MANGKUJIWO (2020)

7 komentar
Walau hasilnya belum begitu solid, seri terbaru Kuntilanak yang dimulai dua tahun lalu merupakan salah satu seri horor Indonesia paling berani. Ketimbang mengulangi formula kesuksesan trilogi lama yang dibintangi Julie Estelle, film pertama dan keduanya justru mengusung bentuk horor keluarga dengan menempatkan karakter anak-anak sebagai sentral. Selaku prekuel, Mangkujiwo menegaskan anggapan tersebut saat sekali lagi banting setir ke arah berbeda, bukan cuma dibandingkan para pendahulunya, juga horor-horor lokal kebanyakan.

Ketika budaya klenik kedaerahan biasanya sekadar jadi pajangan, naskah garapan Dirmawan Hatta (The Mirror Never Lies, Bulan di Atas Kuburan, Another Trip to the Moon) dan Erwanto Alphadullah (sebelumnya menjabat manajer produksi di Kuntilanak versi 2018) bersedia mengeksplorasi, bahkan menjadikannya amunisi menakut-nakuti. Begitu menyaksikan Brotoseno (Sujiwo Tejo) menjalankan ritual mencambuki dirinya atau membuat nasi kepal dengan darah dan organ-organ hewan sebagai lauk serta bumbu penyedap, anda akan menyadari Mangkujiwo bukan untuk penonton berperut lemah.

Alkisah, Brotoseno menyimpan dendam setelah disingkirkan dari keraton akibat fitnah Cokrokusumo (Roy Marten). Rencana pembalasan tercetus saat ia menemukan Kanthi (Asmara Abigail), gadis yang dipasung, juga akibat fitnah Cokrokusumo. Dibawanya Kanthi, dipasungnya si gadis di depan pengilon kembar (cermin kembar yang sama-sama dimiliki Brotoseno dan Cokrokusumo) untuk kemudian disiksa tiap malam menggunakan berbagai ritual ilmu hitam, guna menciptakan senjata membalas perbuatan Cokrokusumo.

Jadi, apakah asal muasal sosok Kuntilanak terjelaskan? Kurang lebih. Tersimpan gagasan menarik tentang bagaimana hantu mengerikan ini merupakan produk perebutan kekuasaan. Mangkujiwo adalah kisah mengenai orang-orang biasa yang dijadikan bidak para penguasa. Sayangnya pengilon kembar masih sebatas alat pemberi jalan pintas agar plotnya berjalan. Pokoknya cermin itu adalah cermin ajaib “pemberian” Laut Selatan yang bisa mengabulkan segala permintaan, alias memfasilitasi penulis melakukan apa saja tanpa perlu memikirkan rules atau logika, tidak peduli seacak apa pun itu.

Perseteruan Brotoseno dan Cokrokusumo berlangsung puluhan tahun, dan di sinilah Mangkujiwo menerapkan bentuk narasi non-linear yang cukup berisiko. Di awal durasi, kita seolah disuguhi berbagai cabang alur tak berkaitan yang silih berganti mengisi, termasuk soal Uma (Yasamin Jasem) si gadis remaja yang bekerja di sebuah hotel, dan tidak sengaja melihat pembunuhan yang dilakukan Karmila (Karina Suwandi) dan rekan-rekannya selaku penjual barang pusaka. Nantinya semua cabang tersebut bakal bertemu.

Kelebihan penceritaan non-linear ini adalah memperkuat bangunan misteri. Pertanyaan selalu muncul, menjaga kepadata alur sepanjang 106 menit perjalanan Mangkujiwo. Kelemahannya, tidak semua transisi antar lini waktu terjahit rapi. Lompatan-lompatan kasar kerap tercipta, pun di paruh awal—sebelum dua warna rambut Sujiwo Tejo bisa dipakai sebagai alat bantu membedakan latar waktu—potensi membuat penonton kebingungan cukup besar. Hal ini penting terkait menjaga atensi penonton. Apalagi Mangkujiwo bukan horor yang gemar menebar jump scare, sehingga kesolidan bercerita wajib hukumnya.

Minimnya penampakan mengagetkan hantu digantikan oleh pemandangan lain yang jauh lebih mencekam (dan membuat mual). Sutradara Azhar Kinoi Lubis (Kafir: Bersekutu dengan Setan, Ikut Aku Ke Neraka) memperlihatkan keterampilan memainkan atmosfer. Pacing-nya terjaga, sambil memastikan kamera menangkap tiap detail tata artistik, khususnya dalam ruang tempat Brotoseno melakoni ritual yang tampilannya menimbulkan perasaan tidak nyaman.

Azhar membuktikan bahwa membangun teror tidak melulu harus mengumbar penampakan murahan makhluk halus. Cukup kumpulkan beragam hewan (ular, kodok, kalajengking, laba-laba, cicak), biarkan berkeliaran, atau sekali waktu, bedah isi perut mereka. Mangkujiwo memang tidak takut menumpahkan darah atau organ tubuh, yang dampaknya begitu kuat berkat beberapa efek praktikal mumpuni. Kelemahan sang sutradara—yang telah nampak sejak Kafir—sayangnya masih bisa ditemukan. Azhar Kinoi Lubis jago membangun atmosfer atau mengeksploitasi gore, tapi tidak ketika dihadapkan pada adegan bertempo cepat berbumbu aksi. Klimaks yang mestinya jadi babak pembantaian puncak malah berakhir canggung. Efek slow motion diterapkan demi kesan dramatis, padahal pengadeganan aslinya sudah terlampau lambat.

Selain itu, walau jauh lebih baik dibanding mayoritas kompatriotnya sesama horor lokal, naskah Mangkujiwo juga belum sepenuhnya lepas dari lubang-lubang, dari yang menimbulkan pertanyaan “Kok bisa?”, hingga pengembangan karakter yang tak alamiah. Saya membicarakan karakter Uma di sini. Biarpun sudah “dicuci otak”, keputusannya memasuki babak akhir film tetap terlampau ekstrim, seolah ada jembatan proses yang dilompati.

Mangkujiwo juga memiliki jajaran pemain dengan akting memuaskan. Seperti biasa, apa pun yang dilakukan Sujiwo Tejo di layar selalu memancarkan kemistisan, meski adegan Brotoseno memainkan saksofon terlalu out-of-place (saya cukup yakin ini ide sang aktor). Septian Dwi Cahyo, yang mungkin lebih banyak dikenal selaku seniman pantomim, memerankan Sadi, asisten Brotoseno yang mempunyai badan bungkuk dan tak bisa bicara, tanpa harus jatuh ke ranah karikatur. Dibantu tata rias yang mendukung, Asmara Abigail menghidupkan sosok yang pastinya takkan mau anda temui langsung di dunia nyata. Sedangkan di usia yang baru akan menginjak 16 tahun, Yasamin Jasem menambah satu lagi daftar aktris muda potensial tanah air, selama ia terus mengasah penampilan sekaligus jeli memilih peran.

Di luar kekurangan yang masih bertebaran, setidaknya, Mangkujiwo berhasil membuat elemen kejawen bukan pernak-pernik sambil lalu. Di tiap sudutnya, aroma misterius dari budaya mistisisme itu selalu tercium. Ditambah intensi baik untuk tidak sekadar mengeksploitasi jump scare, juga pengembangan latar cerita memadai supaya status prekuel bukanlah tempelan semata (baca: alasan memperbanyak installment demi menambah profit), Mangkujiwo mampu memperpanjang napas seri Kuntilanak.

7 komentar :

Comment Page:

GIRL ON THE THIRD FLOOR (2019)

3 komentar
Mantan megabintang WWE Phil Brooks alias CM Punk melakoni debut aktingnya sebagai seorang pria yang mendefinisikan “toxic masculinity”. Dia membenci warna merah muda, menganggap pastur selalu berkelamin laki-laki, menjustifikasi perselingkuhannya dengan berkata “I earned that” tatkala sang istri yang tengah hamil tua menafkahi dirinya. Girl on the Third Floor merupakan satu lagi horor generasi #MeToo yang vokal bersuara tanpa melupakan tugasnya menebar teror, meski paparan pesannya tak semulus harapan.

Don Koch nama karakter yang diperankan CM Punk. Dia dan istrinya, Liz Koch (Trieste Kelly Dunn), baru saja membeli rumah di pinggiran kota Chicago. Don memilih merenovasi rumah itu sendiri, untuk sementara meninggalkan Liz yang sedang mengandung. Banyak yang harus diperbaiki, sebutlah tembok berlubang, pipa mampet, sampai langit-langit yang runtuh. Sementara Don kelabakan menangani renovasi, penonton pun pelan-pelan memahami jati dirinya, termasuk alasan pasangan suami-istri ini memutuskan pindah jauh dari kemewahan kota besar.

Dalam menulis naskahnya, sutradara Travis Stevens bersama Paul Johnstone dan Ben Parker pelan-pelan menyusun keping-keping soal Don. Praktis sekitar separuh awal dipakai sebagai studi karakter. Kita diberi kesempatan mengobservasi kepribadiannya, bahkan melalui hal-hal kecil yang terkesan remeh seperti komentar dengan nada bercanda. Dari sesosok suami dengan ketidaksempurnaan biasa (curi-curi kesempatan minum alkohol di belakang istri), semakin banyak informasi yang kita dapat, semakin terungkap kebobrokan Don, sama seperti rahasia gelap rumahnya yang lama-lama terungkap.

Sebagai bagian subgenre horor yakni haunted house, rumah di sini bukan sebatas latar, melainkan entitas tersendiri. Melalui lendir-lendir yang keluar dari berbagai perabot atau lubang-lubang hitam misterius, rumahnya seolah hidup. Hidup dengan cara menelan kegelapan dalam diri para penghuni rumah yang gagal mereka tahan. Baik Don maupun rumanya, sama-sama mengungkap sisi gelapnya begitu masing-masing dipugar dan “ditelanjangi”. Khusus bagi Don, sisi itu makin terpampang nyata sejak kehadiran gadis cantik bernama Sarah (Sarah Brooks).

Memerankan suami bermasalah, CM Punk punya poin positif serta negatif dalam performanya. Sewaktu dituntut membuat gestur dan ekspresi kecil atau malah sekadar berdiam diri, ia punya kebrengsekan alami yang membuat figurnya meyakinkan. Sebaliknya, kala diharuskan berakting lebih “besar”, kealamian tersebut hilang, digantikan oleh penampilan serba berlebihan sebagaimana yang kerap ditampilkannya di atas ring. Meski demikian, gaya akting itu justru cocok saat diterapkan begitu filmnya memasuki paruh kedua dan meninggalkan fase studi karakter untuk menggila di jalur kebrutalan khas b-movie.

Bagi yang mengira Girl on the Third Floor bakal tancap gas sejak dini mungkin akan merasa terkecoh, sebab dalam debut penyutradaraannya, Travis Stevens menerapkan teknik slow burn. Terkadang pemandangan berulang seperti lelehan lendir atau kelereng yang menggelinding terkesan repetitif, tapi Stevens punya bakat merangkai tuturan bertempo agak lambat supaya tetap dinamis, tak monoton, juga nyaman diikuti. Stevens tidak menyeret film, melainkan menuntunnya dengan sabar tapi pasti.

Barulah melewati paruh kedua, Girl on the Third Floor mulai habis-habisan membuka tirai neraka berwujud rumah mengerikan lewat parade gambar-gambar disturbing pula menjijikkan, dan tentunya sadisme berdarah yang beberapa di antaranya terasa menyakitkan. Travis Stevens punya visi meneror mumpuni, tapi pujian tinggi juga mesti dialamatkan kepada penata efek spesial Dan Martin (Isle of Dogs, Nina Forever, Free Fire) yang memalingkan pilihan ke efek praktikal ketimbang CGI. Dampak terornya jauh lebih tinggi dan nyata, sekaligus mengingatkan akan masa kejayaan horor-horor klasik era 80-an.

Sebagai horor tidak banyak kelemahan dimiliki filmnya, namun terkait penghantaran pesan seputar isu gender, penulisannya cukup bermasalah. Ini adalah kisah tentang manusia yang ditelan kegelapan dirinya. Tentang bagaimana ia dihadapkan pada dua pilihan kemudian secara sadar memilih kegelapan itu, dan secara khusus tentang hukuman terhadap toxic masculinity

Sehingga, keputusan mematikan beberapa tokoh patut dipertanyakan. Apakah mereka diuji? Tidak. Apakah mereka diperlihatkan menghadapi kegelapan diri? Tidak juga. Alhasil, timbul kesan jika para penulis kehabisan akal guna menambah kuantitas teror justru menyebabkan inkonsistensi. Ketika sebuah film berusaha melontarkan pesan tertentu, inkonsistensi macam itu jelas sukar ditoleransi. Tapi kesampingkan itu dan bersabarlah mengikuti paruh awalnya, maka Girl on the Third Floor adalah horor disturbing yang mengasyikkan.

3 komentar :

Comment Page:

ENTER THE FAT DRAGON (2020)

4 komentar
Setelah kesuksesan Ip Man 4: The Finale baik secara komersial maupun critical, Donnie Yen kembali dengan Enter the Fat Dragon, selaku remake film Sammo Hung rilisan tahun 1978, walau sebenarnya kedua film ini sekadar berbagi judul tanpa memiliki kesamaan plot. Kalau Sammo Hung memerankan peternak babi pengagum Bruce Lee, maka Donnie Yen adalah Fallon Zhu, polisi Hong Kong jago bela diri yang badannya menggemuk selepas ditinggalkan tunangannya dan dimutasi akibat kerap merusak fasilitas umum tiap mengejar penjahat.

Jackass of the century”. Demikian julukan yang disematkan kepada Fallon. Kontrol dirinya kala beraksi memang buruk, dan karena itu, dalam satu hari ia kehilangan segalanya. Setelah menggagalkan aksi perampokan yang berujung kehancuran di mana-mana, Fallon dipindahkan ke departemen penyimpanan barang bukti. Bukan itu saja, dia pun ditinggalkan oleh tunangannya, Chloe (Niki Chow), akibat telat menghadiri sesi pemotretan pre-wedding. Chloe merasa selalu dinomorduakan, pun menganggap Fallon kurang mendukung karirnya sebagai aktris yang kerap menuai kritikan karena akting buruknya.

Kini hanya duduk seharian di balik meja, Fallon pun menenggelamkan diri dalam makanan sehingga berat badannya melonjak dua kali lipat hingga melebihi 100 kg. Kesempatan untuk mengembalikan hidupnya seperti sedia kala datang sewaktu Fallon ditugaskan ke Jepang guna mengawal seorang tahanan. Misi sederhana itu berubah runyam karena keterlibatan geng Yakuza, yang secara kebetulan sedang menyewa jasa Chloe di sebuah acara.

Ditulis naskahnya oleh Wong Jing—sutradara produktif yang telah menggarap sekitar 115 judul—yang turut mengarahkan filmnya bersama Kenji Tanigaki, Enter the Fat Dragon sedikit menaburkan gaya mo lei tau (bentuk komedi yang dipopulerkan Stephen Chow pada 90-an) dalam humornya yang mengandalkan slapstick, terutama di paruh awal, misalnya saat dua reporter televisi mendadak menyiarkan secara langsung perkelahian Fallon melawan para perampok bank. Kadarnya tidak begitu kental, tapi jejaknya jelas kentara, apalagi melihat keterlibatan Sandra Ng, salah satu aktris yang identik dengan mo lei tau.

Teknik melucu itu bukan diperuntukkan bagi semua orang khususnya penonton modern (salah satu alasan mengapa Chow sendiri mulai meninggalkannya). Wong Jing kentara berusaha membatasi kadarnya, yang justru mengakibatkan kesan setengah-setengah, sebelum akhirnya total beralih ke slapstick monoton yang penghantarannya enggan memedulikan timing, seolah asal terjang dengan deretan punchline lemah. Hasilnya hit-and-miss, dengan persentase meleset lebih tinggi. Lain cerita saat Wong Jing lebih memeras absurditas kreatifnya. Di situ, humornya efektif, semisal kala ia memparodikan beberapa adegan ikonik dalam film-film aksi Donnie Yen.

Tapi kelemahan terbesar Enter the Fat Dragon adalah kegagalan menangkap poin utama film aslinya. Menampilkan Donnie Yen dalam balutan fat suit, ketanggulan, kelincahan, dan kelenturan Fallon saat berkelahi tidak ada bedanya dibanding ketika masih prima. Pada versi 1978, menarik melihat Sammo Hung mengejutkan orang-orang yang meremehkannya sewaktu menghajar lawan-lawannya meski tubuhnya gemuk. Sedangkan di sini, sejak awal kita sudah mengetahui kehebatan Fallon, yang tak terkikis sama sekali begitu ia menjadi gemuk. Hal ini menghilangkan elemen kejutan dan humor yang semestinya timbul, padahal sang aktor sudah berusaha semaksimal mungkin bertingkah konyol.

Paling tidak, seperti biasa menyaksikan Donnie Yen beraksi merupakan hiburan tersendiri. Asumsi saya, Wong Jing bertugas menangani aspek komedi, sedangkan aksi diserahkan kepada Kenji Tanigaki yang pernah terlibat sebagai stunt di film-film Hollywood seperti Mortal Kombat: Annihilation (1997) dan Blade II (2002). Kenji menggabungkan teknik bertarung raw milik Donnie Yen dengan spectacle berbumbu slapstick ala Jackie Chan, dibungkus koreografi serta gerak kamera yang cukup dinamis.

Puncaknya adalah klimaks seru di Menara Tokyo, yang makin memuaskan berkat ikut sertanya Chloe, sebab pada film aksi, tidak ada cara yang lebih baik untuk menyatukan sepasang kekasih dibandingkan membuat mereka menyatukan kekuatan dalam baku hantam. Apalagi sepanjang durasi, Niki Chow sudah berhasil menjadi salah satu penampil paling mencuri perhatian lewat kelucuannya. Selalu menyenangkan melihat seorang aktris cantik yang berani melakoni adegan-adegan memalukan demi memunculkan efek komedik. Sayang, di samping menit-menit awal dan akhir, Enter the Fat Dragon tak lebih dari tontonan monoton yang menyia-nyiakan potensinya.

4 komentar :

Comment Page:

DIGNITATE (2020)

3 komentar
Dignitate jelas bukan persembahan terbaik seorang Fajar Nugros, tapi film ini membuktikan bahwa sang sutradara/penulis naskah telah memantapkan cirinya, terutama perihal mengocok perut penonton lewat “gojek kere”. Bahkan dalam karya terbarunya yang dipenuhi keklisean dramatisasi khas adaptasi cerita Wattpad remaja ini, gaya tersebut tetap Fajar pertahankan dan berujung mengangkat kualitas Dignitate, walau akhirnya tidak banyak yang dapat dilakukan, sebab ia mendapat materi sumber yang terlanjur sukar diperbaiki.

Dikisahkan, Alana (Caitlin Halderman) terpaksa pindah ke sekolah baru akibat suatu alasan yang baru diungkap belakangan. Karena alasan itu pula mamanya (Izabel Jahja) bersikap (terlalu) protektif. Di kelas, Alana duduk sebangku dengan Alfi (Al Ghazali), siswa idola para siswi yang bukan cuma ganteng, juga berotak encer. Walau demikian, sososk Alfi jauh dari kata ramah. Dia hanya fokus pada pelajaran, juga kerap berlaku kasar kepada wanita, biarpun sahabatnya, Keenan (Teuku Ryzki), berulang kali memintanya berubah.

Tidak perlu menonton ribuan film atau membaca setumpuk novel remaja untuk tahu, walau awalnya selalu bertengkar, Alana dan Alfi nantinya akan saling cinta. Masalahnya adalah, mereka berdua sama-sama menyimpan masa lalu kelam. Dan bukan cerita Wattpad populer namanya, kalau tidak ada twist berupa keterkaitan-keterkaitan yang didasari kebetulan-kebetulan menggelikan. Ditambah jajaran pemain berparas cantik dan tampan, bagi sebagian besar target pasarnya, Dignitate punya amunisi lengkap untuk membuat mereka berteriak histeris bahkan menangis.

Penonton di luar golongan tersebut mungkin juga bakal menangis. Menangis meratapi mengapa remaja sekarang menggilai kisah semacam ini, yang seolah tidak lengkap jika ceritanya belum berlarut-larut guna memfasilitasi semua jenis penderitaan dan kesialan, yang memancing respon “Ya ampun kasihan banget!” atau “Ya Tuhan, bisa-bisanya....”. Apabila filmnya ditutup sekitar 10 menit lebih cepat, niscaya hasilnya jauh lebih baik.

“Berlebihan” adalah kata yang paling pas menggambarkan alur Dignitate. Sangat berlebihan, niat baik menyampaikan pesan tentang “harga diri wanita” tenggelam dan berhenti sebagai kalimat-kalimat kosong yang keluar dari mulut karakternya saja. Tapi selaku penulis naskah, Fajar Nugros memang tidak bisa berbuat banyak. Tuntutan setia terhadap materi adaptasi karya Hana Margaretha demi memuaskan penggemar tak bisa dikesampingkan, meski beberapa kebodohan semestinya bisa diperbaiki.

Hasil pencarian gambar di Google untuk kata "Alana" yang seluruhnya memperlihatkan wajah si karakter; mama Alana yang dengan mudah melunak walau baru sekali bertemu Alfi; bagaimana Alana bisa mendadak muncul di parkiran pada sebuah peristiwa dramatis jelang akhir. Berbagai kejanggalan di atas bukanlah keabsolutan yang mustahil dibenahi.

Tapi seperti telah disampaikan, untungnya Fajar melakukan satu “pertolongan darurat” dengan cara menginjeksi humor-humor ringan andalannya, yang setia menyegarkan suasana di tengah tuturan dramanya. Tahun lalu Fajar juga sempat menggarap adaptasi cerita Wattpad lewat MeloDylan, tapi keliarannya bagai tertahan. Sedangkan dalam Dignitate, tiap ada kesempatan, komedi selalu ditampilkan. Dan uniknya, ini termasuk salah satu presentasi komedi terbaik yang pernah Fajar lakukan. Materinya segar, timing penghantarannya tepat, dan jajaran pemainnya, termasuk Teuku Ryzki, Dinda Kanya Dewi, hingga dua langganan sang sutradara, yakni Arief Didu dan Erick Estrada, mampu memanfaatkan kesempatan sesingkat apa pun.

Sedangkan pada dua pemeran utama, terjadi ketimpangan. Sewaktu penampilan Caitlin Halderman dapat dijabarkan memakai kata-kata yang mendeskripsikan “protagonis lovable” (lucu, bertenaga, menggemaskan, dan lain-lain), Al Ghazali belum berubah sejak debutnya di Runaway enam tahun lalu. Gestur, mimik wajah, maupun luapan emosinya masih kaku. Mungkin ada unsur kesengajaan mengingat penokohan Alfi yang juga “kaku”, tapi itu bukan berarti sang aktor harus bertingkah layaknya robot sepanjang durasi.

3 komentar :

Comment Page:

AKHIR KISAH CINTA SI DOEL (2020)

10 komentar
Berkaca pada protagonisnya yang selalu bimbang dan sulit mengambil keputusan, sebenarnya agak mengejutkan saat kisah cinta segitiga Doel-Sarah-Zaenab akhirnya tiba di titik akhir. Begitu sulit dipercaya, sampai berhembus kabar bahwa Rano Karno telah menyiapkan dua versi ending. Saya pastikan rumor itu keliru. Akhir Kisah Cinta Si Doel memiliki konklusi definitif, hanya saja filmnya bergerak seperti Doel yang menyeret-nyeret permasalahan terlalu lama hingga terasa melelahkan. Sayang sekali, perjalanan 27 tahun ini ditutup tidak dalam performa terbaik. Apalagi selepas Si Doel the Movie 2 yang begitu emosional.

Kepulangan Sarah (Cornelia Agatha) dan Dul (Rey Bong) ke Indonesia sepertinya sudah menuntaskan segala persoalan. Perceraian tinggal menunggu finalisasi, sementara Sarah telah merelakan Doel (Rano Karno) menjadi milik Zaenab (Maudy Koesnaedi). Sayangnya tidak segampang itu. Zaenab yang tengah hamil muda justru makin dihantui rasa bersalah akibat kelapangan hati pesaing cintanya. Demi lepas dari perasaan tersebut, Zaenab mulai mempertimbangkan untuk meninggalkan Doel. Sedangkan dilema Doel bertambah kala sang putera begitu berharap ia dan Sarah bisa bersatu lagi.

Menarik disimak saat kali ini Sarah dan Zaenab bukannya berlomba mendapatkan Doel, namun berlomba meninggalkannya—walau jelas mereka sama-sama masih mencintainya. Naskahnya memaparkan dengan baik kompleksitas di benak Zaenab melalui sebuah monolog yang turut jadi panggung Maudy Koesnaedi menunjukkan lagi kapasitas olah rasanya. Hanya melalui satu monolog tersebut, Zaenab makin simpatik, Sarah terhindar dari antagonisasi, sekaligus memudahkan penonton memahami kebimbangan Doel. Apakah Doel mesti menuruti keinginan hatinya? Atau tiba waktunya dia berkorban untuk hal yang benar?

Sejatinya pertanyaan-pertanyaan seperti itu berpeluang dieksplorasi. Tapi selama 93 menit tak sedikit pun kita mengerti isi hati Doel. Bahkan sewaktu akhirnya ia mengambil keputusan, alasan di baliknya tak dijabarkan, biarpun saya yakin pendekatan ini takkan dipermasalahkan para penggemar lama. Dan walau diganggu kesan tiba-tiba dalam sebuah pengadeganan cheesy, paling tidak konklusinya memuaskan. Rano Karno bukan semata memberikan fan service, tapi membayar lunas apa yang dibangun sejak film pertamanya dua tahun lalu.  

Kembali lagi, kelemahan filmnya terletak pada proses. Akhir Kisah Cinta Si Doel bagai cerita yang hanya mementingkan destinasi, namun kesulitan menemukan jalur pasti guna mencapai itu. Nihilnya eksplorasi karakter khususnya Doel masih (sedikit) bisa dimaafkan, mengingat seri Si Doel sejak dulu memang bukan dikenal karena itu. Doel si tukang bingung, Zaenab yang selalu berkorban, dan Sarah si kaya. Itu sudah cukup bagi para penggemar. Menjadi melelahkan sewaktu—seperti Doel—alurnya berputar-putar di satu titik, minim dinamika, apalagi progress. Satu-satunya progress signifikan terjadi di ending ketika Doel menentukan pilihan.

Pengulangan baris-baris kalimat ditambah tempo draggy dari penyutradaraan Rano Karno terutama di adegan yang mengedepankan nuansa melankolis, menghadirkan kesan berlarut-larut. Seolah filmnya sengaja memanjangkan presentasi adegan-adegannya demi mengisi waktu akibat kekurangan materi. Apalagi selipan-selipan filler di luar plot utama, khususnya yang bersifat komedik tak sekuat biasanya, meskipun Mandra tampil total seperti biasa. Hasilnya adalah grand finale melelahkan yang sama sekali tidak “grand”. Terlebih Akhir Kisah Cinta Si Doel punya sisi teknis terlemah di antara triloginya, di mana rasio gambar aneh yang sudah muncul di film kedua malah bertambah parah.

Padahal Akhir Kisah Cinta Si Doel seharusnya jadi perayaan penting. Perayaan terhadap kisah legendaris yang berlangsung hampir tiga dekade. Perayaan terhadap salah satu karakter fiktif paling ikonik di Indonesia. Perayaan terhadap seorang sosok hebat nan inspiratif bernama Aminah Tjendrakasih yang tetap bersemangat berseni peran meski fisiknya sudah tak lagi bersahabat. Sayang sekali.

10 komentar :

Comment Page:

START-UP (2019)

Tidak ada komentar
Ma Dong-seok alias Don Lee—si pria kekar maskulin pemilik tinju sapu jagat, tinju pemusnah massal, tinju pencabut nyawa—memakai rambut palsu panjang serta kaos berwarna merah muda lalu bernyanyi dan menarikan koreografi lagu Knock Knock dan TT milik Twice.  Apabila anda merupakan penggemar sang aktor, tidak perlu alasan lain untuk menonton adaptasi webtoon Shidong karya Jo Geum-san ini. Jika bukan, jangan khawatir, sebab Stat-Up masih menyimpan bentuk hiburan lain.

Taek-il (Park Jung-min) adalah remaja pemberontak yang gemar menyulut kekacauan sehingga merepotkan ibunya (Yum Jung-ah), mantan atlet bola voli yang terpaksa mengubur impiannya demi menghidupi sang putera. tapi Taek-il malah menolak bersekolah, hanya mengisi hari dengan ketidakjelasan bersama sahabatnya, Sang-pil (Jung Hae-in). Hingga suatu ketika, Taek-il memutuskan ingin membuktikan dirinya bisa hidup tanpa bergantung pada sang ibu, kabur dari rumah, dan berakhir mendapat pekerjaan sebagai tukang antar di restoran Cina milik Kong (Kim Jong-soo).

Di sanalah Taek-il bertemu orang-orang berkepribadian menarik, seperti Kyung-joo (Choi Sung-eun) si gadis jago tinju berambut merah, juga Geo-seok (Ma Dong-seok) si koki galak yang kerap memukuli Taek-il, tapi bisa mendadak jadi pengecut tiap dihadapkan dengan keributan di luar restoran. Sesekali kita juga melihat perjuangan ibu Taek-il yang menghabiskan simpanannya demi membangun sebuah kedai makanan sederhana, serta Sang-pil yang akibat kebutuhan finansial, terpaksa bekerja sebagai tukang pukul lintah darat.

Naskahnya, yang ditulis sendiri oleh sang sutradara, Choi Jeong-yeol (One Way Trip), berusaha memadatkan sebanyak mungkin kisah materi adaptasinya dalam durasi 102 menit, ketimbang mengolahnya berdasarkan satu atau dua cerita utama. Tapi dibanding film-film adaptasi lain yang menerapkan pendekatan serupa, Start-Up jauh lebih rapi. Memang kesan fast-forward yang mengurangi kedalaman tiap story arc cukup terasa, namun Jeong-yeol mampu merangkainya jadi satu kesatuan utuh yang tidak episodik. Alhasil, ketimbang berantakan, filmnya jadi bergerak dinamis berkat setumpuk konflik menarik dalam beragam wujud.

Efek negatifnya adalah, akibat kurangnya pendalaman bagi tiap permasalahan, berbagai dramanya kehilangan dampak emosi, biarpun terdapat banyak amunisi, dari hubungan Taek-il dan ibunya, Sang-pil dan neneknya, hingga masa lalu kelam yang sama-sama disimpan Kong dan Geo-seok. Bukan itu saja, secara keseluruhan Start-Up memang tersendat perihal presentasi dramatik. Soal penghantaran pesan misalnya. Kalimat “Do what suits you” beberapa kali terucap dari mulut karakternya. Tapi begitu film berakhir, apa yang hendak diutarakan tak pernah pasti. Apakah pernyataan bahwa seseorang sebaiknya melakukan sesuatu yang cocok dengannya? Atau sesuatu yang dia mau? Atau malah sesuatu yang benar tergantung kondisi?

Tidak ada cukup waktu eksplorasi akibat terlalu banyak cabang alur coba disatukan. Tapi paling tidak, Start-Up berhasil menjalankan perannya sebagai hiburan. Beberapa humor masih meleset, namun pengarahan bertenaga Choi Jeong-yeol yang bersedia menerapkan gaya komikal (meski belum secara total) ditambah performa jajaran pemainnya menjaga agar banyolan-banyolannya minimal sanggup memancing senyum.

Ma Dong-seok unjuk gigi memamerkan sisi komedik tanpa takut merusak maskulinitas yang begitu lekat pada sosoknya walau tinju sekali-pukul-mampus andalannya tetap diperlihatkan, Park Jung-min adalah protagonis yang likeable walau sering berulah, sementara Choi Sung-eun memancarkan kesan misterius yang menarik perhatian. Biarpun harus berbagi screentime, Choi Jeong-yeol berhasil memberi tiap-tiap karakter penuh warna dalam filmnya kesempatan bersinar.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BAD BOYS FOR LIFE (2020)

4 komentar
Dirilis 17 tahun setelah film keduanya, Bad Boys for Life tidak berusaha merombak formula. Alurnya masih menganut pola klasik (kalau tidak mau disebut klise), pula menerapkan twist yang—biarpun tidak terduga—tergolong konyol ala film kelas B. Tapi sekali lagi, filmnya memang tak pernah berniat merevolusi. Ditangani duo sutradara Adil El Arbi dan Bilall Fallah yang juga ditunjuk mengarahkan Beverly Hills Cop 4, ini adalah bentuk modernisasi selaku penyempurnaan tanpa perlu merusak warisan yang ditinggalkan.

Semuanya masih seperti yang kita kenal. Mike Lowrey (Will Smith) masih si detektif playboy pembuat onar, sementara Marcus (Martin Lawrence) tetap detektif penakut yang selalu mengutarakan keinginan pensiun. Hanya saja kali ini ia serius. Setelah cucu pertamanya lahir, Marcus ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. Walau sang partner berusaha membujuk, keputusannya sudah bulat. Sampai terjadi suatu insiden, dan bisa ditebak, Marcus bersedia kembali untuk “one last ride”.

Saya tak bisa mengungkap detailnya, tapi insiden tersebut berjasa melakukan dua aspek. Pertama, memberi suntikan emosi ke dalam persahabatan Marcus-Mike. Melalui dua film sebelumnya, kerekatan mereka sukses dibangun, namun baru kali ini hubungan itu benar-benar mempunyai hati. Bad Boys for Life sempat memisahkan keduanya, dan sewaktu kembali bersatu, reuni mereka terasa bermakna, apalagi setelah terjadinya insiden lain yang tak kalah mengejutkan. Reuni yang akan membuat penonton mendukung Marcus dan Mike menghabisi para penjahat.

Aspek nomor dua adalah mematenkan status pasangan ibu-anak keji, Isabel (Kate del Castillo) dan Armando (Jacob Scipio), sebagai ancaman besar. Kesan itu sudah mulai dibangun sejak menit-menit awal dalam sekuen keributan penjara, yang turut memperkenalkan wujud modernisasi macam apa yang dibawa El Arbi dan Fallah. Lebih banyak darah, sadisme, dan kekerasan eksplisit, yang selaras dengan sedikit sentuhan komedi hitamnya sekaligus membuat aksinya lebih berwarna, bukan berhenti pada ledakan bombastis semata. Kedua sutradara menguasai urusan timing, di mana beberapa momen brutal dapat memberi efek kejut.

Perihal aksi jarak dekat, El Arbi dan Fallah adalah jagonya, tetapi dalam skala set piece lebih besar, mereka (tentu saja) belum selihai Michael Bay, apalagi ditambah hadangan berupa keterbatasan biaya ($40 juta lebih rendah dari Bad Boys II). Kekurangan itu paling kentara saat Bad Boys for Life, serupa Bad Boys II, memperlihatkan penjahatnya melemparkan mobil ke arah protagonis kita di tengah kejar-kejaran, dengan hasil akhir yang terkesan lebih kerdil. Pun penyuntingan di beberapa adegan aksi bertempo tinggi kerap memunculkan disorientasi yang memusingkan (poin ini sesungguhnya juga sering jadi masalah Bay).

Tapi sekali lagi, penggemar lama franchise-nya bakal tetap terpuaskan dan takkan terasingkan. Naskah garapan Chris Bremner (akan menulis Bad Boys 4), Peter Craig (The Town, The Hunger Games: Mockingjay – Part 1 & 2), dan Joe Carnahan (The A-Team, The Grey) menyelipkan beberapa referensi terkait dua installment sebelumnya, sedangkan El Arbi dan Fallah tak lupa mengulangi low-angle shot berbalut gerak lambat ikonik franchise-nya.

Nostalgia serupa juga muncul melalui jajaran pemainnya. Joe Pantoliano masih menghibur sebagai Conrad Howard si Kapten pemarah yang gemar melempar komentar sarkas, dan tentunya duet pemeran utamanya memproduksi kesolidan chemistry yang tak sedikit pun luntur setelah 25 tahun. Smith dengan kharisma yang kali ini dibarengi kerapuhan, dan Lawrence mempertahankan sisi spesial Marcus yang menggelitik, namun mampu menjadi polisi yang kapabel tiap kali dibutuhkan.

Semakin spesial kala jajaran wajah lama tersebut ditemani nama-nama baru yang tak berusaha mencuri spotlight, tapi memperkaya dinamika. Paola Núñez sebagai Rita, mantan kekasih Mike sekaligus pemimpin Advanced Miami Metro Operations (AMMO); Charles Melton sebagai Rafe si pemuda sok jago; Alexander Ludwig sebagai Dorn si teknisi berbadan kekar; dan Vanessa Hudgens sebagai Kelly yang tangguh. Tatkala tokoh-tokoh beda masa itu bersatu dalam pengarahan bertenaga kedua sutradaranya, klimaks Bad Boys for Life pun jadi perwujudan sempurna sebuah modernisasi.

4 komentar :

Comment Page:

1917 (2019)

44 komentar
1917 punya adegan di mana kedua protagonis diperintahkan oleh atasan untuk menembakkan suar selepas melewati no man’s land. Sang atasan, yang telah dikuasai keputusasaan setelah melalui perang tanpa henti yang memakan banyak nyawa, ragu keduanya bakal berhasil. Keraguan tersebut terbantah dan suar pun dilepaskan. Di film lain, reaksi si atasan pasti diperlihatkan, mungkin dibarengi kalimat “Those son of bithces made it” atau semacamnya. Tapi di sini kita bahkan tidak tahu apakah si atasan melihat suar tersebut, sebab sepanjang durasi, kamera tak sekalipun meninggalkan karakter utamanya.

Dikemas dengan trik yang mengesankan seolah filmnya diambil memakai teknik single take, karya terbaru sutradara Sam Mendes (American Beauty, Skyfall, Spectre) ini memang lebih mengedepankan “experience” ketimbang penceritaan beralur konvensional. Tepatnya pengalaman dua prajurit Inggris di tengah medan baku tembak Perang Dunia I. Tujuannya adalah membuat penonton merasakan apa yang keduanya rasakan.

Kedua prajurit itu adalah Kopral Tom Blake (Dean-Charles Chapman) dan Kopral Will Schofield (Geroge MacKay), yang diperintahkan Jenderal Erinmore (Colin Firth) mengirimkan pesan kepada Resimen Devonshire agar menghentikan serangan. Resimen beranggotakan 1.600 orang tersebut awalnya bersiap menyerbu pasukan Jerman yang ditengarai telah mundur dari garis depan. Tapi hasil pengintaian udara menunjukkan bahwa bukannya terpukul mundur, Jerman justru tengah memasang perangkap, memancing pasukan Inggris agar menyerbu. Tom Blake diutus mengemban misi karena dalam resimen itu tergabung pula Letnan Joseph Blake (Richard Madden), kakaknya.

Blake dan Schofield harus menembus tempat-tempat berbahaya di garis depan peperangan, dan kamera Roger Deakins (yang saya yakin akan kembali memenangkan Oscar) selalu mengiringi perjalanan mereka tanpa putus. Setidaknya terksesan demikian, karea jika teliti, anda dapat menemukan beberapa jahitan rapi untuk menyatukan potongan-potongan adegan. Tapi bahkan tanpa penyuntingan pun, hanya dalam sekali pengambilan dan satu kamera, Deakins bisa melakukan apa yang biasanya dilakukan lebih dari sekali.

Contohnya ketika Erinmore memberi pengarahan. Begitu mulus kameranya bergerak guna memindahkan fokus dari Blake dan Schofield ke arah sang Jenderal. Padahal normalnya, adegan seperti ini membutuhkan minimal tiga shot: dua over-the-shoulder shot (sudut pandang tiap karakter yang berinteraksi) plus satu master shot (menangkap semua karakter). Tentu ini mampu dicapai juga berkat penataan mise-en-scène Sam Mendes, yang nantinya mencapai puncak pencapaian pada pertempuran klimaks epic penuh detail kompleks tatkala ratusan tentara beradu di peperangan sebagai latar belakang.

Apakah ini bentuk pamer? Ya, tapi bukan cuma itu. Di balik pencapaian teknis luar biasanya, pilihan gaya ini menyimpan maksud tersendiri. Pertama, 1917 merupakan eksplorasi ruang, baik yang terlihat maupun tak terlihat, yang semuanya bermuara ke satu tujuan: pengalaman nyata. Pada ruang terlihat (tentunya dibarengi konsistensi luar biasa soal kontinuiti), penonton bisa tahu, di sebelah titik A terdapat apa, ada di mana lokasi B, dan seterusnya. Kita pun memahami medan perangnya terdiri atas apa saja, yang otomatis menyulut kekaguman terkait besarnya cakupan set yang dibangun.

Desain produksinya tidak main-main. Di tiap lokasi, bila diperhatikan dengan cermat, anda akan menyadari bahwa Sam Mendes bersama tim artistiknya menaruh perhatian hingga detail terkecil. Mayat bergelimpangan di film perang itu biasa. Menjadi luar biasa ketika mayat yang nyaris sepenuhnya terkubur dan cuma terlihat sebagian kerap ditemui. Sementara eksplorasi ruang tak terlihatnya berfungsi membangun ketegangan.

Penggunaan “single take  yang memposisikan penonton di ruang yang sama dengan karakternya, membuat kita hanya bisa melihat apa yang mereka lihat. Seperti mereka, kita tidak tahu apakah ada jebakan terpasang, apakah ada musuh bersembunyi, dan sebagainya. Tapi penonton dan karakternya sama-sama tahu, di luar sana ada ancaman menanti, memancing sense of impending doom. Kecemasan meningkat, kesan atmosferik menguat. Apalagi sewaktu Mendes beberapa kali menghilangkan musik termasuk ambient.

Walau demikian, ada kalanya musik gubahan Thomas Newman berperan besar. Contohnya saat filmnya mencapai Écoust-Saint-Mein, desa yang telah luluh lantah dibombardir pasukan Jerman. Mengiringi malam kelam yang diterangi suar-suar di langit, mendadak musiknya memperdengarkan orkestra. Mendes menjadikan malam mencekam itu bak opera megah yang memainkan pertunjukan bertemakan garis batas tipis antara hidup dan mati.

Sebagai dua manusia di tengah neraka, MacKay dan Chapman mengerahkan segala daya upaya, menekankan realisme dalam melakoni peran dua prajurit yang tersiksa fisik dan batinnya, sehingga penonton dapat merasakan hal serupa. Di luar mereka berdua, 1917 memberi bonus berupa deretan cameo nama-nama besar. Hanya saja jangan berharap nama-nama tersebut diberi porsi signifikan, atau anda bakal kecewa.

Di permukaan, naskah yang ditulis Mendes bersama Krysty Wilson-Cairns terkesan tipis, karena memang seperti telah disebutkan, 1917 lebih mengarah kepada pengalaman ketimbang penuturan. Satu-satunya kelemahan muncul di sini. Terkadang sebuah ketiadaan diseret terlalu lama, jauh lebih lama dari yang dibutuhkan agar penonton merasakan apa yang Mendes ingin kita rasakan. Filmnya pun sempat melelahkan, namun bukan berarti terkait cerita, tak ada yang coba disampaikan.

1917 menuturkan drama kemanusiaan berlatar peperangan tanpa secara gamblang menyatakan itu. Ketimbang tentang menghilangkan nyawa, ini adalah tentang menyelamatkan nyawa. Dan untuk melakukan itu, para prajurit dituntut berjuang total termasuk mempertaruhkan nyawa mereka sendiri. Ending-nya menegaskan itu. Apabila anda menaruh perhatian lebih, konklusinya takkan mengejutkan. Tapi kejutan bukan poin utamanya, melainkan bagaimana satu momen singkat di penghujung durasi itu seketika menjadikan perjuangan protagonisnya semakin bermakna. 

44 komentar :

Comment Page:

ANAK GARUDA (2020)

Tidak ada komentar
Anak Garuda merupakan satu lagi film mengenai sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) setelah Say I Love You bulan Juli tahun lalu. Menariknya, meski seluruh pemerannya berbeda, kursi penyutradaraan sama-sama diduduki oleh Faozan Rizal, naskahnya tetap ditulis Alim Sudio, sementara Verdi Solaiman beralih peran dari aktor ke produser. Ceritanya sendiri mengambil timeline selepas “pendahulunya” tersebut, sehingga wajar bila anda mengira film ini adalah sekuel. Tapi tidak. Keduanya tanpa kaitan, walau kualitasnya tidak jauh beda.

Sheren (Rania Putrisari), Olfa (Clairine Clay), Wayan (Geraldy Kreckhoff), Dilla (Rebecca Klopper), Sayyida (Tissa Biani), Yohana (Violla Georgie), dan Robet (Ajil Ditto) adalah ketujuh tim SPI yang kini sudah lulus dan menjalankan pusat pembelajaran serta rekreasi Kampoeng Kidz. Walau sudah menjalankan bisnis sendiri, sesungguhnya mereka masih belum lepas dari ketergantungan pada sang mentor sekaligus pendiri SPI, Koh Jul (Kiki Narendra). Alhasil begitu Koh Jul pergi untuk sementara waktu, perpecahan mulai terjadi di antara ketujuh muda mudi ini.

Akibat naskah yang lalai menjembatani momen demi momen ditambah penyuntingan buruk, Anak Garuda tampil bak sketsa yang dijahit paksa, di mana tiap sketsa memperlihatkan bagaimana Rocky (Krisjiana Baharudin) si volunteer baru seolah berusaha mengadu domba anak-anak SPI. Rasanya seperti menonton kompilasi episode sebuah serial pendek berjudul “Kenakalan Rocky”. Mungkin Alim Sudio ingin memperlihatkan secara lengkap apa saja aksi Rocky, tapi ujungnya sebatas menghasilkan checklist permasalahan.

Pun bicara soal Rocky, saat akhirnya alasan di balik perbuatannya diungkap, yang muncul justru ketidaksinkronan alih-alih jawaban. Di sini saya membicarakan aspek psikis karakter, yang mestinya menjelaskan bagaimana faktor “A” menyulut tindakan “B, C, D” dan seterusnya. Hal itu tidak dilakukan, atau tepatnya, tidak dilakukan secara layak. Seolah penulis beranggapan jika masalah masa lalu atau luka hati seseorang bisa jadi alasan untuk membuatnya melakukan keburukan apa pun. Padahal tidak sesederhana dan seacak itu.

Setidaknya di tengah-tengah “invasi Rocky”, Anak Garuda masih menyenangkan diikuti berkat akting solid beberapa pemain utama yang konsisten menyuntikkan energi bagi jalannya cerita. Memerankan Olfa yang menyimpan kepedulian tinggi terhadap salah satu murid SPI yang mentalnya terganggu akibat trauma, Clairine bisa memberikan tatapan penuh kepedulian serta memanfaatkan kesempatan kala dituntut mengolah emosi lebih lanjut. Tissa seperti biasa, selalu memberikan warna dan tak terjebak monotonitas dalam menangani situasi apa saja, bahkan yang sederhana sekalipun. Malah Kiki Narendra selaku penampil paling senior di sini yang agak mengganggu. Mau tidak mau perbandingan sulit dihindari. Ketika Verdi Solaiman begitu natural membawakan sosok Koh Jul yang selalu berapi-api melontarkan kalimat-kalimat inspiratif, Koh Jul versi Kiki bagaikan karikatur.

Melewati pertengahan durasi, Anak Garuda mengembangkan cakupan kisahnya ketika ketujuh tim SPI berkesempatan melakukan perjalanan ke Eropa. Sayangnya, perjalanan yang telah mereka cita-citakan sejak lama ini terganggu oleh masalah interpersonal yang belum juga usai. Benarkah? Sebab sering muncul inkonsistensi berulang terkait persoalan itu. Di satu titik mereka tertawa bersama, kemudian bertengkar, lalu bertingkah seolah tidak ada masalah, sebelum akhirnya mendadak perpecahan mencapai puncak.

Perjalanan ke Eropa dimaksudkan sebagai puncak tantangan sekaligus emosi filmnya. Seperti kebanyakan road trip, harapan para pembuatnya, ada makna yang tersimpan dan bukan sekadar jalan-jalan biasa. Harapan itu gagal terwujud akibat inkonsistensi tadi. Pun sepertinya Rizky Mocil terlalu total memerankan Roy si pemandu menyebalkan sehingga perjalanan ini juga tak terasa nyaman untuk diikuti.

Tentu semua akhirnya bakal berakhir bahagia, karakternya akan berbaikan sementara Koh Jul mengungkapkan kebanggaannya. Koh Jul menyebut bahwa di matanya, anak-anak didiknya itu merupakan keajaiban. Kenapa? Atas dasar apa? Karena mereka bermalam di jalanan Paris sambil menunggu Menara Eiffel buka? Karena mereka terus bertengkar dan saling menyalahkan bahkan setelah Koh Jul berkali-kali memberi petuah? Saya tidak menemukan keajaiban apa pun.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

NYANYIAN AKAR RUMPUT (2020)

2 komentar
Dari tangan Yuda Kurniawan, sineas di balik lahirnya Balada Bala Sinema (2017, review) yang membuka banyak pemahaman soal skena komunitas film Purbalingga, lahir satu lagi dokumenter berjudul Nyanyian Akar Rumput. Mengupas kehidupan Fajar Merah selaku putera Wiji Thukul sembari menggaungkan semangat “Menolak Lupa”, perihal urgensi, saya tidak sanksi. Sampai kapan pun hal ini harus terus disampaikan. Sayangnya kekurangmatangan pengolahan materi kisah jadi masalah.

Awalnya sentral kisah adalah mengenai kompleksitas fase tumbuh kembang Fajar, kala ia terjebak di antara pertanyaan mengenai ketiadaan Wiji Thukul yang kemudian memancing kemarahan, dengan puja-puji orang luar terhadap sang ayah. Mereka menggambarkan Wiji Thukul sebagai pahlawan tanpa cela, sedangkan bagi Fajar, dia adalah sosok orang tua yang absen. Sampai timbul keinginan mengenal lebih jauh melalui puis ayahnya, yang akhirnya mendorong Fajar menjadikan puisi-puisi tersebut lirik lagu band miliknya, Merah Bercerita. Pun kita diperlihatkan kondisi keluarga Wiji Thukul lain, seperti puterinya, Wani, yang terus aktif membaca puisi sebagai bentuk kolaborasi dengan Merah Bercerita, sementara Sipon, sang istri, yang sejak menghilangnya Thukul, dihantam tekanan psikis luar biasa.

Andai keintiman kaya dinamika emosi itu yang terus diperdalam. Nyanyian Akar Rumput mempersembahkan pemandangan menusuk saat lewat selipan rekaman acara penganugerahan penghargaan untuk Wiji Thukul pada 2002. Di sana, Wani yang masih belia membacakan puisi sambil berurai air mata, mempertanyakan kenapa sang ayah tak kunjung pulang, sedangkan Sipon jatuh tak berdaya. Momen tersebut sempurna memotret betapa kehilangan—apalagi jika dibarengi ketidakpastian—dapat menghancurkan.

Berikutnya perjalanan Fajar bersama Merah Bercerita disoroti, di mana Yuda berniat menelusuri benang merah antara karya-karya Wiji Thukul dan puteranya. Berdasarkan penuturan Sipon, kita tahu bahwa berbeda dari ekspresi puisi Thukul yang meneriakkan amarah dan memantik semangat perjuangan, pendekatan Fajar terhadap musiknya cenderung kental romantisme tanpa menghilangkan sikap kritis. Dan kita bisa mengonfirmasinya begitu mendengar deretan lagu Merah Bercerita, yang sepanjang durasi memberkati telinga kita dengan api perlawanan yang kerap terkesan pilu.

Penonton bisa memastikan, “Ya, keduanya berbeda”. Tapi kenapa? Filmnya gagal menjabarkan dinamika proses berkarya itu, yang bila diperdalam, bakal memunculkan pemahaman lebih lanjut mengenai si pembuat karya. “Bukankah sudah jelas semua itu dipicu luka-luka Fajar sejak kecil?”. Mungkin benar, namun di titik ini, pernyataan itu sekadar asumsi. Wiji Thukul juga terluka. Fajar Merah pun ingin melawan. Jadi mengapa keduanya berbeda?

Mencapai pertengahan durasi, Nyanyian Akar Rumput, sebagaimana judulnya, membiarkan lagu-lagu Fajar berbicara, sehingga lebih sering memperlihatkan Merah Bercerita memainkan lagu mereka, baik di atas panggung, studio rekaman, maupun di rumah Fajar. Keputusan bijak, sebab pendekatan itu mewakili figur Fajar sebagai musisi. Masalahnya, seiring waktu, akibat banyak lagu terus diulang, filmnya terjebak dalam repetisi. Bukannya pemahaman mendalam, malah kesan menambal durasi yang terasa. Lagu-lagu powerful hanya numpang lewat, padahal saat stok footage diseleksi dengan tepat, getaran rasanya tidak main-main, seperti kekacauan atmosferik nan menyayat hati selaku penutup film ketika Merah Bercerita membawakan Derita Sudah Naik Seleher bersama Wani di acara perilisan album perdana mereka.

Kesan serupa timbul sewaktu filmnya menyelipkan rekaman demonstrasi semasa pemilu 2014, dengan kuantitas jauh lebih banyak dari kebutuhan. Tidak perlu sebanyak itu guna membuat penonton mengerti akan kondisi saat itu, khususnya seputar fanatisme pendukung Prabowo, yang tak keberatan mengusung calon Presiden seorang penjahat HAM. Kita sudah melihat semua itu di televisi maupun internet, dan filmnya tak menambah informasi baru.

Nyanyian Akar Rumput juga jadi contoh bahwa timing dapat berpengaruh terhadap dampak narasi suatu film. Sipon adalah pendukung Jokowi. Selain karena berstatus warga Solo, ia juga percaya Jokowi bakal menuntaskan ketidakjelasan banyak kasus HAM, termasuk hilangnya Wiji Thukul. Ditambah komparasi antara sikap berlawanan pendukung kedua calon Presiden, pesan filmnya jelas: Jokowi merupakan harapan baru bagi pengusutan kasus HAM. Andai dirilis setidaknya 3-4 tahun lalu, narasi itu tidak akan terasa hambar seperti saat ini, tatkala harapan tersebut makin semu.

2 komentar :

Comment Page:

DOLITTLE (2020)

4 komentar
Mengambil hati penonton anak lewat para binatang yang bisa bicara sembari menggoda penonton dewasa melalui keberadaan Robert Downey Jr.,—yang untuk pertama kalinya sejak The Judge (2014) melakoni peran selain Tony Stark—pada akhirnya Dolittle memang tidak kurang dan tidak lebih dari itu. Sebuah petualangan ringan, muda dinikmati oleh semua kalangan, biarpun mudah dilupakan pula.

Mengadaptasi petualangan Doctor Dolittle dari seri buku anak-anak karya Hugh Lofting terutama dari buku keduanya, The Voyages of Doctor Dolittle (awalnya juga dipakai sebagai judul film ini sebelum dilakukan penyederhanaan), kisahnya dibuka melalui intro berbentuk animasi soal bagaimana Dr. John Dolittle (Robert Downey Jr.) memukau seluruh negeri berkat kemampuannya berbicara dengan binatang. Berkat jasanya, Ratu Victoria (Jessie Buckley) bahkan menghadiahkan lahan besar untuk ditinggali Dolittle bersama binatang-binatang yang olehnya dan sang istri, Lily Dolittle (Kasia Smutniak), selamatkan dari seluruh penjuru dunia.

Malang, Lily tewas di tengah laut dalam sebuah penjelajahan. Dolittle pun berubah 180 derajat, mengurung diri, menutup akses dunia luar…..sampai kemunculan Tommy Stubbins (Harry Collett). Datang guna meminta bantuan menyelamatkan nyawa seekor tupai, Stubbins malah berujung tertarik menjadi penerus Dolittle, bahkan terlibat petualangan mengarungi samudera dalam rangka mencari buah dari pohon legenda untuk menyembuhkan penyakit misterius Ratu Victoria.

Kalau anda sebatas mengenal sosok karakter titularnya berdasarkan versi 1998 yang dibintangi Eddie Murphy (inilah alasan banyak orang mempermasalahkan mengapa Doctor Dolittle diubah jadi pria kulit putih tanpa memahami latar belakangnya), mungkin ada sedikit kekagetan mendapati bagaimana film ini menuturkan petualangan bersakal besar. Padahal versi 1967-nya mengambil pendekatan serupa (dikemas memakai sampul musikal).

Naskahnya, yang ditulis oleh duet Doug Mand-Dan Gregor (Most Likely to Murder) bersama sutradara Stephen Gaghan (Syriana, Gold), menawarkan metode cerdik terkait penggambaran transisi komunikasi Dolittle dengan para binatang. Kadang kita mendengar mereka berbicara menggunakan bahasa binatang, terkadang bahasa manusia. Penyutradaraan Gaghan pun mulus menangani transisi tersebut, yang sesekali dipakai menghadirkan efek komedik. Jajaran pengisi suaranya juga berjasa memberi nyawa, khususnya Emma Thompson sebagai Polynesia si burung macaw bijak selaku penasihat Dolittle dan Rami Malek yang memerankan gorila penakut bernama Chee-Chee.

Berkat mereka, ditambah CGI berkualitas memadai, kecanggungan interaksi antara manusia dengan karakter CGI mampu ditiadakan. Apalagi sang manusia dibawakan oleh Robert Downey Jr., yang berkat pengalamannya menjadi maskot MCU, tak lagi asing dengan tuntutan semacam itu. Saya sempat khawatir RDJ bakal bernasib seperti Johnny Depp yang terjebak dalam keeksentrikan monoton selepas memainkan karakter ikonik. Tapi saya akhirnya sadar, ada satu perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan yang membuat RDJ unggul sekaligus menjamin keawetan karirnya di luar skena film pahlawan super.

RDJ tidak pernah lalai urusan rasa. Karakter-karakter peranannya selalu dihantui duka atau kegamangan. Tidak terkecuali di sini, dan mata sang aktor kuat memancarkan rasa tersebut. Dari situlah sumber emosi utama Dolittle, tatkala kisah soal kematian Lily hanya berakhir sebatas hiasan semata, sedangkan baik departemen naskah maupun penyutradaraan gagal melahirkan momen penutup selaku payoff yang layak kepada romansa bittersweet karakter utamanya. Bahkan aksen Wales aneh RDJ tak sanggup menghalangi kita bersimpati ke protagonisnya.

Sementara penjelajahan Dolittle dan kawan-kawan, yang diharapkan sarat keajaiban, hanyalah petualangan medioker penuh pilihan-pilihan obligatif selaku pemenuhan formula. Anda bisa dengan mudah menebak kebenaran di balik penyakit Ratu Victoria, pula bakal dibawa ke mana sosok Dr. Blair Mudfly (Michael Sheen), yang sejatinya bisa dimaafkan, mengingat keklisean tersebut ditujukan bagi penonton anak. Bahkan ketimbang aksi mendebarkan, klimaksnya diselesaikan dengan sebuah operasi terhadap sesosok makhluk mitologi.

Teruntuk para bocah, apa yang Dolittle sajikan sudah cukup, biarpun orang dewasa bakal kebosanan menyaksikan repetisi alur yang seolah enggan beranjak dari pola “Dolittle dan teman-temannya tertangkap di tangan antagonis à berhasil kabur à ulangi”. Dan melihat gelaran aksinya, dengan kuantitas yang juga tidak seberapa, saya bisa memahami keputusan Universal Pictures meminta supervisi Jonathan Liebesman (Wrath of the Titans, Teenage Mutant Ninja Turtles) dan Chris McKay (The Lego Batman Movie) dalam proses reshoots. Gaghan, yang sebelumnya lebih banyak menggarap drama serius pengincar kejayaan di musim penghargaan, jelas punya banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kemampuannya menangani hiburan seru berbasis CGI. Tapi untuk sekarang, Dolittle tidaklah buruk bila dipandang semata sebagai hiburan para bocah.

4 komentar :

Comment Page: