JUNGLEE (2019)
Rasyidharry
Maret 31, 2019
Action
,
Adam Prince
,
Chuck Russell
,
Hindi Movie
,
Lumayan
,
Pooja Sawant
,
REVIEW
,
Thalaivasal Vijay
,
Vidyut Jammwal
1 komentar
Junglee, secara mengejutkan berhasil sebagai dua bentuk. Pertama,
selaku tontonan edukatif guna mengajak anak-anak mencintai hewan, sekaligus
menunjukkan betapa keji para pemburu gading gajah. Kedua, selaku hiburan,
berkat kemampuan fisik impresif Vidyut Jammwal dalam memamerkan jurus-jurus Kalaripayattu
yang jadi ciri khasnya, tersajilah suguhan laga hard-hitting.
Dibuka oleh kutipan pernyataan
Thomas Schmidt yang berbunyi, “No one in
the world needs an elephant tusk but an elephant”, Junglee menuturkan cerita mengenai Raj (Vidyut Jammwal), dokter
hewan yang membuka praktek di Mumbai setelah 10 tahun lalu meninggalkan rumah
setelah kematian sang ibu akibat kanker. Raj menyalahkan ayahnya (Thalaivasal
Vijay), yang ia anggap hanya mempedulikan penangkaran gajah miliknya dan tak
berusaha maksimal menyembuhkan sang istri.
Memperingati 10 tahun kematian sang
ibu, Raj akhirnya bersedia pulang, bereuni dengan sang ayah, berusaha
memperbaiki hubungan keduanya, yang terbukti bukan perkara mudah. Di saat
bersamaan, para pemburu, yang telah menjadi masalah sejak lama, mulai mengincar
gading Bhola, yang diyakini merupakan gading terbesar yang pernah ada. Bhola
sendiri adalah sahabat Raj sejak kecil, dan kini sudah tumbuh menjadi pemimpin
kawanan.
Tidaklah sulit menebak bakal dibawa
ke mana kita oleh naskah buatan Adam Prince (Red Sky, Final Girl). Begitu Raj melancarkan serangan, para pemburu
akan berubah jadi yang diburu. Tapi butuh waktu sebelum Junglee memasuki babak baku hantam. Kita terlebih dahulu diajak
berkeliling hutan, melihat betapa bahagia gajah-gajah di sana, yang memancing
kepedulian kita kepada hewa besar berhati lembut itu.
Pemakaian empat ekor gajah terlatih
alih-alih CGI terbukti ampuh memberi hati, karena apa yang kita saksikan adalah
makhluk hidup, bukan gambar komputer tanpa nyawa. Keempat gajah tersebut juga piawai
beraksi, yang mana melahirkan hiburan tersendiri. Pun mereka tampak menggemaskan,
sehingga tak sulit menarik atensi penonton anak. Alhasil, begitu para pemburu
melancarkan aksi kejamnya, otomatis kita mengutuk perbuatan tersebut.
Junglee takkan menampilkan kekerasan vulgar, mengingat itu akan menghadirkan
kesan eksploitatif, juga bergeser dari intensi mencintai yang diusung. Tapi
beberapa momen menyakitkan tetap diselipkan, sebutlah saat sekilas terlihat
seorang pemburu memotong gading dari mayat gajah menggunakan gergaji mesin. Bukan
pemburu saja yang film ini jadikan target kritik, pula kolektor maupun konsumen
produk yang terbuat dari gading, serta tak ketinggalan deretan polisi korup. Sebab
tentu saja bisnis kotor berdarah ini takkan berjalan lancar andai tanpa
keterlibatan pihak berwajib.
Mencapai separuh durasi, tiba
waktunya Vidyut Jammwal unjuk gigi. Sebagai praktisi bela diri sungguhan, sang
aktor sanggup memamerkan beragam gerakan luar biasa yang mampu membuat saya terpana.
Pada satu sekuen laga, Raj, dengan tangan diborgol, menghajar beberapa polisi memakai
gerakan-gerakan akrobatik sambil memanfaatkan benda-benda di sekitarnya. Dibumbui
sedikit humor, aksi Vidyut Jammwal itu niscaya bakal membuat Jackie Chan
bangga. Penyutradaraan Chuck Russell (A
Nightmare on Elm Street 3: Dream Warriors, The Mask, The Scorpion King), meski masih membutuhkan bantuan
penyuntingan plus gerak lambat, setidaknya tetap berusaha menangkap detail gerakan
Vidyut Jammwal sebanyak mungkin, sehingga deretan aksinya tak pernah kehilangan
dampak.
Apabila ada aspek yang pantas
disayangkan, itu adalah kurang dimanfaatkannya Pooja Sawant sebagai Shankara.
Banyak cara bisa dipakai untuk memaksimalkan kemampuan Shankara sebagai pawang
gajah agar karakternya dapat tampil setangguh Raj. Tapi keluhan itu berhasil
ditutupi oleh fakta bahwa Junglee
sukses menjalankan tugas berat berupa menghadirkan pesan edukatif bagi anak
tanpa harus membuat penonton dewasa kebosanan.
NOTEBOOK (2019)
Rasyidharry
Maret 31, 2019
Drama
,
Hindi Movie
,
Kurang
,
Nitin Kakkar
,
Pranutan Bahl
,
REVIEW
,
Romance
,
Shabbir Hashmi
,
Zaheer Iqbal
2 komentar
“Sekolah harus menjangkau muridnya”.
Itulah alasan ayah Kabir (Zaheer Iqbal) membangun sekolah apung di tengah danau
di Kashmir, supaya anak-anak di area terisolasi tetap berkesempatan mengenyam
pendidikan. Selepas kredit bergulir di akhir, saya hanya bisa menyesalkan
mengapa prinsip tersebut urung dipertahankan sebagai jantung Notebook, yang tak pernah mengeksplorasi
sisi pendidikannya secara layak.
Film garapan Nitin Kakkar (Filmistaan, Mitron) ini merupakan remake resmi dari drama-romansa Teacher’s Diary, yang menjadi perwakilan
Thailand di ajang Oscar tahun 2015. Sebagai remake,
tentu perubahan tak bisa ditahan, termasuk beberapa penyesuaian terkait kultur.
Pun sejak momen pertamanya, tatkala seorang bocah tewas akibat ledakan ranjau, Notebook telah menegaskan perbedaannya.
Film ini tak “sepolos” pendahulunya.
Adegan pembuka itu bertujuan
memberi latar belakang bagi Kabir, yang setelah keluar dari militer, memutuskan
mengajar di sekolah apung sang ayah yang kini dikelola pemerintah. Posisi guru
di sana kosong pasca kepergian Firdaus (Pranutan Bahl). Setibanya di sekolah,
Kabir menemukan buku catatan milik Firdaus, yang berujung memotivasinya, sebab
tanpa pengalaman mengajar, ia seringkali kerepotan. Bukan itu saja, Kabir pun
mulai mencintai Firdaus.
Teacher’s Diary mencuri hati penonton berkat keluguan kisah cinta
mengenai terpikat pada seseorang yang tak pernah kita temui. Terdengar
terlampau romantis untuk jadi kenyataan, namun itulah mengapa premisnya berhasil.
Secara berlawaan, keputusan memakai Kashmir sebagai latar, menggiring Notebook menuju area lebih serius,
mengingat terdapat beragam isu pelik di sana, seperti represi hingga tumbuhnya
kelompok teroris ekstrimis. Notebook
gagal membuat romansanya sesuai dengan penyesuaian kulturnya.
Begitu pula soal penokohan Kabir.
Dia terjebak rasa bersalah, yang kelak mendorongnya menolong para murid sekolah
apung sebagai usaha menebus dosa. Bukan saja elemen itu kurang mendapat
eksplorasi karena sebatas dipresentasikan lewat flashback di antara flashback,
menjadikan Kabir sosok (lebih) serius dengan masa lalu kelam membuat beberapa
situasi menggelitik yang dicomot dari film aslinya terasa janggal.
Contohnya, dalam Teacher’s Diary, merupakan kelucuan yang
wajar sewaktu sang guru bersikap konyol menyikapi menyusupnya seekor ular ke
dalam kelas. Sementara dalam Notebook,
pemandangan itu justru mengganggu, mengingat Kabir adalah mantan militer,
ditambah cara Zaheer Iqbal menangani karakternya. Itu pula alasan romansanya
tidak bekerja dengan baik.
Terdapat risiko tinggi pada
premisnya, karena penonton mesti terpikat oleh romansa dua manusia yang tak
pernah bersama di layar sebelum babak terakhir (atau adegan terakhir di Teacher’s Diary). Tapi, saat si
protagonis pria tak memancing impresi yang impresif, mencuri hati penonton pun
makin berat. Ditambah lagi, naskah buatan Shabbir Hashmi terburu-buru
memaparkan proses Kabir membaca tulisan Firdaus. Dia telah jatuh cinta sebelum
penonton sempat menyelami pengalaman-pengalaman yang Firdaus tuangkan.
Firdaus sendiri terjebak berbagai
hal seputar pengekangan atas kebebasan. Dia dianggap sebagai guru tercela akibat
tato bintang di tangan serta cara mengajar inkonvensional. Belum lagi kegemaran
sang kekasih (Muazzam Bhat) mengatur hidupnya. Penonton diharapkan mendukung kemerdekaan
Firdaus, tapi porsi minim yang diberikan menghalangi itu. Pun kembali, masalah
timbul akibat modifikasi yang Notebook lakukan.
Kali ini seputar penemuan mayat di bawah jamban sekolah, di mana bukan Firdaus
yang mengangkatnya dari air. Terdengar remeh, tapi efeknya besar, sebab momen ini
berperan penting menggambarkan pertumbuhan karakternya.
Di pertengahan, kita bertemu Imran,
murid tercerdas yang berhenti sekolah akibat larangan ayahnya. Latar Kashmir
memfasilitasi filmnya membahas terorisme dalam konflik tersebut, guna
menyuarakan pesan anti-peperangan dan anti-kekerasan. Bukan masalah, malah bisa
menambah bobot narasi sekaligus memperkuat aspek identitas budaya. Masalahnya,
hal di atas justru menjauhkan konklusi Notebook
dari tuturan tentang edukasi dan kegiatan mengajar. Ya, terdapat
pertentangan mengenai “Perlukah Imran bersekolah?”, namun paparannya tenggelam
oleh isu-isu tadi.
Apalagi, sepanjang durasi kita tak
banyak menyaksikan aktivitas kelas berisi teknik mengajar unik selaku kritik
untuk metode konvensional (Teacher’s
Diary mempunyai “adegan kereta api”). Bukan soal bila filmnya memang tak
berniat menyentuh problematika itu, namun faktannya tidak demikian, sehingga
terciptalah penceritaan setengah matang.
Saya sadar banyak membandingkan Notebook dengan film aslinya. Bukankah remake berhak dipandang sebagai karya
yang berdiri sendiri? Benar, tapi secara bersamaan, wajib pula mewarisi
semangat pendahulunya. Notebook gagal
mempertahankan semangat Teacher’s Diary,
walau bagi mereka yang belum menonton versi Thailand tersebut, mungkin takkan banyak
terganggu. Setidaknya deretan humornya cukup efektif memancing tawa, sementara alam
Kashmir terhampar indah berkat penataan kamera Manoj Kumar Khatoi (Budhia Singh: Born to Run, Mitron).
ARCTIC (2018)
Rasyidharry
Maret 30, 2019
Bagus
,
Drama
,
Joe Penna
,
Mads Mikkelsen
,
REVIEW
,
Ryan Morrison
,
Thriller
Tidak ada komentar
Meski bukan yang pertama
melakukannya, Arctic tetap patut
mendapat tempat spesial di jajaran film survival
terkait tuturannya yang bukan cuma berkutat soal “every man for himself”, melainkan tentang usaha mempertahankan hati
nurani dan sisi kemanusiaan, bahkan tatkala insting dasar manusia untuk
bertahan hidup mengambil alih, di tengah situasi kritis saat maut mulai
mengintip.
Film dibuka dengan memperlihatkan Overgård
(Mads Mikkelsen) tengah menggali salju. Begitu telaten ia melakukan itu
termasuk memindahkan batu yang menghalangi jalan, wajar jika mengira Overgård
adalah tukang gali salju. Sampai terungkap jika rupanya ia sedang membuat
tulisan “SOS” besar di sebuah tempat antah berantah di Lingkar Arktik setelah
pesawatnya jatuh.
Overgård sendirian, meski tersirat
bahwa pesawatnnya mengangkut penumpang lain saat dia mendatangi suatu tumpukan
batu yang nampak seperti nisan. Tapi satu hal pasti, Overgård harus berjuang
bertahan hidup seorang diri. Kesehariannya selalu sama: mengecek apakah
umpannya berhasil memancing ikan, lalu memancarkan sinyal marabahaya, berharap
memperoleh respon. Setelah beberapa lama, alarm jam tangannya berbunyi,
pertanda Overgård mesti berpindah ke aktivitas berikutnya.
Semua hal di atas merupakan elemen
standar film survival, yang bertujuan
memberi penonton pemahaman bagaimana karakternya mengakali keterbatasan demi
bertahan hidup. Sudah berulang kali menyaksikan pemandanga serupa, saya tetap
mendapat kepuasan, sebab sekuen semacam itu selalu melibatkan kreativitas
protagonisnya menyusun rencana yang tak jarang penuh keunikan.
Pada mayoritas kesempatan, Arctic memang mengikuti pola genrenya.
Berarti, anda harus bersiap melihat gambar-gambar menyakitkan berisi luka-luka
yang Overgård alami. Pun bisa saja Arctic
terus bertahan di jalur formulaik, mengingat masih terdapat daya tarik kala
menanti bagaimana cara Overgård keluar dari ragam permasalahan, khususnya
setelah ia menyadari ada beruang kutub yang menjadi “tetangganya”.
Tapi formula tersebut mempunyai batasan,
dan para penulis naskah yang terdiri atas duet Ryan Morrison bersama sang
sutradara, Joe Penna, memahami betul batasan itu, sehingga mereka memberikan
titik balik di alurnya. Saya tak bisa mengungap insiden pastinya, tapi setelah
itu, Overgård tidak lagi sendirian. Ditinjau dari sudut pandang penceritaan,
insiden itu memberi bobot emosi sekaligus tujuan bagi narasinya. Sekarang ada
tujuan jelas yang mesti dicapai daripada “cuma” usaha bertahan hidup.
Didorong alasan logis, Arctic pun menjadi film minim dialog,
dan itu melahirkan tantangan lebih bagi Joe Penna selaku pencerita. Beruntung,
sang sutradara adalah pencerita visual yang bertalenta. Penna memakai dua jenis
shot guna menjabarkan detail, supaya
penonton bisa memahami segalanya, termasuk isi pikiran si protagonis. Dua shot tersebut yaitu penggambaran lingkungan
sekitar dan ekspresi Mikkelsen, yang muncul silih berganti. Kamera yang kerap
menangkap reaksi Overgård berfungsi menggiring penonton masuk ke dalam
pikirannya, mengira-ira apa yang dipikirkannya.
Berkat kepiawaian Mikkelsen bicara
bannyak melalui mata maupun ekspresi wajah membuat segalanya jelas. Kemudian,
begitu situasi semakin genting, sang aktor pun semakin habis-habisan
menghidupkan kondisi tatkala luka fisik pula psikis mendorongnya menuju
ketidakberdayaan dan keputusasaan yang menyakitkan. Bertambah sukar bagi psikis
Overgård, sebab ia pun terjebak dalam ujian terhadap nuraninya.
Overgård bisa saja bersikap egois,
memilih mengambil jalan yang lebih aman nan mudah tanpa perlu bersusah payah
menantang maut. Tidak ada yang akan menyalahkannya, karena demikianlah insting
bertahan hidup manusia. Di sebuah kesempatan, Overgård sempat terdoronng untuk
mengikuti insting itu, hingga alam “menghukumnya”, membuatnya menyadari kalau
tak semestinya ia meninggalkan peri kemanusiaannya di bentangan salju Arktik.
Biarpun cuma bergulir sepanjang 97
menit, keterbatasan materi di naskahnya semakin lama semakin kentara, dan
memproduksi beberapa penurunan intensitas. Sementara keputusan Penna menghindari
pendekatan dramatis bagi konklusinya (yang diharapkan menghadirkan penebusan emosional)
harus diakui berpotensi mengecewakan beberapa kalangan. Tapi sejatinya, pilihan
tersebut sesuai dengan kesunyiann serta kesubtilan sepanjang film. Penna hanya
berusaha menjaga supaya Arctic tidak
tersasar keluar jalur.
MATIANAK (2019)
Rasyidharry
Maret 29, 2019
Cinta Laura Kiehl
,
Cukup
,
Derby Romero
,
Fatih Unru
,
horror
,
Indonesian Film
,
Jovarel Callum
,
REVIEW
,
Wendy Chandra
,
William Chandra
,
Yayu AW Unru
6 komentar
Sesungguhnya MatiAnak memiliki karakteristik serupa horor lokal kelas menengah
ke bawah yang rutin dirilis tiap minggu, seperti pondasi cerita lemah yang memaksakan
diri menutup kisahnya lewat twist dan
sepenuhnya mengandalkan jump scare
untuk menakut-nakuti. Tapi saat mayoritas film tersebut hanya berujung
menghasilkan sakit kepala, setidaknya MatiAnak
cukup menyenangkan berkat keberhasilan satu aspek: timing.
Berlatar tahun 90-an di panti
asuhan yang dikelola oleh tangan besi Pak Rosman (Yayu Unru), yang tak segan
menerapkan hukuman fisik bagi anak-anak. Beruntung, mereka memiliki Ina (Cinta
Laura Kiehl), si pengurus berhati lembut. Hinngga suatu hari, datang anak baru
bernama Andi (Jovarel Callum) yang pendiam, aneh, dan tanpa mereka ketahui,
telah secara brutal membantai keluarganya sebagaimana kita saksikan pada adegan
pembuka.
Sejak kedatangan Andi, hal-hal
misterius mulai menimpa para penghuni panti asuhan, dan tentu saja semua itu
cuma terjadi pada malam hari. Naskah garapan William Chandra (3Sum) dan Wendy Chandra memang mengikuti
pendekatan formulaik, di mana malam merupakan fase teror, sementara di siang
hari, tiba saatnya melambatkan laju guna memberi kesempatan pengembangan cerita
dan karakter untuk bergulir. Hampir seluruh horor arus utama menerapkan metode
tersebut, namun di MatiAnak, pembagian
waktu itu begitu kentara, dan setelah beberapa saat, semakin terasa melelahkan
akibat repetisi.
Setidaknya, berbeda dengan
kompatriotnya sesama horor lokal dengan formula setipe, tiap matahari terbit, MatiAnak bukanlah snoozefest. Ikatan kebersamaan antara penghuni panti mampu
dibangun, sebagai sekumpulan individu yang tak lagi memiliki siapa pun kecuali
satu sama lain. Terpenting, karakternya tampil layaknya manusia semestinya.
Cinta bermain solid, sementara Yayu Unru kembali membuktikan jangkauan akting
luasnya lewat variasi gestur dan penghantaran kalimat, tapi narasi soal kebersamaan
itu takkan berhasil andai jajaran penampil cilik yang digawangi Fatih Unru
gagal menciptakan dinamika.
Bicara soal hubungan Ina dan para
bocah, interaksi mereka menyimpan cukup nyawa guna membangun intensitas,
seperti saat banjir darah mulai menggenangi panti asuhan. Saya menyukai momen
saat Ina mengikuti jejak darah di lantai, sedangkan beberapa anak berteriak,
tapi bukan teriakan omong kosong, melainkan teriakan kekhawatiran supaya kakak
asuh mereka berhati-hati. Sebuah sentuhan kecil yang sekilas terkesan remeh,
namun menciptakan sense of urgency,
aroma ketakutan, dan menggambarkan betapa karakternya saling peduli.
Eksekusi terornya sendiri
sebenarnya memakai metode konservatif, yakni jump scare tanpa inovasi berisi kemunculan tiba-tiba hantu ditambah
musik menggelegar. Pun tak jarang, penyuntingan adegannya terlalu cepat
sehingga sulit memastikan apa yang nampak di layar. Dentuman musiknya yang
memberitahu bahwa tengah terjadi peristiwa mengerikan. Tapi sekali lagi, poin
terpenting terletak di timing.
Melalui debut penyutradaraannya,
Derby Romero (rumor has it that’s not the
case, but for now let’s stick with the official credit) membungkus
penampakan pasukan makhluk halusnya dengan ketepatan timing. Seolah ia tahu kapan penonton berekspektasi hantu bakal
menyerang, lalu secara cerdik mempermainkan ekspektasi itu. Sehinngga tanpa hal
baru atau kreativitas luar biasa pun, MatiAnak
cukup sukses memancing teriakan penonton. Selain jump scare, film ini juga memfasilitasi para pecinta gore lewat kekerasan, banjir darah, atau
kondisi kematian yang mengerikan.
Sayang, klimaksnya terlalu jinak.
Padahal lewat eksekusi lebih eksplisit, efek dari konklusinya yang suram nan
tragis bisa lebih menusuk. Kalau alasannya demi menghindari gunting sensor,
kenapa repot-repot mempertahankan konsep itu? Bukankah lebih bijak mencari
alternatif yang tak membutuhkan sadisme untuk menciptakan dampak? Ditambah
paparan twist dengan pondasi lemah
yang tampil kacau dan malah menghasilkan kerumitan tak perlu, paruh akhir MatiAnak memang nyaris mematikan
keunggulan filmnya.
THE HOLE IN THE GROUND (2019)
Rasyidharry
Maret 28, 2019
horror
,
James Quinn
,
Kati Outinen
,
Kurang
,
Lee Cronin
,
REVIEW
,
Seána Kerslake
,
Stephen McKeon
,
Stephen Shields
1 komentar
The Hole in the Ground melangkah di garis batas antara “horor
hipster” yang identik dengan atmosfer, studi karakter, serta tempo lambat,
dengan teror arus utama yang mengutamakan hiburan sarat jump scare. Sayang, alih-alih berhasil menyeimbangkan tiap sisi,
film garapan Lee Cronin (segmen Ghost
Train di antologi Minutes Past
Midnight) ini justru berakhir campur aduk, gagal memenuhi potensi di kedua
pendekatan beda gaya tersebut.
Lubang raksasa misterius di tengah
hutan, makhluk berkemampuan alih wujud, anak kecil menyeramkan, hingga kematian
tak wajar dalam posisi mengerikan. Menyaksikan film ini membuat saya terbayang
apa jadinya bila komikus Junji Ito menekan kegilaannya untuk membuat film
hibrida antara The Thing dan The Omen. Sungguh. The Hole in the Ground bisa sebagus itu, bahkan berpotensi menjadi “Penerus Hereditary” bila penggarapannya
maksimal.
Sarah (Seána Kerslake) bersama
puteranya, Chris (James Quinn), baru saja pindah rumah ke suatu daerah
pinggiran di sebelah hutan. Disiratkan bahwa kepindahan tersebut didorong
perilaku abusive sang suami terhadap
Sarah. Sementara Chris adalah bocah pendiam yang kurang menyukai sosialiasi dan
memilih menghabiskan waktu bermain action
figure. Tapi niat Sarah memulai hidup baru nan bahagia tampak takkan
berjalan mulus pasca bertemu wanita tua misterius bernama Noreen (Kati Outinen).
Konon kabarnya, Noreen melindas anaknya setelah meyakini bocah itu merupakan makhluk
yang menyerupai wujud sang putera.
Awalnya Sarah percaya akan anggapan
warga setempat bahwa Noreen hanya wanita gila, namun tak lama kemudian, hal
serupa turut menimpa dirinya. Di suatu malam, saat tengah mencari Chris yang
berlari ke hutan, Sarah menemukan lubang berukuran masif menganga di tanah. Mungkin
lubang itu disebabkan sebuah benda bak meteor yang sesaat sebelumnya dapat kita
saksikan dari kejauhan sedang melintasi langit.
Sarah berhasil menemukan Chris.
Bocah itu baik-baik saja, tapi sang ibu merasakan perbedaan. Dia berperilaku
manis, patuh, dan aktif bergaul di sekolah, yang mana merupakan sikap-sikap
yang sejatinya didambakan Sarah. Ketimbang bahagia, Sarah justru dilanda
kecemasan. Dari sinilah naskah buatan Lee Cronin bersama Stephen Shields
memunculkan ironi yang secara subtil mempertanyakan, “Apakah seorang anak
memang lebih baik menjadi sebagaimana keinginan orang tua?”. Serupa Hereditary atau The Babadook,
The Hole in the Ground menyentuh area
seputar sisi gelap parenting. Pun
konklusinya yang cenderung suram mampu menampar selaku penggambaran mengerikan
tentang bagaimana pengalaman traumatis memancing sikap posesif orang tua
terhadap anak.
Tapi The Hole in the Ground terlampau berkonsentrasi mengumpulkan
subteks hingga melupakan jalinan alur permukaan yang solid. Sarah mulai
mencurigai, apakah Chris sekadar melewati fase perubahan layaknya anak-anak
kebayakan atau benar-benar telah digatikan oleh makhluk alih wujud. Lee dan
Stephen membuat segalanya terlalu jelas, urung bermain-main dengan ambiguitas
untuk melahirkan misteri menarik. Sederhananya, seluruh elemen film ini mudah
ditebak, yang mana bukan sebuah dosa selama fase prosesnya menyimpan daya
tarik. Masalahnya, selain ketiadaan misteri, The Hole in the Ground pun kekurangan pemandangan mencekam.
Bukan berarti tiada pengadeganan
solid, sebab saya masih menemukan beberapa pertanda talenta mumpuni di penyutradaraan
Cronin, seperti saat ia cerdik membangun intensitas kala nyanyian Chris tiba-tiba
bertransisi menuju gemuruh tepuk tangan. Problema terletak di inkonsistensi.
Beberapa imageries memancarkan
kengerian, namun banyak pula yang jatuh ke ranah teror generik. Usaha memuaskan
penonton umum lewat jump scare pun
jauh dari impresif, akibat eksekusi medioker dibarengi keklisean musik berisik karya
Stephen McKeon (The Tiger’s Tail, Blind Fight).
Klimaks yang berpeluang jadi juru selamat justru minim energi, kreativitas,
maupun tensi. Patut disayangkan, mengingat Seána Kerslake menghadirkan performa
kuat sebagai ibu yang menghadapi teror berujung masalah psikologis.
DUMBO (2019)
Rasyidharry
Maret 28, 2019
Colin Farrell
,
Danny DeVito
,
Danny Elfman
,
Ehren Kruger
,
Eva Green
,
Fantasy
,
Finley Hobbins
,
Kurang
,
Michael Keaton
,
Nico Parker
,
REVIEW
,
Tim Burton
17 komentar
Di atas kertas, pilihan menunjuk
Tim Burton sebagai sutradara adaptasi live
action dari animasi berjudul sama rilisan tahun 1941—yang juga adaptasi
novel karya Helen Aberson dan Harold Pearl—ini adalah pilihan masuk akal.
Berlatar sirkus penuh anggota unik, menampilkan Colin Farrell sebagai ayah
berlengan satu, dan punya protagonis seekor gajah terbang yang dianggap hina
karena telinga lebarnya. Sepanjang karirnya, Burton terbukti ahli menangani
sosok-sosok eksentrik yang diremehkan karena dipandang aneh.
Tapi sentuhan sang sutradara
kentara memudar belakangan ini. Ketika Miss
Peregrine’s Home for Peculiar Children (2016)—film dengan materi yang
seolah ditakdirkan khusus untuk Burton—berakhir selaku tontonan ala kadarnya,
saya yakin “Burton lama” telah hilang. Setidaknya sampai ia bersedia menepi
sejenak dari dunia film studio berbujet besar yang menghalangi keleluasaannya.
Tapi rasanya itu takkan terjadi dalam waktu dekat.
Dumbo pun serupa, tatkala Burton kesulitan memadupadankan keanehan
dengan drama manis. Sayangnya, “manis” dan “Tim Burton” bukan dua hal yang
serasi. Alhasil, sekali lagi kita disuguhi identitas khas karya modern sang
sutradara: tontonan mudah dilupakan penuh latar CGI yang tak seberapa cantik,
kreatif, apalagi menghadirkan terobosan visual.
Padahal kisahnya memiliki materi
memadahi guna melahirkan drama keluarga menyentuh. Sepulangnya dari Perang
Dunia I, Holt Farrier (Colin Farrell), kembali ke sirkus milik Max Medici
(Danny DeVito), tempatnya dahulu angkat nama sebagai penunggang kuda. Tapi bukan
saja mendapati kudanya telah dijual untuk menutup kesulitan ekonomi, Holt turut
kelabakan menjalin hubungan dengan kedua anaknya, Milly (Nico Parker) dan Joe
(Finley Hobbins). Tidak seperti mendiang istrinya, Holt tak tahu cara
berkomunikasi dengan mereka.
Saya tidak menyalahkan Holt, sebab
anak-anaknya, terlebih sang puteri yang bermimpi menjadi ilmuwan (elemen yang
urung mendapat pengembangan maupunn payoff
layak), bicara layaknya orang dewasa. Naskah tulisan Ehren Kruger (Transformers 2-4, Scream 3, The Ring)
memaksa Milly bertutur terlampau bijak, yang acap kali menyulitkan si aktris
cilik memberi penampilan maksimal.
Tanpa kudanya, Holt ditugasi
merawat gajah bernama Jumbo yang tengah mengandung. Bayi Jumbo diharapkan dapat
menarik pengunjung. Tapi begitu Dumbo (awalnya bernama Baby Jumbo) lahir dengan
telinga super lebar, harapan itu perlahan sirna. Kelainan fisik Dumbo dianggap
bencana, hingga Milly dan Joe mengetahui bahwa kepakan telinga itu mampu
menerbangkan si gajah kecil ke angkasa.
Tentu orang-orang dewasa tak
seketika mempercayai pengakuan dua bocah itu, memberi tantangan bagi mereka
untuk membuktikan bahwa alih-alih kegagalan, Dumbo merupakan keajaiban. Pun
merupakan tantangan bagi Burton mengeksekusi debut Dumbo terbang di hadapan
penonton, yang patut disebut momen “make
it or break it” filmnya, dan menentukan apakah atensi penonton bakal
terjaga atau tidak. Beruntung, dibantu orkestra menggugah garapan Danny Elfman (Good Will Hunting, Big Fish, Spider-Man) Burton mampu menciptakan pemandangan uplifting agar Dumbo punya cukup tenaga melangkah ke fase berikutnya.
Fase tersebut memperkenalkan kita
kepada V. A. Vandevere (Michael Keaton), pengusaha dunia hiburan yang berhasrat
menjadikan Dumbo bagian pertunjukkan taman bermain Dreamland miliknya. Eva
Green pun turut serta memerankan pemain trapeze
dengan julukan “Queen of the Heaven”
lewat aura menghipnotis seperti biasa. Mereka berdua mendatangi sirkus milik
Max, menawarkan kerja sama bagi seluruh penampil, meski kita tahu betul ia
hanya ingin merebut Dumbo.
Lalu apa yang terjadi pasca
bergabungnya sirkus dengan kemeriahan Dreamland? Latihan dan atraksi terbang
tentu saja. Dumbo berlatih lalu tampil di pertunjukan yang senantiasa
menghasilkan masalah. Terus demikian, sampai membuat film ini bagai 112 menit
kombilasi latihan terbang tanpa dibantu narasi memadahi. Saya dibuat
bertanya-tanya, apa yang naskahnya coba sampaikan? Nilai kekeluargaan? Larangan
menilai orang hanya lewat penampilan luarnya? Ajakan untuk berbuat baik? Semua
ada dan dicampur paksa. Dampaknya, konklusi Dumbo
gagal mengaduk perasaan, sebab proses yang karakternya lalui tak pernah jelas.
Klimaksnya melibatkan misi
penyelamatan, tatkala para anggota sirkus berkesempatan unjuk gigi kemampuan
masing-masing (Butuh waktu lebih dari 90 menit sampai mereka menjadi lebih dari
sebatas pajangan). Momen tersebut bisa terasa menghibur sekaligus rewarding andai (A) Bukan cuma numpang
lewat; dan (B) Bersedia mengeksplorasi unsur soal orang-orang (dan hewan) “aneh”
yang senantiasa dicemooh. Mungkin naskahnya menghindari kesan eksploitatif,
lalu memutuskan bermain aman dengan menyajikan kisah setengah matang.
Filmnya begitu datar dan dingin,
hanya menyisakan mata serta senyum Dumbo sebagai satu-satunya hal yang
memancarkan hati. Sebuah adegan berpotensi tampil magis, ketika
gelembung-gelembung sabun raksasa membentuk wujud cantik gajah-gajah merah
muda. Sayang, keajaibannya seketika memudar kala Burton menyusunnya sebagai
sekuen konyol dan cartoonish. Sama
seperti keseluruhan Dumbo, yang
menjadi salah satu adaptasi live action modern
Disney terburuk akibat kehilangan sihir sumber adaptasinya.
MY STUPID BOSS 2 (2019)
Rasyidharry
Maret 27, 2019
Bunga Citra Lestari
,
Chew Kin Wah
,
Comedy
,
Iedil Putra
,
Indonesian Film
,
Lumayan
,
Morgan Oey
,
REVIEW
,
Reza Rahadian
,
Sahil Shah
,
Upi
,
Verdi Solaiman
9 komentar
Walau kelucuannya fluktuatif, My Stupid Boss (2016)—adaptasi novel
berjudul sama karya Chaos@work yang sukses mengumpulkan lebih dari tiga juta
penonton—menghembuskan angin segar bagi genre komedi tanah air. Ketika banyak
komedi kita kurang memperhatikan tampilan sinematik, saya terkejut mendapati Upi
(30 Hari Mencari Cinta, Belenggu, My Generation)
dan tim artistiknya amat memperhatikan detail pemilihan warna maupun properti. Belum
lagi membahas transformasi ikonik Reza Rahadian.
Memasuki film kedua,
kelebihan-kelebihan tadi mampu dipertahankan. Di salah satu kesempatan kita
bisa melihat pulpen, kalkulator, sampai kertas diberi warna merah muda yang
senada, sementara pencahayaan di set kamar hotel Vietnam tak kalah memanjakan
mata. Demikian pula Reza yang mampu mengangkat humor terlemah sekalipun lewat
talenta komikal kreatifnya, entah dari gestur maupun percampuran Bahasa
Indonesia, Malaysia, Jawa, dan Inggris (semaunya).
Biar begitu, secara natural daya
kejut milik keunggulan-keunggulan tersebut jelas memudar. Selaku penulis, Upi
memahami risiko itu, lalu memutuskan mengikuti formula sekuel kebanyakan dengan
membuat filmnya lebih besar, baik soal kegilaan komedi atau skala cerita. Bukan
cuma berlatar di kantor dan Malaysia, karakternya mengajak kita berjalan-jalan
menuju Vietnam.
Dipicu kepelitan Bossman (Reza
Rahadian) yang menolak membelikan mesin pemotong kayu baru, sebagian besar
karyawan pabriknya memutuskan keluar. Sebagai solusi, Bossman membawa Kerani (Bunga
Citra Lestari), Mr. Kho (Chew Kinwah), dan Adrian (Iedil Putra) ke Vietnam guna
mencari karyawan baru dengan harga murah dengan bantuan warga lokal bernama
Nguyen (Morgan Oey). Secara bersamaan, Bossman pun menghadiri pertemuan
pebisnis furnitur se-Asia selaku pembicara. Makhluk macam apa yang mengundang
pebisnis gagal seperti dia?
Tentu anda tak perlu repot-repot
memikirkan logika semacam itu, karena di sini, Upi menambah absurditas yang
sesungguhnya sudah cukup tinggi di film pertama. Seperti pendahulunya, sederet
lelucon gagal mendarat tepat sasaran, entah akibat penulisan atau
penyutradaraan Upi yang kerap lalai memperhatikan timing melempar kelucuan. Fluktuasinya memang cukup ekstrim. My Stupid Boss 2 bisa begitu datar di
satu waktu, lalu luar biasa lucu di kesempatan lain.
Beruntung para pemain tampil total,
sehingga kehadiran lelucon hambar pun tak sampai taraf mengganggu. Bukan cuma
Reza, Morgan sebagai pria Vietnam berdarah panas, juga kelima anak buah Bossman
dengan variasi kepribadian yang makin kuat. Saya suka adegan saat Kerani
dikelilingi oleh teman-teman sekantornya. Menangkapnya dengan close up, Upi menjadikan situasi
tersebut sebuah pameran akan kepiawaian para pemain memerankan tokoh-tokoh kaya
warna. Tapi absurditas terlucu justru ditampilkan dua nama lain, yakni Shahil
Shah dan Verdi Solaiman sebagai dua kubu gangster berlawanan yang datang untuk
menagih hutang Bossman. Keduanya habis-habisan mengerahkan bakat komedik
masing-masing dalam sebuah “pertempuran epic”
yang takkan anda duga kemunculannya.
My Stupid Boss 2 bergulir cukup pendek, hannya 96 menit (film
pertamanya 108 menit), membuatnya lebih padat dan dinamis, khususnya saat Upi
menggulirkan kisahnya dalam kecepatan penuh. Namun, dari segi narasi, My Stupid Boss 2 mempunyai kelemahan
serupa pendahulunya, yaitu third act.
Jika film pertama memaksakan diri beralih ke drama demi menunjukkan kebaikan
terpendam Bossman, kali ini (dengan motif nyaris sama), third act-nya melompat menuju penceritaan berbeda. Walau telah disiratkan
sebelumnya, kisah yang mengisi klimaksnya jelas beranjak dari rute yang filmnya
tempuh di mayoritas durasi. Beruntung, idenya cukup gila untuk menghadirkan
tawa.
MARD KO DARD NAHI HOTA (2018)
Rasyidharry
Maret 26, 2019
Abhimanyu Dassani
,
Action
,
Comedy
,
Gulshan Devaiah
,
Hindi Movie
,
Jimit Trivedi
,
Lumayan
,
Mahesh Manjrekar
,
Radhika Madan
,
REVIEW
,
Vasan Bala
9 komentar
Mard Ko Dard Nahi Hota, atau yang memiliki judul
internasional The Man Who Feels No Pain,
mengisahkan dua jenis manusia: Seorang pria yang tak mampu merasakan sakit dan
wanita sering merasakan sakit tapi tak pernah mengeluhkannya. Penokohan itu
saja sudah cukup menyuntikkan dinamika menarik dan sedikit sentuhan humanistik
dalam film penuh baku hantam yang memenangkan segmen Midnight Madness pada ajang Toronto Internasional Film Festival
tahun lalu.
Sang pria bernama Surya (Abhimanyu
Dassani), menderita congenital
insensitivity to pain, sebuah kelainan medis langka yang meniadakan
kemampuannya merasakan sakit. Hal itu membuat sang ayah (Jimit Trivedi)
berusaha membatasi pergerakan Surya, termasuk mengikat tangan dan kakinya,
serta memakaikannya goggles. Bisa dipahami, sebab Surya bisa terluka, berdarah,
tulangnya bisa patah, namun ketiadaan rasa sakit membuatnya sulit mengukur
seberapa bahaya suatu luka.
Surya kecil pun jarang keluar
rumah, terlebih setelah dikeluarkan dari sekolah karena terlibat perkelahian. Beruntung
ia memiliki sang kakek, yang diperankan Mahesh Manjrekar lewat gaya akting yang
mengingatkan saya akan Rocky-nya Sylvester Stallone di dua film Creed (topi yang ia kenakan pun sama).
Melalui sang kakek, Surya berkenalan dengan ratusan film laga yang ia saksikan
melalui VHS. Dari situlah kepribadiannya terbentuk.
Semenjak itu, Surya bermimpi ingin
menjadi martial artist agar bisa
memberantas kejahatan. Intensi tersebut dipicu dua hal: Kematian sang ibu di
tangan perampok kala baru melahirkan Surya dan karena ia sering menyaksikan sahabatnya,
Supri (Radhika Madan), jadi korban tindak kekerasan oleh ayahnya yang pemabuk.
Hingga Surya menemukan rekaman berisi kumite melawan 100 orang yang dijalani pria
berkaki satu misterius bernama Karate Mani (Gulshan Devaiah). Terpukau,
Surya yang menghabiskan masa mudanya hanya berkutat di rumah pun diam-diam
berlatih bela diri dan tumbuh sebagai petarung handal.
Tentu di realita kita takkan bisa
semudah itu menguasai bela diri hanya lewat menonton film. Tapi Mard Ko Dard Nahi Hota memang bukan
suguhan realis, bahkan cenderung menolak tampil serius. Ditulis sekaligus
disutradarai Vasan Bala (Peddlers)
yang terinspirasi kisah seorang pasien dokter gigi yang tak memerlukan
anestesi, film ini murni ingin bersenang-senang sebagaimana Vasan ingin
mengulang kembali kebahagiaan masa kecilnya menyaksikan film-film laga. Mard Ko Dard Nahi Hota berusaha keras
terlihat unik dan segar, yang mana cukup berhasil, walau di beberapa kesempatan
justru membuatnya berantakan.
Progresi alurnya sengaja dikemas
agar menimbulkan kesan kacau. Sesekali adegan fantasi diterapkan untuk
menggambarkan imajinasi Surya, yang awalnya terasa kreatif, namun seiring waktu
mulai repetitif. Cara bertutur liar milik Vasan, ditemani penyuntingan cekatan
Prerna Saigal (Peddlers, Bombay Velvet)
dapat menginjeksi energi sekaligus membantu komedinya mendarat tepat sasaran,
tapi cukup sering pula menciptakan kerumitan tidak perlu.
Pastinya, gaya-gaya di atas sukses
menghindarkan filmnya dari kesan hambar. Dan begitu Surya tumbuh dewasa, lalu memulai
perjalanan memberantas kejahatan yang melibatkan idola dan sahabat masa kecilnya,
kita pun mulai disuguhi banyak pertarungan tangan kosong keren, yang nampak
bagai kombinasi aksi over-the-top India
(meski belum segila judul-judul produksi Telugu alias Tollywood) dengan film
kung-fu klasik asal China.
Menghabiskan tiga bulan pra-audisi
plus delapan bulan di pra-produksi berlatih bela diri, Abhimanyu Dassani menampilkan
atletisme luar biasa. Seluruh gerakannya meyakinkan, termasuk beberapa teknik
akrobatik yang menjadikan banyaknya pemakaian gerak lambat sebuah keputusan
tepat. Tidak kalah badass adalah
Radhika Madan sebagai Supri. Aktris yang pernah terlibat di sinetron Cinta di Pangkuan Himalaya tak kenal
ampun dalam menghajar lawan-lawannya, bahkan meski hanya bersenjatakan kain tipis.
Sementara di elemen dramatik, keberadaan Supri membuktikan bahwa Bollywood
selalu bersedia meluangkan waktu menyelipkan unsur female empowerment.
Berbeda dengan Surya yang bersikap
polos karena tak pernah menatap dunia luar, Supri paham betul kerasnya realita.
Terlalu paham malah. Hidup bersama ayahnya yang abusive sejak kecil, menginjak usia dewasa, Supri mesti berurusan
dengan pria bermasalah lain, yakni calon suami yang selalu mengontrol kehidupannya.
Bukan cuma kebebasan, ia pun menghalangi Supri menggunakan nuraninya untuk
menolong orang. Hiburan dalam Mard Ko
Dard Nahi Hota mungkin berasal dari si jagoan pria yanng tak kenal rasa
sakit, tapi pencuri hati sesungguhnya justru si wanita yang selalu merasakan
sakit, baik fisik maupun mental, tapi memilih menghadapinya sebelum akhirnya
merasa cukup dan mendobrak tembok penghalang itu.
ON THE BASIS OF SEX (2018)
Rasyidharry
Maret 25, 2019
Armie Hammer
,
Bagus
,
Biography
,
Cailee Spaeny
,
Chris Mulkey
,
Daniel Stiepleman
,
Felicity Jones
,
Mimi Leder
,
REVIEW
1 komentar
On the Basis of Sex dibuka oleh pemandangan ratusan pria dengan setelan
jas rapi berjalan serentak. Mereka adalah mahasiswa baru Sekolah Hukum Harvard.
Di antaranya, turut berjalan Ruth Bader Ginsburg (Felicity Jones). Tubuhnya
mungil, tapi ia menonjol di tengah kerumunan. Bukan saja karena pakaian hijau
yang ia kenakan, pula antusiasmenya sebagai satu dari sembilan wanita yang
diterima tahun itu.
Namun On the Basis of Sex bukan “cuma” soal itu. Ya, kita melihat Ruth
mengalami diskriminasi gender sejak menit pertama menjejakkan kaki di Harvard
saat sang Dekan merujuk para mahasiswa sebagai “He” atau “Harvard MAN”.
Tapi sekali lagi, film ini tak hanya mengenai Ruth. Film ini bukan membahas “aku”
atau “kamu”, melainkan “kita”, sebagaimana seluruh gerakan memperjuangkan
keadilan sosial termasuk pemberdayaan wanita semestinya digalakkan.
Membentangkan kisahnya sejak 1956
hingga awal 1970-an, On the Basis of Sex
mengisahkan perjuangan Ruth—yang tahun lalu juga dirangkum oleh dokumenter
peraih nominasi Oscar, RBG—mengubah Internal Revenue Code seksi 214, yang
serupa banyak pasal hukum lain di Amerika Serikat, melakukan diskriminasi
gender.
Pembangunan latarnya memaparkan
cukup rintangan yang dialami Ruth guna membuat kita memahami semangat
membaranya, seperti saat ia kesulitan mendapat pekerjaan akibat berbagai
alasan, termasuk tuduhan bahwa sebagai lulusan terbaik Harvard pastilah ia
bukan rekan yang menyenangkan, yang sesungguhnya bermuara pada kenyataan bahwa dirinya
seorang wanita. Digarap oleh penulis debutan Daniel Stiepleman, alurnya
mengalir layaknya film biografi kebanyakan yang melakukan lompatan-lompatan
antar periode, namun dilakukan secara mulus, sebab tiap periode punya tujuan
dan substansi jelas, bukan hanya paparan acak untuk mengisi durasi.
Saya mengagumi bagaimana filmnya
menekankan pada kesetaraan alih-alih kepentingan satu golongan belaka. Walau
jiwanya adalah tentang pembebasan hak wanita (sudah seharusnya demikian
mengingat itulah isu yang paling “kritis”), tak ketinggalan pula filmnya
membahas betapa pria pun kerap jadi korban diskriminasi. Apabila wanita
dipandang selaku pelayan dan penjaga rumah, maka pria merupakan pencari nafkah
di luar rumah, yang dianggap janggal bila memilih profesi perawat, guru, dan
lain-lain.
Poin utamanya adalah keadilan
sosial tanpa memandang gender. Itulah mengapa kita menemukan sosok Martin D.
Ginsburg, suami Ruth yang diperankan oleh Armie Hammer dalam karisma likeable seperti biasa, yang sepenuhnya
mendukung sang istri, meski ia sendiri belum sempurna dan sesekali memaklumi
komentar kasual bernada seksis. Perpaduan Ruth dan Martin menambah bobot emosi
lewat hembusan elemen drama romansa dan kisah keluarga.
Puncaknya saat Ruth bersama Martin
dan puteri mereka, Jane (Cailee Spaeny), mengusut kasus Charles Moritz (Chris
Mulkey). Charles adalah pria lajang yang menyewa perawat untuk menjaga sang ibu
yang telah berusia 89 tahun, agar ia bisa terus bekerja. Dia mengajukan
permintaan pemotongan pajak untuk jasa perawat tersebut, namun ditolak, sebab
menurut undang-undang, hanya wanita, janda, atau suami dengan istri yang mesti
mendapat perawatan intensif yang berhak menerima pemotongan.
Beberapa dialog sarat istilah hukum
mungkin bakal membingungkan, tapi On the
Basis of Sex berusaha semaksimal mungkin tidak mengalienasi penonton awam,
dengan mengulangi penyampaian poin kunci beberapa kali sehingga mudah dicerna
tanpa harus terdengar seperti eksposisi yang dipaksakan. Di samping itu,
kalimat-kalimat tulisan Stiepleman kerpa menghasilkan pencerahan seputar
mengapa banyak pasal hukum layak disebut diskriminatif. Misalnya tentang
keistimewaan palsu yang diberikan pada wanita, tetapi sesungguhnya mengekang,
di mana disebutkan bahwa “wanita cukup mengurus rumah, sehingga terhindnar dari
kewajiban berat mencari nafkah yang mesti ditanggung pria”.
Ceritanya berkulminasi dalam wujud courtroom drama, yang meski tak terasa
seperti puncak pertarungan (sesungguhnya ini baru awal perjuangan panjang
Ruth), tetap terasa sebagai klimaks yang layak berkat kualitas berbagai departemen.
Naskah Stiepleman urung menyederhanakan persidangan sebagai pertarungan hitam melawan
putih. On the Basis of Sex mendorong
kita mendukung Ruth sembari tetap memancing pemikiran. Para hakim bukan antagonis
kejam, melainkan lawan debat objektif yang menguji keabsahan argumen Ruth dan
timnya. Alhasil keberhasilan Ruth lebih bermakna karena ia sudah membuktikan
kelayakannya.
Penyutradaraan Mimi Leder (Deep Impact, The Peacemaker, Pay It Forward)
yang kembali pasca absen nyaris satu dekade, atau 18 tahun bila menghitung sejak
rilisan layar lebar terakhirnya, menerapkan formula tradisional yang terbukti
efektif menghantarkan emosi lewat reaction
shot yang memancing respon emosi penonton. Kameranya banyak berfokus pada
ekspresi wajah para pemain, dan Felicity Jones siap melaksanakan tugasnya lewat
performa menggugah yang mengaduk perasaan, khususnya saat ia mulai menampar
melalui pernyataan fakta, bahwa selama 100 tahun, negara terus menahan progres
kemerdekaan hak wanita.
POHON TERKENAL (2019)
Rasyidharry
Maret 24, 2019
Annisa Meutia
,
Cok Simbara
,
Drama
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Laura Theux
,
Lina Nurmalina
,
Monty Tiwa
,
Raim Laode
,
REVIEW
,
Romance
,
Umay Shahab
10 komentar
Daripada propaganda penuh usaha
mengagungkan Akademi Kepolisian (Akpol) atau iklan layanan masyarakat berkedok
film, saya mengapresiasi usaha Pohon
Terkenal tampil ringan nan menghibur dengan memakai sampul film romansa
anak muda. Walau bagaimana ceritanya bergulir bukanlah sesuatu yang pantas
dibanggakan. Lahir satu lagi film dengan niatan baik namun tersandung penuturan
lemah di mana beberapa konflik selesai secara ajaib, sedangkan lainnya
ditinggalkan begitu saja untuk hilang tanpa bekas.
Judulnya merujuk pada sebutan bagi
biang onar di Akpol. Para biang onar itu adalah tiga sahabat: Johanes (Raim
Laode) si jenaka dari Papua, Ayu (Laura Theux) si anak jenderal yang punya
hubungan renggang dengan sang ayah, dan Bara (Umay Shahab) yang terpaksa masuk
Akpol karena terlanjur bernazar saat berdoa demi kesembuhan ibunya.
Di antara ketiganya, Bara paling
sering membuat masalah, yang bahkan kerap membuat satu angkatan dikenai
tindakan (hukuman). Dia bahkan sempat mencoba kabur di satu titik, sebab
baginya tak ada alasan untuk tetap tinggal menjalani pelatihan keras di sana.
Sampai romansa antara ia dan Ayu mulai bersemi, memberi Bara alasan bertahan di
Akpol. Apakah nantinya Bara menemukan alasan selain cinta? Rupanya tidak.
Saya mengira alasan lain itu bakal
muncul dalam wujud sang ibu, tapi elemen ibu-anak yang dibangun di awal, hilang
sejak pertengahan tanpa memberi emotional
payoff sepantasnya. Hal serupa menimpa konflik antara Ayu dengan salah satu
senior Taruni yang menuduhnya bersikap manja sebagai puteri jenderal.
Pertikaian panas mereka yang bahkan sempat menjurus ke arah benturan fisik
mendadak usai, sama mendadaknya dengan menguapnya cemoohan publik terhadap
protagonis kita pasca mereka melakukan suatu pelanggaran serius.
Bahkan Pohon Terkenal ditutup lewat cara serupa, sehingga bukan mustahil banyak
penonton akan mengira filmnya belum usai. Ketimbang menutup secara pantas,
diselipkanlah voice over merangkup
nasib karakter-karakternya selepas masa pendidikan yang terasa seperti sebuah
langkah malas, kemudian disusul mid-credits
scene dengan eksekusi cringey. Tapi
saya berbohong jika berkata tidak sekalipun merasa terhibur. Beberapa humornya
bekerja cukup baik, khususnya yang melibatkan karakter komikal Johanes.
Sedangkan romansanya diawali kurang
meyakinkan akibat sebuah adegan “ciuman di kening” yang terasa canggung (for the wrong reason), sebab naskah
serta penyutradaraan Monty Tiwa (Critical
Eleven, Lagi-Lagi Ateng) yang berduet bersama mantan asistennya, Annisa
Meutia, menghasilkan proses stimulus-respon yang aneh. Setidaknya performa
Laura dan Umay menjadikan romansanya layak tonton. Laura memancarkan aura gadis
bertekad kuat, sementara Umay cukup piawai bermain rasa.
Satu hal yang melukai akting Umay
adalah tubuhnya. Bukan, ini bukan komentar bernada bodyshaming, melainkan murni logika. Diceritakan, Bara menjalani
empat tahun latihan keras di Akpol, namun tubuh sang aktor tak memperlihatkan
itu. Gesturnya lembek, posturnya jauh dari tegap, dan tubuhnya belum mengering
(berbeda dengan kurus). Dia masih tampak bagai remaja awal yang baru lulus SMA.
Saya tak pernah tertarik pada Akpol
atau instansi serupa lain. Walau Pohon
Terkenal takkan tiba-tiba memancing rasa kagum, saya suka caranya
menggambarkan Akpol sebagai tempat di mana hal-hal keseharian seperti jatuh
cinta dan persahabatan bisa terjadi. Penuh ketegasan, tapi bukan neraka dunia,
sebab perbedaan ras, agama, atau gender tak jadi masalah. Bukannya membusungkan
dada soal kehebatan Akpol, film ini menginformasikan bahwa mereka membuka
tempat membangun masa depan bagi masyarakat dengan finansial lemah. “Daripada
menganggur tanpa arah, lebih baik masuk Akpol”. Biar bagaimanapun, saya
mengamini pernyataan tersebut.
Pohon Terkenal tak lupa menyinggung dualitas peran anggota
kepolisian, yakni sebagai individu dan pelayan negara lewat hubungan Ayu dengan
sang ayah (Cok Simbara), yang meski pendek pula urung menyentuh tingkat emosi
yang diharapkan, cukup selaku penjelas kondisi di atas. Presentasinya pun bukan
melalui teriakan nasionalisme berlebihan, tapi tuturan hangat. Andai saja
naskah hasil tulisan Monty Tiwa, Annisa Meutia, dan Lina Nurmalina (Bukan Bintang Biasa The Movie, Istri Bo’ongan)
mampu tampil solid guna menyokong pesan baik filmnya.
TRIPLE THREAT (2019)
Rasyidharry
Maret 23, 2019
Action
,
Celina Jade
,
Fangjin Song
,
Iko Uwais
,
Jeeja Yanin
,
Jesse V. Johnson
,
Joey O’Bryan
,
Jonathan Hall
,
Kurang
,
Michael Bisping
,
Michael Jai White
,
Paul Staheli
,
REVIEW
,
Scott Adkins
,
Tiger Chen
,
Tony Jaa
19 komentar
Triple Threat menjual janji menggiurkan berupa penyatuan tiga
jagoan bela diri Asia: Tony Jaa, Iko Uwais, dan Tiger Chen. Bahkan trailer-nya ditutup oleh money shot keren di mana ketiganya
berjalan beriringan dibalut gerak lambat. Tapi bukan saja money shot itu urung ditemukan di hasil akhir filmnya (hanya
sekilas nampak selepas ending), Triple Threat mengkhianati esensi film
aksi ensemble dengan mengemas babak
pamungkasnya bak panggung solo.
Salah satu aturan tidak tertulis
bagi film semacam ini adalah membuat penonton bersorak kala para jagoan
akhirnya bersedia mengesampingkan perbedaan untuk bersatu melawan musuh yang
lebih tangguh. Tengok saja baku hantam puncak milik The Raid atau SPL II: A Time
for Consuquences sebagai contoh gampang. Tanpanya, meski didukung penampil
papan atas, kepuasan menonton takkan mencapai titik tertinggi.
Terjadinya hal itu dalam Triple Threat amat disayangkan,
mengingat karya penyutradaraan Jesse V. Johnson (Green Street Hooligans 2, Accident Man) ini merupakan salah satu
suguhan aksi dengan jajaran ensemble cast
paling menarik sejak The Expendable.
Di samping tiga aktor utama, turut hadir Scott Adkins, Michael Jai White, Jeeja
Yanin, dan Michael Bisping. Serupa trio Iko-Tiger-Tony, mereka adalah bintang
laga berkemampuan bela diri mumpuni (Silahkan buktikan di Chocolate, Blood and Bone, Undisputed II: Last Man Standing, atau Ninja).
Alur dalam naskah buatan Joey O’Bryan
(Motorway, Fulltime Killer), Fangjin
Song, dan Paul Staheli (Pressure,
Guardians of the Tomb) bukan cuma tipis, juga kelewat bodoh, bahkan untuk
ukuran film kelas b. Berlatar sebuah negara fiktif di Asia Tenggara, kisahnya
dimulai dengan mengenalkan Xian (Celina Jade), puteri konglomerat Cina yang
menyisihkan hartanya guna menumpas korupsi dan sindikat kriminal.
Kemudian kita diajak berpindah ke
pedalaman hutan, menyaksikan sekelompok pasukan bersenjata menyerbu sebuah kamp.
Payu (Tony Jaa) dan Long Fei (Tiger Chen) bersedia turut serta sebagai penunjuk
jalan karena mengira sedang terlibat suatu misi kemanusiaan. Rupanya itu hanya
kedok untuk membebaskan teroris beringas bernama Collins (Scott Adkins), supaya
ia dapat membungkam Xian, yang keberadaannya mengancam eksistensi sindikat.
Mengapa repot-repot begitu jika anda adalah kriminal super kaya yang mampu merekrut
seluruh pembunuh nomor satu yang tersedia?
Apabila belum cukup absurd, tunggu
sampai Jaka (Iko Uwais) tereret ke dalam konflik. Jaka merupakan salah satu
penghuni kamp. Dia selamat dari serbuan, namun malang, istrinya tewas
tertembak. Jaka memulai perjalanan balas dendamnya dengan mencari Payu dan Long
Fei, tapi justru memilih bergabung setelah menyadari jika keduanya hanya korban
yang juga ingin menuntut balas. Andai kisahnya benar-benar sesederhana itu.
Ketimbang langsung membuat
ketiganya bertarung bersama, trio penulisnya memilih membuat menyusun Jaka
suatu rencana rumit, yang semata hanya berguna supaya filmnya bisa bergulir
selama 90 menit. Wajar jika anda kesulitan memahami destinasi rencana Jaka,
sebab bila menghabisi pembunuh sang istri merupakan tujuannya, hal itu mampu dilakukan
tanpa harus melalui skema berbelit yang akan membuat para penganut teori
konspirasi pusing tujuh keliling.
Tapi mari lupakan kebodohan
alurnya. Saya menonton Triple Threat
karena ingin melihat para jagoan laga nomor satu berkumpul memamerkan kebolehan
berkelahi. Tiger dan Tony menampilkan koreografi kelas wahid seperti biasa,
meski porsinya terlampau singkat dan sang sutradara belum piawai mengglorifikasi
gerakan aktornya. Setidaknya, gerak kamera Jonathan Hall (Zombeavers, Burying the Ex) bersedia mempelihatkan semua baku
hantam tanpa perlu dibungkus penyuntingan frantic
khas film aksi Hollywood belakangan. Sayang, adu jurusnya mesti berbagi
jatah dengan ledakan dan baku tembak medioker, yang di satu titik sempat keliru
menerapkan efek suara senapan otomatis untuk pistol.
Kalau anda datang demi Iko Uwais,
bersiaplah kecewa. Tanpa menghitung Star
Wars: The Force Awakens, Triple
Threat adalah film yang paling gagal perihal memanfaatkan gerak silat
secepat kilat milik sang bintang. Iko urung diberi kesempatan bersinar, pun
kemenangannya di beberapa pertarungan harus melibatkan bantuan senjata api atau
kebetulan-kebetulan yang melapangkan jalannya.
Di antara tiga tokoh utama, Jaka
jadi satu-satunya yang mengusung alasan personal, tapi lucunya, ia tak
berkesempatan melancarkan serangan penutup. Jangankan itu, ia bahkan tidak
dilibatkan di pertarungan final. Muay Thai milik Tony Jaa dan roundhouse kick khas Soctt Adkins tetap
menghibur mata, tapi kembali, olahan Jesse V. Johnson mengurangi dampaknya, dan
perlu saya tekankan lagi, Triple Threat
adalah film aksi ensemble. Haram
hukumnya menutup film semacam ini tanpa melibatkan seluruh protagonis di momen
puncak. Sekalian saja membuat Tom-Yum-Goong 3 atau Ong Bak 4.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Posting Komentar