GONJIAM: HAUNTED ASYLUM (2018)
Rasyidharry
Mei 31, 2018
Bagus
,
horror
,
Jung Bum-shik
,
Korean Movie
,
Moon Ye-won
,
Oh A-yeon
,
Park Ji-hyun
,
Park Sang-min
,
Wi Ha-joon
23 komentar
Saya sudah merasa cukup dengan horor found footage yang menggembar-gemborkan “less is more”. Didasari gagasan bahwa manusia lebih takut pada hal
yang tak nampak, penonton dibiarkan berlama-lama menyaksikan ketiadaan, sebelum
penantian itu berusaha ditebus oleh klimaks singkat. Dari situ, judul-judul
macam The Blair Witch Project (1999) sampai
Paranormal Activity (2007) tercipta,
yang mana merupakan bentuk filmmaking
kreatif, tapi bukan horor menyeramkan, setidaknya bagi penakut seperti saya.
Tapi dalam Gonjiam: Haunted Asylum
yang berlokasi di salah satu dari “7 tempat terangker” versi CNN, kekosongan
terasa mencekam, sementara keheningan memancarkan ketidakamanan. Di satu sisi
ini tentang rasa takut akan sesuatu tak terlihat, namun di sisi lain, juga soal
rasa takut terhadap hal aneh yang dapat kita lihat.
Gonjiam: Haunted Asylum
diisi pemuda-pemudi
yang terobsesi meraup jutaan penonton di YouTube, memperoleh uang, juga gemar menguji
nyali. Saya benci golongan yang disebut terakhir, karena saya tahu, segala
sikap sok jago serta keberanian yang membuncah bakal seketika terhempas begitu
para hantu mulai menampakkan diri. Menyenangkan kala filmnya menyajikan hal
serupa, menghukum deretan karakternya yang nekat melakukan siaran langsung dari
Rumah Sakit Jiwa Gonjiam demi menangkap peristiwa mistis sekaligus mengungkap
misteri di dalamnya. Konon, seluruh pasien di sana tewas serentak, sementara
sang direktur rumah sakit menghilang. Beragam konspirasi merebak, dari
pembunuhan massal oleh sang direktur, sampai eksperimen rahasia pemerintah
kepada manusia.
Skenario garapan Jung Bum-shik (juga sutradara) dan Park
Sang-min urung memberi banyak porsi untuk eksplorasi misteri Gonjiam,
membiarkan segalanya tersimpan di kegelapan. Alurnya sederhana, memakai formula
standar found footage yang makan
waktu sebelum mengungkap atraksi utama. Tapi momen sebelum karakternya
melangkahkan kaki ke rumah sangkit angker itu tidak berjalan membosankan. Jajaran
pemain tak memberi akting mendalam (dan memang tidak dituntut demikian), namun
mereka tampak meyakinkan dalam bersenang-senang, menularkan perasaan serupa
pada penonton, sebagaimana rasa takut berhasil ditularkan juga berkat akting
tepat. Nihil penokohan mendalam, sebagai gantinya kita diberi tokoh-tokoh
menarik, khususnya para wanita: A-yeon (Oh A-yeon) yang polos, Charlotte (Moon
Ye-won) yang ceria nan glamor, Ji-hyun (Park Ji-hyun) yang antusias.
Begitu karakternya memasuki lokasi, siaran langsung dimulai. Filmnya dikemas dengan format serupa, sehingga di banyak kesempatan, kita berada di posisi penonton kanal YouTube Horror Times milik Ha-joon (Wi Ha-joon). Pun format tersebut turut
memberi jalan Gonjiam: Haunted Asylum mengulur
waktu menggunakan tayangan ulang yang beberapa kali mengiringi siaran langsung. Dengan demikian durasi dapat dihabiskan dan kekosongan alur bisa
ditambal tanpa kesan dipaksakan. Untungnya Gonjiam:
Haunted Asylum enggan semata bergantung pada trik tersebut. Senjata
utama yang mampu dimaksimalkan Jung Bum-shik adalah atmosfer mencekam Rumah
Sakit Gonjiam. Gelap, berantakan, memiliki begitu banyak sudut bagi para hantu
untuk bersembunyi, tersebar begitu banyak benda untuk mereka “permainkan” guna
menebar teror.
Keheningannya menyesakkan, alih-alih melelahkan,
seperti dicontohkan tatkala kamera CCTV menyorot satu per satu ruangan rumah
sakit. Sepi, kosong, tanpa satu pun penampakan makhluk halus. Biar demikian,
kecemasan luar biasa mampu dihadirkan. Kecemasan yang didasari prasangka
penonton yang “menanti” para hantu menampakkan wujud mereka. Sekalinya penampakan
itu terjadi, Bum-shik mampu mengemasnya dengan efektif, cenderung mengerikan
ketimbang mengejutkan. Sang sutradara paham betul, bagian mana dari hantu yang
perlu diperlihatkan, dari sudut sebelah mana dan gerakan kamera seperti apa. Kemampuan
yang akan menggiring kita menuju parade teror kelas wahid dalam 30 menit
terakhir.
Pemandangan paling mengerikan dalam Gonjiam: Haunted Asylum, bahkan di film horor mana pun sepanjang
tahun ini hadir pada setengah jam terakhir. Pemandangan yang bagai gabungan The Blair Witch Project (mengkreasi
ulang momen paling ikonik di situ) dan Keramat
(2009). Kalau anda sudah menonton found
footage karya Monty Tiwa itu, tentu akan ingat sosok misterius yang
bergerak lewat cara yang aneh. Charlotte dan Ji-hyun jadi karakter yang
terlibat dalam teror yang alih-alih terasa selaku hasil rekayasa teknologi
film, justru mencuatkan kesan mistis dan tidak beres yang natural. Singkatnya,
mengerikan. Begitu mengerikan sampai semua yang hadir setelahnya, meski digarap
solid, tak pernah mencapai tingkatan setara. Sajian menyeramkan dengan konklusi tragis yang tak hanya sulit dilupakan, pula memberi tamparan telak bagi kultur populer masa kini.
LOVE REBORN: KOMIK, MUSIK & KISAH MASA LALU (2018)
Rasyidharry
Mei 30, 2018
Ardit Erwanda
,
Bagus Bramanti
,
Comedy
,
Cukup
,
Donny Damara
,
Gea Rexy
,
Indonesian Film
,
Indra Jegel
,
Ira Wibowo
,
Jay Sukmo
,
Jui Purwoto
,
Nadya Arina
,
Rani Ramadhany
,
REVIEW
,
Romance
7 komentar
Banyak film percintaan remaja kita menyamakan romantisme
dengan kalimat puitis, momen cantik nan dramatis, maupun gabungan keduanya.
Sebagaimana celetukan tokoh utama film ini, “kayak film-film Michelle Ziudith”.
Semua soal momen dan buaian verbal maha dahsyat, tapi jarang yang mempedulikan
satu unsur penting, yakni “kebersamaan”. Dalam Love Reborn: Komik, Musik & Kisah Masa Lalu, dua tokoh utama
kerap, bahkan nyaris selalu menghabiskan waktu bersama, di mana tercipta
interaksi yang awalnya terjadi di tatanan pikir (adu ideologi, pertukaran
pendapat), baru kemudian lanjut ke hati. Pun agar peduli akan percintaannya,
penonton mesti sering dibawa menyaksikan dinamika tersebut. Love Reborn, meski penuh kelemahan, memiliki
elemen vital itu.
Mengingat menghidupkan lagi film (dan sinetron) lawas dengan
embel-embel “Reborn” di judul sedang
tren, wajar kalau anda sempat mengira film ini merupakan lanjutan atau remake dari Love (2008), yang juga remake
film berjudul sama asal Malaysia. Tapi bukan. Kata “Reborn” di sini mewakili proses karakternya menemukan lagi rasa
cinta, yang seperti tampak pada sub-judul, erait kaitannya dengan kisah masa
lalu. Namanya Kirei (Nadya Arina), komikus muda bertalenta yang apatis terhadap
cinta setelah mendapati ayahnya meninggalkan sang ibu (Ira Wibowo). Bagi Kirei,
cinta sebatas soal “siapa yang meninggalkan dan ditinggalkan”. Bahkan saat pria
misterius bernama Wijaya (Donny Damara) mulai rutin datang, Kirei merasa takut
andai sang ibu jatuh cinta lagi. Sebegitu buruk rupa cinta di matanya.
Wijaya rupanya adalah ayah Bagus (Ardit Erwanda), vokalis “Keras
Kepala Band” yang memusuhi Kirei serta komunitas komiknya (atau cosplay?) di kampus. Selain Bagus, band
ini terdiri dari Rindu (Rani Ramadhany), Jefry (Indra jegel), dan Sobirin (Jui
Purwoto). Mereka membawakan lagu rock
asyik berjudul “Freak” yang menyindir
kegemaran Kira dan kawan-kawan kepada kultur populer Jepang dan mengesampingkan
budaya lokal. Aneh sebenarnya, mengingat rock
‘n roll yang mereka anut pun bukan asli Indonesia, namun setidaknya personel
“Keras Kepala Band” berjasa menghadirkan tawa. Jefry si playboy bertampang pas-pasan, Sobirin si anak mama, dan Rindu yang
bak preman. Jika biasanya laki-laki berebut untuk berduaan dengan wanita
cantik, di sini sebaliknya, karena mereka semua takut pada Rindu. Situasi yang
lucu.
Kirei dan Bagus sepakat
mengesampingkan perbedaan mereka, lalu bersama-sama menyelidiki ada hubungan
apa antara orang tua keduanya. Berbagai tempat, bahkan sampai daerah pinggiran
Bogor didatangi berdua, kemudian seperti bisa diduga, perlahan timbul asmara.
Cinta itu terlahir kembali. Walau segala aral melintang dapat dihindari apabila
mereka langsung menemui Wijaya di hotel yang selalu ia kunjungi, saya menikmati
cara naskah garapan Bagus Bramanti (Mencari
Hilal, Kartini) dan Gea Rexy (Dear
Nathan, Yowis Ben) menyusun perjalanan berbasis napak tilas romansa masa
lalu yang diisi oleh beragam landmark. Ya, semua romansa indah memang harus
memiliki berbagai landmark.
Dari elemen estetika, sayangnya komik tak dipakai mempercantik tata visual sebagaimana musik kurang dimanfaatkan guna membangun emosi. Akad milik Payung Teduh membuat konklusinya manis, tapi itu lebih karena kekuatannya sebagai lagu yang berdiri sendiri ketimbang kejelian sutradara Jay Sukmo (Catatan Akhir Kuliah, The Chocolate Chance) mengawinkan bahasa visual dengan audio. Tambahan kreativitas—yang lebih dari sekedar mengumpulkan para cosplayer dalam pengadeganan canggung—bakal amat berguna bagi Love Reborn. Komik, musik, dan kisah masa lalu. Ada usaha menjadikan ketiganya terikat, walau akhirnya ikatan itu cuma berakhir di permukaan, alih-alih satu kesatuan yang saling mengisi tanpa bisa dipisahkan.
Dari elemen estetika, sayangnya komik tak dipakai mempercantik tata visual sebagaimana musik kurang dimanfaatkan guna membangun emosi. Akad milik Payung Teduh membuat konklusinya manis, tapi itu lebih karena kekuatannya sebagai lagu yang berdiri sendiri ketimbang kejelian sutradara Jay Sukmo (Catatan Akhir Kuliah, The Chocolate Chance) mengawinkan bahasa visual dengan audio. Tambahan kreativitas—yang lebih dari sekedar mengumpulkan para cosplayer dalam pengadeganan canggung—bakal amat berguna bagi Love Reborn. Komik, musik, dan kisah masa lalu. Ada usaha menjadikan ketiganya terikat, walau akhirnya ikatan itu cuma berakhir di permukaan, alih-alih satu kesatuan yang saling mengisi tanpa bisa dipisahkan.
Setidaknya alasan Kirei dan Bagus
jatuh cinta bisa diterima nalar dan hati. Kita menghabiskan cukup waktu bersama
mereka, biarpun (lagi-lagi) pengadeganan canggung Jay Sukmo kerap melucuti
romantisme. Ardit Erwanda masih kewalahan saat melakoni momen emosional. Belum
lagi gabungan artikulasi berantakan plus sound
mixing buruk membuat kalimat-kalimat dari mulutnya sulit didengar.
Ditunjang penokohan yang juga lemah, karakter Bagus yang sering meletup-letup
jadi kurang menarik simpati. Lain cerita dengan Nadya Arina pertengahan tahun
nanti juga bakal tampil di Kafir.
Cantik, jago mengolah emosi di takaran yang tepat, juga tak mati gaya ketika
dituntut bicara tanpa kata, pemilihan arah karir yang sesuai berpotensi
menjadikan gadis 20 tahun ini bintang di industri perfilman kita kelak.
TULLY (2018)
Rasyidharry
Mei 29, 2018
Bagus
,
Charlize Theron
,
Comedy
,
Diablo Cody
,
Drama
,
Jason Reitman
,
Mackenzie Davis
,
REVIEW
,
Ron Livingston
22 komentar
Film terbiasa membawa kita pada momen persalinan dramatis,
entah digiring menuju haru, atau kekacauan menggelitik. Dalam Tully, si tokoh utama tenang-tenang saja
ketika air ketubannya pecah. Malam menjelang persalinan ia pakai bermain
ponsel, sedangkan pasca jabang bayi lahir, cuma sambil lalu disentuhnya ranjang
si buah hati, sementara sang suami tidur pulas di kamar rumah sakit. Mungkin
ini wujud “kebiasaan” mengingat bayi yang diberi nama Mia itu adalah anak
ketiga. Mundur beberapa hari, seorang wanita sempat mengingatkan agar tidak
mengonsumsi kafein, saran yang tak diacuhkan oleh protagonis kita. Marlo (Charlize) bukannya bersikap masa bodoh
pada calon buah hatinya. Mungkin berdasarkan dua pengalaman mengandung
sebelumnya, kafein tidak berdampak baginya.
Kelahiran anak yang banyak orang anggap anugerah terkesan
biasa bagi Marlo dan Drew (Ron Livingston). Satu, proses ini bukan kali pertama
mereka alami. Dua, kelahiran Mia adalah awal segala kerepotan dan kesulitan
tidur akibat tangisan tengah malam. Terdengar pesimis bahkan depresif, tapi
dengan kolaborasi sutradara Jason Reitman (Up
in the Air, Juno, Young Adult) dan Diablo Cody selaku penulis naskah (Juno, Young Adult, Jennifer’s Body),
film ini tak pelak memproduksi setumpuk tawa. Banyak film bicara soal parenthood, namun Tully bukan film kebanyakan. Karena dalam film kebanyakan, Marlo
bakal dibawa membuktikan bahwa sebagai wanita tangguh dia mampu merawat Mia
seorang diri, dan Jonah (Asher Miles), puteranya yang mengidap gangguan
perkembangan, bisa belajar di sekolah umum layaknya anak “normal”.
Walau merupakan ode terhadap motherhood, sembari memamerkan kekuatan seorang ibu, Tully juga menyatakan jika menempuh
proses merawat anak lewat jalan “gampang” berupa bantuan pihak lain bukan suatu
masalah. Di sini, bantuan tersebut datang dari Tully (Mackenzie Davis), seorang
pengasuh malam hari, yang khusus bertugas menjaga bayi agar orang tuanya
memiliki waktu beristirahat. Tully dan Marlo ibarat kutub berlawanan. Melalui
keceriaan, semangat, serta bekal pengetahuan luasnya, Tully menjadi dinamo yang
menggerakkan (kembali) hidup Marlo, sedangkan performa berenergi Mackenzie
sendiri adalah dinamo yang menghidupkan sang titular character.
Percikan semangat Marlo boleh meredup nyaris di segala
situasi, tetapi dalam filmnya, tidak ada penampil yang lebih bersinar dibanding
Charlize Theron. Kebanyakan tokoh-tokoh hasil tulisan Diablo Cody adalah orang
bermulut tajam yang bagai pantang kehabisan variasi kalimat guna melontarkan
sarkasme. Dan Theron, sebagaimana pernah ia perlihatkan lewat Young Adult (2011) sempurna melakoni
itu. Tapi aspek terbaik aktingnya berasal dari momen non-verbal. Frustrasinya
terpancar kuat, pun begitu kaya caranya merespon omongan orang-orang. Belum
lagi terkait transformasi tubuhnya, di mana Theron menambah berat badannya
hampir 25 kg, supaya titik kala Marlo tertekan hingga enggan
mempedulikan diri tampak meyakinkan. Ingin
tahu seberapa ekstrim transformasi Theron? Film ini melakukan pengambilan
gambar mulai 22 September 2016, alias cuma sekitar 4 bulan pasca The Fate of the Furious (2017).
Jason Reitman tidak hanya membawa insting komedi, pula
pengadeganan dinamis, khususnya sewaktu filmnya menampilkan rutinitas Marlo.
Rutinitas itu boleh monoton, namun tidak dengan estetika pengemasannya, yang
turut ditemani permainan tata suara rancak. Mengenai departemen audio, menarik
mengamati deretan lagu yang dipakai. Begitu banyak lagu, meski mayoritas cuma
terdengar sepersekian detik. Satu yang paling menonjol yakni versi Beulahbelle
untuk You Only Live Twice milik Nancy
Sinatra. Entah ini ide Cody atau Reitman, tapi menengok liriknya, lagu yang
aslinya merupakan lagu tema film James Bond berjudul sama ini turut menjadi tease cerdik akan kejutan yang menanti
di penghujung durasi.
Ketika twist serupa
kerap dipakai film lain sebagai daya kejut semata, dalam Tully—biarpun penuh
lubang ditinjau dari tatanan logika—kejutan itu memunculkan suatu hal yang
mungkin banyak dari kita pernah alami. Kita sulit lepas dari diri kita di masa
lalu, apalagi bila masa lalu tersebut kita anggap sebagai “era keemasan”. Bagi Tully, itu bukan perwujudan “gagal move on”, karena mari akui, bertambah
tua tidak menggembirakan. Seperti kisah yang Tully tuturkan pada Marlo mengenai
kapal yang mengganti satu persatu, sosok masa lalu kita tetaplah kita, bukan
manusia berbeda. Dan jangan lupa, kita pernah jadi sosok yang kita anggap
lebih baik itu, yang segala keunggulannya dapat berguna menghadapi kesulitan masa
kini.
Twist di atas hanya bisa berhasil kalau
karakter suami tidak memberi cukup perhatian, sampai-sampai melewatkan detail
fakta penting yang mengisi kehidupan istrinya. Drew jelas bukan suami kejam. ia
menyayangi Marlo, dan bila diajukan pertanyaan mengenai kondisi keluarga
termasuk sang istri, ia akan mantap menjawab, “semua baik-baik saja”. He’s just a clueless guy, (unfortunately) like so many other husbands out there. Sebagai pria yang ingin
berkeluarga, Tully memberi saya
pelajaran atau tepatnya peringatan berharga seputar kepedulian terhadap istri. Bahwa
kepedulian tidak cukup dengan melihat kondisi eksternal, melainkan secara
konsisten menelusuri sisi internal, mencari tahu, kemudian memahami sang istri
lebih dalam.
THE GIFT (2018)
Rasyidharry
Mei 28, 2018
Ayushita
,
Charlie Meliala
,
Christine Hakim
,
Dion Wiyoko
,
Drama
,
Hanung Bramantyo
,
Ifan Ismail
,
Indonesian Film
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Reza Rahadian
16 komentar
Bagi banyak sutradara, mengarahkan Reza Rahadian, Ayushita Nugraha, Diyon Wiyoko, hingga Christine Hakim dalam satu film yang sepertiga bagian akhirnya bertempat di Italia merupakan kemewahan. Namun kita membicarakan Hanung Bramantyo. Baginya, menangani deretan nama besar serta setting luar negeri jadi hal biasa. Menjadi tidak biasa tatkala The Gift membawanya menarik rem dramatisasi, membiarkan musik mengalun secukupnya, dan menekan jumlah sekaligus intensitas tangisan. Rupanya setelah bertahun-tahun menerapkan pemahaman akan formula, Hanung masih menyimpan kepekaan bertutur.
Berusaha menyelesaikan novel terbarunya, Tiana (Ayushita Nugraha) pindah ke Yogyakarta, menempati kamar kosong yang terletak di kediaman Harun (Reza Rahadian). Mengalami gangguan penglihatan dan masalah personal terkait keluarga membentuk Harun sebagai pribadi yang kurang ramah. Berbeda kondisi fisik, keduanya memiliki kesamaan, sama-sama terbiasa memandang dunia dari dalam kegelapan. Dibantu naskah buatan Ifan Ismail (Habibie & Ainun, Ayat-Ayat Cinta 2), Hanung mempresentasikan percintaan sebagai hasil kecocokan dua insan, membangun romantika dari interaksi yang tersusun atas dialog tajam nan menarik ketimbang eksploitasi momen manis.
Kali ini Hanung turut menggunakan simbolisme yang tersaji subtil nan mulus, bermain-main dengan metafora guna menyoroti sisi gelap serta sifat hubungan manusia. Gembok pemisah kamar Tiana dan Harun melambangkan sekat pembatas dua hati, sementara bahasan soal "penglihatan" yang kental mengisi sepanjang film tak hanya bermakna literal. Apakah Tiana dengan mata yang sempurna mampu melihat lebih jelas dibanding Harun? Ataukah kesempurnaan itu membuatnya terlena, melupakan sensitivitas lain termasuk perasaan?
Dibekali kebebasan kentara memaksimalkan kualitas penyutradaraan Hanung. Hasil pengadeganannya penuh kreativitas yang memperkuat dinamika. Kamera bergerak lincah pun beberapa kali memanfaatkan pantulan cermin dengan puncak kebolehan menyusun mise-en-scène tersaji pada sebuah pertengkaran Harun dan Tiana, sedangkan karakter Simbok berdiri di kejauhan sambil merespon. Perpindahan rutin flashback ke masa kini pun bergerak rapi, saling menguatkan dan menyokong alih-alih mendistraksi. Tapi poin terbaiknya adalah penyusunan situasi dramatis.
Musik garapan Charlie Meliala dibiarkan melantun merdu sebagai latar, bukan media manipulasi rasa. Bahkan mayoritas momen terkuat tampil di tengah kesunyian mencekat layaknya tragedi yang menghadang tiba-tiba tanpa bisa kita antisipasi. Penampilan para pemain ikut jadi tonggak. Baik selaku tuna netra maupun ketepatan ekspresi emosi, telah cukup mengingatkan penonton betapa Reza Rahadian merupakan aktor terbaik yang jauh meninggalkan generasinya di level berbeda. Ayushita mengimbangi lewat sensibilitas tinggi, dan bukan sebuah kejutan kala Christine Hakim sanggup merenggut hati walau cuma muncul beberapa menit.
Sayangnya The Gift menurun saat menyentuh babak akhir, pasca memindahkan setting ke Italia seiring kehadiran Arie (Dion Wiyoko) mewarnai cinta segitiga, kemudian bertransformasi dari drama low-key menuju konflik penuh kebetulan yang bagai hasil kebingungan penulis menyusun konklusi. Belum lagi bumbu kejutan yang diharapkan mencengkeram emosi namun berakhir sebatas shock value akibat kurangnya fase pembangunan. The Gift bukan persembahan terbaik Hanung Bramantyo, tapi cukup menjadi bukti bahwa sang sutradara punya kapasitas lebih dari sekedar meramu tontonan sesuai pakem.
SOLO: A STAR WARS STORY (2018)
Rasyidharry
Mei 24, 2018
Alden Ehrenreich
,
Cukup
,
Donald Glover
,
Emilia Clarke
,
John Williams
,
Jonathan Kasdan
,
Joonas Suotamo
,
Lawrence Kasdan
,
Paul Bettany
,
Phoebe Waller-Bridge
,
REVIEW
,
Ron Howard
,
Science-Fiction
,
Woody Harrelson
8 komentar
Kalau anda ingin tahu mengapa Han begitu apatis khususnya di
paruh awal A New Hope (1977), film
ini akan memberi jawaban. Kalau anda ingin tahu bagaimana hubungan Han dan
Lando bermula, dan mengapa Lando tega berkhianat di The Empire Strikes Back (1980), film ini akan memberi jawaban. Pun film
ini menguatkan teori bahwa Han semestinya menembak Greedo terlebih dahulu dalam
konforntasi keduanya di Tatooine. Pertanyan-pertanyaan di atas sebenarnya tak
memerlukan jawaban dan lebih baik ditinggalkan sebagai bagian mitologi tanpa
batas. Tapi kalau—seperti saya—anda ingin
mengunjungi berbagai planet serta makhluk baru nan unik juga petualangan
mendebarkan kaya imajinasi, Solo: A Star
Wars Story kemungkinan takkan memuaskan, meski mengingat kendala
produksinya, filmnya urung menjadi sampah sudah pantas disyukuri.
Bahkan corak warna filmnya pun cenderung pucat, beberapa kali
malah ditambah pencahayaan minim. “Galaksi nun jauh di sana” tak pernah terlihat
selesu ini. Nuansa familiar baru terpancar sewaktu kita mampir ke markas Dryden
Vos (Paul Bettany) yang mewah, penuh alien, sampai penyanyi dengan mikrofon
futuristik dan gaun emas. Toh semua itu cuma sejenak. Sebab seperti tertulis di
narasi awal, Solo bertempat di masa
kegelapan. Han (Alden Ehrenreich) pun berasal dari sebuah tempat kumuh di
Planet Corellia, bekerja sebagai pencuri sambil berharap mampu mengumpulkan
uang demi memperoleh kehidupan yang lebih baik bersama cintanya, Qi’ra (Emilia
Clarke). Untunglah di zaman kelam ini, filmnya masih ingat untuk menyelipkan
romansa. Space opera tanpa romansa ibarat
komedi nihil lelucon.
Solo sendiri tampak sebagai film kaya
ambisi. Bukan cuma space opera, unsur
heist dan western, atau bisa kite sebut “space
western” turut diselipkan. Dan sebagaimana formula heist, kita bisa menemukan adegan judi (permainannya disebut sabacc),
yang juga berperan selaku perkenalan bagi Lando Calrissian yang diperankan Donald
Glover a.k.a. Childish Gambino dengan flamboyan. Namun sebagai heist, Solo bukanlah heist yang baik. Aksi Han bersama Tobias
Beckett (Woody Harrelson) dan gengnya menjalankan beberapa misi perampokan
tidak dikemas secara bergaya oleh sutradara Ron Howard (A Beautiful Mind, The Da Vinci Code, Rush), tidak pula tersusun
atas rencana taktis. Pun tanpa cukup gaya dalam kemasan baku tembak, Solo juga urung menjadi western yang baik.
Skenario garapan Lawrence Kasdan (The Empire Strikes Back, Return of the Jedi,
The Force Awakens) dan puteranya, Jonathan Kasdan (In the Land of Women), cukup kokoh menyusun penokohan. Seluruh protagonis
kita awalnya tampak sebagai individu egosentris maupun berbahaya, sebelum
akhirnya, meski sekelumit, terungkap bahwa mereka merupakan sosok dengan hati
yang memiliki orang-orang untuk dicintai: Lando dan droid miliknya, L3-37 yang amat mencuri perhatian berkat pembawaan
jenaka Phoebe Waller-Bridge, percikan romansa Tobias dan Val (Thandie Newton),
Chewbacca (Joonas Suotamo) dengan keluarganya, dan percintaan Han-Qi’ra.
Walau akhirnya mereka tetap kriminal sekaligus penyintas di suatu masa sulit,
masa di mana petualangan luar angkasa megah jarang bertempat.
Sekalinya terjadi, sesungguhnya Ron Howard dibantu
sinematografi garapan Bradford Young (Arrival)
sanggup mengkreasi gambar epic
tatkala Han dan kawan-kawan berhadapan dengan salah satu monster terbesar di franchise Star Wars sejauh ini. Ketika akhirnya lagu tema gubahan John
Williams kembali berkumandang, Solo
pun sepenuhnya menjadi space opera
yang dicintai jutaan penonton meski hanya untuk beberapa menit. Sisa adegan
kejar-kejarannya tak sebegitu mempesona pun kurang mengeksplorasi kemampuan
plus kegilaan Han selaku pilot (kecuali adegan “The Maw”). Menariknya,
momen aksi jarak dekat justru tergarap apik, khususnya saling tebas antara Qi’ra
dan Dryden. Sebagai alumnus Game of Thrones yang tentunya familiar
dengan pertarungan pedang, tak mengherankan Clarke mampu melakoninya dengan
meyakinkan.
Bagi penggemar, deretan easter
eggs serta cameo jelas jadi
hiburan tersendiri. Dan bagi penggemar, atau penonton yang tidak sama sekali
asing dengan Star Wars, tentu bisa
menebak beberapa hal yang akan terjadi: kemunculan Lando, pertemuan Han dengan
Chewie, maupun nasib romansa Han dengan Qi’ra. Tapi Solo berhasil mementahkan ekspektasi ketika merangkum hal-hal terduga
itu melalui jalan tidak terduga. Tapi bagi sebagian besar penggemar, pertanyaan
terpenting adalah, “apakah Alden tampil baik?”. Dia punya pesona. Belum sekuat
Harrison Ford, tapi bisa dimaklumi mengingat Han di sini belum sematang versi
Ford. Masalahnya, Han versi Alden bukan karakter paling keren (Lando) atau
paling badass (Tobias). Ditambah kurang
efektifnya penggarapan Howard dan pembawaan Alden terhadap momen one-liner, makin tenggelamlah sang tokoh
ikonik di filmnya sendiri.
ALAS PATI (2018)
Rasyidharry
Mei 22, 2018
Aviv Elham
,
horror
,
Indonesian Film
,
Jeff Smith
,
Jelek
,
Jose Purnomo
,
Naomi Paulinda
,
Nikita Willy
,
REVIEW
,
Ricky Lionardi
,
Roy Sungkono
,
Steffi Zamora
23 komentar
“What??? Seriously?!
“. Kalau anda menonton Alas Pati,
niscaya kalimat tanya tersebut bakal mengendap di otak. Salah satu karakternya
mengucapkan itu beberapa kali sebelum tewas. Pun respon itu juga yang sering
saya lontarkan sepanjang film. Saya teringat beberapa tahun lalu, semasa SMP,
kala tengah menyaksikan pertunjukan musik di pinggir pantai. Suara ombak dan
angin berlomba dengan distorsi gitar yang menggedor lewat amplifier. Nada yang dimainkan tak jelas, tapi pastinya gitar
rombeng itu dimainkan dalam volume tertinggi. Seusai penampilan, saya mempertanyakan
pengaturan suara tersebut, yang dijawab dengan lantang, “rock is loud, bro!”. Mungkin jika anda tanyakan pada Jose Purnomo (Jailangkung, Gasing Tengkorak), ia pun
akan menjawab “horror is loud, bro!”.
Dibantu musik gubahan Ricky Lionardi (Danur 2: Maddah, Bayi Gaib: Bayi Tumbal Bayi Mati), Jose menyerbu
telinga penonton dengan musik sekencang mungkin, dalam adegan sebanyak mungkin.
Termasuk di setiap false alarm yang
kerap terjadi karena karakternya sering salah lihat, mana kaki hantu mana kaki
manusia, mana rambut kuntilanak mana rambut mahasiswi. Bahkan sewaktu terornya berwujud
kebisingan statis dari alat pendeteksi suara pun, musik tetap diputar
sekeras-kerasnya. Seiring waktu saya pun mulai kebal dengan jump scare yang ditawarkan Alas Pati. Saya mulai mati rasa seiring
keengganan film horor satu ini untuk memainkan rasa takut penonton.
Padahal premisnya menjanjikan. Naskah yang ditulis berdua
oleh Jose Purnomo dan Aviv Elham (Dubsmash,
Sang Sekretaris) seolah ingin memberi pelajaran kepada para remaja kekinian
yang bersedia melakukan apa saja demi ketenaran dunia maya. Apa saja, termasuk berkunjung
ke hutan angker bernama Alas Pati, di mana terdapat kuburan terkutuk di
dalamnya, sebagaimana dilakukan lima remaja pencari tantangan dan penonton
YouTube. Raya (Nikita Willy) merasa perjalanan itu akan seru, Randy (Roy
Sungkono) yakin video petualangan ke lokasi angker bakal mendongkrak jumlah
penonton, sementara Vega (Stefhanie Zamora) butuh uang untuk membayar indekos.
Ketiga alasan itu sepertinya sudah merangkum tujuan hidup banyak muda-mudi masa
kini.
Sesampainya di Alas Pati, para remaja ini mulai bertingkah
tidak sopan, bermain-main dengan mayat dan kuburan. Jangankan arwah-arwah
penasaran di sana, saya di kursi penonton pun ingin mereka semua tewas.
Memiliki deretan tokoh menyebalkan dalam film horor bukan masalah, sebab
melihat satu per satu dari mereka dibantai juga memberikan hiburan tersendiri.
Tapi alih-alih secara konstan memenuhi harapan tersebut, Alas Pati justru memaksa kita menunggu, menunggu, dan terus menunggu
dalam rangkaian keusilan hantu yang cuma sesekali memberi dampak. Salah satu
momen paling mencekam justru bukan dari gangguan dedemit, melainkan ketika Roy
yang tengah merekam video dari jendela mobil nyaris terserempet truk, karena pemilihan
waktunya tak terduga dan tanpa kesan mengulur waktu.
Mayoritas jump scare terlampau diulur, urung memamerkan penampakan ketika kecemasan memuncak, dan
baru memunculkan sang hantu saat saya sudah menguap, lelah menanti, bagai usaha
malas sutradara dan penulis naskah agar mencapai batas minimal durasi film panjang.
Sulit untuk tidak berharap Alas Pati tetap
bertahan di hutan. Setidaknya di sana aroma kengerian lebih semerbak. Sayang,
pasca sebuah adegan kematian mengejutkan yang dieksekusi solid dibalut gore memadahi, karakternya pulang ke
kota, ke rumah masing-masing, dengan darah teman mereka masih mengotori sekujur
tubuh. Jika ada di posisi serupa, saya akan mencuci muka di sungai yang harus
diseberangi sebelum mencapai hutan daripada menunggu berjam-jam kemudian. Bodoh
memang, bahkan untuk ukuran horor remaja.
Bicara soal remaja, jajaran cast-nya bahkan tidak kuasa menjadikan obrolan sehari-hari
terdengar realistis, apalagi asyik disimak. Ada usaha dari naskahnya guna
menjalin interaksi menarik melalui beragam kelakar, namun kelima bintang
mudanya adalah pelontar lelucon yang buruk. Begitu pula tatkala dipaksa
berakting ketakutan. Mereka tampak kurang meyakinkan, dibuat-buat, atau menampakkan
ekspresi seseorang yang mendapati bakso yang diinginkan sudah habis terjual
ketimbang melihat setan. Seperti Jessy (Naomi Paulinda), saya pun berkali-kali
ingin berteriak, “What??? Seriously?!
“.
DEADPOOL 2 (2018)
Rasyidharry
Mei 16, 2018
Action
,
Bagus
,
Comedy
,
David Leitch
,
Josh Brolin
,
Julian Dennison
,
Paul Wernick
,
REVIEW
,
Rhett Reese
,
Ryan Reynolds
,
Zazie Beetz
49 komentar
Deadpool alias Wade Wilson (Ryan Reynolds) tidak bisa mati, bahkan
ketika ledakan membuat seluruh bagian tubuhnya berhamburan seperti tampak pada
adegan pembuka. Dia bisa tanpa ragu menerjang markas Yakuza maupun mafia
berbahaya mana pun. Pasca film pertama, seolah segalanya menjadi mudah bagi
Wade yang kini berprofesi sebagai pembunuh bayaran pengincar kepala para
kriminal di seluruh dunia. Rupanya tidak semudah itu. Dia kebal dan “tak
tersentuh”, tapi tidak demikian dengan orang-orang di sekitarnya. Berpijak pada
gagasan itu, Deadpool 2 mengangkat
cerita yang amat mewakili rasa buku komik. Saya tak bisa mengungkapnya, tapi
jika anda familiar dengan komik pahlawan super, anda tahu aspek mana dalam
hidup mereka yang tersulit, bahkan tidak jarang tragis.
Di balik segala guyonan semau sendiri serta olok-olok
terhadap nuansa gelap film DC, Deadpool 2
sejatinya mengusung kisah kelam. Tidak hanya bagi Mr. Pool, juga Russell
Collins (Julian Dennison), si mutan muda berkekuatan api, dan Cable (Josh
Brolin), mantan prajurit yang datang dari masa depan guna membunuh Russell. Dua
wajah berlawanan itu turut ditampakkan oleh performa Ryan Reynolds. Mengenakan
topeng Deadpol, ia tampil jenaka, layaknya penampil yang mampu melakukan apa
pun, membuat gestur apa saja. Tanpa topeng, sebagai Wade Wilson, meski tetap
ada kekonyolan, Reynolds menyuntikkan sisi melankolis tragis dalam diri Wade.
Biasanya dari sini saya akan mengulik satu per satu elemen
cerita filmnya, tapi Deadpool 2,
dengan kadar kejutan tak kalah dibanding Avengers:
Infinity War menyulitkan itu dilakukan. Satu hal yang perlu anda ketahui,
bahwa ada banyak kejutan bertebaran, baik berbentuk poin plot, kemunculan dan kematian
karakter (so many hilarious death scenes),
serta beberapa cameo termasuk
kemunculan sekejap mata seorang bintang ternama. Belum termasuk empat mid-credit scenes—dengan tiga adegan
terakhir dirangkum jadi satu—yang membuktikan kreativitas gila Ryan Reynolds
selaku penulis naskah bersama Rhett Reese dan Paul Wernick.
Karena sulit mengulas alur, mari membahas suguhan aksinya.
Memiliki David Leitch di kursi penyutradaraan, meski koreografinya tak
sekompleks karya-karya Leitch sebelumnya (John
Wick, Atomic Blonde), beberapa porsi laga, khususnya saat mengeksploitasi kegarangan
Josh Brolin sebagai Cable, acap kali mengundang decak kagum. Tidak kalah mencuri
perhatian yakni Zazie Beetz sebagai Domino si mutan penuh keberuntungan. Beetz adalah
talenta langka. Punya fisik atraktif, berkarisma dan tampak tangguh kala
melakoni aksi, namun piawai melucu. Apabila suatu hari nanti ada usaha
membangkitkan blaxploitation lewat remake judul-judul klasik macam Foxy Brown dan Coffy, Beetz mestinya jadi pilihan utama.
Untuk Deadpool sendiri, Leitch memanfaatkan ketidakmampuan si
tokoh meregang nyawa guna memoles aksi kreatif. Dia bisa mencekik musuh dengan
lengannya sendiri yang patah, terpotong tubuhnya menjadi dua, sampai hancur
berkeping-keping tapi masih sempat mencela Wolverine. Dia bisa melakukan semua hal kecuali tutup
mulut. Dan satu hal yang filmnya tak bisa lakukan adalah berhenti menggila,
berhenti melontarkan lelucon-lelucon meta. Deadpool
2 enggan membiarkan satu pun pihak lolos dari caci maki, termasuk Rob
Liefeld, sang kreator tokoh Deadpool, Cable, dan X-Force, yang konon tidak bisa menggambar kaki
(silahkan googling “Rob Liefeld’s feet). Kegilaan non-stop adalah keputusan tepat, kecuali
pada first act, sekitar 10-15 menit
awal ketika penonton—setidaknya saya—masih butuh waktu menyesuaikan diri.
Dari Only Time milik
Enya yang syahdu, Bangarang-nya Skrillex
yang menjadikan perkelahian Deadpool melawan Cable semakin keren, hingga Ashes milik Celine Dion selaku pengiring
intro ala James Bond, jadi bukti betapa kegilaan dan daya kejut Deadpool 2 ikut menular ke soal pemilihan
musik. Siapa sangka juga versi akustik mellow dari Take on Me dapat terdengar luar biasa manis? Atau lebih tepatnya,
siapa sangka film seperti Deadpool 2 mampu
tampil manis, romantis, menyentuh, setidaknya di bagian penutupnya? I can’t believe I’m saying this, but yes, I
cried watching Deadpool 2!
OFFICIAL TRAILER DAN POSTER "THE GIFT", KARYA BARU HANUNG BRAMANTYO
Rasyidharry
Mei 14, 2018
Ayushita
,
Dion Wiyoko
,
Drama
,
Hanung Bramantyo
,
Indonesian Film
,
Reza Rahadian
15 komentar
Mendengar nama Hanung Bramantyo, kemungkinan besar yang
terlintas di benak kebanyakan dari kita adalah sutradara “film komersil”. Tidak
sepenuhnya keliru. Hanung sendiri mengakui, sebagai seniman sekaligus pekerja
industri, dia mesti bisa memilah, kapan harus membuat film yang ditujukan bagi
penonton (baca: berorientasi keuntungan finansial), kapan bisa mengedepankan
idealisme dan bertutur sebebas mungkin. The
Gift, selaku karya ke-30 Hanung sepanjang 14 tahun karirnya sebagai
sutradara, jelas masuk golongan yang disebut terakhir. Hanung sendiri
menyatakan, bahwa inilah dirinya dalam kemerdekaan seutuhnya.
The Gift yang sempat diputar di
Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) pada Desember 2017 lalu ini bercerita
tentang Tiana (Ayushita Nugraha), seorang novelis yang tinggal bersebelahan
dengan Harun (Reza Rahadian), seorang lelaki dengan penglihatan tidak sempurna.
Awalnya saling bertengkar, lama-kelamaan mereka mulai dekat, bahkan saling
mencintai. Tiana belajar jika di balik ketidaksempurnaan Harun, justru banyak
keindahan baru dalam hidup bisa ia temui. Sementara Harun menemukan sosok
wanita yang bersedia menerima kekurangannya.
Menengok trailer-nya,
langsung terasa peralihan gaya Hanung dibanding kebanyakan karyanya belakangan
ini. The Gift tampak sebagai
romantika sederhana berbalut pemaknaan kehidupan, yang alih-alih mempersenjatai
diri dengan gempuran dramatisasi, memilih pendekatan kontemplatif. Walau baru
nampak sekilas, pun Reza Rahadian menjanjikan performa meyakinkan nan alamiah
sebagai pria tuna netra. “Damai dan cantik”. Mungkin itu kesan spontan yang
saya dapat selama menyaksikan trailer
The Gift, yang tentu saja saya
harapkan juga muncul kala menyaksikan hasil akhir filmnya. Untuk merasakan
kesan serupa, silahkan saksikan trailer-nya
berikut ini, atau bisa dengan menunjungi kanal YouTube resmi “The Gift Movie
ID”.
Dibintangi juga oleh Dion Wiyoko (Terbang: Menembus Langit), Christine Hakim (Kartini, Guru Bangsa
Tjokroaminoto), Rukman Rosadi (Love
for Sale, Arini), dan Annisa Hertami (Aach...Aku
Jatuh Cinta, Soegija), The GIft
akan tayang di bioskop mulai 24 Mei 2018.
RAAZI (2018)
Rasyidharry
Mei 13, 2018
Alia Bhatt
,
Bagus
,
Bhavani Iyer
,
Hindi Movie
,
Meghna Gulzar
,
Rajit Kapur
,
REVIEW
,
Thriller
7 komentar
Dalam thriller
spionase tentang agen ganda, bagian paling intens tidak pernah jauh dari usaha
protagonis berpacu dengan waktu dan celah peluang sempit untuk menjalankan misi
sambil melindungi penyamarannya. Kita tahu bahwa kemungkinan besar ia bakal
berhasil, dan di mayoritas kesempatan memang demikian hasilnya. Tapi dalam Raazi yang diangkat dari novel Calling Sehmat buatan Harinder Sikka,
yang mana terinspirasi dari peristiwa nyata, aksi kecoh-mengecoh itu membuat
saya mencengkeram kursi sembari menahan nafas. Begitu menegangkan sampai saya
sejenak lupa kalau hasil akhirnya telah diketahui. Rasanya seperti dibawa
terjun langsung ke tengah peristiwa saat itu juga. This, ladies and gentlemen, is a high-class thriller.
Dalam film serupa, merupakan konflik biasa tatkala muncul
kepedulian sang agen ganda terhadap target operasi, di mana ada jalinan emosi
yang menghasilkan bias. Tapi, seperti yang belum lama ini saya tuturkan melalui
ulasan 102 No Out, perfilman
Bollywood tengah bagus-bagusnya membungkus drama. Terjadi pula di sini sewaktu
duo penulis naskah, Bhavani Iyer dan Meghna Gulzar, mengedepankan unsur cinta,
nilai kekeluargaan, serta bagaimana jika keduanya dibenturkan dengan patriotisme.
Awalnya, Raazi terasa sebagai usaha
terlampau gamblang guna menyuarakan patriotisme. Hidayat (Rajit Kapur), yang
menjalin persahabatan dengan Brigadir Pakistan demi mengorek informasi bagi
India bersedia memberikan nyawa bagi negerinya. Hal itu ia ucapkan secara
verbal, bukan nilai tersirat yang akan dipetik penonton.
Begitu tumor paru-paru ganas membuat usianya tak lagi lama,
Hidayat mengirim puteri tunggalnya, Sehmat (Alia Bhatt) untuk melanjutkan misi
tersebut. Sehmat bakal dinikahkan dengan putera sang Brigadir, lalu diam-diam
menyuplai informasi kepada intelijen India. Seperti ayahnya, Sehmat lantang
berkata bahwa tidak ada yang lebih penting ketimbang tanah air. Apabila anda
berasal atau dekat dengan keluarga militer, pasti tahu jika patriotisme
turun-temurun macam ini wajar terjadi, bukan ketidaklogisan naskah filmnya.
Namun perlahan, khususnya setelah mencapai konklusi, Raazi mengungkap “wajah aslinya”. Ini bukan propaganda pendukung
patriotisme buta. Sebaliknya, Raazi
menunjukkan betapa kebutaan itu dapat menghapus rasa kemanusiaan, memporak-porandakan
cinta bahkan keluarga. “Dia cuma melakukan itu demi negara”, sebut seorang
tokoh. Saat itulah nurani dipertanyakan.
Seperti telah disebut, sumber adaptasinya mengambil inspirasi
dari kisah nyata, tepatnya Perang India-Pakistan tahun 1971. Jangan khawatir
akan tersesat apabila kurang familiar dengan salah satu babak sejarah tersebut,
meski tidak ada salahnya membaca satu-dua sumber terlebih dahulu. Setelah lima
menit awal yang diisi pemaparan fakta dan nama beruntun, Raazi cenderung mudah dicerna. Karena walau berlatar konflik
internasional, fokus alurnya terjaga, setia bertahan di lingkup misi Sehmat,
sambil sesekali menggali drama keluarga pemicu dilema dalam dirinya. Bhavani
Iyer dan Meghna Gulzar urung tergoda menyentuh ranah yang lebih luas nan
bombastis. Memanasnya konflik India-Pakistan merupakan latar, sedangkan kisah
utamanya tetap personal.
Sebagai intelijen, demi mejaga kerahasiaan jati diri, Sehmat
mesti menempuh berbagai jalan rumit guna menjalankan misi. Dia mesti
menghafalkan sandi morse, kode nama untuk tiap-tiap pihak Pakistan, sandi,
serta identitas para agen lain yang siap memberi bantuan. Rumit, tapi kerumitan
itu dijaga supaya cukup ada di kepala Sehmat semata. Kita, penonton, tidak ikut
dibuat pusing karenanya. Semua berkat naskah ditambah kemampuan bercerita secara
rapi milik sang sutradara, Meghna Gulzar (Just
Married, Talvar). Pun Meghna dibantu penyuntingan dinamis Nitin Baid, yang
acap kali melahirkan kesempurnaan timing
penyulut ketegangan tingkat tinggi. Banyak unsur “tiba-tiba” yang mampu
menggedor jantung berkat elemen tersebut. Momen Sehmat diam-diam menyalin
berkas sang mertua contohnya.
Digawangi oleh penulis naskah dan sutradara wanita, Raazi pun turut menjelma jadi kisah
pameran kekuatan seorang wanita, yang mengalami transformasi, dari mahasiswi
yang tak sanggup melihat seekor tupai terlindas mobil, menjadi agen rahasia
tangguh yang bersedia melindas tubuh manusia dengan mobil. Alia Bhatt menjual
perkembangan karakter itu dengan baik, meyakinkan sebagai intelijen yang taktis
sekaligus cerdik dalam menyelesaikan tugas. Biar demikian, momentum terbaiknya
selalu terjadi kala bersinggungan dengan porsi drama emosional. Sebab pada
momen-momen itu juga, kita melihat kekuatan terbesar Sehmat. Bukan soal merenggut nyawa atau menipu lawan, melainkan tetap bertahan sebagai
manusia berperasaan meski dihimpit situasi.
PERILISAN OFFICIAL TEASER WIRO SABLENG
Setelah merilis official
first look 4 bulan lalu, disusul sederet poster bagi tiap-tiap karakter, Wiro Sableng akhirnya merilis teaser perdananya pada Jumat (11/05)
sore. Saya ingat betul, semasa kecil dulu karakter ciptaan mendiang Bastian
Tito ini rutin menemani di layar kaca, lengka dengan lagu tema ikonik yang
pasti dihafal semua kalangan, dari orang dewasa sampai siswa SD seperti saya
waktu itu. Saya pun antusias meyambut pengumuman pembuatan versi layar lebar
yang diproduksi oleh Lifelike Pictures (Tabula
Rasa, Modus Anomali, Pintu Terlarang), serta digarap oleh salah satu
sutradara terbaik negeri ini, Angga Dwimas Sasongko (Filosofi Kopi, Surat dari Praha). Sementara naskahnya ditulis oleh
Tumpal Tampubolon (Tabula Rasa),
Sheila Timothy (juga bertindak sebagai produser), dan Seno Gumira Ajidarma (Pendekar Tongkat Emas).
Melegakan pula mendapati Vino G. Bastian, putera Bastian
Tito, memerankan Wiro. Artinya, warisan sang penulis ada di tangan yang tepat. Pun
ada faktor lain mengapa Wiro Sableng
adalah proyek yang sangat potensial. Saya jarang menyebut “bangga, karya anak
bangsa” atau semacamnya. Bagi saya, film adalah film, tidak peduli buatan anak
siapa atau bangsa mana. Tapi Wiro Sableng
lain cerita. Keterlibatan Fox International Productions, selaku anak perusahaan
20th Century Fox membuat film ini bukan lagi “sebatas film”. Agustus 2018 ketika filmnya rilis (maju
dari rencana awal) jadi event yang patut
dirayakan. Karena, jalan industri perfilman nasional menuju kancah
internasional lebih terbuka lebar. Joint
promotion Wiro Sableng dengan Deadpool 2 beberapa waktu lalu jadi
bukti. Proyek-proyek besar lain pun bukan bisa segera bermunculan.
Selain Vino G. Bastian, turut terlibat yakni Sherina Munaf sebagai
Anggini, Fariz Alfarazi sebagai Bujang Gila Tapak Sakti, Yayan Ruhian sebagai
sosok penjahat Mahesa Birawa, Ruth Marini sebagai Sinto Genden, dan Andy /rif
sebagai Dewa Tuak. Nama yang disebut terakhir mengalami transformasi fisik yang
mengejutkan berkat tata rias memikat. Ya, menilik teaser yang baru dirilis, Wiro
Sableng memang menjanjikan beragam tata artistik memukau, dari kostum
hingga desain produksi yang menampilkan nuansa khas sajian kolosal nusantara
termasuk guratan motif batik di Kapak Naga Geni 212. Simak teaser-nya berikut ini dan perhatikan berbagai elemen yang saya
sebutkan.
Untuk info lebih lanjut, kunjungi akun Instagram filmnya di @wirosablengmovie
#SiapSableng di bulan
Agustus?
EL (2018)
Rasyidharry
Mei 10, 2018
Achmad Megantara
,
Aurelie Moeremans
,
Brigitta Cynthia
,
Dimaz Andrean
,
Djaumil Aurora
,
Findo Purwono HW
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Meriam Bellina
,
REVIEW
,
Romance
9 komentar
Dafychi (Aurelie Moeremans) adalah gadis berkepribadian ganda,
kondisi yang membuatnya dianggap aneh dan ditakuti teman-teman sekolahnya. Mario
(Achmad Megantara) adalah pengusaha muda sukses yang galak, sikap yang
membuatnya dianggap aneh dan ditakuti para bawahan. Keduanya bertemu, jatuh
cinta, lalu saling menyembuhkan kondisi masing-masing. Gangguan psikis Dafychi
si gadis bandel—yang tiap mendengar bunyi ledakan bakal berubah menjadi Dafyna
si gadis manis—bisa dipahami. Sebuah trauma menekannya. Tapi Mario? Dia kaya,
sukses dalam bisnis, pun tak kekurangan kasih, sebab meski eksentrik, sang ibu
(Meriam Bellina) menyayanginya. Mengapa ia begitu sinis, bahkan kadang bagai
tanpa perasaan?
Haruskah ada alasan di balik karakteristik Mario itu? Tidak
juga. Masalahnya terletak pada konsistensi. Apa Mario seorang anti-sosial? Melihat
antusiasmenya kala kembali bertemu si kawan lama, Ando (Dimaz Andrean), rasanya
tidak. Walau gangguan psikologis dimiliki Dafychi, Mario justru lebih sulit
dipahami. Di suatu malam, Mario dan Dafychi bertemu Alena (Dara Warganegara),
mantan pacar Mario yang masih kukuh mengejarnya. Alena memamerkan pacar barunya
(jelas guna memanas-manasi sang mantan), yang Mario balas dengan mengenalkan Dafychi
sebagai “adiknya Ando”. Itu kebodohan yang sulit dipercaya dapat dilakukan pria
dengan pengalaman pacaran tidak nihil.
Tapi Djaumil Aurora (Mata
Dewa, Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi), yang bertugas menulis naskah adaptasi novel
berjudul sama karya Luluk HF, bisa berdalih bahwa hal di atas tidak mustahil.
Ya, saya akui probabilitasnya belum mencapai 0%. Saya memilih ikut serta,
pasrah mau dibawa ke mana oleh EL.
Saya cuma berharap disuguhi komedi-romansa manis, menggelitik, nan bernyawa.
Potensi komedinya besar. Bayangkan tokoh sekaku Mario disandingkan dengan gadis
“seliar” Dafychi. Belum lagi ketika dihadapkan pada perubahan drastis pada
kepribadian Dafychi-Dafyna. Beberapa comic
timing agak kacau akibat penyuntingan berantakan yang didasari niatan
menyusun tempo cepat, namun justru berakhir tak memberi kesempatan penonton
meresapi kelucuannya.
Untung tidak seluruhnya demikian. Beberapa mampu memancing
tawa, meski lebih disebabkan energi seorang Aurelie. Energi yang begitu tinggi
sampai naskah, penyutradaraan Findo Purwono HW (Suster Keramas 2, Eyang Kubur), maupun akting Achmad Megantara tak mampu
mengimbangi demi menciptakan dinamika yang saling mengisi. Sang aktris berdiri
seorang diri menopang filmnya dari keruntuhan total. Bicara soal pasangannya,
Achmad Megantara berusaha amat keras, acap kali terlampau keras malah, untuk
terlihat, terdengar, dan terasa sebagai pria serius, ketus, kaku, juga keren. Segala
tujuan itu tak ada yang tercapai karena penampilannya nampak dibuat-buat. Atau sosok aslinya memang demikian? Itu lebih celaka.
EL mengangkat persoalan kepribadian
ganda, yang sangat jarang dijamah perfilman negeri ini. Walau agak
menyayangkan, saya tidak terkejut saat mendapati filmnya urung memberi
pemahaman baru terkait kondisi tersebut. Menjadi patut disayangkan tatkala
keadaan unik itu gagal dimaksimalkan untuk menambah dinamika interaksi kedua
tokoh utama. Paruh awalnya cukup menarik. Mario yang kerepotan menghadapi
kebandelan Dafychi, kemudian disusul kemunculan Dafyna yang membuatnya semakin
bingung. Memasuki paruh kedua, keliaran Dafychi justru ditekan, konflik pun
bergeser ke ranah lebih generik. Apalagi kalau bukan tentang kecemburuan dan
cinta segitiga.
Ada satu sub-plot mengenai Sivia (Brigitta Cynthia), sahabat
Dafychi di kelas sekaligus korban tindak kekerasan oleh sang ayah. Cerita
sampingan ini hanya punya dua substansi: menciptakan klimaks dan membuka jalan bagi
terselesaikannya seluruh konflik. Setidaknya dari situ kita berkesempatan
melihat Verdi Solaiman dalam salah satu peran antagonisnya yang paling gampang
menyulut kebencian meski cuma muncul sejenak. Verdi dann Aurelie jelas layak
berada di film yang jauh lebih baik. Bahkan sesungguhnya, melihat beragam
potensi yang ada, EL berhak memperoleh
eksekusi yang lebih mumpuni.
BASED ON A TRUE STORY (2017)
Rasyidharry
Mei 09, 2018
Alexandre Desplat
,
Drama
,
Emmanuelle Seigner
,
Eva Green
,
Lumayan
,
Olivier Assayas
,
REVIEW
,
Roman Polanski
,
Thriller
12 komentar
Art imitates life. Karya seni mengimitasi realita.
Istilah tersebut sebenarnya erat kaitannya dengan metode seorang seniman
mengais inspirasi, yakni bersumber dari dunia nyata. Tapi dalam perjalanannya,
penciptaan karya, yang juga merupakan proses penciptaan kehidupan di tatanan
fiktif, dapat memunculkan efek berkebalikan apabila sang pembuat karya mulai
terseret terlampau jauh menuju kreasinya. Terjadilah life imitates art. Hal ini jadi pokok bahasan Based on a True Story yang menampilkan kolaborasi Roman Polanski (The Pianist, Chinatown, Rosemary’s Baby)
dan Oliver Assayas (Personal Shopper,
Clouds of Sils Maria) sebagai penulis naskah. Hanya saja, proses observasi itu
ditambahi bumbu thriller.
Seorang novelis yang baru meraih kesuksesan perdana, tersiksa
akibat kebuntuan menulis, lalu bertemu penggemar misterius seiring dengan
memudarnya batasan fantasi dan realita sang novelis. Premisnya familiar,
apalagi bagi kedua penulis naskah. Film terakhir Polanski, Venus in Fur (2013) serta judul-judul lamanya kerap membahas soal
itu, sementara Assayas, hampir di tiap karyanya, gemar bertutur tentang krisis
eksistensial. Paruh awalnya bekerja layaknya drama psikologis observasional
pada umumnya, ketika Delphine (Emmanuelle Seigner, istri Polanski) berkenalan
dengan Elle (Eva Green), si penggemar berat yang ia rasa amat mengerti isi hati
dan pikirannya. Dari penggemar-idola, hubungan keduanya cepat berkembang
menjadi persahabatan.
Delphine bersedia menunjukkan ringkasan novel terbaru yang
tengah susah payah ia tulis, memberitahu kata sandi komputernya, bahkan
mengizinkan Elle tinggal di apartemennya sementara waktu. Kehadiran Elle dirasa
mampu melucuti beban Delphine, yang bukan cuma buntu, pula sedang menghadapi
teror dari surat misterius yang menuduhnya mengeksploitasi aib keluarga lewat
novel. Semakin jauh kisahnya bergerak, nuansa thriller makin kental merasuk, bahkan mencapai third act, Based on a True
Story mulai terang-terangan merujuk pada Misery (1990), lengkap dengan penulis yang kakinya terluka dan mesti
terus berbaring.
Di tangan Polanski selaku sutradara, Based on a True Story lebih condong ke ranah slow-burning thriller ketimbang drama meditatif sebagaimana
pendekatan Assayas sebagai sutradara. Pun tak mengejutkan ketika aroma
psikoseksual samar-samar tercium di balik interaksi Delphine dan Elle. Kadang
kamera Polanski bergerak terlampau lambat, namun ada kalanya perpindahan sekuen
terlalu cepat. Hasilnya sama. Potensi ketegangan urung memuncak. Klimaksnya
sendiri menghadirkan usaha Polanski mengajak penonton mengecap atmosfer film suspense era 70-80an, dilengkapi orkestra
mencekam Alexandre Desplat yang kental membawa rasa dari masa tersebut.
Satu hal yang Polanski tahu pasti, bahwa Eva Green mampu
menciptakan intensitas. Kamera pun seolah begitu mantap menangkap setiap
ekspresi sang aktris. Berkat sang aktris pula, mudah memahami alasan Delphine
tetap terobsesi kepadanya walau telah melalui sejumlah pertengkaran, kekangan,
dan perilaku histerikal Elle. Green memiliki sorot mata menghipnotis, yang
sekalinya mencengkeram, sulit untuk melepaskan diri darinya. Terkadang,
Polanski pun memanfaatkan Green guna memproduksi creepy factor, sewaktu diam-diam sekaligus tiba-tiba, dia sudah
berada di satu sudut ruangan. Kedua
penampil utama sama-sama memamerkan transformasi dengan gradasi bertahap. Green
dari penggemar antusias yang tak jarang seduktif, sementara Seigner perlahan
semakin kehilangan pegangan atas realita.
Penutupnya menyimpan twist
yang dapat terlihat jelas bahkan sedari menit pertama jika anda familiar dengan
karya-karya Polanski maupun Assayas. Tapi twist
itu bukan semata soal daya kejut, karena Based
on a True Story bicara mengenai bagaimana kesuksesan dan ketenaran dadakan
menciptakan tekanan, kebuntuan penulis yang mengikuti kesuksesan itu, juga
proses mengkreasi kehidupan. Semua ini adalah soal observasi terhadap proses,
bukan hasil akhir. Pun filmnya memancing pertanyaan, “bukankah tiap bentuk
karya seni, jika dilihat dari aspek tertentu, sejatinya dibuat berdasarkan
kisah nyata?”.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
23 komentar :
Comment Page:Posting Komentar