GONJIAM: HAUNTED ASYLUM (2018)

23 komentar
Saya sudah merasa cukup dengan horor found footage yang menggembar-gemborkan “less is more”. Didasari gagasan bahwa manusia lebih takut pada hal yang tak nampak, penonton dibiarkan berlama-lama menyaksikan ketiadaan, sebelum penantian itu berusaha ditebus oleh klimaks singkat. Dari situ, judul-judul macam The Blair Witch Project (1999) sampai Paranormal Activity (2007) tercipta, yang mana merupakan bentuk filmmaking kreatif, tapi bukan horor menyeramkan, setidaknya bagi penakut seperti saya. Tapi dalam Gonjiam: Haunted Asylum yang berlokasi di salah satu dari “7 tempat terangker” versi CNN, kekosongan terasa mencekam, sementara keheningan memancarkan ketidakamanan. Di satu sisi ini tentang rasa takut akan sesuatu tak terlihat, namun di sisi lain, juga soal rasa takut terhadap hal aneh yang dapat kita lihat.

Gonjiam: Haunted Asylum diisi pemuda-pemudi yang terobsesi meraup jutaan penonton di YouTube, memperoleh uang, juga gemar menguji nyali. Saya benci golongan yang disebut terakhir, karena saya tahu, segala sikap sok jago serta keberanian yang membuncah bakal seketika terhempas begitu para hantu mulai menampakkan diri. Menyenangkan kala filmnya menyajikan hal serupa, menghukum deretan karakternya yang nekat melakukan siaran langsung dari Rumah Sakit Jiwa Gonjiam demi menangkap peristiwa mistis sekaligus mengungkap misteri di dalamnya. Konon, seluruh pasien di sana tewas serentak, sementara sang direktur rumah sakit menghilang. Beragam konspirasi merebak, dari pembunuhan massal oleh sang direktur, sampai eksperimen rahasia pemerintah kepada manusia.
Skenario garapan Jung Bum-shik (juga sutradara) dan Park Sang-min urung memberi banyak porsi untuk eksplorasi misteri Gonjiam, membiarkan segalanya tersimpan di kegelapan. Alurnya sederhana, memakai formula standar found footage yang makan waktu sebelum mengungkap atraksi utama. Tapi momen sebelum karakternya melangkahkan kaki ke rumah sangkit angker itu tidak berjalan membosankan. Jajaran pemain tak memberi akting mendalam (dan memang tidak dituntut demikian), namun mereka tampak meyakinkan dalam bersenang-senang, menularkan perasaan serupa pada penonton, sebagaimana rasa takut berhasil ditularkan juga berkat akting tepat. Nihil penokohan mendalam, sebagai gantinya kita diberi tokoh-tokoh menarik, khususnya para wanita: A-yeon (Oh A-yeon) yang polos, Charlotte (Moon Ye-won) yang ceria nan glamor, Ji-hyun (Park Ji-hyun) yang antusias.

Begitu karakternya memasuki lokasi, siaran langsung dimulai. Filmnya dikemas dengan format serupa, sehingga di banyak kesempatan, kita berada di posisi penonton kanal YouTube Horror Times milik Ha-joon (Wi Ha-joon). Pun format tersebut turut memberi jalan Gonjiam: Haunted Asylum mengulur waktu menggunakan tayangan ulang yang beberapa kali mengiringi siaran langsung. Dengan demikian durasi dapat dihabiskan dan kekosongan alur bisa ditambal tanpa kesan dipaksakan. Untungnya Gonjiam: Haunted Asylum enggan semata bergantung pada trik tersebut. Senjata utama yang mampu dimaksimalkan Jung Bum-shik adalah atmosfer mencekam Rumah Sakit Gonjiam. Gelap, berantakan, memiliki begitu banyak sudut bagi para hantu untuk bersembunyi, tersebar begitu banyak benda untuk mereka “permainkan” guna menebar teror.
Keheningannya menyesakkan, alih-alih melelahkan, seperti dicontohkan tatkala kamera CCTV menyorot satu per satu ruangan rumah sakit. Sepi, kosong, tanpa satu pun penampakan makhluk halus. Biar demikian, kecemasan luar biasa mampu dihadirkan. Kecemasan yang didasari prasangka penonton yang “menanti” para hantu menampakkan wujud mereka. Sekalinya penampakan itu terjadi, Bum-shik mampu mengemasnya dengan efektif, cenderung mengerikan ketimbang mengejutkan. Sang sutradara paham betul, bagian mana dari hantu yang perlu diperlihatkan, dari sudut sebelah mana dan gerakan kamera seperti apa. Kemampuan yang akan menggiring kita menuju parade teror kelas wahid dalam 30 menit terakhir.

Pemandangan paling mengerikan dalam Gonjiam: Haunted Asylum, bahkan di film horor mana pun sepanjang tahun ini hadir pada setengah jam terakhir. Pemandangan yang bagai gabungan The Blair Witch Project (mengkreasi ulang momen paling ikonik di situ) dan Keramat (2009). Kalau anda sudah menonton found footage karya Monty Tiwa itu, tentu akan ingat sosok misterius yang bergerak lewat cara yang aneh. Charlotte dan Ji-hyun jadi karakter yang terlibat dalam teror yang alih-alih terasa selaku hasil rekayasa teknologi film, justru mencuatkan kesan mistis dan tidak beres yang natural. Singkatnya, mengerikan. Begitu mengerikan sampai semua yang hadir setelahnya, meski digarap solid, tak pernah mencapai tingkatan setara. Sajian menyeramkan dengan konklusi tragis yang tak hanya sulit dilupakan, pula memberi tamparan telak bagi kultur populer masa kini.

23 komentar :

Comment Page:

LOVE REBORN: KOMIK, MUSIK & KISAH MASA LALU (2018)

7 komentar
Banyak film percintaan remaja kita menyamakan romantisme dengan kalimat puitis, momen cantik nan dramatis, maupun gabungan keduanya. Sebagaimana celetukan tokoh utama film ini, “kayak film-film Michelle Ziudith”. Semua soal momen dan buaian verbal maha dahsyat, tapi jarang yang mempedulikan satu unsur penting, yakni “kebersamaan”. Dalam Love Reborn: Komik, Musik & Kisah Masa Lalu, dua tokoh utama kerap, bahkan nyaris selalu menghabiskan waktu bersama, di mana tercipta interaksi yang awalnya terjadi di tatanan pikir (adu ideologi, pertukaran pendapat), baru kemudian lanjut ke hati. Pun agar peduli akan percintaannya, penonton mesti sering dibawa menyaksikan dinamika tersebut. Love Reborn, meski penuh kelemahan, memiliki elemen vital itu.

Mengingat menghidupkan lagi film (dan sinetron) lawas dengan embel-embel “Reborn” di judul sedang tren, wajar kalau anda sempat mengira film ini merupakan lanjutan atau remake dari Love (2008), yang juga remake film berjudul sama asal Malaysia. Tapi bukan. Kata “Reborn” di sini mewakili proses karakternya menemukan lagi rasa cinta, yang seperti tampak pada sub-judul, erait kaitannya dengan kisah masa lalu. Namanya Kirei (Nadya Arina), komikus muda bertalenta yang apatis terhadap cinta setelah mendapati ayahnya meninggalkan sang ibu (Ira Wibowo). Bagi Kirei, cinta sebatas soal “siapa yang meninggalkan dan ditinggalkan”. Bahkan saat pria misterius bernama Wijaya (Donny Damara) mulai rutin datang, Kirei merasa takut andai sang ibu jatuh cinta lagi. Sebegitu buruk rupa cinta di matanya.
Wijaya rupanya adalah ayah Bagus (Ardit Erwanda), vokalis “Keras Kepala Band” yang memusuhi Kirei serta komunitas komiknya (atau cosplay?) di kampus. Selain Bagus, band ini terdiri dari Rindu (Rani Ramadhany), Jefry (Indra jegel), dan Sobirin (Jui Purwoto). Mereka membawakan lagu rock asyik berjudul “Freak” yang menyindir kegemaran Kira dan kawan-kawan kepada kultur populer Jepang dan mengesampingkan budaya lokal. Aneh sebenarnya, mengingat rock ‘n roll yang mereka anut pun bukan asli Indonesia, namun setidaknya personel “Keras Kepala Band” berjasa menghadirkan tawa. Jefry si playboy bertampang pas-pasan, Sobirin si anak mama, dan Rindu yang bak preman. Jika biasanya laki-laki berebut untuk berduaan dengan wanita cantik, di sini sebaliknya, karena mereka semua takut pada Rindu. Situasi yang lucu.
Kirei dan Bagus sepakat mengesampingkan perbedaan mereka, lalu bersama-sama menyelidiki ada hubungan apa antara orang tua keduanya. Berbagai tempat, bahkan sampai daerah pinggiran Bogor didatangi berdua, kemudian seperti bisa diduga, perlahan timbul asmara. Cinta itu terlahir kembali. Walau segala aral melintang dapat dihindari apabila mereka langsung menemui Wijaya di hotel yang selalu ia kunjungi, saya menikmati cara naskah garapan Bagus Bramanti (Mencari Hilal, Kartini) dan Gea Rexy (Dear Nathan, Yowis Ben) menyusun perjalanan berbasis napak tilas romansa masa lalu yang diisi oleh beragam landmark. Ya, semua romansa indah memang harus memiliki berbagai landmark.
Dari elemen estetika, sayangnya komik tak dipakai mempercantik tata visual sebagaimana musik kurang dimanfaatkan guna membangun emosi. Akad milik Payung Teduh membuat konklusinya manis, tapi itu lebih karena kekuatannya sebagai lagu yang berdiri sendiri ketimbang kejelian sutradara Jay Sukmo (Catatan Akhir Kuliah, The Chocolate Chance) mengawinkan bahasa visual dengan audio. Tambahan kreativitas—yang lebih dari sekedar mengumpulkan para cosplayer dalam pengadeganan canggung—bakal amat berguna bagi Love Reborn. Komik, musik, dan kisah masa lalu. Ada usaha menjadikan ketiganya terikat, walau akhirnya ikatan itu cuma berakhir di permukaan, alih-alih satu kesatuan yang saling mengisi tanpa bisa dipisahkan.
Setidaknya alasan Kirei dan Bagus jatuh cinta bisa diterima nalar dan hati. Kita menghabiskan cukup waktu bersama mereka, biarpun (lagi-lagi) pengadeganan canggung Jay Sukmo kerap melucuti romantisme. Ardit Erwanda masih kewalahan saat melakoni momen emosional. Belum lagi gabungan artikulasi berantakan plus sound mixing buruk membuat kalimat-kalimat dari mulutnya sulit didengar. Ditunjang penokohan yang juga lemah, karakter Bagus yang sering meletup-letup jadi kurang menarik simpati. Lain cerita dengan Nadya Arina pertengahan tahun nanti juga bakal tampil di Kafir. Cantik, jago mengolah emosi di takaran yang tepat, juga tak mati gaya ketika dituntut bicara tanpa kata, pemilihan arah karir yang sesuai berpotensi menjadikan gadis 20 tahun ini bintang di industri perfilman kita kelak.

7 komentar :

Comment Page:

TULLY (2018)

22 komentar
Film terbiasa membawa kita pada momen persalinan dramatis, entah digiring menuju haru, atau kekacauan menggelitik. Dalam Tully, si tokoh utama tenang-tenang saja ketika air ketubannya pecah. Malam menjelang persalinan ia pakai bermain ponsel, sedangkan pasca jabang bayi lahir, cuma sambil lalu disentuhnya ranjang si buah hati, sementara sang suami tidur pulas di kamar rumah sakit. Mungkin ini wujud “kebiasaan” mengingat bayi yang diberi nama Mia itu adalah anak ketiga. Mundur beberapa hari, seorang wanita sempat mengingatkan agar tidak mengonsumsi kafein, saran yang tak diacuhkan oleh protagonis kita.  Marlo (Charlize) bukannya bersikap masa bodoh pada calon buah hatinya. Mungkin berdasarkan dua pengalaman mengandung sebelumnya, kafein tidak berdampak baginya.

Kelahiran anak yang banyak orang anggap anugerah terkesan biasa bagi Marlo dan Drew (Ron Livingston). Satu, proses ini bukan kali pertama mereka alami. Dua, kelahiran Mia adalah awal segala kerepotan dan kesulitan tidur akibat tangisan tengah malam. Terdengar pesimis bahkan depresif, tapi dengan kolaborasi sutradara Jason Reitman (Up in the Air, Juno, Young Adult) dan Diablo Cody selaku penulis naskah (Juno, Young Adult, Jennifer’s Body), film ini tak pelak memproduksi setumpuk tawa. Banyak film bicara soal parenthood, namun Tully bukan film kebanyakan. Karena dalam film kebanyakan, Marlo bakal dibawa membuktikan bahwa sebagai wanita tangguh dia mampu merawat Mia seorang diri, dan Jonah (Asher Miles), puteranya yang mengidap gangguan perkembangan, bisa belajar di sekolah umum layaknya anak “normal”.
Walau merupakan ode terhadap motherhood, sembari memamerkan kekuatan seorang ibu, Tully juga menyatakan jika menempuh proses merawat anak lewat jalan “gampang” berupa bantuan pihak lain bukan suatu masalah. Di sini, bantuan tersebut datang dari Tully (Mackenzie Davis), seorang pengasuh malam hari, yang khusus bertugas menjaga bayi agar orang tuanya memiliki waktu beristirahat. Tully dan Marlo ibarat kutub berlawanan. Melalui keceriaan, semangat, serta bekal pengetahuan luasnya, Tully menjadi dinamo yang menggerakkan (kembali) hidup Marlo, sedangkan performa berenergi Mackenzie sendiri adalah dinamo yang menghidupkan sang titular character.

Percikan semangat Marlo boleh meredup nyaris di segala situasi, tetapi dalam filmnya, tidak ada penampil yang lebih bersinar dibanding Charlize Theron. Kebanyakan tokoh-tokoh hasil tulisan Diablo Cody adalah orang bermulut tajam yang bagai pantang kehabisan variasi kalimat guna melontarkan sarkasme. Dan Theron, sebagaimana pernah ia perlihatkan lewat Young Adult (2011) sempurna melakoni itu. Tapi aspek terbaik aktingnya berasal dari momen non-verbal. Frustrasinya terpancar kuat, pun begitu kaya caranya merespon omongan orang-orang. Belum lagi terkait transformasi tubuhnya, di mana Theron menambah berat badannya hampir 25 kg, supaya titik kala Marlo tertekan hingga enggan mempedulikan diri  tampak meyakinkan. Ingin tahu seberapa ekstrim transformasi Theron? Film ini melakukan pengambilan gambar mulai 22 September 2016, alias cuma sekitar 4 bulan pasca The Fate of the Furious (2017).
Jason Reitman tidak hanya membawa insting komedi, pula pengadeganan dinamis, khususnya sewaktu filmnya menampilkan rutinitas Marlo. Rutinitas itu boleh monoton, namun tidak dengan estetika pengemasannya, yang turut ditemani permainan tata suara rancak. Mengenai departemen audio, menarik mengamati deretan lagu yang dipakai. Begitu banyak lagu, meski mayoritas cuma terdengar sepersekian detik. Satu yang paling menonjol yakni versi Beulahbelle untuk You Only Live Twice milik Nancy Sinatra. Entah ini ide Cody atau Reitman, tapi menengok liriknya, lagu yang aslinya merupakan lagu tema film James Bond berjudul sama ini turut menjadi tease cerdik akan kejutan yang menanti di penghujung durasi.

Ketika twist serupa kerap dipakai film lain sebagai daya kejut semata, dalam Tully—biarpun penuh lubang ditinjau dari tatanan logika—kejutan itu memunculkan suatu hal yang mungkin banyak dari kita pernah alami. Kita sulit lepas dari diri kita di masa lalu, apalagi bila masa lalu tersebut kita anggap sebagai “era keemasan”. Bagi Tully, itu bukan perwujudan “gagal move on”, karena mari akui, bertambah tua tidak menggembirakan. Seperti kisah yang Tully tuturkan pada Marlo mengenai kapal yang mengganti satu persatu, sosok masa lalu kita tetaplah kita, bukan manusia berbeda. Dan jangan lupa, kita pernah jadi sosok yang kita anggap lebih baik itu, yang segala keunggulannya dapat berguna menghadapi kesulitan masa kini.

Twist di atas hanya bisa berhasil kalau karakter suami tidak memberi cukup perhatian, sampai-sampai melewatkan detail fakta penting yang mengisi kehidupan istrinya. Drew jelas bukan suami kejam. ia menyayangi Marlo, dan bila diajukan pertanyaan mengenai kondisi keluarga termasuk sang istri, ia akan mantap menjawab, “semua baik-baik saja”. He’s just a clueless guy, (unfortunately) like so many other husbands out there. Sebagai pria yang ingin berkeluarga, Tully memberi saya pelajaran atau tepatnya peringatan berharga seputar kepedulian terhadap istri. Bahwa kepedulian tidak cukup dengan melihat kondisi eksternal, melainkan secara konsisten menelusuri sisi internal, mencari tahu, kemudian memahami sang istri lebih dalam.

22 komentar :

Comment Page:

THE GIFT (2018)

16 komentar
Bagi banyak sutradara, mengarahkan Reza Rahadian, Ayushita Nugraha, Diyon Wiyoko, hingga Christine Hakim dalam satu film yang sepertiga bagian akhirnya bertempat di Italia merupakan kemewahan. Namun kita membicarakan Hanung Bramantyo. Baginya, menangani deretan nama besar serta setting luar negeri jadi hal biasa. Menjadi tidak biasa tatkala The Gift membawanya menarik rem dramatisasi, membiarkan musik mengalun secukupnya, dan menekan jumlah sekaligus intensitas tangisan. Rupanya setelah bertahun-tahun menerapkan pemahaman akan formula, Hanung masih menyimpan kepekaan bertutur. 


Berusaha menyelesaikan novel terbarunya, Tiana (Ayushita Nugraha) pindah ke Yogyakarta, menempati kamar kosong yang terletak di kediaman Harun (Reza Rahadian). Mengalami gangguan penglihatan dan masalah personal terkait keluarga membentuk Harun sebagai pribadi yang kurang ramah. Berbeda kondisi fisik, keduanya memiliki kesamaan, sama-sama terbiasa memandang dunia dari dalam kegelapan. Dibantu naskah buatan Ifan Ismail (Habibie & Ainun, Ayat-Ayat Cinta 2), Hanung mempresentasikan percintaan sebagai hasil kecocokan dua insan, membangun romantika dari interaksi yang tersusun atas dialog tajam nan menarik ketimbang eksploitasi momen manis.
Kali ini Hanung turut menggunakan simbolisme yang tersaji subtil nan mulus, bermain-main dengan metafora guna menyoroti sisi gelap serta sifat hubungan manusia. Gembok pemisah kamar Tiana dan Harun melambangkan sekat pembatas dua hati, sementara bahasan soal "penglihatan" yang kental mengisi sepanjang film tak hanya bermakna literal. Apakah Tiana dengan mata yang sempurna mampu melihat lebih jelas dibanding Harun? Ataukah kesempurnaan itu membuatnya terlena, melupakan sensitivitas lain termasuk perasaan? 

Dibekali kebebasan kentara memaksimalkan kualitas penyutradaraan Hanung. Hasil pengadeganannya penuh kreativitas yang memperkuat dinamika. Kamera bergerak lincah pun beberapa kali memanfaatkan pantulan cermin dengan puncak kebolehan menyusun mise-en-scène tersaji pada sebuah pertengkaran Harun dan Tiana, sedangkan karakter Simbok berdiri di kejauhan sambil merespon. Perpindahan rutin flashback ke masa kini pun bergerak rapi, saling menguatkan dan menyokong alih-alih mendistraksi. Tapi poin terbaiknya adalah penyusunan situasi dramatis. 
Musik garapan Charlie Meliala dibiarkan melantun merdu sebagai latar, bukan media manipulasi rasa. Bahkan mayoritas momen terkuat tampil di tengah kesunyian mencekat layaknya tragedi yang menghadang tiba-tiba tanpa bisa kita antisipasi. Penampilan para pemain ikut jadi tonggak. Baik selaku tuna netra maupun ketepatan ekspresi emosi, telah cukup mengingatkan penonton betapa Reza Rahadian merupakan aktor terbaik yang jauh meninggalkan generasinya di level berbeda. Ayushita mengimbangi lewat sensibilitas tinggi, dan bukan sebuah kejutan kala Christine Hakim sanggup merenggut hati walau cuma muncul beberapa menit. 

Sayangnya The Gift menurun saat menyentuh babak akhir, pasca memindahkan setting ke Italia seiring kehadiran Arie (Dion Wiyoko) mewarnai cinta segitiga, kemudian bertransformasi dari drama low-key menuju konflik penuh kebetulan yang bagai hasil kebingungan penulis menyusun konklusi. Belum lagi bumbu kejutan yang diharapkan mencengkeram emosi namun berakhir sebatas shock value akibat kurangnya fase pembangunan. The Gift bukan persembahan terbaik Hanung Bramantyo, tapi cukup menjadi bukti bahwa sang sutradara punya kapasitas lebih dari sekedar meramu tontonan sesuai pakem.

16 komentar :

Comment Page:

SOLO: A STAR WARS STORY (2018)

8 komentar
Kalau anda ingin tahu mengapa Han begitu apatis khususnya di paruh awal A New Hope (1977), film ini akan memberi jawaban. Kalau anda ingin tahu bagaimana hubungan Han dan Lando bermula, dan mengapa Lando tega berkhianat di The Empire Strikes Back (1980), film ini akan memberi jawaban. Pun film ini menguatkan teori bahwa Han semestinya menembak Greedo terlebih dahulu dalam konforntasi keduanya di Tatooine. Pertanyan-pertanyaan di atas sebenarnya tak memerlukan jawaban dan lebih baik ditinggalkan sebagai bagian mitologi tanpa batas.  Tapi kalau—seperti saya—anda ingin mengunjungi berbagai planet serta makhluk baru nan unik juga petualangan mendebarkan kaya imajinasi, Solo: A Star Wars Story kemungkinan takkan memuaskan, meski mengingat kendala produksinya, filmnya urung menjadi sampah sudah pantas disyukuri.

Bahkan corak warna filmnya pun cenderung pucat, beberapa kali malah ditambah pencahayaan minim. “Galaksi nun jauh di sana” tak pernah terlihat selesu ini. Nuansa familiar baru terpancar sewaktu kita mampir ke markas Dryden Vos (Paul Bettany) yang mewah, penuh alien, sampai penyanyi dengan mikrofon futuristik dan gaun emas. Toh semua itu cuma sejenak. Sebab seperti tertulis di narasi awal, Solo bertempat di masa kegelapan. Han (Alden Ehrenreich) pun berasal dari sebuah tempat kumuh di Planet Corellia, bekerja sebagai pencuri sambil berharap mampu mengumpulkan uang demi memperoleh kehidupan yang lebih baik bersama cintanya, Qi’ra (Emilia Clarke). Untunglah di zaman kelam ini, filmnya masih ingat untuk menyelipkan romansa. Space opera tanpa romansa ibarat komedi nihil lelucon.
Solo sendiri tampak sebagai film kaya ambisi. Bukan cuma space opera, unsur heist dan western, atau bisa kite sebut “space western” turut diselipkan. Dan sebagaimana formula heist, kita bisa menemukan adegan judi (permainannya disebut sabacc), yang juga berperan selaku perkenalan bagi Lando Calrissian yang diperankan Donald Glover a.k.a. Childish Gambino dengan flamboyan.  Namun sebagai heist, Solo bukanlah heist yang baik. Aksi Han bersama Tobias Beckett (Woody Harrelson) dan gengnya menjalankan beberapa misi perampokan tidak dikemas secara bergaya oleh sutradara Ron Howard (A Beautiful Mind, The Da Vinci Code, Rush), tidak pula tersusun atas rencana taktis. Pun tanpa cukup gaya dalam kemasan baku tembak, Solo juga urung menjadi western yang baik.

Skenario garapan Lawrence Kasdan (The Empire Strikes Back, Return of the Jedi, The Force Awakens) dan puteranya, Jonathan Kasdan (In the Land of Women), cukup kokoh menyusun penokohan. Seluruh protagonis kita awalnya tampak sebagai individu egosentris maupun berbahaya, sebelum akhirnya, meski sekelumit, terungkap bahwa mereka merupakan sosok dengan hati yang memiliki orang-orang untuk dicintai: Lando dan droid miliknya, L3-37 yang amat mencuri perhatian berkat pembawaan jenaka Phoebe Waller-Bridge, percikan romansa Tobias dan Val (Thandie Newton), Chewbacca (Joonas Suotamo) dengan keluarganya, dan percintaan Han-Qi’ra. Walau akhirnya mereka tetap kriminal sekaligus penyintas di suatu masa sulit, masa di mana petualangan luar angkasa megah jarang bertempat.
Sekalinya terjadi, sesungguhnya Ron Howard dibantu sinematografi garapan Bradford Young (Arrival) sanggup mengkreasi gambar epic tatkala Han dan kawan-kawan berhadapan dengan salah satu monster terbesar di franchise Star Wars sejauh ini. Ketika akhirnya lagu tema gubahan John Williams kembali berkumandang, Solo pun sepenuhnya menjadi space opera yang dicintai jutaan penonton meski hanya untuk beberapa menit. Sisa adegan kejar-kejarannya tak sebegitu mempesona pun kurang mengeksplorasi kemampuan plus kegilaan Han selaku pilot (kecuali adegan “The Maw”). Menariknya, momen aksi jarak dekat justru tergarap apik, khususnya saling tebas antara Qi’ra dan Dryden. Sebagai alumnus Game of Thrones yang tentunya familiar dengan pertarungan pedang, tak mengherankan Clarke mampu melakoninya dengan meyakinkan.

Bagi penggemar, deretan easter eggs serta cameo jelas jadi hiburan tersendiri. Dan bagi penggemar, atau penonton yang tidak sama sekali asing dengan Star Wars, tentu bisa menebak beberapa hal yang akan terjadi: kemunculan Lando, pertemuan Han dengan Chewie, maupun nasib romansa Han dengan Qi’ra. Tapi Solo berhasil mementahkan ekspektasi ketika merangkum hal-hal terduga itu melalui jalan tidak terduga. Tapi bagi sebagian besar penggemar, pertanyaan terpenting adalah, “apakah Alden tampil baik?”. Dia punya pesona. Belum sekuat Harrison Ford, tapi bisa dimaklumi mengingat Han di sini belum sematang versi Ford. Masalahnya, Han versi Alden bukan karakter paling keren (Lando) atau paling badass (Tobias). Ditambah kurang efektifnya penggarapan Howard dan pembawaan Alden terhadap momen one-liner, makin tenggelamlah sang tokoh ikonik di filmnya sendiri.

8 komentar :

Comment Page:

ALAS PATI (2018)

23 komentar
What??? Seriously?! “. Kalau anda menonton Alas Pati, niscaya kalimat tanya tersebut bakal mengendap di otak. Salah satu karakternya mengucapkan itu beberapa kali sebelum tewas. Pun respon itu juga yang sering saya lontarkan sepanjang film. Saya teringat beberapa tahun lalu, semasa SMP, kala tengah menyaksikan pertunjukan musik di pinggir pantai. Suara ombak dan angin berlomba dengan distorsi gitar yang menggedor lewat amplifier. Nada yang dimainkan tak jelas, tapi pastinya gitar rombeng itu dimainkan dalam volume tertinggi. Seusai penampilan, saya mempertanyakan pengaturan suara tersebut, yang dijawab dengan lantang, “rock is loud, bro!”. Mungkin jika anda tanyakan pada Jose Purnomo (Jailangkung, Gasing Tengkorak), ia pun akan menjawab “horror is loud, bro!”.

Dibantu musik gubahan Ricky Lionardi (Danur 2: Maddah, Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati), Jose menyerbu telinga penonton dengan musik sekencang mungkin, dalam adegan sebanyak mungkin. Termasuk di setiap false alarm yang kerap terjadi karena karakternya sering salah lihat, mana kaki hantu mana kaki manusia, mana rambut kuntilanak mana rambut mahasiswi. Bahkan sewaktu terornya berwujud kebisingan statis dari alat pendeteksi suara pun, musik tetap diputar sekeras-kerasnya. Seiring waktu saya pun mulai kebal dengan jump scare yang ditawarkan Alas Pati. Saya mulai mati rasa seiring keengganan film horor satu ini untuk memainkan rasa takut penonton.
Padahal premisnya menjanjikan. Naskah yang ditulis berdua oleh Jose Purnomo dan Aviv Elham (Dubsmash, Sang Sekretaris) seolah ingin memberi pelajaran kepada para remaja kekinian yang bersedia melakukan apa saja demi ketenaran dunia maya. Apa saja, termasuk berkunjung ke hutan angker bernama Alas Pati, di mana terdapat kuburan terkutuk di dalamnya, sebagaimana dilakukan lima remaja pencari tantangan dan penonton YouTube. Raya (Nikita Willy) merasa perjalanan itu akan seru, Randy (Roy Sungkono) yakin video petualangan ke lokasi angker bakal mendongkrak jumlah penonton, sementara Vega (Stefhanie Zamora) butuh uang untuk membayar indekos. Ketiga alasan itu sepertinya sudah merangkum tujuan hidup banyak muda-mudi masa kini.

Sesampainya di Alas Pati, para remaja ini mulai bertingkah tidak sopan, bermain-main dengan mayat dan kuburan. Jangankan arwah-arwah penasaran di sana, saya di kursi penonton pun ingin mereka semua tewas. Memiliki deretan tokoh menyebalkan dalam film horor bukan masalah, sebab melihat satu per satu dari mereka dibantai juga memberikan hiburan tersendiri. Tapi alih-alih secara konstan memenuhi harapan tersebut, Alas Pati justru memaksa kita menunggu, menunggu, dan terus menunggu dalam rangkaian keusilan hantu yang cuma sesekali memberi dampak. Salah satu momen paling mencekam justru bukan dari gangguan dedemit, melainkan ketika Roy yang tengah merekam video dari jendela mobil nyaris terserempet truk, karena pemilihan waktunya tak terduga dan tanpa kesan mengulur waktu.
Mayoritas jump scare terlampau diulur, urung memamerkan penampakan ketika kecemasan memuncak, dan baru memunculkan sang hantu saat saya sudah menguap, lelah menanti, bagai usaha malas sutradara dan penulis naskah agar mencapai batas minimal durasi film panjang. Sulit untuk tidak berharap Alas Pati tetap bertahan di hutan. Setidaknya di sana aroma kengerian lebih semerbak. Sayang, pasca sebuah adegan kematian mengejutkan yang dieksekusi solid dibalut gore memadahi, karakternya pulang ke kota, ke rumah masing-masing, dengan darah teman mereka masih mengotori sekujur tubuh. Jika ada di posisi serupa, saya akan mencuci muka di sungai yang harus diseberangi sebelum mencapai hutan daripada menunggu berjam-jam kemudian. Bodoh memang, bahkan untuk ukuran horor remaja.

Bicara soal remaja, jajaran cast-nya bahkan tidak kuasa menjadikan obrolan sehari-hari terdengar realistis, apalagi asyik disimak. Ada usaha dari naskahnya guna menjalin interaksi menarik melalui beragam kelakar, namun kelima bintang mudanya adalah pelontar lelucon yang buruk. Begitu pula tatkala dipaksa berakting ketakutan. Mereka tampak kurang meyakinkan, dibuat-buat, atau menampakkan ekspresi seseorang yang mendapati bakso yang diinginkan sudah habis terjual ketimbang melihat setan. Seperti Jessy (Naomi Paulinda), saya pun berkali-kali ingin berteriak, “What??? Seriously?! “.

23 komentar :

Comment Page:

DEADPOOL 2 (2018)

49 komentar
Deadpool alias Wade Wilson (Ryan Reynolds) tidak bisa mati, bahkan ketika ledakan membuat seluruh bagian tubuhnya berhamburan seperti tampak pada adegan pembuka. Dia bisa tanpa ragu menerjang markas Yakuza maupun mafia berbahaya mana pun. Pasca film pertama, seolah segalanya menjadi mudah bagi Wade yang kini berprofesi sebagai pembunuh bayaran pengincar kepala para kriminal di seluruh dunia. Rupanya tidak semudah itu. Dia kebal dan “tak tersentuh”, tapi tidak demikian dengan orang-orang di sekitarnya. Berpijak pada gagasan itu, Deadpool 2 mengangkat cerita yang amat mewakili rasa buku komik. Saya tak bisa mengungkapnya, tapi jika anda familiar dengan komik pahlawan super, anda tahu aspek mana dalam hidup mereka yang tersulit, bahkan tidak jarang tragis.

Di balik segala guyonan semau sendiri serta olok-olok terhadap nuansa gelap film DC, Deadpool 2 sejatinya mengusung kisah kelam. Tidak hanya bagi Mr. Pool, juga Russell Collins (Julian Dennison), si mutan muda berkekuatan api, dan Cable (Josh Brolin), mantan prajurit yang datang dari masa depan guna membunuh Russell. Dua wajah berlawanan itu turut ditampakkan oleh performa Ryan Reynolds. Mengenakan topeng Deadpol, ia tampil jenaka, layaknya penampil yang mampu melakukan apa pun, membuat gestur apa saja. Tanpa topeng, sebagai Wade Wilson, meski tetap ada kekonyolan, Reynolds menyuntikkan sisi melankolis tragis dalam diri Wade.
Biasanya dari sini saya akan mengulik satu per satu elemen cerita filmnya, tapi Deadpool 2, dengan kadar kejutan tak kalah dibanding Avengers: Infinity War menyulitkan itu dilakukan. Satu hal yang perlu anda ketahui, bahwa ada banyak kejutan bertebaran, baik berbentuk poin plot, kemunculan dan kematian karakter (so many hilarious death scenes), serta beberapa cameo termasuk kemunculan sekejap mata seorang bintang ternama. Belum termasuk empat mid-credit scenes—dengan tiga adegan terakhir dirangkum jadi satu—yang membuktikan kreativitas gila Ryan Reynolds selaku penulis naskah bersama Rhett Reese dan Paul Wernick.

Karena sulit mengulas alur, mari membahas suguhan aksinya. Memiliki David Leitch di kursi penyutradaraan, meski koreografinya tak sekompleks karya-karya Leitch sebelumnya (John Wick, Atomic Blonde), beberapa porsi laga, khususnya saat mengeksploitasi kegarangan Josh Brolin sebagai Cable, acap kali mengundang decak kagum. Tidak kalah mencuri perhatian yakni Zazie Beetz sebagai Domino si mutan penuh keberuntungan. Beetz adalah talenta langka. Punya fisik atraktif, berkarisma dan tampak tangguh kala melakoni aksi, namun piawai melucu. Apabila suatu hari nanti ada usaha membangkitkan blaxploitation lewat remake judul-judul klasik macam Foxy Brown dan Coffy, Beetz mestinya jadi pilihan utama.
Untuk Deadpool sendiri, Leitch memanfaatkan ketidakmampuan si tokoh meregang nyawa guna memoles aksi kreatif. Dia bisa mencekik musuh dengan lengannya sendiri yang patah, terpotong tubuhnya menjadi dua, sampai hancur berkeping-keping tapi masih sempat mencela Wolverine.  Dia bisa melakukan semua hal kecuali tutup mulut. Dan satu hal yang filmnya tak bisa lakukan adalah berhenti menggila, berhenti melontarkan lelucon-lelucon meta. Deadpool 2 enggan membiarkan satu pun pihak lolos dari caci maki, termasuk Rob Liefeld, sang kreator tokoh Deadpool, Cable, dan  X-Force, yang konon tidak bisa menggambar kaki (silahkan googling Rob Liefeld’s feet). Kegilaan non-stop adalah keputusan tepat, kecuali pada first act, sekitar 10-15 menit awal ketika penonton—setidaknya saya—masih butuh waktu menyesuaikan diri.

Dari Only Time milik Enya yang syahdu, Bangarang-nya Skrillex yang menjadikan perkelahian Deadpool melawan Cable semakin keren, hingga Ashes milik Celine Dion selaku pengiring intro ala James Bond, jadi bukti betapa kegilaan dan daya kejut Deadpool 2 ikut menular ke soal pemilihan musik. Siapa sangka juga versi akustik mellow dari Take on Me dapat terdengar luar biasa manis? Atau lebih tepatnya, siapa sangka film seperti Deadpool 2 mampu tampil manis, romantis, menyentuh, setidaknya di bagian penutupnya? I can’t believe I’m saying this, but yes, I cried watching Deadpool 2!   

49 komentar :

Comment Page:

OFFICIAL TRAILER DAN POSTER "THE GIFT", KARYA BARU HANUNG BRAMANTYO

15 komentar
Mendengar nama Hanung Bramantyo, kemungkinan besar yang terlintas di benak kebanyakan dari kita adalah sutradara “film komersil”. Tidak sepenuhnya keliru. Hanung sendiri mengakui, sebagai seniman sekaligus pekerja industri, dia mesti bisa memilah, kapan harus membuat film yang ditujukan bagi penonton (baca: berorientasi keuntungan finansial), kapan bisa mengedepankan idealisme dan bertutur sebebas mungkin. The Gift, selaku karya ke-30 Hanung sepanjang 14 tahun karirnya sebagai sutradara, jelas masuk golongan yang disebut terakhir. Hanung sendiri menyatakan, bahwa inilah dirinya dalam kemerdekaan seutuhnya.

The Gift yang sempat diputar di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) pada Desember 2017 lalu ini bercerita tentang Tiana (Ayushita Nugraha), seorang novelis yang tinggal bersebelahan dengan Harun (Reza Rahadian), seorang lelaki dengan penglihatan tidak sempurna. Awalnya saling bertengkar, lama-kelamaan mereka mulai dekat, bahkan saling mencintai. Tiana belajar jika di balik ketidaksempurnaan Harun, justru banyak keindahan baru dalam hidup bisa ia temui. Sementara Harun menemukan sosok wanita yang bersedia menerima kekurangannya.

Menengok trailer-nya, langsung terasa peralihan gaya Hanung dibanding kebanyakan karyanya belakangan ini. The Gift tampak sebagai romantika sederhana berbalut pemaknaan kehidupan, yang alih-alih mempersenjatai diri dengan gempuran dramatisasi, memilih pendekatan kontemplatif. Walau baru nampak sekilas, pun Reza Rahadian menjanjikan performa meyakinkan nan alamiah sebagai pria tuna netra. “Damai dan cantik”. Mungkin itu kesan spontan yang saya dapat selama menyaksikan trailer The Gift, yang tentu saja saya harapkan juga muncul kala menyaksikan hasil akhir filmnya. Untuk merasakan kesan serupa, silahkan saksikan trailer-nya berikut ini, atau bisa dengan menunjungi kanal YouTube resmi “The Gift Movie ID”.


Dibintangi juga oleh Dion Wiyoko (Terbang: Menembus Langit), Christine Hakim (Kartini, Guru Bangsa Tjokroaminoto), Rukman Rosadi (Love for Sale, Arini), dan Annisa Hertami (Aach...Aku Jatuh Cinta, Soegija), The GIft akan tayang di bioskop mulai 24 Mei 2018.

15 komentar :

Comment Page:

RAAZI (2018)

7 komentar
Dalam thriller spionase tentang agen ganda, bagian paling intens tidak pernah jauh dari usaha protagonis berpacu dengan waktu dan celah peluang sempit untuk menjalankan misi sambil melindungi penyamarannya. Kita tahu bahwa kemungkinan besar ia bakal berhasil, dan di mayoritas kesempatan memang demikian hasilnya. Tapi dalam Raazi yang diangkat dari novel Calling Sehmat buatan Harinder Sikka, yang mana terinspirasi dari peristiwa nyata, aksi kecoh-mengecoh itu membuat saya mencengkeram kursi sembari menahan nafas. Begitu menegangkan sampai saya sejenak lupa kalau hasil akhirnya telah diketahui. Rasanya seperti dibawa terjun langsung ke tengah peristiwa saat itu juga. This, ladies and gentlemen, is a high-class thriller.

Dalam film serupa, merupakan konflik biasa tatkala muncul kepedulian sang agen ganda terhadap target operasi, di mana ada jalinan emosi yang menghasilkan bias. Tapi, seperti yang belum lama ini saya tuturkan melalui ulasan 102 No Out, perfilman Bollywood tengah bagus-bagusnya membungkus drama. Terjadi pula di sini sewaktu duo penulis naskah, Bhavani Iyer dan Meghna Gulzar, mengedepankan unsur cinta, nilai kekeluargaan, serta bagaimana jika keduanya dibenturkan dengan patriotisme. Awalnya, Raazi terasa sebagai usaha terlampau gamblang guna menyuarakan patriotisme. Hidayat (Rajit Kapur), yang menjalin persahabatan dengan Brigadir Pakistan demi mengorek informasi bagi India bersedia memberikan nyawa bagi negerinya. Hal itu ia ucapkan secara verbal, bukan nilai tersirat yang akan dipetik penonton.
Begitu tumor paru-paru ganas membuat usianya tak lagi lama, Hidayat mengirim puteri tunggalnya, Sehmat (Alia Bhatt) untuk melanjutkan misi tersebut. Sehmat bakal dinikahkan dengan putera sang Brigadir, lalu diam-diam menyuplai informasi kepada intelijen India. Seperti ayahnya, Sehmat lantang berkata bahwa tidak ada yang lebih penting ketimbang tanah air. Apabila anda berasal atau dekat dengan keluarga militer, pasti tahu jika patriotisme turun-temurun macam ini wajar terjadi, bukan ketidaklogisan naskah filmnya. Namun perlahan, khususnya setelah mencapai konklusi, Raazi mengungkap “wajah aslinya”. Ini bukan propaganda pendukung patriotisme buta. Sebaliknya, Raazi menunjukkan betapa kebutaan itu dapat menghapus rasa kemanusiaan, memporak-porandakan cinta bahkan keluarga. “Dia cuma melakukan itu demi negara”, sebut seorang tokoh. Saat itulah nurani dipertanyakan.

Seperti telah disebut, sumber adaptasinya mengambil inspirasi dari kisah nyata, tepatnya Perang India-Pakistan tahun 1971. Jangan khawatir akan tersesat apabila kurang familiar dengan salah satu babak sejarah tersebut, meski tidak ada salahnya membaca satu-dua sumber terlebih dahulu. Setelah lima menit awal yang diisi pemaparan fakta dan nama beruntun, Raazi cenderung mudah dicerna. Karena walau berlatar konflik internasional, fokus alurnya terjaga, setia bertahan di lingkup misi Sehmat, sambil sesekali menggali drama keluarga pemicu dilema dalam dirinya. Bhavani Iyer dan Meghna Gulzar urung tergoda menyentuh ranah yang lebih luas nan bombastis. Memanasnya konflik India-Pakistan merupakan latar, sedangkan kisah utamanya tetap personal.
Sebagai intelijen, demi mejaga kerahasiaan jati diri, Sehmat mesti menempuh berbagai jalan rumit guna menjalankan misi. Dia mesti menghafalkan sandi morse, kode nama untuk tiap-tiap pihak Pakistan, sandi, serta identitas para agen lain yang siap memberi bantuan. Rumit, tapi kerumitan itu dijaga supaya cukup ada di kepala Sehmat semata. Kita, penonton, tidak ikut dibuat pusing karenanya. Semua berkat naskah ditambah kemampuan bercerita secara rapi milik sang sutradara, Meghna Gulzar (Just Married, Talvar). Pun Meghna dibantu penyuntingan dinamis Nitin Baid, yang acap kali melahirkan kesempurnaan timing penyulut ketegangan tingkat tinggi. Banyak unsur “tiba-tiba” yang mampu menggedor jantung berkat elemen tersebut. Momen Sehmat diam-diam menyalin berkas sang mertua contohnya.

Digawangi oleh penulis naskah dan sutradara wanita, Raazi pun turut menjelma jadi kisah pameran kekuatan seorang wanita, yang mengalami transformasi, dari mahasiswi yang tak sanggup melihat seekor tupai terlindas mobil, menjadi agen rahasia tangguh yang bersedia melindas tubuh manusia dengan mobil. Alia Bhatt menjual perkembangan karakter itu dengan baik, meyakinkan sebagai intelijen yang taktis sekaligus cerdik dalam menyelesaikan tugas. Biar demikian, momentum terbaiknya selalu terjadi kala bersinggungan dengan porsi drama emosional. Sebab pada momen-momen itu juga, kita melihat kekuatan terbesar Sehmat. Bukan soal merenggut nyawa atau menipu lawan, melainkan tetap bertahan sebagai manusia berperasaan meski dihimpit situasi.

7 komentar :

Comment Page:

PERILISAN OFFICIAL TEASER WIRO SABLENG

13 komentar
Setelah merilis official first look 4 bulan lalu, disusul sederet poster bagi tiap-tiap karakter, Wiro Sableng akhirnya merilis teaser perdananya pada Jumat (11/05) sore. Saya ingat betul, semasa kecil dulu karakter ciptaan mendiang Bastian Tito ini rutin menemani di layar kaca, lengka dengan lagu tema ikonik yang pasti dihafal semua kalangan, dari orang dewasa sampai siswa SD seperti saya waktu itu. Saya pun antusias meyambut pengumuman pembuatan versi layar lebar yang diproduksi oleh Lifelike Pictures (Tabula Rasa, Modus Anomali, Pintu Terlarang), serta digarap oleh salah satu sutradara terbaik negeri ini, Angga Dwimas Sasongko (Filosofi Kopi, Surat dari Praha). Sementara naskahnya ditulis oleh Tumpal Tampubolon (Tabula Rasa), Sheila Timothy (juga bertindak sebagai produser), dan Seno Gumira Ajidarma (Pendekar Tongkat Emas).

Melegakan pula mendapati Vino G. Bastian, putera Bastian Tito, memerankan Wiro. Artinya, warisan sang penulis ada di tangan yang tepat. Pun ada faktor lain mengapa Wiro Sableng adalah proyek yang sangat potensial. Saya jarang menyebut “bangga, karya anak bangsa” atau semacamnya. Bagi saya, film adalah film, tidak peduli buatan anak siapa atau bangsa mana. Tapi Wiro Sableng lain cerita. Keterlibatan Fox International Productions, selaku anak perusahaan 20th Century Fox membuat film ini bukan lagi “sebatas film”. Agustus 2018 ketika filmnya rilis (maju dari rencana awal) jadi event yang patut dirayakan. Karena, jalan industri perfilman nasional menuju kancah internasional lebih terbuka lebar. Joint promotion Wiro Sableng dengan Deadpool 2 beberapa waktu lalu jadi bukti. Proyek-proyek besar lain pun bukan bisa segera bermunculan.

Selain Vino G. Bastian, turut terlibat yakni Sherina Munaf sebagai Anggini, Fariz Alfarazi sebagai Bujang Gila Tapak Sakti, Yayan Ruhian sebagai sosok penjahat Mahesa Birawa, Ruth Marini sebagai Sinto Genden, dan Andy /rif sebagai Dewa Tuak. Nama yang disebut terakhir mengalami transformasi fisik yang mengejutkan berkat tata rias memikat. Ya, menilik teaser yang baru dirilis, Wiro Sableng memang menjanjikan beragam tata artistik memukau, dari kostum hingga desain produksi yang menampilkan nuansa khas sajian kolosal nusantara termasuk guratan motif batik di Kapak Naga Geni 212. Simak teaser-nya berikut ini dan perhatikan berbagai elemen yang saya sebutkan.


Untuk info lebih lanjut, kunjungi akun Instagram filmnya di @wirosablengmovie
#SiapSableng di bulan Agustus?

13 komentar :

Comment Page:

EL (2018)

9 komentar
Dafychi (Aurelie Moeremans) adalah gadis berkepribadian ganda, kondisi yang membuatnya dianggap aneh dan ditakuti teman-teman sekolahnya. Mario (Achmad Megantara) adalah pengusaha muda sukses yang galak, sikap yang membuatnya dianggap aneh dan ditakuti para bawahan. Keduanya bertemu, jatuh cinta, lalu saling menyembuhkan kondisi masing-masing. Gangguan psikis Dafychi si gadis bandel—yang tiap mendengar bunyi ledakan bakal berubah menjadi Dafyna si gadis manis—bisa dipahami. Sebuah trauma menekannya. Tapi Mario? Dia kaya, sukses dalam bisnis, pun tak kekurangan kasih, sebab meski eksentrik, sang ibu (Meriam Bellina) menyayanginya. Mengapa ia begitu sinis, bahkan kadang bagai tanpa perasaan?

Haruskah ada alasan di balik karakteristik Mario itu? Tidak juga. Masalahnya terletak pada konsistensi. Apa Mario seorang anti-sosial? Melihat antusiasmenya kala kembali bertemu si kawan lama, Ando (Dimaz Andrean), rasanya tidak. Walau gangguan psikologis dimiliki Dafychi, Mario justru lebih sulit dipahami. Di suatu malam, Mario dan Dafychi bertemu Alena (Dara Warganegara), mantan pacar Mario yang masih kukuh mengejarnya. Alena memamerkan pacar barunya (jelas guna memanas-manasi sang mantan), yang Mario balas dengan mengenalkan Dafychi sebagai “adiknya Ando”. Itu kebodohan yang sulit dipercaya dapat dilakukan pria dengan pengalaman pacaran tidak nihil.
Tapi Djaumil Aurora (Mata Dewa, Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi), yang bertugas menulis naskah adaptasi novel berjudul sama karya Luluk HF, bisa berdalih bahwa hal di atas tidak mustahil. Ya, saya akui probabilitasnya belum mencapai 0%. Saya memilih ikut serta, pasrah mau dibawa ke mana oleh EL. Saya cuma berharap disuguhi komedi-romansa manis, menggelitik, nan bernyawa. Potensi komedinya besar. Bayangkan tokoh sekaku Mario disandingkan dengan gadis “seliar” Dafychi. Belum lagi ketika dihadapkan pada perubahan drastis pada kepribadian Dafychi-Dafyna. Beberapa comic timing agak kacau akibat penyuntingan berantakan yang didasari niatan menyusun tempo cepat, namun justru berakhir tak memberi kesempatan penonton meresapi kelucuannya.

Untung tidak seluruhnya demikian. Beberapa mampu memancing tawa, meski lebih disebabkan energi seorang Aurelie. Energi yang begitu tinggi sampai naskah, penyutradaraan Findo Purwono HW (Suster Keramas 2, Eyang Kubur), maupun akting Achmad Megantara tak mampu mengimbangi demi menciptakan dinamika yang saling mengisi. Sang aktris berdiri seorang diri menopang filmnya dari keruntuhan total. Bicara soal pasangannya, Achmad Megantara berusaha amat keras, acap kali terlampau keras malah, untuk terlihat, terdengar, dan terasa sebagai pria serius, ketus, kaku, juga keren. Segala tujuan itu tak ada yang tercapai karena penampilannya nampak dibuat-buat. Atau sosok aslinya memang demikian? Itu lebih celaka.
EL mengangkat persoalan kepribadian ganda, yang sangat jarang dijamah perfilman negeri ini. Walau agak menyayangkan, saya tidak terkejut saat mendapati filmnya urung memberi pemahaman baru terkait kondisi tersebut. Menjadi patut disayangkan tatkala keadaan unik itu gagal dimaksimalkan untuk menambah dinamika interaksi kedua tokoh utama. Paruh awalnya cukup menarik. Mario yang kerepotan menghadapi kebandelan Dafychi, kemudian disusul kemunculan Dafyna yang membuatnya semakin bingung. Memasuki paruh kedua, keliaran Dafychi justru ditekan, konflik pun bergeser ke ranah lebih generik. Apalagi kalau bukan tentang kecemburuan dan cinta segitiga.

Ada satu sub-plot mengenai Sivia (Brigitta Cynthia), sahabat Dafychi di kelas sekaligus korban tindak kekerasan oleh sang ayah. Cerita sampingan ini hanya punya dua substansi: menciptakan klimaks dan membuka jalan bagi terselesaikannya seluruh konflik. Setidaknya dari situ kita berkesempatan melihat Verdi Solaiman dalam salah satu peran antagonisnya yang paling gampang menyulut kebencian meski cuma muncul sejenak. Verdi dann Aurelie jelas layak berada di film yang jauh lebih baik. Bahkan sesungguhnya, melihat beragam potensi yang ada, EL berhak memperoleh eksekusi yang lebih mumpuni.

9 komentar :

Comment Page:

BASED ON A TRUE STORY (2017)

12 komentar
Art imitates life. Karya seni mengimitasi realita. Istilah tersebut sebenarnya erat kaitannya dengan metode seorang seniman mengais inspirasi, yakni bersumber dari dunia nyata. Tapi dalam perjalanannya, penciptaan karya, yang juga merupakan proses penciptaan kehidupan di tatanan fiktif, dapat memunculkan efek berkebalikan apabila sang pembuat karya mulai terseret terlampau jauh menuju kreasinya. Terjadilah life imitates art. Hal ini jadi pokok bahasan Based on a True Story yang menampilkan kolaborasi Roman Polanski (The Pianist, Chinatown, Rosemary’s Baby) dan Oliver Assayas (Personal Shopper, Clouds of Sils Maria) sebagai penulis naskah. Hanya saja, proses observasi itu ditambahi bumbu thriller.

Seorang novelis yang baru meraih kesuksesan perdana, tersiksa akibat kebuntuan menulis, lalu bertemu penggemar misterius seiring dengan memudarnya batasan fantasi dan realita sang novelis. Premisnya familiar, apalagi bagi kedua penulis naskah. Film terakhir Polanski, Venus in Fur (2013) serta judul-judul lamanya kerap membahas soal itu, sementara Assayas, hampir di tiap karyanya, gemar bertutur tentang krisis eksistensial. Paruh awalnya bekerja layaknya drama psikologis observasional pada umumnya, ketika Delphine (Emmanuelle Seigner, istri Polanski) berkenalan dengan Elle (Eva Green), si penggemar berat yang ia rasa amat mengerti isi hati dan pikirannya. Dari penggemar-idola, hubungan keduanya cepat berkembang menjadi persahabatan.
Delphine bersedia menunjukkan ringkasan novel terbaru yang tengah susah payah ia tulis, memberitahu kata sandi komputernya, bahkan mengizinkan Elle tinggal di apartemennya sementara waktu. Kehadiran Elle dirasa mampu melucuti beban Delphine, yang bukan cuma buntu, pula sedang menghadapi teror dari surat misterius yang menuduhnya mengeksploitasi aib keluarga lewat novel. Semakin jauh kisahnya bergerak, nuansa thriller makin kental merasuk, bahkan mencapai third act, Based on a True Story mulai terang-terangan merujuk pada Misery (1990), lengkap dengan penulis yang kakinya terluka dan mesti terus berbaring.

Di tangan Polanski selaku sutradara, Based on a True Story lebih condong ke ranah slow-burning thriller ketimbang drama meditatif sebagaimana pendekatan Assayas sebagai sutradara. Pun tak mengejutkan ketika aroma psikoseksual samar-samar tercium di balik interaksi Delphine dan Elle. Kadang kamera Polanski bergerak terlampau lambat, namun ada kalanya perpindahan sekuen terlalu cepat. Hasilnya sama. Potensi ketegangan urung memuncak. Klimaksnya sendiri menghadirkan usaha Polanski mengajak penonton mengecap atmosfer film suspense era 70-80an, dilengkapi orkestra mencekam Alexandre Desplat yang kental membawa rasa dari masa tersebut.
Satu hal yang Polanski tahu pasti, bahwa Eva Green mampu menciptakan intensitas. Kamera pun seolah begitu mantap menangkap setiap ekspresi sang aktris. Berkat sang aktris pula, mudah memahami alasan Delphine tetap terobsesi kepadanya walau telah melalui sejumlah pertengkaran, kekangan, dan perilaku histerikal Elle. Green memiliki sorot mata menghipnotis, yang sekalinya mencengkeram, sulit untuk melepaskan diri darinya. Terkadang, Polanski pun memanfaatkan Green guna memproduksi creepy factor, sewaktu diam-diam sekaligus tiba-tiba, dia sudah berada di satu sudut ruangan.  Kedua penampil utama sama-sama memamerkan transformasi dengan gradasi bertahap. Green dari penggemar antusias yang tak jarang seduktif, sementara Seigner perlahan semakin kehilangan pegangan atas realita.

Penutupnya menyimpan twist yang dapat terlihat jelas bahkan sedari menit pertama jika anda familiar dengan karya-karya Polanski maupun Assayas. Tapi twist itu bukan semata soal daya kejut, karena Based on a True Story bicara mengenai bagaimana kesuksesan dan ketenaran dadakan menciptakan tekanan, kebuntuan penulis yang mengikuti kesuksesan itu, juga proses mengkreasi kehidupan. Semua ini adalah soal observasi terhadap proses, bukan hasil akhir. Pun filmnya memancing pertanyaan, “bukankah tiap bentuk karya seni, jika dilihat dari aspek tertentu, sejatinya dibuat berdasarkan kisah nyata?”.

12 komentar :

Comment Page: