MISS & MRS. COPS (2019)

3 komentar
Seperti kebanyakan buddy cop, saya hanya berharap dihibur oleh Miss & Mrs. Cops (memakai judul Girl Cops di Korea Selatan), sehingga terasa mengejutkan saat kisahnya mampu tampil cukup menggigit. Pada masa di mana kasus Seungri masih menjadi topik panas ditambah berita menyedihkan mengenai percobaan bunuh diri Goo Hara, relevansi debut penyutradaraan Jung Da-won ini pun melambung tinggi.

Sudah jadi pengetahuan umum jika Korea Selatan bukanlah surga bagi wanita untuk menjalani hidup. Tengok apa yang menimpa dua tokoh utama film ini. Mi-yeong (Ra Mi-ran) sempat dikenal sebagai detektif berprestasi, sampai ia menikahi pria tak berguna yang gagal menjadi pengacara, memiliki anak, lalu dipaksa pindah ke belakang meja di divisi pelayanan masyarakat. Sementara adik iparnya, Ji-hye (Lee Sung-kyung) mesti bertugas bersama pria-pria yang menganggap pelecehan seksual adalah kasus remeh. Pasca masalah beruntun akibat kegagalannya menahan emosi, Ji-hye dipindahkan ke divisi Mi-yeong. Bersama mereka ada pula Jang-mi (Choi Soo-young), ahli komputer kelas satu yang memakai kemampuannya untuk meretas situs demi mendapatkan tiket konser BTS baris depan.

Keseharian di kantor tampak suram bagi mereka, sampai seorang gadis datang untuk memasukkan laporan. Dia terlihat ketakutan, dipenuhi keraguan, sebelum akhirnya mengurungkan niatnya, lalu secara sengaja menabrakkan diri ke truk yang melaju kencang. Dia koma, tapi berkat Jang-mi, mereka berhasil mendapatkan informasi dari telepon genggam sang gadis, mengungkap bahwa ia merupakan salah satu korban pemerkosaan dan cybercrime yang tengah marak terjadi.

Modus operandi para pelaku selalu sama: Berburu korban di kelab malam, membiusnya, memperkosa sambil merekam tindakan kejam itu, kemudian mengunggah videonya. Banyak korban memilih bunuh diri karena tiada yang mampu dilakukan selain menyalahkan diri sendiri, tatkala kepolisian enggan menanggapi kasus tersebut secara serius. “Kamu ikut emosional karena kamu juga seorang wanita kan?”, begitu kata salah satu rekan Ji-hye.

Tema di atas jelas tergolong kelam di tengah sajian buddy comedy penuh lelucon “bodoh”. Sebuah usaha yang berani dari Jung Da-won selaku penulis naskah, walau seringkali keberanian itu jadi senjata makan tuan tatkala perpindahan antara dua tone yang bertolak belakang berlangsung kurang mulus. Potensi beberapa humor pun terbuang, karena kerap ditempatkan di waktu yang tak sesuai, segera setelah situasi serius bahkan gelap.

Beruntung, soal komedi, Miss & Mrs. Cops punya amunisi lengkap, sehingga tetap mampu memancing banyak tawa, walau keputusan Jung Da-won menerapkan gaya-gaya seperti quick cuts dan split screen guna menghadirkann dinamika justru sering mengganggu aliran penceritaan. Jangkauan humornya cukup luas, dari slapstick, komedi situasi over-the-top, sampai cameo menghibur dari dua aktor besar Korea Selatan. Tapi tiga aktris utamanya tetaplah jiwa film ini.

Mi-ran, Sung-kyung, dan Soo-young punya chemistry solid selaku modal menampilkan interaksi berwarna nan menggelitik yang tidak terbatasi ruang sempit tempat karakter mereka dipaksa berdesakan di kantor. Bahkan lokasi tersebut termasuk faktor penambah kelucuan. Sebagai SONE (fans SNSD), kejenakaan Soo-young tidaklah mengejutkan saya. Sung-kyung pun merupakan aktris berbakat yang bisa membuat penonton tertawa dan tersentuh melalui ekspresi. Sementara Mi-ran membuktikan jika usia hanya angka belaka lewat keberhasilannya memerankan polisi tangguh. Berkat ketiga aktris (plus isu yang diangkat), mudah bagi saya memedulikan nasib karakternya.

Kejahatan seksual terhadap wanita, bagaimana laki-laki memandang remeh kasus tersebut, serta aparat yang sekadar mengutamakan jabatan dan penilaian kerja merupakan beberapa isu penting yang diangkat Miss & Mrs. Cops. Penyampaiannya mungkin tanpa kesubtilan, tapi melihat kondisi terkini, penuturan subtil bukanlah urgensi. Bagaimana membangunkan kesadaran masyarakat adalah hal terpenting.

3 komentar :

Comment Page:

GODZILLA: KING OF THE MONSTERS (2019)

75 komentar
Godzilla: King of the Monsters adalah produk langka yang berhasil menangkap dualitas monster raksasa melalui caranya menyoroti garis pemisah tipis antara dewa agung sesembahan manusia dan makhluk pembawa kehancuran dunia. Elemen yang direalisasikan oleh sutradara Michael Dougherty (Trick ‘r Treat, Krampus) menggunakan penceritaan visual, menjadikannya suatu pencapaian spesial.

Saya tak ragu menyebut ini sebagai “film monster sempurna”, dan bersedia menyematkan rating lebih tinggi kalau bukan karena ditempatkannya deretan karakter manusia bodoh nan membosankan (beberapa juga menyebalkan) di tengah drama tanpa nyawa. Ada Dr. Emma Russell (Vera Farmiga), ahli paleobiologi sekaligus anggota Monarch, yang tinggal bersama sang puteri, Madison (Millie Bobby Brown), setelah berpisah dengan suaminya, Mark (Kyle Chandler) pasca kematian putera bungsu mereka pada peristiwa lima tahun lalu, tatkala para Titan menampakkan diri untuk kali pertama di hadapan umat manusia. Apabila Vera menjadikan pekerjaan sebagai eskapisme, Mark memilih menenggelamkan diri dalam alkohol.

Emma sedang berusaha mengembangkan teknologi untuk mengontrol Godzilla beserta belasan “Titan” lain yang berhibernasi di berbagai penjuru dunia. Monarch berniat memakai alat buatan Emma guna menjadikan Godzilla rekan, atau “tuan” jika meminjam sebutan Dr. Serizawa (Ken Watanabe). Tapi rencana itu berantakan ketika sekelompok eco-terrorist yang ingin menggunakan alat tersebut guna membangunkan seluruh Titan, berharap hewan-hewan raksasa itu bakal mengembalikan tatanan alam dan menyembuhkan Bumi.

Sederhananya, mereka merencanakan genosida. Serupa rencana Thanos, hanya saja jauh lebih bodoh. Apakah para teroris ini sungguh berpikir monster-monster itu akan berhenti menghancurkan dunia beserta populasi manusia. Pengembangan karakter Emma pun menjadikannya tak kalah bodoh. Dia dimaksudkan menjadi sosok penuh dilema yang tetap memiliki faktor pemancing simpati, bukan ilmuwan gegabah miskin logika. Madison lebih cerdas, tapi naskah buatan Dougherty dan Zach Shields (Krampus) gagal menumbuhkan kedekatan akibat jarang mengajak kita mengunjungi ruang personal karakternya.

Hal penolong dalam alur justru muncul dari mitologi kuno mengenai asal muasal tiap Titan yang sesekali dibahas sebagai selingan. Bukan bentuk pembangunan dunia yang solid apalagi pintar, tapi setidaknya menyenangkan untuk disimak, menghadirkan obrolan lebih berwarna dibanding dramanya. Rasanya seperti mendengar dongeng, namun alih-alih peri bersayap, dongeng satu ini diramaikan oleh naga berkepala tiga, pteranodon bertubuh layaknya bebatuan gunung, dan ngengat raksasa yang bercahaya bak malaikat.

Sekalinya para kaiju bertemu—yang pastinya takkan menampilkan mereka bergandengan tangan dalam harmoni—film ini mempersembahkan kekacauan yang bakal membuat penggemar kaiju bersorak, bahkan bukan mustahil terisak. Berbeda dengan film pertamanya, Godzilla: King of the Monsters lebih royal dan total, sulit membayangkan bagaimana Godzilla vs. Kong, yang bertindak selaku klimaks seri MonsterVerse tahun depan mampu menandinginya.

Sekuen aksinya—diiringi musik bombastis  gubahan Bear McCreary (Step Up 3D, 10 Cloverfield Lane) yang dapat pula memancarkan sense of wonder kala dipakai menggambarkan keagungan monster—masih sering menghindari siraman cahaya matahari, tapi kali ini bukan wujud “kekikiran”, melainkan bertujuan memberi atmosfer apokaliptik. Khususnya saat invasi Monster Zero alias King Ghidorah membuat langit gelap, dinaungi awan hitam pekat, badai ganas, hingga kilatan halilintar. Tambahkan detail kecil seperti pesawat-pesawat yang jatuh bagai hujan api dari langit, Godzilla: King of the Monsters memperlihatkan seperti apa akhir dunia.

Jika King Ghidorah dan Rodan—yang meratakan seisi kota hanya dengan melayang di atasnya setelah beberapa waktu sebelumnya memuntahkan lava dari gunung berapi—mewakili sisi “iblis” monster, maka Godzilla dan Mothra merupakan perlambang dewa. Mothra, dikenal sebagai “Queen of the Monsters”, terbang bersama pendaran cahaya cantik yang otomatis membuat orang-orang tunduk karena dikuasai kekaguman, sedangkan Godzilla “Sang Raja” memaksa semua makhluk berlutut di hadapan kekuatan tanpa tanding miliknya.

Sekuen pertarungannya riuh dan kacau, namun Dougherty memastikan penonton bisa membedakan kekhasan masing-masing monster. Rodan dengan manuver akrobatiknya, Mothra dengan kecepatan dan kaki-kaki runcing yang siap menusuk lawan, sambaran listrik King Ghidorah, hingga hantaman masif Godzilla, bertemu, menciptakan bentrokan brutal di mana kita bisa melihat raksasa terbakar, tercabik, bahkan termutilasi. Kalau anda mencintai monster raksasa, film ini mendekati surga sinema.

75 komentar :

Comment Page:

PM NARENDRA MODI (2019)

6 komentar
Disutradarai oleh Omung Kumar (Sarbjit, Bhoomi) yang menyatakan diri sebagai pengagum Narendra Modi, tidak mengejutkan kala film mengenai Perdana Menteri keempat belas India ini terasa bagai kuil pemujaan. PM Narendra Modi adalah biografi politikus yang didesain layaknya hagiografi. Padahal, di samping cacat tersebut, terselip banyak elemen-elemen menjanjikan.

Prolognya klise, yakni tentang bagaimana ini bukan kisah soal seorang pria, tapi negara. Hampir semua film pengusung nasionalisme menerapkan narasi tersebut. Jadi persiapkan diri melihat situasi cheesy, misalnya saat Modi cilik, dengan senyum penuh kebanggaan, menghormati bendera di tegah jalan.

Kehidupan Narendra Modi (Vivek Oberoi) yang dipresentasikan film ini sebenarnya menarik. Berangkat dari keluarga miskin penjual teh, Modi memilih melakukan selibat dan hidup megembara sebagai pertapa, menjadi aktivis penuh ide cemerlang di RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangh) untuk meruntuhkan pemerintahan korup, membakar nasionalisme rakyat dengan mendirikan bendera di tengah zona merah, lalu menjadi Ketua Menteri Gujarat.

Dinamika hidup Modi membuat aliran alur lebih kaya dan berwarna. Bahkan gelaran aksi sesekali mengisi, saat serangan teroris serta kerusuhan pecah, termasuk kerusuhan berlandaskan agama di Gujarat tahun 2002, yang merupakan kontroversi terbesar sepanjang karir Modi. Ditulis oleh Vivek Oberoi dan Anirudh Chawla, berdasarkan cerita buatan Sandip Ssingh, naskahnya tahu cara mengubah biografi politikus jadi hiburan bagi kalangan luas. Pergerakan ceritanya mulus, urung terjebak pada pembagian babak-babak kasar yang kerap menjangkit biopic, sementara sinematografi cantik garapan Sunita Radia (Hate Story IV, Baadshaho) bisa mewakili skala filmnya yang cukup besar.

Masalahnya terletak pada penokohan sang protagonis. Digambarkan sebagai politisi jujur pembenci koruptor yang bersedia turun ke lapangan dan bekerja secara nyata untuk membuktikan komitmen selaku pelayan masyarakat, tentu banyak pihak memusuhi Modi. Rekan partainya iri atas popularitas Modi, sedangkan oposisi menempuh segala cara demi menjatuhkannya, dari serangan lewat isu agama hingga mengontrol pemberitaa negatif di televisi (Kok terdengar familiar ya?). Bahkan teroris Pakistan menginginkan nyawanya. Tapi tak sekalipun Modi tersudut.

Dia sedih, terpukul, terkejut, cemas, namun selalu muncul dengan solusi secepat kilat, yang menariknya (baca: anehnya) tak pernah gagal. Bukan saja orang suci yang mengedepankan kemanusiaan dan bersedia mengorbankan nyawa demi negara, rupanya Modi juga sosok jenius. Menurut film ini, Narendra Modi adalah manusia sempurna yang tidak terhentikan. Terlalu sempurna, sampai sulit menganggap serius karakterisasinya, biarpun Oberoi telah berusaha maksimal memerankan figur karismatik yang keras namun berhati mulia. Sebab tokoh yang dia mainkan bukan manusia, tapi karikatur kartun.

Oberoi pun total menghantarkan deretan pidato membara Modi, tapi dampak yang dihasilkan minimum, karena hampir semua kata yang keluar dari mulut sang Perdana Menteri terdengar bak orasi, bahkan ketika ia berbicara dalam situasi privat. PM Narendra Modi berambisi tampil sebesar dan sepenting mungkin, ambisi yang menjadikannya sebuah eksploitasi keagungan. Tapi ada satu momen menyentuh, tepatnya selepas kekacauan di Gujarat, saat umat Islam dan Hindu berkumpul, lalu saling bergandengan tangan. Dramatisasinya berlebihan, tapi hati saya tergerak. Mungkin karena saya memimpikan situasi serupa jadi pemandangan biasa di negeri ini.

Cheesy, tetapi Omung Kumar lebih piawai menangani situasi sederhana macam itu ketimbang pengadeganan berskala besar sebagaimana dipertontonkan klimaksnya, yang menampilkan kenekatan Modi tetap berkampanye di depan jutaan manusia, meski laporan intelijen memperingatkan jika beberapa teroris Pakistan sedang mengincar nyawanya. Ketegangan memudar akibat kebingungan Kumar menentukan perpaduan tepat antara orasi Narendra Modi dan elemen thriller dalam usaha mencari posisi teroris selaku media pembangun intensitas.  

6 komentar :

Comment Page:

THE GANGSTER, THE COP, THE DEVIL (2019)

16 komentar
Premis soal dua sisi berlawanan yang bersatu untuk mengalahkan musuh bersama selalu jadi favorit saya. Entahlah. Situasi tersebut terdengar keren. Dan aksi-kriminal karya Lee Won-tae (Man of Will) yang bakal dibuat ulang oleh Sylvester Stallone ini berhasil memuaskan kegemaran saya akan konsep di atas.

Sebagaimana dinyatakan judulnya, ada tiga pihak besar di sini: gangster, polisi, dan pembunuh berantai alias “The Devil”. Jang Dong-soo (Ma Dong-seok) adalah gangster ternama yang menjalankan bisnis mesin arkade ilegal. Sosoknya kalem, beradab, namun tak segan bertindak brutal kepada lawan. Pada perkenalan kita terhadapnya, Jang sedang memukuli samsak yang di dalamya bukan berisi pasir, melainkan seorang pria.

Demi memuluskan bisnis, tentu Jang perlu menyuap aparat. Biar demikian, tidak seperti atasannya, polisi kita, Jung Tae-suk (Kim Mu-yeol), menolak bermain kotor. Tapi ini adalah film Korea Selatan, sehingga karakter paling bersih pun bukan orang suci. Jung merupakan polisi temperamental yang gemar menentang atasan dan memukuli gangster tatkala dibuat kesal oleh kemacetan lalu lintas.

Jung ingin menangkap Jang, namun di samping intervensi atasannya, ia pun sibuk menangani beberapa kasus pembunuhan. Berkaca pada kemiripan modus operandi tiap peristiwa (pemakaian pisau, melibatkan tabrakan mobil, dan lain-lain), Jung percaya bahwa semuanya dilakukan satu orang, alias pembunuhan berantai. Sayang, tidak satu pun orang mempercayai intuisinya. Sampai di suatu malam, di bawah guyuran hujan, sang iblis (Kang Kyung-ho) menyerang target berikutnnya: Jang Dong-soo.

Jang selamat, namun berita soal bos gangster yang terluka parah akibat tusukan orang asing jelas melukai reputasinya di dunia hitam. Jang pun berhasrat menghabisi sang pembunuh. Dia memiliki banyak sumber daya, tapi tidak dengan petunjuk-petunjuk berharga seperti DNA atau sidik jari. Sebaliknya, kepolisian mempunyai petunjuk tersebut, tapi kekurangan sumber daya. Itulah pemicu bergabungnya dua kubu.

The Gangster, The Cop, The Devil awalnya bergerak cukup lambat, dan beberapa titik sejatinya bisa dipersingkat guna menguatkan dinamika tanpa harus menghilangkan substansi, tapi kecerdikan naskah yang juga dibuat oleh sang sutradara mampu meniadakan rasa bosan dengan mengeksplorasi bagaimana ketiga sisi memainkan permainan penuh tipu daya.

Jang memanfaatkan aliansi dengan polisi untuk keuntungan bisnis, sementara si pembunuh pun enggan berdiam diri, memainkan trik guna menghancurkan kedua pengejarnya. Intrik semacam itu memicu konflik-konflik yang tak pernah terasa dipaksakan, karena...well, film ini melibatkan psikopat, gangster licik, dan polisi yang pelan-pelan bersedia mengesampingkan idealisme, sehingga permainan pikiran penuh tipu daya kotor tentu tak terhindarkan.

Beberapa konflik menggiring investigasi ke arah baru, beberapa lainnya memicu baku hantam. Pastinya baku hantam khas Korea  yang mengedepankan nuansa “mentah” pertarungan jalanan ketimbang koreografi cantik. Itu asalan saya menyukai aksi buatan sineas Negeri Ginseng. Karakternya cenderung melemparkan pukulan dahulu baru berpikir kemudian (atau tidak sama sekali), menciptakan sense of urgency layaknya perkelahian di dunia nyata. Gaya tersebut memfasilitasi pesona Ma Dong-seok a.k.a. Don Lee dengan postur intimidatif, bogem mentah yang bisa meremukkan tulang sekali pukul, dan seringai yang akan membuat lawannya diselimuti ketakutan.

The Gangster, The Cop, The Devil mulai menambah kecepatan begitu durasi mendekati satu jam, tatkala investigasi menemukan titik terang, sementara kerja sama kepolisian dengan gangster mulai terjadi secara langsung. Menarik melihat bagaimana mereka mengawali penyelidikan sebagai dua sisi koin yang saling benci, sebelum perlahan terjalin kedekatan, saling berbagi minuman, bahkan menertawakan lelucon masing-masing sambil duduk bersama di satu meja.

Tapi titik balik sesungguhnya terjadi selepas satu momen (saya menyebutnya “adegan payung”) yang melambungkan intensitasnya secara gila-gilaan sekaligus menghantarkan substansi premisnya. Dibarengi sentuhan dramatik Don Lee yang kembali mampu menghembuskan hati meski memerakan penjahat brutal, kita melihat sekat pemisah antara gangster dan si pembunuh. Walau melakukan tindak kriminal, Jang masih memiliki hati. The Gangster, The Cop, The Devil bukan kisah mengenai usaha mengalahkan lawan yang lebih kuat, melainkan dua kelompok dengan keburukan masing-masing, yang bergabung untuk melawan pihak lain yang jauh lebih busuk.

Konklusinnya, yang terjadi pasca sebuah kejar-kejaran mobil menegangkan, membawa filmnya menginjak ranah drama ruang persidangan. Di situ The Gangster, The Cop, The Devil agak memaksakan diri menyatukan begitu banyak kelokan dan kejutan, namun setidaknya, kejutan-kejutan itu memberi kepuasan saat tiap tokoh menemui akhir yang pantas mereka dapatkan.

16 komentar :

Comment Page:

ALADDIN (2019)

28 komentar
Aladdin versi baru ini, meski belum semagis animasi originalnya, sekali lagi membuktikan bahwa reputasi buruk yang didapat suatu film akibat materi promosi tidak selalu mencerminkan kualitas asli produknya. Siapa sangka Guy Ritchie (Snatch, Sherlock Holmes, King Arthur: Legend of the Sword) berhasil menyajikan tontonan hangat seputar memperjuangkan kebebasan sekaligus live action remake terlucu milik Disney.

Cerita soal kebebasan memang sudah menjadi dasar sejak versi animasinya. Kebebasan “tikus jalanan” untuk bermimpi, kebebasan wanita dari kekangan tradisi, kebebasan jin dari keharusan melayani. Tanpa perlu menyaksikan film aslinya, anda tentu bisa menebak jika segala kebebasan tersebut bakal didapat. Dan jika anda ingin tahu nasib Genie (Will Smith) pasca lepas dari lampu ajaib, adegan pembuka film ini menyimpan jawabannya, yang turut berperan menghasilkan dampak emosional di penghujung kisah.

Pertama kali menyaksikan Aladdin (1992), saya sedikit terkejut. Berekspektasi melihat cerita seorang pencuri yang menemukan lampu ajaib tempat tinggal jin sakti pengabul harapan, peristiwa itu justru baru terjadi begitu melewati sepertiga durasi. Seolah khawatir penonton masa kini datang dengan ekspektasi serupa, film ini memutuskan menggulirkan alur secepat mungkin, khususnya pada paruh awal.

Beberapa fase pengembangan dipotong dan/atau dipaksa menyatu satu sama lain sehingga terasa bagaikan rekap. Mendadak kita bertemu Puteri Jasmine (Naomi Scott) yang sedang menyamar guna melihat langsung kehidupan rakyat Agrabah, menyaksikan pertemuannya dengan Aladdin (Mena Massoud), tumbuhnya benih cinta di antara mereka, dan tidak lama berselang, kita tiba di momen saat Aladdin memasuki Cave of Wonders atas suruhan Jafar (Marwan Kenzari).

Guy Ritchie—yang gemar memamerkan gaya—seolah tak tertarik menyentuh babak introduksi, enggan berhenti menginjak pedal gas. Biarpun keputusan itu merusak aliran cerita, minimal Ritchie berhasil menebusnya lewat keberhasilan menerjemahkan gaya parkour khas elemen aksi Aladdin (juga merupakan daya tarik gimnya di PlayStation) ke media live action. Jagoan kita lompat dari tembok ke tembok, atap ke atap, dan memanfaatkan tenda-tenda di pasar layaknya trampolin. Bakal sempurna anda Ritchie tak tergoda mengimplementasikan teknik fast moton nihil substansi di beberapa titik.

Tapi selepas Aladdin bertemu Genie yang menjanjikannya tiga permintaan untuk dikabulkan, film ini mulai menemukan pijakan. Perjalanannya lucu. Sangat lucu. Memang ada batasan-batasan yang menyulitkan live action mencapai level imajinasi setingkat medium animasi khususnya terkait beragam kemampuan ajaib Genie, namun Will Smith selaku sosok yang paling banyak dicemooh sebelum film dirilis, sukses menebar banyak tawa.

Tentu ia tidak seberwarna Robin Williams, tapi siapa yang bisa? Absurditas karakter Genie bisa saja memproduksi situasi cringey, tapi Smith punya cukup talenta guna menyulap absurditas menjadi komedi berkualitas. Smith bahkan memberi kita momen paling menyentuh sepanjang film, dengan memperlihatkan satu kelebihan live action yang sukar ditandingi animasi, yaitu keberadaan bobot dramatik melalui mata aktor.

Sedangkan Mena Massoud, sebagai sosok kedua paling dicemooh setelah Smith, juga merupakan protagonis yang bukan saja ahli menghibur lewat kebolehan memerankan kecanggungan pencuri miskin yang berpura-pura menjadi pangeraan, pula cukup likeable sehingga memudahkan kita mendukung perjuangannya melawan tatapan sebelah mata orang-orang dan merebut hati Jasmine.

Selaku adaptasi, naskah buatan Guy Ritchie bersama John August (Charlie’s Angels, Corpse Bride, Dark Shadows) dan Vanessa Taylor (Divergent, The Shape of Water) tentu melakukan beberapa perubahan, dan perubahan terbaik terletak pada keputusan Aladdin mengangkat tema relevan soal women’s empowerment dalam cerita tentang Jasmine. Sang Puteri tak hanya menolak perjodohan, ia pun ingin menjadi Sultan. Jasmine percaya ia memiliki kapasitas memadahi sebagai pengayom rakyat.

Di satu titik, Jafar menyebut bahwa Jasmine semestinya cukup dipandang dan tak perlu berusaha agar didengar. Pernyataan yang mencerminkan bagaimana banyak masyarakat memandang kelayakan wanita selaku pemimpin. Scott memancarkan cukup gravitas tanpa harus tampil kaku, menghidupkan Jasmine baru yang lebih kokoh, termasuk dalam penampilan emosional yang menyelamatkan nomor musikal Speechless.

Speechless, selaku lagu baru di jajaran soundtrack, adalah nomor medioker dengan lirik terlampau sederhana yang lebih cocok terdengar dari film seperti High School Musical ketimbang dongeng macam Aladdin. Pengadeganannya pun tak kalah medioker akibat kekurangan sentuhan artistik, berbeda dengan adegan musikal lain yang memperoleh keuntungan dari sentuhan bergaya Guy Ritchie, termasuk lantunan ikonik A Whole new World yang tetap mengandung romantisme memadahi supaya penonton mempercayai mekarnya asmara di hati Aladdin dan Jasmine

Mayoritas aspek yang awalnya dipandang remeh sanggup mematahkan keraguan, sayangnya tidak dengan Jafar, si antagonis membosankan yang tak pernah cukup “licin” atau intimidatif. Dibanding “saudara animasinya”, Marwan bagaikan penjahat kemarin sore. Dinamikanya dengan Iago (Alan Tudyk) pun lemah, tatkala si burung makaw bermulut busuk hadir kurang bernyawa, khususnya bila disandingkan dengan Abu yang menampilkan jangkauan ekspresi lebih luas.

Maybe this new “Aladdin” won’t takes us to a whole new world, but its world has enough laughs, hearts, and hopes to be a perfect getaway destination from an exhausting nowadays reality.

28 komentar :

Comment Page:

DE DE PYAAR DE (2019)

10 komentar
Apakah perbedaan usia mempengaruhi hubungan romansa? Mantap menyebut “usia hanyalah angka” akan terdengar seperti penyangkalan naif, tapi seperti dituturkan De De Pyaar De, itu bukan faktor penentu tunggal. Ketika dua individu berada dalam “satu frekuensi”, perbedaan tersebut justru dapat melengkapi keping-keping puzzle hidup seseorang ketimbang mengacaukannya.

Ashish (Ajay Devgn) adalah duda berusia 50 tahun sekaligus pebisnis kaya raya di London. Bukan cuma berkarisma, Ashish pun memiliki citra “gentleman”, yang dibuktikan ketika ia enggan mencuri kesempatan saat gadis cantik 26 tahun bernama Ayesha (Rakul Preet Singh) mabuk berat selepas pesta dan tertidur di rumahnya. Ketertarikan di antara mereka timbul sejak itu.

Stigmanya jelas: pria tua kaya raya terpesona oleh fisik wanita muda, wanita muda tertarik pada harta si pria tua. Tapi naskah buatan Luv Ranjan (Pyaar Ka Punchnama, Sonu Ke Titu Ki Sweety), Surabhi Bhatnagar (Dil Juunglee), dan Tarun Jain (Pyaar Ka Punchnama 2) secara cerdik menampilkan bahwa bukan hubungan semacam itu yang terjalin, dengan membangun interaksi kedua tokoh utama lewat deretan banter jenaka.

Ashish dan Ayesha saling menggoda, melempar “hinaan” yang kebanyakan berkutat seputar usia masing-masing, dan tak sekalipun mereka kehabisan kata. Balasan tajam selalu terlontar, memproduksi nuansa manis yang memudahkan kita percaya jika keduanya saling terkoneksi. Walau mulut berkata “tidak”, mata mereka menyatakan sebaliknya. Seolah saling dorong untuk menjauhkan diri, sesungguhnya mereka tengah saling tarik demi mendekatkan hati.

Pendekatan tersebut, ditambah ragam variasi humor efektif dari verbal hingga lelucon referensial (kalau tidak salah lagu tema Singham sempat terdengar) dan pengadeganan cekatan dari sutradara Akiv Ali, menghadirkan dinamika juga hiburan luar biasa, yang memiliki romantisme lebih dari cukup guna memancing kepedulian akan hubungan dua protagonis. Saya ingin mereka selalu bersama.

Meski penulisan dialog merupakan kunci, jalan yang De De Pyaar De tempuh jelas membutuhkan chemistry kedua pemeran utama, dan serupa karakter yang dimainkan, Ajay Devgn dan Rakul Preet Singh saling melengkapi. Rakul bertenaga, Ajay lebih tenang, dan pertemuan dua kutub berseberangan itu  membuat paruh pertamanya jadi salah satu komedi-romantis Bollywood paling memuaskan selama beberapa waktu terakhir.

Kenapa saya sering menekankan “paruh pertama”? Karena paruh keduanya adalah titik balik mengejutkan. Titik balik yang amat problematik, kemunculannya nyaris merusak keseluruhan film andai tidak dibarengi keberhasilan paruh pertama merebut simpati untuk protagonisnya. Ashish mengajak Ayesha ke India, mempertemukan sang kekasih dengan keluarganya, termasuk si mantan istri, Manju (Tabu) beserta kedua anaknya yang berusia tidak jauh dari Ayesha. Tapi realita tidak semulus rencana. Timbul berbagai kejutan, dan beberapa di antaranya mengubah persepsi positif saya terhadap Ashish.

Dari pria terhormat, Ashish menjadi pengecut, dan dari film yang memasang perspektif modern terkait ragam isu sosial (perceraian, tinggal bersama sebelum menikah, hubungan beda usia, gender), De De Pyaar De bagai menjadi usaha menjustifikasi perselingkuhan dan kegagalan pria menahan nafsu. Dari jajaran masalah yang diperkenalkan di paruh kedua, semuanya bermuara ke persoalan keluarga dan percintaan. Teruntuk konflik keluarga, Ashish berkesempatan menebus kesalahan, namun dalam urusan asmara, ia terus melakukan tindakan yang sukar dimaafkan, bahkan hingga akhir. Pun dia terlalu pengecut untuk berinisiatif mencari jalan keluar.

Di samping komedi yang tak pernah kehilangan kelucuan, sebagaimana Manju seorang diri merekatkan keluarganya, penampilan Tabu menjaga film ini agar tak seutuhnya runtuh. Menyaksikannya berdiri kokoh di atas tumpukan permasalahan dengan sorot mata tanpa rasa takut adalah sesuatu yang tidak ingin anda lewatkan.

Benar bahwa tidak seperti yang dikhawatirkan banyak pihak, De De Pyaar De bukan kisah soal dua wanita memperebutkan pria—yang sejatinya sah-sah saja—namun ini adalah bentuk pemakluman atas mimpi nakal pria di mana mereka bisa berbuat semaunya. Tapi paruh pertamanya sangat mengesankan hingga mampu mengatrol keseluruhan kualitas film. Mungkin perasaan “terlanjur cinta” macam ini yang mendorong Manju dan Ayesha bersedia memaafkan Ashish. Memang keliru, tapi bagaimana bisa saya membohongi perasaan?

10 komentar :

Comment Page:

#MALAMJUMAT THE MOVIE (2019)

16 komentar
Ini yang saya sebut “kejutan berlapis”. #MalamJumat The Movie awalnya memberi impresi positif, berpotensi menjadi rilisan terbaik Baginda Dheeraj Kalwani. Memang bukan horor kelas atas, tapi tak pernah pula menyentuh jurang kehancuran sebagaimana saya perkirakan bakal dimiliki karya Baginda. Tentu hal tersebut mengejutkan. Hingga plot twist-nya terungkap, dan dalam waktu kurang dari 30 menit, #MalamJumat The Movie berakhir setingkat judul-judul lain buatan produser tercinta kita.

Diangkat dari kanal YouTube milik Ewing HD, tepatnya seri #MalamJumat EXPLORE, film ini mengikuti tuturan formulaik tentang penelusuran tempat angker, ketika Ewing beserta timnya menjelajahi taman bermain bernama Wonder Park, yang konon kerap jadi lokasi bunuh diri. Mereka bukan cuma menemukan penampakan, juga jaket dan topi yang ditengarai milik seseorang yang gantung diri di sana.

Begitu video tersebut diunggah, gadis bernama Dinda (Zoe Abbas Jackson) meninggalkan komentar, mengaku bahwa barang-barang itu adalah kepunyaan kakaknya, Ryan (Randy Pangalila), yang sudah lama hilang. Bersama sahabatnya, Ellen (Sonia Alyssa), yang merasa Ryan merupakan kekasihnya meski mereka hanya berpacaran semasa SD (sungguh selipan humor yang salah tempat), Dinda meminta Ewing kembali ke Wonder Park guna menyelidiki kebenaran di balik hilangnya sang kakak.

Turut serta dalam misi adalah Tio (Ade Firman Hakim), YouTuber yang dikenal akan kemampuannya berkomunikasi dengan arwah. Tiap melakukan ritual, Tio tampak lucu, dengan gestur dan rapalan mantera konyol. Setidaknya kekonyolan itu disengaja, di mana karakter lain sempat melontarkan olok-olok tentangnya, meski serupa penokohan Ellen, kehadirannya tidak diperlukan.

Apa yang membuat keklisean #MalamJumat The Movie awalnya terlihat lebih baik dibanding film Dee Company (dan K2K) pada umumnya? Pertama, naskah buatan Andhika Lazuardi (Tembang Lingsir) memang menyajikan alur setipis kertas nan membosankan, namun tak sampai mengesalkan. Kedua, kuantitas jump scare-nya sesuai porsi, alhasil efek suara berisik pengiring kemunculan hantu bertata rias buruk tidak begitu sering menyiksa telinga. Pun penyutradaraan Hadrah Daeng Ratu sesekali melahirkan keheningan atmosferik, talenta yang sebelumnya ia perlihatkan lewat Jaga Pocong.

Semua berjalan lancar sampai babak akhirnya tiba bersama twist yang terkesan mencurangi penonton akibat hadir tanpa dibangun secara layak alias mendadak. Titik baliknya datang secara dipaksakan, seolah penulis naskahnya berujar “Fuck it!”, lalu menyerah untuk mencari cara logis guna menghantarkannya. Silahkan direnungkan: Apa perlunya Dinda tiba-tiba membuka akun Instagram Ryan di tengah situasi berbahaya? Dan bukankah sebelumnya akun Ryan baru mengunggah video Ellen sedang mandi? Ke mana perginya video itu?

Keberhasilan #MalamJumat The Movie membuat otak jungkir balik tidak berhenti di situ. Setelahnya, masih banyak kejutan yang bisa memancing respon “Eh?”, lalu “Lho??”, kemudian “Apaaaa??!!”, lalu “What in the heellll?!!!!”, hingga akhirnya, “Screw it, I’m done!”. Belum cukup? Nantikan adegan penutup berupa kritik terhadap komunitas YouTube yang terdengar bagai khotbah salat Jumat. Tapi saya mengapresiasi bagaimana klimaksnya memperlihatkan bahwa Ewing tidak takut mempertaruhka citra kanal YouTube miliknya demi film. Sayang, ini film yang buruk. Seburuk akting kakunya.

16 komentar :

Comment Page:

AMBU (2019)

3 komentar
“Pergunakan air mata karaktermu dengan bijak, atau dampaknya akan lenyap”. Ambu rupanya tidak memegang prinsip tersebut. Begitu menyukai air mata, debut penyutradaraan Farid Dermawan ini terus menumpahkannya, khususnya di pipi Fatma (Laudya Cynthia Bella) yang matanya sembab hampir di segala situasi. Bukan itu caranya merebut simpati penonton.

Fatma tidak hanya mesin air mata, juga individu yang memanfaatkan penyakit kronis sebagai alasan bertindak otoriter. Oh ya, dia sakit. Apalagi kalau bukan kanker. Tapi dia menolak memberi tahu siapa pun, termasuk puterinya, Nona (Lutesha) mengenai vonis dokter bahwa usianya takkan lama. Mengapa? Entah, filmnya urung menjabarkan secara gamblang. Saya berasumsi, Fatma khawatir Nona bakal menolak rencananya. Sebuah rencana yang bakal mengubah arah hidup Nona, namun sang pemilik hidup tak pernah ia ajak berbagi opini.

Nona sendiri membenci sang ibu, lalu menjadikan clubbing tiap malam sebagai pelarian. Apa alasan kebencian Nona? Sederhana. Orang tuanya bercerai, dan naskah karya Titien Wattimena (Salawaku, Aruna & Lidahnya, Dilan 1991) mengikuti stigma bahwa sikap anak korban perceraian selalu begitu.

Rencana Fatma adalah menjual seluruh harta bendanya, kemudian membawa Nona ke Baduy untuk tinggal bersama neneknya, Ambu Misnah (Widyawati). Sudah 16 tahun Fatma tak berjumpa Ambu, dan melihat keengganan sang ibu menerima kepulangannya dengan tangan terbuka, bisa ditebak keduanya berpisah akibat konflik besar. Meski dihadapkan pada sikap ketus Ambu, Fatma tetap kukuh menyimpan rahasia. Padahal kejujurannya bisa meredam beberapa konflik, sekaligus memberi lebih banyak quality time sebagai keluarga. Apalagi, akhirnya perubahan sikap Ambu terjadi pasca ia mengetahui penyakit Fatma.

Seperti kita tahu, Baduy amat menghormati alam. Mereka menolak pemakaian listrik atau berbagai bentuk teknologi modern lain karena enggan merusak alam. Berpijak pada kepercayaan itu, Ambu turut menghadirkan cerita tentang proses Nona—si bocah metropolitan dengan segala pernak-pernik artificial—menemukan, kemudian mencintai alam (disimbolkan lampu kunang-kunang miliknya).

Cerita di atas sejatinya bermakna, mengingat pentingnya manusia untuk menghargai alam. Tapi egoisme (terselubung) Fatma turut diperkuat olehnya. Mendorong orang kota tiba-tiba harus hidup tanpa teknologi di daerah pelosok sama buruknya dengan memaksakan modernisasi kepada rakyat Baduy. Penekanannya ada di kata “tiba-tiba”. Elemen problematik bukan pada adaptasi yang mesti Nona jalani, melainkan fakta bahwa Fatma, tanpa alasan jelas, menolak mendiskusikannya dahulu.

Saya sungguh menyukai penggambaran Baduy dalam Ambu. Kita diajak mempelajari berbagai kultur, sembari menikmati nuansa damai serta keindahan alam di sana, yang ditangkap sempurna oleh sinematografi garapan Yudi Datau (Arisan!, Supernova, Critical Eleven), yang cerdik bermain warna dan cahaya. Terik cahaya matahari kekuningan memancar di sela-sela tembok bambu, sementara langit malam terbentanng dengan warna kebiruan. Walaupun lemah di departemen naskah, aspek teknis Ambu tidak main-main.

Pun walau banyaknya tumpahan air mata menandakan minimnya kesubtilan, sutradara Farid Dermawan masih meluangkan beberapa momen guna memakai penceritaan visual demi menyalurkan emosi. Favorit saya adalah tatkala kamera ditempatkan di atas, memperlihatkan ketiga generasi wanita tengah meresapi emosi masing-masing dalam tiga ruang terpisah di rumah Ambu. Shot tersebut memberi sentuhan apik perihal pemanfaatan dekorasi latar.

Selain kisah soal dua hubungan ibu-anak, Ambu mempunyai subplot romansa yang terjalin antara Nona dengan pria lokal bernama Jaya (Andri Mashadi), yang setia menemani hari-hari penuh kepenatan di Baduy. Tidak dipaparkan secara luar biasa, namun suasana manis nan ringan miliknya, cukup menambahkan warna pada tearjerker satu ini. Tapi penyelamat terbesar berasal dari penampilan Widyawati sebagai ibu tangguh berhati kokoh yang enggan dikalahkan melankoli.

Saat akhirnya tangis Ambu tumpah, hati saya pun bergetar. Ini yang saya maksud dalam kalimat pembuka di atas. Air mata Ambu memberi dampak hebat justru karena jarang ditampilkan. Hal sama berlaku untuk Hapsa (kembalinya Endhita setelah tujuh tahun), sahabat lama Fatma yang selalu ceria. Dan tengok bagaimana Widyawati menangani momen tersebut. Berbeda dengan Fatma, tangis Ambu tak memancarkan kelemahan, melainkan luapan perasaan campur aduk seorang ibu (termasuk cinta luar biasa besar kepada puterinya) yang tertahan selama belasan tahun. Sang aktris senior baru saja menyelamatkan filmnya.

3 komentar :

Comment Page:

THE POOL (2018)

4 komentar
Sewaktu membuat thriller, jangan biarkan kebodohan protagonis jadi penyebab permasalahan yang mesti dihadapi, atau setidaknya, jangan ungkap itu sejak awal. Simpan di paruh akhir sebagai kejutan menohok setelah penonton menghabiskan cukup waktu bersama si karakter. Karena akan sulit membuat penonton bersimpati pada seseorang yang (tanpa bermaksud demikian) mengundang bahaya menghampiri dirinya. Itu yang menimpa The Pool karya sutradara/penulis naskah Ping Lumpraploeng (Khon hew hua, Dreamaholic).

Premis The Pool adalah, “Apa jadinya jika seseorang terjebak di kolam renang?”. Terdengar konyol, tapi  di situ daya tariknya, sebab situasi tersebut tidak terpikirkan, sehingga berpotensi menghadirkan angin segar dalam sub-genre thriller berlokasi tunggal. Tapi bagaimana situasi itu dapat terjadi? Day (Theeradej Wongpuapan) adalah anggota tim artistik dalam sebuah pengambilan gambar iklan di kolam renang yang tidak terpakai. Setelah kegiatan usai, Day bermalas-masalan di tengah kolam dengan kedalaman enam meter itu, walau telah mendengar peringatan temannya soal kolam yang mulai dikeringkan. Itu kebodohan nomor satu. Semua ini takkan terjadi andai ia bersikap seperti manusia normal.

Beberapa saat berselang, kolam mulai mengering sehingga tak memungkinkan bagi Day untuk memanjat keluar. Selain Day, cuma ada anjingnya yang dirantai sehingga tak bisa bergerak bebas. Berikutnya, kemalangan-kemalangan lain yang membatasi opsi serta meningkatkan kadar bahaya terus menyusul, namun sekali lagi, kebanyakan tidak bakal terjadi jika Day memakai logikanya. “Bukankah dalam kondisi panik memang sulit berpikir jernih?”. Betul, tapi ketika elemen penting yang melatari konflik semuanya diakibatkan kebodohan, itu bukan bentuk pendekatan realistis, melainkan keterbatasan kreativitas penulis naskahnya.

Seolah belum cukup parah, Koi (Ratnamon Ratchiratham), kekasih Day, turut terjebak di kolam renang setelah dia terjun dari papan lompatan, biarpun jelas terlihat bahwa air telah mengering. Itu adalah kebodohan nomor.....sorry, I lost count. Situasi makin buruk pasca kehadiran seekor buaya yang siap memangsa kapan saja. The Pool menggabungkan (sedikit) buaya asli dengan CGI, yang tampak apik dalam gelap dan air tapi terlihat kasar di bawah cahaya matahari. Kekurangan itu bisa dimaafkan. Jika ingin menyaksikan CGI buaya yang lebih baik, silahkan tunggu Crawl karya Alexandre Aja.

Tidak ada jalan keluar bagi Day dan Koi, mereka tidak punya stok makanan (kecuali beberapa potong pizza sisa) maupun minuman, terjebak bersama buaya, dipayungi panas matahari menyengat, dan Day semakin lemah akibat tak menerima suntikan insulin selama berhari-hari.  Bergulir selama 91 menit (durasi yang tepat), The Pool sejatinya tampil padat, pula cekatan berkat pengadeganan dinamis sang sutradara. Selalu ada tantangan yang harus karakternya lalui tiap beberapa menit, biarpun intensitas tak pernah sepenuhnya meroket, sebab kita tahu, sebelum saat-saat terakhir segala peluang bakal berujung sebagai harapan palsu semata.

Sebagaimana film-film sejenis, momen-momen menyakitkan (kepala terbentur, luka sayata, kuku terkelupas, dan lain sebagainya) pun bisa ditemukan demi menantang fisik karakternya. Theeradej dan Ratnamon solid melakoni peran dua individu yang tersiksa baik fisik maupun psikis. Pujian khusus patut disematkan kepada Theeradej, sebab sang aktor mampu berinteraksi secara meyakinkan dengan makhluk CGI.

The Pool menyimpan potensi tinggi menjadi thriller mendebarkan, sayang, kebodohannya terlampau tinggi untuk bisa ditoleransi. Pada pertengahan durasi, kedua protagonis menemukan ruangan dalam saluran di bawah kolam. Day pergi mencari jalan keluar, sedangkan Koi bersembunyi di sana, lalu menutup rapat akses masuk (selain kisi-kisi di atap ruangan). Tidakkah mereka sadar andai hujan datang mengguyur ruangan bakal terbenam air? Sepertinya memang susah bersimpati pada karakter sewaktu masalah dipicu kebodohan mereka sendiri.

4 komentar :

Comment Page:

JOHN WICK: CHAPTER - PARABELLUM (2019)

28 komentar
John Wick: Chapter 3 – Parabellum bakal menjadi keluaran terbaik dalam waralaba film aksi kebanyakan. Masalahnya, seri John Wick yang dimulai lima tahun lalu bukan suguhan aksi kebanyakan. Masih digawangi sutradara Chad Stahelski, Parabellum tetap merupakan tontonan brutal sesuai harapan penonton, pula menampilkan bangunan dunia unik berisi para pembunuh taat aturan, tapi mayoritas hanya pengulangan, sebatas jembatan menuju puncak, yang sejatinya bisa film ini hantarkan.

Melanjutkan akhir film kedua, John Wick (Keanu Reeves) dideklarasikan sebagai excommunicado pasca melakukan pembunuhan di Hotel Continental selaku tempat netral. Dihargai setinggi $14 juta, seluruh pembunuh di New York tidak berpikir ulang untuk mengincar nyawanya. Bukan itu saja, High Table mengutus sang Adjudicator (Asia Kate Dillon) guna menghukum pihak-pihak yang dianggap membantu kaburnya John, termasuk Winston (Ian McShane) si manajer Continental dan Bowery King (Laurence Fishburne).

Kehebatan jajaran penulis naskah seri John Wick adalah menjalin cerita sederhana soal “mengejar dan dikejar” sembari menyelipkan keping-keping yang melengkapi latar dunianya di sepanjang perjalanan. Elemen unik tersebut masih dapat ditemui, dari diharuskannya para karakter mematuhi kode moral yang acap kali menimbulkan situasi kompleks, detail di balik layar mengenai bagaimana prosedur organisasi dijalankan, sampai pengenalan Adjudicator yang memperkaya tatanan High Table.

Seri John Wick menciptakan latar di mana para pembunuh dituntut mematuhi kode etik, dan itu membentuk kepribadian mereka menjadi mesin pencabut nyawa berdarah dingin namun bermartabat. Sisi tersebut dimanfaatkan oleh tim penulis naskah untuk mengkreasi interaksi menarik berisi baris dialog kaya yang merepresentasikan dua wajah karakternya. Kata-kata mereka boleh terdengar bermartabat (ancaman membunuh terdengar semanis ucapan customer service ke pelanggan), tapi mereka tetap individu dunia hitam bengis yang memandang nyawa begitu murah pula tak ragu menerapkan cara kotor demi mencapai tujuan.

Sayangnya, jika film pertama berfungsi memperkenalkan dunianya sementara film kedua bertujuan memperkaya, kali ini segala detail tersebut bagai pernak-pernik belaka tatkala alurnya urung bergerak ke mana-mana. Parabellum hanya pengulangan karena kita sudah pernah melihat John diburu, tersudut, dan dikhianti. Masuknya nama-nama baru termasuk Elder (Saïd Taghmaoui) selaku pemimpin High Table tidak memberi dampak, karena begitu durasi usai, John berada di posisi serupa seperti di awal film. Konklusi Chapter 2 yang memberi impresi bahwa John bakal berperang melawan High Table pun tak ubahnya trik guna menjual film ketiga.

Terkait adegan aksi, Chad Stahelski dibatu penata kamera Dan Laustsen (The Shape of Water, John Wick: Chapter 2) setia mempertahankan gaya yang membuat seri ini dicintai penonton, berupa keengganan menyembunyikan detail melalui quick cut. Walau demikian, serupa alurnya, gaya gun-fu tak lagi sememukau itu selepas dua film pertama. Bos utama yang malah tampak mudah John habisi dibanding jajaran tukang pukulnya juga meninggalkan kekecewaan.

Khusus penonton Indonesia, momen sebelum klimaks jadi salah satu pemandangan paling dinanti, karena di sinilah Cecep Arif Rahman dan Yayan Ruhian berhadapan melawan John Wick. Tidak sepenuhnnya memuaskan (intensitas koreografi jelas diturunkan demi memfasilitasi Keanu Reeves), dan kehadiran keduanya cenderung berupa fan service untuk penggemar The Raid. Setidaknya mereka bernasib lebih baik ketimbang Iko Uwais yang dipermalukan dalam Triple Threat saat diberi kesempatan memamerkan jurus di beberapa poin filmnya.

Parabellum justru paling mengundang decak kagum ketika pertarungan terjadi tanpa melibatkan senjata api. Lemparan puluhan pisau yang menancap di sekujur tubuh korban, buku tebal yang mampu mematahkan leher, sampai pemakaian kuda dan anjing, membuat saya antusias menebak-nebak metode eksekusi macam apa yang akan dipakai. Aksi adu bacok dibungkus koreografi memukau plus tata artistik memanjakan mata inilah bukti kepantasan John Wick sebagai seri aksi langka yang mampu mendefinisikan “The Art of Violence”.

28 komentar :

Comment Page:

STUDENT OF THE YEAR 2 (2019)

6 komentar
Saya menyukai Student of the Year (2012) walau tetap meyakini bahwa karya Karan Johar (Kuch Kuch Hota Hai, Kabhi Khushi Kabhie Gham, My Name is Khan) tersebut menyasar target yang jauh di luar jangkauan kemampuannya. Sedangkan Student of the Year 2 tampil lebih sederhana, tanpa penggabungan narasi masa lalu-masa kini, pula mengesampingkan kisah persahabatan demi menampilkan romansa dan drama olahraga klise dibumbui sekuen aksi over-the-top. Dan itu bekerja dengan baik.

Pendekatan tersebut cukup menjustifikasi pemilihan Tiger Shroff sebagai aktor utama. Kapasitas aktingnya jauh di bawah Siddharth Malhotra atau Varun Dhawan, dengan ekspresi datar yang cuma sesekali digantikan senyum cringey. Tiger pun tampak terlalu tua untuk pantas disebut “student”. Tapi ia merupakan penari hebat sekaligus jagoan aksi mumpuni, yang sanggup melakukan banyak stunts rumit, suatu hal yang jadi salah satu senjata film ini selaku hiburan ringan.

Latarnya masih di kampus St. Teresa, pun Jeet (Sahil Anand) dan Dimpy (Manjot Singh) melakoni penampilan spesial sebagai duo komentator pertandingan Kabaddi, sedangkan Alia Bhatt muncul di nomor musikal sebelum kredit (The Hook Up Song), namun plotnya tak punya keterkaitan dengan film pertama. Bentuk kompetisi memperbutkan gelar “Student of the Year” pun diubah, dari ujian otak plus otot berlingkup internal menjadi acara olahraga antar kampus bernama Dignity Cup.

Serupa karakter peranan Varun Dhawan di film pertama, protagonis Student of the Year 2 bernama Rohan (Tiger Shroff), mahasiswa Pishorilal Chamandas, suatu universitas kelas bawah yang rutin mengisi posisi juru kunci pada Dignity Cup. Rohan ingin pindah ke St. Teresa yang prestisius, tapi bukan demi mengejar masa depan cerah, melainkan untuk pujaan hatinya, Mridula (Tara Sutaria). Meski bagi Rohan, rasanya Mridula adalah masa depan itu sendiri.

Berkat beasiswa olahraga, Rohan berhasil diterima, namun Mridula kini telah berbeda. Dia mengubah namanya menjadi Mia sebagai usaha membaur di antara para mahasiswa borjuis, pula ragu untuk melanjutkan hubungan bersama Rohan. Mengutip kalimatnya, “Daripada melihat dunia, Mia ingin dunia melihatnya”.

Bukan itu saja penghalang impian Rohan. Ada Manav (Aditya Seal), putera ketua komite universitas sekaligus peraih Student of the Year dua thaun terakhir dan adiknya, Shreya (Ananya Panday), pembuat onar yang langsung bertengkar dengan Rohan di hari pertama. Biarpun baru menjalani layar lebar, Ananya justru penampil terbaik film ini, melemparkan deretan olok-olok dari lidah tajamnya, yang alih-alih membuatnya mudah dibenci, malah ampuh meramaikan situasi dan memancing tawa. Saya berani bertaruh, serupa Alia Bhatt yang tampil perdana di Student of the Year, karir Ananya akan segera melesat.

Seiring waktu, Shreya terus mengganggu Rohan, sebaliknya, Manav membuka jalan pertemanan. Tapi kita tahu, dua bentuk hubungan di atas bakal berbalik, sebab seperti telah disebutkan, Story of the Year 2 memang klise. Tapi sungguh keklisean menyenangkan, sampai saya berharap kisahnya berakhir seusai prediksi. Alasannya, Rohan dan Shreya merupakan karakter (dan nantinya pasangan) likeable. Rohan jadi simbol perlawanan kalangan menengah ke bawah, sementara Shreya adalah gadis kesepian yang rindu kasih sayang.

Berlangsung selama 145 menit, naskah tulisan Arshad Sayed (Dasvidaniya, Chalo Dilli) menuturkan plot yang tak luar biasa, diisi elemen-elemen sederhana namun relatable, dari kisah cinta penuh perjuangan dan pengkhianatan, sampai underdog story formulaik. Kompleksitas urung ditemukan di permukaan, melainkan dalam perasaan tokoh-tokohnya. Film ini adalah soal menghadapi realita tatkala sesuatu (atau seseorang) yang kita kejar sekian lama mungkin saja takkan kita dapatkan, atau malah tidak layak diperjuangkan. Dan mudah bersimpati kepada Rohan, karena banyak dari kita pasti pernah merasakan kondisi demikian.

Kata “sederhana” layak pula disematkan di konsep turnamennya. Meski saya tetap mempertanyakan signifikansi disertakannya olahraga lain tatkala Kabaddi bagai satu-satunya cabang yang menentukan, karena Dignity Cup murni acara olahraga biasa,tidak ada lagi aturan-aturan problematik nan memusingkan milik pertama. Alhasil, lebih mudah membiarkan diri kita terhanyut dalam pertandingan demi pertandingan tanpa memusingkan lubang-lubang logika.

Student of the Year 2 menyimpan daya hibur tinggi berkat tenaga yang disuntikkan penyutradaraan Punit Malhotra (I Hate Luv Storys, Gori Tere Pyaar Mein). Termasuk di dalamnya yaitu sekuen tarian yang salah satunya memperlihatkan kemeriahan aneka set, dari panggung berhiaskan kilauan bohlam, hingga dinding berlukiskan rumus-rumus sains (dilengkapi cameo Will Smith).

Dan memanfaatkan talenta terbesar (atau satu-satunya?) Tiger, Student of the Year 2 mengandalkan lebih banyak sekuen aksi ketimbang pendahulunya. Ada beberapa perkelahian hard-hitting, tapi momen-momen terbaik dihadirkan pertandingan Kabaddi selaku klimaks film, yang melibatkan berbagai gerak akrobatik mengesankan. Saya dibuat terpukau (bahkan sebagian penonton berulang kali bertepuk tangan) setiap stunts rumit—yang tampak mudah berkat kemampuan fisik Tiger—sukses dilakukan. Jadi, lupakan kedangkalan ceritanya, cukup nikmati keseruan dan ke-cheesy-an crowd-pleaser ringan ini.

6 komentar :

Comment Page: