sang ayah, berusaha memperbaiki hubungan keduanya, yang terbukti bukan perkara mudah. Di saat bersamaan, para pemburu, yang telah menjadi masalah sejak lama, mulai mengincar gading Bhola, yang diyakini merupakan gading terbesar yang pernah ada. Bhola sendiri adalah sahabat Raj sejak kecil, dan kini sudah tumbuh menjadi pemimpin kawanan.

Tidaklah sulit menebak bakal dibawa ke mana kita oleh naskah buatan Adam Prince (Red Sky, Final Girl). Begitu Raj melancarkan serangan, para pemburu akan berubah jadi yang diburu. Tapi butuh waktu sebelum Junglee memasuki babak baku hantam. Kita terlebih dahulu diajak berkeliling hutan, melihat betapa bahagia gajah-gajah di sana, yang memancing kepedulian kita kepada hewa besar berhati lembut itu.

Pemakaian empat ekor gajah terlatih alih-alih CGI terbukti ampuh memberi hati, karena apa yang kita saksikan adalah makhluk hidup, bukan gambar komputer tanpa nyawa. Keempat gajah tersebut juga piawai beraksi, yang mana melahirkan hiburan tersendiri. Pun mereka tampak menggemaskan, sehingga tak sulit menarik atensi penonton anak. Alhasil, begitu para pemburu melancarkan aksi kejamnya, otomatis kita mengutuk perbuatan tersebut.

Junglee takkan menampilkan kekerasan vulgar, mengingat itu akan menghadirkan kesan eksploitatif, juga bergeser dari intensi mencintai yang diusung. Tapi beberapa momen menyakitkan tetap diselipkan, sebutlah saat sekilas terlihat seorang pemburu memotong gading dari mayat gajah menggunakan gergaji mesin. Bukan pemburu saja yang film ini jadikan target kritik, pula kolektor maupun konsumen produk yang terbuat dari gading, serta tak ketinggalan deretan polisi korup. Sebab tentu saja bisnis kotor berdarah ini takkan berjalan lancar andai tanpa keterlibatan pihak berwajib.

Mencapai separuh durasi, tiba waktunya Vidyut Jammwal unjuk gigi. Sebagai praktisi bela diri sungguhan, sang aktor sanggup memamerkan beragam gerakan luar biasa yang mampu membuat saya terpana. Pada satu sekuen laga, Raj, dengan tangan diborgol, menghajar beberapa polisi memakai gerakan-gerakan akrobatik sambil memanfaatkan benda-benda di sekitarnya. Dibumbui sedikit humor, aksi Vidyut Jammwal itu niscaya bakal membuat Jackie Chan bangga. Penyutradaraan Chuck Russell (A Nightmare on Elm Street 3: Dream Warriors, The Mask, The Scorpion King), meski masih membutuhkan bantuan penyuntingan plus gerak lambat, setidaknya tetap berusaha menangkap detail gerakan Vidyut Jammwal sebanyak mungkin, sehingga deretan aksinya tak pernah kehilangan dampak.

Apabila ada aspek yang pantas disayangkan, itu adalah kurang dimanfaatkannya Pooja Sawant sebagai Shankara. Banyak cara bisa dipakai untuk memaksimalkan kemampuan Shankara sebagai pawang gajah agar karakternya dapat tampil setangguh Raj. Tapi keluhan itu berhasil ditutupi oleh fakta bahwa Junglee sukses menjalankan tugas berat berupa menghadirkan pesan edukatif bagi anak tanpa harus membuat penonton dewasa kebosanan.

1 komentar :

Comment Page:

NOTEBOOK (2019)

2 komentar
“Sekolah harus menjangkau muridnya”. Itulah alasan ayah Kabir (Zaheer Iqbal) membangun sekolah apung di tengah danau di Kashmir, supaya anak-anak di area terisolasi tetap berkesempatan mengenyam pendidikan. Selepas kredit bergulir di akhir, saya hanya bisa menyesalkan mengapa prinsip tersebut urung dipertahankan sebagai jantung Notebook, yang tak pernah mengeksplorasi sisi pendidikannya secara layak.

Film garapan Nitin Kakkar (Filmistaan, Mitron) ini merupakan remake resmi dari drama-romansa Teacher’s Diary, yang menjadi perwakilan Thailand di ajang Oscar tahun 2015. Sebagai remake, tentu perubahan tak bisa ditahan, termasuk beberapa penyesuaian terkait kultur. Pun sejak momen pertamanya, tatkala seorang bocah tewas akibat ledakan ranjau, Notebook telah menegaskan perbedaannya. Film ini tak “sepolos” pendahulunya.

Adegan pembuka itu bertujuan memberi latar belakang bagi Kabir, yang setelah keluar dari militer, memutuskan mengajar di sekolah apung sang ayah yang kini dikelola pemerintah. Posisi guru di sana kosong pasca kepergian Firdaus (Pranutan Bahl). Setibanya di sekolah, Kabir menemukan buku catatan milik Firdaus, yang berujung memotivasinya, sebab tanpa pengalaman mengajar, ia seringkali kerepotan. Bukan itu saja, Kabir pun mulai mencintai Firdaus.

Teacher’s Diary mencuri hati penonton berkat keluguan kisah cinta mengenai terpikat pada seseorang yang tak pernah kita temui. Terdengar terlampau romantis untuk jadi kenyataan, namun itulah mengapa premisnya berhasil. Secara berlawaan, keputusan memakai Kashmir sebagai latar, menggiring Notebook menuju area lebih serius, mengingat terdapat beragam isu pelik di sana, seperti represi hingga tumbuhnya kelompok teroris ekstrimis. Notebook gagal membuat romansanya sesuai dengan penyesuaian kulturnya.

Begitu pula soal penokohan Kabir. Dia terjebak rasa bersalah, yang kelak mendorongnya menolong para murid sekolah apung sebagai usaha menebus dosa. Bukan saja elemen itu kurang mendapat eksplorasi karena sebatas dipresentasikan lewat flashback di antara flashback, menjadikan Kabir sosok (lebih) serius dengan masa lalu kelam membuat beberapa situasi menggelitik yang dicomot dari film aslinya terasa janggal.

Contohnya, dalam Teacher’s Diary, merupakan kelucuan yang wajar sewaktu sang guru bersikap konyol menyikapi menyusupnya seekor ular ke dalam kelas. Sementara dalam Notebook, pemandangan itu justru mengganggu, mengingat Kabir adalah mantan militer, ditambah cara Zaheer Iqbal menangani karakternya. Itu pula alasan romansanya tidak bekerja dengan baik.

Terdapat risiko tinggi pada premisnya, karena penonton mesti terpikat oleh romansa dua manusia yang tak pernah bersama di layar sebelum babak terakhir (atau adegan terakhir di Teacher’s Diary). Tapi, saat si protagonis pria tak memancing impresi yang impresif, mencuri hati penonton pun makin berat. Ditambah lagi, naskah buatan Shabbir Hashmi terburu-buru memaparkan proses Kabir membaca tulisan Firdaus. Dia telah jatuh cinta sebelum penonton sempat menyelami pengalaman-pengalaman yang Firdaus tuangkan.

Firdaus sendiri terjebak berbagai hal seputar pengekangan atas kebebasan. Dia dianggap sebagai guru tercela akibat tato bintang di tangan serta cara mengajar inkonvensional. Belum lagi kegemaran sang kekasih (Muazzam Bhat) mengatur hidupnya. Penonton diharapkan mendukung kemerdekaan Firdaus, tapi porsi minim yang diberikan menghalangi itu. Pun kembali, masalah timbul akibat modifikasi yang Notebook lakukan. Kali ini seputar penemuan mayat di bawah jamban sekolah, di mana bukan Firdaus yang mengangkatnya dari air. Terdengar remeh, tapi efeknya besar, sebab momen ini berperan penting menggambarkan pertumbuhan karakternya.

Di pertengahan, kita bertemu Imran, murid tercerdas yang berhenti sekolah akibat larangan ayahnya. Latar Kashmir memfasilitasi filmnya membahas terorisme dalam konflik tersebut, guna menyuarakan pesan anti-peperangan dan anti-kekerasan. Bukan masalah, malah bisa menambah bobot narasi sekaligus memperkuat aspek identitas budaya. Masalahnya, hal di atas justru menjauhkan konklusi Notebook dari tuturan tentang edukasi dan kegiatan mengajar. Ya, terdapat pertentangan mengenai “Perlukah Imran bersekolah?”, namun paparannya tenggelam oleh isu-isu tadi.

Apalagi, sepanjang durasi kita tak banyak menyaksikan aktivitas kelas berisi teknik mengajar unik selaku kritik untuk metode konvensional (Teacher’s Diary mempunyai “adegan kereta api”). Bukan soal bila filmnya memang tak berniat menyentuh problematika itu, namun faktannya tidak demikian, sehingga terciptalah penceritaan setengah matang.

Saya sadar banyak membandingkan Notebook dengan film aslinya. Bukankah remake berhak dipandang sebagai karya yang berdiri sendiri? Benar, tapi secara bersamaan, wajib pula mewarisi semangat pendahulunya. Notebook gagal mempertahankan semangat Teacher’s Diary, walau bagi mereka yang belum menonton versi Thailand tersebut, mungkin takkan banyak terganggu. Setidaknya deretan humornya cukup efektif memancing tawa, sementara alam Kashmir terhampar indah berkat penataan kamera Manoj Kumar Khatoi (Budhia Singh: Born to Run, Mitron).

2 komentar :

Comment Page:

ARCTIC (2018)

Tidak ada komentar
Meski bukan yang pertama melakukannya, Arctic tetap patut mendapat tempat spesial di jajaran film survival terkait tuturannya yang bukan cuma berkutat soal “every man for himself”, melainkan tentang usaha mempertahankan hati nurani dan sisi kemanusiaan, bahkan tatkala insting dasar manusia untuk bertahan hidup mengambil alih, di tengah situasi kritis saat maut mulai mengintip.

Film dibuka dengan memperlihatkan Overgård (Mads Mikkelsen) tengah menggali salju. Begitu telaten ia melakukan itu termasuk memindahkan batu yang menghalangi jalan, wajar jika mengira Overgård adalah tukang gali salju. Sampai terungkap jika rupanya ia sedang membuat tulisan “SOS” besar di sebuah tempat antah berantah di Lingkar Arktik setelah pesawatnya jatuh.

Overgård sendirian, meski tersirat bahwa pesawatnnya mengangkut penumpang lain saat dia mendatangi suatu tumpukan batu yang nampak seperti nisan. Tapi satu hal pasti, Overgård harus berjuang bertahan hidup seorang diri. Kesehariannya selalu sama: mengecek apakah umpannya berhasil memancing ikan, lalu memancarkan sinyal marabahaya, berharap memperoleh respon. Setelah beberapa lama, alarm jam tangannya berbunyi, pertanda Overgård mesti berpindah ke aktivitas berikutnya.

Semua hal di atas merupakan elemen standar film survival, yang bertujuan memberi penonton pemahaman bagaimana karakternya mengakali keterbatasan demi bertahan hidup. Sudah berulang kali menyaksikan pemandanga serupa, saya tetap mendapat kepuasan, sebab sekuen semacam itu selalu melibatkan kreativitas protagonisnya menyusun rencana yang tak jarang penuh keunikan.

Pada mayoritas kesempatan, Arctic memang mengikuti pola genrenya. Berarti, anda harus bersiap melihat gambar-gambar menyakitkan berisi luka-luka yang Overgård alami. Pun bisa saja Arctic terus bertahan di jalur formulaik, mengingat masih terdapat daya tarik kala menanti bagaimana cara Overgård keluar dari ragam permasalahan, khususnya setelah ia menyadari ada beruang kutub yang menjadi “tetangganya”.

Tapi formula tersebut mempunyai batasan, dan para penulis naskah yang terdiri atas duet Ryan Morrison bersama sang sutradara, Joe Penna, memahami betul batasan itu, sehingga mereka memberikan titik balik di alurnya. Saya tak bisa mengungap insiden pastinya, tapi setelah itu, Overgård tidak lagi sendirian. Ditinjau dari sudut pandang penceritaan, insiden itu memberi bobot emosi sekaligus tujuan bagi narasinya. Sekarang ada tujuan jelas yang mesti dicapai daripada “cuma” usaha bertahan hidup.

Didorong alasan logis, Arctic pun menjadi film minim dialog, dan itu melahirkan tantangan lebih bagi Joe Penna selaku pencerita. Beruntung, sang sutradara adalah pencerita visual yang bertalenta. Penna memakai dua jenis shot guna menjabarkan detail, supaya penonton bisa memahami segalanya, termasuk isi pikiran si protagonis. Dua shot tersebut yaitu penggambaran lingkungan sekitar dan ekspresi Mikkelsen, yang muncul silih berganti. Kamera yang kerap menangkap reaksi Overgård berfungsi menggiring penonton masuk ke dalam pikirannya, mengira-ira apa yang dipikirkannya.

Berkat kepiawaian Mikkelsen bicara bannyak melalui mata maupun ekspresi wajah membuat segalanya jelas. Kemudian, begitu situasi semakin genting, sang aktor pun semakin habis-habisan menghidupkan kondisi tatkala luka fisik pula psikis mendorongnya menuju ketidakberdayaan dan keputusasaan yang menyakitkan. Bertambah sukar bagi psikis Overgård, sebab ia pun terjebak dalam ujian terhadap nuraninya.

Overgård bisa saja bersikap egois, memilih mengambil jalan yang lebih aman nan mudah tanpa perlu bersusah payah menantang maut. Tidak ada yang akan menyalahkannya, karena demikianlah insting bertahan hidup manusia. Di sebuah kesempatan, Overgård sempat terdoronng untuk mengikuti insting itu, hingga alam “menghukumnya”, membuatnya menyadari kalau tak semestinya ia meninggalkan peri kemanusiaannya di bentangan salju Arktik.

Biarpun cuma bergulir sepanjang 97 menit, keterbatasan materi di naskahnya semakin lama semakin kentara, dan memproduksi beberapa penurunan intensitas. Sementara keputusan Penna menghindari pendekatan dramatis bagi konklusinya (yang diharapkan menghadirkan penebusan emosional) harus diakui berpotensi mengecewakan beberapa kalangan. Tapi sejatinya, pilihan tersebut sesuai dengan kesunyiann serta kesubtilan sepanjang film. Penna hanya berusaha menjaga supaya Arctic tidak tersasar keluar jalur.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

MATIANAK (2019)

6 komentar
Sesungguhnya MatiAnak memiliki karakteristik serupa horor lokal kelas menengah ke bawah yang rutin dirilis tiap minggu, seperti pondasi cerita lemah yang memaksakan diri menutup kisahnya lewat twist dan sepenuhnya mengandalkan jump scare untuk menakut-nakuti. Tapi saat mayoritas film tersebut hanya berujung menghasilkan sakit kepala, setidaknya MatiAnak cukup menyenangkan berkat keberhasilan satu aspek: timing.

Berlatar tahun 90-an di panti asuhan yang dikelola oleh tangan besi Pak Rosman (Yayu Unru), yang tak segan menerapkan hukuman fisik bagi anak-anak. Beruntung, mereka memiliki Ina (Cinta Laura Kiehl), si pengurus berhati lembut. Hinngga suatu hari, datang anak baru bernama Andi (Jovarel Callum) yang pendiam, aneh, dan tanpa mereka ketahui, telah secara brutal membantai keluarganya sebagaimana kita saksikan pada adegan pembuka.

Sejak kedatangan Andi, hal-hal misterius mulai menimpa para penghuni panti asuhan, dan tentu saja semua itu cuma terjadi pada malam hari. Naskah garapan William Chandra (3Sum) dan Wendy Chandra memang mengikuti pendekatan formulaik, di mana malam merupakan fase teror, sementara di siang hari, tiba saatnya melambatkan laju guna memberi kesempatan pengembangan cerita dan karakter untuk bergulir. Hampir seluruh horor arus utama menerapkan metode tersebut, namun di MatiAnak, pembagian waktu itu begitu kentara, dan setelah beberapa saat, semakin terasa melelahkan akibat repetisi.

Setidaknya, berbeda dengan kompatriotnya sesama horor lokal dengan formula setipe, tiap matahari terbit, MatiAnak bukanlah snoozefest. Ikatan kebersamaan antara penghuni panti mampu dibangun, sebagai sekumpulan individu yang tak lagi memiliki siapa pun kecuali satu sama lain. Terpenting, karakternya tampil layaknya manusia semestinya. Cinta bermain solid, sementara Yayu Unru kembali membuktikan jangkauan akting luasnya lewat variasi gestur dan penghantaran kalimat, tapi narasi soal kebersamaan itu takkan berhasil andai jajaran penampil cilik yang digawangi Fatih Unru gagal menciptakan dinamika.

Bicara soal hubungan Ina dan para bocah, interaksi mereka menyimpan cukup nyawa guna membangun intensitas, seperti saat banjir darah mulai menggenangi panti asuhan. Saya menyukai momen saat Ina mengikuti jejak darah di lantai, sedangkan beberapa anak berteriak, tapi bukan teriakan omong kosong, melainkan teriakan kekhawatiran supaya kakak asuh mereka berhati-hati. Sebuah sentuhan kecil yang sekilas terkesan remeh, namun menciptakan sense of urgency, aroma ketakutan, dan menggambarkan betapa karakternya saling peduli.

Eksekusi terornya sendiri sebenarnya memakai metode konservatif, yakni jump scare tanpa inovasi berisi kemunculan tiba-tiba hantu ditambah musik menggelegar. Pun tak jarang, penyuntingan adegannya terlalu cepat sehingga sulit memastikan apa yang nampak di layar. Dentuman musiknya yang memberitahu bahwa tengah terjadi peristiwa mengerikan. Tapi sekali lagi, poin terpenting terletak di timing.

Melalui debut penyutradaraannya, Derby Romero (rumor has it that’s not the case, but for now let’s stick with the official credit) membungkus penampakan pasukan makhluk halusnya dengan ketepatan timing. Seolah ia tahu kapan penonton berekspektasi hantu bakal menyerang, lalu secara cerdik mempermainkan ekspektasi itu. Sehinngga tanpa hal baru atau kreativitas luar biasa pun, MatiAnak cukup sukses memancing teriakan penonton. Selain jump scare, film ini juga memfasilitasi para pecinta gore lewat kekerasan, banjir darah, atau kondisi kematian yang mengerikan.

Sayang, klimaksnya terlalu jinak. Padahal lewat eksekusi lebih eksplisit, efek dari konklusinya yang suram nan tragis bisa lebih menusuk. Kalau alasannya demi menghindari gunting sensor, kenapa repot-repot mempertahankan konsep itu? Bukankah lebih bijak mencari alternatif yang tak membutuhkan sadisme untuk menciptakan dampak? Ditambah paparan twist dengan pondasi lemah yang tampil kacau dan malah menghasilkan kerumitan tak perlu, paruh akhir MatiAnak memang nyaris mematikan keunggulan filmnya.

6 komentar :

Comment Page:

THE HOLE IN THE GROUND (2019)

1 komentar
The Hole in the Ground melangkah di garis batas antara “horor hipster” yang identik dengan atmosfer, studi karakter, serta tempo lambat, dengan teror arus utama yang mengutamakan hiburan sarat jump scare. Sayang, alih-alih berhasil menyeimbangkan tiap sisi, film garapan Lee Cronin (segmen Ghost Train di antologi Minutes Past Midnight) ini justru berakhir campur aduk, gagal memenuhi potensi di kedua pendekatan beda gaya tersebut.

Lubang raksasa misterius di tengah hutan, makhluk berkemampuan alih wujud, anak kecil menyeramkan, hingga kematian tak wajar dalam posisi mengerikan. Menyaksikan film ini membuat saya terbayang apa jadinya bila komikus Junji Ito menekan kegilaannya untuk membuat film hibrida antara The Thing dan The Omen. Sungguh. The Hole in the Ground bisa sebagus itu, bahkan berpotensi menjadi “Penerus Hereditary” bila penggarapannya maksimal.

Sarah (Seána Kerslake) bersama puteranya, Chris (James Quinn), baru saja pindah rumah ke suatu daerah pinggiran di sebelah hutan. Disiratkan bahwa kepindahan tersebut didorong perilaku abusive sang suami terhadap Sarah. Sementara Chris adalah bocah pendiam yang kurang menyukai sosialiasi dan memilih menghabiskan waktu bermain action figure. Tapi niat Sarah memulai hidup baru nan bahagia tampak takkan berjalan mulus pasca bertemu wanita tua misterius bernama Noreen (Kati Outinen). Konon kabarnya, Noreen melindas anaknya setelah meyakini bocah itu merupakan makhluk yang menyerupai wujud sang putera.

Awalnya Sarah percaya akan anggapan warga setempat bahwa Noreen hanya wanita gila, namun tak lama kemudian, hal serupa turut menimpa dirinya. Di suatu malam, saat tengah mencari Chris yang berlari ke hutan, Sarah menemukan lubang berukuran masif menganga di tanah. Mungkin lubang itu disebabkan sebuah benda bak meteor yang sesaat sebelumnya dapat kita saksikan dari kejauhan sedang melintasi langit.

Sarah berhasil menemukan Chris. Bocah itu baik-baik saja, tapi sang ibu merasakan perbedaan. Dia berperilaku manis, patuh, dan aktif bergaul di sekolah, yang mana merupakan sikap-sikap yang sejatinya didambakan Sarah. Ketimbang bahagia, Sarah justru dilanda kecemasan. Dari sinilah naskah buatan Lee Cronin bersama Stephen Shields memunculkan ironi yang secara subtil mempertanyakan, “Apakah seorang anak memang lebih baik menjadi sebagaimana keinginan orang tua?”. Serupa Hereditary atau The Babadook, The Hole in the Ground menyentuh area seputar sisi gelap parenting. Pun konklusinya yang cenderung suram mampu menampar selaku penggambaran mengerikan tentang bagaimana pengalaman traumatis memancing sikap posesif orang tua terhadap anak.

Tapi The Hole in the Ground terlampau berkonsentrasi mengumpulkan subteks hingga melupakan jalinan alur permukaan yang solid. Sarah mulai mencurigai, apakah Chris sekadar melewati fase perubahan layaknya anak-anak kebayakan atau benar-benar telah digatikan oleh makhluk alih wujud. Lee dan Stephen membuat segalanya terlalu jelas, urung bermain-main dengan ambiguitas untuk melahirkan misteri menarik. Sederhananya, seluruh elemen film ini mudah ditebak, yang mana bukan sebuah dosa selama fase prosesnya menyimpan daya tarik. Masalahnya, selain ketiadaan misteri, The Hole in the Ground pun kekurangan pemandangan mencekam.

Bukan berarti tiada pengadeganan solid, sebab saya masih menemukan beberapa pertanda talenta mumpuni di penyutradaraan Cronin, seperti saat ia cerdik membangun intensitas kala nyanyian Chris tiba-tiba bertransisi menuju gemuruh tepuk tangan. Problema terletak di inkonsistensi. Beberapa imageries memancarkan kengerian, namun banyak pula yang jatuh ke ranah teror generik. Usaha memuaskan penonton umum lewat jump scare pun jauh dari impresif, akibat eksekusi medioker dibarengi keklisean musik berisik karya Stephen McKeon (The Tiger’s Tail, Blind Fight). Klimaks yang berpeluang jadi juru selamat justru minim energi, kreativitas, maupun tensi. Patut disayangkan, mengingat Seána Kerslake menghadirkan performa kuat sebagai ibu yang menghadapi teror berujung masalah psikologis.

1 komentar :

Comment Page:

DUMBO (2019)

17 komentar
Di atas kertas, pilihan menunjuk Tim Burton sebagai sutradara adaptasi live action dari animasi berjudul sama rilisan tahun 1941—yang juga adaptasi novel karya Helen Aberson dan Harold Pearl—ini adalah pilihan masuk akal. Berlatar sirkus penuh anggota unik, menampilkan Colin Farrell sebagai ayah berlengan satu, dan punya protagonis seekor gajah terbang yang dianggap hina karena telinga lebarnya. Sepanjang karirnya, Burton terbukti ahli menangani sosok-sosok eksentrik yang diremehkan karena dipandang aneh.

Tapi sentuhan sang sutradara kentara memudar belakangan ini. Ketika Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children (2016)—film dengan materi yang seolah ditakdirkan khusus untuk Burton—berakhir selaku tontonan ala kadarnya, saya yakin “Burton lama” telah hilang. Setidaknya sampai ia bersedia menepi sejenak dari dunia film studio berbujet besar yang menghalangi keleluasaannya. Tapi rasanya itu takkan terjadi dalam waktu dekat.

Dumbo pun serupa, tatkala Burton kesulitan memadupadankan keanehan dengan drama manis. Sayangnya, “manis” dan “Tim Burton” bukan dua hal yang serasi. Alhasil, sekali lagi kita disuguhi identitas khas karya modern sang sutradara: tontonan mudah dilupakan penuh latar CGI yang tak seberapa cantik, kreatif, apalagi menghadirkan terobosan visual.

Padahal kisahnya memiliki materi memadahi guna melahirkan drama keluarga menyentuh. Sepulangnya dari Perang Dunia I, Holt Farrier (Colin Farrell), kembali ke sirkus milik Max Medici (Danny DeVito), tempatnya dahulu angkat nama sebagai penunggang kuda. Tapi bukan saja mendapati kudanya telah dijual untuk menutup kesulitan ekonomi, Holt turut kelabakan menjalin hubungan dengan kedua anaknya, Milly (Nico Parker) dan Joe (Finley Hobbins). Tidak seperti mendiang istrinya, Holt tak tahu cara berkomunikasi dengan mereka.

Saya tidak menyalahkan Holt, sebab anak-anaknya, terlebih sang puteri yang bermimpi menjadi ilmuwan (elemen yang urung mendapat pengembangan maupunn payoff layak), bicara layaknya orang dewasa. Naskah tulisan Ehren Kruger (Transformers 2-4, Scream 3, The Ring) memaksa Milly bertutur terlampau bijak, yang acap kali menyulitkan si aktris cilik memberi penampilan maksimal.

Tanpa kudanya, Holt ditugasi merawat gajah bernama Jumbo yang tengah mengandung. Bayi Jumbo diharapkan dapat menarik pengunjung. Tapi begitu Dumbo (awalnya bernama Baby Jumbo) lahir dengan telinga super lebar, harapan itu perlahan sirna. Kelainan fisik Dumbo dianggap bencana, hingga Milly dan Joe mengetahui bahwa kepakan telinga itu mampu menerbangkan si gajah kecil ke angkasa.

Tentu orang-orang dewasa tak seketika mempercayai pengakuan dua bocah itu, memberi tantangan bagi mereka untuk membuktikan bahwa alih-alih kegagalan, Dumbo merupakan keajaiban. Pun merupakan tantangan bagi Burton mengeksekusi debut Dumbo terbang di hadapan penonton, yang patut disebut momen “make it or break it” filmnya, dan menentukan apakah atensi penonton bakal terjaga atau tidak. Beruntung, dibantu orkestra menggugah garapan Danny Elfman (Good Will Hunting, Big Fish, Spider-Man) Burton mampu menciptakan pemandangan uplifting agar Dumbo punya cukup tenaga melangkah ke fase berikutnya.

Fase tersebut memperkenalkan kita kepada V. A. Vandevere (Michael Keaton), pengusaha dunia hiburan yang berhasrat menjadikan Dumbo bagian pertunjukkan taman bermain Dreamland miliknya. Eva Green pun turut serta memerankan pemain trapeze dengan julukan “Queen of the Heaven” lewat aura menghipnotis seperti biasa. Mereka berdua mendatangi sirkus milik Max, menawarkan kerja sama bagi seluruh penampil, meski kita tahu betul ia hanya ingin merebut Dumbo.

Lalu apa yang terjadi pasca bergabungnya sirkus dengan kemeriahan Dreamland? Latihan dan atraksi terbang tentu saja. Dumbo berlatih lalu tampil di pertunjukan yang senantiasa menghasilkan masalah. Terus demikian, sampai membuat film ini bagai 112 menit kombilasi latihan terbang tanpa dibantu narasi memadahi. Saya dibuat bertanya-tanya, apa yang naskahnya coba sampaikan? Nilai kekeluargaan? Larangan menilai orang hanya lewat penampilan luarnya? Ajakan untuk berbuat baik? Semua ada dan dicampur paksa. Dampaknya, konklusi Dumbo gagal mengaduk perasaan, sebab proses yang karakternya lalui tak pernah jelas.

Klimaksnya melibatkan misi penyelamatan, tatkala para anggota sirkus berkesempatan unjuk gigi kemampuan masing-masing (Butuh waktu lebih dari 90 menit sampai mereka menjadi lebih dari sebatas pajangan). Momen tersebut bisa terasa menghibur sekaligus rewarding andai (A) Bukan cuma numpang lewat; dan (B) Bersedia mengeksplorasi unsur soal orang-orang (dan hewan) “aneh” yang senantiasa dicemooh. Mungkin naskahnya menghindari kesan eksploitatif, lalu memutuskan bermain aman dengan menyajikan kisah setengah matang.

Filmnya begitu datar dan dingin, hanya menyisakan mata serta senyum Dumbo sebagai satu-satunya hal yang memancarkan hati. Sebuah adegan berpotensi tampil magis, ketika gelembung-gelembung sabun raksasa membentuk wujud cantik gajah-gajah merah muda. Sayang, keajaibannya seketika memudar kala Burton menyusunnya sebagai sekuen konyol dan cartoonish. Sama seperti keseluruhan Dumbo, yang menjadi salah satu adaptasi live action modern Disney terburuk akibat kehilangan sihir sumber adaptasinya.

17 komentar :

Comment Page:

MY STUPID BOSS 2 (2019)

9 komentar
Walau kelucuannya fluktuatif, My Stupid Boss (2016)—adaptasi novel berjudul sama karya Chaos@work yang sukses mengumpulkan lebih dari tiga juta penonton—menghembuskan angin segar bagi genre komedi tanah air. Ketika banyak komedi kita kurang memperhatikan tampilan sinematik, saya terkejut mendapati Upi (30 Hari Mencari Cinta, Belenggu, My Generation) dan tim artistiknya amat memperhatikan detail pemilihan warna maupun properti. Belum lagi membahas transformasi ikonik Reza Rahadian.

Memasuki film kedua, kelebihan-kelebihan tadi mampu dipertahankan. Di salah satu kesempatan kita bisa melihat pulpen, kalkulator, sampai kertas diberi warna merah muda yang senada, sementara pencahayaan di set kamar hotel Vietnam tak kalah memanjakan mata. Demikian pula Reza yang mampu mengangkat humor terlemah sekalipun lewat talenta komikal kreatifnya, entah dari gestur maupun percampuran Bahasa Indonesia, Malaysia, Jawa, dan Inggris (semaunya).

Biar begitu, secara natural daya kejut milik keunggulan-keunggulan tersebut jelas memudar. Selaku penulis, Upi memahami risiko itu, lalu memutuskan mengikuti formula sekuel kebanyakan dengan membuat filmnya lebih besar, baik soal kegilaan komedi atau skala cerita. Bukan cuma berlatar di kantor dan Malaysia, karakternya mengajak kita berjalan-jalan menuju Vietnam.

Dipicu kepelitan Bossman (Reza Rahadian) yang menolak membelikan mesin pemotong kayu baru, sebagian besar karyawan pabriknya memutuskan keluar. Sebagai solusi, Bossman membawa Kerani (Bunga Citra Lestari), Mr. Kho (Chew Kinwah), dan Adrian (Iedil Putra) ke Vietnam guna mencari karyawan baru dengan harga murah dengan bantuan warga lokal bernama Nguyen (Morgan Oey). Secara bersamaan, Bossman pun menghadiri pertemuan pebisnis furnitur se-Asia selaku pembicara. Makhluk macam apa yang mengundang pebisnis gagal seperti dia?

Tentu anda tak perlu repot-repot memikirkan logika semacam itu, karena di sini, Upi menambah absurditas yang sesungguhnya sudah cukup tinggi di film pertama. Seperti pendahulunya, sederet lelucon gagal mendarat tepat sasaran, entah akibat penulisan atau penyutradaraan Upi yang kerap lalai memperhatikan timing melempar kelucuan. Fluktuasinya memang cukup ekstrim. My Stupid Boss 2 bisa begitu datar di satu waktu, lalu luar biasa lucu di kesempatan lain.

Beruntung para pemain tampil total, sehingga kehadiran lelucon hambar pun tak sampai taraf mengganggu. Bukan cuma Reza, Morgan sebagai pria Vietnam berdarah panas, juga kelima anak buah Bossman dengan variasi kepribadian yang makin kuat. Saya suka adegan saat Kerani dikelilingi oleh teman-teman sekantornya. Menangkapnya dengan close up, Upi menjadikan situasi tersebut sebuah pameran akan kepiawaian para pemain memerankan tokoh-tokoh kaya warna. Tapi absurditas terlucu justru ditampilkan dua nama lain, yakni Shahil Shah dan Verdi Solaiman sebagai dua kubu gangster berlawanan yang datang untuk menagih hutang Bossman. Keduanya habis-habisan mengerahkan bakat komedik masing-masing dalam sebuah “pertempuran epic” yang takkan anda duga kemunculannya.

My Stupid Boss 2 bergulir cukup pendek, hannya 96 menit (film pertamanya 108 menit), membuatnya lebih padat dan dinamis, khususnya saat Upi menggulirkan kisahnya dalam kecepatan penuh. Namun, dari segi narasi, My Stupid Boss 2 mempunyai kelemahan serupa pendahulunya, yaitu third act. Jika film pertama memaksakan diri beralih ke drama demi menunjukkan kebaikan terpendam Bossman, kali ini (dengan motif nyaris sama), third act-nya melompat menuju penceritaan berbeda. Walau telah disiratkan sebelumnya, kisah yang mengisi klimaksnya jelas beranjak dari rute yang filmnya tempuh di mayoritas durasi. Beruntung, idenya cukup gila untuk menghadirkan tawa. 

9 komentar :

Comment Page:

MARD KO DARD NAHI HOTA (2018)

9 komentar
Mard Ko Dard Nahi Hota, atau yang memiliki judul internasional The Man Who Feels No Pain, mengisahkan dua jenis manusia: Seorang pria yang tak mampu merasakan sakit dan wanita sering merasakan sakit tapi tak pernah mengeluhkannya. Penokohan itu saja sudah cukup menyuntikkan dinamika menarik dan sedikit sentuhan humanistik dalam film penuh baku hantam yang memenangkan segmen Midnight Madness pada ajang Toronto Internasional Film Festival tahun lalu.

Sang pria bernama Surya (Abhimanyu Dassani), menderita congenital insensitivity to pain, sebuah kelainan medis langka yang meniadakan kemampuannya merasakan sakit. Hal itu membuat sang ayah (Jimit Trivedi) berusaha membatasi pergerakan Surya, termasuk mengikat tangan dan kakinya, serta memakaikannya goggles. Bisa dipahami, sebab Surya bisa terluka, berdarah, tulangnya bisa patah, namun ketiadaan rasa sakit membuatnya sulit mengukur seberapa bahaya suatu luka.

Surya kecil pun jarang keluar rumah, terlebih setelah dikeluarkan dari sekolah karena terlibat perkelahian. Beruntung ia memiliki sang kakek, yang diperankan Mahesh Manjrekar lewat gaya akting yang mengingatkan saya akan Rocky-nya Sylvester Stallone di dua film Creed (topi yang ia kenakan pun sama). Melalui sang kakek, Surya berkenalan dengan ratusan film laga yang ia saksikan melalui VHS. Dari situlah kepribadiannya terbentuk.

Semenjak itu, Surya bermimpi ingin menjadi martial artist agar bisa memberantas kejahatan. Intensi tersebut dipicu dua hal: Kematian sang ibu di tangan perampok kala baru melahirkan Surya dan karena ia sering menyaksikan sahabatnya, Supri (Radhika Madan), jadi korban tindak kekerasan oleh ayahnya yang pemabuk. Hingga Surya menemukan rekaman berisi kumite melawan 100 orang yang dijalani pria berkaki satu misterius bernama Karate Mani (Gulshan Devaiah). Terpukau, Surya yang menghabiskan masa mudanya hanya berkutat di rumah pun diam-diam berlatih bela diri dan tumbuh sebagai petarung handal.

Tentu di realita kita takkan bisa semudah itu menguasai bela diri hanya lewat menonton film. Tapi Mard Ko Dard Nahi Hota memang bukan suguhan realis, bahkan cenderung menolak tampil serius. Ditulis sekaligus disutradarai Vasan Bala (Peddlers) yang terinspirasi kisah seorang pasien dokter gigi yang tak memerlukan anestesi, film ini murni ingin bersenang-senang sebagaimana Vasan ingin mengulang kembali kebahagiaan masa kecilnya menyaksikan film-film laga. Mard Ko Dard Nahi Hota berusaha keras terlihat unik dan segar, yang mana cukup berhasil, walau di beberapa kesempatan justru membuatnya berantakan.

Progresi alurnya sengaja dikemas agar menimbulkan kesan kacau. Sesekali adegan fantasi diterapkan untuk menggambarkan imajinasi Surya, yang awalnya terasa kreatif, namun seiring waktu mulai repetitif. Cara bertutur liar milik Vasan, ditemani penyuntingan cekatan Prerna Saigal (Peddlers, Bombay Velvet) dapat menginjeksi energi sekaligus membantu komedinya mendarat tepat sasaran, tapi cukup sering pula menciptakan kerumitan tidak perlu.

Pastinya, gaya-gaya di atas sukses menghindarkan filmnya dari kesan hambar. Dan begitu Surya tumbuh dewasa, lalu memulai perjalanan memberantas kejahatan yang melibatkan idola dan sahabat masa kecilnya, kita pun mulai disuguhi banyak pertarungan tangan kosong keren, yang nampak bagai kombinasi aksi over-the-top India (meski belum segila judul-judul produksi Telugu alias Tollywood) dengan film kung-fu klasik asal China.

Menghabiskan tiga bulan pra-audisi plus delapan bulan di pra-produksi berlatih bela diri, Abhimanyu Dassani menampilkan atletisme luar biasa. Seluruh gerakannya meyakinkan, termasuk beberapa teknik akrobatik yang menjadikan banyaknya pemakaian gerak lambat sebuah keputusan tepat. Tidak kalah badass adalah Radhika Madan sebagai Supri. Aktris yang pernah terlibat di sinetron Cinta di Pangkuan Himalaya tak kenal ampun dalam menghajar lawan-lawannya, bahkan meski hanya bersenjatakan kain tipis. Sementara di elemen dramatik, keberadaan Supri membuktikan bahwa Bollywood selalu bersedia meluangkan waktu menyelipkan unsur female empowerment.

Berbeda dengan Surya yang bersikap polos karena tak pernah menatap dunia luar, Supri paham betul kerasnya realita. Terlalu paham malah. Hidup bersama ayahnya yang abusive sejak kecil, menginjak usia dewasa, Supri mesti berurusan dengan pria bermasalah lain, yakni calon suami yang selalu mengontrol kehidupannya. Bukan cuma kebebasan, ia pun menghalangi Supri menggunakan nuraninya untuk menolong orang. Hiburan dalam Mard Ko Dard Nahi Hota mungkin berasal dari si jagoan pria yanng tak kenal rasa sakit, tapi pencuri hati sesungguhnya justru si wanita yang selalu merasakan sakit, baik fisik maupun mental, tapi memilih menghadapinya sebelum akhirnya merasa cukup dan mendobrak tembok penghalang itu.

9 komentar :

Comment Page:

ON THE BASIS OF SEX (2018)

1 komentar
On the Basis of Sex dibuka oleh pemandangan ratusan pria dengan setelan jas rapi berjalan serentak. Mereka adalah mahasiswa baru Sekolah Hukum Harvard. Di antaranya, turut berjalan Ruth Bader Ginsburg (Felicity Jones). Tubuhnya mungil, tapi ia menonjol di tengah kerumunan. Bukan saja karena pakaian hijau yang ia kenakan, pula antusiasmenya sebagai satu dari sembilan wanita yang diterima tahun itu.

Namun On the Basis of Sex bukan “cuma” soal itu. Ya, kita melihat Ruth mengalami diskriminasi gender sejak menit pertama menjejakkan kaki di Harvard saat sang Dekan merujuk para mahasiswa sebagai “He” atau “Harvard MAN”. Tapi sekali lagi, film ini tak hanya mengenai Ruth. Film ini bukan membahas “aku” atau “kamu”, melainkan “kita”, sebagaimana seluruh gerakan memperjuangkan keadilan sosial termasuk pemberdayaan wanita semestinya digalakkan.

Membentangkan kisahnya sejak 1956 hingga awal 1970-an, On the Basis of Sex mengisahkan perjuangan Ruth—yang tahun lalu juga dirangkum oleh dokumenter peraih nominasi Oscar, RBG—mengubah Internal Revenue Code seksi 214, yang serupa banyak pasal hukum lain di Amerika Serikat, melakukan diskriminasi gender.

Pembangunan latarnya memaparkan cukup rintangan yang dialami Ruth guna membuat kita memahami semangat membaranya, seperti saat ia kesulitan mendapat pekerjaan akibat berbagai alasan, termasuk tuduhan bahwa sebagai lulusan terbaik Harvard pastilah ia bukan rekan yang menyenangkan, yang sesungguhnya bermuara pada kenyataan bahwa dirinya seorang wanita. Digarap oleh penulis debutan Daniel Stiepleman, alurnya mengalir layaknya film biografi kebanyakan yang melakukan lompatan-lompatan antar periode, namun dilakukan secara mulus, sebab tiap periode punya tujuan dan substansi jelas, bukan hanya paparan acak untuk mengisi durasi.

Saya mengagumi bagaimana filmnya menekankan pada kesetaraan alih-alih kepentingan satu golongan belaka. Walau jiwanya adalah tentang pembebasan hak wanita (sudah seharusnya demikian mengingat itulah isu yang paling “kritis”), tak ketinggalan pula filmnya membahas betapa pria pun kerap jadi korban diskriminasi. Apabila wanita dipandang selaku pelayan dan penjaga rumah, maka pria merupakan pencari nafkah di luar rumah, yang dianggap janggal bila memilih profesi perawat, guru, dan lain-lain.

Poin utamanya adalah keadilan sosial tanpa memandang gender. Itulah mengapa kita menemukan sosok Martin D. Ginsburg, suami Ruth yang diperankan oleh Armie Hammer dalam karisma likeable seperti biasa, yang sepenuhnya mendukung sang istri, meski ia sendiri belum sempurna dan sesekali memaklumi komentar kasual bernada seksis. Perpaduan Ruth dan Martin menambah bobot emosi lewat hembusan elemen drama romansa dan kisah keluarga.

Puncaknya saat Ruth bersama Martin dan puteri mereka, Jane (Cailee Spaeny), mengusut kasus Charles Moritz (Chris Mulkey). Charles adalah pria lajang yang menyewa perawat untuk menjaga sang ibu yang telah berusia 89 tahun, agar ia bisa terus bekerja. Dia mengajukan permintaan pemotongan pajak untuk jasa perawat tersebut, namun ditolak, sebab menurut undang-undang, hanya wanita, janda, atau suami dengan istri yang mesti mendapat perawatan intensif yang berhak menerima pemotongan.

Beberapa dialog sarat istilah hukum mungkin bakal membingungkan, tapi On the Basis of Sex berusaha semaksimal mungkin tidak mengalienasi penonton awam, dengan mengulangi penyampaian poin kunci beberapa kali sehingga mudah dicerna tanpa harus terdengar seperti eksposisi yang dipaksakan. Di samping itu, kalimat-kalimat tulisan Stiepleman kerpa menghasilkan pencerahan seputar mengapa banyak pasal hukum layak disebut diskriminatif. Misalnya tentang keistimewaan palsu yang diberikan pada wanita, tetapi sesungguhnya mengekang, di mana disebutkan bahwa “wanita cukup mengurus rumah, sehingga terhindnar dari kewajiban berat mencari nafkah yang mesti ditanggung pria”.

Ceritanya berkulminasi dalam wujud courtroom drama, yang meski tak terasa seperti puncak pertarungan (sesungguhnya ini baru awal perjuangan panjang Ruth), tetap terasa sebagai klimaks yang layak berkat kualitas berbagai departemen. Naskah Stiepleman urung menyederhanakan persidangan sebagai pertarungan hitam melawan putih. On the Basis of Sex mendorong kita mendukung Ruth sembari tetap memancing pemikiran. Para hakim bukan antagonis kejam, melainkan lawan debat objektif yang menguji keabsahan argumen Ruth dan timnya. Alhasil keberhasilan Ruth lebih bermakna karena ia sudah membuktikan kelayakannya.

Penyutradaraan Mimi Leder (Deep Impact, The Peacemaker, Pay It Forward) yang kembali pasca absen nyaris satu dekade, atau 18 tahun bila menghitung sejak rilisan layar lebar terakhirnya, menerapkan formula tradisional yang terbukti efektif menghantarkan emosi lewat reaction shot yang memancing respon emosi penonton. Kameranya banyak berfokus pada ekspresi wajah para pemain, dan Felicity Jones siap melaksanakan tugasnya lewat performa menggugah yang mengaduk perasaan, khususnya saat ia mulai menampar melalui pernyataan fakta, bahwa selama 100 tahun, negara terus menahan progres kemerdekaan hak wanita.

1 komentar :

Comment Page:

POHON TERKENAL (2019)

10 komentar
Daripada propaganda penuh usaha mengagungkan Akademi Kepolisian (Akpol) atau iklan layanan masyarakat berkedok film, saya mengapresiasi usaha Pohon Terkenal tampil ringan nan menghibur dengan memakai sampul film romansa anak muda. Walau bagaimana ceritanya bergulir bukanlah sesuatu yang pantas dibanggakan. Lahir satu lagi film dengan niatan baik namun tersandung penuturan lemah di mana beberapa konflik selesai secara ajaib, sedangkan lainnya ditinggalkan begitu saja untuk hilang tanpa bekas.

Judulnya merujuk pada sebutan bagi biang onar di Akpol. Para biang onar itu adalah tiga sahabat: Johanes (Raim Laode) si jenaka dari Papua, Ayu (Laura Theux) si anak jenderal yang punya hubungan renggang dengan sang ayah, dan Bara (Umay Shahab) yang terpaksa masuk Akpol karena terlanjur bernazar saat berdoa demi kesembuhan ibunya.

Di antara ketiganya, Bara paling sering membuat masalah, yang bahkan kerap membuat satu angkatan dikenai tindakan (hukuman). Dia bahkan sempat mencoba kabur di satu titik, sebab baginya tak ada alasan untuk tetap tinggal menjalani pelatihan keras di sana. Sampai romansa antara ia dan Ayu mulai bersemi, memberi Bara alasan bertahan di Akpol. Apakah nantinya Bara menemukan alasan selain cinta? Rupanya tidak.

Saya mengira alasan lain itu bakal muncul dalam wujud sang ibu, tapi elemen ibu-anak yang dibangun di awal, hilang sejak pertengahan tanpa memberi emotional payoff sepantasnya. Hal serupa menimpa konflik antara Ayu dengan salah satu senior Taruni yang menuduhnya bersikap manja sebagai puteri jenderal. Pertikaian panas mereka yang bahkan sempat menjurus ke arah benturan fisik mendadak usai, sama mendadaknya dengan menguapnya cemoohan publik terhadap protagonis kita pasca mereka melakukan suatu pelanggaran serius.

Bahkan Pohon Terkenal ditutup lewat cara serupa, sehingga bukan mustahil banyak penonton akan mengira filmnya belum usai. Ketimbang menutup secara pantas, diselipkanlah voice over merangkup nasib karakter-karakternya selepas masa pendidikan yang terasa seperti sebuah langkah malas, kemudian disusul mid-credits scene dengan eksekusi cringey. Tapi saya berbohong jika berkata tidak sekalipun merasa terhibur. Beberapa humornya bekerja cukup baik, khususnya yang melibatkan karakter komikal Johanes.  

Sedangkan romansanya diawali kurang meyakinkan akibat sebuah adegan “ciuman di kening” yang terasa canggung (for the wrong reason), sebab naskah serta penyutradaraan Monty Tiwa (Critical Eleven, Lagi-Lagi Ateng) yang berduet bersama mantan asistennya, Annisa Meutia, menghasilkan proses stimulus-respon yang aneh. Setidaknya performa Laura dan Umay menjadikan romansanya layak tonton. Laura memancarkan aura gadis bertekad kuat, sementara Umay cukup piawai bermain rasa.

Satu hal yang melukai akting Umay adalah tubuhnya. Bukan, ini bukan komentar bernada bodyshaming, melainkan murni logika. Diceritakan, Bara menjalani empat tahun latihan keras di Akpol, namun tubuh sang aktor tak memperlihatkan itu. Gesturnya lembek, posturnya jauh dari tegap, dan tubuhnya belum mengering (berbeda dengan kurus). Dia masih tampak bagai remaja awal yang baru lulus SMA.

Saya tak pernah tertarik pada Akpol atau instansi serupa lain. Walau Pohon Terkenal takkan tiba-tiba memancing rasa kagum, saya suka caranya menggambarkan Akpol sebagai tempat di mana hal-hal keseharian seperti jatuh cinta dan persahabatan bisa terjadi. Penuh ketegasan, tapi bukan neraka dunia, sebab perbedaan ras, agama, atau gender tak jadi masalah. Bukannya membusungkan dada soal kehebatan Akpol, film ini menginformasikan bahwa mereka membuka tempat membangun masa depan bagi masyarakat dengan finansial lemah. “Daripada menganggur tanpa arah, lebih baik masuk Akpol”. Biar bagaimanapun, saya mengamini pernyataan tersebut.

Pohon Terkenal tak lupa menyinggung dualitas peran anggota kepolisian, yakni sebagai individu dan pelayan negara lewat hubungan Ayu dengan sang ayah (Cok Simbara), yang meski pendek pula urung menyentuh tingkat emosi yang diharapkan, cukup selaku penjelas kondisi di atas. Presentasinya pun bukan melalui teriakan nasionalisme berlebihan, tapi tuturan hangat. Andai saja naskah hasil tulisan Monty Tiwa, Annisa Meutia, dan Lina Nurmalina (Bukan Bintang Biasa The Movie, Istri Bo’ongan) mampu tampil solid guna menyokong pesan baik filmnya.

10 komentar :

Comment Page:

TRIPLE THREAT (2019)

19 komentar
Triple Threat menjual janji menggiurkan berupa penyatuan tiga jagoan bela diri Asia: Tony Jaa, Iko Uwais, dan Tiger Chen. Bahkan trailer-nya ditutup oleh money shot keren di mana ketiganya berjalan beriringan dibalut gerak lambat. Tapi bukan saja money shot itu urung ditemukan di hasil akhir filmnya (hanya sekilas nampak selepas ending), Triple Threat mengkhianati esensi film aksi ensemble dengan mengemas babak pamungkasnya bak panggung solo.

Salah satu aturan tidak tertulis bagi film semacam ini adalah membuat penonton bersorak kala para jagoan akhirnya bersedia mengesampingkan perbedaan untuk bersatu melawan musuh yang lebih tangguh. Tengok saja baku hantam puncak milik The Raid atau SPL II: A Time for Consuquences sebagai contoh gampang. Tanpanya, meski didukung penampil papan atas, kepuasan menonton takkan mencapai titik tertinggi.

Terjadinya hal itu dalam Triple Threat amat disayangkan, mengingat karya penyutradaraan Jesse V. Johnson (Green Street Hooligans 2, Accident Man) ini merupakan salah satu suguhan aksi dengan jajaran ensemble cast paling menarik sejak The Expendable. Di samping tiga aktor utama, turut hadir Scott Adkins, Michael Jai White, Jeeja Yanin, dan Michael Bisping. Serupa trio Iko-Tiger-Tony, mereka adalah bintang laga berkemampuan bela diri mumpuni (Silahkan buktikan di Chocolate, Blood and Bone, Undisputed II: Last Man Standing, atau Ninja).

Alur dalam naskah buatan Joey O’Bryan (Motorway, Fulltime Killer), Fangjin Song, dan Paul Staheli (Pressure, Guardians of the Tomb) bukan cuma tipis, juga kelewat bodoh, bahkan untuk ukuran film kelas b. Berlatar sebuah negara fiktif di Asia Tenggara, kisahnya dimulai dengan mengenalkan Xian (Celina Jade), puteri konglomerat Cina yang menyisihkan hartanya guna menumpas korupsi dan sindikat kriminal.

Kemudian kita diajak berpindah ke pedalaman hutan, menyaksikan sekelompok pasukan bersenjata menyerbu sebuah kamp. Payu (Tony Jaa) dan Long Fei (Tiger Chen) bersedia turut serta sebagai penunjuk jalan karena mengira sedang terlibat suatu misi kemanusiaan. Rupanya itu hanya kedok untuk membebaskan teroris beringas bernama Collins (Scott Adkins), supaya ia dapat membungkam Xian, yang keberadaannya mengancam eksistensi sindikat. Mengapa repot-repot begitu jika anda adalah kriminal super kaya yang mampu merekrut seluruh pembunuh nomor satu yang tersedia?

Apabila belum cukup absurd, tunggu sampai Jaka (Iko Uwais) tereret ke dalam konflik. Jaka merupakan salah satu penghuni kamp. Dia selamat dari serbuan, namun malang, istrinya tewas tertembak. Jaka memulai perjalanan balas dendamnya dengan mencari Payu dan Long Fei, tapi justru memilih bergabung setelah menyadari jika keduanya hanya korban yang juga ingin menuntut balas. Andai kisahnya benar-benar sesederhana itu.

Ketimbang langsung membuat ketiganya bertarung bersama, trio penulisnya memilih membuat menyusun Jaka suatu rencana rumit, yang semata hanya berguna supaya filmnya bisa bergulir selama 90 menit. Wajar jika anda kesulitan memahami destinasi rencana Jaka, sebab bila menghabisi pembunuh sang istri merupakan tujuannya, hal itu mampu dilakukan tanpa harus melalui skema berbelit yang akan membuat para penganut teori konspirasi pusing tujuh keliling.

Tapi mari lupakan kebodohan alurnya. Saya menonton Triple Threat karena ingin melihat para jagoan laga nomor satu berkumpul memamerkan kebolehan berkelahi. Tiger dan Tony menampilkan koreografi kelas wahid seperti biasa, meski porsinya terlampau singkat dan sang sutradara belum piawai mengglorifikasi gerakan aktornya. Setidaknya, gerak kamera Jonathan Hall (Zombeavers, Burying the Ex) bersedia mempelihatkan semua baku hantam tanpa perlu dibungkus penyuntingan frantic khas film aksi Hollywood belakangan. Sayang, adu jurusnya mesti berbagi jatah dengan ledakan dan baku tembak medioker, yang di satu titik sempat keliru menerapkan efek suara senapan otomatis untuk pistol.

Kalau anda datang demi Iko Uwais, bersiaplah kecewa. Tanpa menghitung Star Wars: The Force Awakens, Triple Threat adalah film yang paling gagal perihal memanfaatkan gerak silat secepat kilat milik sang bintang. Iko urung diberi kesempatan bersinar, pun kemenangannya di beberapa pertarungan harus melibatkan bantuan senjata api atau kebetulan-kebetulan yang melapangkan jalannya.

Di antara tiga tokoh utama, Jaka jadi satu-satunya yang mengusung alasan personal, tapi lucunya, ia tak berkesempatan melancarkan serangan penutup. Jangankan itu, ia bahkan tidak dilibatkan di pertarungan final. Muay Thai milik Tony Jaa dan roundhouse kick khas Soctt Adkins tetap menghibur mata, tapi kembali, olahan Jesse V. Johnson mengurangi dampaknya, dan perlu saya tekankan lagi, Triple Threat adalah film aksi ensemble. Haram hukumnya menutup film semacam ini tanpa melibatkan seluruh protagonis di momen puncak. Sekalian saja membuat Tom-Yum-Goong 3 atau Ong Bak 4.

19 komentar :

Comment Page: