TERMINATOR: DARK FATE (2019)

13 komentar
Apakah anda penggemar John Connor? Jika ya, besar kemungkinan Terminator: Dark Fate bakal mengecewakan. Sebaliknya, jika—seperti saya—anda tak merasa punya ikatan terhadapnya, installment keenam yang menandai terlibatnya lagi James Cameron ini merupakan film Terminator paling menghibur sejak Terminator 2: Judgment Day 28 tahun lalu.

John Connor gagal memenuhi takdir untuk mengemban beban sebagai protagonis. Di Terminator 3: Rise of the Machines (2003) ia hanya remaja galau menyebalkan, sedangkan sosoknya di Terminator Salvation (2009) begitu membosankan sampai membuat Christian Bale menampilkan salah satu performa terburuk sepanjang karir. Emosi saya pun tak tersulut kala di menit-menit awal, dalam sekuen yang memamerkan mulusnya kombinasi CGI dan body double mengkreasi ulang wajah muda beberapa karakter, kisahnya mengambil langkah radikal terkait status John selaku “the chosen one”.

Tapi harus diakui itu bukan langkah bijak, sebab trio penulis naskahnya, David S. Goyer (trilogi The Dark Knight), Billy Ray (The Hunger Games, Captain Phillips, Gemini Man), dan Justin Rhodes (Contract Killer, Grassroots), punya deretan opsi lain guna mencapai tujuan membawa Sarah Connor (Linda Hamilton) kembali beraksi sekaligus membawa franchise-nya ke arah baru.

Tidak menganggap eksistensi tiga film terakhir, Dark Fate mengisahkan bahwa setelah Judgment Day, masa depan kelam sebagaimana “ramalan” berhasil dilenyapkan. Tidak ada Skynet, tidak ada hari kiamat. Tapi dasar manusia enggan belajar, masa depan yang tidak kalah mengerikan telah menanti akibat keberadaan Legion, yang sejatinya cuma Skynet dengan nama berbeda. Masih berupa AI pembuat pasukan Terminator, masih mengusung modus operandi mengirim terminator ke masa lalu untuk menghabisi calon pemimpin umat manusia. Di luar perubahan radikal tadi, Terminator: Dark Fate menerapkan pola serupa judul-judul sebelumnya, termasuk terkait pesan “Kita menentukan sendiri takdir kita”.

Legion mengirim Rev-9 (Gabriel Luna), terminator canggih dengan kemampuan memisahkan endoskeleton dan mimmetic polyalloy yang menyusun tubuhnya untuk menciptakan dua unit terminator terpisah. Bayangkan T-X, hanya saja lebih canggih pun makin sulit dibunuh. Rev-9 mengemban misi membunuh Daniella “Dani” Ramos (Natalia Reyes), sementara sesuai tradisi, pihak manusia mengirim pelindung, kali ini dalam bentuk prajurit cyborg bernama Grace (Mackenzie Davis). Sarah pun ikut mengulurkan bantuan, membawa Linda Hamilton mengikuti jejak Jamie Lee Curtis di Halloween (2018), memberi bukti jika para jagoan wanita uzur masih tangguh serta layak turun gunung.

Sayangnya niat baik mengembalikan Sarah Connor tak dibarengi keberhasilan menyediakan peran substansial. Walau kuantitasnya banyak, naskahnya bagai menyelipkan paksa Sarah ke dalam cerita yang tak membutuhkan kehadirannya. Tanpa Sarah, Dani tetap dapat diselamatkan, pun ada jalan lain guna melibatkan T-800 (Arnold Schwarzenegger) tanpa memerlukan Sarah.

Setidaknya Sarah melapangkan jalan sutradara Tim Miller (Deadpool) melahirkan deretan aksi keren beroktan tinggi. Linda Hamilton menghembuskan kharisma, suatu hal yang telah lama hilang dari seri Terminator, di tengah gempuran aksi beraneka lokasi, dari darat, udara, hingga laut, meski lagi-lagi, klimaksnya mengambil latar pabrik. Tapi momen laga terbaik film ini selalu berupa konforntasi fisik langsung, tatkala pihak protagonis dan antagonis saling bertatap muka.

Berbekal kekuatan uniknya, Rev-9 merupakan antagonis berbahaya yang memfasilitasi terciptanya baku hantam brutal sarat kreativitas, yang terakhir kali kita saksikan kala Kristanna Loken membuat Arnold tidak berdaya di film ketiga. Grace menjadi lawannya, bersenjatakan ketangguhan meyakinkan Mackenzie Davis memerankan prajurit kelas wahid. Siapa tidak terpukau menyaksikan kebrutalannya mencabik-cabik tubuh Rev-9 menggunakan sebuah rantai dibalut pemakaian gerak lambat tepat guna oleh Tim Miller.

Klimaksnya memang memukau, namun di sisi lain, menegaskan kalau Terminator belum sembuh dari penyakit lamanya. Dikelilingi oleh Sarah, Grace, T-800, dan Rev-9, yang semuanya termasuk jajaran karakter paling keren di sepanjang sejarah serinya, Dani terlihat kerdil. Apakah selain memimpin perlawanan umat manusia, tokoh utama Terminator juga selalu ditakdirkan menjadi figur paling tidak menarik di filmnya?

13 komentar :

Comment Page:

THE ADDAMS FAMILY (2019)

8 komentar
The Addams Family menampilkan keluarga aristokrat aneh yang tinggal di rumah tua berhantu bekas rumah sakit jiwa di mana suara si arwah penunggu rutin terdengar, makhluk berbentuk tangan manusia pemilik foot fetish, gadis cilik yang selalu berusaha membunuh adiknya, dan hal-hal aneh nan mengerikan lain. Berbekal materi tersebut, adaptasi karakter kartun ciptaan Charles Addams ini melahirkan animasi menyenangkan, meski belum sekuat dua live action-nya, The Addams Family (1991) dan Addams Family Values (1993).

Pernikahan Gomez (Oscar Isaac) dan Morticia (Charlize Theron) berujung kerusuhan akibat amukan massa yang menolak menerima The Addams beserta keanehan mereka. Tiga belas tahun berselang, Gomez dan Morticia tinggal di bekas rumah sakit jwa terpencil di puncak bukit bersama kedua anak mereka, Wednesday (Chloë Grace Moretz) dan Pugsley (Finn Wolfhard), juga Lurch (Conrad Vernon) si pelayan yang berwujud bak monster ciptaan Victor Frankenstein.

Serupa di versi live action, animasi ini pun sedikit terengah-engah di awal, ketika naskah buatan Matt Lieberman belum menemukan pijakan, khususnya perihal humor yang terkesan asal lempar sehingga kerap gagal menemui sasaran. Setidaknya, penonton yang sudah mengenal materinya, baik melalui kartun cetak, serial televisi, serial kartun, maupun film layar lebar, akan terhibur oleh kehadiran elemen-elemen familiar, dari lagu tema ikonik gubahan Vic Mizzy hingga kekhasan tiap anggota keluarga The Addams.

Sampai akhirnya konflik utama masuk, The Addams Family baru menemukan cengkeramannya. Terdapat dua cabang cerita yang nantinya saling berkaitan, yaitu usaha Margaux Needler (Allison Janney) si pembaca acara reality show (pikirkan konsep macam Bedah Rumah) menyingirkan The Addams yang dianggap berpotensi merusak rencana bisnisnya, dan keinginan Wednesday mencicipi dunia luar setelah selama ini selalu mendekam di rumah atas perintah orang tuanya.

Ketika menonton live action-nya dulu, saya terganggu oleh kesan bahwa tanggapan orang luar terhadap The Addams terlalu normal. Mereka kaget, kebingungan, sedikit ketakutan, tapi melihat hal-hal seperti pergelangan tangan yang bergerak sendiri semestinya menimbulkan respon lebih dari itu. Animasi ini mengatasi gangguan tersebut, memaparkan dinamika sosial The Addams dengan masyarakat sekitar, bahkan menjadikannya plot utama yang mengusung pesan soal “perbedaan”.

Kritikan tentang konformitas pada sosial masyarakat dalam era post-truth ikut dilayangkan, yang muncul dalam wujud aplikasi Neighborhood Peeps, di mana para penghuni kota terencana gagasan Margaux saling bergunjing, melontarkan pernyataan seperti “Aku percaya semua yang aku baca” dan “Jika orang lain takut, aku juga takut”.

Tapi bak pisau bermata dua, dampak negatif turut hadir. Pesona absurditas khas serinya memudar, saat alur The Addams Family tak ubahnya animasi kebanyakan. Bandingkan dengan live action pertamanya yang bercerita mengenai akal bulus seorang lintah darat mengutus puteranya untuk menyamar sebagai Fester, adik Gomez yang telah bertahun-tahun hilang. Pun dengan membangun kesadaran The Addams jika publik menganggap mereka aneh, satir yang jadi pondasi kisah Charles Addams kehilangan kekuatan. The Addams tidak tahu kalau mereka dipandang aneh. Di situ daya pikatnya.

Beruntung, sewaktu kisahnya kurang stabil, humornya “pecah”, khususnya humor seputar Wednesday dengan segala anomalinya. Disuarakan layaknya mayat hidup secara sempurna oleh Chloë Grace Moretz, dibungkus kreativitas visualisasi sutradara Conrad Vernon dan Greg Tiernan yang sebelumnya berduet melahirkan kegilaan bernama Sausage Party (2016) dalam menyeimbangkan elemen horor dan komedi, The Addams Family efektif sebagai hiburan. Apalagi bagi penonton yang menangkap deretan referensi terhadap beragam judul horor, sebutlah Frankenstein (1931), Invasion of the Body Snatchers (1978), The Amityville Horror (1979), The Evil Dead (1981), sampai It (2017).

8 komentar :

Comment Page:

LOVE FOR SALE 2 (2019)

9 komentar
Berlandaskan premis unik, akting ciamik, dan departemen artistik menarik, tahun lalu Love For Sale mampu mencuri perhatian, walau berbeda dengan pandangan umum, saya beranggapan naskah buatan sutradara Andibachtiar Yusuf (Hari Ini Pasti Menang, Bridezilla) dan M. Irfan Ramly (Cahaya dari Timur: Beta Maluku, Surat dari Praha) kurang matang dalam menangani konsep, khususnya di fase konklusi. Love For Sale 2 berhasil memperbaiki itu.

Idenya masih serupa, yakni mengenai “kunjungan” Arini (Della Dartyan) dari aplikasi kontak jodoh Love Inc., ke kehidupan protagonis. Bedanya, tidak ada usaha setengah-setengah menjelaskan soal Love Inc. sebagaimana film pertama. Lubang alur diminimalisir, dan sewaktu konflik menemukan resolusi, tidak ada distraksi. Konsentrasi sepenuhnya tercurah pada permainan rasa dalam drama keluarga yang kini jadi fokus utama.

Dibuka oleh pesta pernikahan beradat Minang yang dibungkus menggunakan satu take panjang, kita segera tahu masalah macam apa yang segera menjelang. Ican (Adipati Dolken) terus didorong oleh sang ibu, Rosmaida (Ratna Riantiarno), agar segera menikah. Berulang kali Rosmaida berusaha menjodohkan Ican, tapi berulang kali pula puteranya itu menolak. Berbanding terbalik dengan Richard (Gading Marten) di film pertama, Ican doyan berganti-ganti pasangan, namun enggan melakoni hubungan serius.

Tekanan dari orang tua agar segera menuntaskan masa lajang tentu terdengar familiar sebab banyak terjadi di sekitar kita, bahkan mungkin menimpa kita sendiri. Love For Sale 2 merupakan satir menggelitik atas problematika tersebut. Tentang urgensi menikah. Kunci sindirannya terletak pada kontradiksi dalam kata-kata maupun perilaku karakter. Rosmaida terus meminta Ican menikah, tapi saat melihat puteranya itu berbicara dengan wanita, ia buru-buru berujar “Jangan deket-deket. Nanti fitnah”. Timbul pertanyaan, “Apakah Rosmaida (dan para orang tua lain) ingin anaknya menikah, atau MENIKAHI PILIHAN MEREKA?”.

Cara pandang masyarakat soal pernikahan juga tidak ketinggalan disentil. Misalnya saat Ndoy (Ariyo Wahab), kakak Ican, menyindir seorang karakter yang memasang wajah kucel seorang karakter akibat ditinggal pergi istrinya, lalu sejurus kemudian menyarankan Ican segera menikah supaya hidupnya tentram. Lagi-lagi komedi satir berbasis kontradiksi.

Meski melempar sindiran, Love For Sale 2 menolak tampil berat sebelah. Rosmaida sekilas menyebalkan, layaknya banyak sosok ibu, menyuruh Ican segera menikah, selalu cerewet menasihati agar anak-anaknya rajin salat dan berbagai petuah lain. Rosmaida juga bukan mertua yang menyenangkan bagi istri Ndoy, Maya (Putri Ayudya), yang walau tengah hamil tua, tetap mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Tapi layaknya seorang ibu pula, selalu ada cinta, dan film ini tidak lupa menekankan cinta itu. Karena mungkin, Rosmaida hanya butuh ditemani dan dimengerti. Di situlah Arini berperan.

Demi membahagiakan ibunya, Ican menggunakan layanan Love Inc., memesan calon istri palsu sesuai preferensi sang ibu. Jika film pertama mengetengahkan peran Arini menumbuhkan semangat hidup Richard, di sekuelnya, giliran harmoni keluarga Ican yang ia pupuk. Tertinggal kekecewaan di fase ini, karena proses “perbaikan” yang Arini lakukan cuma nampak di permukaan, biarpun gagasan “Arini membawa kebahagiaan sebagai alat menyembuhkan” telah tersampaikan.

Satu lagi keunggulan sekuel ini dibanding pendahulunya adalah penokohan Arini. Menampilkan Della Dartyan dengan senyum yang bisa membuat siapa saja seketika jatuh hati, Arini masih gadis dengan sensitivitas tinggi, sehingga tahu bagaimana memberi respon yang diinginkan lawan interaksinya. Kali ini ruang personal Arini mulai dikunjungi. Sosoknya makin dimanusiakan. Sebuah obrolan Arini dengan Rosmaida di suatu subuh—yang juga jadi ajang pembuktian kepiawaian Della mengontrol luapan emosi—menyiratkan bahwa kunjungan kali ini terasa lebih personal bagi Arini. Dugaan jika Love Inc. bukan sekadar tempat Arini bekerja turut menguat.

Andibachtiar Yusuf mengulangi pencapaiannya di departemen penyutradaraan lewat kepekaan menangkap emosi suatu momen, dan menjadikan filmnya tidak semata pameran gambar cantik. Tidak kalah mengagumkan adalah perhatian Andibachtiar terhadap detail peristiwa yang bertempat di belakang fokus kamera. Contohnya di adegan pembuka. Daripada hanya memakai figuran, ia menempatkan Buncun (Bastian Steel) si putera bungsu bersama istrinya, Endah (Taskya Namya). Keduanya cuma duduk menikmati makanan , tapi itu saja sudah cukup menghidupkan sebuah peristiwa. Atau sewaktu Ican mengobrol dengan Ibrahim (Yayu Unru) sementara di belakang, orang-orang asyik bermain domino, dengan gestur serta suara yang tidak terlalu besar sampai mengganggu fokus, namun tidak terlalu kecil agar penonton bisa menyadari eksistensi mereka.

9 komentar :

Comment Page:

KELAM (2019)

4 komentar
Setidaknya Kelam adalah film yang jujul secara penjudulan. Kalau kualitasnya terus begini, masa depan horor kita memang KELAM. Dan jika rutin mengikuti perkembangan horor lokal, anda bisa menebak apa yang ditawarkan karya teranyar Erwin Arnada (Rumah di Seribu Ombak, Guru Ngaji, Tusuk Jelangkung di Lubang Buaya) ini. Ambil contoh departemen musik dan tata suara. Dentingan piano bernada minor ala kadarnya mengiri momen dramatik berisi obrolan memosankan, dentuman berisik di tiap jump scare, lalu ketika film berakhir sayup-sayup terdengar teriakan penyesalan dari batin anda setelah membuang waktu juga uang.

Kelam ibarat mayat hidup. Film yang dibuat tanpa semangat, tanpa usaha menjadi lebih baik. Semua bermain sesuai pola. Sebuah pola buruk yang didasari pemikiran “Sejelek ini aja bisa laku kan?”. Bahkan jajaran pemainnya, termasuk Aura Kasih, tampak luar biasa bosan, seolah ingin sesegera mungkin menyelesaikan proses produksi.

Aura Kasih memerankan Nina, yang kembali pulang setelah delapan tahun, ketika sang ibu, Dewi (Rina Hassim), terserang stroke ringan. Ada perselisihan masa lalu yang jadi penyebab retaknya hubungan ibu dan anak itu, namun Nina menyembunyikannya, termasuk dari Fenny (Amanda Manopo), adiknya. Datang bersama puteri kecilnya, Sasha (Giselle Tambunan), Nina berharap bisa menyambung tali silaturahmi. Tapi rencana tersebut buyar ketika Sasha mulai bertingkah aneh setelah mendadak pingsan di suatu malam.

Salah satu keanehan Sasha adalah saat Nina hendak menceritakan dongeng Puteri Salju, bocah itu menjawab, “Sudah ada yang menceritakannya!”. Ingin saya bertanya pada Fajar Umbara (Mata Batin, Sabrina, Ikut Aku ke Neraka) selaku penulis naskah. “Kenapa Sasha bicara begitu formal? Apa dia kerasukan hantu Jaka Sembung? Atau arwah guru les Bahasa Indonesia?”. Kasihan hantu-hantu di film horor medioker negeri ini yang terjebak stereotip, bahwa mereka selalu bicara formal.

Semua elemen Kelam tampil malas. Salah satunya tata rias dan kostum yang kualitas jongkoknya amat kentara sewaktu Nina mandi dalam kondisi masih memakai bulu mata lentik serta alis mata tebal. Pun manusia mana di muka bumi ini yang mandi sambil memakai semua cincinnya? Alurnya tidak kalah malas. Fokus Fajar Umbara hanyalah menyembunyikan jawaban misteri—yang sudah bisa ditebak sejak menit-menit awal—lewat beberapa elemen pencipta misleading nihil dampak yang dipaksakan hadir ketimbang membangun jalinan misteri mumpuni.

Kemalasan-kemalasan di atas berujung memproduksi kebodohan. Apa perlunya kemunculan Rico (Evan Sanders) si mantan pacar Nina? Kalau untuk menegaskan bahwa membalas mereka yang berbuat buruk padanya merupakan tujuan sang hantu, tidak bisakah memakai metode lain daripada sebuah kebetulan ala sinetron? Nantinya twist film ini terungkap ketika protagonis menemukan surat yang disembunyikan karakter lain. Sesulit apa melenyapkan surat? Dibakar, dibuang, disobek, dimakan. Ada sejuta cara.

Ah, sudahlah. Membahas alur hanya akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan tak berujung. Mari membicarakan cara Erwin Arnada membangun teror. Dari total 75 menit, cuma satu adegan berdurasi 2 detik yang mampu menyulut sedikit kengerian, yaitu ketika si hantu bocah diam-diam melayang turun di samping Sasha. Dua detik dari total sekitar 4.500 detik penuh siksaan, sebelum ditutup oleh klimaks buru-buru yang berakhir secepat kita buang angin dan konklusi menggelikan, saat Aura Kasih menatap kosong ke arah kamera. Matanya bagai berteriak, “SEMOGA INI CEPAT BERAKHIR”. I feel you, sis.  

4 komentar :

Comment Page:

SUSI SUSANTI: LOVE ALL (2019)

10 komentar
Film bertema nasionalisme kita cenderung seperti mesin, menyuarakan “Indonesia raya!” atau “Hidup merah putih!” secara keras, lantang, tapi kosong. Sedangkan untuk film biografi, keharusan mencakup sebanyak mungkin fase hidup karakternya melahirkan penceritaan tak mulus berbentuk kumpulan segmen. Susi Susanti: Love All menggabungkan keduanya sambil mengatasi kelemahan masing-masing genre, guna menciptakan salah satu tontonan terbaik tahun ini.

Ditulis naskahnya oleh lima nama: Syarika Bralini, Raditya Mangunsong (Kamulah Satu-Satunya, Viva JKT48), Raymond Lee (Bajaj Bajuri The Movie, Buffalo Boys), Daud Sumolang (Kebun Binatang), dan Sinar Ayu Massie (Sebelum Pagi Terulang Kembali, 6,9 Detik), film ini tidak memaknai nasionalisme secara buta, namun mengajak penonton menelusuri maknanya lewat frasa “love all” yang diucapkan wasit bulutangkis di awal pertandingan saat kedudukan masih 0-0.

Kisahnya memang melompat mundur ke masa kecil Susi Susanti (Moira Tabina Zayn), tapi itu bertujuan memasang pondasi, bukan didasari pemikiran “Agar ceritanya selengkap mungkin”. Pondasi soal bagaimana ia banting setir menekuni bulutangkis serta bagaimana hubungan dengan ayah (Iszur Muchtar) dan ibunya (Dayu Wijanto) membentuk Susi sebagai atlet maupun individu. Pondasi yang cukup sebagai bekal sebelum melangkah ke fase dewasa Susi.

Nama Susi Susanti (Laura Basuki) melesat cepat, dan berhasil mengharumkan nama bangsa berkat sumbangan banyak juara, khususnya di Piala Sudirman 1989 dan Olimpiade 1992, yang menjadikannya pemenang medali emas Olimpiade pertama asal Indonesia. Tapi ini tidak sesederhana “berlatih-juara-semua bahagia”. Sebab saat itu negeri ini tengah bergejolak. Krisis moneter mencekik, sementara tindak rasisme terhadap warga keturunan Cina semakin gencar. Bahkan meski menjuarai Olimpiade, status kewarganegaraan Susi tak kunjung dipastikan.

Di sinilah Susi Susanti: Love All membuat kalimat “Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat” yang dikampanyekan Try Sutrisno (Farhan) bukan sebatas jargon, tanpa harus melontarkan kalimat-kalimat bernada nasionalis. Melalui bulutangkis Susi belajar makna persatuan, kemudian melalui bulutangkis pula ia menyatukan. Dia hargai perbedaan termasuk menjalin hubungan baik dengan lawan tatkala para pemimpin bangsa mendengungkan pesan serupa namun bertingkah sebaliknya, yang disindir oleh film ini dalam adegan “senam pagi” yang singkat tapi menggelitik.

Punya cakupan kisah selama belasan tahun, naskahnya mampu memilah titik mana saja dalam hidup Susi Susanti yang substansial untuk diangkat, pun (dibantu mulusnya penyuntingan), jeli menjembatani satu momen dengan lainnya. Contoh terbaik adalah ketika selepas pernikahan Susi dan Alan Budikusuma (Dion Wiyoko), kerusuhan pecah. Sekilas dua peristiwa itu tak berkaitan, bahkan (mungkin) tidak terjadi berdekatan, namun muncul dinamika berupa kontradiksi antara kebahagiaan dan kepiluan. Bukan cuma keterkaitan narasi yang film ini ciptakan, juga rasa.

Tentu Sim F yang menjalani debut penyutradaraan solo setelah sebelumnya ambil bagian menggarap segmen Kotak Coklat di omnibus Sanubari Jakarta (2012) turut berjasa besar. Saya mengenal namanya di era MTV Ampuh sebagai sutradara beberapa video klip Peterpan seperti Menghapus Jejakmu dan Walau Habis Terang. Sim F membuktikan bahwa sutradara video klip tidak hanya jago bermain visual kala berhasil membangun atmosfer meyakinkan di partai final Piala Sudirman yang sarat intensitas sampai teror mencekam di tengah kerusuhan. Satu-satunya kelemahan justru terletak di visual berhiaskan “filter Instagram” yang menghilangkan kesan organik kisahnya.

Tapi apa guna film biografi tanpa dibarengi akting mumpuni? Laura Basuki bersinar baik di dalam maupun luar pertandingan. Pada final Piala Sudirman kita bisa melihat transisi Susi, dari set pertama yang dikuasai keraguan, lalu menemukan ketenangan di set kedua, sebelum tampil penuh percaya diri di babak puncak. Pun air mata Laura ketika lagu kebangsaan berkumandang pasca kemenangannya, ampuh menyentuh hati sekaligus memantik nasionalisme. Sedangkan di luar lapangan, seharusnya tiada lagi yang meragukan kombinasi Laura Basuki-Dion Wiyoko sebagai salah satu pasangan penghasil chemistry terkuat di perfilman Indonesia, sebagaimana Susi Susanti: Love All berhasil menjadi salah satu film biografi/olahraga Indonesia terbaik dalam beberapa tahun terakhir.

10 komentar :

Comment Page:

ZOMBIELAND: DOUBLE TAP (2019)

8 komentar
Ada kesulitan lebih terkait pembuatan sekuel untuk film yang merengkuh kesuksesan berkat kesegaran kemasannya, yaitu bagaimana menjaga, atau lebih baik lagi menambah, kesegaran itu. Rilis satu dekade selepas Zombieland yang digemari karena kreativitasnya, Zombieland: Double Tap mengembalikan jajaran pemain lama, sutradara sekaligus penulis naskah lama, dan sayangnnya formula lama juga turut serta. Serupa judul bertema zombie kebanyakan, ini sekadar pengulangan.

Tapi tidak bisa dipungkiri, pengulangan itu masih menyenangkan. Kita tahu adegan pembuka bakal mengadu karakter manusia melawan zombie dalam balutan gerak lambat serta musik rock (kali ini Master of Puppets-nya Metallica), pun kita tahu momen ikonik “Zombie Kill of the Week”—yang ditingkatkan jadi “Zombie Kill of the Year” akan muncul. Semuanya menghibur, tapi akibatnya, Zombieland: Double Tap dibangun berdasarkan checklist layaknya fan service.

Beberapa tahun setelah film pertama, Columbus (Jesse Eisenberg), Tallahassee (Woody Harrelson), Wichita (Emma Stone), dan Little Rock (Abigail Breslin) telah tumbuh bersama sebagai satu “keluarga disfungsional”. Mereka menetap di White House yang aman, sementara zombie di luar mulai berevolusi menjadi beberapa jenis—yang dijabarkan melalui sekuen menggelitik di paruh awal—di mana salah satunya disebut T-800, yakni zombie dengan kekuatan juga daya tahan tinggi. Tidak cukup dua kali tembak guna menghabisinya.

Digarap oleh dua penulis film pertama, Rhett Reese dan Paul Wernick, ditambah David Callaham (The Expendables, Wonder Woman 1984), apabila Zombieland membahas posisi manusia selaku makhluk sosial, maka Zombieland: Double Tap mengupas soal keluarga. Wichita merasa Columbus terburu-buru membawa hubungan mereka ke jenjang lebih lanjut, sedangkan Little Rock terganggu atas ketidakpekaan Tallahassee, yang selama ini bertindak sebagai figur ayah. Ketika Little Rock yang sudah beranjak remaja ingin merasakan romansa, Tallahassee justru menghadiahkan pistol.

Wichita dan Little Rock memutuskan kabur (lagi). Di tengah sakit hati akibat ditinggalkan sang kekasih, Columbus bertemu Madison (Zoey Deutch). Menghabiskan bertahun-tahun sembunyi di ruang pendingin tanpa terpikirkan untuk mematikan sistem pendingin, bertingkah genit, repot-repot membawa berbagai koper besar di tengah zombie apocalypse, Madison memenuhi semua stereotip “gadis pirang bodoh”, yang selalu mencerahkan suasana di tiap kemunculan berkat totalitas komedi Zoey Deutch dalam berlagak hiperbolis.

“Daripada tidak ada wanita lain”, mungkin begitu pikir Columbus saat mengiyakan permintaan Madison berhubungan seks, tanpa tahu bahwa di malam yang sama, Wichita kembali. Bukan untuk pulang, melainkan mengambil senjata untuk mencari Little Rock yang kabur bersama Berkeley (Avan Jogia), seorang hippie anti-kekerasan yang menolak mempersenjatai diri.  

Sisanya adalah petualangan berupa pengulangan film pertama. Emma Stone tetap jago memancing tawa (tidak semua orang bisa menirukan velociraptor selucu dia) tapi lemparan humor Zombieland: Double Tap kerap meleset. Penonton, khususnya penggemar film pertama, akan mengangguk-angguk puas menyaksikan pengulangan momen-momen ikonik dari judul sebelumnya, namun karena berupa pengulangan, ledakan tawa yang dihasilkan tak sebesar film pertama.

Lain halnya dengan aksi. Sepuluh tahun berselang, penyutradaraan Ruben Fleischer masih bertenaga, piawai meramu pengadeganan dinamis, yang disempurnakan oleh ketidakraguan membanjiri layar dengan darah dan ceceran organ tubuh zombie. Kini, adegan aksi bukan cuma panggung Woody Harrleson seorang. Rosario Dawson sebagai Nevada yang memikat hati Tallahassee sang serigala penyendiri, juga ambil bagian, menegaskan kalau Zombieland: Double Tap merupakan tempat para penampil wanita bersinar.

Berkaca pada pengulangan yang telah disinggung di atas, tidak mengejutkan kala naskahnya kurang matang mengolah konflik bertema keluarga miliknya, termasuk fase konklusi yang terburu-buru. Mendadak semua masalah berakhir begitu mudah, membuat segala jalan terjal yang karakternya lalui terkesan percuma. Beruntung Zombieland: Double Tap tidak ditutup di titik nadir, ketika mid-credits scene-nya memproduksi humor paling jenius sepanjang film.

8 komentar :

Comment Page:

PEREMPUAN TANAH JAHANAM (2019)

53 komentar
Setelah sedikit dikecewakan oleh Gundala, Perempuan Tanah Jahanam mengingatkan lagi alasan kekaguman saya terhadap film-film Joko Anwar. Tidak ada batasan, baik terkait moralitas maupun kreativitas, sehingga terlahir karya yang bebas nan segar. Kali ini Joko mengawinkan gagasan soal kasih sayang orang tua dalam keluarga disfungsional dengan lingkaran setan bernama kutukan.

Kredit pembuka di mana nama-nama bak terlukis di atas kelir (layar pertunjukan wayang kulit) diiringi musik bernuansa gamelan (digawangi trio Aghi Narottama-Bemby Gusti-Tony Merle plus Mian Tiara, scoring-nya ampuh membangun atmosfer sepanjang durasi), membuat Perempuan Tanah Jahanam langsung mencengkeram sedari awal.

Bahkan sejak sebelum itu, tepatnya pada adegan pembuka saat dua sahabat yang bekerja sebagai penjaga gerbang tol, Maya (Tara Basro) dan Dini (Marissa Anita), mengobrol lewat telepon sembari menanti berakhirnya shift malam mereka. Kembali, Joko memamerkan kebolehan merangkai interaksi kasual, yang tak jarang mengandung pokok pembicaraan remeh cenderung nyeleneh, namun di situlah realisme terbangun. Meski sayang, lagi-lagi karakter Joko mengidap “penyakit” berupa artikulasi yang sering rancu.

Pembicaraan Maya dan Dini ditutup teror mencekam, yang turut menyibak sebuah rahasia. Maya akhirnya mengetahui siapa orang tua sekaligus kampung halamannya, yang terletak di Desa Harjosari. Bukan cuma itu, ada kemungkinan sebuah warisan melimpah telah menantinya. Sedang kesulitan uang, kedua wanita ini memutuskan berangkat ke Harjosari, tanpa tahu jika selain warisan, bahaya besar pun menanti mereka.

Sense of impending doom. Perasaan itu yang Joko ingin penontonnya rasakan. Dari penampakan-penampakan makhluk gaib—walau tak semencekam dan sekreatif Pengabdi Setan, jump scare buatan Joko masih jauh dari murahan—sampai keanehan suasana Desa Harjosari. Sekilas warga di sana bersikap ramah, termasuk Ki Saptadi (Ario Bayu) si kepala desa yang tinggal bersama sang ibu, Nyi Misni (Christine Hakim), namun aroma ketidakberesan tercium pekat.

Aroma yang makin kuat sewaktu Dini mengambil sebuah keputusan nekat, yang bagai jadi gerbang pembuka menuju kegilaan-kegilaan Perempuan Tanah Jahanam. Perihal intensitas, kelebihan Joko dibanding sutradara lain adalah kemampuan memanfaatkan talenta pemain untuk menghidupkan ketakutan di tengah suasana darurat. Mentah, bak tanpa polesan. Tara Basro, dengan penampilan memadai, boleh jadi tokoh utama, tapi Marissa Anita adalah bintang pertunjukan. Diperlihatkannya definisi “efortless” dalam akting, entah lewat luapan rasa takut yang akan membuat jantung penonton ikut berdebar, atau menangani obrolan santai dengan sedikit bumbu komedi.

Dua metode penghantaran horor Joko terapkan di sini, yaitu melalui pemandangan disturbing dan atmosfer. Saya tidak bisa mengungkap detail kekerasan apa saja yang film ini simpan, tapi pastinya Joko tak ragu bermain-main dengan tubuh manusia. Darah jelas mengalir di tanah jahanam Harjosari. Mengenai atmosfer, Joko, dibantu sang sinematografer langganan, Ical Tanjung, menggunakan sorotan lampu kuning kala malam hari, khususnya pada tempat di mana mistisisme berpusat. Bagai ada kabut pekat menyesakkan dari alam lain sedang menyelubungi Harjosari. Ditambah latar rumah-rumah remang, keangkeran timbul tanpa perlu ada makhluk halus bertampang mengerikan menampakkan diri.

Kelemahan Perempuan Tanah Jahanam terletak di satu elemen naskah. Setelah secara apik mengimplementasikan budaya klenik tanah Jawa, naskahnya tersandung urusan pemaparan jawaban misteri. Joko menyisihkan dua titik di alur untuk menjabarkan tabir kebenaran secara gamblang. Saya merasa ini bentuk kompromi Joko kepada penonton awam, mengingat kegamblangan bukan sesuatu yang identik dengan karyanya. Tapi masalah terbesar bukan soal “seberapa gamblang”, melainkan bagaimana proses menyuapi informasi itu, terjadi berkepanjangan, dan diletakkan di tengah babak ketiga, sehingga melucuti intensitas.

Klimaksnya sendiri, meski tetap mengalirkan darah pula menampilkan tragedi, kekurangan daya bunuh. Ketika saya sudah bersiap menerima dikecewakan oleh resolusinya, Joko melemparkan momen final. Momen penutup ini—menghadirkan wajah familiar selaku cameo serta Christine Hakim yang melengkapi keberhasilannya memancing ngeri sepanjang film—menusuk jantung bermodalkan intensitas luar biasa, berkat kemampuan Joko memadukan timing kejutan, grafik disturbing, tempo tinggi, serta dua sumber suara, yakni musik dan teriakan manusia. Hanya segelintir sutradara bisa mengkreasi kegilaan semacam itu. Berbagai kekurangan yang sebelumnya muncul pun terbayar lunas, menegaskan film ini memang jahanam!

53 komentar :

Comment Page:

THE BAD GUYS: REIGN OF CHAOS (2019)

2 komentar
Mencapai titik ini, nama Ma Dong-seok alias Don Lee sudah menjadi merk dagang yang cukup paten, istilah “Film Don Lee” pun bisa dipakai untuk mengategorikan suguhan aksi di mana si jagoan mampu merontokkan lawan-lawan atau meruntuhkan bangunan hanya dengan sekali pukul. Banyak tampil di film serupa berpotensi menimbulkan kejenuhan terhadap kemunculan sang aktor, tapi The Bad Guys: Reign of Chaos menunjukkan bahwa titik jemu itu belum tiba.

Melanjutkan cerita serial televisi Bad Guys (2014), penonton yang belum sempat mencicipinya tidak perlu khawatir, sebab naskah buatan Han Jung-hoon yang juga merupakan penulis serialnya, berbaik hati menawarkan eksposisi berupa flashback yang dikemas dengan gaya ala Sin City oleh sutradara Son Young-ho (The Deal), tanpa perlu menjadi rekap yang diselipkan paksa di tengah alur. Detektif Oh Gu-tak (Kim Sang-joong) membentuk tim khusus berisi para narapidana guna memburu kriminal tanpa terkekang hukum yang berlaku. Anda perlu tahu itu saja.

Salah satu anggota timnya adalah Park Woong-cheol (Don Lee), gangster ternama yang berusaha memulai hidup baru di penjara. Ketika sebuah bus pembawa narapidana diserang oleh oknum tak dikenal, membuat banyak kriminal berbahaya kabur, bahkan membuat Yoo Mi-yeong (Kang Ye-won)—polisi sekaligus mantan anggota tim Gu-tak—cedera parah, Woong-cheol dan Gu-tak kembali bersatu, kali ini dibantu dua tahanan: penipu ulung Kwak No-soon alias Jessica (Kim Ah-joong) dan Ko Yoo-sung (Jang Ki-yong) si mantan polisi.

Jangan berharap banyak pada alur yang pada dasarnya cuma membagi 114 menit durasi ke dalam beberapa fase berformula sama, yakni usaha para protagonis memburu satu per satu buronan. Tidak ada teka-teki maupun belokan signifikan (kecuali satu twist yang tak seberapa substansial dan mengejutkan), melewatkan beberapa menit kisahnya takkan banyak berpengaruh. Pun usaha menambah bobot emosi melalui hasrat balas dendam Woong-cheol juga hanya pernak-pernik medioker.

Tapi siapa mengharapkan kisah mendalam apalagi revolusioner dalam film yang menjadikan Don Lee jualan utama? The Bad Guys: Reign of Chaos menebus kelemahan pondasi cerita lewat gempuran laga beroktan tinggi dari aksi Don Lee membabat jajaran kriminal yang ditakuti, dari pembunuh berantai sampai bos yakuza, hanya bersenjatakan kepalan tangan bak godam kokoh. Sekali hantam, dua-tiga nyawa melayang. Don Lee tidak butuh gore agar penonton meringis kesakitan (atau bersorak gembira?) menyaksikan serangannya. Seolah menyesuaikan gaya si tokoh utama, adegan laga yang tak melibatkan Don Lee pun dikemas gahar oleh Young-ho. Saat mobil dan/atau truk bertabrakan, mereka bukan hanya beradu, tapi saling menghancurkan.

Melengkapi Don Lee, turut mencuri perhatian adalah Kim Ah-joong sebagai femme fatale yang memadukan sensualitas dengan kejenakaan, pula mulus membangun chemistry kaya dinamika bersama tiga rekan timnya. Kombinasi keempat pembasmi kejahatan gila ini memang berdaya tarik tinggi, sebab Jung-hoon cermat perihal menyelipkan bumbu humor dalam naskahnya. Bahkan Woong-cheol yang ditakuti banyak orang pun kerap memancing tawa lewat kegemarannya melempar “pepatah bijak”. Seluruh departemen milik The Bad Guys: Reign of Chaos memang kompak mengusung satu tujuan, yaitu bersenang-senang. Kalau tidak, mustahil tercetus ide usil menyelipkan lagu Rebirth kepunyaan Yoon Jong-shin (generasi sekarang mungkin mengenal lagu itu lewat versi yang dibawakan girl group Red Velvet) di sebuah momen komedik.

2 komentar :

Comment Page:

MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL (2019)

3 komentar
Maleficent: Mistress of Evil dibuka lewat aerial shot memukau, menangkap lanskap kerajaan Moors yang dibuat menggunakan CGI. Tapi begitu kisah mulai diperkenalkan, ketika Puteri Aurora (Elle Fanning) mengumpulkan makhluk-makhluk Moors guna mendengar keluh kesah mereka, kemegahan itu digantikan oleh sekuen kekanak-kanakan, lengkap dengan humor slapstick yang akan membuatmu tersenyum canggung. Transisi tersebut cukup menggambarkan keseluruhan filmnya, yang berjaya saat pamer visual, lalu terjatuh ketika bercerita.

Lima tahun setelah film pertama, kedamaian tercipta di Moors, meski masyarakat sekitar masih takut kepada Maleficent (Angelina Jolie) akibat berita tentangnya yang meracuni Aurora, tersebar luas. Tapi bukan itu yang dikhawatirkan sang “mistress of evil”, melainkan saat puteri angkatnya menerima pinangan Pangeran Phillip (Harris Dickinson) dari Kerajaan Ulstead. Semakin mengkhawatirkan kala orang tua Phillip, Raja John (Robert Lindsay) dan Ratu Ingrith (Michelle Pfeiffer) mengundangnya makan malam.

Maleficent: Mistress of Evil paling menghibur saat Jolie membawa kejenakaan dari ketidakmampuan karakternya menghadapi undangan makan malam, di mana ia dituntut beramah tamah dengan manusia, yang mana begitu asing baginya. Sejak film pertama Jolie telah menghembuskan kehangatan di balik kegelapan sosok Maleficent, dan kali ini ia menambah dinamika baru lewat humor.

Tapi tawa itu tidak berlangsung lama. Situasi memanas sewaktu Ingrith mulai menebar provokasi, memancing amarah Maleficent, lalu berpuncak pada tuduhan bahwa Maleficent mengutuk Raja John, membuatnya koma. Perang antar kerajaan pun tak terelakkan, sayangnya sebelum perang itu sempat menghancurkan kedua kubu, filmnya sudah lebih dahulu dirusak oleh buruknya penggarapan.

Naskah garapan Micah Fitzerman-Blue, Noah Harpster, dan Linda Woolverton berusaha melakukan banyak hal, dari mengangkat lagi tema ibu-anak, menyelipkan pesan persatuan, sampai menggali mitologi di balik sosok Maleficent, tapi tak satu pun tampil menarik. Datar, khususnya akibat penulisan dialog membosankan, sebab deretan kalimatnya bak ditulis hanya karakternya harus berbicara alias obligasi semata.

Satu-satunya poin menarik mengenai eksplorasi mitologinya adalah tatkala Maleficent, tanpa mengenakan penutup tanduknya, terbangun di sebuah tempat asing yang seperti tersusun atas akar-akar pohon berwarna putih. Jolie, dengan riasan wajah pucat, tanduk menjulang, dan rambut panjang tergerai tampil layaknya sosok menakjubkan dari negeri dongeng, sementara tata artistiknya membantu sinematografer Henry Braham (The Golden Compass, Guardians of the Galaxy Vol. 2) melahirkan visual memesona.  

Memang tidak ada keluhan terkait bagaimana Maleficent: Mistress of Evil memanjakan mata, namun Joachim Rønning (Kon-Tiki, Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales) yang untuk pertama kali menyutradarai solo tanpa ditemani Espen Sandberg, tak kuasa menjadikan filmnya lebih dari sekadar parade visual. Adegan-adegannya nihil intensitas, bahkan ia gagal memaksimalkan standoff antara Jolie dan Pfeiffer yang semestinya monumental, biarpun kharisma kedua nama besar ini terlalu kuat untuk bisa dihalangi oleh lemahnya penyutradaraan.

Elle Fanning berusaha sekuat tenaga bermain emosi, sayang, naskahnya mengkhianati usaha sang aktris ketika menjadikan Aurora salah satu Disney Princess terbodoh yang sukar menggaet simpati. Kebodohan yang menyulitkan Aurora berdiri sejajar di antara rekan-rekannya, pada masa di mana Disney tengah gencar membangun citra “wanita kuat” bagi puteri-puterinya.

3 komentar :

Comment Page:

HUSTLERS (2019)

7 komentar
Diangkat dari artikel bertajuk The Hustlers at Scores buatan Jessica Pressler yang dipublikasikan majalah New York pada 2015, Hustlers membungkus feminisme dalam sampul bernama keluarga yang memayungi wanita-wanita bermental baja. Kata “keluarga” memegang kunci. Hustlers mampu memilah, mana perjuangan yang didorong keinginan saling membantu sebagai satu “keluarga”, mana yang semata hasutan keserakahan dan kemarahan.

Perspektif di atas patut dirayakan, sebab kisahnya berjalan di area ambigu kriminalitas. Sedikit saja salah melangkah, tercipta justifikasi atas nama empowerment. Tapi sutradara sekaligus penulis naskah Lorene Scafaria (Seeking a Friend for the End of the World, The Meddler) tidak buru-buru memaparkan elemen kriminalnya. Terlebih dulu kita diajak menilik latar belakangnya, melalui sudut pandang Destiny (Constance Wu) yang tengah diwawancarai oleh jurnalis bernama Elizabeth (Julia Stiles) pada 2014.

Mundur menuju tujuh tahun sebelumnya, Destiny baru memulai karir sebagai penari telanjang di Moves, klub yang akan membuat pecinta musik kegirangan karena di situlah nama-nama seperti Cardi B, Lizzo, sampai Usher muncul dalam peran singkat namun berkesan. Dituntut membiayai hidup neneknya (Wai Ching Ho), Destiny justru kesulitan memperoleh uang akibat belum menguasai teknik memikat pelanggan. Beruntung ia berkenalan dengan Ramona Vega (Jennifer Lopez) sang primadona, yang dimintanya berbagi ilmu. Berawal dari hubungan tutor-murid, perlahan tumbuh persahabatan.

Selain ajang unjuk gigi kepiawaian Jennifer Lopez yang berlatih pole dance selama 2,5 bulan sebelum proses produksi, sekuen di mana Ramona pertama kali mengajari Destiny menari juga memperlihatkan sensitivitas Scafaria terkait penerjemahan rasa ke dalam adegan. Ketimbang musik dansa elektronik, alunan komposisi bak musik klasik dari dentingan piano justru dipakai. Pole dance di klub yang biasanya identik dengan seksualitas dipancarkan keindahan estetikanya, sebagaimana jajaran karakternya yang merobohkan stigma negatif profesi penari telanjang.

Pernah menulis naskah Nick & Norah’s Infinite Playlist (2008) yang menjadikan musik selaku elemen penting serta pernah merilis album musik, Scafaria terbukti handal perihal mengawinkan departemen audio dan visual. Di adegan yang menggambarkan mimpi buruk Destiny, sang sutradara memilih mematikan semua suara kecuali iringan piano bertempo tinggi untuk membangun intensitas yang mengingatkan pada film-film bisu di masa lalu. Pun siapa sangka lagu Royal milik Lorde bisa mengangkat kesan dramatis sebuah peristiwa, menjadikannya suatu pemandangan monumental.

Kembali ke cerita, berkat bimbingan Ramona, Destiny berhasil mengumpulkan uang, sampai krisis ekonomi 2008 menerpa. Para pelanggan kaya menghilang, Moves menderita kesulitan finansial, memisahkan Destiny dan Ramona. Sempat mencoba melakukan pekerjaan lain, Destiny yang telah menjadi ibu tunggal memilih kembali ke dunia malam di Moves. Tapi kondisi telah berubah. Pekerja di sana diisi para imigran Rusia yang bersedia melakukan oral seks (praktek yang sebelumnya dilarang) hanya demi $300.

Kecerdikan Scafaria menarik  garis antara peristiwa nyata dengan pesan tentang gender yang ingin disampaikan nampak di sini. Pria-pria pengunjung peminta blow job ibarat pelaku perbudakan yang ingin mengambil keuntungan dari kesusahan wanita-wanita pekerja, sedangkan Destiny mewakili wanita yang menolak diperbudak. Nantinya turut diungkap bahwa alasan para pria korban trik Destiny dan Ramona (trik macam apa akan saya bahas) menolak melaporkan ke polisi adalah karena malu telah menjadi korban wanita. Harga diri hasil kebanggaan maskulinitas mereka terlampau tinggi, hingga berujung kebodohan.

Tapi Hustlers bukan tuturan dangkal hitam-putih yang membenarkan seluruh perbuatan karakter wanitanya sembari menggambarkan mereka sebagai sosok sempurna dan membuat semua pria terlihat buruk. Untuk mengulik itu, perlu kita tengok dulu bagaimana Destiny dan Ramona bereuni. Bertemu kembali setelah sekian lama, Ramona menawarkan metode penimbun uang baru. Bersama penari lain, Mercedes (Keke Palmer) dan Annabelle (Lili Reinhart), Ramona berburu pria kaya yang bersedia digoda, memberi minuman berisi campuran ketamin dan MDMA guna menghilangkan memori serta kesadaran, lalu menguras kartu kredit mereka. Destiny beredia ikut serta.

Hustlers pun beralih menyentuh genre heist yang dikemas menyenangkan, khususnya karena Scafaria tahu jika Hustlers sedang merambah sisi hiburan miliknya. Beberapa sentuhan komedi dengan ketepatan timing efektif menyegarkan suasana. Penonton pun bisa lepas tertawa, sebab korban yang dipilih protagonisnya merupakan pria-pria kaya hidung belang. Pun kelak, kejatuhan mereka dipicu kesalahan memilih korban akibat keserakahan yang tak terkontrol, menegaskan bahwa film ini bukan empowerment yang “buta”.

Bukannya penceritaan Hustlers nihil cela. Memasuki titik balik di mana hubungan kekeluargaan karakternya mulai menemui benturan-benturan, seolah ada keping kisah yang hilang, ada fase transisi yang dilewati demi mempercepat progresi alur. Pun metode non-linear yang diterapkan tidak sepenuhnya berlangsung mulus. Meski menampilkan keterangan latar tahun, pertanyaan-pertanyaan seputar “Kapan pastinya suatu hal terjadi? Sebelum atau setelah peristiwa ‘A’?”, dan sebagainya.

Beruntung lubang narasi di atas bisa ditutupi kesuksesan Scafaria mengolah rasa. Baik penulisan dialog maupun pengadeganannya dibuat dengan hati, yang terpampang nyata dalam pemandangan emosional di depan kantor polisi, yang kekuatannya dibangun berdasarkan kalimat “motherhood is a mental illness”. Constance Wu yang sejak Crazy Rich Asians tahun lalu mencapai level popularitas baru, membuktikan konsistensi performa lewat caranya bermain rasa, namun bintang sesungguhnya adalah Jennifer Lopez.

Menampilkan akting terbaik sepanjang karirnya, J.Lo ibarat rock star dengan karisma tanpa tanding yang menguasai seluruh panggung bernama “layar” (well, she’s actually a diva). Di tangan Lopez, Ramona jadi sosok kompleks. Bukan rubah licik yang gemar menebar tipu daya, melainkan wanita berhati pesar penuh kasih sayang yang terhimpit realita. Dan ketika Lopez berjalan di depan kawan-kawannya dalam balutan gerak lambat, dia bukan seorang pemimpin biasa. Dia adalah simbol.

7 komentar :

Comment Page:

CINTA ITU BUTA (2019)

1 komentar
Mengadaptasi film Filipina berjudul Kita-Kita, karya penyutradaraan teranyar Rachmania Arunita (penulis novel Eiffel...I’m in Love) setelah absen 11 tahun lamanya sejak Lost in Love ini adalah film pertama yang total memaksimalkan potensi komedi Dodit Mulyanto. Memasang Dodit sebagai pemeran utama membuatnya lepas, bebas melontarkan ide-ide humor gilanya. Konyol. Terlalu konyol malah, hingga Cinta itu Buta lalai meluangkan waktu membangun rasa, yang mana substansial dalam paparan romansa.

Berlatar di Busan, Korea Selatan, tokoh sentralnya adalah Diah (Shandy Aulia), pemandu wisata yang selama tiga tahun terakhir telah bertunangan dengan pria lokal, Jun-ho (Chae In-woo), namun pernikahan keduanya tak kunjung tiba, karena Jun-ho selalu beralasan bahwa ia belum siap. Kemampuan Shandy melafalkan dialog memakai Bahasa Korea patut diapresiasi, namun cara bertuturnya mengganggu. Saya memahami intensi mereplikasi protagonis wanita drama Korea yang kerap bicara dengan aegyo, tapi bukan berarti gaya itu pantas diterapkan di semua situasi.

Suatu malam, Diah akhirnya mengetahui alasan Jun-ho menunda pernikahan. Begitu terpukul, Diah pun kehilangan penglihatannya—membuat karakternya menderita penyakit jelas satu dari berbagai unsur yang diterapkan naskah buatan Fanya Runkat dan Renaldo Samsara (I Am Hope) supaya Cinta itu Buta tampil bak drama Korea. Anehnya, di pagi hari berikutnya, Diah sudah mahir berjalan menggunakan tongkat. Padahal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, ditambah lagi (seharusnya) psikis Diah masih terguncang.

Tapi biarlah. Setidaknya pasca kejanggalan itu, filmnya memasuki babak baru yang jauh lebih menyenangkan berkat kehadiran Nik (Dodit Mulyanto), yang mengunjungi Korea sebagai bentuk pelarian sakit hati setelah diselingkuhi tunangannya. Nik ngotot membantu Diah, membawakan makanan tiap pagi walau sang gadis menolak menyentuhnya. Lambat laun Diah luluh, membiarkan Nik memasuki kehidupannya, membuatnya menyadari bahwa tanpa melihat pun, ia tetap bisa merasa.

Kedatangan Nik bukan saja mengubah hidup Diah, juga jalur filmnya, yang banting setir ke ranah komedi-romantis, dengan proporsi komedi jauh lebih besar. Di sinilah Dodit bersinar, melepaskan banyolan-banyolan gombal khasnya, disertai kelakar-kelakar aneh, yang semakin absurd justru semakin efektif memancing tawa. Beberapa polahnya bakal terus menggelitik, bahkan setelah filmnya usai, dari teriakan norak Nik kala memanggil Diah tiap pagi, sampai improvisasinya di adegan “dangdut”.

Tapi bagi Cinta itu Buta, kelucuan Dodit ibarat investasi jangka pendek. Selama paruh kedua, filmnya tampil menarik, kemudian menjadi bumerang kala menginjak babak akhir yang mengedepankan elemen drama romantis. Benar bahwa membuat dua tokoh utama tidak melulu tampil serius merupakan formula ampuh pemancing simpati penonton sebab kita merasa bersenang-senang bersama mereka, namun kedua protagonis film ini sama sekali tidak pernah serius. Tawa yang hadir sekadar melahirkan kekonyolan, bukan membangun warna hubungan. Alhasil, dampak emosional yang semestinya muncul berdasarkan gagasan manis “Saat bisa melihat, kamu tidak bisa melihatku, tapi saat tidak bisa melihat, kamu baru bisa melihatku”, gagal tersalurkan.

Kondisi semakin diperburuk oleh kekacauan penceritaan. Atas nama kejutan, gerakan alurnya kerap menciptakan disorientasi waktu. Pun konklusi yang memilih menggantungkan tanda tanya ketimbang habis-habisan mengaduk rasa, ikut mengundang kejanggalan. Padahal kalau drama Korea klasik jadi acuan (keberadaan penyakit hingga nasib buruk yang tiba-tiba menimpa, mengingatkan pada judul-judul seperti Autumn in My Heart, Stairway to Heaven, dan lain-lain), Cinta itu Buta seharusnya bersedia menyentuh ranah melodrama daripada bersikap “malu-malu tapi mau”.

1 komentar :

Comment Page: