TERMINATOR: DARK FATE (2019)
Rasyidharry
Oktober 31, 2019
Action
,
Arnold Schwarzenegger
,
Billy Ray
,
Cukup
,
David S. Goyer
,
Gabriel Luna
,
James Cameron
,
Justin Rhodes
,
Linda Hamilton
,
Mackenzie Davis
,
Natalia Reyes
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Tim Miller
13 komentar
Apakah anda penggemar John Connor?
Jika ya, besar kemungkinan Terminator:
Dark Fate bakal mengecewakan. Sebaliknya, jika—seperti saya—anda tak merasa
punya ikatan terhadapnya, installment keenam
yang menandai terlibatnya lagi James Cameron ini merupakan film Terminator paling menghibur sejak Terminator 2: Judgment Day 28 tahun
lalu.
John Connor gagal memenuhi takdir
untuk mengemban beban sebagai protagonis. Di Terminator 3: Rise of the Machines (2003) ia hanya remaja galau
menyebalkan, sedangkan sosoknya di Terminator
Salvation (2009) begitu membosankan sampai membuat Christian Bale menampilkan
salah satu performa terburuk sepanjang karir. Emosi saya pun tak tersulut kala
di menit-menit awal, dalam sekuen yang memamerkan mulusnya kombinasi CGI dan body double mengkreasi ulang wajah muda
beberapa karakter, kisahnya mengambil langkah radikal terkait status John
selaku “the chosen one”.
Tapi harus diakui itu bukan langkah
bijak, sebab trio penulis naskahnya, David S. Goyer (trilogi The Dark Knight), Billy Ray (The Hunger Games, Captain Phillips, Gemini
Man), dan Justin Rhodes (Contract
Killer, Grassroots), punya deretan opsi lain guna mencapai tujuan membawa
Sarah Connor (Linda Hamilton) kembali beraksi sekaligus membawa franchise-nya ke arah baru.
Tidak menganggap eksistensi tiga
film terakhir, Dark Fate mengisahkan
bahwa setelah Judgment Day, masa
depan kelam sebagaimana “ramalan” berhasil dilenyapkan. Tidak ada Skynet, tidak
ada hari kiamat. Tapi dasar manusia enggan belajar, masa depan yang tidak kalah
mengerikan telah menanti akibat keberadaan Legion, yang sejatinya cuma Skynet
dengan nama berbeda. Masih berupa AI pembuat
pasukan Terminator, masih mengusung modus operandi mengirim terminator ke masa
lalu untuk menghabisi calon pemimpin umat manusia. Di luar perubahan radikal
tadi, Terminator: Dark Fate menerapkan
pola serupa judul-judul sebelumnya, termasuk terkait pesan “Kita menentukan
sendiri takdir kita”.
Legion mengirim Rev-9 (Gabriel
Luna), terminator canggih dengan kemampuan memisahkan endoskeleton dan mimmetic polyalloy yang menyusun tubuhnya
untuk menciptakan dua unit terminator terpisah. Bayangkan T-X, hanya saja lebih
canggih pun makin sulit dibunuh. Rev-9 mengemban misi membunuh Daniella “Dani”
Ramos (Natalia Reyes), sementara sesuai tradisi, pihak manusia mengirim
pelindung, kali ini dalam bentuk prajurit cyborg
bernama Grace (Mackenzie Davis). Sarah pun ikut mengulurkan bantuan,
membawa Linda Hamilton mengikuti jejak Jamie Lee Curtis di Halloween (2018), memberi bukti jika para jagoan wanita uzur masih
tangguh serta layak turun gunung.
Sayangnya niat baik mengembalikan
Sarah Connor tak dibarengi keberhasilan menyediakan peran substansial. Walau kuantitasnya
banyak, naskahnya bagai menyelipkan paksa Sarah ke dalam cerita yang tak membutuhkan
kehadirannya. Tanpa Sarah, Dani tetap dapat diselamatkan, pun ada jalan lain
guna melibatkan T-800 (Arnold Schwarzenegger) tanpa memerlukan Sarah.
Setidaknya Sarah melapangkan jalan
sutradara Tim Miller (Deadpool)
melahirkan deretan aksi keren beroktan tinggi. Linda Hamilton menghembuskan
kharisma, suatu hal yang telah lama hilang dari seri Terminator, di tengah gempuran aksi beraneka lokasi, dari darat,
udara, hingga laut, meski lagi-lagi, klimaksnya mengambil latar pabrik. Tapi
momen laga terbaik film ini selalu berupa konforntasi fisik langsung, tatkala
pihak protagonis dan antagonis saling bertatap muka.
Berbekal kekuatan uniknya, Rev-9
merupakan antagonis berbahaya yang memfasilitasi terciptanya baku hantam brutal
sarat kreativitas, yang terakhir kali kita saksikan kala Kristanna Loken
membuat Arnold tidak berdaya di film ketiga. Grace menjadi lawannya,
bersenjatakan ketangguhan meyakinkan Mackenzie Davis memerankan prajurit kelas
wahid. Siapa tidak terpukau menyaksikan kebrutalannya mencabik-cabik tubuh
Rev-9 menggunakan sebuah rantai dibalut pemakaian gerak lambat tepat guna oleh
Tim Miller.
Klimaksnya memang memukau, namun di
sisi lain, menegaskan kalau Terminator belum
sembuh dari penyakit lamanya. Dikelilingi oleh Sarah, Grace, T-800, dan Rev-9,
yang semuanya termasuk jajaran karakter paling keren di sepanjang sejarah serinya,
Dani terlihat kerdil. Apakah selain memimpin perlawanan umat manusia, tokoh
utama Terminator juga selalu
ditakdirkan menjadi figur paling tidak menarik di filmnya?
THE ADDAMS FAMILY (2019)
Rasyidharry
Oktober 28, 2019
Allison Janney
,
Animated
,
Charlize Theron
,
Chloë Grace Moretz
,
Conrad Vernon
,
Cukup
,
Finn Wolfhand
,
Greg Tiernan
,
Matt Lieberman
,
Oscar Isaac
,
REVIEW
8 komentar
The Addams Family menampilkan keluarga aristokrat aneh yang tinggal di
rumah tua berhantu bekas rumah sakit jiwa di mana suara si arwah penunggu rutin
terdengar, makhluk berbentuk tangan manusia pemilik foot fetish, gadis cilik yang selalu berusaha membunuh adiknya, dan
hal-hal aneh nan mengerikan lain. Berbekal materi tersebut, adaptasi karakter
kartun ciptaan Charles Addams ini melahirkan animasi menyenangkan, meski belum
sekuat dua live action-nya, The Addams Family (1991) dan Addams Family Values (1993).
Pernikahan Gomez (Oscar Isaac) dan
Morticia (Charlize Theron) berujung kerusuhan akibat amukan massa yang menolak
menerima The Addams beserta keanehan mereka. Tiga belas tahun berselang, Gomez
dan Morticia tinggal di bekas rumah sakit jwa terpencil di puncak bukit bersama
kedua anak mereka, Wednesday (Chloë
Grace Moretz) dan Pugsley (Finn Wolfhard), juga Lurch (Conrad Vernon) si
pelayan yang berwujud bak monster ciptaan Victor Frankenstein.
Serupa di versi live action, animasi ini pun sedikit
terengah-engah di awal, ketika naskah buatan Matt Lieberman belum menemukan
pijakan, khususnya perihal humor yang terkesan asal lempar sehingga kerap gagal
menemui sasaran. Setidaknya, penonton yang sudah mengenal materinya, baik
melalui kartun cetak, serial televisi, serial kartun, maupun film layar lebar, akan
terhibur oleh kehadiran elemen-elemen familiar, dari lagu tema ikonik gubahan
Vic Mizzy hingga kekhasan tiap anggota keluarga The Addams.
Sampai akhirnya konflik utama
masuk, The Addams Family baru
menemukan cengkeramannya. Terdapat dua cabang cerita yang nantinya saling
berkaitan, yaitu usaha Margaux Needler (Allison Janney) si pembaca acara reality show (pikirkan konsep macam Bedah Rumah) menyingirkan The Addams
yang dianggap berpotensi merusak rencana bisnisnya, dan keinginan Wednesday
mencicipi dunia luar setelah selama ini selalu mendekam di rumah atas perintah
orang tuanya.
Ketika menonton live action-nya dulu, saya terganggu
oleh kesan bahwa tanggapan orang luar terhadap The Addams terlalu normal.
Mereka kaget, kebingungan, sedikit ketakutan, tapi melihat hal-hal seperti pergelangan
tangan yang bergerak sendiri semestinya menimbulkan respon lebih dari itu.
Animasi ini mengatasi gangguan tersebut, memaparkan dinamika sosial The Addams
dengan masyarakat sekitar, bahkan menjadikannya plot utama yang mengusung pesan
soal “perbedaan”.
Kritikan tentang konformitas pada
sosial masyarakat dalam era post-truth ikut
dilayangkan, yang muncul dalam wujud aplikasi Neighborhood Peeps, di mana para penghuni kota terencana gagasan
Margaux saling bergunjing, melontarkan pernyataan seperti “Aku percaya semua
yang aku baca” dan “Jika orang lain takut, aku juga takut”.
Tapi bak pisau bermata dua, dampak
negatif turut hadir. Pesona absurditas khas serinya memudar, saat alur The Addams Family tak ubahnya animasi
kebanyakan. Bandingkan dengan live action
pertamanya yang bercerita mengenai akal bulus seorang lintah darat mengutus
puteranya untuk menyamar sebagai Fester, adik Gomez yang telah bertahun-tahun
hilang. Pun dengan membangun kesadaran The Addams jika publik menganggap mereka
aneh, satir yang jadi pondasi kisah Charles Addams kehilangan kekuatan. The
Addams tidak tahu kalau mereka dipandang aneh. Di situ daya pikatnya.
Beruntung, sewaktu kisahnya kurang
stabil, humornya “pecah”, khususnya humor seputar Wednesday dengan segala
anomalinya. Disuarakan layaknya mayat hidup secara sempurna oleh Chloë Grace
Moretz, dibungkus kreativitas visualisasi sutradara Conrad Vernon dan Greg
Tiernan yang sebelumnya berduet melahirkan kegilaan bernama Sausage Party (2016) dalam
menyeimbangkan elemen horor dan komedi, The
Addams Family efektif sebagai hiburan. Apalagi bagi penonton yang menangkap
deretan referensi terhadap beragam judul horor, sebutlah Frankenstein (1931), Invasion of the Body Snatchers (1978), The Amityville Horror (1979), The Evil Dead (1981), sampai It (2017).
LOVE FOR SALE 2 (2019)
Rasyidharry
Oktober 26, 2019
Adipati Dolken
,
Andibachtiar Yusuf
,
Ariyo Wahab
,
Bagus
,
Bastian Steel
,
Della Dartyan
,
Drama
,
Gading Marten
,
Indonesian Film
,
M. Irfan Ramly
,
Putri Ayudya
,
Ratna Riantiarno
,
REVIEW
,
Taskya Namya
,
Yayu AW Unru
9 komentar
Berlandaskan premis unik, akting
ciamik, dan departemen artistik menarik, tahun
lalu Love For Sale mampu mencuri
perhatian, walau berbeda dengan pandangan umum, saya beranggapan naskah buatan
sutradara Andibachtiar Yusuf (Hari Ini
Pasti Menang, Bridezilla) dan M. Irfan Ramly (Cahaya dari Timur: Beta Maluku, Surat dari Praha) kurang matang
dalam menangani konsep, khususnya di fase konklusi. Love For Sale 2 berhasil memperbaiki itu.
Idenya masih serupa, yakni mengenai
“kunjungan” Arini (Della Dartyan) dari aplikasi kontak jodoh Love Inc., ke
kehidupan protagonis. Bedanya, tidak ada usaha setengah-setengah menjelaskan
soal Love Inc. sebagaimana film pertama. Lubang alur diminimalisir, dan sewaktu
konflik menemukan resolusi, tidak ada distraksi. Konsentrasi sepenuhnya
tercurah pada permainan rasa dalam drama keluarga yang kini jadi fokus utama.
Dibuka oleh pesta pernikahan
beradat Minang yang dibungkus menggunakan satu take panjang, kita segera tahu masalah macam apa yang segera
menjelang. Ican (Adipati Dolken) terus didorong oleh sang ibu, Rosmaida (Ratna
Riantiarno), agar segera menikah. Berulang kali Rosmaida berusaha menjodohkan
Ican, tapi berulang kali pula puteranya itu menolak. Berbanding terbalik dengan
Richard (Gading Marten) di film pertama, Ican doyan berganti-ganti pasangan,
namun enggan melakoni hubungan serius.
Tekanan dari orang tua agar segera
menuntaskan masa lajang tentu terdengar familiar sebab banyak terjadi di
sekitar kita, bahkan mungkin menimpa kita sendiri. Love For Sale 2 merupakan satir menggelitik atas problematika
tersebut. Tentang urgensi menikah. Kunci sindirannya terletak pada kontradiksi
dalam kata-kata maupun perilaku karakter. Rosmaida terus meminta Ican menikah,
tapi saat melihat puteranya itu berbicara dengan wanita, ia buru-buru berujar “Jangan
deket-deket. Nanti fitnah”. Timbul pertanyaan, “Apakah Rosmaida (dan para orang
tua lain) ingin anaknya menikah, atau MENIKAHI PILIHAN MEREKA?”.
Cara pandang masyarakat soal
pernikahan juga tidak ketinggalan disentil. Misalnya saat Ndoy (Ariyo Wahab),
kakak Ican, menyindir seorang karakter yang memasang wajah kucel seorang
karakter akibat ditinggal pergi istrinya, lalu sejurus kemudian menyarankan
Ican segera menikah supaya hidupnya tentram. Lagi-lagi komedi satir berbasis
kontradiksi.
Meski melempar sindiran, Love For Sale 2 menolak tampil berat
sebelah. Rosmaida sekilas menyebalkan, layaknya banyak sosok ibu, menyuruh Ican
segera menikah, selalu cerewet menasihati agar anak-anaknya rajin salat dan
berbagai petuah lain. Rosmaida juga bukan mertua yang menyenangkan bagi istri
Ndoy, Maya (Putri Ayudya), yang walau tengah hamil tua, tetap mendapat
perlakuan tidak menyenangkan. Tapi layaknya seorang ibu pula, selalu ada cinta,
dan film ini tidak lupa menekankan cinta itu. Karena mungkin, Rosmaida hanya
butuh ditemani dan dimengerti. Di situlah Arini berperan.
Demi membahagiakan ibunya, Ican
menggunakan layanan Love Inc., memesan calon istri palsu sesuai preferensi sang
ibu. Jika film pertama mengetengahkan peran Arini menumbuhkan semangat hidup
Richard, di sekuelnya, giliran harmoni keluarga Ican yang ia pupuk. Tertinggal
kekecewaan di fase ini, karena proses “perbaikan” yang Arini lakukan cuma
nampak di permukaan, biarpun gagasan “Arini membawa kebahagiaan sebagai alat
menyembuhkan” telah tersampaikan.
Satu lagi keunggulan sekuel ini
dibanding pendahulunya adalah penokohan Arini. Menampilkan Della Dartyan dengan
senyum yang bisa membuat siapa saja seketika jatuh hati, Arini masih gadis dengan
sensitivitas tinggi, sehingga tahu bagaimana memberi respon yang diinginkan
lawan interaksinya. Kali ini ruang personal Arini mulai dikunjungi. Sosoknya
makin dimanusiakan. Sebuah obrolan Arini dengan Rosmaida di suatu subuh—yang juga
jadi ajang pembuktian kepiawaian Della mengontrol luapan emosi—menyiratkan bahwa
kunjungan kali ini terasa lebih personal bagi Arini. Dugaan jika Love Inc. bukan
sekadar tempat Arini bekerja turut menguat.
Andibachtiar Yusuf mengulangi pencapaiannya
di departemen penyutradaraan lewat kepekaan menangkap emosi suatu momen, dan
menjadikan filmnya tidak semata pameran gambar cantik. Tidak kalah mengagumkan
adalah perhatian Andibachtiar terhadap detail peristiwa yang bertempat di belakang
fokus kamera. Contohnya di adegan pembuka. Daripada hanya memakai figuran, ia
menempatkan Buncun (Bastian Steel) si putera bungsu bersama istrinya, Endah
(Taskya Namya). Keduanya cuma duduk menikmati makanan , tapi itu saja sudah
cukup menghidupkan sebuah peristiwa. Atau sewaktu Ican mengobrol dengan Ibrahim
(Yayu Unru) sementara di belakang, orang-orang asyik bermain domino, dengan
gestur serta suara yang tidak terlalu besar sampai mengganggu fokus, namun
tidak terlalu kecil agar penonton bisa menyadari eksistensi mereka.
KELAM (2019)
Rasyidharry
Oktober 26, 2019
Amanda Manopo
,
Aura Kasih
,
Erwin Arnada
,
Evan Sanders
,
Fajar Umbara
,
Giselle Tambunan
,
horror
,
Indonesian Film
,
REVIEW
,
Rina Hassim
,
Sangat Jelek
4 komentar
Setidaknya Kelam adalah film yang jujul secara penjudulan. Kalau kualitasnya terus
begini, masa depan horor kita memang KELAM. Dan jika rutin mengikuti
perkembangan horor lokal, anda bisa menebak apa yang ditawarkan karya teranyar
Erwin Arnada (Rumah di Seribu Ombak, Guru
Ngaji, Tusuk Jelangkung di Lubang Buaya) ini. Ambil contoh departemen musik
dan tata suara. Dentingan piano bernada minor ala kadarnya mengiri momen
dramatik berisi obrolan memosankan, dentuman berisik di tiap jump scare, lalu ketika film berakhir
sayup-sayup terdengar teriakan penyesalan dari batin anda setelah membuang
waktu juga uang.
Kelam ibarat mayat hidup. Film yang dibuat tanpa semangat, tanpa
usaha menjadi lebih baik. Semua bermain sesuai pola. Sebuah pola buruk yang
didasari pemikiran “Sejelek ini aja bisa laku kan?”. Bahkan jajaran pemainnya,
termasuk Aura Kasih, tampak luar biasa bosan, seolah ingin sesegera mungkin
menyelesaikan proses produksi.
Aura Kasih memerankan Nina, yang
kembali pulang setelah delapan tahun, ketika sang ibu, Dewi (Rina Hassim),
terserang stroke ringan. Ada perselisihan masa lalu yang jadi penyebab retaknya
hubungan ibu dan anak itu, namun Nina menyembunyikannya, termasuk dari Fenny
(Amanda Manopo), adiknya. Datang bersama puteri kecilnya, Sasha (Giselle
Tambunan), Nina berharap bisa menyambung tali silaturahmi. Tapi rencana
tersebut buyar ketika Sasha mulai bertingkah aneh setelah mendadak pingsan di
suatu malam.
Salah satu keanehan Sasha adalah
saat Nina hendak menceritakan dongeng Puteri Salju, bocah itu menjawab, “Sudah
ada yang menceritakannya!”. Ingin saya bertanya pada Fajar Umbara (Mata Batin, Sabrina, Ikut Aku ke Neraka)
selaku penulis naskah. “Kenapa Sasha bicara begitu formal? Apa dia kerasukan
hantu Jaka Sembung? Atau arwah guru les Bahasa Indonesia?”. Kasihan hantu-hantu
di film horor medioker negeri ini yang terjebak stereotip, bahwa mereka selalu
bicara formal.
Semua elemen Kelam tampil malas. Salah satunya tata rias dan kostum yang
kualitas jongkoknya amat kentara sewaktu Nina mandi dalam kondisi masih memakai
bulu mata lentik serta alis mata tebal. Pun manusia mana di muka bumi ini yang
mandi sambil memakai semua cincinnya? Alurnya tidak kalah malas. Fokus Fajar
Umbara hanyalah menyembunyikan jawaban misteri—yang sudah bisa ditebak sejak
menit-menit awal—lewat beberapa elemen pencipta misleading nihil dampak yang dipaksakan hadir ketimbang membangun jalinan
misteri mumpuni.
Kemalasan-kemalasan di atas
berujung memproduksi kebodohan. Apa perlunya kemunculan Rico (Evan Sanders) si
mantan pacar Nina? Kalau untuk menegaskan bahwa membalas mereka yang berbuat
buruk padanya merupakan tujuan sang hantu, tidak bisakah memakai metode lain
daripada sebuah kebetulan ala sinetron? Nantinya twist film ini terungkap ketika protagonis menemukan surat yang
disembunyikan karakter lain. Sesulit apa melenyapkan surat? Dibakar, dibuang,
disobek, dimakan. Ada sejuta cara.
Ah, sudahlah. Membahas alur hanya akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan tak berujung. Mari membicarakan
cara Erwin Arnada membangun teror. Dari total 75 menit, cuma satu adegan
berdurasi 2 detik yang mampu menyulut sedikit kengerian, yaitu ketika si hantu
bocah diam-diam melayang turun di samping Sasha. Dua detik dari total sekitar
4.500 detik penuh siksaan, sebelum ditutup oleh klimaks buru-buru yang berakhir
secepat kita buang angin dan konklusi menggelikan, saat Aura Kasih menatap
kosong ke arah kamera. Matanya bagai berteriak, “SEMOGA INI CEPAT BERAKHIR”. I feel you, sis.
SUSI SUSANTI: LOVE ALL (2019)
Rasyidharry
Oktober 25, 2019
Bagus
,
Biography
,
Daud Sumolang
,
Dayu Wijanto
,
Dion Wiyoko
,
Farhan
,
Indonesian Film
,
Iszur Muchtar
,
Laura Basuki
,
Moira Tabina Zayn
,
Raditya Mangunsong
,
Raymond Lee
,
REVIEW
,
Sim F
,
Sinar Ayu Massie
,
Syarika Bralini
10 komentar
Film bertema nasionalisme kita
cenderung seperti mesin, menyuarakan “Indonesia raya!” atau “Hidup merah putih!”
secara keras, lantang, tapi kosong. Sedangkan untuk film biografi, keharusan mencakup
sebanyak mungkin fase hidup karakternya melahirkan penceritaan tak mulus
berbentuk kumpulan segmen. Susi Susanti:
Love All menggabungkan keduanya sambil mengatasi kelemahan masing-masing
genre, guna menciptakan salah satu tontonan terbaik tahun ini.
Ditulis naskahnya oleh lima nama:
Syarika Bralini, Raditya Mangunsong (Kamulah
Satu-Satunya, Viva JKT48), Raymond Lee (Bajaj
Bajuri The Movie, Buffalo Boys), Daud Sumolang (Kebun Binatang), dan Sinar Ayu Massie (Sebelum Pagi Terulang Kembali, 6,9 Detik), film ini tidak memaknai
nasionalisme secara buta, namun mengajak penonton menelusuri maknanya lewat
frasa “love all” yang diucapkan wasit
bulutangkis di awal pertandingan saat kedudukan masih 0-0.
Kisahnya memang melompat mundur ke
masa kecil Susi Susanti (Moira Tabina Zayn), tapi itu bertujuan memasang
pondasi, bukan didasari pemikiran “Agar ceritanya selengkap mungkin”. Pondasi
soal bagaimana ia banting setir menekuni bulutangkis serta bagaimana hubungan dengan
ayah (Iszur Muchtar) dan ibunya (Dayu Wijanto) membentuk Susi sebagai atlet
maupun individu. Pondasi yang cukup sebagai bekal sebelum melangkah ke fase dewasa
Susi.
Nama Susi Susanti (Laura Basuki)
melesat cepat, dan berhasil mengharumkan nama bangsa berkat sumbangan banyak juara,
khususnya di Piala Sudirman 1989 dan Olimpiade 1992, yang menjadikannya
pemenang medali emas Olimpiade pertama asal Indonesia. Tapi ini tidak
sesederhana “berlatih-juara-semua bahagia”. Sebab saat itu negeri ini tengah
bergejolak. Krisis moneter mencekik, sementara tindak rasisme terhadap warga
keturunan Cina semakin gencar. Bahkan meski menjuarai Olimpiade, status
kewarganegaraan Susi tak kunjung dipastikan.
Di sinilah Susi Susanti: Love All membuat kalimat “Memasyarakatkan Olahraga
dan Mengolahragakan Masyarakat” yang dikampanyekan Try Sutrisno (Farhan) bukan
sebatas jargon, tanpa harus melontarkan kalimat-kalimat bernada nasionalis. Melalui bulutangkis Susi belajar makna persatuan, kemudian
melalui bulutangkis pula ia menyatukan. Dia hargai perbedaan termasuk menjalin
hubungan baik dengan lawan tatkala para pemimpin bangsa mendengungkan pesan
serupa namun bertingkah sebaliknya, yang disindir oleh film ini dalam adegan “senam
pagi” yang singkat tapi menggelitik.
Punya cakupan kisah selama belasan
tahun, naskahnya mampu memilah titik mana saja dalam hidup Susi Susanti yang
substansial untuk diangkat, pun (dibantu mulusnya penyuntingan), jeli menjembatani
satu momen dengan lainnya. Contoh terbaik adalah ketika selepas pernikahan Susi
dan Alan Budikusuma (Dion Wiyoko), kerusuhan pecah. Sekilas dua peristiwa itu
tak berkaitan, bahkan (mungkin) tidak terjadi berdekatan, namun muncul dinamika
berupa kontradiksi antara kebahagiaan dan kepiluan. Bukan cuma keterkaitan narasi
yang film ini ciptakan, juga rasa.
Tentu Sim F yang menjalani debut
penyutradaraan solo setelah sebelumnya ambil bagian menggarap segmen Kotak Coklat di omnibus Sanubari Jakarta (2012) turut berjasa
besar. Saya mengenal namanya di era MTV Ampuh sebagai sutradara beberapa video
klip Peterpan seperti Menghapus Jejakmu dan
Walau Habis Terang. Sim F membuktikan
bahwa sutradara video klip tidak hanya jago bermain visual kala berhasil
membangun atmosfer meyakinkan di partai final Piala Sudirman yang sarat
intensitas sampai teror mencekam di tengah kerusuhan. Satu-satunya kelemahan
justru terletak di visual berhiaskan “filter
Instagram” yang menghilangkan kesan organik kisahnya.
Tapi apa guna film biografi tanpa dibarengi
akting mumpuni? Laura Basuki bersinar baik di dalam maupun luar pertandingan. Pada
final Piala Sudirman kita bisa melihat transisi Susi, dari set pertama yang
dikuasai keraguan, lalu menemukan ketenangan di set kedua, sebelum tampil penuh
percaya diri di babak puncak. Pun air mata Laura ketika lagu kebangsaan berkumandang
pasca kemenangannya, ampuh menyentuh hati sekaligus memantik nasionalisme.
Sedangkan di luar lapangan, seharusnya tiada lagi yang meragukan kombinasi
Laura Basuki-Dion Wiyoko sebagai salah satu pasangan penghasil chemistry terkuat di perfilman
Indonesia, sebagaimana Susi Susanti: Love All berhasil menjadi salah satu film biografi/olahraga Indonesia terbaik dalam beberapa tahun terakhir.
ZOMBIELAND: DOUBLE TAP (2019)
Rasyidharry
Oktober 22, 2019
Abigail Breslin
,
Avan Jogia
,
Comedy
,
Cukup
,
Dave Callaham
,
Emma Stone
,
Jesse Eisenberg
,
Paul Wernick
,
REVIEW
,
Rhett Reese
,
Rosario Dawson
,
Ruben Fleischer
,
Woody Harrelson
,
Zoey Deutch
8 komentar
Ada kesulitan lebih terkait
pembuatan sekuel untuk film yang merengkuh kesuksesan berkat kesegaran kemasannya,
yaitu bagaimana menjaga, atau lebih baik lagi menambah, kesegaran itu. Rilis
satu dekade selepas Zombieland yang
digemari karena kreativitasnya, Zombieland:
Double Tap mengembalikan jajaran pemain lama, sutradara sekaligus penulis
naskah lama, dan sayangnnya formula lama juga turut serta. Serupa judul bertema
zombie kebanyakan, ini sekadar pengulangan.
Tapi tidak bisa dipungkiri,
pengulangan itu masih menyenangkan. Kita tahu adegan pembuka bakal mengadu
karakter manusia melawan zombie dalam balutan gerak lambat serta musik rock (kali
ini Master of Puppets-nya Metallica),
pun kita tahu momen ikonik “Zombie Kill
of the Week”—yang ditingkatkan jadi “Zombie
Kill of the Year” akan muncul. Semuanya menghibur, tapi akibatnya, Zombieland: Double Tap dibangun
berdasarkan checklist layaknya fan service.
Beberapa tahun setelah film
pertama, Columbus (Jesse Eisenberg), Tallahassee (Woody Harrelson), Wichita
(Emma Stone), dan Little Rock (Abigail Breslin) telah tumbuh bersama sebagai
satu “keluarga disfungsional”. Mereka menetap di White House yang aman,
sementara zombie di luar mulai berevolusi menjadi beberapa jenis—yang
dijabarkan melalui sekuen menggelitik di paruh awal—di mana salah satunya disebut
T-800, yakni zombie dengan kekuatan juga daya tahan tinggi. Tidak cukup dua
kali tembak guna menghabisinya.
Digarap oleh dua penulis film
pertama, Rhett Reese dan Paul Wernick, ditambah David Callaham (The Expendables, Wonder Woman 1984),
apabila Zombieland membahas posisi
manusia selaku makhluk sosial, maka Zombieland:
Double Tap mengupas soal keluarga. Wichita merasa Columbus terburu-buru
membawa hubungan mereka ke jenjang lebih lanjut, sedangkan Little Rock
terganggu atas ketidakpekaan Tallahassee, yang selama ini bertindak sebagai
figur ayah. Ketika Little Rock yang sudah beranjak remaja ingin merasakan romansa,
Tallahassee justru menghadiahkan pistol.
Wichita dan Little Rock memutuskan kabur
(lagi). Di tengah sakit hati akibat ditinggalkan sang kekasih, Columbus bertemu
Madison (Zoey Deutch). Menghabiskan bertahun-tahun sembunyi di ruang pendingin
tanpa terpikirkan untuk mematikan sistem pendingin, bertingkah genit,
repot-repot membawa berbagai koper besar di tengah zombie apocalypse, Madison memenuhi semua stereotip “gadis pirang
bodoh”, yang selalu mencerahkan suasana di tiap kemunculan berkat totalitas komedi
Zoey Deutch dalam berlagak hiperbolis.
“Daripada tidak ada wanita lain”,
mungkin begitu pikir Columbus saat mengiyakan permintaan Madison berhubungan
seks, tanpa tahu bahwa di malam yang sama, Wichita kembali. Bukan untuk pulang,
melainkan mengambil senjata untuk mencari Little Rock yang kabur bersama
Berkeley (Avan Jogia), seorang hippie anti-kekerasan
yang menolak mempersenjatai diri.
Sisanya adalah petualangan berupa pengulangan
film pertama. Emma Stone tetap jago memancing tawa (tidak semua orang bisa menirukan
velociraptor selucu dia) tapi lemparan humor Zombieland: Double Tap kerap meleset. Penonton, khususnya penggemar
film pertama, akan mengangguk-angguk puas menyaksikan pengulangan momen-momen
ikonik dari judul sebelumnya, namun karena berupa pengulangan, ledakan tawa
yang dihasilkan tak sebesar film pertama.
Lain halnya dengan aksi. Sepuluh
tahun berselang, penyutradaraan Ruben Fleischer masih bertenaga, piawai meramu
pengadeganan dinamis, yang disempurnakan oleh ketidakraguan membanjiri layar
dengan darah dan ceceran organ tubuh zombie. Kini, adegan aksi bukan cuma
panggung Woody Harrleson seorang. Rosario Dawson sebagai Nevada yang memikat
hati Tallahassee sang serigala penyendiri, juga ambil bagian, menegaskan kalau Zombieland: Double Tap merupakan tempat
para penampil wanita bersinar.
Berkaca pada pengulangan yang telah
disinggung di atas, tidak mengejutkan kala naskahnya kurang matang mengolah
konflik bertema keluarga miliknya, termasuk fase konklusi yang terburu-buru.
Mendadak semua masalah berakhir begitu mudah, membuat segala jalan terjal yang
karakternya lalui terkesan percuma. Beruntung Zombieland: Double Tap tidak ditutup di titik nadir, ketika mid-credits scene-nya memproduksi humor
paling jenius sepanjang film.
PEREMPUAN TANAH JAHANAM (2019)
Rasyidharry
Oktober 18, 2019
Aghi Narottama
,
Ario Bayu
,
Bagus
,
Bemby Gusti
,
Christine Hakim
,
horror
,
Ical Tanjung
,
Indonesian Film
,
Joko Anwar
,
Marissa Anita
,
Mian Tiara
,
REVIEW
,
Tara Basro
,
Tony Merle
53 komentar
Setelah sedikit dikecewakan oleh Gundala, Perempuan Tanah Jahanam mengingatkan
lagi alasan kekaguman saya terhadap film-film Joko Anwar. Tidak ada batasan,
baik terkait moralitas maupun kreativitas, sehingga terlahir karya yang bebas
nan segar. Kali ini Joko mengawinkan gagasan soal kasih sayang orang tua dalam
keluarga disfungsional dengan lingkaran setan bernama kutukan.
Kredit pembuka di mana nama-nama
bak terlukis di atas kelir (layar pertunjukan wayang kulit) diiringi musik
bernuansa gamelan (digawangi trio Aghi Narottama-Bemby Gusti-Tony Merle plus
Mian Tiara, scoring-nya ampuh
membangun atmosfer sepanjang durasi), membuat Perempuan Tanah Jahanam langsung mencengkeram sedari awal.
Bahkan sejak sebelum itu, tepatnya
pada adegan pembuka saat dua sahabat yang bekerja sebagai penjaga gerbang tol, Maya
(Tara Basro) dan Dini (Marissa Anita), mengobrol lewat telepon sembari menanti
berakhirnya shift malam mereka. Kembali,
Joko memamerkan kebolehan merangkai interaksi kasual, yang tak jarang
mengandung pokok pembicaraan remeh cenderung nyeleneh, namun di situlah realisme terbangun. Meski sayang,
lagi-lagi karakter Joko mengidap “penyakit” berupa artikulasi yang sering
rancu.
Pembicaraan Maya dan Dini ditutup
teror mencekam, yang turut menyibak sebuah rahasia. Maya akhirnya mengetahui
siapa orang tua sekaligus kampung halamannya, yang terletak di Desa Harjosari.
Bukan cuma itu, ada kemungkinan sebuah warisan melimpah telah menantinya.
Sedang kesulitan uang, kedua wanita ini memutuskan berangkat ke Harjosari,
tanpa tahu jika selain warisan, bahaya besar pun menanti mereka.
Sense of impending doom. Perasaan itu yang Joko ingin
penontonnya rasakan. Dari penampakan-penampakan makhluk gaib—walau tak semencekam
dan sekreatif Pengabdi Setan, jump scare buatan
Joko masih jauh dari murahan—sampai keanehan suasana Desa Harjosari. Sekilas
warga di sana bersikap ramah, termasuk Ki Saptadi (Ario Bayu) si kepala desa
yang tinggal bersama sang ibu, Nyi Misni (Christine Hakim), namun aroma
ketidakberesan tercium pekat.
Aroma yang makin kuat sewaktu Dini
mengambil sebuah keputusan nekat, yang bagai jadi gerbang pembuka menuju
kegilaan-kegilaan Perempuan Tanah Jahanam.
Perihal intensitas, kelebihan Joko dibanding sutradara lain adalah kemampuan
memanfaatkan talenta pemain untuk menghidupkan ketakutan di tengah suasana
darurat. Mentah, bak tanpa polesan. Tara Basro, dengan penampilan memadai,
boleh jadi tokoh utama, tapi Marissa Anita adalah bintang pertunjukan. Diperlihatkannya
definisi “efortless” dalam akting,
entah lewat luapan rasa takut yang akan membuat jantung penonton ikut berdebar,
atau menangani obrolan santai dengan sedikit bumbu komedi.
Dua metode penghantaran horor Joko
terapkan di sini, yaitu melalui pemandangan disturbing
dan atmosfer. Saya tidak bisa mengungkap detail kekerasan apa saja yang
film ini simpan, tapi pastinya Joko tak ragu bermain-main dengan tubuh manusia.
Darah jelas mengalir di tanah jahanam Harjosari. Mengenai atmosfer, Joko,
dibantu sang sinematografer langganan, Ical Tanjung, menggunakan sorotan lampu kuning
kala malam hari, khususnya pada tempat di mana mistisisme berpusat. Bagai ada kabut
pekat menyesakkan dari alam lain sedang menyelubungi Harjosari. Ditambah latar rumah-rumah
remang, keangkeran timbul tanpa perlu ada makhluk halus bertampang mengerikan
menampakkan diri.
Kelemahan Perempuan Tanah Jahanam terletak di satu elemen naskah. Setelah
secara apik mengimplementasikan budaya klenik tanah Jawa, naskahnya tersandung
urusan pemaparan jawaban misteri. Joko menyisihkan dua titik di alur untuk
menjabarkan tabir kebenaran secara gamblang. Saya merasa ini bentuk kompromi
Joko kepada penonton awam, mengingat kegamblangan bukan sesuatu yang identik
dengan karyanya. Tapi masalah terbesar bukan soal “seberapa gamblang”,
melainkan bagaimana proses menyuapi informasi itu, terjadi berkepanjangan, dan
diletakkan di tengah babak ketiga, sehingga melucuti intensitas.
Klimaksnya sendiri, meski tetap
mengalirkan darah pula menampilkan tragedi, kekurangan daya bunuh. Ketika saya
sudah bersiap menerima dikecewakan oleh resolusinya, Joko melemparkan momen
final. Momen penutup ini—menghadirkan wajah familiar selaku cameo serta Christine Hakim yang melengkapi
keberhasilannya memancing ngeri sepanjang film—menusuk jantung bermodalkan
intensitas luar biasa, berkat kemampuan Joko memadukan timing kejutan, grafik disturbing,
tempo tinggi, serta dua sumber suara, yakni musik dan teriakan manusia. Hanya
segelintir sutradara bisa mengkreasi kegilaan semacam itu. Berbagai kekurangan
yang sebelumnya muncul pun terbayar lunas, menegaskan film ini memang jahanam!
THE BAD GUYS: REIGN OF CHAOS (2019)
Rasyidharry
Oktober 17, 2019
Action
,
Crime
,
Don Lee
,
Han Jung-hoon
,
Jang Ki-yong
,
Kang Ye-won
,
Kim Ah-joong
,
Kim Sang-joong
,
Korean Movie
,
Lumayan
,
Ma Dong-seok
,
REVIEW
,
Son Young-ho
2 komentar
Mencapai titik ini, nama Ma
Dong-seok alias Don Lee sudah menjadi merk dagang yang cukup paten, istilah
“Film Don Lee” pun bisa dipakai untuk mengategorikan suguhan aksi di mana si
jagoan mampu merontokkan lawan-lawan atau meruntuhkan bangunan hanya dengan
sekali pukul. Banyak tampil di film serupa berpotensi menimbulkan kejenuhan terhadap
kemunculan sang aktor, tapi The Bad Guys:
Reign of Chaos menunjukkan bahwa titik jemu itu belum tiba.
Melanjutkan cerita serial televisi Bad Guys (2014), penonton yang belum
sempat mencicipinya tidak perlu khawatir, sebab naskah buatan Han Jung-hoon
yang juga merupakan penulis serialnya, berbaik hati menawarkan eksposisi berupa
flashback yang dikemas dengan gaya
ala Sin City oleh sutradara Son Young-ho
(The Deal), tanpa perlu menjadi rekap
yang diselipkan paksa di tengah alur. Detektif Oh Gu-tak (Kim Sang-joong)
membentuk tim khusus berisi para narapidana guna memburu kriminal tanpa
terkekang hukum yang berlaku. Anda perlu tahu itu saja.
Salah satu anggota timnya adalah
Park Woong-cheol (Don Lee), gangster ternama yang berusaha memulai hidup baru
di penjara. Ketika sebuah bus pembawa narapidana diserang oleh oknum tak
dikenal, membuat banyak kriminal berbahaya kabur, bahkan membuat Yoo Mi-yeong
(Kang Ye-won)—polisi sekaligus mantan anggota tim Gu-tak—cedera parah, Woong-cheol
dan Gu-tak kembali bersatu, kali ini dibantu dua tahanan: penipu ulung Kwak
No-soon alias Jessica (Kim Ah-joong) dan Ko Yoo-sung (Jang Ki-yong) si mantan
polisi.
Jangan berharap banyak pada alur
yang pada dasarnya cuma membagi 114 menit durasi ke dalam beberapa fase
berformula sama, yakni usaha para protagonis memburu satu per satu buronan.
Tidak ada teka-teki maupun belokan signifikan (kecuali satu twist yang tak seberapa substansial dan
mengejutkan), melewatkan beberapa menit kisahnya takkan banyak berpengaruh. Pun
usaha menambah bobot emosi melalui hasrat balas dendam Woong-cheol juga hanya
pernak-pernik medioker.
Tapi siapa mengharapkan kisah
mendalam apalagi revolusioner dalam film yang menjadikan Don Lee jualan utama? The Bad Guys: Reign of Chaos menebus
kelemahan pondasi cerita lewat gempuran laga beroktan tinggi dari aksi Don Lee
membabat jajaran kriminal yang ditakuti, dari pembunuh berantai sampai bos
yakuza, hanya bersenjatakan kepalan tangan bak godam kokoh. Sekali hantam,
dua-tiga nyawa melayang. Don Lee tidak butuh gore agar penonton meringis kesakitan (atau bersorak
gembira?) menyaksikan serangannya. Seolah menyesuaikan gaya si tokoh utama,
adegan laga yang tak melibatkan Don Lee pun dikemas gahar oleh Young-ho. Saat
mobil dan/atau truk bertabrakan, mereka bukan hanya beradu, tapi saling
menghancurkan.
Melengkapi Don Lee, turut mencuri
perhatian adalah Kim Ah-joong sebagai femme
fatale yang memadukan sensualitas dengan kejenakaan, pula mulus membangun chemistry kaya dinamika bersama tiga
rekan timnya. Kombinasi keempat pembasmi kejahatan gila ini memang berdaya
tarik tinggi, sebab Jung-hoon cermat perihal menyelipkan bumbu humor dalam
naskahnya. Bahkan Woong-cheol yang ditakuti banyak orang pun kerap memancing
tawa lewat kegemarannya melempar “pepatah bijak”. Seluruh departemen milik The Bad Guys: Reign of Chaos memang
kompak mengusung satu tujuan, yaitu bersenang-senang. Kalau tidak, mustahil
tercetus ide usil menyelipkan lagu Rebirth
kepunyaan Yoon Jong-shin (generasi sekarang mungkin mengenal lagu itu lewat
versi yang dibawakan girl group Red
Velvet) di sebuah momen komedik.
MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL (2019)
Rasyidharry
Oktober 17, 2019
Angelina Jolie
,
Elle Fanning
,
Fantasy
,
Harris Dickinson
,
Henry Braham
,
Joachim Rønning
,
Kurang
,
Linda Woolverton
,
Micah Fitzerman-Blue
,
Michelle Pfeiffer
,
Noah Harpster
,
REVIEW
,
Robert Lindsay
3 komentar
Maleficent: Mistress of Evil dibuka lewat aerial shot memukau, menangkap lanskap kerajaan Moors yang dibuat
menggunakan CGI. Tapi begitu kisah mulai diperkenalkan, ketika Puteri Aurora
(Elle Fanning) mengumpulkan makhluk-makhluk Moors guna mendengar keluh kesah
mereka, kemegahan itu digantikan oleh sekuen kekanak-kanakan, lengkap dengan
humor slapstick yang akan membuatmu
tersenyum canggung. Transisi tersebut cukup menggambarkan keseluruhan filmnya,
yang berjaya saat pamer visual, lalu terjatuh ketika bercerita.
Lima tahun setelah film pertama, kedamaian
tercipta di Moors, meski masyarakat sekitar masih takut kepada Maleficent
(Angelina Jolie) akibat berita tentangnya yang meracuni Aurora, tersebar luas.
Tapi bukan itu yang dikhawatirkan sang “mistress
of evil”, melainkan saat puteri angkatnya menerima pinangan Pangeran
Phillip (Harris Dickinson) dari Kerajaan Ulstead. Semakin mengkhawatirkan kala
orang tua Phillip, Raja John (Robert Lindsay) dan Ratu Ingrith (Michelle
Pfeiffer) mengundangnya makan malam.
Maleficent: Mistress of Evil paling menghibur saat Jolie membawa
kejenakaan dari ketidakmampuan karakternya menghadapi undangan makan malam, di
mana ia dituntut beramah tamah dengan manusia, yang mana begitu asing baginya.
Sejak film pertama Jolie telah menghembuskan kehangatan di balik kegelapan
sosok Maleficent, dan kali ini ia menambah dinamika baru lewat humor.
Tapi tawa itu tidak berlangsung
lama. Situasi memanas sewaktu Ingrith mulai menebar provokasi, memancing amarah
Maleficent, lalu berpuncak pada tuduhan bahwa Maleficent mengutuk Raja John,
membuatnya koma. Perang antar kerajaan pun tak terelakkan, sayangnya sebelum
perang itu sempat menghancurkan kedua kubu, filmnya sudah lebih dahulu dirusak
oleh buruknya penggarapan.
Naskah garapan Micah
Fitzerman-Blue, Noah Harpster, dan Linda Woolverton berusaha melakukan banyak
hal, dari mengangkat lagi tema ibu-anak, menyelipkan pesan persatuan, sampai
menggali mitologi di balik sosok Maleficent, tapi tak satu pun tampil menarik. Datar,
khususnya akibat penulisan dialog membosankan, sebab deretan kalimatnya bak
ditulis hanya karakternya harus berbicara alias obligasi semata.
Satu-satunya poin menarik mengenai
eksplorasi mitologinya adalah tatkala Maleficent, tanpa mengenakan penutup
tanduknya, terbangun di sebuah tempat asing yang seperti tersusun atas akar-akar
pohon berwarna putih. Jolie, dengan riasan wajah pucat, tanduk menjulang, dan
rambut panjang tergerai tampil layaknya sosok menakjubkan dari negeri dongeng,
sementara tata artistiknya membantu sinematografer Henry Braham (The Golden Compass, Guardians of the Galaxy
Vol. 2) melahirkan visual memesona.
Memang tidak ada keluhan terkait
bagaimana Maleficent: Mistress of Evil memanjakan
mata, namun Joachim Rønning (Kon-Tiki,
Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales) yang untuk pertama kali
menyutradarai solo tanpa ditemani Espen Sandberg, tak kuasa menjadikan filmnya
lebih dari sekadar parade visual. Adegan-adegannya nihil intensitas, bahkan ia gagal
memaksimalkan standoff antara Jolie
dan Pfeiffer yang semestinya monumental, biarpun kharisma kedua nama besar ini
terlalu kuat untuk bisa dihalangi oleh lemahnya penyutradaraan.
Elle Fanning berusaha sekuat tenaga
bermain emosi, sayang, naskahnya mengkhianati usaha sang aktris ketika
menjadikan Aurora salah satu Disney
Princess terbodoh yang sukar menggaet simpati. Kebodohan yang menyulitkan
Aurora berdiri sejajar di antara rekan-rekannya, pada masa di mana Disney
tengah gencar membangun citra “wanita
kuat” bagi puteri-puterinya.
HUSTLERS (2019)
Rasyidharry
Oktober 14, 2019
Bagus
,
Cardi B
,
Constance Wu
,
Crime
,
Drama
,
Jennifer Lopez
,
Julia Stiles
,
Keke Palmer
,
Lili Reinhart
,
Lizzo
,
Lorene Scafaria
,
REVIEW
,
Usher
,
Wai Ching Ho
7 komentar
Diangkat dari artikel bertajuk The Hustlers at Scores buatan Jessica Pressler
yang dipublikasikan majalah New York pada 2015, Hustlers membungkus feminisme dalam sampul bernama keluarga yang
memayungi wanita-wanita bermental baja. Kata “keluarga” memegang kunci. Hustlers mampu memilah, mana perjuangan
yang didorong keinginan saling membantu sebagai satu “keluarga”, mana yang
semata hasutan keserakahan dan kemarahan.
Perspektif di atas patut dirayakan,
sebab kisahnya berjalan di area ambigu kriminalitas. Sedikit saja salah
melangkah, tercipta justifikasi atas nama empowerment.
Tapi sutradara sekaligus penulis naskah Lorene Scafaria (Seeking a Friend for the End of the World, The Meddler) tidak
buru-buru memaparkan elemen kriminalnya. Terlebih dulu kita diajak menilik
latar belakangnya, melalui sudut pandang Destiny (Constance Wu) yang tengah
diwawancarai oleh jurnalis bernama Elizabeth (Julia Stiles) pada 2014.
Mundur menuju tujuh tahun sebelumnya,
Destiny baru memulai karir sebagai penari telanjang di Moves, klub yang akan membuat pecinta musik kegirangan karena di situlah nama-nama seperti Cardi B, Lizzo, sampai Usher muncul dalam peran singkat namun berkesan. Dituntut
membiayai hidup neneknya (Wai Ching Ho), Destiny justru kesulitan memperoleh
uang akibat belum menguasai teknik memikat pelanggan. Beruntung ia berkenalan
dengan Ramona Vega (Jennifer Lopez) sang primadona, yang dimintanya berbagi
ilmu. Berawal dari hubungan tutor-murid, perlahan tumbuh persahabatan.
Selain ajang unjuk gigi kepiawaian Jennifer
Lopez yang berlatih pole dance selama
2,5 bulan sebelum proses produksi, sekuen di mana Ramona pertama kali mengajari
Destiny menari juga memperlihatkan sensitivitas Scafaria terkait penerjemahan
rasa ke dalam adegan. Ketimbang musik dansa elektronik, alunan komposisi bak
musik klasik dari dentingan piano justru dipakai. Pole dance di klub yang biasanya identik dengan seksualitas
dipancarkan keindahan estetikanya, sebagaimana jajaran karakternya yang merobohkan
stigma negatif profesi penari telanjang.
Pernah menulis naskah Nick & Norah’s Infinite Playlist (2008)
yang menjadikan musik selaku elemen penting serta pernah merilis album musik,
Scafaria terbukti handal perihal mengawinkan departemen audio dan visual. Di adegan
yang menggambarkan mimpi buruk Destiny, sang sutradara memilih mematikan semua
suara kecuali iringan piano bertempo tinggi untuk membangun intensitas yang
mengingatkan pada film-film bisu di masa lalu. Pun siapa sangka lagu Royal milik Lorde bisa mengangkat kesan
dramatis sebuah peristiwa, menjadikannya suatu pemandangan monumental.
Kembali ke cerita, berkat bimbingan
Ramona, Destiny berhasil mengumpulkan uang, sampai krisis ekonomi 2008 menerpa.
Para pelanggan kaya menghilang, Moves menderita kesulitan finansial, memisahkan
Destiny dan Ramona. Sempat mencoba melakukan pekerjaan lain, Destiny yang telah
menjadi ibu tunggal memilih kembali ke dunia malam di Moves. Tapi kondisi telah
berubah. Pekerja di sana diisi para imigran Rusia yang bersedia melakukan oral
seks (praktek yang sebelumnya dilarang) hanya demi $300.
Kecerdikan Scafaria menarik garis antara peristiwa nyata dengan pesan
tentang gender yang ingin disampaikan nampak di sini. Pria-pria pengunjung
peminta blow job ibarat pelaku
perbudakan yang ingin mengambil keuntungan dari kesusahan wanita-wanita
pekerja, sedangkan Destiny mewakili wanita yang menolak diperbudak. Nantinya
turut diungkap bahwa alasan para pria korban trik Destiny dan Ramona (trik
macam apa akan saya bahas) menolak melaporkan ke polisi adalah karena malu
telah menjadi korban wanita. Harga diri hasil kebanggaan maskulinitas mereka
terlampau tinggi, hingga berujung kebodohan.
Tapi Hustlers bukan tuturan dangkal hitam-putih yang membenarkan seluruh
perbuatan karakter wanitanya sembari menggambarkan mereka sebagai sosok
sempurna dan membuat semua pria terlihat buruk. Untuk mengulik itu, perlu kita
tengok dulu bagaimana Destiny dan Ramona bereuni. Bertemu kembali setelah
sekian lama, Ramona menawarkan metode penimbun uang baru. Bersama penari lain,
Mercedes (Keke Palmer) dan Annabelle (Lili Reinhart), Ramona berburu pria kaya yang
bersedia digoda, memberi minuman berisi campuran ketamin dan MDMA guna
menghilangkan memori serta kesadaran, lalu menguras kartu kredit mereka.
Destiny beredia ikut serta.
Hustlers pun beralih menyentuh genre heist yang dikemas menyenangkan, khususnya karena Scafaria tahu
jika Hustlers sedang merambah sisi
hiburan miliknya. Beberapa sentuhan komedi dengan ketepatan timing efektif menyegarkan suasana.
Penonton pun bisa lepas tertawa, sebab korban yang dipilih protagonisnya
merupakan pria-pria kaya hidung belang. Pun kelak, kejatuhan mereka dipicu
kesalahan memilih korban akibat keserakahan yang tak terkontrol, menegaskan
bahwa film ini bukan empowerment yang
“buta”.
Bukannya penceritaan Hustlers nihil cela. Memasuki titik
balik di mana hubungan kekeluargaan karakternya mulai menemui
benturan-benturan, seolah ada keping kisah yang hilang, ada fase transisi yang
dilewati demi mempercepat progresi alur. Pun metode non-linear yang diterapkan
tidak sepenuhnya berlangsung mulus. Meski menampilkan keterangan latar tahun,
pertanyaan-pertanyaan seputar “Kapan pastinya suatu hal terjadi? Sebelum atau
setelah peristiwa ‘A’?”, dan sebagainya.
Beruntung lubang narasi di atas
bisa ditutupi kesuksesan Scafaria mengolah rasa. Baik penulisan dialog maupun
pengadeganannya dibuat dengan hati, yang terpampang nyata dalam pemandangan
emosional di depan kantor polisi, yang kekuatannya dibangun berdasarkan kalimat
“motherhood is a mental illness”. Constance
Wu yang sejak Crazy Rich Asians tahun
lalu mencapai level popularitas baru, membuktikan konsistensi performa lewat
caranya bermain rasa, namun bintang sesungguhnya adalah Jennifer Lopez.
Menampilkan akting terbaik
sepanjang karirnya, J.Lo ibarat rock star
dengan karisma tanpa tanding yang menguasai seluruh panggung bernama “layar”
(well, she’s actually a diva). Di
tangan Lopez, Ramona jadi sosok kompleks. Bukan rubah licik yang gemar menebar
tipu daya, melainkan wanita berhati pesar penuh kasih sayang yang terhimpit
realita. Dan ketika Lopez berjalan di depan kawan-kawannya dalam balutan gerak
lambat, dia bukan seorang pemimpin biasa. Dia adalah simbol.
CINTA ITU BUTA (2019)
Rasyidharry
Oktober 11, 2019
Chae In-woo
,
Comedy
,
Dodit Mulyanto
,
Fanya Runkat
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Rachmania Arunita
,
Renaldo Samsara
,
REVIEW
,
Romance
,
Shandy Aulia
1 komentar
Mengadaptasi film Filipina berjudul
Kita-Kita, karya penyutradaraan
teranyar Rachmania Arunita (penulis novel Eiffel...I’m
in Love) setelah absen 11 tahun lamanya sejak Lost in Love ini adalah film pertama yang total memaksimalkan
potensi komedi Dodit Mulyanto. Memasang Dodit sebagai pemeran utama membuatnya
lepas, bebas melontarkan ide-ide humor gilanya. Konyol. Terlalu konyol malah,
hingga Cinta itu Buta lalai
meluangkan waktu membangun rasa, yang mana substansial dalam paparan romansa.
Berlatar di Busan, Korea Selatan,
tokoh sentralnya adalah Diah (Shandy Aulia), pemandu wisata yang selama tiga
tahun terakhir telah bertunangan dengan pria lokal, Jun-ho (Chae In-woo), namun
pernikahan keduanya tak kunjung tiba, karena Jun-ho selalu beralasan bahwa ia
belum siap. Kemampuan Shandy melafalkan dialog memakai Bahasa Korea patut
diapresiasi, namun cara bertuturnya mengganggu. Saya memahami intensi mereplikasi
protagonis wanita drama Korea yang kerap bicara dengan aegyo, tapi bukan berarti gaya itu pantas diterapkan di semua
situasi.
Suatu malam, Diah akhirnya
mengetahui alasan Jun-ho menunda pernikahan. Begitu terpukul, Diah pun
kehilangan penglihatannya—membuat karakternya menderita penyakit jelas satu
dari berbagai unsur yang diterapkan naskah buatan Fanya Runkat dan Renaldo Samsara
(I Am Hope) supaya Cinta itu Buta tampil bak drama Korea. Anehnya,
di pagi hari berikutnya, Diah sudah mahir berjalan menggunakan tongkat. Padahal
itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, ditambah lagi (seharusnya) psikis
Diah masih terguncang.
Tapi biarlah. Setidaknya pasca
kejanggalan itu, filmnya memasuki babak baru yang jauh lebih menyenangkan berkat
kehadiran Nik (Dodit Mulyanto), yang mengunjungi Korea sebagai bentuk pelarian
sakit hati setelah diselingkuhi tunangannya. Nik ngotot membantu Diah,
membawakan makanan tiap pagi walau sang gadis menolak menyentuhnya. Lambat laun
Diah luluh, membiarkan Nik memasuki kehidupannya, membuatnya menyadari bahwa
tanpa melihat pun, ia tetap bisa merasa.
Kedatangan Nik bukan saja mengubah
hidup Diah, juga jalur filmnya, yang banting setir ke ranah komedi-romantis,
dengan proporsi komedi jauh lebih besar. Di sinilah Dodit bersinar, melepaskan
banyolan-banyolan gombal khasnya, disertai kelakar-kelakar aneh, yang semakin
absurd justru semakin efektif memancing tawa. Beberapa polahnya bakal terus
menggelitik, bahkan setelah filmnya usai, dari teriakan norak Nik kala
memanggil Diah tiap pagi, sampai improvisasinya di adegan “dangdut”.
Tapi bagi Cinta itu Buta, kelucuan Dodit ibarat investasi jangka pendek.
Selama paruh kedua, filmnya tampil menarik, kemudian menjadi bumerang kala
menginjak babak akhir yang mengedepankan elemen drama romantis. Benar bahwa
membuat dua tokoh utama tidak melulu tampil serius merupakan formula ampuh
pemancing simpati penonton sebab kita merasa bersenang-senang bersama mereka,
namun kedua protagonis film ini sama sekali tidak pernah serius. Tawa yang
hadir sekadar melahirkan kekonyolan, bukan membangun warna hubungan. Alhasil,
dampak emosional yang semestinya muncul berdasarkan gagasan manis “Saat bisa
melihat, kamu tidak bisa melihatku, tapi saat tidak bisa melihat, kamu baru
bisa melihatku”, gagal tersalurkan.
Kondisi semakin diperburuk oleh
kekacauan penceritaan. Atas nama kejutan, gerakan alurnya kerap menciptakan
disorientasi waktu. Pun konklusi yang memilih menggantungkan tanda tanya
ketimbang habis-habisan mengaduk rasa, ikut mengundang kejanggalan. Padahal
kalau drama Korea klasik jadi acuan (keberadaan penyakit hingga nasib buruk
yang tiba-tiba menimpa, mengingatkan pada judul-judul seperti Autumn in My Heart, Stairway to Heaven,
dan lain-lain), Cinta itu Buta seharusnya
bersedia menyentuh ranah melodrama daripada bersikap “malu-malu tapi mau”.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
13 komentar :
Comment Page:Posting Komentar