MANGKUJIWO (2020)
Rasyidharry
Januari 31, 2020
Asmara Abigail
,
Azhar Kinoy Lubis
,
Dirmawan Hatta
,
Erwanto Alphadullah
,
horror
,
Indonesian Film
,
Karina Suwandi
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Roy Marten
,
Septian Dwi Cahyo
,
Sujiwo Tejo
,
Yasamin Jasem
7 komentar
Walau hasilnya belum begitu solid,
seri terbaru Kuntilanak yang dimulai dua
tahun lalu merupakan salah satu seri horor Indonesia paling berani. Ketimbang
mengulangi formula kesuksesan trilogi lama yang dibintangi Julie Estelle, film
pertama dan keduanya justru mengusung bentuk horor keluarga dengan menempatkan karakter
anak-anak sebagai sentral. Selaku prekuel, Mangkujiwo
menegaskan anggapan tersebut saat sekali lagi banting setir ke arah
berbeda, bukan cuma dibandingkan para pendahulunya, juga horor-horor lokal
kebanyakan.
Ketika budaya klenik kedaerahan biasanya
sekadar jadi pajangan, naskah garapan Dirmawan Hatta (The Mirror Never Lies, Bulan di Atas Kuburan, Another Trip to the Moon)
dan Erwanto Alphadullah (sebelumnya menjabat manajer produksi di Kuntilanak versi 2018) bersedia
mengeksplorasi, bahkan menjadikannya amunisi menakut-nakuti. Begitu menyaksikan
Brotoseno (Sujiwo Tejo) menjalankan ritual mencambuki dirinya atau membuat nasi
kepal dengan darah dan organ-organ hewan sebagai lauk serta bumbu penyedap,
anda akan menyadari Mangkujiwo bukan
untuk penonton berperut lemah.
Alkisah, Brotoseno menyimpan dendam
setelah disingkirkan dari keraton akibat fitnah Cokrokusumo (Roy Marten). Rencana
pembalasan tercetus saat ia menemukan Kanthi (Asmara Abigail), gadis yang
dipasung, juga akibat fitnah Cokrokusumo. Dibawanya Kanthi, dipasungnya si
gadis di depan pengilon kembar (cermin
kembar yang sama-sama dimiliki Brotoseno dan Cokrokusumo) untuk kemudian
disiksa tiap malam menggunakan berbagai ritual ilmu hitam, guna menciptakan
senjata membalas perbuatan Cokrokusumo.
Jadi, apakah asal muasal sosok
Kuntilanak terjelaskan? Kurang lebih. Tersimpan gagasan menarik tentang
bagaimana hantu mengerikan ini merupakan produk perebutan kekuasaan. Mangkujiwo adalah kisah mengenai
orang-orang biasa yang dijadikan bidak para penguasa. Sayangnya pengilon kembar masih sebatas alat pemberi
jalan pintas agar plotnya berjalan. Pokoknya cermin itu adalah cermin ajaib “pemberian”
Laut Selatan yang bisa mengabulkan segala permintaan, alias memfasilitasi
penulis melakukan apa saja tanpa perlu memikirkan rules atau logika, tidak peduli seacak apa pun itu.
Perseteruan Brotoseno dan
Cokrokusumo berlangsung puluhan tahun, dan di sinilah Mangkujiwo menerapkan bentuk narasi non-linear yang cukup berisiko.
Di awal durasi, kita seolah disuguhi berbagai cabang alur tak berkaitan yang
silih berganti mengisi, termasuk soal Uma (Yasamin Jasem) si gadis remaja yang
bekerja di sebuah hotel, dan tidak sengaja melihat pembunuhan yang dilakukan
Karmila (Karina Suwandi) dan rekan-rekannya selaku penjual barang pusaka. Nantinya
semua cabang tersebut bakal bertemu.
Kelebihan penceritaan non-linear
ini adalah memperkuat bangunan misteri. Pertanyaan selalu muncul, menjaga kepadata
alur sepanjang 106 menit perjalanan Mangkujiwo.
Kelemahannya, tidak semua transisi antar lini waktu terjahit rapi.
Lompatan-lompatan kasar kerap tercipta, pun di paruh awal—sebelum dua warna
rambut Sujiwo Tejo bisa dipakai sebagai alat bantu membedakan latar waktu—potensi
membuat penonton kebingungan cukup besar. Hal ini penting terkait menjaga
atensi penonton. Apalagi Mangkujiwo bukan
horor yang gemar menebar jump scare, sehingga
kesolidan bercerita wajib hukumnya.
Minimnya penampakan mengagetkan
hantu digantikan oleh pemandangan lain yang jauh lebih mencekam (dan membuat mual).
Sutradara Azhar Kinoi Lubis (Kafir:
Bersekutu dengan Setan, Ikut Aku Ke Neraka) memperlihatkan keterampilan memainkan
atmosfer. Pacing-nya terjaga, sambil
memastikan kamera menangkap tiap detail tata artistik, khususnya dalam ruang
tempat Brotoseno melakoni ritual yang tampilannya menimbulkan perasaan tidak
nyaman.
Azhar membuktikan bahwa membangun
teror tidak melulu harus mengumbar penampakan murahan makhluk halus. Cukup
kumpulkan beragam hewan (ular, kodok, kalajengking, laba-laba, cicak), biarkan berkeliaran,
atau sekali waktu, bedah isi perut mereka. Mangkujiwo
memang tidak takut menumpahkan darah atau organ tubuh, yang dampaknya
begitu kuat berkat beberapa efek praktikal mumpuni. Kelemahan sang sutradara—yang
telah nampak sejak Kafir—sayangnya masih
bisa ditemukan. Azhar Kinoi Lubis jago membangun atmosfer atau mengeksploitasi gore, tapi tidak ketika dihadapkan pada
adegan bertempo cepat berbumbu aksi. Klimaks yang mestinya jadi babak
pembantaian puncak malah berakhir canggung. Efek slow motion diterapkan demi kesan dramatis, padahal pengadeganan
aslinya sudah terlampau lambat.
Selain itu, walau jauh lebih baik
dibanding mayoritas kompatriotnya sesama horor lokal, naskah Mangkujiwo juga belum sepenuhnya lepas
dari lubang-lubang, dari yang menimbulkan pertanyaan “Kok bisa?”, hingga
pengembangan karakter yang tak alamiah. Saya membicarakan karakter Uma di sini.
Biarpun sudah “dicuci otak”, keputusannya memasuki babak akhir film tetap
terlampau ekstrim, seolah ada jembatan proses yang dilompati.
Mangkujiwo juga memiliki jajaran pemain dengan akting memuaskan.
Seperti biasa, apa pun yang dilakukan Sujiwo Tejo di layar selalu memancarkan
kemistisan, meski adegan Brotoseno memainkan saksofon terlalu out-of-place (saya cukup yakin ini ide
sang aktor). Septian Dwi Cahyo, yang mungkin lebih banyak dikenal selaku
seniman pantomim, memerankan Sadi, asisten Brotoseno yang mempunyai badan
bungkuk dan tak bisa bicara, tanpa harus jatuh ke ranah karikatur. Dibantu tata
rias yang mendukung, Asmara Abigail menghidupkan sosok yang pastinya takkan mau
anda temui langsung di dunia nyata. Sedangkan di usia yang baru akan menginjak
16 tahun, Yasamin Jasem menambah satu lagi daftar aktris muda potensial tanah
air, selama ia terus mengasah penampilan sekaligus jeli memilih peran.
Di luar kekurangan yang masih
bertebaran, setidaknya, Mangkujiwo berhasil
membuat elemen kejawen bukan pernak-pernik
sambil lalu. Di tiap sudutnya, aroma misterius dari budaya mistisisme itu
selalu tercium. Ditambah intensi baik untuk tidak sekadar mengeksploitasi jump scare, juga pengembangan latar
cerita memadai supaya status prekuel bukanlah tempelan semata (baca: alasan
memperbanyak installment demi
menambah profit), Mangkujiwo mampu memperpanjang
napas seri Kuntilanak.
GIRL ON THE THIRD FLOOR (2019)
Rasyidharry
Januari 30, 2020
Ben Parker
,
CM Punk
,
Dan Martin
,
horror
,
Lumayan
,
Paul Johnstone
,
REVIEW
,
Sarah Brooks
,
Travis Stevens
,
Trieste Kelly Dunn
3 komentar
Mantan megabintang WWE Phil Brooks
alias CM Punk melakoni debut aktingnya sebagai seorang pria yang mendefinisikan
“toxic masculinity”. Dia membenci
warna merah muda, menganggap pastur selalu berkelamin laki-laki, menjustifikasi
perselingkuhannya dengan berkata “I earned
that” tatkala sang istri yang tengah hamil tua menafkahi dirinya. Girl on the Third Floor merupakan satu
lagi horor generasi #MeToo yang vokal
bersuara tanpa melupakan tugasnya menebar teror, meski paparan pesannya tak
semulus harapan.
Don Koch nama karakter yang
diperankan CM Punk. Dia dan istrinya, Liz Koch (Trieste Kelly Dunn), baru saja
membeli rumah di pinggiran kota Chicago. Don memilih merenovasi rumah itu
sendiri, untuk sementara meninggalkan Liz yang sedang mengandung. Banyak yang
harus diperbaiki, sebutlah tembok berlubang, pipa mampet, sampai langit-langit
yang runtuh. Sementara Don kelabakan menangani renovasi, penonton pun
pelan-pelan memahami jati dirinya, termasuk alasan pasangan suami-istri ini
memutuskan pindah jauh dari kemewahan kota besar.
Dalam menulis naskahnya, sutradara Travis
Stevens bersama Paul Johnstone dan Ben Parker pelan-pelan menyusun
keping-keping soal Don. Praktis sekitar separuh awal dipakai sebagai studi
karakter. Kita diberi kesempatan mengobservasi kepribadiannya, bahkan melalui
hal-hal kecil yang terkesan remeh seperti komentar dengan nada bercanda. Dari
sesosok suami dengan ketidaksempurnaan biasa (curi-curi kesempatan minum
alkohol di belakang istri), semakin banyak informasi yang kita dapat, semakin
terungkap kebobrokan Don, sama seperti rahasia gelap rumahnya yang lama-lama
terungkap.
Sebagai bagian subgenre horor yakni
haunted house, rumah di sini bukan
sebatas latar, melainkan entitas tersendiri. Melalui lendir-lendir yang keluar
dari berbagai perabot atau lubang-lubang hitam misterius, rumahnya seolah
hidup. Hidup dengan cara menelan kegelapan dalam diri para penghuni rumah yang
gagal mereka tahan. Baik Don maupun rumanya, sama-sama mengungkap sisi gelapnya
begitu masing-masing dipugar dan “ditelanjangi”. Khusus bagi Don, sisi itu
makin terpampang nyata sejak kehadiran gadis cantik bernama Sarah (Sarah
Brooks).
Memerankan suami bermasalah, CM
Punk punya poin positif serta negatif dalam performanya. Sewaktu dituntut
membuat gestur dan ekspresi kecil atau malah sekadar berdiam diri, ia punya
kebrengsekan alami yang membuat figurnya meyakinkan. Sebaliknya, kala
diharuskan berakting lebih “besar”, kealamian tersebut hilang, digantikan oleh
penampilan serba berlebihan sebagaimana yang kerap ditampilkannya di atas ring.
Meski demikian, gaya akting itu justru cocok saat diterapkan begitu filmnya
memasuki paruh kedua dan meninggalkan fase studi karakter untuk menggila di
jalur kebrutalan khas b-movie.
Bagi yang mengira Girl on the Third Floor bakal tancap gas
sejak dini mungkin akan merasa terkecoh, sebab dalam debut
penyutradaraannya, Travis Stevens menerapkan teknik slow burn. Terkadang pemandangan berulang seperti lelehan lendir
atau kelereng yang menggelinding terkesan repetitif, tapi Stevens punya bakat
merangkai tuturan bertempo agak lambat supaya tetap dinamis, tak monoton, juga
nyaman diikuti. Stevens tidak menyeret film, melainkan menuntunnya dengan sabar
tapi pasti.
Barulah melewati paruh kedua, Girl on the Third Floor mulai
habis-habisan membuka tirai neraka berwujud rumah mengerikan lewat parade
gambar-gambar disturbing pula menjijikkan,
dan tentunya sadisme berdarah yang beberapa di antaranya terasa menyakitkan. Travis
Stevens punya visi meneror mumpuni, tapi pujian tinggi juga mesti dialamatkan
kepada penata efek spesial Dan Martin (Isle
of Dogs, Nina Forever, Free Fire) yang memalingkan pilihan ke efek
praktikal ketimbang CGI. Dampak terornya jauh lebih tinggi dan nyata, sekaligus
mengingatkan akan masa kejayaan horor-horor klasik era 80-an.
Sebagai horor tidak banyak
kelemahan dimiliki filmnya, namun terkait penghantaran pesan seputar isu
gender, penulisannya cukup bermasalah. Ini adalah kisah tentang manusia yang
ditelan kegelapan dirinya. Tentang bagaimana ia dihadapkan pada dua pilihan
kemudian secara sadar memilih kegelapan itu, dan secara khusus tentang hukuman
terhadap toxic masculinity.
Sehingga,
keputusan mematikan beberapa tokoh patut dipertanyakan. Apakah mereka diuji? Tidak.
Apakah mereka diperlihatkan menghadapi kegelapan diri? Tidak juga. Alhasil,
timbul kesan jika para penulis kehabisan akal guna menambah kuantitas teror
justru menyebabkan inkonsistensi. Ketika sebuah film berusaha melontarkan pesan
tertentu, inkonsistensi macam itu jelas sukar ditoleransi. Tapi kesampingkan itu
dan bersabarlah mengikuti paruh awalnya, maka Girl on the Third Floor adalah horor disturbing yang mengasyikkan.
ENTER THE FAT DRAGON (2020)
Rasyidharry
Januari 26, 2020
Action
,
Chinese Movie
,
Comedy
,
Donnie Yen
,
Kenji Tanigaki
,
Kurang
,
Niki Chow
,
REVIEW
,
Sandra Ng
,
Wong Jing
4 komentar
Setelah kesuksesan Ip Man 4: The Finale baik secara
komersial maupun critical, Donnie Yen kembali dengan Enter the Fat Dragon, selaku remake
film Sammo Hung rilisan tahun 1978, walau sebenarnya kedua film ini sekadar
berbagi judul tanpa memiliki kesamaan plot. Kalau Sammo Hung memerankan
peternak babi pengagum Bruce Lee, maka Donnie Yen adalah Fallon Zhu, polisi
Hong Kong jago bela diri yang badannya menggemuk selepas ditinggalkan
tunangannya dan dimutasi akibat kerap merusak fasilitas umum tiap mengejar
penjahat.
“Jackass of the century”. Demikian julukan yang disematkan kepada
Fallon. Kontrol dirinya kala beraksi memang buruk, dan karena itu, dalam satu
hari ia kehilangan segalanya. Setelah menggagalkan aksi perampokan yang
berujung kehancuran di mana-mana, Fallon dipindahkan ke departemen penyimpanan
barang bukti. Bukan itu saja, dia pun ditinggalkan oleh tunangannya, Chloe
(Niki Chow), akibat telat menghadiri sesi pemotretan pre-wedding. Chloe merasa selalu dinomorduakan, pun menganggap
Fallon kurang mendukung karirnya sebagai aktris yang kerap menuai kritikan
karena akting buruknya.
Kini hanya duduk seharian di balik
meja, Fallon pun menenggelamkan diri dalam makanan sehingga berat badannya
melonjak dua kali lipat hingga melebihi 100 kg. Kesempatan untuk mengembalikan
hidupnya seperti sedia kala datang sewaktu Fallon ditugaskan ke Jepang guna
mengawal seorang tahanan. Misi sederhana itu berubah runyam karena keterlibatan
geng Yakuza, yang secara kebetulan sedang menyewa jasa Chloe di sebuah acara.
Ditulis naskahnya oleh Wong Jing—sutradara
produktif yang telah menggarap sekitar 115 judul—yang turut mengarahkan filmnya
bersama Kenji Tanigaki, Enter the Fat
Dragon sedikit menaburkan gaya mo lei
tau (bentuk komedi yang dipopulerkan Stephen Chow pada 90-an) dalam
humornya yang mengandalkan slapstick,
terutama di paruh awal, misalnya saat dua reporter televisi mendadak menyiarkan
secara langsung perkelahian Fallon melawan para perampok bank. Kadarnya tidak
begitu kental, tapi jejaknya jelas kentara, apalagi melihat keterlibatan Sandra
Ng, salah satu aktris yang identik dengan mo
lei tau.
Teknik melucu itu bukan
diperuntukkan bagi semua orang khususnya penonton modern (salah satu alasan
mengapa Chow sendiri mulai meninggalkannya). Wong Jing kentara berusaha
membatasi kadarnya, yang justru mengakibatkan kesan setengah-setengah, sebelum akhirnya
total beralih ke slapstick monoton
yang penghantarannya enggan memedulikan timing,
seolah asal terjang dengan deretan punchline
lemah. Hasilnya hit-and-miss, dengan
persentase meleset lebih tinggi. Lain cerita saat Wong Jing lebih memeras
absurditas kreatifnya. Di situ, humornya efektif, semisal kala ia memparodikan
beberapa adegan ikonik dalam film-film aksi Donnie Yen.
Tapi kelemahan terbesar Enter the Fat Dragon adalah kegagalan menangkap
poin utama film aslinya. Menampilkan Donnie Yen dalam balutan fat suit, ketanggulan, kelincahan, dan
kelenturan Fallon saat berkelahi tidak ada bedanya dibanding ketika masih
prima. Pada versi 1978, menarik melihat Sammo Hung mengejutkan orang-orang yang
meremehkannya sewaktu menghajar lawan-lawannya meski tubuhnya gemuk. Sedangkan
di sini, sejak awal kita sudah mengetahui kehebatan Fallon, yang tak terkikis
sama sekali begitu ia menjadi gemuk. Hal ini menghilangkan elemen kejutan dan
humor yang semestinya timbul, padahal sang aktor sudah berusaha semaksimal
mungkin bertingkah konyol.
Paling tidak, seperti biasa
menyaksikan Donnie Yen beraksi merupakan hiburan tersendiri. Asumsi saya, Wong
Jing bertugas menangani aspek komedi, sedangkan aksi diserahkan kepada Kenji
Tanigaki yang pernah terlibat sebagai stunt
di film-film Hollywood seperti Mortal
Kombat: Annihilation (1997) dan Blade
II (2002). Kenji menggabungkan teknik bertarung raw milik Donnie Yen dengan spectacle
berbumbu slapstick ala Jackie Chan,
dibungkus koreografi serta gerak kamera yang cukup dinamis.
Puncaknya adalah klimaks seru di
Menara Tokyo, yang makin memuaskan berkat ikut sertanya Chloe, sebab pada film
aksi, tidak ada cara yang lebih baik untuk menyatukan sepasang kekasih
dibandingkan membuat mereka menyatukan kekuatan dalam baku hantam. Apalagi
sepanjang durasi, Niki Chow sudah berhasil menjadi salah satu penampil paling
mencuri perhatian lewat kelucuannya. Selalu menyenangkan melihat seorang aktris
cantik yang berani melakoni adegan-adegan memalukan demi memunculkan efek
komedik. Sayang, di samping menit-menit awal dan akhir, Enter the Fat Dragon tak lebih dari tontonan monoton yang
menyia-nyiakan potensinya.
DIGNITATE (2020)
Rasyidharry
Januari 25, 2020
Al Ghazali
,
Arief Didu
,
Caitlin Halderman
,
Dinda Kanya Dewi
,
Erick Estrada
,
Fajar Nugros
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
REVIEW
,
Romance
,
Teuku Ryzki
3 komentar
Dignitate jelas bukan persembahan terbaik seorang Fajar Nugros, tapi
film ini membuktikan bahwa sang sutradara/penulis naskah telah memantapkan
cirinya, terutama perihal mengocok perut penonton lewat “gojek kere”. Bahkan dalam karya terbarunya yang dipenuhi keklisean
dramatisasi khas adaptasi cerita Wattpad remaja ini, gaya tersebut tetap Fajar
pertahankan dan berujung mengangkat kualitas Dignitate, walau akhirnya tidak banyak yang dapat dilakukan, sebab ia
mendapat materi sumber yang terlanjur sukar diperbaiki.
Dikisahkan, Alana (Caitlin
Halderman) terpaksa pindah ke sekolah baru akibat suatu alasan yang baru
diungkap belakangan. Karena alasan itu pula mamanya (Izabel Jahja) bersikap
(terlalu) protektif. Di kelas, Alana duduk sebangku dengan Alfi (Al Ghazali),
siswa idola para siswi yang bukan cuma ganteng, juga berotak encer. Walau
demikian, sososk Alfi jauh dari kata ramah. Dia hanya fokus pada pelajaran,
juga kerap berlaku kasar kepada wanita, biarpun sahabatnya, Keenan (Teuku Ryzki),
berulang kali memintanya berubah.
Tidak perlu menonton ribuan film
atau membaca setumpuk novel remaja untuk tahu, walau awalnya selalu bertengkar,
Alana dan Alfi nantinya akan saling cinta. Masalahnya adalah, mereka berdua
sama-sama menyimpan masa lalu kelam. Dan bukan cerita Wattpad populer namanya,
kalau tidak ada twist berupa
keterkaitan-keterkaitan yang didasari kebetulan-kebetulan menggelikan. Ditambah
jajaran pemain berparas cantik dan tampan, bagi sebagian besar target pasarnya,
Dignitate punya amunisi lengkap untuk
membuat mereka berteriak histeris bahkan menangis.
Penonton di luar golongan tersebut
mungkin juga bakal menangis. Menangis meratapi mengapa remaja sekarang
menggilai kisah semacam ini, yang seolah tidak lengkap jika ceritanya belum berlarut-larut
guna memfasilitasi semua jenis penderitaan dan kesialan, yang memancing respon “Ya
ampun kasihan banget!” atau “Ya Tuhan, bisa-bisanya....”. Apabila filmnya
ditutup sekitar 10 menit lebih cepat, niscaya hasilnya jauh lebih baik.
“Berlebihan” adalah kata yang
paling pas menggambarkan alur Dignitate. Sangat
berlebihan, niat baik menyampaikan pesan tentang “harga diri wanita” tenggelam
dan berhenti sebagai kalimat-kalimat kosong yang keluar dari mulut karakternya
saja. Tapi selaku penulis naskah, Fajar Nugros memang tidak bisa berbuat
banyak. Tuntutan setia terhadap materi adaptasi karya Hana Margaretha demi
memuaskan penggemar tak bisa dikesampingkan, meski beberapa kebodohan semestinya
bisa diperbaiki.
Hasil pencarian gambar di Google untuk
kata "Alana" yang seluruhnya memperlihatkan wajah si karakter; mama Alana yang
dengan mudah melunak walau baru sekali bertemu Alfi; bagaimana Alana bisa
mendadak muncul di parkiran pada sebuah peristiwa dramatis jelang akhir.
Berbagai kejanggalan di atas bukanlah keabsolutan yang mustahil dibenahi.
Tapi seperti telah disampaikan,
untungnya Fajar melakukan satu “pertolongan darurat” dengan cara menginjeksi
humor-humor ringan andalannya, yang setia menyegarkan suasana di tengah tuturan
dramanya. Tahun lalu Fajar juga sempat menggarap adaptasi cerita Wattpad lewat MeloDylan, tapi keliarannya bagai
tertahan. Sedangkan dalam Dignitate, tiap
ada kesempatan, komedi selalu ditampilkan. Dan uniknya, ini termasuk salah satu
presentasi komedi terbaik yang pernah Fajar lakukan. Materinya segar, timing penghantarannya tepat, dan
jajaran pemainnya, termasuk Teuku Ryzki, Dinda Kanya Dewi, hingga dua langganan sang sutradara, yakni Arief Didu dan Erick
Estrada, mampu memanfaatkan kesempatan sesingkat apa pun.
Sedangkan pada dua pemeran utama,
terjadi ketimpangan. Sewaktu penampilan Caitlin Halderman dapat dijabarkan
memakai kata-kata yang mendeskripsikan “protagonis lovable” (lucu, bertenaga, menggemaskan, dan lain-lain), Al Ghazali
belum berubah sejak debutnya di Runaway enam
tahun lalu. Gestur, mimik wajah, maupun luapan emosinya masih kaku. Mungkin ada
unsur kesengajaan mengingat penokohan Alfi yang juga “kaku”, tapi itu bukan
berarti sang aktor harus bertingkah layaknya robot sepanjang durasi.
AKHIR KISAH CINTA SI DOEL (2020)
Rasyidharry
Januari 24, 2020
Aminah Cendrakasih
,
Cornelia Agatha
,
Drama
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Mandra
,
Maudy Koesnaedi
,
Rano Karno
,
REVIEW
,
Rey Bong
,
Romance
10 komentar
Berkaca pada protagonisnya yang
selalu bimbang dan sulit mengambil keputusan, sebenarnya agak mengejutkan saat
kisah cinta segitiga Doel-Sarah-Zaenab akhirnya tiba di titik akhir. Begitu
sulit dipercaya, sampai berhembus kabar bahwa Rano Karno telah menyiapkan dua
versi ending. Saya pastikan rumor itu
keliru. Akhir Kisah Cinta Si Doel memiliki
konklusi definitif, hanya saja filmnya bergerak seperti Doel yang
menyeret-nyeret permasalahan terlalu lama hingga terasa melelahkan. Sayang
sekali, perjalanan 27 tahun ini ditutup tidak dalam performa terbaik. Apalagi
selepas Si Doel the Movie 2 yang
begitu emosional.
Kepulangan Sarah (Cornelia Agatha) dan
Dul (Rey Bong) ke Indonesia sepertinya sudah menuntaskan segala persoalan.
Perceraian tinggal menunggu finalisasi, sementara Sarah telah merelakan Doel
(Rano Karno) menjadi milik Zaenab (Maudy Koesnaedi). Sayangnya tidak segampang
itu. Zaenab yang tengah hamil muda justru makin dihantui rasa bersalah akibat
kelapangan hati pesaing cintanya. Demi lepas dari perasaan tersebut, Zaenab
mulai mempertimbangkan untuk meninggalkan Doel. Sedangkan dilema Doel bertambah
kala sang putera begitu berharap ia dan Sarah bisa bersatu lagi.
Menarik disimak saat kali ini Sarah
dan Zaenab bukannya berlomba mendapatkan Doel, namun berlomba meninggalkannya—walau
jelas mereka sama-sama masih mencintainya. Naskahnya memaparkan dengan baik
kompleksitas di benak Zaenab melalui sebuah monolog yang turut jadi panggung
Maudy Koesnaedi menunjukkan lagi kapasitas olah rasanya. Hanya melalui satu monolog
tersebut, Zaenab makin simpatik, Sarah terhindar dari antagonisasi, sekaligus
memudahkan penonton memahami kebimbangan Doel. Apakah Doel mesti menuruti
keinginan hatinya? Atau tiba waktunya dia berkorban untuk hal yang benar?
Sejatinya pertanyaan-pertanyaan
seperti itu berpeluang dieksplorasi. Tapi selama 93 menit tak sedikit pun kita
mengerti isi hati Doel. Bahkan sewaktu akhirnya ia mengambil keputusan, alasan
di baliknya tak dijabarkan, biarpun saya yakin pendekatan ini takkan dipermasalahkan
para penggemar lama. Dan walau diganggu kesan tiba-tiba dalam sebuah
pengadeganan cheesy, paling tidak konklusinya
memuaskan. Rano Karno bukan semata memberikan fan service, tapi membayar lunas apa yang dibangun sejak film
pertamanya dua tahun lalu.
Kembali lagi, kelemahan filmnya terletak
pada proses. Akhir Kisah Cinta Si Doel bagai
cerita yang hanya mementingkan destinasi, namun kesulitan menemukan jalur pasti
guna mencapai itu. Nihilnya eksplorasi karakter khususnya Doel masih (sedikit)
bisa dimaafkan, mengingat seri Si Doel sejak
dulu memang bukan dikenal karena itu. Doel si tukang bingung, Zaenab yang
selalu berkorban, dan Sarah si kaya. Itu sudah cukup bagi para penggemar. Menjadi
melelahkan sewaktu—seperti Doel—alurnya berputar-putar di satu titik, minim
dinamika, apalagi progress. Satu-satunya progress signifikan terjadi di ending ketika Doel menentukan pilihan.
Pengulangan baris-baris kalimat ditambah
tempo draggy dari penyutradaraan Rano
Karno terutama di adegan yang mengedepankan nuansa melankolis, menghadirkan
kesan berlarut-larut. Seolah filmnya sengaja memanjangkan presentasi
adegan-adegannya demi mengisi waktu akibat kekurangan materi. Apalagi
selipan-selipan filler di luar plot
utama, khususnya yang bersifat komedik tak sekuat biasanya, meskipun Mandra
tampil total seperti biasa. Hasilnya adalah grand
finale melelahkan yang sama sekali tidak “grand”. Terlebih Akhir Kisah
Cinta Si Doel punya sisi teknis terlemah di antara triloginya, di mana
rasio gambar aneh yang sudah muncul di film kedua malah bertambah parah.
Padahal Akhir Kisah Cinta Si Doel seharusnya jadi perayaan penting.
Perayaan terhadap kisah legendaris yang berlangsung hampir tiga dekade.
Perayaan terhadap salah satu karakter fiktif paling ikonik di Indonesia.
Perayaan terhadap seorang sosok hebat nan inspiratif bernama Aminah
Tjendrakasih yang tetap bersemangat berseni peran meski fisiknya sudah tak lagi
bersahabat. Sayang sekali.
START-UP (2019)
Rasyidharry
Januari 23, 2020
Choi Jeong-yeol
,
Choi Sung-eun
,
Comedy
,
Cukup
,
Don Lee
,
Jung Hae-in
,
Kim Jong-soo
,
Korean Movie
,
Ma Dong-seok
,
Park Jung-min
,
REVIEW
,
Yum Jung-ah
Tidak ada komentar
Ma Dong-seok alias Don Lee—si pria
kekar maskulin pemilik tinju sapu jagat, tinju pemusnah massal, tinju pencabut
nyawa—memakai rambut palsu panjang serta kaos berwarna merah muda lalu bernyanyi
dan menarikan koreografi lagu Knock Knock
dan TT milik Twice. Apabila anda merupakan penggemar sang aktor, tidak
perlu alasan lain untuk menonton adaptasi webtoon Shidong karya Jo Geum-san ini. Jika bukan, jangan khawatir, sebab Stat-Up masih menyimpan bentuk hiburan
lain.
Taek-il (Park Jung-min) adalah
remaja pemberontak yang gemar menyulut kekacauan sehingga merepotkan ibunya (Yum
Jung-ah), mantan atlet bola voli yang terpaksa mengubur impiannya demi
menghidupi sang putera. tapi Taek-il malah menolak bersekolah, hanya mengisi
hari dengan ketidakjelasan bersama sahabatnya, Sang-pil (Jung Hae-in). Hingga
suatu ketika, Taek-il memutuskan ingin membuktikan dirinya bisa hidup tanpa
bergantung pada sang ibu, kabur dari rumah, dan berakhir mendapat pekerjaan
sebagai tukang antar di restoran Cina milik Kong (Kim Jong-soo).
Di sanalah Taek-il bertemu
orang-orang berkepribadian menarik, seperti Kyung-joo (Choi Sung-eun) si gadis jago
tinju berambut merah, juga Geo-seok (Ma Dong-seok) si koki galak yang kerap
memukuli Taek-il, tapi bisa mendadak jadi pengecut tiap dihadapkan dengan
keributan di luar restoran. Sesekali kita juga melihat perjuangan ibu Taek-il
yang menghabiskan simpanannya demi membangun sebuah kedai makanan sederhana,
serta Sang-pil yang akibat kebutuhan finansial, terpaksa bekerja sebagai tukang
pukul lintah darat.
Naskahnya, yang ditulis sendiri oleh
sang sutradara, Choi Jeong-yeol (One Way
Trip), berusaha memadatkan sebanyak mungkin kisah materi adaptasinya dalam
durasi 102 menit, ketimbang mengolahnya berdasarkan satu atau dua cerita utama.
Tapi dibanding film-film adaptasi lain yang menerapkan pendekatan serupa, Start-Up jauh lebih rapi. Memang kesan fast-forward yang mengurangi kedalaman
tiap story arc cukup terasa, namun
Jeong-yeol mampu merangkainya jadi satu kesatuan utuh yang tidak episodik.
Alhasil, ketimbang berantakan, filmnya jadi bergerak dinamis berkat setumpuk
konflik menarik dalam beragam wujud.
Efek negatifnya adalah, akibat
kurangnya pendalaman bagi tiap permasalahan, berbagai dramanya kehilangan dampak
emosi, biarpun terdapat banyak amunisi, dari hubungan Taek-il dan ibunya,
Sang-pil dan neneknya, hingga masa lalu kelam yang sama-sama disimpan Kong dan
Geo-seok. Bukan itu saja, secara keseluruhan Start-Up memang tersendat perihal presentasi dramatik. Soal
penghantaran pesan misalnya. Kalimat “Do
what suits you” beberapa kali terucap dari mulut karakternya. Tapi begitu
film berakhir, apa yang hendak diutarakan tak pernah pasti. Apakah pernyataan
bahwa seseorang sebaiknya melakukan sesuatu yang cocok dengannya? Atau sesuatu
yang dia mau? Atau malah sesuatu yang benar tergantung kondisi?
Tidak ada cukup waktu eksplorasi
akibat terlalu banyak cabang alur coba disatukan. Tapi paling tidak, Start-Up berhasil menjalankan perannya
sebagai hiburan. Beberapa humor masih meleset, namun pengarahan bertenaga Choi
Jeong-yeol yang bersedia menerapkan gaya komikal (meski belum secara total)
ditambah performa jajaran pemainnya menjaga agar banyolan-banyolannya minimal
sanggup memancing senyum.
Ma Dong-seok unjuk gigi memamerkan
sisi komedik tanpa takut merusak maskulinitas yang begitu lekat pada sosoknya
walau tinju sekali-pukul-mampus andalannya tetap diperlihatkan, Park Jung-min
adalah protagonis yang likeable walau
sering berulah, sementara Choi Sung-eun memancarkan kesan misterius yang
menarik perhatian. Biarpun harus berbagi screentime,
Choi Jeong-yeol berhasil memberi tiap-tiap karakter penuh warna dalam
filmnya kesempatan bersinar.
BAD BOYS FOR LIFE (2020)
Rasyidharry
Januari 22, 2020
Action
,
Adil El Arbi
,
Alexander Ludwig
,
Bilall Fallah
,
Charles Melton
,
Comedy
,
Joe Carnahan
,
Joe Pantoliano
,
Kate del Castillo
,
Lumayan
,
Martin Lawrence
,
Paola Núñez
,
REVIEW
,
Vanessa Hudgens
,
Will Smith
4 komentar
Dirilis 17 tahun setelah film
keduanya, Bad Boys for Life tidak
berusaha merombak formula. Alurnya masih menganut pola klasik (kalau tidak mau
disebut klise), pula menerapkan twist
yang—biarpun tidak terduga—tergolong konyol ala film kelas B. Tapi sekali lagi,
filmnya memang tak pernah berniat merevolusi. Ditangani duo sutradara Adil El
Arbi dan Bilall Fallah yang juga ditunjuk mengarahkan Beverly Hills Cop 4, ini adalah bentuk modernisasi selaku
penyempurnaan tanpa perlu merusak warisan yang ditinggalkan.
Semuanya masih seperti yang kita
kenal. Mike Lowrey (Will Smith) masih si detektif playboy pembuat onar, sementara Marcus (Martin Lawrence) tetap
detektif penakut yang selalu mengutarakan keinginan pensiun. Hanya saja kali
ini ia serius. Setelah cucu pertamanya lahir, Marcus ingin menghabiskan lebih banyak
waktu bersama keluarga. Walau sang partner berusaha membujuk, keputusannya
sudah bulat. Sampai terjadi suatu insiden, dan bisa ditebak, Marcus bersedia
kembali untuk “one last ride”.
Saya tak bisa mengungkap detailnya, tapi insiden tersebut berjasa melakukan dua aspek. Pertama, memberi
suntikan emosi ke dalam persahabatan Marcus-Mike. Melalui dua film sebelumnya,
kerekatan mereka sukses dibangun, namun baru kali ini hubungan itu benar-benar
mempunyai hati. Bad Boys for Life sempat
memisahkan keduanya, dan sewaktu kembali bersatu, reuni mereka terasa bermakna,
apalagi setelah terjadinya insiden lain yang tak kalah mengejutkan. Reuni yang
akan membuat penonton mendukung Marcus dan Mike menghabisi para penjahat.
Aspek nomor dua adalah mematenkan
status pasangan ibu-anak keji, Isabel (Kate del Castillo) dan Armando (Jacob
Scipio), sebagai ancaman besar. Kesan itu sudah mulai dibangun sejak
menit-menit awal dalam sekuen keributan penjara, yang turut memperkenalkan
wujud modernisasi macam apa yang dibawa El Arbi dan Fallah. Lebih banyak darah,
sadisme, dan kekerasan eksplisit, yang selaras dengan sedikit sentuhan komedi
hitamnya sekaligus membuat aksinya lebih berwarna, bukan berhenti pada ledakan
bombastis semata. Kedua sutradara menguasai urusan timing, di mana beberapa momen brutal dapat memberi efek kejut.
Perihal aksi jarak dekat, El Arbi
dan Fallah adalah jagonya, tetapi dalam skala set piece lebih besar, mereka (tentu saja) belum selihai Michael
Bay, apalagi ditambah hadangan berupa keterbatasan biaya ($40 juta lebih rendah
dari Bad Boys II). Kekurangan itu
paling kentara saat Bad Boys for Life, serupa
Bad Boys II, memperlihatkan
penjahatnya melemparkan mobil ke arah protagonis kita di tengah kejar-kejaran, dengan
hasil akhir yang terkesan lebih kerdil. Pun penyuntingan di beberapa adegan
aksi bertempo tinggi kerap memunculkan disorientasi yang memusingkan (poin ini
sesungguhnya juga sering jadi masalah Bay).
Tapi sekali lagi, penggemar lama franchise-nya bakal tetap terpuaskan dan
takkan terasingkan. Naskah garapan Chris Bremner (akan menulis Bad Boys 4), Peter Craig (The Town, The Hunger Games: Mockingjay –
Part 1 & 2), dan Joe Carnahan (The
A-Team, The Grey) menyelipkan beberapa referensi terkait dua installment sebelumnya, sedangkan El
Arbi dan Fallah tak lupa mengulangi low-angle
shot berbalut gerak lambat ikonik franchise-nya.
Nostalgia serupa juga muncul
melalui jajaran pemainnya. Joe Pantoliano masih menghibur sebagai Conrad Howard
si Kapten pemarah yang gemar melempar komentar sarkas, dan tentunya duet pemeran
utamanya memproduksi kesolidan chemistry yang
tak sedikit pun luntur setelah 25 tahun. Smith dengan kharisma yang kali ini
dibarengi kerapuhan, dan Lawrence mempertahankan sisi spesial Marcus yang
menggelitik, namun mampu menjadi polisi yang kapabel tiap kali dibutuhkan.
Semakin spesial kala jajaran wajah
lama tersebut ditemani nama-nama baru yang tak berusaha mencuri spotlight, tapi memperkaya dinamika. Paola
Núñez sebagai Rita, mantan kekasih Mike sekaligus pemimpin Advanced Miami Metro
Operations (AMMO); Charles Melton sebagai Rafe si pemuda sok jago; Alexander
Ludwig sebagai Dorn si teknisi berbadan kekar; dan Vanessa Hudgens sebagai
Kelly yang tangguh. Tatkala tokoh-tokoh beda masa itu bersatu dalam pengarahan
bertenaga kedua sutradaranya, klimaks Bad
Boys for Life pun jadi perwujudan sempurna sebuah modernisasi.
1917 (2019)
Rasyidharry
Januari 20, 2020
Colin Firth
,
Dean-Charles Chapman
,
George MacKay
,
Krysty Wilson-Cairns
,
REVIEW
,
Roger Deakins
,
Sam Mendes
,
Sangat Bagus
,
War
44 komentar
1917 punya adegan di mana kedua protagonis diperintahkan oleh
atasan untuk menembakkan suar selepas melewati no man’s land. Sang atasan, yang telah dikuasai keputusasaan
setelah melalui perang tanpa henti yang memakan banyak nyawa, ragu keduanya
bakal berhasil. Keraguan tersebut terbantah dan suar pun dilepaskan. Di film
lain, reaksi si atasan pasti diperlihatkan, mungkin dibarengi kalimat “Those son of bithces made it” atau
semacamnya. Tapi di sini kita bahkan tidak tahu apakah si atasan melihat suar tersebut,
sebab sepanjang durasi, kamera tak sekalipun meninggalkan karakter utamanya.
Dikemas dengan trik yang
mengesankan seolah filmnya diambil memakai teknik single take, karya terbaru sutradara Sam Mendes (American Beauty, Skyfall, Spectre) ini
memang lebih mengedepankan “experience”
ketimbang penceritaan beralur konvensional. Tepatnya pengalaman dua prajurit
Inggris di tengah medan baku tembak Perang Dunia I. Tujuannya adalah membuat
penonton merasakan apa yang keduanya rasakan.
Kedua prajurit itu adalah Kopral
Tom Blake (Dean-Charles Chapman) dan Kopral Will Schofield (Geroge MacKay),
yang diperintahkan Jenderal Erinmore (Colin Firth) mengirimkan pesan kepada
Resimen Devonshire agar menghentikan serangan. Resimen beranggotakan 1.600
orang tersebut awalnya bersiap menyerbu pasukan Jerman yang ditengarai telah
mundur dari garis depan. Tapi hasil pengintaian udara menunjukkan bahwa
bukannya terpukul mundur, Jerman justru tengah memasang perangkap, memancing
pasukan Inggris agar menyerbu. Tom Blake diutus mengemban misi karena dalam
resimen itu tergabung pula Letnan Joseph Blake (Richard Madden), kakaknya.
Blake dan Schofield harus menembus
tempat-tempat berbahaya di garis depan peperangan, dan kamera Roger Deakins
(yang saya yakin akan kembali memenangkan Oscar) selalu mengiringi perjalanan
mereka tanpa putus. Setidaknya terksesan demikian, karea jika teliti, anda
dapat menemukan beberapa jahitan rapi untuk menyatukan potongan-potongan
adegan. Tapi bahkan tanpa penyuntingan pun, hanya dalam sekali pengambilan dan
satu kamera, Deakins bisa melakukan apa yang biasanya dilakukan lebih dari
sekali.
Contohnya ketika Erinmore memberi
pengarahan. Begitu mulus kameranya bergerak guna memindahkan fokus dari Blake
dan Schofield ke arah sang Jenderal. Padahal normalnya, adegan seperti ini
membutuhkan minimal tiga shot: dua over-the-shoulder shot (sudut pandang
tiap karakter yang berinteraksi) plus satu master
shot (menangkap semua karakter). Tentu ini mampu dicapai juga berkat
penataan mise-en-scène Sam Mendes,
yang nantinya mencapai puncak pencapaian pada pertempuran klimaks epic penuh detail kompleks tatkala
ratusan tentara beradu di peperangan sebagai latar belakang.
Apakah ini bentuk pamer? Ya, tapi
bukan cuma itu. Di balik pencapaian teknis luar biasanya, pilihan gaya ini
menyimpan maksud tersendiri. Pertama, 1917
merupakan eksplorasi ruang, baik yang terlihat maupun tak terlihat, yang
semuanya bermuara ke satu tujuan: pengalaman nyata. Pada ruang terlihat
(tentunya dibarengi konsistensi luar biasa soal kontinuiti), penonton bisa
tahu, di sebelah titik A terdapat apa, ada di mana lokasi B, dan seterusnya. Kita
pun memahami medan perangnya terdiri atas apa saja, yang otomatis menyulut
kekaguman terkait besarnya cakupan set yang dibangun.
Desain produksinya tidak main-main.
Di tiap lokasi, bila diperhatikan dengan cermat, anda akan menyadari bahwa Sam
Mendes bersama tim artistiknya menaruh perhatian hingga detail terkecil. Mayat
bergelimpangan di film perang itu biasa. Menjadi luar biasa ketika mayat yang
nyaris sepenuhnya terkubur dan cuma terlihat sebagian kerap ditemui. Sementara
eksplorasi ruang tak terlihatnya berfungsi membangun ketegangan.
Penggunaan “single take” yang
memposisikan penonton di ruang yang sama dengan karakternya, membuat kita hanya
bisa melihat apa yang mereka lihat. Seperti mereka, kita tidak tahu apakah ada
jebakan terpasang, apakah ada musuh bersembunyi, dan sebagainya. Tapi penonton
dan karakternya sama-sama tahu, di luar sana ada ancaman menanti, memancing sense of impending doom. Kecemasan meningkat,
kesan atmosferik menguat. Apalagi sewaktu Mendes beberapa kali menghilangkan
musik termasuk ambient.
Walau demikian, ada kalanya musik
gubahan Thomas Newman berperan besar. Contohnya saat filmnya mencapai Écoust-Saint-Mein,
desa yang telah luluh lantah dibombardir pasukan Jerman. Mengiringi malam kelam
yang diterangi suar-suar di langit, mendadak musiknya memperdengarkan orkestra.
Mendes menjadikan malam mencekam itu bak opera megah yang memainkan pertunjukan
bertemakan garis batas tipis antara hidup dan mati.
Sebagai dua manusia di tengah
neraka, MacKay dan Chapman mengerahkan segala daya upaya, menekankan realisme
dalam melakoni peran dua prajurit yang tersiksa fisik dan batinnya, sehingga
penonton dapat merasakan hal serupa. Di luar mereka berdua, 1917 memberi bonus berupa deretan cameo nama-nama besar. Hanya saja jangan
berharap nama-nama tersebut diberi porsi signifikan, atau anda bakal kecewa.
Di permukaan, naskah yang ditulis
Mendes bersama Krysty Wilson-Cairns terkesan tipis, karena memang seperti telah
disebutkan, 1917 lebih mengarah
kepada pengalaman ketimbang penuturan. Satu-satunya kelemahan muncul di sini.
Terkadang sebuah ketiadaan diseret terlalu lama, jauh lebih lama dari yang
dibutuhkan agar penonton merasakan apa yang Mendes ingin kita rasakan. Filmnya
pun sempat melelahkan, namun bukan berarti terkait cerita, tak ada yang coba
disampaikan.
1917 menuturkan drama kemanusiaan berlatar peperangan tanpa secara
gamblang menyatakan itu. Ketimbang tentang menghilangkan nyawa, ini adalah
tentang menyelamatkan nyawa. Dan untuk melakukan itu, para prajurit dituntut
berjuang total termasuk mempertaruhkan nyawa mereka sendiri. Ending-nya menegaskan itu. Apabila anda
menaruh perhatian lebih, konklusinya takkan mengejutkan. Tapi kejutan bukan
poin utamanya, melainkan bagaimana satu momen singkat di penghujung durasi itu
seketika menjadikan perjuangan protagonisnya semakin bermakna.
ANAK GARUDA (2020)
Rasyidharry
Januari 18, 2020
Ajil Ditto
,
Alim Sudio
,
Clairine Clay
,
Drama
,
Faozan Rizal
,
Geraldy Kreckhoff
,
Indonesian Film
,
Kiki Narendra
,
Kurang
,
Rania Putrisari
,
Rebecca Klopper
,
REVIEW
,
Rizky Mocil
,
Tissa Biani
,
Violla Georgie
Tidak ada komentar
Anak Garuda merupakan satu lagi film mengenai sekolah Selamat Pagi
Indonesia (SPI) setelah Say I Love You bulan
Juli tahun lalu. Menariknya, meski seluruh pemerannya berbeda, kursi
penyutradaraan sama-sama diduduki oleh Faozan Rizal, naskahnya tetap ditulis
Alim Sudio, sementara Verdi Solaiman beralih peran dari aktor ke produser.
Ceritanya sendiri mengambil timeline selepas
“pendahulunya” tersebut, sehingga wajar bila anda mengira film ini adalah
sekuel. Tapi tidak. Keduanya tanpa kaitan, walau kualitasnya tidak jauh beda.
Sheren (Rania Putrisari), Olfa
(Clairine Clay), Wayan (Geraldy Kreckhoff), Dilla (Rebecca Klopper), Sayyida
(Tissa Biani), Yohana (Violla Georgie), dan Robet (Ajil Ditto) adalah ketujuh
tim SPI yang kini sudah lulus dan menjalankan pusat pembelajaran serta rekreasi
Kampoeng Kidz. Walau sudah menjalankan bisnis sendiri, sesungguhnya mereka
masih belum lepas dari ketergantungan pada sang mentor sekaligus pendiri SPI,
Koh Jul (Kiki Narendra). Alhasil begitu Koh Jul pergi untuk sementara waktu,
perpecahan mulai terjadi di antara ketujuh muda mudi ini.
Akibat naskah yang lalai
menjembatani momen demi momen ditambah penyuntingan buruk, Anak Garuda tampil bak sketsa yang dijahit paksa, di mana tiap
sketsa memperlihatkan bagaimana Rocky (Krisjiana Baharudin) si volunteer baru seolah berusaha mengadu
domba anak-anak SPI. Rasanya seperti menonton kompilasi episode sebuah serial
pendek berjudul “Kenakalan Rocky”. Mungkin Alim Sudio ingin memperlihatkan
secara lengkap apa saja aksi Rocky, tapi ujungnya sebatas menghasilkan checklist permasalahan.
Pun bicara soal Rocky, saat
akhirnya alasan di balik perbuatannya diungkap, yang muncul justru
ketidaksinkronan alih-alih jawaban. Di sini saya membicarakan aspek psikis
karakter, yang mestinya menjelaskan bagaimana faktor “A” menyulut tindakan “B,
C, D” dan seterusnya. Hal itu tidak dilakukan, atau tepatnya, tidak dilakukan
secara layak. Seolah penulis beranggapan jika masalah masa lalu atau luka hati
seseorang bisa jadi alasan untuk membuatnya melakukan keburukan apa pun.
Padahal tidak sesederhana dan seacak itu.
Setidaknya di tengah-tengah “invasi
Rocky”, Anak Garuda masih
menyenangkan diikuti berkat akting solid beberapa pemain utama yang konsisten
menyuntikkan energi bagi jalannya cerita. Memerankan Olfa yang menyimpan
kepedulian tinggi terhadap salah satu murid SPI yang mentalnya terganggu akibat
trauma, Clairine bisa memberikan tatapan penuh kepedulian serta memanfaatkan
kesempatan kala dituntut mengolah emosi lebih lanjut. Tissa seperti biasa, selalu
memberikan warna dan tak terjebak monotonitas dalam menangani situasi apa saja,
bahkan yang sederhana sekalipun. Malah Kiki Narendra selaku penampil
paling senior di sini yang agak mengganggu. Mau tidak mau perbandingan sulit
dihindari. Ketika Verdi Solaiman begitu natural membawakan sosok Koh Jul yang
selalu berapi-api melontarkan kalimat-kalimat inspiratif, Koh Jul versi Kiki bagaikan
karikatur.
Melewati pertengahan durasi, Anak Garuda mengembangkan cakupan
kisahnya ketika ketujuh tim SPI berkesempatan melakukan perjalanan ke Eropa.
Sayangnya, perjalanan yang telah mereka cita-citakan sejak lama ini terganggu
oleh masalah interpersonal yang belum juga usai. Benarkah? Sebab sering muncul
inkonsistensi berulang terkait persoalan itu. Di satu titik mereka tertawa bersama,
kemudian bertengkar, lalu bertingkah seolah tidak ada masalah, sebelum akhirnya
mendadak perpecahan mencapai puncak.
Perjalanan ke Eropa dimaksudkan
sebagai puncak tantangan sekaligus emosi filmnya. Seperti kebanyakan road trip, harapan para pembuatnya, ada
makna yang tersimpan dan bukan sekadar jalan-jalan biasa. Harapan itu gagal
terwujud akibat inkonsistensi tadi. Pun sepertinya Rizky Mocil terlalu total
memerankan Roy si pemandu menyebalkan sehingga perjalanan ini juga tak terasa
nyaman untuk diikuti.
Tentu semua akhirnya bakal berakhir
bahagia, karakternya akan berbaikan sementara Koh Jul mengungkapkan kebanggaannya.
Koh Jul menyebut bahwa di matanya, anak-anak didiknya itu merupakan keajaiban.
Kenapa? Atas dasar apa? Karena mereka bermalam di jalanan Paris sambil menunggu
Menara Eiffel buka? Karena mereka terus bertengkar dan saling menyalahkan
bahkan setelah Koh Jul berkali-kali memberi petuah? Saya tidak menemukan
keajaiban apa pun.
NYANYIAN AKAR RUMPUT (2020)
Rasyidharry
Januari 16, 2020
Cukup
,
Documentary
,
Indonesian Film
,
REVIEW
,
Yuda Kurniawan
2 komentar
Dari tangan Yuda Kurniawan, sineas
di balik lahirnya Balada Bala Sinema (2017, review)
yang membuka banyak pemahaman soal skena komunitas film Purbalingga, lahir satu
lagi dokumenter berjudul Nyanyian Akar
Rumput. Mengupas kehidupan Fajar Merah selaku putera Wiji Thukul sembari
menggaungkan semangat “Menolak Lupa”, perihal urgensi, saya tidak sanksi.
Sampai kapan pun hal ini harus terus disampaikan. Sayangnya kekurangmatangan
pengolahan materi kisah jadi masalah.
Awalnya sentral kisah adalah
mengenai kompleksitas fase tumbuh kembang Fajar, kala ia terjebak di antara
pertanyaan mengenai ketiadaan Wiji Thukul yang kemudian memancing kemarahan,
dengan puja-puji orang luar terhadap sang ayah. Mereka menggambarkan Wiji
Thukul sebagai pahlawan tanpa cela, sedangkan bagi Fajar, dia adalah sosok
orang tua yang absen. Sampai timbul keinginan mengenal lebih jauh melalui puis ayahnya,
yang akhirnya mendorong Fajar menjadikan puisi-puisi tersebut lirik lagu band
miliknya, Merah Bercerita. Pun kita diperlihatkan kondisi keluarga Wiji Thukul
lain, seperti puterinya, Wani, yang terus aktif membaca puisi sebagai bentuk kolaborasi
dengan Merah Bercerita, sementara Sipon, sang istri, yang sejak menghilangnya
Thukul, dihantam tekanan psikis luar biasa.
Andai keintiman kaya dinamika emosi
itu yang terus diperdalam. Nyanyian Akar
Rumput mempersembahkan pemandangan menusuk saat lewat selipan rekaman acara
penganugerahan penghargaan untuk Wiji Thukul pada 2002. Di sana, Wani yang
masih belia membacakan puisi sambil berurai air mata, mempertanyakan kenapa
sang ayah tak kunjung pulang, sedangkan Sipon jatuh tak berdaya. Momen tersebut
sempurna memotret betapa kehilangan—apalagi jika dibarengi ketidakpastian—dapat
menghancurkan.
Berikutnya perjalanan Fajar bersama
Merah Bercerita disoroti, di mana Yuda berniat menelusuri benang merah antara
karya-karya Wiji Thukul dan puteranya. Berdasarkan penuturan Sipon, kita tahu
bahwa berbeda dari ekspresi puisi Thukul yang meneriakkan amarah dan memantik semangat
perjuangan, pendekatan Fajar terhadap musiknya cenderung kental romantisme
tanpa menghilangkan sikap kritis. Dan kita bisa mengonfirmasinya begitu
mendengar deretan lagu Merah Bercerita, yang sepanjang durasi memberkati
telinga kita dengan api perlawanan yang kerap terkesan pilu.
Penonton bisa memastikan, “Ya,
keduanya berbeda”. Tapi kenapa? Filmnya gagal menjabarkan dinamika proses
berkarya itu, yang bila diperdalam, bakal memunculkan pemahaman lebih lanjut
mengenai si pembuat karya. “Bukankah sudah jelas semua itu dipicu luka-luka
Fajar sejak kecil?”. Mungkin benar, namun di titik ini, pernyataan itu sekadar
asumsi. Wiji Thukul juga terluka. Fajar Merah pun ingin melawan. Jadi mengapa
keduanya berbeda?
Mencapai pertengahan durasi, Nyanyian Akar Rumput, sebagaimana judulnya,
membiarkan lagu-lagu Fajar berbicara, sehingga lebih sering memperlihatkan
Merah Bercerita memainkan lagu mereka, baik di atas panggung, studio rekaman,
maupun di rumah Fajar. Keputusan bijak, sebab pendekatan itu mewakili figur Fajar
sebagai musisi. Masalahnya, seiring waktu, akibat banyak lagu terus diulang,
filmnya terjebak dalam repetisi. Bukannya pemahaman mendalam, malah kesan
menambal durasi yang terasa. Lagu-lagu powerful
hanya numpang lewat, padahal saat stok footage
diseleksi dengan tepat, getaran rasanya tidak main-main, seperti kekacauan
atmosferik nan menyayat hati selaku penutup film ketika Merah Bercerita membawakan
Derita Sudah Naik Seleher bersama
Wani di acara perilisan album perdana mereka.
Kesan serupa timbul sewaktu filmnya
menyelipkan rekaman demonstrasi semasa pemilu 2014, dengan kuantitas
jauh lebih banyak dari kebutuhan. Tidak perlu sebanyak itu guna membuat
penonton mengerti akan kondisi saat itu, khususnya seputar fanatisme pendukung
Prabowo, yang tak keberatan mengusung calon Presiden seorang penjahat HAM. Kita
sudah melihat semua itu di televisi maupun internet, dan filmnya tak menambah
informasi baru.
Nyanyian Akar Rumput juga jadi contoh bahwa timing dapat berpengaruh terhadap dampak narasi suatu film. Sipon
adalah pendukung Jokowi. Selain karena berstatus warga Solo, ia juga percaya Jokowi
bakal menuntaskan ketidakjelasan banyak kasus HAM, termasuk hilangnya Wiji
Thukul. Ditambah komparasi antara sikap berlawanan pendukung kedua calon
Presiden, pesan filmnya jelas: Jokowi merupakan harapan baru bagi pengusutan
kasus HAM. Andai dirilis setidaknya 3-4 tahun lalu, narasi itu tidak akan
terasa hambar seperti saat ini, tatkala harapan tersebut makin semu.
DOLITTLE (2020)
Rasyidharry
Januari 16, 2020
Adventure
,
Cukup
,
Dan Gregor
,
Doug Mand
,
Emma Thompson
,
Fantasy
,
Harry Collett
,
Jessie Buckley
,
Kasia Smutniak
,
Michael Sheen
,
Rami Malek
,
REVIEW
,
Robert Downey Jr.
,
Stephen Gaghan
4 komentar
Mengambil hati penonton anak lewat
para binatang yang bisa bicara sembari menggoda penonton dewasa melalui
keberadaan Robert Downey Jr.,—yang untuk pertama kalinya sejak The Judge (2014) melakoni peran selain
Tony Stark—pada akhirnya Dolittle memang
tidak kurang dan tidak lebih dari itu. Sebuah petualangan ringan, muda
dinikmati oleh semua kalangan, biarpun mudah dilupakan pula.
Mengadaptasi petualangan Doctor
Dolittle dari seri buku anak-anak karya Hugh Lofting terutama dari buku
keduanya, The Voyages of Doctor Dolittle
(awalnya juga dipakai sebagai judul film ini sebelum dilakukan penyederhanaan),
kisahnya dibuka melalui intro berbentuk animasi soal bagaimana Dr. John
Dolittle (Robert Downey Jr.) memukau seluruh negeri berkat kemampuannya
berbicara dengan binatang. Berkat jasanya, Ratu Victoria (Jessie Buckley)
bahkan menghadiahkan lahan besar untuk ditinggali Dolittle bersama binatang-binatang
yang olehnya dan sang istri, Lily Dolittle (Kasia Smutniak), selamatkan dari
seluruh penjuru dunia.
Malang, Lily tewas di tengah laut
dalam sebuah penjelajahan. Dolittle pun berubah 180 derajat, mengurung diri,
menutup akses dunia luar…..sampai kemunculan Tommy Stubbins (Harry Collett). Datang
guna meminta bantuan menyelamatkan nyawa seekor tupai, Stubbins malah berujung
tertarik menjadi penerus Dolittle, bahkan terlibat petualangan mengarungi
samudera dalam rangka mencari buah dari pohon legenda untuk menyembuhkan
penyakit misterius Ratu Victoria.
Kalau anda sebatas mengenal sosok
karakter titularnya berdasarkan versi 1998 yang dibintangi Eddie Murphy
(inilah alasan banyak orang mempermasalahkan mengapa Doctor Dolittle diubah jadi
pria kulit putih tanpa memahami latar belakangnya), mungkin ada sedikit
kekagetan mendapati bagaimana film ini menuturkan petualangan bersakal besar.
Padahal versi 1967-nya mengambil pendekatan serupa (dikemas memakai sampul musikal).
Naskahnya, yang ditulis oleh duet
Doug Mand-Dan Gregor (Most Likely to
Murder) bersama sutradara Stephen Gaghan (Syriana, Gold), menawarkan metode cerdik terkait penggambaran
transisi komunikasi Dolittle dengan para binatang. Kadang kita mendengar mereka
berbicara menggunakan bahasa binatang, terkadang bahasa manusia. Penyutradaraan
Gaghan pun mulus menangani transisi tersebut, yang sesekali dipakai
menghadirkan efek komedik. Jajaran pengisi suaranya juga berjasa memberi nyawa,
khususnya Emma Thompson sebagai Polynesia si burung macaw bijak selaku
penasihat Dolittle dan Rami Malek yang memerankan gorila penakut bernama
Chee-Chee.
Berkat mereka, ditambah CGI
berkualitas memadai, kecanggungan interaksi antara manusia dengan karakter CGI
mampu ditiadakan. Apalagi sang manusia dibawakan oleh Robert Downey Jr., yang
berkat pengalamannya menjadi maskot MCU, tak lagi asing dengan tuntutan semacam
itu. Saya sempat khawatir RDJ bakal bernasib seperti Johnny Depp yang terjebak
dalam keeksentrikan monoton selepas memainkan karakter ikonik. Tapi saya
akhirnya sadar, ada satu perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan yang
membuat RDJ unggul sekaligus menjamin keawetan karirnya di luar skena film
pahlawan super.
RDJ tidak pernah lalai urusan rasa.
Karakter-karakter peranannya selalu dihantui duka atau kegamangan. Tidak
terkecuali di sini, dan mata sang aktor kuat memancarkan rasa tersebut. Dari
situlah sumber emosi utama Dolittle, tatkala
kisah soal kematian Lily hanya berakhir sebatas hiasan semata, sedangkan baik
departemen naskah maupun penyutradaraan gagal melahirkan momen penutup selaku payoff yang layak kepada romansa bittersweet karakter utamanya. Bahkan
aksen Wales aneh RDJ tak sanggup menghalangi kita bersimpati ke protagonisnya.
Sementara penjelajahan Dolittle dan
kawan-kawan, yang diharapkan sarat keajaiban, hanyalah petualangan medioker
penuh pilihan-pilihan obligatif selaku pemenuhan formula. Anda bisa dengan
mudah menebak kebenaran di balik penyakit Ratu Victoria, pula bakal dibawa ke
mana sosok Dr. Blair Mudfly (Michael Sheen), yang sejatinya bisa dimaafkan,
mengingat keklisean tersebut ditujukan bagi penonton anak. Bahkan ketimbang
aksi mendebarkan, klimaksnya diselesaikan dengan sebuah operasi terhadap
sesosok makhluk mitologi.
Teruntuk para bocah, apa yang Dolittle sajikan sudah cukup, biarpun
orang dewasa bakal kebosanan menyaksikan repetisi alur yang seolah enggan
beranjak dari pola “Dolittle dan teman-temannya tertangkap di tangan antagonis à berhasil kabur à ulangi”. Dan melihat gelaran
aksinya, dengan kuantitas yang juga tidak seberapa, saya bisa memahami
keputusan Universal Pictures meminta supervisi Jonathan Liebesman (Wrath of the Titans, Teenage Mutant Ninja
Turtles) dan Chris McKay (The Lego
Batman Movie) dalam proses reshoots. Gaghan,
yang sebelumnya lebih banyak menggarap drama serius pengincar kejayaan di musim
penghargaan, jelas punya banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kemampuannya
menangani hiburan seru berbasis CGI. Tapi untuk sekarang, Dolittle tidaklah buruk bila dipandang semata sebagai hiburan para bocah.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:Posting Komentar