REVIEW - MINARI

1 komentar

Di Korea Selatan, saat sepasang suami istri telah dikaruniai buah hati, panggilan mereka berubah sesuai nama sang anak. Kedua orang tua Anne di Minari misalnya. Ayahnya dipanggil "Anne appa", sedangkan ibunya "Anne eomma". Bukan berarti status individu mereka lenyap. Selain karena menyebut nama orang lain bisa dianggap tidak sopan di sana, aspek kultural tersebut turut menegaskan kuatnya nilai kekeluargaan. Bagaimana sekali lagi, keluarga adalah harta paling berharga yang mesti diprioritaskan. 

Bagi Jacob (Steven Yeun) dan Monica (Han Ye-ri), selaku imigran yang telah menetap bertahun-tahun di Amerika, penggunaan panggilan di atas bak cara keduanya mempertahankan identitas. Tapi kini keduanya berada di persimpangan. Haram hukumnya kehilangan jati diri, namun adaptasi juga wajib dilakukan. Bukan perkara gampang menentukan, mana yang harus dijaga, mana yang perlu disesuaikan sebagai bentuk toleransi dalam usaha beradaptasi.

Jacob membawa istri beserta kedua anaknya, Anne (Noel Kate Cho) dan David (Alan Kim), pindah dari California ke daerah rural di Arkansas. Jengah akan pekerjaannya memilah kelamin anak ayam, Jacob memutuskan menapaki American dream, mewujudkan impiannya mengelola lahan pertanian sendiri. Monica sejatinya kurang setuju. Urusan finansial, karena Jacob memakai sebagian besar tabungan untuk ambisinya itu, jadi kekhawatiran terbesar Monica. Belum lagi soal kondisi kesehatan David. Jantung si bocah lemah, dan menurut dokter, bisa berhenti berdetak tiap saat. 

Dilandasi ambisi agar tidak menjadi seperti ayam jantan, yang dibuang di tempat pemotongan karena dianggap tidak berguna, Jacob pantang mundur. Dibantu Paul (Will Patton), pria lokal yang tiap minggu mengitari desa sembari memanggul salib raksasa layaknya Yesus, lahan mulai diolah. Jacob yakin, dengan etos kerja serta kecerdasan khas Korea, ia bakal berhasil. Jacob kukuh menerapkan caranya, termasuk saat menolak bantuan mencari sumber air menggunakan dowsing. Menurutnya, orang Amerika sungguh bodoh karena mempercayai metode macam itu. 

Di sinilah gesekan bermula, baik dalam diri Jacob sendiri, maupun di internal keluarga. Dia ingin menggapai American dream (alasannya memilih bercocok tanam mungkin karena di berbagai media, mempunyai ladang luas kerap diidentikkan denga kehidupan nyaman nan tentram di Amerika), namun memandang sebelah mata pola pikir setempat. Sebaliknya, kengototan mempertahankan jati diri justru nampak kontradiktif, tatkala Jacob mulai menomorduakan keluarga. Naskah yang dibuat oleh sang sutradara, Lee Isaac Chung, memaparkan dinamika hidup para imigran melalui benturan-benturan di atas. 

Sementara itu, karena Monica pun harus bekerja di tempat pemotongan ayam, datanglah sang ibu, Soon-ja (Youn Yuh-jung), guna membantu menjaga Anne dan David. Awalnya David menolak kehadiran Soon-ja, yang baginya "bukan nenek", akibat tidak bisa memasak kue, hobi main kartu, kerap melempar sumpah serapah, dan menghabiskan hari menonton gulat di televisi. Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan. Jadi, apa syarat seseorang bisa disebut nenek? Apa itu keluarga? Dan tentunya, "Apa itu rumah?".

Pastinya, Minari terasa bagaikan rumah yang hangat dan dipenuhi keping-keping memori. Seluruh departmennya memancarkan kesan serupa. Contohnya musik gubahan Emile Mosseri, yang bahkan sejak opening sudah memancing tetes-tetes air mata, lewat alunan minimalis disertai choir bernuansa dreamy yang sarat keindahan (dengarkan lagu Big Country). Begitu pula bagaimana Lachlan Milne menyajikan lanskap bertemunya hamparan padang hijau dengan langit biru melalui kameranya. Semua berkat sensitivitas.

Sensitivitas yang dikomandoi oleh Lee Isaac Chung, yang jelas paham betul pondasi-pondasi kisahnya, mengingat Minari dibuat berdasarkan kenangan masa kecilnya. Lagi-lagi sensitivitas di ranah familial memang keunggulan sineas Asia. Kemudian, kala sensitivitas itu dipertemukan dengan penonton Asia juga, hasilnya adalah kedekatan yang memperkuat dampak emosi, bahkan dari hal-hal kecil. Kalimat "What do you say?", yang selalu diucapkan Jacob kepada David tiap puteranya itu menerima sesuatu, pasti akan mengembalikan anda menuju momen masa kecil, sewaktu orang tua berkata, "Hayo, bilang apa?".

Fokus Lee adalah memainkan rasa secara natural melalui rangkaian keintiman. Sebuah dekapan, pelukan, atau sekadar tatapan lembut, menyimpan sejuta makna. Pendekatan yang turut dipakai oleh jajaran pemainnya. Steven Yeun dan Han Ye-ri melahirkan pasangan suami istri, yang meski kerap berbeda pandangan, tak pernah memaksa penonton memilih salah satu pihak. Karena kita tahu, pada dasarnya mereka sama-sama berjuang bagi keluarga. Sedangkan Youn Yuh-jung mencurahkan hati, kasih sayang yang amat besar, sehingga kala menyaksikannya, kerinduan akan masa kecil, di mana kedamaian dan kenyamanan kita dapatkan dari berbaring di pangkuan orang tua/nenek, seketika membuncah. Terakhir, jangan lupakan Alan Kim. Bocah tujuh tahun ini luar biasa. Sungguh luar biasa!


Available on iTUNES

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - GEEZ & ANN

Tidak ada komentar

Melihat kualitas deretan "film Wattpad", di mana Mariposa (yang biarpun cukup solid, masih jauh dari kata "spesial") tampak menonjol dibanding jajaran kompatriotnya, saya pun cukup pesimistis menyambut Geez & Ann, yang diangkat dari novel berjudul sama karya Nadhifa Allya Tsana alias Rintik Sedu ini. Tapi rupanya, walau tetap menyimpan setumpuk kekurangan sekaligus keklisean, Geez & Ann punya lebih banyak "rasa". Hal mendasar yang dalam mayoritas adaptasi Wattpad, kerap dilupakan, tenggelam di balik berondongan kalimat-kalimat (sok) puitis, atau dramatisasi yang (maunya) manis.

Ann (Hanggini) bertemu Geez (Junior Roberts) dalam sebuah acara alumni di sekolah. Ann menjadi panitia, sementara Geez sang alumni, tampil bersama bandnya. Sejak itu, Geez berusaha mendekati Ann, salah satunya dengan memperdengarkan beberapa lagu ciptaannya, dengan alasan "meminta pendapat". 

Izinkan saya membicarakan sesuatu. Ann memberi saran pada Geez, yang intinya kurang lebih, "Musik rock bukan asal keras. Musik rock tidak asal berisik". Padahal lagu-lagu buatan Geez lebih tepat disebut power pop, atau pop rock minim distorsi, sehingga kritik di atas terasa out-of-place. Sebenarnya hal ini tak mempengaruhi kualitas film secara menyeluruh, hanya saja, terasa mengganggu. Mari kembali ke alurnya.

Bersama Geez, Ann menemukan kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sayang, hubungan mereka mendapat batu sandungan, berupa tentangan dari ibunda Geez (Dewi Rezer), yang ingin putera tunggalnya melanjutkan kuliah di Berlin. Pun menurutnya, Ann sekeluarga adalah pecundang miskin yang tidak pantas bagi Geez. Sikap keras tersebut (kalau tidak mau disebut jahat) dipicu oleh kebencian terhadap si mantan suami yang pergi meninggalkan keluarganya. Sebuah latar yang berpotensi menjadikan ibu Geez karakter kompleks, yang secara bersamaan bisa memancing benci sekaligus simpati penonton. Tapi eksplorasi ala kadarnya menghilangkan potensi itu, sekaligus membuat klimaks emosi antara Geez dan sang ibu tak sekuat harapan.

Di tatanan romansa, Geez & Ann merupakan kisah mengenai hubungan jarak jauh alias LDR. Naskah buatan Adi Nugroho (Kuldesak, Jelangkung, Ruang) dan Cassandra Massardi (Get Married 2, Tampan Tailor) tidak terburu-buru melangkah ke fase LDR, seolah paham betul, bahwa segala dinamika rasa dari dua pasangan yang terpisahkan jarak, baru akan tersampaikan apabila penonton sudah lebih dulu merasakan manisnya kebersamaan mereka.

Alurnya bergerak penuh kesabaran, membiarkan penonton terhanyut dalam percintaan Geez dan Ann, yang oleh Rizki Balki (Ananta, Laundry Show) selaku sutradara, dikemas dalam dramatisasi yang tidak asal mengharu biru. Romantis, namun realistis. Iringan lagu-lagu manis pun cukup membantu.

Tentu semua bakal percuma, andai dua pemeran utamanya gagal menjalin chemistry. Saya bersyukur Geeze bukanlah satu lagi "bad boy sok keras" atau "pujangga dadakan" khas romansa remaja Indonesia belakangan. Junior Roberts akan membuat banyak gadis histeris, tapi bintang sesungguhnya adalah Hanggini, yang dalam debutnya ini, tampil begitu natural. Emosi yang dimunculkannya organik. Ketika Ann merasakan cinta, saya pun demikian. Hanggini juga mampu menjaga kenyamanan suatu adegan, menjaganya agar tidak terlampau menggelikan, tatkala naskahnya beberapa kali melempar kalimat-kalimat cheesy.

Pesona filmnya malah luntur saat akhirnya Geez dan Ann menjalani hubungan jarak jauh. Kita lebih sering menghabiskan waktu bersama Ann dengan segala kemangannya, sementara Geez nyaris sepenuhnya hilang. Rasanya ini kesengajaan, di mana perspektif Geez memang disimpan, untuk kemudian dikupas di sekuelnya. Pilihan berisiko yang mengakibatkan kegagalan kisahnya membentuk penelusuran menyeluruh mengenai LDR, dan hanya menyisakan keklisean-keklisean. Geez & Ann hendak menampilkan runtuhnya hubungan saat terpisah jarak, sayangnya saat itu terjadi, filmnya ikut runtuh. Beruntung, konklusinya sukses mengembalikan rasa yang hilang, sekaligus membangkitkan keinginan menanti lanjutan kisahnya. 


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - THE CON-HEARTIST

Tidak ada komentar

Dibuat oleh duo penulis yang sama, Pattaranad Bhiboonsawade dan Thodsapon Thiptinnakorn (nama kedua juga menulis naskah SuckSeed, May Who?, dan Homestay), dalam The Con-Heartist mengalir DNA yang sama seperti Friend Zone (2019). Sebuah komedi romantis, di mana Pimchanok Luevisadpaibul alias Baifern, memerankan wanita cantik dengan tingkah yang (for lack of a better term) "kurang cantik". Tapi di situlah formula kunci merebut hati penonton.

Baifern memerankan Ina, yang melalui vlog bertajuk "Ina's Review", memberi tips bertahan hidup dengan kondisi finansial serba kekurangan. Dari mengambil tisu toilet kantor, cara menghemat bedak, sampai mengatur persediaan pisang berdasarkan warna, semua ditunjukkan oleh gadis yang 80% dari penghasilannya dipakai membayar cicilan dan hutang ini. Naskahnya menyediakan deretan skenario konyol, sutradara Mez Tharatorn (ATM: Er Rak Error, I Fine...Thank You Love You) piawai mengemas humor visual, namun tanpa totalitas Baifern "mempermalukan diri sendiri", opening-nya takkan seefektif itu menggaet perhatian penonton pada Ina.

Tidak hanya penonton, seorang penipu bernama Tower (Nadech Kugimiya) pun tertarik padanya. Bukan tertarik dalam konteks jatuh cinta (well, belum), melainkan tertarik melancarkan tipu daya, guna menguras isi tabungan Ina. Beruntung, berbekal pengalaman sebagai mantan pegawai bank, Ina mampu menggagalkan rencana Tower, bahkan memanfaatkannya untuk balas dendam. Target Ina tak lain adalah mantan pacarnya, Petch (Thiti Mahayotaruk).

Rupanya keuangan Ina yang kembang kempis diakibatkan perbuatan Petch, yang menipunya. Petch adalah tipe lintah, yang hidup dari hasil menguras tabungan wanita kaya yang berusia lebih tua. Bersama Tower, Ina berniat balas menipu Petch. Turut serta dalam rencana mereka adalah Nongnuch (Kathaleeya McIntosh), mantan guru Ina yang tengah kesulitan uang, dan Jone (Pongsatorn Jongwilak), kakak Tower yang juga seorang penipu ulung. Tentu pada akhirnya, benih asmara tumbuh di antara Ina dan Tower.

Sayangnya naskah The Con-Heartist kurang maksimal perihal membagi fokus tiga cabang penceritaan: aksi penipuan, romansa, pergolakan hati Ina. Elemen romansanya jadi korban. Kita hampir tidak disuguhi momen-momen intim nan manis, yang memperlihatkan bagaimana hubungan kedua tokoh utama berkembang secara bertahap. Kalau bukan berkat pesona individual Baifern dan Kugimiya, serta chemistry solid mereka, bakal sulit mempercayai percintaan karakternya.

Mengenai konflik batin Ina pun, di mana ia rendah diri akibat menganggap dirinya bodoh, tak mendapat eksplorasi memadai. Bedanya, kekurangan tersebut dibayar lunas oleh adegan "menusuk", yang dengan cerdik mengubah dampak Ina's Review, dari tempat bagi kita menertawakan kebodohan Ina, menjadi media penarik simpati. Andai dieksplorasi lebih lanjut, akan tampak bahwa The Con-Heartist sejatinya bukan sekadar cerita tentang "membalas perbuatan mantan", melainkan perjalanan seorang wanita menemukan nilai dirinya lagi, pasca mempertanyakan itu akibat kejahatan pria. 

Terkait aksi tipu-menipunya, biarpun filmnya kurang cermat dalam menjabarkan rencana karakternya sehingga acap kali terdengar lebih rumit dari semestinya, mampu memberikan hiburan tingkat tinggi. Kemampuan humor-humornya memancing tawa, melalui gaya absurd khas komedi Thailand (khususnya GDH) tak perlu diragukan lagi. Terpenting, walau sarat kekonyolan, The Con-Heartist berhasil menjadikan tiap rintangan yang karakternya alami di tengah aksi, sekecil apa pun itu, sebagai sumber ketegangan. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - DETECTIVE CHINATOWN 3

1 komentar

"Such a grand opening!", seru Tang Ren (Wang Baoqiang), merujuk pada perkelahian di bandara, yang membuka Detective Chinatown 3 dengan kerusuhan menyenangkan berlatar lagu Welcome to Tokyo milik J Soul Brothers. Tapi mendengarnya sekarang, tepatnya hampir dua minggu selepas filmnya tayang perdana di Cina, kalimat tersebut turut mengingatkan pada keberhasilan film ini memecahkan rekor Avengers: Endgame, untuk "The biggest opening weekends in a single territory". Jaraknya tidak main-main. Sekitar $67 juta. Such a grand opening indeed. 

Setelah Bangkok dan New York di dua film pertama, kini giliran Tokyo yang disambangi oleh Qin Feng (Liu Haoran) dan Tang Ren (rencananya film keempat bakal bertempat di London). Mereka datang atas undangan Hiroshi Noda (Satoshi Tsumabuki), rival sekaligus rekan Qin Feng. Tentunya bukan undangan berwisata, melainkan memecahkan sebuah kasus pembunuhan. Watanabe (Tomokazu Miura) telah dituduh membunuh sesama bos mafia, Su Chaiwit (Hirayama Motokazu), kala keduanya bertemu untuk merundingkan kerja sama sekaligus gencatan senjata. 

Ketika para saksi memasuki TKP karena mendengar suara teriakan, selain mayat korban, hanya ada Watanabe yang memegang senjata pembunuhan. Pun cuma terdapat satu jalan untuk keluar dan masuk, yang mana dijaga ketat. Artinya, jika Watanabe bukan pelaku sesungguhnya, maka telah terjadi pembunuhan di ruang tertutup. Ketiga detektif kita pun melintasi berbagai area di Tokyo guna mencari petunjuk. Jelas tidak mudah. Kerap mengganggu jalannya penyelidikan adalah Tanaka Noki (Tadanobu Asano) si polisi ternama, juga Jack Jaa (Tony Jaa), anak buah Su Chaiwit sekaligus sesama detektif papan atas di aplikasi Crimaster, serupa Qin Feng dan Noda. 

Seperti biasa, jangan mengharapkan investigasi cerdas dalam seri Detective Chinatown. Naskahnya memperlakukan penyelidikan para detektif sebagai alat untuk terus menggerakkan petualangannya. Tidak ada petunjuk yang disebar agar penonton bisa turut serta memutar otak. Semua muncul secara acak dan mendadak, yang bahkan membuat installment pertamanya bak "film detektif sungguhan". Cukup duduk manis, ikuti arus, pasrah saja ke mana pun petualangan berskala besar penuh kerusuhan ini bakal membawa kita.

Kalau bisa melakukan itu, Detective Chinatown 3 bakal jadi hiburan menyenangkan. Sutradara Chen Sicheng yang menggerakkan filmnya dengan tenaga tinggi pun cukup berhasil memanfaatkan kehadiran Tony Jaa, baik selaku aktor laga seperti bisa melalui beberapa baku hantam solid, maupun selaku aktor komedi, yang merupakan pengalaman perdananya. Kapan lagi anda melihat seorang Tony Jaa ber-cosplay sebagai Maruko dari Chibi Maruko-chan

Chen masih mempertahankan kombinasi slapstick dan humor situasi absurd sebagai senjata mengocok perut penonton. Puncak kelucuannya tentu sekuen "kamar mayat", yang merupakan pengembangan dari sekuen "petak umpet" dari film pertama. Sementara Wang Baoqiang tampil tidak semenyebalkan sebelumnya (bagi beberapa penonton, mungkin malah perangai itulah elemen paling menghibur dari seri Detective Chinatown). Masih kerap melontarkan selorohan bodoh, namun dalam kadar normal. 

Selama 136 menit, terasa betul ambisi Chen untuk membuat karyanya ini sebesar mungkin. Skala produksinya tidak jauh dari blockbuster Hollywood, pun kemunculan tokoh-tokoh dari serialnya (bisa ditonton di iQiyi) merupakan perwujudan mimpi Chen membangun dunia layaknya MCU. Sayangnya, karena ambisi itu pula Chen merasa perlu menambah kuantitas elemen melodrama yang membuat babak ketiganya berlangsung berlarut-larut, sehingga kehilangan intensitas. Belum lagi momen cringey tatkala lagu Heal the World mengiringi festival kembang api di penghujung durasi. Chen perlu memperbaiki metode dramatisasinya. Setidaknya cameo seorang bintang besar di ending sebagai "the real big bad guy", membangkitkan ketertarikan saya menanti kelanjutan ambisi sang sineas.

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - I CARE A LOT

5 komentar

I Care a Lot sejatinya adalah tontonan menyenangkan. Walau sebagai komedi hitam satir yang dilempar tidak setajam harapan, sebagai thriller, intensitasnya terjaga rapi. Sampai konklusinya menghancurkan pencapaian di atas. Konklusi yang membuat karya terbaru J Blakeson (The Disappearance of Alice Creed, The 5th Wave), selaku sutradara sekaligus penulis naskah ini, terasa berpendirian labil. Bisa jadi akibat tuntutan bersikap politically right, atau mungkin, Blakeson memang tidak tahu ingin menuturkan apa.

Melalui film ini, Rosamund Pike mendaratkan nominasi Golden Globe ketiganya. Kali pertama adalah lewat Gone Girl (2014), yang tak bisa dipungkiri, merupakan perannya yang paling ikonik. Pun rasanya, Amy Dunne jadi alasan Pike dipilih memerankan Marla Grayson di sini. Tidak seperti Amy, Marla bukan psikopat. Tapi jelas, dalam menjalankan aksi kriminalnya, tak sedikitpun Marla menyimpan keraguan atau penyesalan. 

Kriminal seperti apakah Marla? Bersama kekasihnya, Fran (Eiza González), ia melakukan penipuan, dengan kedok menjadi wali bagi para lansia, yang oleh pengadilan dianggap tak mampu lagi hidup sendiri. Melalui sekuen sederhana namun informatif, pun dikemas secara stylish oleh Blakeson, kita mempelajari modus operandi Marla. Pertama, dokter merekomendasikan seorang klien (baca: mangsa), bahkan kalau perlu, memalsukan laporan medis agar hakim percaya, jika si lansia memerlukan bantuan wali. Kemudian, berkat bantuan pengelola ALF (Assisted Living Facility, atau serupa panti jompo di Indonesia), lansia itu bisa dipaksa tinggal di sana selama mungkin, tanpa akses komunikasi dengan dunia luar, sementara Marla bertugas mengelola asetnya. "Mengelola" di sini tentu saja berarti "menghabiskan demi kepentingan pribadi".

Tidak adakah yang menaruh kecurigaan? Tentu ada, namun tipu daya Marla amat meyakinkan. Sama meyakinkannya dengan penampilan Pike, yang membuat karakternya (yang sekilas nampak tidak berbahaya karena berperawakan kurus) lebih kokoh dari sebongkah batu besar. Dia selalu tenang, berpikir taktis, tak pernah runtuh sekalipun nyawanya terancam. Pakaiannya yang kerap memiliki warna cerah (salut untuk departemen kostumnya!) bukan menandakan ia wanita ceria. Justru sebaliknya, membuat Marla terlihat menikmati tindak kejahatannya, seolah semuanya adalah permainan. Berlawanan dengan Pike, Eiza González sebagai Fran adalah gadis muda yang passionate. Chemistry keduanya menjadi salah satu pemberi dinamika bagi filmnya.

Alkisah, korban terbaru Marla adalah pensiunan bernama Jennifer Peterson (Dianne Wiest). Dia kaya raya, dan terpenting, tidak memiliki keluarga. Aksi pun dijalankan. Pengadilan memutuskan Jennifer harus menerima perawatan karena menderita demensia. Semua berjalan mulus bagi protagonis kita, hingga datang twist, bersamaan dengan masuknya Peter Dinklage dengan pembawaan intimidatifnya, yang memerankan seorang bos mafia misterius. 

Di satu sisi, keberadaan Dinklage menambah nilai hiburan I Care a Lot, menjadikannya thriller yang intens. Tapi di sisi lain, kisahnya mulai kehilangan pegangan. Narasi di adegan pembuka, menyiratkan bahwa film ini bakal menjadi satir mengenai kelas sosial di Amerika Serikat. Dan memang demikian, hingga narasinya tertutupi oleh skenario mengenai kucing-kucingan antara "the bad" dan "the worse". Naskahnya memang tidak sepintar harapan sang penulis. Memadai sebagai cheap thrills, namun jelas belum pantas disebut "cerdas", apalagi saat Blakeson cukup gemar memakai kebetulan-kebetulan demi membuat alurnya terus berjalan. 

Tapi sekali lagi, I Care a Lot mampu tampil menghibur. Lalu tibalah kita pada ending-nya. Ending yang hadir tiba-tiba. Kandidat kuat ending terburuk sepanjang 2021, yang bakal sulit dikalahkan. Ending yang membuat saya bertanya-tanya, "Apa sih maunya Blakeson?!". Blakeson membuat filmnya bak berkepribadian ganda. Seolah ia terlalu takut, bahwa pada masa politically right seperti sekarang, filmnya akan menerima hujatan andai berpihak pada kriminal. Apalagi saat sang kriminal memuja uang. 

Padahal di situ tercipta peluang, untuk menyampaikan kompleksitas yang menantang perspektif hitam-putih dalam kehidupan. Dan Blakeson sudah memberi justifikasi atas pilihan protagonisnya. Bukan hanya satu, melainkan dua. Pertama terkait finansial, kedua, perihal gender. Tapi ketimbang mengolah itu semua, Blakeson justru mengkhianati apa yang telah dibangun sepanjang durasi, demi sebuah ending yang menghancurkan segalanya.


Available on NETFLIX

5 komentar :

Comment Page:

REVIEW - SAINT MAUD

3 komentar

Sekilas, Saint Maud serupa dengan horor bertema "kerasukan setan" lain. Tapi sebenarnya amat berbeda, kalau tidak mau dibilang berlawanan. Debut penyutradaraan sekaligus penulisan impresif dari Rose Glass ini justru berkisah tentang seorang wanita, yang semakin terjerumus dalam kegilaan seiring usahanya mencari jalan Tuhan. Jika biasanya agama (khususnya melalui doa-doa pada praktek pengusiran setan) jadi sumber pertolongan dalam horor supernatural, di sini malah sebaliknya.

Pasca peristiwa traumatis di rumah sakit, Katie (Morfydd Clark) alih profesi dari suster menjadi perawat pribadi, mengubah namanya menjadi Maud, dan memperdalam ajaran Katolik. Pasien terbarunya adalah Amanda (Jennifer Ehle), mantan penari dan koreografer, yang menderita limfoma stadium akhir. Hubungan mereka makin akrab, setelah Maud mendekatkan Amanda ke "jalan kebenaran". Berkat keberhasilan meredakan ketakutannya atas kematian, Amanda menyebut Maud sebagai "penyelamat". 

Maud yang selama ini yakin bahwa Tuhan sudah menyiapkan peran lebih besar baginya, merasa menemukan jalan hidup, yakni menyelamatkan jiwa Amanda mendekati hari-hari terakhirnya. Niat yang terdengar mulia, hingga Maud coba mulai mengontrol kehidupan Amanda. Dia bahkan meminta Carol (Lily Frazer), yang rutin Amanda bayar untuk berhubungan seks dengannya, agar tidak lagi datang. Menurut Maud, Amanda mesti menunggu ajal tanpa diganggu segala aktivitas berbau hedonisme duniawi.

Carol mengiyakan permintaan itu, tapi dari responnya, kita semua tahu itu hanya di mulut belaka. Tapi tidak dengan Maud. Melalui monolog dalam hatinya, terdengar kelegaan sang gadis, karena "semua berjalan lancar". Maud memang begitu naif, dan monolog yang rutin muncul sepanjang film, berfungsi untuk menegaskan elemen penokohan tersebut. Dari situ kita tahu betapa naifnya si protagonis. Dia tidak menyimpan agenda terselubung. Dia sungguh-sungguh percaya, semua perbuatannya dilakukan sebagai pelayan Tuhan. 

Maud teramat naif dan lurus, kecurangan kecil dalam permainan kartu saja membuatnya terganggu. "It's no fun if you cheat", ucapnya kepada Amanda. Kondisi itu mengakibatkan pikirannya berkecamuk, tatkala menyadari segalanya tidak berjalan sesuai harapan, dan bahwa ada kemungkinan, Tuhan tidak sungguh-sungguh menyipakan rencana besar baginya. 

Proses degradasi mental yang Maud alami itulah fokus utama film ini, yang nantinya bermuara pada tragedi. Tepatnya tragicomedy. Glass melahirkan kompleksitas, dibantu kehebatan Morfydd Clark menghidupkan Maud, yang di satu kesempatan memancing rasa kasihan, namun di kesempatan lain membuat saya ingin mengutuk sambil menertawakannya. Bagaimana Maud semakin dimabuk agama jelas sebuah perjalanan tragis, tapi sebagaimana terjadi pada momen penutup film, muncul pula dorongan menertawakan "kebodohannya".

Di ranah penyutradaraan, Glass mengikuti formula horor non-mainstream, khususnya yang diproduksi A24: tempo lambat, pemanfaatan atmosfer melalui musik serta visual, serta menekan kuantitas jump scare. Gaya yang tidak lagi baru, bahkan di skena alternatif, sudah menjadi keklisean. Tapi seperti yang dilakukan James Wan di arus utama, Glass begitu handal menangani formula alternatif itu, sehingga tiap teror selalu berhasil tampil mencekam. Entah memunculkan kekagetan, rasa jijik, sakit, maupun tidak nyaman, lewat pemilihan timing yang sempurna. Terkait tempo lambat, jangan khawatir Saint Maud bakal membosankan, sebab naskahnya sudah menyiapkan beberapa "tikungan" tak terduga, yang senantiasa mengisi ulang daya tarik alurnya.


Available on iTUNES

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - STAND BY ME DORAEMON 2

6 komentar

Serupa film pertama, Stand by Me Doraemon 2 masih menyasar golongan penonton lama Doraemon yang kini telah tumbuh. Nostalgia dan kedekatan personal terhadap cerita, jadi target utama. Ketika para bocah mungkin lebih terhibur oleh petualangan fantastis milik film dua dimensinya yang rutin dirilis tiap tahun, melalui seri Stand by Me, memori penonton dewasa bakal terlempar ke masa lalu, sambil menyadari betapa kisah Nobita rupanya jauh lebih dekat dari kelihatannya.  

Masih ditulis naskahnya oleh Takashi Yamazaki (yang juga kembali duduk di kursi sutradara bersama Ryuichi Yagi), garis besar cerita film ini dibangun dari dua chapter komiknya, yakni Memories of Grandma dan The Day of My Birth, di mana masing-masing pernah diadaptasi ke dalam film pendek, yang rilis tahun 2000 dan 2002. 

Alkisah, selepas di film sebelumnya berhasil memperbaiki nasibnya (baca: menikahi Shizuka) di masa depan, Nobita mengajak Doraemon kembali ke masa lalu untuk menemui neneknya, yang meninggal sewaktu ia masih TK. Nobita yang curiga kalau dirinya adalah anak pungut, merasa sang nenek adalah satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya. Tapi petualangan tak hanya terjadi di masa lalu. Secara bersamaan, Nobita dewasa mendadak hilang tepat di hari pernikahan, memaksa Nobita dari masa sekarang berjuang menyelamatkan pernikahannya, sekaligus memenuhi sebuah janji kepada neneknya.

Kerinduan akan masa kecil pula kepada sosok tercinta yang telah tiada, meragukan cinta orang tua, hingga merasakan ketidakpantasan diri, semua merupakan dinamika-dinamika yang tentunya dipahami penonton dewasa. Poin terkuat filmnya tak lain kala menyadari, begitu dewasa, Nobita si cengeng nan malas yang mampu melewati segala rintangan berkat alat-alat ajaib Doraemon, ternyata mengalami masalah sebagaimana kita semua. Di situlah terjadi irisan antara "nostalgia" dan "kedekatan personal", yang membuat kisahnya makin emosional: "Oh, rupanya karakter yang aku kenal sejak kecil juga bernasib sama denganku". 

Semua elemen Stand by Me Doraemon 2 dibuat dengan berkiblat ke dua hal di atas. Termasuk rangkaian kalimat yang ditulis begitu bermakna tanpa perlu terdengar puitis, yang sejak menit-menit awal sudah memaksa saya menyeka air mata. Cara Yagi dan Yamazaki membangun momen pun luar biasa. Ada keintiman, sehingga saat menontonnya, rasanya seperti sedang berada di rumah. Nuansa itu tidak terlepas dari motif visual yang digunakan kedua sutradara.

Pada kartunnya, pemandangan apa yang identik dengan "kehangatan" dalam Doraemon? Senja. Ya, langit senja berwarna jingga, yang acap kali dipakai menutup episode. Di sini, senja yang tersaji indah berkat kualitas visual 3D mumpuni, kerap dijadikan panggung bagi peristiwa-peristiwa menyentuh. Karena senja merupakan penghujung hari. Seolah menandakan, bahwa setelah satu hari yang melelahkan, akhirnya kita bisa pulang ke rumah. 

Salah tempat kalau berharap Stand by Me Doraemon 2 menghadirkan perjalanan waktu cerdas nan masuk akal, yang mempertimbangkan tetek bengek paradoks secara tepat. Tapi bagaimana tercipta pertanyaan atas peristiwa-peristiwa misterius, yang kemudian memperoleh jawaban setelah dilakukannya perjalanan waktu, cukup memberikan hiburan menyenangkan. Setidaknya bukan cuma haru yang ditawarkan film ini, sebagai sebuah petualangan menilik masa lalu demi masa depan, yang diikat oleh satu benang merah bernama "kasih sayang".

6 komentar :

Comment Page:

REVIEW - HUJAN DI BALIK JENDELA

Tidak ada komentar

Merupakan produksi perdana KlikFilm Productions (selain Tentang Rindu), Hujan di Balik Jendela merupakan adaptasi, atau lebih tepatnya interpretasi, dari lagu berjudul sama milik Senandung. Lirik soal kerinduan dikembangkan oleh naskah buatan Budhita Arini dan Raditya Kurnia menjadi lebih luas. Terlalu luas malah, sampai beberapa pengembangan terasa kurang perlu. Inilah contoh penceritaan yang cenderung memperhatikan "perluasan", namun tidak "pendalaman".

Dika (Bio One), seorang aktivis, menjalin cinta dengan Alda (Yasamin Jasem) si puteri keluarga kaya. Guna memantaskan diri di bagi sang kekasih, Dika terpaksa menanggalkan idealisme, menjadi "budak korporat" dengan bekerja di perusahaan hukum. Pada malam perayaan hari jadi hubungan mereka, Dika melamar Alda. Keduanya berencana menikah lima tahun lagi, selepas Alda menyelesaikan pendidikan hingga jenjang S2. Di situlah Alda berjanji, akan bermain piano di hari pernikahan kelak. 

Demi mewujudkan janji tersebut, Alda mulai berlatih piano di bawah bimbingan Giselle (Clara Bernadeth). "Ini pacarku. Dia aktivis", ucap Alda kala mengenalkan Dika kepada Giselle. Hujan di Balik Jendela memang berusaha keras menyelipkan unsur politis. Pertama kita bertemu dua protagonisnya, Dika baru saja selesai menghadiri rapat bersama serikat buruh. Kemudian terungkap pula, bahwa sikap Giselle yang menutup diri, dipicu duka mendalam akibat kehilangan tunangannya saat kerusuhan 1998 pecah. 

Mengapa segala konflik batin karakter, baik perihal idealisme maupun duka, mesti menyenggol urusan politis? Haruskah semua dikaitkan ke situ? Ketika tidak ada dampak khusus, pilihan di atas berujung pernak-pernik semata. Inilah yang saya maksud dengan "memperluas tanpa memperdalam". Lirik tentang kerinduan digiring menuju urusan yang jauh lebih besar nan pelik, namun signifikansi tidak bertambah. Ganti profesi Dika (misalnya) menjadi musisi, atau ubah tragedi yang Giselle alami, dan hasilnya akan sama saja. 

Kemudian Dika mulai menjalin kedekatan dengan Giselle. Awalnya, kedekatan itu didorong niat baik, agar Giselle mampu lepas dari trauma. Terciptalah cinta segitiga, yang dimotori penampilan apik tiga pemain utama. Bio One dan Yasamin Jasem membangun chemistry menggemaskan khas romansa anak muda, sembari tetap solid saat dituntut memunculkan emosi yang lebih "serius". Pemilihan Clara Bernadeth (26 tahun) sebagai wanita 40 tahun memang wujud keputusan ngawur, tapi sang aktris membuktikan kapasitasnya menghidupkan seseorang yang hidupnya dipenuhi rasa sesak akibat kesedihan yang terus dipendam. Berkat Clara, mudah bagi penonton bersimpati kepada Giselle. 

Mereka bertiga seolah tidak terlalu terganggu, walau mendapat naskah yang inkonsisten dalam penulisan dialog. Terkadang kalimat dari mulut karakternya terdengar natural, terkadang berubah jadi puitis secara acak, bukan sebuah bentuk penekanan bagi peristiwa-peristiwa khusus. Minimal naskahnya tidak terjangkit penyakit film romansa Indonesia dengan karakter remaja, yang kerap kurang efektif menggerakkan alur, akibat berlama-lama di momen-momen nihil substansi. Biarpun mengusung tone sendu, Hujan di Balik Jendela bergerak dinamis, cepat, tanpa basa-basi. 

Terkait penyutradaraan, saya mempertanyakan keputusan Dyan Sunu Prastowo memperdengarkan musik di mayoritas durasi. Benar bahwa musik melankolis berbasis piano hasil gubahan Ganden Bramanto efektif dalam pembangunan mood, tapi kuantitas yang berlebihan justru membuat filmnya tampil bak video klip. Apakah sang sutradara kurang percaya pada kemampuannya membangun atmosfer jika tidak dibantu musik? Atau semata karena Hujan di Balik Jendela merupakan adaptasi sebuah lagu?

Kesenduan bertahan hingga penutup, yang meski mengandung harapan, tetap terasa getir. Kegetiran itu sayangnya ditimbulkan oleh alasan yang kurang tepat. Saya tidak akan memberi spoiler, tapi intinya, sebagai kisah mengenai pencarian kebahagiaan, Hujan di Balik Jendela memperlakukan Giselle, selaku karakter yang paling pantas merasakan kebahagiaan, secara tidak adil. Sebaliknya, Dika si pria brengsek (Caranya "membantu" Giselle yang kehilangan sosok tercinta, justru Alda berpotensi merasakan kehilangan serupa) malah dijustifikasi sebagai pemuda yang melakukan kesalahan karena belum mengenal diri sendiri serta orang-orang di sekitarnya. 


Available on KLIK FILM

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - DEAR COMRADES!

Tidak ada komentar

Film sebagai kritik atas represi keji pemerintah terhadap rakyat sudah banyak berseliweran, namun perwakilan Rusia di ajang Academy Awards 2021 ini, menghadirkan pendekatan berbeda dibanding sesamanya. Sudut pandang bukan berasal dari korban (baca: rakyat jelata), melainkan bagian dari penguasa, yang awalnya turut serta membungkam, sebelum hal menjadi terlalu personal sehingga membuka matanya akan realita.

Dear Comrades! mengangkat kisah nyata pembantaian di Novocherkassk pada 2 Juni 1962, yang terjadi di tengah demonstrasi buruh pabrik lokomotif, akibat melonjaknya harga pangan sekaligus perintah meningkatkan kuota produksi tanpa penambahan upah. Tragedi ini ditutupi selama 30 tahun, sebelum akhirnya diungkap pasca keruntuhan Uni Soviet. Andrei Konchalovsky, yang menyutradarai sekaligus menulis naskah (bersama Elena Kiseleva), menuturkan peristiwa tersebut dari kacamata Lyuda (Julia Vysotskaya), anggota dewan kota, sekaligus loyalis Stalin.

"Apakah Uni Soviet bisa kelaparan?!", tegasnya kepada salah satu teman, yang mengkhawatirkan kesejahteraan masyarakat setelah harga makanan melambung. Lyuda begitu meyakini kedigdayaan Soviet. Sebagaimana pilihan visual filmnya, kekolotan sang protagonis diperlihatkan lewat sudut pandangnya kepada dunia, yang cenderung hitam putih. "It all made sense then. Who is an enemy and who is one of ours", kata Lyuda kala menanggapi perilaku puterinya, Svetka (Yuliya Burova).  

Berlawanan dengan Lyuda, Svetka yang bekerja di pabrik lokomotif meyakini pentingnya demokrasi dan kebebasan berbicara. Ketika Svetka turut serta dalam aksi mogok kerja kemudian demokrasi, Lyuda kebingungan. Bukankah penentang keputusan negara adalah musuh? Bukankah musuh berasal dari pihak luar? Bagaimana mungkin puterinya adalah musuh, padahal Lyuda merupakan pelayan negara yang setia? Semua itu tidak mampu ia proses. 

Sewaktu demonstrasi memuncak, tanpa Lyuda ketahui, pemerintah pusat memerintahkan tentara dan penembak jitu KGB, menumpahkan timah panas ke arah para demonstran. Sekitar 80 orang tewas, namun Lyuda tak bisa menemukan keberadaan puterinya. Di antara kekacauan dan kondisi kota yang diblokade, Lyuda berusaha mencari Svetka, tapi ia malah menemukan hal lain, yaitu fakta bahwa negara serta pemerintah yang selama ini kukuh ia bela, nyatanya begitu sewenang-wenang. 

Salah satu momen paling mencengangkan (meski sebenarnya tidak mengagetkan) adalah saat beberapa anggota KGB berdiskusi mengenai identitas provokator demonstrasi. Tidak melalui penyelidikan mendetail. Mereka hanya melihat-lihat foto yang diambil oleh mata-mata, lalu menyilang wajah yang dianggap provokator. Atas dasar apa seseorang disebut provokator? Rupanya cuma dari hal-hal sepele, misal "Wajahnya terlihat keras". 

Dear Comrades! adalah proses karakter utama menyadari kesalahannya dalam melihat dunia. Di tangan Julia Vysotskaya, perubahan Lyuda tersaji memuaskan.  Secara meyakinkan, Vysotskaya menampilkan transformasi seorang wanita keras berpendirian teguh, menjadi sosok rapuh kala menyadari apa yang ia percaya mulai runtuh. Wajahnya yang dingin mulai dipenuhi teror, seperti bocah polos yang baru mempelajari kelamnya dunia nyata.

Konchalovsky menerapkan kombinasi warna hitam-putih ditambah rasio aspek 1.33 : 1, bukan semata demi keindahan visual (walau memang hasilnya demikian), juga untuk memperkuat intensitas. Penonton seolah dibuat merasakan sesak yang dialami para korban represi. Rasa sesak yang diakibatkan ketiadaan kebebasan, seolah ada mata yang terus mengawasi, dan jika seseorang ketahuan salah bicara sedikit saja, nyawa bisa melayang. 

Pemerintah berusaha menghapus pembantaian tersebut dari catatan sejarah, seperti darah di lokasi demonstrasi yang coba dihilangkan. Tatkala darah tersebut terus membekas, maka di atasnya, ditambahkanlah aspal baru. Kelam, tragis, tetapi Dear Comrades! menolak mengakhiri kisah dengan kepahitan total. Sebaliknya, kita malah diberikan harapan, berupa kesadaran manusianya, bahwa karena kondisi negeri sedang begitu buruk, maka mereka harus berusaha menjadi lebih baik.


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - NEWS OF THE WORLD

2 komentar

News of the World mementahkan ekspektasi, menghasilkan ketidakterdugaan, justru dengan mengikuti formula. Tepatnya formula film western, di mana tempo lambat membungkus perjalanan protagonis melintasi padang tandus wild west, sambil sesekali, terlibat baku tembak. Keberadaan Paul Greengrass, yang identik dengan gaya kinetik, bahkan saat filmnya bukan menampilkan petualangan seorang Jason Bourne, memberi ekspektasi bahwa sang sutradara bakal memodifikasi formula di atas. Ternyata sebaliknya. Adaptasi novel berjudul sama karya Paulette Jiles ini jadi pembuktian versatilitas Greengrass.

Berlatar 1870, kisahnya berpusat pada Kapten Jefferson Kyle Kidd (Tom Hanks), seorang veteran Perang Saudara (1861-1865) dari kubu Konfederasi. Peperangan membuat Kidd kehilangan segalanya, baik harta maupun keluarga. Kini ia berpindah dari kota ke kota, guna mencari uang sebagai pembaca berita. Setiap malam, Kidd mengumpulkan warga di suatu bar, lalu membacakan berita-berita dari koran. Mungkin ini asal muasal profesi news anchor di televisi? 

Sebagaimana film western kebanyakan, News of the World juga mengentengahkan soal "pencarian rumah" dan "kehidupan yang lebih baik". Bagi Kidd, perjalanan itu dimulai setelah ia menemukan gadis kecil sedang terlantar di tengah hutan. Gadis itu bernama Johanna (Helena Zengel). Dari sebuah surat, Kidd mengetahui kalau Johanna diculik oleh para Indian dari suku Kiowa, yang juga membantai seluruh keluarganya. Alhasil, proses komunikasi menjadi sulit, karena Johanna cuma bisa berbahasa Kiowa. 

Kidd yang tidak memiliki pilihan lain, terpaksa membawa Johanna serta, guna mengantarkannya pulang ke rumah. Pertanyaannya, "apa itu pulang"? Orang tua kandung Johanna telah tiada. Suku Kiowa tempatnya tumbuh pun tidak ada lagi. Johanna adalah gadis berdarah Jerman, lahir di Amerika, tumbuh bersama Indian. Apa definisi "rumah" baginya? Kidd berusaha menyelamatkan si gadis yang tersesat, tapi ia sendiri (dan seluruh negeri), kondisinya tidak jauh beda. Semua tersesat di tengah ketidakpastian, tatkala negara sedang menata ulang dirinya.

Melalui perjalanan selama hampir dua jam, melewati lanskap liar nan panas yang tak jarang nampak indah berkat sinematografi garapan Dariusz Wolski (dikenal sebagai langganan Ridley Scott dan Gore Verbinski), naskah buatan Greengrass dan Luke Davies (Life, Lion) membawa karakternya menuju pemahaman bahwa "home is a place where you belong". 

Kidd dan Johanna saling memiliki, juga saling menyembuhkan, dalam hubungan yang memiliki hati berkat chemistry Hanks dan Zengel. Chemistry antara pria yang terus melangkah maju di atas permukaan bumi, dan gadis cilik yang menyatu dengan bumi. Hanks seperti biasa tampil hangat, yang membuat baik penonton atau Johanna, mendapatkan rasa aman dan nyaman walau melintasi wild west penuh marabahaya. Tapi perbincangan di awards season nampaknya akan lebih banyak diisi soal penampilan Zengel. Melakoni debut Hollywood setelah angkat nama di System Crasher (2019), Zengel menunjukkan jangkauan akting luas. Dia bisa tampil liar, lalu sejurus kemudian nampak kosong dan sedih, kemudian terlihat polos di kesempatan lain. 

Jika News of the World merupakan media Zengel mencuatkan karirnya, maka bagi Greengrass, film ini membuktikan ia bukanlah sineas dengan satu trik belaka. Tengok adegan baku tembak, khususnya saat Kidd dan Johanna berurusan dengan tiga mantan pasukan Konfederasi. Daripada shaky cam, musik tempo tinggi, atau penyuntingan frantic, Greengrass justru menggunakan stillness dalam pengambilan gambar, ditambah kehenginan tata suara, guna membangun intensitas. Hasilnya efektif. Greengrass menahan diri tak memakai ciri khasnya, bahkan sewaktu menampilkan sebuah kerusuhan. 

Satu-satunya "sentuhan modern" hanyalah kuantitas penggunaan CGI yang (sedikit) lebih banyak dibanding mayoritas suguhan western. Itu pun masih dengan takaran yang sesuai. Sisanya, News of the World merupakan western konvensional yang solid. Ke depannya, tiap mendengar kabar proyek baru dari Paul Greengrass, kita bisa mengharapkan tontonan-tontonan dengan beragam variasi. 


Available on NETFLIX

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - LAYLA MAJNUN

3 komentar

Film terbaru buatan sutradara Monty Tiwa ini dibuat berdasarkan kisah cinta Layla dan penyair bernama Qays ibn al-Mullawah dari abad ke-7, yang telah diabadikan melalui banyak media, salah satunya puisi Layla and Majnun karya Nizami Ganjavi yang ditulis pada 1188. Acha Septriasa memerankan Layla, sosok wanita religius, mandiri, sekaligus cerdas. Dia menjalani hidup sesuai keinginannya, baik sebagai pengajar sebuah pondok pesantren, maupun penulis novel. 

Hingga suatu hari, ia dipaksa menjalani perjodohan dengan Ibnu (Baim Wong), teman masa kecilnya sekaligus calon bupati. Awalnya Layla menolak. Selama ini ia begitu vokal menentang perjodohan, khususnya jika itu merenggut kebebasan seorang wanita. Tapi karena sang ibu (Dian Nitami) sudah banyak menerima bantuan dari ayah Ibnu (August Melasz), Layla tak mampu menolak. Selepas kepergiannya selama dua minggu ke Azerbaijan untuk menjadi dosen tamu, Layla bakal langsung menikahi Ibnu. 

Di sanalah Layla bertemu Samir (Reza Rahadian), salah satu mahasiswanya, yang dahulu sempat belajar di Indonesia. Hanya dalam waktu singkat, Layla yang di awal film enggan menikah, seketika jatuh hati kepada Samir. Apakah masuk akal? Pertanyaan itu bakal selalu bisa dimentahkan dengan jawaban, "Bukankah cinta memang tidak logis?", sehingga izinkan saya memodifikasinya sedikit. "Apakah penonton bisa mempercayai cinta keduanya?". 

Naskah buatan Alim Sudio kurang berhasil menciptakan rasa percaya itu. Ya, Samir jatuh hati setelah karya Layla menyembuhkan lukanya (elemen yang bisa ditarik ke gagasan lebih besar, soal kekuatan dari keindahan suatu karya literatur mengobati luka suatu bangsa tanpa memedulikan sekat jarak dan budaya). Tapi bagaimana dengan Layla? Andai tidak ada perjodohan, akankah Layla sebegitu mencintai Samir? Andai perangai Ibnu tak menghasilkan perbandingan "baik vs buruk" yang jomplang, akankah Layla sebegitu mencintai Samir?

Kalau bukan karena performa Reza dan Acha, mungkin Layla Majnun bakal hambar, pula menjemukan. Keduanya membuat saya betah melakoni perjalanan menikmati pemandangan Azerbaijan, yang ditangkap dengan cukup baik oleh Anggi Frisca selaku penata kamera. Acha selaku kuat perihal mengolah emosi, sedangkan Reza kembali membuktikan, kalau tuntutan berbicara menggunakan logat asing (sesekali bahasa setempat juga dipakai) tak mengahalangi ekspresi rasanya.

Ending-nya berusaha menjauhkan film ini dari tragedi yang mengisi kisah aslinya. Bukan semata demi akhir bahagia yang lebih disukai penonton, melainkan wujud pesan dari naskahnya, seputar ikatan keluarga. Gagasan yang menarik, walau lemahnya eksplorasi soal elemen kekeluargaan, membuat keputusan tersebut lebih mudah diapresiasi ketimbang dicintai.


Available on NETFLIX

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - LITTLE BIG WOMEN

1 komentar

Istilah "budaya ketimuran" kerap dibawa-bawa sebagai kedok mengekang kebebasan individu. Konon "orang Timur" harus bersikap sopan, lembut, berpakaian tertutup, dan sebagainya. Padahal, jika tidak dijadikan dalih pengekangan para konservatif kolot, istilah tersebut bisa dimaknai secara positif. Melalui karya-karya sineas Asia, dapat kita lihat perwujudan "budaya ketimuran" sesungguhnya, yang kaya akan nilai-nilai kultural, sensitivitas, kebesaran hati, dan tak ketinggalan, sebenar-benarnya spiritualitas.

Terkait persoalan di atas, film-film Taiwan belakangan makin menunjukkan taji. Sebagaimana A Sun tahun lalu, Little Big Women (sama-sama tayang di Netflix), yang diadaptasi dari film pendek berjudul Guo Mie (2017), juga mengetengahkan dinamika keluarga yang dibungkus penuh kehangatan. Di kedua versi, tokoh utamanya dimainkan oleh Chen Shu-fang, yang memenangkan Best Leading Actress pada Golden Horse Awards berkat perannya di film ini (juga Best Supporting Actress untuk perannya di Dear Tenant).

Lin Shoying (Chen Shu-fang) sedang menyambut ulang tahun ke-70, ketika sang suami yang telah menghilang selama 20 tahun, tiba-tiba meninggal di hari yang sama. Pesta perayaan pun berubah jadi pemakaman. Tiga puteri Lin berkumpul. Ching (Hsieh Ying-xuan) si sulung dengan kepribadian free-spirited yang tengah mengurus perceraian, Yu (Vivian Hsu) si dokter operasi plastik sukses yang datang membawa puteri remajanya, Clementine (Buffy Chen), dan Jiajia (Sun Ke-fang) yang tinggal sekaligus mengurus restoran bersama sang ibu.

Deretan rahasia masa lalu terungkap (beberapa kali muncul flashback guna memperlihatkan peristiwa-peristiwa penting), luka-luka lama yang belum sepenuhnya sembuh pun ikut terbuka. Apalagi saat Lin mengetahui keberadaan Tsai Meilin (Ding Ning), wanita yang selama ini merupakan kekasih mendiang suaminya. Sesosok ayah/suami yang doyan selingkuh, kemudian pergi tanpa pamit selama puluhan tahun, hanya untuk kembali pulang dalam kondisi tidak bernyawa. Mudah bagi penonton mengutuk dan membenci, namun apa yang dirasakan keluarganya tentu tidak sesederhana itu.

Sutradara Joseph Hsu menulis naskahnya bersama Maya Huang, berdasarkan kisah hidup neneknya, sebagai media menyampaikan bahwa membenci itu mudah, namun takkan menyembuhkan. Little Big Women membawa keempat tokoh wanitanya dalam proses memaafkan dan merelakan. Bukan demi yang meninggalkan dunia, tapi agar mereka yang masih harus melanjutkan hidup, memperoleh kedamaian serta kebahagiaan. Karena sejatinya, proses tersebut jauh lebih berat, lebih membutuhkan kekuatan dibanding melempar kebencian.

Fokusnya adalah kehangatan. Kehangatan itu timbul dari interaksi anggota keluarga, yang tentunya tidak melulu diisi pergunjingan, perdebatan, atau tetes air mata. Pastinya ada tawa. Di luar dugaan, Little Big Women punya selera humor yang cukup gila (dalam artian positif). Momen "adu doa" dan "kecoa" jadi beberapa highlight.

Naskahnya membagi ruang keempat tokoh wanitanya sama rata. Bahkan lima, sebab Clementine pun diberi jatah eksplorasi sesuai porsi, tanpa memaksa karakternya bertingkah terlalu dewasa. Lin tetaplah inti dari Little Big Women, dan Chen mampu menghidupkan figur ibu yang kerap keras kepala tanpa harus kehilangan simpati. Tidak kalah kuat adalah Hsieh, yang menambah dinamika, sebagai satu-satunya figur wanita dalam keluarga yang gemar mendobrak sekat-sekat atas nama kebebasan. 

Selaku pembungkus performa gemilang jajaran pemain adalah sensitivitas Joseph Hsu, baik sebagai penulis maupun sutradara, seperti telah saya singgung di awal tulisan. Sensitivitas yang "sangat ketimuran", karena lekat dengan pemaknaan nilai kekeluargaan, pula spiritualitas. Contohnya ketika Lin mengikat benang merah di perut seorang wanita hamil (ada konteks lain dalam momen ini yang saya tidak bisa sebutkan). Sebuah kepercayaan yang dimaknai betul esensinya, yaitu sebagai ungkapan kasih sayang, alih-alih sebatas ritual yang dilakukan karena kebiasaan atau kewajiban. 

Sedangkan sensitivitas lebih general dapat dilihat di berbagai adegan karaoke. Pertama, sewaktu di pesta ulang tahunnya, Lin menyanyikan lagu soal kehilangan sosok pasangan. Menjelang adegan usai, musik latar memudar, menyisakan suara Lin, memancarkan isi hatinya yang campur aduk. Dan rasanya tidak perlu membahas adegan penutupnya. Silahkan tonton sendiri dan selamat berurai air mata. 


Available on NETFLIX

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - MALCOLM & MARIE

Tidak ada komentar

Malcolm & Marie merupakan film Hollywood pertama yang menjalani semua tahap, dari pra-produksi hingga pasca-produksi, di tengah pandemi COVID-19. Melaluinya, Sam Levinson (Assassination Nation) selaku sutradara sekaligus penulis naskah, menunjukkan kemampuan mengubah batasan jadi ruang eksplorasi, meski pada akhirnya, kelemahan justru berasal dari hal-hal yang tak berhubungan dengan keterbatasan akibat pandemi. 

Hanya diisi dua aktor plus satu lokasi (maksimal cuma 12 orang boleh berada di set), alih-alih monoton, filmnya malah terasa intim. Pemakaian warna hitam putih pun membantu, kala pencahayaan juga tata rias tak semaksimal biasanya (kedua pemeran utama bertanggung jawab atas kostum serta riasan mereka sendiri). Dan di tangan sinematografer Marcell Rév, keindahan visual dimunculkan dari gaya hitam putih berkontras tinggi. 

Alkisah, Malcolm (John David Washington) sedang berbunga-bunga. Premiere film terbarunya (dia adalah sutradara dan penulis) sukses besar. Sesampainya di rumah mewah di Malibu yang disewakan oleh pihak studio, ia langsung menuangkan minuman, menyalakan musik sekeras mungkin, lalu menari penuh semangat sambil meluapkan euforia. Tapi kita tahu, sang kekasih, Marie (Zendaya), tidak merasa demikian. Dia berdiri di luar, merokok, memasang wajah dingin. Ada yang mengganggu pikirannya. Well, lebih tepatnya "banyak". 

Malcolm terus berseloroh, termasuk soal bagaimana seusai premiere, ia menemui beberapa kritikus, yang menyebutnya sebagai "The Next Spike Lee" dan "The Next Barry Jenkins". Malcolm tidak puas. "Kenapa bukan The Next William Wyler?", tanyanya, sebelum membahas secara panjang lebar mengenai tendensi kritikus mengasosiasikan film buatan sineas kulit hitam dengan isu ras. Malcolm jengah, karena cuma ingin membuat drama yang bisa dinikmati semua orang, alih-alih tontonan politis. "But your next movie is Angela Davis' biopic", balas Marie. 

Perdebatan perihal muatan politis dalam film merupakan salah satu titik terbaik sekaligus paling jujur milik Malcolm & Marie. Tentunya ini kejengahan Levinson sendiri, yang ia salurkan melalui karakternya. Terkait bagaimana banyak kritikus dewasa ini terlalu memaksakan diri agar tampak "woke", hingga soal representasi. Salah satu usalan mengkritisi "male gaze" dalam film Malcolm, yang membicarakan tentang perjuangan wanita pecandu narkoba. Bagi Malcolm, sah-sah saja jika seorang pencerita memandang sesuatu melalui perspektifnya. Terasa meta, sebab di sini, Levinson adalah seorang kulit putih yang membuat film mengenai pasangan kulit hitam.

Di luar persoalan di atas, konflik utamanya tetap mengenai sepasang kekasih, yang sama-sama bermasalah secara personal, sehingga begitu pertengkaran pecah, keduanya berulang kali menghancurkan satu sama lain, namun tetap saling mencintai. Terdengar serius? Tentu. Apalagi Malcolm & Marie dipenuhi teriakan. Tapi sebagai variasi, sesekali Levinson memasukkan kalimat witty, yang juga berfungsi menjaga romantisme Malcolm dan Marie, di sela-sela keributan destruktif mereka. 

Sayangnya kualitas penulisan Levinson tergolong inkonsisten. Di satu sisi, ia jeli menyelipkan informasi guna memperkaya penokohan, plus sedikit kejutan di antara bentakan-bentakan. Semakin banyak informasi masuk, semakin sulit menentukan mesti berpihak pada siapa, karena sejatinya, Malcolm & Marie bukan seputar "siapa-benar-siapa-salah", bukan seputar individu, melainkan sepasang manusia. Masalah naskahnya terletak pada kerapian struktur.

Ada kalanya pertengkaran satu dengan berikutnya tidak diberikan transisi memadai. Seolah Levinson sekedar membuat checklist berisi hal apa saja yang harus diperbincangkan. Tidak jarang pula, filmnya tersesat di tengah tumpang tindihnya kalimat yang terlontar tanpa henti. Benar bahwa kalau membicarakan keotentikan, tidak ada keteraturan dalam pertengkaran. Ketika dikuasai emosi, seseorang cenderung bersikap impulsif, meluapkan segalanya tanpa kontrol. Tapi bukankah di situ seni penulisan naskah? Di mana kekacauan semestinya dapat dipresentasikan secara rapi, tanpa kehilangan kesan otentik.

Hasilnya, Malcolm & Marie sering terasa melelahkan. Untungnya Levinson bukan sutradara medioker. Dia punya sensitivitas yang efektif membangun romantisme, keintiman, hingga sensualitas elegan. Terpenting, filmnya memiliki hati. Puncaknya pasca segala keluh kesah sudah dilemparkan, ketika Malcolm & Marie menekankan substansinya. Poin sederhana, namun salah satu pondasi utama suatu hubungan: Hargai pasanganmu. 

Tentu filmnya takkan berhasil tanpa Washington dan Zendaya. Mereka ibarat dua kutub berseberangan. Washington sebagai Malcolm lebih agresif, tampak begitu digdaya dengan ekspresi serta gestur besar. Tapi terpancar jelas, bahwa setiap amarah, keangkuhan, dan semangatnya, berasal dari kelemahan. Sebaliknya, Zendaya sebagai Marie bak sosok rapuh, namun tak pernah goyah. Sewaktu diam dengan tatapan dinginnya, Marie nampak lebih besar dibanding Malcolm yang terus melontarkan serangan. Kontradiksi inilah yang malah memperlihatkan betapa kuat perasaan keduanya. Serupa tagline-nya, they're madly in Love


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - SPACE SWEEPERS

2 komentar

Pastilah muncul banyak keluhan soal naskah Space Sweepers. Khususnya tentang alur yang sebatas pengulangan medioker dari elemen-elemen formulaik khas genre sci-fi/space opera. Saya tidak menyangkal. Kelemahan tersebut benar adanya. Tapi bagaimana Space Sweepers, sebagai film blockbuster luar angkasa pertama Korea Selatan yang cuma dibekali $24 juta (angka ini bahkan tidak cukup membiayai installment terbaru Annabelle), mampu memposisikan dirinya tidak jauh di belakang judul-judul ratusan juta dollar milik Hollywood, jelas wajib diapresiasi.

Pada tahun 2092, Bumi sudah tidak layak ditinggali, sehingga manusia harus mengungsi ke luar angkasa, menghuni surga ciptaan pebisnis yang gemar "bermain Tuhan", namun hanya orang kaya saja yang berhak menempati surga tersebut, sedangkan rakyat miskin dibiarkan menunggu ajal di "bawah". Entah sudah berapa ratus film memakai premis serupa. Kebanyakan penonton tentu sudah hafal di luar kepala, bagaimana kisah semacam itu bermula, berpuncak, lalu berakhir, termasuk segala twist di dalamnya. Naskah buatan sutradara Jo Sung-hee (A Werewolf Boy) bersama Yoon Seung-min dan Yoo-kang Seo-ae memang tidak berusaha memodifikasi formula di atas.

Lalu selain visual, apa daya tarik filmnya, sehingga durasi sepanjang 136 menit bisa dijustifikasi. Sebagaimana film Korea kebanyakan, jawabannya adalah "karakter". Sineas "Negeri Ginseng" memang jagonya melahirkan tokoh-tokoh berwarna, tidak peduli selemah apa pun penceritaannya. Protagonis kita bernama Tae-ho. Diperankan oleh Song Joong-ki, yang belakangan terus berusaha melepas citra "pretty boy" baik di layar lebar maupun televisi, Tae-ho tidak pernah menyerah mencari puterinya yang hilang di angkasa.

Tae-ho merupakan salah satu kru Victory, sebuah pesawat pengumpul sampah yang dipimpin oleh Kapten Jang (Kim Tae-ri). Sang kapten memberi Tae-ri kesempatan memamerkan pesona lainnya, memerankan sosok pemabuk minim tanggung jawab, tapi dengan kacamata hitam ditambah gestur juga tatapan penuh kepercayaan diri, Kapten Jang menjadi karakter paling keren di sini. Lalu ada Tiger Park (Jin Seon-kyu), mantan bos gangster dengan persona "muka sekuriti hati Hello Kitty", dan sebuah robot bernama Bubs, yang hidup berkat pengisian suara gemilang dari Yoo Hae-jin. Bubs punya daya tarik lain. Di film space opera perdana mereka, Korea Selatan yang identik dengan paham konservatif, nyatanya berani memasukkan karakter yang menentang sekat-sekat gender.

Meski naskahnya tak cukup kreatif untuk bisa menuliskan kalimat-kalimat memorable, seluruh jajaran pemain sanggup menyulap obrolan yang di atas kertas membosankan, jadi sebuah hiburan, tiap kali mereka berinteraksi. Konflik utama hadir tatkala kru Victory menemukan Dorothy (Park Ye-rin), robot humanoid yang walau dari luar nampak bak bocah biasa, dipercaya bisa memicu kehancuran massal. Dorothy menjadi incaran UTS, perusahaan pencipta suaka bagi umat manusia di luar angkasa, yang dimiliki James Sullivan (Richard Armitage). 

Ketika muncul tokoh bocah di film post-apocalyptic, besar kemungkinan ia adalah awal baru bagi kehidupan umat manusia, baik secara metaforikal, atau literal. Dorothy termasuk yang kedua. Dia sanggup membuat bunga (dan segala jenis tumbuhan) mekar dalam sekejap. Semua karena robot nano di tubuh Dorothy berkomunikasi dengan partikel nano lain. Bagaimana bisa? Rupanya para ilmuwan tak bisa menjelaskannya. Dengan kata lain, penulis naskah film ini melakukan simplifikasi terhadap kekuatan Dorothy, yang nantinya bakal sering dipakai sebagai alat menyelesaikan masalah secara mudah.

Terkait spektakel, penyutradaraan Sung-hee masih tergolong mentah. Beberapa kali, caranya mengemas momen-momen wajib space opera, misalnya saat pesawat sang protagonis terbang meliuk-liuk menghindari sampah luar angkasa maupun serangan musuh, menyulitkan penonton untuk memahami apa yang sedang terjadi. Hasilnya, intensitas acap kali gagal mencapai potensi. Tapi Sung-hee mampu mewujudkan tujuan utama Space Sweepers, yakni sajian visual megah. Semuanya megah, entah lanskap luar angkasa dengan segala isinya, hingga kelab malam di mana stan DJ memancarkan sinar elektrik masif. Visi yang sukses terwujud, juga berkat kualitas CGI mumpuni, biarpun bermodalkan angka yang hanya cukup membayar basic salary Robert Downey Jr. di Avengers: Endgame. Saya siap menantikan persembahan besar sinema Korea Selatan berikutnya.



Available on NETFLIX

2 komentar :

Comment Page: