REVIEW - CRUELLA
Berlatar London 1970-an di tengah pergerakan punk rock, Cruella pun membawa semangat serupa. Membicarakan kebebasan dengan melawan kemapanan, juga berbagi estetika yang senada dengan kultur tersebut. Hasilnya memikat mata, walau sayang, naskah buatan Dana Fox dan Tony McNamara bertutur bak musisi pop yang iseng-iseng menjajal genre punk. Asal cepat, asal tebas, lalai bahwa punk adalah "asal-asalan yang tidak asal".
Pola penceritaan itu terasa betul di banyak titik, termasuk prolognya yang buru-buru, sehingga beberapa poin penting pun berlalu begitu saja. Setidaknya sekarang kita mendapat pemahaman lebih, mengapa Cruella de Vil (Emma Stone), membenci anjing dalmatian. Semua berawal saat ia berusia 12 tahun dan masih menyandang nama Estella (Tipper Seifert-Cleveland dalam penampilan yang akan membawanya berada di jajaran aktor cilik papan atas).
Estella menyaksikan kematian ibunya, Catherine (Emily Beecham), dan merasa dirinya bertanggung jawab. Sebatang kara, Estella memilih hidup sebagai pencuri bersama Jasper (Joel Fry) dan Horace (Paul Walter Hauser), sambil tetap bercita-cita menjadi desainer. Kesempatan tiba, sewaktu Baroness (Emma Thompson), seorang desainer ternama, merekrut Estella setelah secara kebetulan menyaksikan bakatnya. Tentu Estella berbahagia, setidaknya sampai mengetahui rahasia tentang Baroness, yang membangkitkan sisi Cruella dalam dirinya.
Sedikit mundur ke belakang, Estella kecil kerap membuat masalah di sekolah. Bukan tanpa alasan, sebab anak-anak lain memandangnya berbeda, karena Estella lahir dengan warna rambut unik (separuh putih, separuh hitam). Tiap amarahnya tersulut, kepribadiannya yang lebih kejam pun muncul ke permukaan. Sang ibu menamai sisi itu "Cruella". Naskahnya sendiri tidak pernah mengambil sikap jelas perihal dua kepribadian tersebut. Apakah realis (kepribadian ganda), atau fantasi.
Ada banyak titik dramatis, tetapi penuturan tergesa-gesa tanpa sensitivitas, menghilangkan dampak emosional, biarpun Stone tidak menangani karakternya dengan interpretasi dangkal yang "asal eksentrik", namun menjadikan Estella/Cruella tokoh kompleks. Sosok kesepian yang mengambil langkah ekstrim untuk memerdekakan dirinya, karena merasa sudah waktunya ia berhenti disakiti. Stone membawakan Cruella bagai rock star yang eksplosif, anarkis, namun begitu turun panggung, sejatinya ia rapuh.
Sebagai lawannya adalah Emma Thompson sebagai atasan keras nan dingin. Baroness mengingatkan pada Miranda Priestly-nya Meryl Streep, bedanya, di balik sikap dingin itu tidak ada kehangatan terselubung. Hanya kekejaman, narsisme, dan ambisi. Jika dinamika Estella/Baroness mengingatkan pada Andrea/Miranda itu wajar, mengingat draft awalnya dibuat oleh Aline Brosh McKenna selaku penulis naskah The Devil Wears Prada (2006), sebelum direvisi oleh Fox dan McNamara.
Meski lemah soal rasa, minimal Cruella mampu menghibur. Bayangkan The Devil Wears Prada disulap menjadi perpaduan antara heist dan revenge movie. Para protagonis melancarkan aksi balas dendam sembari menyusup kemudian mencuri, dan semua dilakukan dengan gaya. Highlight-nya ketika Cruella mulai menyulut kekacauan yang oleh para pembencinya bakal disebut "vandalisme". Bukan lewat baku hantam atau kejar-kejaran (meski tetap ada), melainkan "battle of fashion". Layaknya figur punk rock yang melempar statement tegas tanpa omong kosong ke muka publik, Cruella menghebohkan sekaligus memukau seisi London melalui pameran busana-busana unik yang mencerminkan etika DIY dalam punk.
Saya pun terpukau. Jenny Beavan, yang sebelumnya memenangkan Oscar berkat karyanya di Mad Max: Fury Road (2015), mendesain kostum-kostum yang rasanya pantas dideskripsikan dengan kata "breathtaking". Indah, glamor, berkarakter. Kostumnya sendiri menyuarakan statement bernada perlawanan atas norma-norma serta kesaklekan.
Jika drama kerap sebatas numpang lewat, tidak dengan presentasi kostumnya. Penyutradaraan Craig Gillespie (Lars and the Real Girl, I, Tonya) membuat penonton seolah sedang menyaksikan peragaan unik nan megah, tiap Cruella memamerkan busana terbaru. Satu-satunya kelemahan Gillespie adalah dalam usahanya membuat Cruella seasyik mungkin, memakai lagu-lagu ikonik dari era 1960-an dan 1970-an yang mengiringi nyaris semua peristiwa. Tentu nomor-nomor macam Feeling Good, Should I Stay or Should I Go, hingga Come Together mendorong kita ikut bersenandung, tapi pemakaian berlebih membuat filmnya seperti jukebox berdurasi dua jam lebih.
REVIEW - A QUIET PLACE PART II
A Quiet Place berhasil, salah satunya berkat kesegaran konsep serta misteri. Dua poin yang mustahil diulangi. Sehingga tanpa pembaruan, sekuel bakal kehilangan daya magis. Di A Quiet Place Part II, keheningan tetap mendominasi, namun sekarang, kita sudah tahu apa yang terjadi bila keheningan itu pecah, sementara wujud para monster bukan lagi suatu rahasia (wajar, mengingat sekuel cenderung "lebih besar"). Alhasil keheningannya tidak berdampak sebesar film pertama.
Apakah artinya film ini buruk? Sama sekali tidak. Secara filmis, A Quiet Place Part II tergarap baik, membuktikan bahwa keberhasilan Krasinski di kursi penyutradaraan bukan semata kebetulan. Dia memang bertalenta. Tengok sekuen pembukanya, di mana kita dibawa mundur menuju hari pertama invasi monster. Meski telah "bocor" di beberapa materi promosi, superioritasnya tidak berkurang, bahkan jadi momen paling menegangkan selama 97 menit durasi. Krasinski menggambarkan betapa kacau nan mengerikan kala "kiamat" tiba.
Lalu kita melompat ke masa sekarang, tepat setelah akhir film pertama. Evelyn (Emily Blunt) membawa pergi Regan (Millicent Simmonds), Marcus (Noah Jupe), dan bayinya yang baru lahir, guna mencari penyintas lain. Di sinilah Krasinski, yang turut menulis naskahnya, mengambil keputusan cerdik. Sekuel horor biasanya mengambil salah satu dari dua arah berikut: melanjutkan kisah karakter lama, atau sepenuhnya memakai karakter baru. Krasinski menggabungkan keduanya, ketika Evelyn beserta anak-anaknya, tiba di tempat persembunyian Emmett (Cillian Murphy).
Emmett sempat menolak membantu Evelyn, hingga keputusan nekat Regan (yang meyakini bahwa masih ada harapan jika tidak cuma berdiam diri), memaksanya turun tangan. Nantinya rahasia mengenai Emmett terungkap, yang mungkin bakal dikupas di film ketiga, tapi untuk sementara, hal tersebut hanya berakhir sebagai twist nihil esensi.
Emmett mengambil peran Lee (John Krasinski) selaku protagonis yang mengalami pergolakan batin, tanpa harus mengesampingkan Evelyn sekeluarga. Emmett bukan orang asing. Adegan pembuka memperkenalkan penonton padanya, sebagai kawan lama Lee. Jadilah film ini tampil bak gabungan antara spin-off dengan sekuel tradisional. Unik, tanpa harus menjadi radikal.
Jika Blunt tetap solid sebagai heroine tangguh, sedangkan Simmonds tambah hebat mengolah emosi, Murphy menyuntikkan warna baru sebagai pria yang lelah, baik fisik maupun jiwa. Semangatnya terkikis namun belum habis. Melalui akting naturalnya, Murphy melahirkan transformasi meyakinkan, dari figur hangat menjadi dingin sebelum akhirnya menemukan lagi kehangatan itu. Selain penampilan sang aktor, transformasi Emmett tidak terasa setengah-setengah juga karena keputusan Krasinski untuk lebih banyak mengolah drama, yang mungkin mengejutkan bagi penonton yang berharap film ini seutuhnya fokus pada aksi bertahan hidup dan teror.
Terkait teror, walau tak lagi seefektif dulu dalam membangun ketegangan saat berdiri sendiri, ibarat ketenangan sebelum badai menggempur, keheningan membuka jalan bagi Krasinski melempar deretan jump scare yang selalu berhasil menggedor jantung. Timing pengadeganannya sempurna. Selaku penulis pun Krasinski makin matang, yang nampak dari bagaimana ia memaparkan dua peristiwa terpisah secara simultan di klimaks, agar terasa dinamis.
Sedangkan konklusinya, seperti film pertama, berkutat soal "pertarungan bagi generasi masa depan". Repetisi? Garis besarnya, ya. Bahkan proses yang Emmett lalui serupa Lee, yakni menghadapi rasa bersalah akibat kehilangan sosok tercinta. Muncul pembeda, karena kali ini tongkat estafet telah dioper pada para generasi masa depan itu. Cara Krasinski menyuguhkan konklusinya kembali memunculkan kekaguman. Hopeful, indah, menegaskan kelengkapan bakatnya. Selain jago membuat teror, Krasinski juga dibekali sensitivitas menangani drama.
REVIEW - PG: PSYCHO GOREMAN
REVIEW - MISSION: POSSIBLE
Walau berjudul mirip, jangan harap Mission: Possible tampil layaknya seri Mission: Impossible, dengan deretan set piece aksi bersakala besar yang membuat aktornya menantang maut. Bukan kekurangan, karena memang karya sutradara/penulis naskah Kim Hyung-joo ini tidak bertujuan ke sana. Banyolan absurd dalam aksi-komedi spionase, yang belakangan kembali semarak setelah mencapai puncak popularitas di pertengahan 2000an, merupakan identitas filmnya.
Pun dalam debutnya ini, Hyung-joo terlihat ingin mencurahkan "his inner fanboy" sebagai ReVeluv (fans girl group Red Velvet). Tengok saja penokohan si protagonis. Woo Soo-han (Kim Young-kwang di akting layar lebar pertamanya sejak On Your Wedding Day tiga tahun silam) adalah detektif swasta, yang lebih mengutamakan koleksinya ketimbang kasus. Sepanjang petualangannya nanti, Soo-han masih sempat berburu merch, memakai kaos bertuliskan "Red Velvet", sembari baku hantam melawan mafia yang rupanya sama-sama ReVeluv (dalam adegan yang cocok menggambarkan perkelahian antara solo stan).
Akibat salah paham (plus kecelakaan konyol yang mengobrak-abrik citra keren Kim Tae-hoon dalam drama Navillera), Yoo Da-hee (Lee Sun-bin), seorang agen rahasia asal Cina, mengira Soo-han merupakan partnernya. Alih-alih menyangkal, Soo-han justru meneruskan kesalahpahaman tersebut, karena tergoda uang berjumlah besar yang dijanjikan. Misi mereka adalah mengungkap penyelundupan senjata dari Cina.
Alurnya memang sangat sederhana, biarpun penuturannya terasa rumit, akibat kurang rapinya naskah membagi informasi. Seiring waktu, kita belajar bahwa Soo-han juga menyimpan rahasia. Dia tidak sebodoh kelihatannya, dan bertingkah demikian guna menutupi peristiwa kelam di masa lalu. Elemen ini punya tujuan memperkuat motivasi sang tokoh utama sekaligus menambah bobot emosi, namun penghantarannya terlalu dangkal, sehingga terkesan tidak diperlukan (seperti diambil dari film-film straight-to-DVD milik Bruce Willis atau Steven Seagal, dengan kata "Kill" di judulnya). Soo-han tetap bisa diberikan "rahasia" (untuk menjustifikasi kemampuan bela dirinya) tanpa trauma. Motivasi membantu Da-hee pun tak memerlukan unsur "penebusan dosa" agar bisa terlihat meyakinkan.
Untunglah humornya bekerja dengan cukup baik. Hyung-joo punya banyak ide konyol nan kreatif, yang eksekusinya sering berhasil memancing tawa (beberapa miss masih bisa ditemui) berkat elemen kejutan, saat timing dan keabsurdan bersatu, melahirkan situasi-situasi, yang semakin tak terduga, semakin lucu.
Kedua pemeran utamanya pun berjasa mewujudkan visi sang sutradara. Lee Sun-bin merupakan perwujudan "pretty girl did silly things" yang selalu efektif mencuri hati penonton, sedangkan Kim Young-kwang mampu menghidupkan kejenakaan tanpa harus bersikap berlebihan (yang di banyak kasus, justru kerap melemahkan komedi dan menjadikan karakternya menyebalkan). Di paruh akhir, Young-kwang juga meyakinkan dalam menjalankan "peran baru", sewaktu melakoni berbagai aksi jarak dekat. Mission: Possible diisi baku tembak generik, namun begitu pistol digantikan oleh pisau atau benda lain yang kebetulan ada di sebelah karakternya, daya tarik aksinya langsung meningkat.
Sayang, mencapai pertengahan, filmnya seperti menahan diri. Entah Hyung-joo kehabisan ide, menyimpan amunisi, atau salah langkah dalam menyeimbangkan aksi dengan komedi. Lelucon-leluconnya cenderung lebih "jinak", sementara alur spionase formulaik yang sudah ribuan kali kita temui, mengambil alih spotlight. Keseruan baru kembali kala memasuki third act, salah satunya diwakili perseteruan singkat antara Soo-han dan Yoo-ri (Julien Kang), yang selain menghadirkan inside joke bagi penggemar K-pop, juga tampil bak versi konyol untuk dua adegan klasik di Raiders of the Lost Ark (1981) dan The Untouchables (1987). Mission: Possible butuh lebih banyak momen serupa.
Available on VIU
REVIEW - ARMY OF THE DEAD
Sekuen kredit pembuka Army of the Dead, yang menampilkan versi Allison Crowe dan Richard Cheese untuk lagu Viva Las Vegas milik Elvis Presley, sebenarnya sudah merangkum plus minus filmnya. Bahwa Zack Snyder selalu membawa intensi baik serta ambisi tinggi terkait cerita, namun presentasinya terhalangi oleh gaya-gayaan meriah, yang meski melahirkan hiburan masif, membuat penuturannya berantakan.
Berbeda dengan remake Dawn of the Dead (2004) selaku debutnya, menciptakan film zombie kelam bukan tujuan Snyder di sini. Mungkin inilah filmnya yang paling mengakomodasi komedi, termasuk lewat deretan kekonyolan disengaja. Tengok saja bagaimana naskah buatan sang sutradara bersama Shay Hatten (John Wick: Chapter 3 - Parabellum) dan Joby Harold (King Arthur: Legend of the Sword), menjelaskan alasan zombie outbreak, yang seperti berasal dari parodi atau judul-judul produksi The Asylum.
Singkatnya, wabah zombie menyerang Las Vegas, sehingga pemerintah menutup seisi kota, kemudian mendirikan kamp karantina bagi orang-orang yang berpotensi terinfeksi. Ketika rencana membumihanguskan kota memakai nuklir dicanangkan, Bly Tanaka (Hiroyuki Sanada yang belum lama ini memerankan Scorpion di Mortal Kombat), seorang milyuner, menyewa jasa Scott Ward (Dave Bautista), guna mengambil uang senilai 200 juta dollar dari dalam brankas di kasino miliknya, yang terletak di tengah Las Vegas. Walau sempat ragu, Scott pun setuju membentuk tim.
Di sisi lain, Kate (Ella Purnell), puteri Scott yang sekian lama membenci sang ayah, menjadi relawan di kamp. Bersama Kate, kita melihat bagaimana aparat bertindak sewenang-wenang di sana, dengan menjadikan uji infeksi zombie sebagai senjata (jika aparat menyatakan seseorang terinfeksi, walau kenyataannya tidak, maka tamatlah riyawat orang itu). Cerminan realita terkait persekusi aparat ini sayangya cuma dibahas sekilas, kemudian terlupakan, menghilangkan kesempatan Army of the Dead untuk melempar kritik sosial kuat sebagaimana jajaran film-film zombie terbaik.
Sewaktu menyadari bahwa seorang penyelundup bernama Lily alias The Coyote (Nora Arnezeder) membantu salah satu kawannya memasuki Las Vegas, Kate memaksa bergabung dalam tim Scott, untuk melakukan penyelamatan. Tidak salah jika anda merasa prolognya cukup panjang, sebab kita baru menjejakkan kaki di "zona merah" saat durasi mencapai 50 menit. Sebelumnya, Army of the Dead didominasi pengenalan seisi tim, di mana selain Ludwig Dieter (Matthias Schweighöfer bakal kembali memerankan karakter ini sekaligus menyutradarai prekuel bertajuk Army of Thieves yang rencananya juga rilis 2021) si pembobol brankas dan Marianne Peters si pilot helikopter (Tig Notaro), penonton akan kesulitan memahami apa keahlian khusus tiap anggota.
Rangkaian kalimat konyol mengiringi pengenalan tersebut, yang sengaja dibuat atas nama komedi walau tak semuanya berhasil memancing tawa, sebelum akhirnya total fokus pada aksi. Selain zombie biasa, Army of the Dead turut memiliki Valentine, seekor zombie harimau, dan para alpha, yakni zombie yang bisa berpikir, bahkan merasakan. Zeus nama sang raja zombie, yang dari desain maupun karakteristik, bak modifikasi Bub, sosok ikonik dari Day of the Dead (1985) karya George A. Romero.
Mari bahas lebih dulu elemen yang seperti dugaan banyak pihak, takkan berhasil dipresentasikan secara solid oleh Snyder. Apa lagi kalau bukan drama. Penokohannya datar, pun walau durasi mencapai 148 menit, waktu eksplorasi yang diluangkan amat minim. Bautista berusaha maksimal mengerahkan semua emosi, tapi kita tahu ia bukan aktor bersenjatakan sensibilitas tinggi. Dan bukankah drama emosional kurang cocok diterapkan di film semacam ini?
Tapi tak ada yang "berjasa" membunuh dampak emosinya ketimbang Kate. Snyder ingin berpesan soal "kebaikan (baca: kemanusiaan) yang belum hilang di tengah wabah zombie", namun alih-alih mengesankan kebaikan, sosok Kate malah tampil menyebalkan. Selalu mengeluh, memancarkan aura teen angst yang kurang simpatik, bahkan ia berkontribusi mengacaukan misi tim ayahnya (tentunya ada campur tangan keserakahan mengingat kisahnya berlatar Las Vegas). Lalu selepas segala kekacauan yang memakan banyak korban, Army of the Dead memilih konklusi yang membuat perjalanan selama hampir dua setengah jam terasa sia-sia.
Lupakan si remaja egois itu, karena kita tahu, seburuk apa pun penceritaannya, Snyder selalu menawarkan aksi memukau. Selain gore yang sama sekali tidak ditekan kadarnya, kali ini, aksi-aksi Snyder mampu mengecoh ekspektasi. Salah satu titik paling menarik adalah ketika korban pertama jatuh. Ide dasarnya menarik, menampilkan para zombie di tengah fase hibernasi, yang akan terbangun jika disenggol, atau mata mereka terkena cahaya. Demi menghindari spoiler, sebut saja si korban pertama adalah "X".
Tatkala tidak sengaja menyentuh, X mesti berpacu dengan waktu, menusuk satu demi satu zombie sebelum mereka terbangun, menciptakan momen intens yang paling mendekati nuansa horor, ketika keseluruhan film berorientasi aksi. Di situ kita tahu ajal X sudah dekat. Tapi Snyder menolak menjadikannya cannon fodder. Berkali-kali X melewati lubang jarum, "menipu" penonton yang mengiranya akan tewas dengan mudah, bertarung hingga titik penghabisan. Kejutan-kejutan terus diulangi Snyder, entah berupa timing kematian tak terduga atau korban yang tak terduga. Biarpun one-dimensional, setidaknya mayoritas tokoh-tokohnya terbunuh dengan cara yang memorable.
Babak puncaknya berlangsung sekitar 30 menit, berisi aksi tanpa henti dibungkus koreografi mumpuni. Bautista meluapkan amarah dengan menebaskan pisau ke arah pasukan zombie, hingga begitu kerennya Nora Arnezeder sebagai The Coyote, adalah beberapa highlight di third act-nya yang penuh keseruan, meski saya berharap Ana de la Reguera sebagai Maria, sahabat lama Scott, lebih diberi kesempatan unjuk gigi. Menyusul berikutnya adalah keputusan Snyder memakai lagu Zombie milik The Cranberries, guna mengiringi sekuen yang bahkan tidak diniati tampil menggelitik. Kepekaan memang (salah satu) kelemahan utama Snyder, sehinga di mayoritas filmnya, elemen drama gagal bekerja.
Beruntung, di sini pacing-nya membaik, biarpun filmnya masih membengkak akibat beberapa momen yang berlangsung terlalu lama, dan tentunya gerak lambat (kuantitasnya agak berkurang dibanding karya-karya Snyder sebelumnya). Tapi tidak pernah terasa membosankan, sebab seperti biasa, Snyder mengusung ambisi besar, juga visi unik. Army of the Dead bukan film zombie yang dipaksakan tersaji panjang. Terdapat gagasan, yang apabila ditangani pencerita yang lebih bertalenta, bisa berujung sebuah tontonan thought-provoking (Planet of the Apes versi zombie misalnya). Tapi pencerita hebat pun belum tentu sanggup menghibur penonton sebagaimana dilakukan Zack Snyder.
Available on NETFLIX
REVIEW - NIGHT OF THE KINGS
Bersamaan dengan terbukanya gerbang penjara MACA, protagonis dari perwakilan Pantai Gading di Academy Awards 2021 ini (menembus 15 besar) melangkahkan kakinya di dunia baru. Demikian pula penonton, yang segera mendapati bahwa Night of the Kings menawarkan salah satu metode bertutur paling unik tahun ini. Sebuah heightened realism yang mengangkat soal kekuatan dari proses bercerita.
Ditulis sendiri naskahnya oleh sang sutradara, Philippe Lacôte, Night of the Kings mendesain MACA sebagai tempat, yang meski tampak luarnya tidak berbeda dibanding penjara kebanyakan, beroperasi bagai negeri dongeng. Tahanan memegang kendali, di mana satu sosok bergelar Dangôro, menjadi mimpinan layaknya raja. Blackbeard (Steve Tientcheu) adalah Dangôro yang tengah menjabat. Terdapat peraturan, jika Dangôro jatuh sakit sehingga dianggap terlalu lemah untuk memimpin, ia harus bunuh diri, sehingga tahta dapat diberikan kepada si penerus.
Walau sekilas tampak intimidatif, kondisi kesehatan Blackbeard makin menurun, termasuk harus membawa tabung oksigen ke mana pun ia pergi. Tapi ia menolak pasrah. Dalam upaya terakhir mempertahankan kekuasaan, Blackbeard menunjuk protagonis kita, seorang tahanan baru (Bakary Koné) untuk menjadi Roman, yang bertugas menyampaikan kisah di depan seluruh tahanan, ketika red moon menyinari malam. Belum genap satu hari di penjara, momen itu datang, memaksa Roman merangkai cerita secara mendadak.
Tentu Roman tidak boleh asal bicara, apalagi setelah Silence, satu-satunya penghuni kulit putih yang selalu menggendong seekor ayam (Denis Lavant berperan sebagai.....Denis Lavant), mengungkap rahasia, yang menjadikan aktivitas bercerita ini bak pertarungan menantang maut. Sederhananya, Lacôte menyampaikan betapa kuatnya "bercerita" (atau "ketajaman lidah") sampai bisa menentukan hidup dan mati seseorang.
Walau awalnya terbata-bata, akhirnya Roman menemukan pondasi ceritanya, yaitu tentang Zama King, seorang penjahat tersohor sekaligus ketua geng Microbes tempat Roman bergabung. Dia baru saja tewas akibat kemarahan massa, namun kisah Roman bukan saja soal kematian Zama, pula merambah masa kecilnya, sejak ia tumbuh di era kerajaan.
Dipenuhi elemen fantasi, dongeng Roman justru terdengar paling menarik sewaktu keajaibannya diserahkan pada imajinasi penonton, ketimbang benar-benar memperlihatkan aksi pertarungan ilmu sihir sebagaimana third act-nya, yang tampil agak konyol, termasuk akibat CGI ala kadarnya. Sebaliknya, saat kita menyaksikan pemandangan serupa realita namun dinarasikan secara hiperbolis bak dongeng mahadahsyat, di situlah filmnya mampu menghipnotis.
Apalagi tatkala sesekali cerita diinterupsi oleh tahanan yang bernyanyi, bicara layaknya aktor yang memainkan drama Shakespeare di atas panggung, atau tarian-tarian teatrikal yang memvisualisasikan narasi Roman. Melalui elemen-elemen tersebut, penyutradaraan Lacôte berhasil membangun nuansa magis, yang sekali lagi, menghipnotis. Seolah, malam itu para tahanan bukan semata berkumpul mendengar cerita, melainkan menjalankan ritual. Saking unik sekaligus menariknya dunia Night of the Kings, penonton mungkin bakal mengeluhkan kurangnya eksplorasi mitologi latarnya. Mengapa Roman harus bercerita saat red moon? Mengapa itu dianggap penting guna menjaga kekuasaan sang Dangôro?
Waktu berlalu, dan Roman dituntut terus melanjutkan cerita, sehingga ia pun kebingungan mesti menutupnya dengan cara apa. Ironisnya, kondisi serupa dialami Lacôte. Mencapai titik akhir, seolah Lacôte kehabisan ide, kemudian memilih konklusi generik yang terkesan menggampangkan. Tapi bahkan ending lemah itu tidak kuasa melemahkan kekuatan di balik keunikan Night of the Kings. Salah satu bentuk penuturan paling segar dalam beberapa waktu belakangan.
Available on KLIK FILM
REVIEW - THOSE WHO WISH ME DEAD
Berbeda dengan dwilogi Sicario, Hell or High Water, maupun Wind River selaku debut penyutradaraannya (Vile adalah "anak yang tak dianggap"), film ini bukan studi karakter mumpuni bersampul aksi/thriller yang jadi ciri khas Tyalor Sheridan. Mengadaptasi novel berjudul sama karya Michael Koryta (juga menulis naskahnya bersama Charles Leavitt dan Sheridan), Those Who Wish Me Dead ibarat throwback bagi judul-judul rilisan 90-an, yang mengetengahkan kejar-kejaran sederhana, dengan latar tak kalah berbahaya yang sesekali turut memberi ancaman.
Tapi ada hal menarik di balik struktur kisahnya. Protagonisnya bernama Hannah (Angelina Jolie), seorang smokejumper yang sulit melepaskan rasa bersalah, menunjukkan tanda-tanda suicidal, akibat kematian tiga anak muda dalam sebuah kebakaran hutan. Tapi kata "me" di judulnya merujuk pada Connor (Finn Little), yang nyawanya terancam, diburu oleh dua pembunuh yang mengincar rahasia milik ayahnya. Kedua pembunuh tersebut adalah Jack (Aidan Gillen) dan Patrick (Nicholas Hoult), yang memperoleh screen time terbanyak, khususnya di paruh pertama.
Jika mayoritas action thriller 90an berstatus star vehicle bagi si bintang utama, maka Sheridan ingin membuat ensemble, yang membagi rata sorotannya. Kisah bocah yang dipaksa bertahan hidup meski baru kehilangan ayahnya, kisah penebusan dosa sesosok wanita, serta kisah dua pembunuh menjalankan misi. Meski Jack dan Patrick jelas penjahat kejam, terdapat dinamika yang menjauhkan penokohannya dari kesan one-dimensional. Mereka bukan robot patuh berdarah dingin. Bagi Jack, semuanya bisnis. Sedangkan Patrick sesekali menyiratkan bahwa menghabisi nyawa bukanlah pekerjaan ringan.
Tapi tidak bisa dipungkiri, kelas Those Who Wish Me Dead berada di bawah karya-karya Sheridan sebelumnya. Bukan kali pertama ia menampilkan protagonis dengan psikis terguncang, namun baru di sini presentasinya generik. Latar belakang Hannah berakhir sebatas tempelan, pun prosesnya menangani trauma melalui penebusan dosa dipenuhi keklisean, yang juga serba menggampangkan dinamika psikis manusia.
Setidaknya Jolie tampil believable sebagai pemadam kebakaran yang menolak ketidakberdayaan, meski sudah jatuh dari menara pengamatan, terserempet sambaran petir, dipukuli habis-habisan, hingga terjebak kobaran api ganas. Tapi wanita pencuri perhatian bukan Jolie saja. Walau memiliki Jon Bernthal alias Punisher sebagai Ethan si polisi, filmnya mengesampingkan machismo dan memberi ruang bagi sang istri, Allison (Medina Senghore) yang tengah hamil untuk angkat senjata.
Perihal eksekusi aksi, dibantu CGI yang lumayan meyakinkan menghidupkan kebakaran hutan selaku panggung klimaks (Jack dan Patrick menyalakan api guna menciptakan distraksi), Sheridan nyatanya tetap piawai membangun intensitas, meski skalanya meningkat dibanding debutnya. Tapi poin terbaik dalam aksi Those Who Whis Me Dead adalah saat di beberapa titik, karakternya yang berprofesi sebagai pemadam kebakaran hingga pengajar survival school, memamerkan beberapa metode bertahan hidup untuk beragam situasi (pemakaian distress word, sampai menghindari sambaran petir dan kobaran api).
Available on HBO MAX & CINEMAS
REVIEW - OXYGEN
Serupa Devil (2010) dan Buried (2010), Oxygen mengurung protagonisnya di sebuah ruang sempit. Naskahnya dibuat oleh Christie LeBlanc si debutan menjanjikan, namun di kursi penyutradaraan, duduklah sosok berpengalaman: Alexandre Aja. Bukan kali pertama Aja menangani film serupa. Terakhir ia membuat Crawl (2019) yang menjebak karakternya di tengah banjir bersama buaya, pun ia pernah menulis naskah sekaligus memproduseri P2 (2007), mengenai wanita yang terjebak di parkiran bawah tanah.
Tapi dibanding keduanya, Oxygen jelas punya tingkat kesulitan lebih. Latarnya jauh lebih sempit, yakni sebuah kapsul kriogenik. Seorang wanita (Mélanie Laurent) terbangun dari hypersleep dalam kapsul tersebut, sendirian, panik, kehilangan ingatan, dengan kadar oksigen hanya tersisa 35%. Satu-satunya sumber informasi hanya AI canggih bernama M.I.L.O. (disuarakan oleh Mathieu Amalric). Disajikan hampir secara real time, kita disuguhi usahanya menyelamatkan diri sebelum kehabisan oksigen.
Semakin sedikit informasi yang anda tahu, semakin memuaskan filmnya, jadi saya tidak akan membahas alurnya lebih lanjut. Tapi berbeda dengan contoh-contoh "film satu lokasi" di atas, Oxygen punya lebih banyak variasi, mengingat latarnya adalah kapsul kriogenik canggih. Ancaman pun bukan cuma berasal dari menipisnya oksigen, pula sistem di dalamnya yang menjalankan protokol keamanan (contohnya suntikan robotik).
Sinematografi garapan Maxime Alexandre, yang sudah menjadi langganan Aja sejak High Tension (2003), pun mampu memanfaatkan berbagai opsi visual sebagai cara menghapus kesan monoton, seperti panning out guna membawa penonton seolah keluar dari kapsul (teknik yang juga dipakai di Buried), hingga shot 360 derajat yang meningkatkan intensitas, sekaligus menandai titik balik alurnya. Melalui sebuah twist, baik penonton maupun karakternya, menyadari bahwa situasi ternyata jauh lebih berbahaya dari perkiraan.
Twist tersebut jadi langkah cerdik memperluas skala, menambah pilihan konflik, pula memperkaya penceritaan, yang sebelumnya telah dibangun lewat deretan flashback. Melalui flashback (yang juga bertujuan menjauhkan kemonotonan), protagonis kita secara berkala mendapatkan lagi fragmen demi fragmen memorinya, walau sayangnya, beberapa caranya mengembalikan ingatan terkesan dipaksakan, sebatas memenuhi kebutuhan agar kisahnya terus berjalan, ketimbang sebuah progres natural.
Tidak demikian dengan akting Mélanie Laurent. Tidak ada yang dipaksakan dari penampilan superiornya, yang berulang kali melompat dari cemas, tenang, lalu kembali ke cemas. Kita pun bisa memahami saat karakternya mengambil keputusan kurang tepat, atau bersikap kurang kooperatif dengan pihak-pihak yang hendak memberi bantuan. Sekadar informasi tambahan, sebelumnya peran ini akan diberikan pada Anne Hathaway, lalu berpindah ke Noomi Rapace, sebelum didapat Laurent. Rapace akhirnya menjadi produser eksekutif, sedangkan Hathaway mengisi suara versi Bahasa Inggris.
Memasuki 25 menit terakhir, muncul satu lagi twist, yang tidak seperti titik balik di pertengahan durasi, kali ini terasa mencurangi. Mengacu pada apa saja yang sebelumnya dilakukan si tokoh utama, seharusnya twist tersebut mustahil terjadi. Tapi Aja, selaku salah satu sutradara "genre film" terbaik saat ini, membangun tontonan yang membuat penonton melupakan, atau bahkan tak menyadari cacat-cacat logika. Dinamikanya konsisten, lewat keberadaan jump scare, beberapa momen menyakitkan, serta intensitas yang terus terjaga. Sebagai parade teror dan ketegangan, Oxygen merupakan paket lengkap, karena para pembuatnya jelas paham betul, sekaligus mencintai genre yang mereka buat.
Available on NETFLIX
REVIEW - TARIAN LENGGER MAUT
Pernahkah kalian merasa kesal, karena saat ulang tahun, pacar/gebetan terus menebar sinyal-sinyal bakal menghadiahkan kejutan luar biasa, namun ujungnya tidak terjadi apa-apa? Begitulah rasanya menonton Tarian Lengger Maut, yang sepanjang durasi menyiratkan "payoff besar", tapi akhirnya tak memberi apa pun.
Bukankah kalau demikian kesalahan terletak pada ekspektasi penonton, akibat mengharapkan sesuatu yang memang tidak berniat film itu beri? Kasusnya berbeda. Tarian Lengger Maut jelas secara sengaja menggiring ekspektasi penonton ke satu arah, lalu mengkhianatinya. Bahkan bagaimana pun anda memasang ekspektasi, filmnya tetap mengecewakan, sebab tak menawarkan payoff sedikitpun. Padahal tersimpan segunung potensi di sini. Tarian Lengger Maut berpotensi jadi salah satu horor lokal terbaik sekaligus menyegarkan dalam beberapa tahun terakhir, sebelum menghancurkannya sendiri.
Di awal, kita melihat dr. Jati (Refal Hady dengan wig yang kadang meyakinkan, tapi lebih sering menggelikan), yang baru ditugaskan di Desa Pagar Alas, tengah mengoperasi pasien. Bukan operasi biasa, karena dia adalah seorang dokter pembunuh, yang menculik warga desa guna diambil jantungnya hidup-hidup. Sementara itu, kembang desa bernama Sukma (Della Dartyan) sedang dalam proses menjadi penari lengger. Keduanya kerap berpapasan, jantung dr. Jati berdegup kencang, sementara Sukma menatap penuh tanda tanya. Ada apa?
Ya, "Ada apa di antara mereka?" merupakan pertanyaan yang menyelimuti, dipakai oleh naskah buatan Natalia Oetama sebagai pondasi misteri terbesar. Dar situ bibit-bibit potensi mulai tumbuh. Tarian Lengger Maut dapat menjadi banyak hal, sebutlah eksplorasi mistisisme Indonesia, studi psikologis mengenai trauma dan psikopatologi, atau kalau mau mengambil pendekatan lebih ringan, membenturkan elemen slasher dengan horor supernatural pun bisa dilakukan.
Tidak satu pun (berhasil) dilakukan.
Lupakan sejenak kesan menipu yang muncul dari judulnya (benar ada "tarian lengger", dan "maut" banyak menimpa karakternya, tapi menyatukannya, sama saja seperti humor "manusia kepala rusa" milik Warkop DKI). Kegagalan Tarian Lengger Maut menyuguhkan kengerian sebagai horor, maupun ketegangan sebagai thriller, jauh lebih meresahkan.
Durasi yang cuma sekitar 71 menit bukan melahirkan tontonan padat dengan dinamika terjaga, malah mengesankan film ini diproduksi menggunakan naskah draft pertama, yang bahkan belum selesai ditulis. Segelintir flashback ala kadarnya mengenai masa lalu dr. Jati tak memperkaya karakternya, alhasil menyulitkan penonton memahami motivasinya, apalagi bersimpati. Penampilan Refal Hady yang lebih berfokus pada merendahkan suaranya pun tidak membantu, walau memang mustahil bagi aktor mana pun menghidupkan naskah sedangkal ini.
Bagaimana soal misteri di balik hubungan dua protagonis? Mungkin naskahnya hendak menyampaikan perihal kompleksitas hati sosok pembunuh berdarah dingin, khususnya bagaimana ia menangani perasaan jatuh cinta. Tapi akibat naskah dangkal, ketimbang thought-provoking, kesan konyol justru lebih dominan. Apa pula guna tease mengenai mistis tari lengger, lewat beberapa shot misterius atau obrolan singkat tokoh-tokohnya? Tarian Della Dartyan cukup menghipnotis, yang merupakan salah satu kelebihan filmnya selain beberapa elemen artistik (pemakaian warna merah di adegan tari jelang klimaks punya hawa mistis yang kuat), walau kembali lagi, naskahnya menyia-nyiakan kapasitas sang aktirs.
Teror macam apa yang coba dibangun Yongki Ongestu melalui debutnya di kursi sutradara ini? Sebagai catatan, mustahil membangun horor/thriller psikologis memakai naskah lemah. Deretan pembedahan yang dr. Jati lakukan juga tampil jinak (demi menghindari sensor, sehingga bisa dimaklumi), jadi gore bukanlah pilihan.
Sebenarnya terdapat peluang membangun teror berdasarkan histeria massa. Sesekali kita mengunjungi warung kopi, mendengarkan keresahan warga akibat meningkatnya kasus orang hilang. Sayangnya momen ini sebatas numpang lewat. Belum lagi timbul pertanyaan. Jika sudah begitu banyak warga hilang, kenapa para polisi tidak mengusutnya? Menulis naskah yang solid memang sulit, kawan.
REVIEW - DEAR IMAMKU
Dua tahun belakangan, lebaran terasa berbeda. Banyak orang tidak mudik untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, hanya berkesempatan mengucap "mohon maaf lahir batin" lewat panggilan video. Beberapa yang bisa berkumpul dengan segelintir keluarga pun, mungkin merasa kemeriahannya berkurang. Tapi paling tidak, setelah sama sekali absen tahun lalu, akhirnya film lebaran kembali hadir.
Orang-orang datang ke bioskop, berharap bisa menemukan kehangatan yang hilang, atau minimal terhibur. Terobati kesedihannya akibat lebaran di tengah pandemi. Kemudian lampu studio padam, dan sekitar 30 menit berselang, mereka mendengar Dul Jaelani berkata, "Aku mau hijrah!", lewat akting yang patut membuat Al Ghazali lega, karena ternyata, di antara tiga bersaudara, bukan dia saja yang tidak bisa berakting. Bayangkan. Bagi para penonton, lebaran tidak pernah semenyedihkan ini.
Jadi penonton bisa mengambil pelajaran apa dari adaptasi novel berjudul sama karya Mellyana Dhian ini? Pertama, bahwa bertobat amatlah mudah. Tidak peduli sebejat apa, dalam waktu singat, tanpa bantuan pihak lain, manusia bisa mengubah dirinya 180 derajat. Perkenalkan, Harris (Dul Jaelani). Pemuda yang lebih sering membasahi mulutnya dengan air vodka daripada air wudu. Bersama pacarnya, Alysa (Tissa Biani), ia membuat konten seputar kemesraan keduanya di Youtube. Kesuksesan pun diraih, termasuk keberhasilan mendapat satu juta subscribers.
Tapi ada yang kurang. Keduanya belum berbuat zina! Ya, Harris, si tukang mabuk, si ahli maksiat dari ibukota, masih perjaka. Sewaktu keduanya memutuskan merayakan hari jadi dengan seks di hotel, Harris begitu cemas saat hendak memesan kamar. Entah dasar logika seperti apa yang dipakai penulis naskahnya. Oh, saya lupa menyebut bahwa Dear Imamku punya empat penulis, yakni Jujur Prananto (Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta?, Pendekar Tongkat Emas), Ferry Lesmana (Danur, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur), Surya Gemilang, dan Dian Sasmita (Dealova) yang turut berperan selaku sutradara. Empat penulis, tapi satu pun tak ada yang merasa janggal.
Malang bagi Harris dan Alysa, sebelum sempat berbuat dosa, mendadak ibu Harris (Deivy Z Nasution) dibawa ke rumah sakit dalam kondisi kritis dan harus menjalani operasi. Sinopsis resminya menulis stroke sebagai penyebab, tapi filmnya sendiri tidak pernah menyebut itu. Merasa terpukul, Harris memutuskan hijrah. Motivasinya masuk akal, kalau tidak bisa disebut mulia (satu dari sedikit hal positif film ini selain penampilan Tissa Biani yang solid seperti biasa). Menjadi tidak masuk akal, saat filmnya membuat proses hijrah Harris berlangsung sangat mulus.
Cukup mendatangi sesosok ustaz, dia sudah membulatkan tekad, lalu rajin menjalankan salat, puasa sunah, sepenuhnya berhenti mabuk, dan puncaknya, menolak berpacaran dengan Alysa. Sungguh saya ingin belajar pada Harris. Saya sudah bertemu ustaz, kiai, sampai pak haji, tapi sampai sekarang bibir ini lebih sering terkena basuhan abidin daripada air wudu.
Sampai suatu malam, tatkala rindu menguasai hati, melalui pengadeganan luar biasa konyol di mana mobil kedua karakternya berhadapan di tengah jalan bak mau berciuman, Dian Sasmita menyediakan panggung bagi Harris dan Alysa untuk menyatakan cinta, lalu memutuskan menikah muda.
Apakah pernikahan itu berjalan mulus? Tentu tidak. Alysa kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan baru sang suami. Dia tidak kuat menjalankan puasa sunah, pula mendapat hujatan akibat pakaian yang dianggap terbuka. Hujatan dari siapa? Apakah ibu Harris? Oh bukan, melainkan dari Bi Umi (Melly Saripah), ART Harris, yang berujar, "Astaghfirullah, kalau ini sudah keterlaluan!".
Menyusul berikutnya adalah rentetan konflik, yang bertujuan mempertanyakan, bentuk hijrah seperti apakah yang terbaik? Saya akui, ada niat baik mengutarakan bahwa hijrah bukan berarti menolak kompromi. Tapi pada akhirnya semua terasa semu. Tetap Alysa yang harus lebih banyak berkorban. Dia yang lebih banyak mengikuti cara hidup Harris. Sedangkan Harris merupakan satu lagi figur laki-laki mokondo khas film religi tanah air. Laki-laki yang bersenjatakan maskulinitasnya, merasa harus membuktikan kalau dialah kepala keluarga. Kalau dialah si pencari nafkah. Apa pengorbanan yang Harris berikan? Merelakan Alysa menggapai mimpinya? Eat shit dude.
Dear Imamku adalah film seputar anti-pacaran, di mana seorang marbut masjid (diperankan Fadly Padi), mendukung keputusan Harris berhenti pacaran, lalu malah menyarankannya menjalin hubungan dengan wanita lain yang lebih salihah. Dear Imamku adalah film seputar anti-maksiat, yang mengajari penonton, bahwa ceramah dapat dilakukan di mana saja, termasuk di kelab malam. "Jangan nilai buku dari sampulnya" berlaku di sini. Mungkin suatu hari Boshe bisa beralih fungsi jadi pondok pesantren atau TPQ?
Tapi Dear Imamku memiliki salah satu quote paling romantis yang pernah saya dengar di film Indonesia mana pun:
Look at the hidden sеcret, odd eye
Get deeper into it, look at it
Everything is a plausible lie
Overshadowed by sweetness
Eyes that break boundaries
Despair to face me to till end
There will be an end
Back and forth
Here isn't what I've been looking for
No more Utopia
Maaf, ternyata itu lirik lagu Odd Eye-nya Dreamcatcher. Saya terdistraksi karena leader mereka, Kim Min-ji, juga memanggil saya sebagai "imamku". Sudahlah, jangan pedulikan opini reviewer halu dan ahli maksiat seperti saya. Tonton saja filmnya, dan selamat berhijrah!
REVIEW - SPIRAL
Spiral (punya judul lengkap Spiral: From the Book of Saw) dibuka oleh tubuh yang hancur lebur, berceceran di terowongan bawah tanah termasuk lidah yang tertinggal di sebuah perangkap. Menyusul berikutnya adalah situasi 180 derajat saat protagonis kita membahas ketiadaan sekuel Forrest Gump dikarenakan si karakter utama sudah terjangkit AIDS. Kematian brutal dan obrolan menggelitik. Dua hal itu selalu dipunyai oleh seri Saw dan Chris Rock, namun siapa sangka keduanya bakal tergabung dalam satu film.
Empat tahun pasca macan ompong bernama Jigsaw, seri ini tidak lagi punya banyak opsi. Sepenuhnya berhenti, atau mengambil arah baru. Spiral memperlihatkan bagaimana wajah-wajah lama seri ini, yakni sutradara Darren Lynn Bousman (Saw II - IV) serta penulis naskah Jigsaw, Josh Stolberg dan Pete Goldfinger, mengambil arah baru yang cenderung tidak terduga. Chris Rock membintangi horor sebagai anak Samuel L. Jackson? Terdengar berani, bahkan ekstrim.
Walau demikian, garis besar kisah masih mengikuti formula film-film sebelumnya, dengan sedikit modifikasi guna menambah relevansi. Rock memerankan Detektif Ezekiel "Zeke" Banks yang banyak dibenci sesama polisi. Bukan (cuma) karena ia kerap bertindak semau sendiri, namun justru diakibatkan kejujurannya. Kejujuran yang membuatnya dicap pengkhianat. Padahal sang ayah, Marcus Banks (Samuel L. Jackson), merupakan pensiunan terhormat.
Hingga di satu titik, kepolisian digembarkan oleh kemunculan pembunuh yang meniru modus operandi John Kramer alias Jigsaw (Tobin Bell). Ada sedikit perbedaan. Rekaman suaranya berubah, boneka selaku alter ego-nya berubah, korbannya pun berubah. Kali ini sang pembunuh tidak sebatas mengincar para pendosa, melainkan lebih spesifik: polisi pendosa. Bersama rekan barunya, William Schenk (Max Minghella) si detektif pemula, Zeke mesti berpacu dengan waktu sebelum ada lagi rekannya yang jadi korban.
Spiral mungkin film Saw pertama, di mana alasan si pelaku melakukan aksinya, bisa dipahami secara personal oleh banyak orang. Naskahnya tidak memberi eksplorasi cukup mendalam untuk membuat penonton bersimpati, tapi pastinya banyak yang berbagi luka, dan menganggap para polisi korup yang memanfaatkan seragam dan lencana untuk berbuat seenaknya (beberapa tidak jauh beda dari pembunuh), lebih pantas menerima hukuman maut ketimbang istri penipu atau fotografer bermasalah dari installment sebelumnya.
Mari kesampingkan dahulu soal identitas korban, sebab seri Saw tetaplah sajian torture porn, yang menomorsatukan penyiksaan menggunakan beraneka ragam perangkap. Terkait itu, Spiral pantas disebut "return to form". Perangkapnya brutal, pula cukup kreatif menghadirkan kematian mengenaskan yang berbeda-beda. Detailnya takkan saya bahas. Pastinya, penyutradaraan Bousman sanggup menjadikan deretan perangkap itu terlihat amat menyakitkan. Pencapaian yang menutupi kelemahannya bercerita, saat inkonistensi pace (membuat filmnya terkadang filmnya intens, terkadang membosankan) maupun penuturan yang melompat-lompat jamak terjadi di sini.
Seri Saw juga identik dengan twist. Mengenai identitas pelaku, mudah menebak kebenarannya, jauh sebelum itu diungkap, khususnya kala Spiral mendadak mengubah cara memperlihatkan kematian korban di tengah film. Konklusinya mungkin bukanlah twist brilian seperti dua film perdana, tapi bukan pula kebodohan dipaksakan layaknya judul-judul terakhir. Musik tema Hello Zepp masih ampuh memacu adrenalin, sehingga dapat memalsukan dampak twist supaya terasa lebih mencengangkan daripada semestinya. Ditambah lagi, Spiral mempertahankan ciri franchise-nya, yang mengakhiri film tepat saat intensitas tengah memuncak.
Bagaimana hasil pemilihan cast yang "tidak semestinya"? Chris Rock berusaha maksimal, namun jelas ia kesulitan tampil lepas. Seolah ia tersiksa atas tuntutan bermain serius, dan kelihatan lebih nyaman, justru ketika melempar beberapa one-liner menggelitik. Samuel L. Jackson? Sang aktor mengucapkan "motherfucker", jadi apa lagi yang anda harapkan.
REVIEW - CONCRETE COWBOY
Ada kemiripan antara debut penyutradaraan Ricky Staub ini, dengan Nomadland. Sama-sama mengangkat komunitas yang terpinggirkan oleh zaman (serta ketidakadilan sosial), keduanya turut menampilkan figur nyata dari tiap komunitas, sebagai pemeran pendukung guna memperkuat kesan organik. Pertanyaan "Kenapa tidak sekalian membuat dokumenter saja?" pun muncul. Bedanya, di karya Chloé Zhao, keberadaan protagonis fiktif berfungsi menambah keintiman, sedangkan di Concrete Cowboy, justru memunculkan distraksi, pula menghalangi penelusuran lebih dalam.
Di awal, kita diperkenalkan pada Cole (Caleb McLaughlin), remaja 15 tahun yang amat sering bikin onar di sekolah, sampai sang ibu (Liz Priestley) menyerah, dan memaksanya tinggal bersama sang ayah, Harp (Idris Elba), yang telah bertahun-tahun tak dia temui. Harp yang tinggal di Philadelphia Utara, merupakan bagian Fletcher Street Urban Riding Club, sebuah komunitas yang mengemban misi melestarikan budaya koboi kulit hitam.
Ya, Concrete Cowboy yang dibuat berdasarkan novel Ghetto Cowboy karya Greg Neri, memotret kultur yang bukan cuma terlupakan, namun bak dihapus dari catatan sejarah akibat rasisme sistemik. Ditemani api unggun, kita mendengar penjelasan para anggota asli letcher Street Urban Riding Club. Tidak lupa tindak whitewashing Hollywood dibahas, yang berujung mengidentikkan "film koboi" dengan maskulinitas kulit putih, mengesampingkan person of color, baik Indian yang kerap digambarkan sebagai antagonis primitif nan brutal, maupun penghapusan eksistensi koboi kulit hitam. Padahal seperti disebutkan salah satu karakter film ini, realitanya, sebagai korban penindasan, koboi kulit hitam malah lebih tahu cara merawat kuda menggunakan kasih sayang.
Obrolan menarik sekaligus informatif tersebut sayangnya cuma berlangsung sejenak. Padahal ada segunung mater yang dapat memfasilitasi lahirnya tuturan panjang, baik berupa narasi fiksi maupun dokumenter. Naskah yang ditulis Staub bersama Dan Walser sebatas berhenti pada tataran permukaan, enggan mengajak penonton memahami lebih lanjut perihal sederet persoalan kompleks, termasuk soal gentrifikasi dan kelayakan habitat bagi hewan.
Sebagai gantinya, kisah coming-of-age klise lebih dominan. Kita tahu bahwa kelak hubungan Cole dan Harp tak lagi renggang. Kita juga tahu bagaimana pertemanan Cole dengan Smush (Jharrel Jerome), mantan koboi yang banting setir jadi pengedar narkoba, berakhir. Masalah bukan terletak pada keklisean, melainkan betapa keklisean itu menghalangi ruang pengembangan bagi kisah yang jauh lebih menarik dan mengandung relevansi tinggi.
Bahkan penuturan formulaik itu tidak tersaji maksimal. Proses Cole menemukan kedewasaan sama sekali tidak meyakinkan, terutama karena adanya unsur "child prodigy". Cole bak anak ajaib. Tidak pernah sekalipun menjalani hidup sebagai koboi, tiba-tiba ia jadi satu-satunya orang yang mampu menjinakkan kuda terliar di kota. Sementara hubungannya dengan sang ayah gagal menghadirkan dampak emosional sesuai harapan, tatkala Cole dan Harp amat jarang terlibat interaksi. Tidak peduli sehebat apa pun Idris Elba (yang seperti biasa tampil karismatik), memberinya satu-dua momen saja tidaklah cukup.
Straub membuktikan bahwa sebagai sutradara, ia menyimpan banyak potensi. Warna-warna senja dalam sinematografi Minka Farthing-Kohl yang menemani aktivitas menunggang kuda, pengadeganan serta pergerakan alur yang ditangani penuh kelembutan, adalah beberapa contoh sensitivitas Straub dalam membungkus filmnya. Sayang, ia mencurahkan sensitivitas bagi materi yang pada dasarnya memang sudah kehilangan arah.
Available on NETFLIX
REVIEW - MIDNIGHT SUN
Film adalah keajaiban. Proyek Midnight Sun digagas berdasarkan semangat, bahwa film mampu meniadakan kemustahilan. Manusia dibawa mengarungi seisi semesta termasuk dunia-dunia asing di luar angkasa, melakukan perjalanan waktu, memiliki kekuatan super, menghidupkan lagi dinosaurus, dan sebagainya. Jadi mengapa tidak dipakai menghapus sekat ruang dan waktu?
Dibanding film, pertunjukan panggung memiliki lebih banyak batasan. Tentu sulit bagi para pemain dan kru untuk menggelar pementasan di berbagai belahan dunia setiap hari, di berbagai jam. Di sini, film berperan sebagai medium penghapus batasan itu. Midnight Sun merupakan musikal yang ditayangkan di bioskop, dari Kwanglim Arts Center secara langsung. Di era pandemi tatkala sekat-sekat bertambah, teknik ini terasa lebih bermakna.
Menurut rilis resminya, Midnight Sun diadaptasi dari film romansa Hong Kong rilisan 1993. Konon film itu menginspirasi A Song to the Sun (2006) asal Jepang, sebelum dibuat versi Hollywood yang berjudul Midnight Sun (2018). Saya tidak menemukan film Hong Kong yang dimaksud, tapi biarlah. Lagipula, daya tarik terbesar musikal ini (selain model penayangannya) bukanlah sumber adaptasinya, melainkan keterlibatan deretan idol seperti Onew (SHINee), Wonpil (Day6), Young-jae (GOT7), Baekho (NU'EST), sampai Kei (Lovelyz). Saya kebagian versi yang menduetkan Wonpil dan Lee A-jin (aktris musikal).
Kisahnya tidak jauh-jauh dari tearjerker bertema penyakit, mengenai Haena (Lee A-jin), yang akibat sebuah penyakit, tidak bisa terkena sinar matahari. Jadilah ia selalu sendirian di malam hari. Kebahagiannya datang dari dua hal: bernyanyi sembari memainkan gitar di stasiun, dan memandangi pujaan hatinya dari jauh. Si pujaan hati itu bernama Haram (Wonpil), yang hampir tiap hari menghabiskan waktu berselancar bersama teman-temannya. Akhirnya mereka tidak sengaja berkenalan, saling jatuh cinta, dan tanpa harus menonton versi-versi sebelumnya, anda pasti bisa menebak bakal bergerak ke mana melodrama ini.
Mari sejenak kesampingkan cerita. Berhasil atau tidaknya Midnight Sun menciptakan "immersive experience" jauh lebih penting. Saya tidak tahu kualitas suara Kwanglim Arts Center (pastinya superior dibanding gedung pertunjukan di sini), namun tata suara bioskop jelas memadai, minimal agar musik gubahan Han Boram tidak kehilangan kekuatannya. Penonton akan tergelak menyaksikan nomor komedik saat teman-teman Haena dan Haram memata-matai muda-mudi yang tengah jatuh cinta itu, lalu dihantam haru mendengar ayah Haena mengutarakan cintanya pada sang puteri lewat sebuah power ballad.
Sayang departemen visualnya tidak demikian. Sisi magis khas pertunjukan panggung, baik berupa permainan cahaya maupun pergantian latar digital, kerap gagal ditangkap. Entah karena kurang presisinya timing penyuntingan, atau akibat sudut kamera yang tak mendukung keunggulan elemen-elemen di atas panggung. Contohnya sewaktu Haena "dikejar" oleh cahaya matahari yang baru terbit. Kim Ji-ho selaku sutradara berusaha membangun intensitas melalui eksplorasi lampu dan warna, yang mana hanya akan maksimal bila direkam menggunakan wide shot.
Tapi satu keunggulan dari menontonnya lewat layar lebar terkait visual adalah, detail-detail kecil, khususnya ekspresi pemain, nampak lebih jelas, yang akhirnya meningkatkan dampak emosi. Kemampuan tarik suara Wonpil tidak usah diragukan lagi, namun di antara jajaran cast, Lee A-jin jadi yang paling sering mengobrak-abrik perasaan. Pengambilan gambar secara close-up memungkinkan penonton melihat kecanggungannya, senyum bahagianya, juga matanya yang berkaca-kaca kala tersentuh oleh berbagai cara Haram menyampaikan cinta.
Masih ada dua kali pemutaran pada 29 Mei (pukul 11:40 WIB menampilkan Baekho dan Lee A-jin, lalu pukul 16:10 WIB menampilkan Young-jae dan Kei). Apakah tiket seharga 250 ribu rupiah pantas dibeli? Tentu. Baik bagi penggemar nama-nama di atas maupun penonton kasual, Midnight Sun merupakan event yang patut disimak.
REVIEW - WRATH OF MAN
Wrath of Man takkan meraup keuntungan besar di Box Office, bahkan di era normal sekalipun. Tapi di Indonesia, cukup dengan memasang wajah Jason Statham di poster, rasanya pandemi pun tak kuasa menahan terisinya kursi-kursi bioskop. Penonton kita memang memuja Statham (lebih tepatnya aksi yang menjanjikan baku tembak tanpa henti, sehingga film kelas B milik Bruce Willis dan Nicolas Cage masih sangat menjual).
Sehingga saat remake film Prancis berjudul Cash Truck (2004) ini membombardir studio dengan desingan peluru pada klimaksnya, harga tiket sudah terbayar lunas. Sebaliknya, sebagian kecil penonton yang datang karena nama Guy Ritchie, mungkin bertanya-tanya, mengapa third act-nya cuma diisi "endless shots of people shooting guns", seolah sang sutradara kehabisan gaya.
Padahal "gaya" merupakan identitas Guy Ritchie, dan baru dua tahun lalu ia kembali ke akar melalui The Gentlemen yang keren itu. Jangan salah, bukan berarti Wrath of Man buruk. Kekhasan Ritchie tetap dapat ditemukan di sana-sini, dan seringkali jadi keunggulan. Tapi sulit menampik kesan, kalau filmnya dibuat oleh "Guy Ritchie yang berusaha keras menjadi Guy Ritchie yang disukai publik". Bisa dilihat dari bagaimana naskah yang ditulisnya bersama Ivan Atkinson dan Marn Davies, menghantarkan "foul-mouthed witty banter" kegemaran Ritchie, yang ingin sekali terdengar unik, menggelitik, dan edgy, namun lupa bahwa agar mendapat dampak tersebut, percakapannya harus menarik diikuti, atau lebih baik lagi, berguna memperkuat penokohan (tentu saya tidak mengharapkan poin kedua datang dari seorang Guy Ritchie).
Selepas sekuen pembuka berupa aksi perampokan berujung maut, kita berkenalan dengan Harry Hill alias H (Jason Statham), karyawan baru perusahaan truk penjual jasa pengantaran uang tunai. Tiap minggu uang yang dibawa berada di kisaran ratusan juta dollar, sehingga mereka pun kerap diincar perampok (termasuk yang kita lihat di awal film). Saat bertugas dengan Bullet (Holt McCallany) dan Boy Sweat (Josh Hartnett), giliran truk H jadi sasaran. Mengejutkan semua pihak, H yang lulus tes dengan nilai mepet, sanggup menghabisi seluruh perampok seorang diri.
Bisa ditebak bahwa H menyimpan rahasia, dan untuk mengurai kebenaran tentang dirinya, Wrath of Man mengajak kita mengarungi alur non-linier. Sekali lagi, "sangat Guy Ritchie". Alurnya melompat maju tiga bulan, mundur lima bulan, maju tiga minggu, dan seterusnya. Memusingkan bila berusaha mengikuti angka yang muncul di layar, tapi percayalah, itu tidak perlu. Jangka waktu hanya pernak-pernik. Terpenting, kita cukup tahu peristiwa mana yang terjadi lebih dulu, dan itu tidak sulit.
Harus diakui teknik bercerita itu mampu menjaga daya tarik alur, mengubah kisah klise seputar balas dendam (yang tentu saja tak memiliki bobot emosi signifikan mengingat ini karya Ritchie), menjadi tontonan dinamis berbekal beberapa twist. Tidak ketinggalan, adegan pembukanya dimunculkan berulang kali dalam sudut pandang berbeda-beda. Perspektif yang fokus pada H, berfungsi menjelaskan motivasi sang protagonis sekaligus memberi efek kejut, tetapi penuturan ulang secara detail melalui sudut pandang para perampok termasuk Jan (Scott Eastwood), tidak mempunyai tujuan signifikan, kecuali untuk menambal alur yang amat tipis dan bisa diselesaikan hanya dalam 60 menit.
Tapi seperti telah disebutkan, meski beberapa kekhasan Ritchie di sini bak upaya mengulangi masa kejayaan yang telah lalu, di saat bersamaan, pendekatan stylish-nya turut jadi nilai lebih. Termasuk judulnya, Wrath of Man memiliki beberapa title card berisi kalimat-kalimat seperti "Scorched Earth" dan "Bad Animals, Bad", yang seluruhnya terdengar bagai versi edgy dari kisah-kisah Shakesperean. Musik gubahan Christopher Benstead yang hampir tidak pernah berhenti sepanjang durasi, memunculkan kesan serupa. Kesan bahwa ini merupakan tragedi, di mana amarah, balas dendam, dan kekerasan, tak ubahnya aksi puitis.
Karena itu pula, sewaktu akhirnya pembalasan terlaksana, Ritchie mengambil risiko dengan tak mengemasnya di nada tinggi (walau terjadi pasca baku tembak berkepanjangan), melainkan menekankan pada emosi personal (baca: duka dan amarah) karakternya. Serupa sang sutradara, Statham jelas bukan figur yang identik dengan sensitivitas, namun kombinasi keduanya memberi jaminan soal presentasi aksi badass nan bergaya.
2 komentar :
Comment Page:Posting Komentar