MISS & MRS. COPS (2019)
Rasyidharry
Mei 30, 2019
Choi Soo-young
,
Comedy
,
Crime
,
Jung Da-won
,
Korean Movie
,
Lee Sung-kyung
,
Lumayan
,
Ra Mi-ran
,
REVIEW
3 komentar
Seperti kebanyakan buddy cop, saya hanya berharap dihibur
oleh Miss & Mrs. Cops (memakai
judul Girl Cops di Korea Selatan),
sehingga terasa mengejutkan saat kisahnya mampu tampil cukup menggigit. Pada
masa di mana kasus Seungri masih menjadi topik panas ditambah berita
menyedihkan mengenai percobaan bunuh diri Goo Hara, relevansi debut
penyutradaraan Jung Da-won ini pun melambung tinggi.
Sudah jadi pengetahuan umum jika
Korea Selatan bukanlah surga bagi wanita untuk menjalani hidup. Tengok apa yang
menimpa dua tokoh utama film ini. Mi-yeong (Ra Mi-ran) sempat dikenal sebagai
detektif berprestasi, sampai ia menikahi pria tak berguna yang gagal menjadi
pengacara, memiliki anak, lalu dipaksa pindah ke belakang meja di divisi
pelayanan masyarakat. Sementara adik iparnya, Ji-hye (Lee Sung-kyung) mesti
bertugas bersama pria-pria yang menganggap pelecehan seksual adalah kasus
remeh. Pasca masalah beruntun akibat
kegagalannya menahan emosi, Ji-hye dipindahkan ke divisi Mi-yeong. Bersama
mereka ada pula Jang-mi (Choi Soo-young), ahli komputer kelas satu yang memakai
kemampuannya untuk meretas situs demi mendapatkan tiket konser BTS baris depan.
Keseharian di kantor tampak suram
bagi mereka, sampai seorang gadis datang untuk memasukkan laporan. Dia terlihat
ketakutan, dipenuhi keraguan, sebelum akhirnya mengurungkan niatnya, lalu
secara sengaja menabrakkan diri ke truk yang melaju kencang. Dia koma, tapi
berkat Jang-mi, mereka berhasil mendapatkan informasi dari telepon genggam sang
gadis, mengungkap bahwa ia merupakan salah satu korban pemerkosaan dan cybercrime yang tengah marak terjadi.
Modus operandi para pelaku selalu
sama: Berburu korban di kelab malam, membiusnya, memperkosa sambil merekam
tindakan kejam itu, kemudian mengunggah videonya. Banyak korban memilih bunuh
diri karena tiada yang mampu dilakukan selain menyalahkan diri sendiri, tatkala
kepolisian enggan menanggapi kasus tersebut secara serius. “Kamu ikut emosional
karena kamu juga seorang wanita kan?”, begitu kata salah satu rekan Ji-hye.
Tema di atas jelas tergolong kelam
di tengah sajian buddy comedy penuh
lelucon “bodoh”. Sebuah usaha yang berani dari Jung Da-won selaku penulis
naskah, walau seringkali keberanian itu jadi senjata makan tuan tatkala
perpindahan antara dua tone yang
bertolak belakang berlangsung kurang mulus. Potensi beberapa humor pun terbuang,
karena kerap ditempatkan di waktu yang tak sesuai, segera setelah situasi
serius bahkan gelap.
Beruntung, soal komedi, Miss & Mrs. Cops punya amunisi
lengkap, sehingga tetap mampu memancing banyak tawa, walau keputusan Jung
Da-won menerapkan gaya-gaya seperti quick
cuts dan split screen guna
menghadirkann dinamika justru sering mengganggu aliran penceritaan. Jangkauan
humornya cukup luas, dari slapstick,
komedi situasi over-the-top, sampai cameo menghibur dari dua aktor besar
Korea Selatan. Tapi tiga aktris utamanya tetaplah jiwa film ini.
Mi-ran, Sung-kyung, dan Soo-young
punya chemistry solid selaku modal
menampilkan interaksi berwarna nan menggelitik yang tidak terbatasi ruang
sempit tempat karakter mereka dipaksa berdesakan di kantor. Bahkan lokasi
tersebut termasuk faktor penambah kelucuan. Sebagai SONE (fans SNSD), kejenakaan
Soo-young tidaklah mengejutkan saya. Sung-kyung pun merupakan aktris berbakat
yang bisa membuat penonton tertawa dan tersentuh melalui ekspresi. Sementara
Mi-ran membuktikan jika usia hanya angka belaka lewat keberhasilannya
memerankan polisi tangguh. Berkat ketiga aktris (plus isu yang diangkat), mudah
bagi saya memedulikan nasib karakternya.
Kejahatan seksual terhadap wanita,
bagaimana laki-laki memandang remeh kasus tersebut, serta aparat yang sekadar mengutamakan
jabatan dan penilaian kerja merupakan beberapa isu penting yang diangkat Miss & Mrs. Cops. Penyampaiannya
mungkin tanpa kesubtilan, tapi melihat kondisi terkini, penuturan subtil
bukanlah urgensi. Bagaimana membangunkan kesadaran masyarakat adalah hal
terpenting.
GODZILLA: KING OF THE MONSTERS (2019)
Rasyidharry
Mei 30, 2019
Action
,
Bagus
,
Bear McCreary
,
Fantasy
,
Ken Watanabe
,
Kyle Chandler
,
Michael Dougherty
,
Millie Bobby Brown
,
REVIEW
,
Vera Farmiga
,
Zach Shields
75 komentar
Godzilla: King of the Monsters adalah produk langka yang berhasil
menangkap dualitas monster raksasa melalui caranya menyoroti garis pemisah
tipis antara dewa agung sesembahan manusia dan makhluk pembawa kehancuran
dunia. Elemen yang direalisasikan oleh sutradara Michael Dougherty (Trick ‘r Treat, Krampus) menggunakan
penceritaan visual, menjadikannya suatu pencapaian spesial.
Saya tak ragu menyebut ini sebagai “film
monster sempurna”, dan bersedia menyematkan rating lebih tinggi kalau bukan
karena ditempatkannya deretan karakter manusia bodoh nan membosankan (beberapa juga
menyebalkan) di tengah drama tanpa nyawa. Ada Dr. Emma Russell (Vera Farmiga),
ahli paleobiologi sekaligus anggota Monarch, yang tinggal bersama sang puteri, Madison
(Millie Bobby Brown), setelah berpisah dengan suaminya, Mark (Kyle Chandler)
pasca kematian putera bungsu mereka pada peristiwa lima tahun lalu, tatkala
para Titan menampakkan diri untuk kali pertama di hadapan umat manusia. Apabila
Vera menjadikan pekerjaan sebagai eskapisme, Mark memilih menenggelamkan diri
dalam alkohol.
Emma sedang berusaha mengembangkan
teknologi untuk mengontrol Godzilla beserta belasan “Titan” lain yang
berhibernasi di berbagai penjuru dunia. Monarch berniat memakai alat buatan
Emma guna menjadikan Godzilla rekan, atau “tuan” jika meminjam sebutan Dr.
Serizawa (Ken Watanabe). Tapi rencana itu berantakan ketika sekelompok eco-terrorist yang ingin menggunakan
alat tersebut guna membangunkan seluruh Titan, berharap hewan-hewan raksasa itu
bakal mengembalikan tatanan alam dan menyembuhkan Bumi.
Sederhananya, mereka merencanakan
genosida. Serupa rencana Thanos, hanya saja jauh lebih bodoh. Apakah para
teroris ini sungguh berpikir monster-monster itu akan berhenti menghancurkan dunia
beserta populasi manusia. Pengembangan karakter Emma pun menjadikannya tak
kalah bodoh. Dia dimaksudkan menjadi sosok penuh dilema yang tetap memiliki
faktor pemancing simpati, bukan ilmuwan gegabah miskin logika. Madison lebih
cerdas, tapi naskah buatan Dougherty dan Zach Shields (Krampus) gagal menumbuhkan kedekatan akibat jarang mengajak kita mengunjungi
ruang personal karakternya.
Hal penolong dalam alur justru
muncul dari mitologi kuno mengenai asal muasal tiap Titan yang sesekali dibahas
sebagai selingan. Bukan bentuk pembangunan dunia yang solid apalagi pintar,
tapi setidaknya menyenangkan untuk disimak, menghadirkan obrolan lebih berwarna
dibanding dramanya. Rasanya seperti mendengar dongeng, namun alih-alih peri
bersayap, dongeng satu ini diramaikan oleh naga berkepala tiga, pteranodon
bertubuh layaknya bebatuan gunung, dan ngengat raksasa yang bercahaya bak
malaikat.
Sekalinya para kaiju bertemu—yang pastinya takkan menampilkan mereka bergandengan
tangan dalam harmoni—film ini mempersembahkan kekacauan yang bakal membuat
penggemar kaiju bersorak, bahkan
bukan mustahil terisak. Berbeda dengan film pertamanya, Godzilla: King of the Monsters lebih royal dan total, sulit
membayangkan bagaimana Godzilla vs. Kong,
yang bertindak selaku klimaks seri MonsterVerse
tahun depan mampu menandinginya.
Sekuen aksinya—diiringi musik bombastis
gubahan Bear McCreary (Step Up 3D, 10 Cloverfield Lane) yang
dapat pula memancarkan sense of wonder
kala dipakai menggambarkan keagungan monster—masih sering menghindari siraman
cahaya matahari, tapi kali ini bukan wujud “kekikiran”, melainkan bertujuan memberi
atmosfer apokaliptik. Khususnya saat invasi Monster Zero alias King Ghidorah
membuat langit gelap, dinaungi awan hitam pekat, badai ganas, hingga kilatan
halilintar. Tambahkan detail kecil seperti pesawat-pesawat yang jatuh bagai
hujan api dari langit, Godzilla: King of
the Monsters memperlihatkan seperti apa akhir dunia.
Jika King Ghidorah dan Rodan—yang meratakan
seisi kota hanya dengan melayang di atasnya setelah beberapa waktu sebelumnya
memuntahkan lava dari gunung berapi—mewakili sisi “iblis” monster, maka
Godzilla dan Mothra merupakan perlambang dewa. Mothra, dikenal sebagai “Queen of the Monsters”, terbang bersama
pendaran cahaya cantik yang otomatis membuat orang-orang tunduk karena dikuasai
kekaguman, sedangkan Godzilla “Sang Raja” memaksa semua makhluk berlutut di
hadapan kekuatan tanpa tanding miliknya.
Sekuen pertarungannya riuh dan
kacau, namun Dougherty memastikan penonton bisa membedakan kekhasan
masing-masing monster. Rodan dengan manuver akrobatiknya, Mothra dengan
kecepatan dan kaki-kaki runcing yang siap menusuk lawan, sambaran listrik King
Ghidorah, hingga hantaman masif Godzilla, bertemu, menciptakan bentrokan brutal
di mana kita bisa melihat raksasa terbakar, tercabik, bahkan termutilasi. Kalau
anda mencintai monster raksasa, film ini mendekati surga sinema.
PM NARENDRA MODI (2019)
Rasyidharry
Mei 25, 2019
Anirudh Chawla
,
Biography
,
Hindi Movie
,
Kurang
,
Omung Kumar
,
REVIEW
,
Sandip Ssingh
,
Sunita Radia
,
Vivek Oberoi
6 komentar
Disutradarai oleh Omung Kumar (Sarbjit, Bhoomi) yang menyatakan diri
sebagai pengagum Narendra Modi, tidak mengejutkan kala film mengenai Perdana
Menteri keempat belas India ini terasa bagai kuil pemujaan. PM Narendra Modi adalah biografi
politikus yang didesain layaknya hagiografi. Padahal, di samping cacat
tersebut, terselip banyak elemen-elemen menjanjikan.
Prolognya klise, yakni tentang
bagaimana ini bukan kisah soal seorang pria, tapi negara. Hampir semua film
pengusung nasionalisme menerapkan narasi tersebut. Jadi persiapkan diri melihat
situasi cheesy, misalnya saat Modi
cilik, dengan senyum penuh kebanggaan, menghormati bendera di tegah jalan.
Kehidupan Narendra Modi (Vivek
Oberoi) yang dipresentasikan film ini sebenarnya menarik. Berangkat dari
keluarga miskin penjual teh, Modi memilih melakukan selibat dan hidup megembara
sebagai pertapa, menjadi aktivis penuh ide cemerlang di RSS (Rashtriya
Swayamsevak Sangh) untuk meruntuhkan pemerintahan korup, membakar nasionalisme
rakyat dengan mendirikan bendera di tengah zona merah, lalu menjadi Ketua
Menteri Gujarat.
Dinamika hidup Modi membuat aliran
alur lebih kaya dan berwarna. Bahkan gelaran aksi sesekali mengisi, saat serangan
teroris serta kerusuhan pecah, termasuk kerusuhan berlandaskan agama di Gujarat
tahun 2002, yang merupakan kontroversi terbesar sepanjang karir Modi. Ditulis
oleh Vivek Oberoi dan Anirudh Chawla, berdasarkan cerita buatan Sandip Ssingh,
naskahnya tahu cara mengubah biografi politikus jadi hiburan bagi kalangan
luas. Pergerakan ceritanya mulus, urung terjebak pada pembagian babak-babak
kasar yang kerap menjangkit biopic, sementara
sinematografi cantik garapan Sunita Radia (Hate
Story IV, Baadshaho) bisa mewakili skala filmnya yang cukup besar.
Masalahnya terletak pada penokohan
sang protagonis. Digambarkan sebagai politisi jujur pembenci koruptor yang
bersedia turun ke lapangan dan bekerja secara nyata untuk membuktikan komitmen
selaku pelayan masyarakat, tentu banyak pihak memusuhi Modi. Rekan partainya
iri atas popularitas Modi, sedangkan oposisi menempuh segala cara demi
menjatuhkannya, dari serangan lewat isu agama hingga mengontrol pemberitaa
negatif di televisi (Kok terdengar familiar ya?). Bahkan teroris Pakistan
menginginkan nyawanya. Tapi tak sekalipun Modi tersudut.
Dia sedih, terpukul, terkejut,
cemas, namun selalu muncul dengan solusi secepat kilat, yang menariknya (baca:
anehnya) tak pernah gagal. Bukan saja orang suci yang mengedepankan kemanusiaan
dan bersedia mengorbankan nyawa demi negara, rupanya Modi juga sosok jenius.
Menurut film ini, Narendra Modi adalah manusia sempurna yang tidak terhentikan.
Terlalu sempurna, sampai sulit menganggap serius karakterisasinya, biarpun
Oberoi telah berusaha maksimal memerankan figur karismatik yang keras namun berhati
mulia. Sebab tokoh yang dia mainkan bukan manusia, tapi karikatur kartun.
Oberoi pun total menghantarkan
deretan pidato membara Modi, tapi dampak yang dihasilkan minimum, karena hampir
semua kata yang keluar dari mulut sang Perdana Menteri terdengar bak orasi,
bahkan ketika ia berbicara dalam situasi privat. PM Narendra Modi berambisi tampil sebesar dan sepenting mungkin, ambisi
yang menjadikannya sebuah eksploitasi keagungan. Tapi ada satu momen menyentuh,
tepatnya selepas kekacauan di Gujarat, saat umat Islam dan Hindu berkumpul,
lalu saling bergandengan tangan. Dramatisasinya berlebihan, tapi hati saya
tergerak. Mungkin karena saya memimpikan situasi serupa jadi pemandangan biasa
di negeri ini.
Cheesy, tetapi Omung Kumar lebih
piawai menangani situasi sederhana macam itu ketimbang pengadeganan berskala
besar sebagaimana dipertontonkan klimaksnya, yang menampilkan kenekatan Modi tetap
berkampanye di depan jutaan manusia, meski laporan intelijen memperingatkan jika
beberapa teroris Pakistan sedang mengincar nyawanya. Ketegangan memudar akibat
kebingungan Kumar menentukan perpaduan tepat antara orasi Narendra Modi dan elemen
thriller dalam usaha mencari posisi
teroris selaku media pembangun intensitas.
THE GANGSTER, THE COP, THE DEVIL (2019)
Rasyidharry
Mei 24, 2019
Action
,
Crime
,
Don Lee
,
Kim Mu-yeol
,
Kim Sung-kyu
,
Korean Movie
,
Lee Won-tae
,
Lumayan
,
Ma Dong-seok
,
REVIEW
16 komentar
Premis soal dua sisi berlawanan
yang bersatu untuk mengalahkan musuh bersama selalu jadi favorit saya. Entahlah.
Situasi tersebut terdengar keren. Dan aksi-kriminal karya Lee Won-tae (Man of Will) yang bakal dibuat ulang
oleh Sylvester Stallone ini berhasil memuaskan kegemaran saya akan konsep di
atas.
Sebagaimana dinyatakan judulnya,
ada tiga pihak besar di sini: gangster, polisi, dan pembunuh berantai alias “The Devil”. Jang Dong-soo (Ma Dong-seok)
adalah gangster ternama yang menjalankan bisnis mesin arkade ilegal. Sosoknya
kalem, beradab, namun tak segan bertindak brutal kepada lawan. Pada perkenalan
kita terhadapnya, Jang sedang memukuli samsak yang di dalamya bukan berisi
pasir, melainkan seorang pria.
Demi memuluskan bisnis, tentu Jang
perlu menyuap aparat. Biar demikian, tidak seperti atasannya, polisi kita, Jung
Tae-suk (Kim Mu-yeol), menolak bermain kotor. Tapi ini adalah film Korea
Selatan, sehingga karakter paling bersih pun bukan orang suci. Jung merupakan
polisi temperamental yang gemar menentang atasan dan memukuli gangster tatkala
dibuat kesal oleh kemacetan lalu lintas.
Jung ingin menangkap Jang, namun di
samping intervensi atasannya, ia pun sibuk menangani beberapa kasus pembunuhan.
Berkaca pada kemiripan modus operandi tiap peristiwa (pemakaian pisau,
melibatkan tabrakan mobil, dan lain-lain), Jung percaya bahwa semuanya
dilakukan satu orang, alias pembunuhan berantai. Sayang, tidak satu pun orang
mempercayai intuisinya. Sampai di suatu malam, di bawah guyuran hujan, sang
iblis (Kang Kyung-ho) menyerang target berikutnnya: Jang Dong-soo.
Jang selamat, namun berita soal bos
gangster yang terluka parah akibat tusukan orang asing jelas melukai
reputasinya di dunia hitam. Jang pun berhasrat menghabisi sang pembunuh. Dia
memiliki banyak sumber daya, tapi tidak dengan petunjuk-petunjuk berharga
seperti DNA atau sidik jari. Sebaliknya, kepolisian mempunyai petunjuk
tersebut, tapi kekurangan sumber daya. Itulah pemicu bergabungnya dua kubu.
The Gangster, The Cop, The Devil awalnya bergerak cukup lambat, dan
beberapa titik sejatinya bisa dipersingkat guna menguatkan dinamika tanpa harus
menghilangkan substansi, tapi kecerdikan naskah yang juga dibuat oleh sang
sutradara mampu meniadakan rasa bosan dengan mengeksplorasi bagaimana ketiga
sisi memainkan permainan penuh tipu daya.
Jang memanfaatkan aliansi dengan
polisi untuk keuntungan bisnis, sementara si pembunuh pun enggan berdiam diri,
memainkan trik guna menghancurkan kedua pengejarnya. Intrik semacam itu memicu
konflik-konflik yang tak pernah terasa dipaksakan, karena...well, film ini melibatkan psikopat,
gangster licik, dan polisi yang pelan-pelan bersedia mengesampingkan idealisme,
sehingga permainan pikiran penuh tipu daya kotor tentu tak terhindarkan.
Beberapa konflik menggiring
investigasi ke arah baru, beberapa lainnya memicu baku hantam. Pastinya baku
hantam khas Korea yang mengedepankan
nuansa “mentah” pertarungan jalanan ketimbang koreografi cantik. Itu asalan
saya menyukai aksi buatan sineas Negeri Ginseng. Karakternya cenderung
melemparkan pukulan dahulu baru berpikir kemudian (atau tidak sama sekali),
menciptakan sense of urgency layaknya
perkelahian di dunia nyata. Gaya tersebut memfasilitasi pesona Ma Dong-seok
a.k.a. Don Lee dengan postur intimidatif, bogem mentah yang bisa meremukkan
tulang sekali pukul, dan seringai yang akan membuat lawannya diselimuti ketakutan.
The Gangster, The Cop, The Devil mulai menambah kecepatan begitu
durasi mendekati satu jam, tatkala investigasi menemukan titik terang, sementara
kerja sama kepolisian dengan gangster mulai terjadi secara langsung. Menarik
melihat bagaimana mereka mengawali penyelidikan sebagai dua sisi koin yang
saling benci, sebelum perlahan terjalin kedekatan, saling berbagi minuman,
bahkan menertawakan lelucon masing-masing sambil duduk bersama di satu meja.
Tapi titik balik sesungguhnya
terjadi selepas satu momen (saya menyebutnya “adegan payung”) yang melambungkan
intensitasnya secara gila-gilaan sekaligus menghantarkan substansi premisnya. Dibarengi
sentuhan dramatik Don Lee yang kembali mampu menghembuskan hati meski memerakan
penjahat brutal, kita melihat sekat pemisah antara gangster dan si pembunuh.
Walau melakukan tindak kriminal, Jang masih memiliki hati. The Gangster, The Cop, The Devil bukan kisah mengenai usaha
mengalahkan lawan yang lebih kuat, melainkan dua kelompok dengan keburukan
masing-masing, yang bergabung untuk melawan pihak lain yang jauh lebih busuk.
Konklusinnya, yang terjadi pasca sebuah
kejar-kejaran mobil menegangkan, membawa filmnya menginjak ranah drama ruang
persidangan. Di situ The Gangster, The
Cop, The Devil agak memaksakan diri menyatukan begitu banyak kelokan dan
kejutan, namun setidaknya, kejutan-kejutan itu memberi kepuasan saat tiap tokoh
menemui akhir yang pantas mereka dapatkan.
ALADDIN (2019)
Rasyidharry
Mei 23, 2019
Alan Tudyk
,
Fantasy
,
Guy Ritchie
,
John August
,
Lumayan
,
Marwan Kenzari
,
Mena Massoud
,
Musical
,
Naomi Scott
,
REVIEW
,
Vanessa Taylor
,
Will Smith
28 komentar
Aladdin versi baru ini, meski belum semagis animasi originalnya,
sekali lagi membuktikan bahwa reputasi buruk yang didapat suatu film akibat
materi promosi tidak selalu mencerminkan kualitas asli produknya. Siapa sangka Guy
Ritchie (Snatch, Sherlock Holmes, King
Arthur: Legend of the Sword) berhasil menyajikan tontonan hangat seputar
memperjuangkan kebebasan sekaligus live
action remake terlucu milik Disney.
Cerita soal kebebasan memang sudah
menjadi dasar sejak versi animasinya. Kebebasan “tikus jalanan” untuk bermimpi,
kebebasan wanita dari kekangan tradisi, kebebasan jin dari keharusan melayani. Tanpa
perlu menyaksikan film aslinya, anda tentu bisa menebak jika segala kebebasan
tersebut bakal didapat. Dan jika anda ingin tahu nasib Genie (Will Smith) pasca
lepas dari lampu ajaib, adegan pembuka film ini menyimpan jawabannya, yang turut
berperan menghasilkan dampak emosional di penghujung kisah.
Pertama kali menyaksikan Aladdin (1992), saya sedikit terkejut.
Berekspektasi melihat cerita seorang pencuri yang menemukan lampu ajaib tempat
tinggal jin sakti pengabul harapan, peristiwa itu justru baru terjadi begitu
melewati sepertiga durasi. Seolah khawatir penonton masa kini datang dengan
ekspektasi serupa, film ini memutuskan menggulirkan alur secepat mungkin, khususnya
pada paruh awal.
Beberapa fase pengembangan dipotong
dan/atau dipaksa menyatu satu sama lain sehingga terasa bagaikan rekap.
Mendadak kita bertemu Puteri Jasmine (Naomi Scott) yang sedang menyamar guna
melihat langsung kehidupan rakyat Agrabah, menyaksikan pertemuannya dengan
Aladdin (Mena Massoud), tumbuhnya benih cinta di antara mereka, dan tidak lama
berselang, kita tiba di momen saat Aladdin memasuki Cave of Wonders atas
suruhan Jafar (Marwan Kenzari).
Guy Ritchie—yang gemar memamerkan
gaya—seolah tak tertarik menyentuh babak introduksi, enggan berhenti menginjak
pedal gas. Biarpun keputusan itu merusak aliran cerita, minimal Ritchie
berhasil menebusnya lewat keberhasilan menerjemahkan gaya parkour khas elemen
aksi Aladdin (juga merupakan daya
tarik gimnya di PlayStation) ke media live
action. Jagoan kita lompat dari tembok ke tembok, atap ke atap, dan
memanfaatkan tenda-tenda di pasar layaknya trampolin. Bakal sempurna anda
Ritchie tak tergoda mengimplementasikan teknik fast moton nihil substansi di beberapa titik.
Tapi selepas Aladdin bertemu Genie
yang menjanjikannya tiga permintaan untuk dikabulkan, film ini mulai menemukan
pijakan. Perjalanannya lucu. Sangat lucu. Memang ada batasan-batasan yang
menyulitkan live action mencapai
level imajinasi setingkat medium animasi khususnya terkait beragam kemampuan
ajaib Genie, namun Will Smith selaku sosok yang paling banyak dicemooh sebelum
film dirilis, sukses menebar banyak tawa.
Tentu ia tidak seberwarna Robin
Williams, tapi siapa yang bisa? Absurditas karakter Genie bisa saja memproduksi
situasi cringey, tapi Smith punya
cukup talenta guna menyulap absurditas menjadi komedi berkualitas. Smith bahkan
memberi kita momen paling menyentuh sepanjang film, dengan memperlihatkan satu
kelebihan live action yang sukar ditandingi
animasi, yaitu keberadaan bobot dramatik melalui mata aktor.
Sedangkan Mena Massoud, sebagai
sosok kedua paling dicemooh setelah Smith, juga merupakan protagonis yang bukan
saja ahli menghibur lewat kebolehan memerankan kecanggungan pencuri miskin yang
berpura-pura menjadi pangeraan, pula cukup likeable
sehingga memudahkan kita mendukung perjuangannya melawan tatapan sebelah
mata orang-orang dan merebut hati Jasmine.
Selaku adaptasi, naskah buatan Guy
Ritchie bersama John August (Charlie’s
Angels, Corpse Bride, Dark Shadows) dan Vanessa Taylor (Divergent, The Shape of Water) tentu
melakukan beberapa perubahan, dan perubahan terbaik terletak pada keputusan Aladdin mengangkat tema relevan soal women’s empowerment dalam cerita tentang
Jasmine. Sang Puteri tak hanya menolak perjodohan, ia pun ingin menjadi Sultan.
Jasmine percaya ia memiliki kapasitas memadahi sebagai pengayom rakyat.
Di satu titik, Jafar menyebut bahwa
Jasmine semestinya cukup dipandang dan tak perlu berusaha agar didengar.
Pernyataan yang mencerminkan bagaimana banyak masyarakat memandang kelayakan
wanita selaku pemimpin. Scott memancarkan cukup gravitas tanpa harus tampil kaku, menghidupkan Jasmine baru yang
lebih kokoh, termasuk dalam penampilan emosional yang menyelamatkan nomor
musikal Speechless.
Speechless, selaku lagu baru di jajaran soundtrack, adalah nomor medioker dengan lirik terlampau sederhana yang
lebih cocok terdengar dari film seperti High
School Musical ketimbang dongeng macam
Aladdin. Pengadeganannya pun tak
kalah medioker akibat kekurangan sentuhan artistik, berbeda dengan adegan
musikal lain yang memperoleh keuntungan dari sentuhan bergaya Guy Ritchie,
termasuk lantunan ikonik A Whole new
World yang tetap mengandung romantisme memadahi supaya penonton mempercayai
mekarnya asmara di hati Aladdin dan Jasmine
Mayoritas aspek yang awalnya
dipandang remeh sanggup mematahkan keraguan, sayangnya tidak dengan Jafar, si
antagonis membosankan yang tak pernah cukup “licin” atau intimidatif. Dibanding
“saudara animasinya”, Marwan bagaikan penjahat kemarin sore. Dinamikanya dengan
Iago (Alan Tudyk) pun lemah, tatkala si burung makaw bermulut busuk hadir kurang
bernyawa, khususnya bila disandingkan dengan Abu yang menampilkan jangkauan
ekspresi lebih luas.
Maybe this new “Aladdin” won’t takes us to a whole new world, but its
world has enough laughs, hearts, and hopes to be a perfect getaway destination
from an exhausting nowadays reality.
DE DE PYAAR DE (2019)
Rasyidharry
Mei 18, 2019
Ajay Devgn
,
Akiv Ali
,
Comedy
,
Hindi Movie
,
Lumayan
,
Luv Ranjan
,
Rakul Preet Singh
,
REVIEW
,
Romance
,
Surabhi Bhatnagar
,
Tabu
,
Tarun Jain
10 komentar
Apakah perbedaan usia mempengaruhi
hubungan romansa? Mantap menyebut “usia hanyalah angka” akan terdengar seperti
penyangkalan naif, tapi seperti dituturkan De
De Pyaar De, itu bukan faktor penentu tunggal. Ketika dua individu berada dalam
“satu frekuensi”, perbedaan tersebut justru dapat melengkapi keping-keping
puzzle hidup seseorang ketimbang mengacaukannya.
Ashish (Ajay Devgn) adalah duda
berusia 50 tahun sekaligus pebisnis kaya raya di London. Bukan cuma berkarisma,
Ashish pun memiliki citra “gentleman”,
yang dibuktikan ketika ia enggan mencuri kesempatan saat gadis cantik 26 tahun
bernama Ayesha (Rakul Preet Singh) mabuk berat selepas pesta dan tertidur di
rumahnya. Ketertarikan di antara mereka timbul sejak itu.
Stigmanya jelas: pria tua kaya raya
terpesona oleh fisik wanita muda, wanita muda tertarik pada harta si pria tua.
Tapi naskah buatan Luv Ranjan (Pyaar Ka
Punchnama, Sonu Ke Titu Ki Sweety), Surabhi Bhatnagar (Dil Juunglee), dan Tarun Jain (Pyaar
Ka Punchnama 2) secara cerdik menampilkan bahwa bukan hubungan semacam itu
yang terjalin, dengan membangun interaksi kedua tokoh utama lewat deretan banter jenaka.
Ashish dan Ayesha saling menggoda,
melempar “hinaan” yang kebanyakan berkutat seputar usia masing-masing, dan tak
sekalipun mereka kehabisan kata. Balasan tajam selalu terlontar, memproduksi nuansa
manis yang memudahkan kita percaya jika keduanya saling terkoneksi. Walau mulut
berkata “tidak”, mata mereka menyatakan sebaliknya. Seolah saling dorong untuk
menjauhkan diri, sesungguhnya mereka tengah saling tarik demi mendekatkan hati.
Pendekatan tersebut, ditambah ragam
variasi humor efektif dari verbal hingga lelucon referensial (kalau tidak salah
lagu tema Singham sempat terdengar) dan pengadeganan cekatan dari sutradara Akiv Ali, menghadirkan dinamika juga hiburan luar biasa, yang memiliki romantisme lebih
dari cukup guna memancing kepedulian akan hubungan dua protagonis. Saya ingin
mereka selalu bersama.
Meski penulisan dialog merupakan
kunci, jalan yang De De Pyaar De
tempuh jelas membutuhkan chemistry
kedua pemeran utama, dan serupa karakter yang dimainkan, Ajay Devgn dan Rakul
Preet Singh saling melengkapi. Rakul bertenaga, Ajay lebih tenang, dan
pertemuan dua kutub berseberangan itu membuat
paruh pertamanya jadi salah satu komedi-romantis Bollywood paling memuaskan
selama beberapa waktu terakhir.
Kenapa saya sering menekankan “paruh
pertama”? Karena paruh keduanya adalah titik balik mengejutkan. Titik balik
yang amat problematik, kemunculannya nyaris merusak keseluruhan film andai tidak
dibarengi keberhasilan paruh pertama merebut simpati untuk protagonisnya. Ashish
mengajak Ayesha ke India, mempertemukan sang kekasih dengan keluarganya,
termasuk si mantan istri, Manju (Tabu) beserta kedua anaknya yang berusia tidak
jauh dari Ayesha. Tapi realita tidak semulus rencana. Timbul berbagai kejutan,
dan beberapa di antaranya mengubah persepsi positif saya terhadap Ashish.
Dari pria terhormat, Ashish menjadi
pengecut, dan dari film yang memasang perspektif modern terkait ragam isu
sosial (perceraian, tinggal bersama sebelum menikah, hubungan beda usia,
gender), De De Pyaar De bagai menjadi
usaha menjustifikasi perselingkuhan dan kegagalan pria menahan nafsu. Dari
jajaran masalah yang diperkenalkan di paruh kedua, semuanya bermuara ke persoalan
keluarga dan percintaan. Teruntuk konflik keluarga, Ashish berkesempatan
menebus kesalahan, namun dalam urusan asmara, ia terus melakukan tindakan yang
sukar dimaafkan, bahkan hingga akhir. Pun dia terlalu pengecut untuk berinisiatif
mencari jalan keluar.
Di samping komedi yang tak pernah
kehilangan kelucuan, sebagaimana Manju seorang diri merekatkan keluarganya,
penampilan Tabu menjaga film ini agar tak seutuhnya runtuh. Menyaksikannya
berdiri kokoh di atas tumpukan permasalahan dengan sorot mata tanpa rasa takut
adalah sesuatu yang tidak ingin anda lewatkan.
Benar bahwa tidak seperti yang
dikhawatirkan banyak pihak, De De Pyaar
De bukan kisah soal dua wanita memperebutkan pria—yang sejatinya sah-sah
saja—namun ini adalah bentuk pemakluman atas mimpi nakal pria di mana mereka
bisa berbuat semaunya. Tapi paruh pertamanya sangat mengesankan hingga mampu mengatrol
keseluruhan kualitas film. Mungkin perasaan “terlanjur cinta” macam ini yang
mendorong Manju dan Ayesha bersedia memaafkan Ashish. Memang keliru, tapi
bagaimana bisa saya membohongi perasaan?
#MALAMJUMAT THE MOVIE (2019)
Rasyidharry
Mei 17, 2019
Ade Firman Hakim
,
Andhika Lazuardi
,
Dheeraj Kalwani
,
Ewing HD
,
Hadrah Daeng Ratu
,
horror
,
Indonesian Film
,
Jelek
,
KK Dheeraj
,
Randy Pangalila
,
REVIEW
,
Sonia Alyssa
,
Zoe Abbas Jackson
16 komentar
Ini yang saya sebut “kejutan berlapis”. #MalamJumat The Movie awalnya memberi
impresi positif, berpotensi menjadi rilisan terbaik Baginda Dheeraj Kalwani.
Memang bukan horor kelas atas, tapi tak pernah pula menyentuh jurang kehancuran
sebagaimana saya perkirakan bakal dimiliki karya Baginda. Tentu hal tersebut
mengejutkan. Hingga plot twist-nya
terungkap, dan dalam waktu kurang dari 30 menit, #MalamJumat The Movie berakhir setingkat judul-judul lain buatan produser
tercinta kita.
Diangkat dari kanal YouTube milik
Ewing HD, tepatnya seri #MalamJumat
EXPLORE, film ini mengikuti tuturan formulaik tentang penelusuran tempat
angker, ketika Ewing beserta timnya menjelajahi taman bermain bernama Wonder
Park, yang konon kerap jadi lokasi bunuh diri. Mereka bukan cuma menemukan
penampakan, juga jaket dan topi yang ditengarai milik seseorang yang gantung
diri di sana.
Begitu video tersebut diunggah,
gadis bernama Dinda (Zoe Abbas Jackson) meninggalkan komentar, mengaku bahwa
barang-barang itu adalah kepunyaan kakaknya, Ryan (Randy Pangalila), yang sudah
lama hilang. Bersama sahabatnya, Ellen (Sonia Alyssa), yang merasa Ryan
merupakan kekasihnya meski mereka hanya berpacaran semasa SD (sungguh selipan
humor yang salah tempat), Dinda meminta Ewing kembali ke Wonder Park guna
menyelidiki kebenaran di balik hilangnya sang kakak.
Turut serta dalam misi adalah Tio
(Ade Firman Hakim), YouTuber yang
dikenal akan kemampuannya berkomunikasi dengan arwah. Tiap melakukan ritual, Tio
tampak lucu, dengan gestur dan rapalan mantera konyol. Setidaknya kekonyolan
itu disengaja, di mana karakter lain sempat melontarkan olok-olok tentangnya,
meski serupa penokohan Ellen, kehadirannya tidak diperlukan.
Apa yang membuat keklisean #MalamJumat The Movie awalnya terlihat
lebih baik dibanding film Dee Company (dan K2K) pada umumnya? Pertama, naskah
buatan Andhika Lazuardi (Tembang Lingsir)
memang menyajikan alur setipis kertas nan membosankan, namun tak sampai mengesalkan.
Kedua, kuantitas jump scare-nya sesuai
porsi, alhasil efek suara berisik pengiring kemunculan hantu bertata rias buruk
tidak begitu sering menyiksa telinga. Pun penyutradaraan Hadrah Daeng Ratu
sesekali melahirkan keheningan atmosferik, talenta yang sebelumnya ia
perlihatkan lewat Jaga Pocong.
Semua berjalan lancar sampai babak
akhirnya tiba bersama twist yang terkesan
mencurangi penonton akibat hadir tanpa dibangun secara layak alias mendadak. Titik
baliknya datang secara dipaksakan, seolah penulis naskahnya berujar “Fuck it!”, lalu menyerah untuk mencari
cara logis guna menghantarkannya. Silahkan direnungkan: Apa perlunya Dinda
tiba-tiba membuka akun Instagram Ryan di tengah situasi berbahaya? Dan bukankah
sebelumnya akun Ryan baru mengunggah video Ellen sedang mandi? Ke mana perginya
video itu?
Keberhasilan #MalamJumat The Movie membuat otak jungkir balik tidak berhenti di
situ. Setelahnya, masih banyak kejutan yang bisa memancing respon “Eh?”, lalu “Lho??”,
kemudian “Apaaaa??!!”, lalu “What in the
heellll?!!!!”, hingga akhirnya, “Screw
it, I’m done!”. Belum cukup? Nantikan adegan penutup berupa kritik terhadap
komunitas YouTube yang terdengar bagai khotbah salat Jumat. Tapi saya
mengapresiasi bagaimana klimaksnya memperlihatkan bahwa Ewing tidak takut
mempertaruhka citra kanal YouTube miliknya demi film. Sayang, ini film yang
buruk. Seburuk akting kakunya.
AMBU (2019)
Rasyidharry
Mei 17, 2019
Andri Mashadi
,
Cukup
,
Drama
,
Endhita
,
Farid Dermawan
,
Indonesian Film
,
Laudya Cynthia Bella
,
Lutesha
,
REVIEW
,
Titien Wattimena
,
Widyawati Sophiaan
,
Yudi Datau
3 komentar
“Pergunakan air mata karaktermu
dengan bijak, atau dampaknya akan lenyap”. Ambu
rupanya tidak memegang prinsip tersebut. Begitu menyukai air mata, debut
penyutradaraan Farid Dermawan ini terus menumpahkannya, khususnya di pipi Fatma
(Laudya Cynthia Bella) yang matanya sembab hampir di segala situasi. Bukan itu
caranya merebut simpati penonton.
Fatma tidak hanya mesin air mata,
juga individu yang memanfaatkan penyakit kronis sebagai alasan bertindak
otoriter. Oh ya, dia sakit. Apalagi kalau bukan kanker. Tapi dia menolak
memberi tahu siapa pun, termasuk puterinya, Nona (Lutesha) mengenai vonis
dokter bahwa usianya takkan lama. Mengapa? Entah, filmnya urung menjabarkan secara
gamblang. Saya berasumsi, Fatma khawatir Nona bakal menolak rencananya. Sebuah rencana
yang bakal mengubah arah hidup Nona, namun sang pemilik hidup tak pernah ia ajak
berbagi opini.
Nona sendiri membenci sang ibu,
lalu menjadikan clubbing tiap malam
sebagai pelarian. Apa alasan kebencian Nona? Sederhana. Orang tuanya bercerai,
dan naskah karya Titien Wattimena (Salawaku,
Aruna & Lidahnya, Dilan 1991) mengikuti stigma bahwa sikap anak korban
perceraian selalu begitu.
Rencana Fatma adalah menjual
seluruh harta bendanya, kemudian membawa Nona ke Baduy untuk tinggal bersama
neneknya, Ambu Misnah (Widyawati). Sudah 16 tahun Fatma tak berjumpa Ambu, dan
melihat keengganan sang ibu menerima kepulangannya dengan tangan terbuka, bisa
ditebak keduanya berpisah akibat konflik besar. Meski dihadapkan pada sikap
ketus Ambu, Fatma tetap kukuh menyimpan rahasia. Padahal kejujurannya bisa
meredam beberapa konflik, sekaligus memberi lebih banyak quality time sebagai keluarga. Apalagi, akhirnya perubahan sikap
Ambu terjadi pasca ia mengetahui penyakit Fatma.
Seperti kita tahu, Baduy amat
menghormati alam. Mereka menolak pemakaian listrik atau berbagai bentuk
teknologi modern lain karena enggan merusak alam. Berpijak pada kepercayaan
itu, Ambu turut menghadirkan cerita
tentang proses Nona—si bocah metropolitan dengan segala pernak-pernik artificial—menemukan, kemudian mencintai
alam (disimbolkan lampu kunang-kunang miliknya).
Cerita di atas sejatinya bermakna,
mengingat pentingnya manusia untuk menghargai alam. Tapi egoisme (terselubung)
Fatma turut diperkuat olehnya. Mendorong orang kota tiba-tiba harus hidup tanpa
teknologi di daerah pelosok sama buruknya dengan memaksakan modernisasi kepada
rakyat Baduy. Penekanannya ada di kata “tiba-tiba”. Elemen problematik bukan
pada adaptasi yang mesti Nona jalani, melainkan fakta bahwa Fatma, tanpa alasan
jelas, menolak mendiskusikannya dahulu.
Saya sungguh menyukai penggambaran
Baduy dalam Ambu. Kita diajak
mempelajari berbagai kultur, sembari menikmati nuansa damai serta keindahan
alam di sana, yang ditangkap sempurna oleh sinematografi garapan Yudi Datau (Arisan!, Supernova, Critical Eleven),
yang cerdik bermain warna dan cahaya. Terik cahaya matahari kekuningan memancar
di sela-sela tembok bambu, sementara langit malam terbentanng dengan warna
kebiruan. Walaupun lemah di departemen naskah, aspek teknis Ambu tidak main-main.
Pun walau banyaknya tumpahan air
mata menandakan minimnya kesubtilan, sutradara Farid Dermawan masih meluangkan
beberapa momen guna memakai penceritaan visual demi menyalurkan emosi. Favorit
saya adalah tatkala kamera ditempatkan di atas, memperlihatkan ketiga generasi
wanita tengah meresapi emosi masing-masing dalam tiga ruang terpisah di rumah
Ambu. Shot tersebut memberi sentuhan
apik perihal pemanfaatan dekorasi latar.
Selain kisah soal dua hubungan
ibu-anak, Ambu mempunyai subplot
romansa yang terjalin antara Nona dengan pria lokal bernama Jaya (Andri
Mashadi), yang setia menemani hari-hari penuh kepenatan di Baduy. Tidak
dipaparkan secara luar biasa, namun suasana manis nan ringan miliknya, cukup
menambahkan warna pada tearjerker
satu ini. Tapi penyelamat terbesar berasal dari penampilan Widyawati sebagai ibu
tangguh berhati kokoh yang enggan dikalahkan melankoli.
Saat akhirnya tangis Ambu tumpah,
hati saya pun bergetar. Ini yang saya maksud dalam kalimat pembuka di atas. Air
mata Ambu memberi dampak hebat justru karena jarang ditampilkan. Hal sama
berlaku untuk Hapsa (kembalinya Endhita setelah tujuh tahun), sahabat lama
Fatma yang selalu ceria. Dan tengok bagaimana Widyawati menangani momen
tersebut. Berbeda dengan Fatma, tangis Ambu tak memancarkan kelemahan,
melainkan luapan perasaan campur aduk seorang ibu (termasuk cinta luar biasa
besar kepada puterinya) yang tertahan selama belasan tahun. Sang aktris senior
baru saja menyelamatkan filmnya.
THE POOL (2018)
Rasyidharry
Mei 16, 2019
Kurang
,
Ping Lumpraploeng
,
Ratnamon Ratchiratham
,
REVIEW
,
Thai Movie
,
Theeradej Wongpuapan
,
Thriller
4 komentar
Sewaktu membuat thriller, jangan biarkan kebodohan
protagonis jadi penyebab permasalahan yang mesti dihadapi, atau setidaknya,
jangan ungkap itu sejak awal. Simpan di paruh akhir sebagai kejutan menohok
setelah penonton menghabiskan cukup waktu bersama si karakter. Karena akan
sulit membuat penonton bersimpati pada seseorang yang (tanpa bermaksud demikian)
mengundang bahaya menghampiri dirinya. Itu yang menimpa The Pool karya sutradara/penulis naskah Ping Lumpraploeng (Khon hew hua, Dreamaholic).
Premis The Pool adalah, “Apa jadinya jika seseorang terjebak di kolam
renang?”. Terdengar konyol, tapi di situ
daya tariknya, sebab situasi tersebut tidak terpikirkan, sehingga berpotensi
menghadirkan angin segar dalam sub-genre thriller
berlokasi tunggal. Tapi bagaimana situasi itu dapat terjadi? Day (Theeradej Wongpuapan) adalah
anggota tim artistik dalam sebuah pengambilan gambar iklan di kolam renang yang
tidak terpakai. Setelah kegiatan usai, Day bermalas-masalan di tengah kolam
dengan kedalaman enam meter itu, walau telah mendengar peringatan temannya soal
kolam yang mulai dikeringkan. Itu kebodohan nomor satu. Semua ini takkan
terjadi andai ia bersikap seperti manusia normal.
Beberapa saat berselang, kolam mulai
mengering sehingga tak memungkinkan bagi Day untuk memanjat keluar. Selain Day,
cuma ada anjingnya yang dirantai sehingga tak bisa bergerak bebas. Berikutnya,
kemalangan-kemalangan lain yang membatasi opsi serta meningkatkan kadar bahaya
terus menyusul, namun sekali lagi, kebanyakan tidak bakal terjadi jika Day
memakai logikanya. “Bukankah dalam kondisi panik memang sulit berpikir jernih?”.
Betul, tapi ketika elemen penting yang melatari konflik semuanya diakibatkan
kebodohan, itu bukan bentuk pendekatan realistis, melainkan keterbatasan
kreativitas penulis naskahnya.
Seolah belum cukup parah, Koi (Ratnamon
Ratchiratham), kekasih Day, turut terjebak di kolam renang setelah dia terjun
dari papan lompatan, biarpun jelas terlihat bahwa air telah mengering. Itu
adalah kebodohan nomor.....sorry, I lost
count. Situasi makin buruk pasca kehadiran seekor buaya yang siap memangsa
kapan saja. The Pool menggabungkan
(sedikit) buaya asli dengan CGI, yang tampak apik dalam gelap dan air tapi terlihat
kasar di bawah cahaya matahari. Kekurangan itu bisa dimaafkan. Jika ingin
menyaksikan CGI buaya yang lebih baik, silahkan tunggu Crawl karya Alexandre Aja.
Tidak ada jalan keluar bagi Day dan
Koi, mereka tidak punya stok makanan (kecuali beberapa potong pizza sisa)
maupun minuman, terjebak bersama buaya, dipayungi panas matahari menyengat, dan
Day semakin lemah akibat tak menerima suntikan insulin selama berhari-hari. Bergulir selama 91 menit (durasi yang tepat), The Pool sejatinya tampil padat, pula cekatan
berkat pengadeganan dinamis sang sutradara. Selalu ada tantangan yang harus
karakternya lalui tiap beberapa menit, biarpun intensitas tak pernah sepenuhnya
meroket, sebab kita tahu, sebelum saat-saat terakhir segala peluang bakal
berujung sebagai harapan palsu semata.
Sebagaimana film-film sejenis, momen-momen
menyakitkan (kepala terbentur, luka sayata, kuku terkelupas, dan lain
sebagainya) pun bisa ditemukan demi menantang fisik karakternya. Theeradej dan Ratnamon
solid melakoni peran dua individu yang tersiksa baik fisik maupun psikis. Pujian
khusus patut disematkan kepada Theeradej, sebab sang aktor mampu berinteraksi
secara meyakinkan dengan makhluk CGI.
The Pool menyimpan potensi tinggi menjadi thriller mendebarkan, sayang, kebodohannya terlampau tinggi untuk bisa
ditoleransi. Pada pertengahan durasi, kedua protagonis menemukan ruangan dalam
saluran di bawah kolam. Day pergi mencari jalan keluar, sedangkan Koi
bersembunyi di sana, lalu menutup rapat akses masuk (selain kisi-kisi di atap
ruangan). Tidakkah mereka sadar andai hujan datang mengguyur ruangan bakal
terbenam air? Sepertinya memang susah bersimpati pada karakter sewaktu masalah
dipicu kebodohan mereka sendiri.
JOHN WICK: CHAPTER - PARABELLUM (2019)
Rasyidharry
Mei 15, 2019
Action
,
Asia Kate Dillon
,
Cecep Arif Rahman
,
Chad Stahelski
,
Dan Laustsen
,
Ian McShane
,
Keanu Reeves
,
Laurence Fishburne
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Saïd Taghmaoui
,
Yayan Ruhian
28 komentar
John Wick: Chapter 3 – Parabellum bakal menjadi keluaran terbaik
dalam waralaba film aksi kebanyakan. Masalahnya, seri John Wick yang dimulai lima tahun lalu bukan suguhan aksi
kebanyakan. Masih digawangi sutradara Chad Stahelski, Parabellum tetap merupakan tontonan brutal sesuai harapan penonton,
pula menampilkan bangunan dunia unik berisi para pembunuh taat aturan, tapi mayoritas
hanya pengulangan, sebatas jembatan menuju puncak, yang sejatinya bisa film ini
hantarkan.
Melanjutkan akhir film kedua, John
Wick (Keanu Reeves) dideklarasikan sebagai excommunicado
pasca melakukan pembunuhan di Hotel Continental selaku tempat netral. Dihargai
setinggi $14 juta, seluruh pembunuh di New York tidak berpikir ulang untuk
mengincar nyawanya. Bukan itu saja, High Table mengutus sang Adjudicator (Asia
Kate Dillon) guna menghukum pihak-pihak yang dianggap membantu kaburnya John,
termasuk Winston (Ian McShane) si manajer Continental dan Bowery King (Laurence
Fishburne).
Kehebatan jajaran penulis naskah
seri John Wick adalah menjalin cerita
sederhana soal “mengejar dan dikejar” sembari menyelipkan keping-keping yang
melengkapi latar dunianya di sepanjang perjalanan. Elemen unik tersebut masih dapat
ditemui, dari diharuskannya para karakter mematuhi kode moral yang acap kali menimbulkan
situasi kompleks, detail di balik layar mengenai bagaimana prosedur organisasi
dijalankan, sampai pengenalan Adjudicator yang memperkaya tatanan High Table.
Seri John Wick menciptakan latar di mana para pembunuh dituntut mematuhi
kode etik, dan itu membentuk kepribadian mereka menjadi mesin pencabut nyawa berdarah
dingin namun bermartabat. Sisi tersebut dimanfaatkan oleh tim penulis naskah
untuk mengkreasi interaksi menarik berisi baris dialog kaya yang merepresentasikan
dua wajah karakternya. Kata-kata mereka boleh terdengar bermartabat (ancaman
membunuh terdengar semanis ucapan customer
service ke pelanggan), tapi mereka tetap individu dunia hitam bengis yang
memandang nyawa begitu murah pula tak ragu menerapkan cara kotor demi mencapai
tujuan.
Sayangnya, jika film pertama
berfungsi memperkenalkan dunianya sementara film kedua bertujuan memperkaya,
kali ini segala detail tersebut bagai pernak-pernik belaka tatkala alurnya
urung bergerak ke mana-mana. Parabellum hanya
pengulangan karena kita sudah pernah melihat John diburu, tersudut, dan dikhianti.
Masuknya nama-nama baru termasuk Elder (Saïd Taghmaoui) selaku pemimpin High
Table tidak memberi dampak, karena begitu durasi usai, John berada di posisi serupa
seperti di awal film. Konklusi Chapter 2
yang memberi impresi bahwa John bakal berperang melawan High Table pun tak
ubahnya trik guna menjual film ketiga.
Terkait adegan aksi, Chad Stahelski
dibatu penata kamera Dan Laustsen (The
Shape of Water, John Wick: Chapter 2) setia mempertahankan gaya yang
membuat seri ini dicintai penonton, berupa keengganan menyembunyikan detail
melalui quick cut. Walau demikian,
serupa alurnya, gaya gun-fu tak lagi
sememukau itu selepas dua film pertama. Bos utama yang malah tampak mudah John
habisi dibanding jajaran tukang pukulnya juga meninggalkan kekecewaan.
Khusus penonton Indonesia, momen
sebelum klimaks jadi salah satu pemandangan paling dinanti, karena di sinilah
Cecep Arif Rahman dan Yayan Ruhian berhadapan melawan John Wick. Tidak
sepenuhnnya memuaskan (intensitas koreografi jelas diturunkan demi
memfasilitasi Keanu Reeves), dan kehadiran keduanya cenderung berupa fan service untuk penggemar The Raid. Setidaknya mereka bernasib
lebih baik ketimbang Iko Uwais yang dipermalukan dalam Triple Threat saat diberi kesempatan memamerkan jurus di beberapa
poin filmnya.
Parabellum justru paling mengundang decak kagum ketika
pertarungan terjadi tanpa melibatkan senjata api. Lemparan puluhan pisau yang
menancap di sekujur tubuh korban, buku tebal yang mampu mematahkan leher, sampai
pemakaian kuda dan anjing, membuat saya antusias menebak-nebak metode eksekusi
macam apa yang akan dipakai. Aksi adu bacok dibungkus koreografi memukau plus
tata artistik memanjakan mata inilah bukti kepantasan John Wick sebagai seri aksi langka yang mampu mendefinisikan “The Art of Violence”.
STUDENT OF THE YEAR 2 (2019)
Rasyidharry
Mei 13, 2019
Aditya Seal
,
Alia Bhatt
,
Ananya Panday
,
Arshad Sayed
,
Bagus
,
Hindi Movie
,
Karan Johar
,
Manjot Singh
,
Punit Malhotra
,
REVIEW
,
Romance
,
Sahil Anand
,
Sports
,
Tara Sutaria
,
Tiger Shroff
,
Will Smith
6 komentar
Saya menyukai Student of the Year (2012) walau tetap meyakini bahwa karya Karan
Johar (Kuch Kuch Hota Hai, Kabhi Khushi
Kabhie Gham, My Name is Khan) tersebut menyasar target yang jauh di luar
jangkauan kemampuannya. Sedangkan Student
of the Year 2 tampil lebih sederhana, tanpa penggabungan narasi masa
lalu-masa kini, pula mengesampingkan kisah persahabatan demi menampilkan romansa
dan drama olahraga klise dibumbui sekuen aksi over-the-top. Dan itu bekerja dengan baik.
Pendekatan tersebut cukup
menjustifikasi pemilihan Tiger Shroff sebagai aktor utama. Kapasitas aktingnya
jauh di bawah Siddharth Malhotra atau Varun Dhawan, dengan ekspresi datar yang
cuma sesekali digantikan senyum cringey.
Tiger pun tampak terlalu tua untuk pantas disebut “student”. Tapi ia merupakan penari hebat sekaligus jagoan aksi
mumpuni, yang sanggup melakukan banyak stunts
rumit, suatu hal yang jadi salah satu senjata film ini selaku hiburan ringan.
Latarnya masih di kampus St.
Teresa, pun Jeet (Sahil Anand) dan Dimpy (Manjot Singh) melakoni penampilan
spesial sebagai duo komentator pertandingan Kabaddi, sedangkan Alia Bhatt
muncul di nomor musikal sebelum kredit (The
Hook Up Song), namun plotnya tak punya keterkaitan dengan film pertama.
Bentuk kompetisi memperbutkan gelar “Student
of the Year” pun diubah, dari ujian otak plus otot berlingkup internal
menjadi acara olahraga antar kampus bernama Dignity Cup.
Serupa karakter peranan Varun
Dhawan di film pertama, protagonis Student
of the Year 2 bernama Rohan (Tiger Shroff), mahasiswa Pishorilal Chamandas,
suatu universitas kelas bawah yang rutin mengisi posisi juru kunci pada Dignity
Cup. Rohan ingin pindah ke St. Teresa yang prestisius, tapi bukan demi mengejar
masa depan cerah, melainkan untuk pujaan hatinya, Mridula (Tara Sutaria). Meski
bagi Rohan, rasanya Mridula adalah masa depan itu sendiri.
Berkat beasiswa olahraga, Rohan
berhasil diterima, namun Mridula kini telah berbeda. Dia mengubah namanya
menjadi Mia sebagai usaha membaur di antara para mahasiswa borjuis, pula ragu
untuk melanjutkan hubungan bersama Rohan. Mengutip kalimatnya, “Daripada
melihat dunia, Mia ingin dunia melihatnya”.
Bukan itu saja penghalang impian
Rohan. Ada Manav (Aditya Seal), putera ketua komite universitas sekaligus
peraih Student of the Year dua thaun
terakhir dan adiknya, Shreya (Ananya Panday), pembuat onar yang langsung bertengkar
dengan Rohan di hari pertama. Biarpun baru menjalani layar lebar, Ananya justru
penampil terbaik film ini, melemparkan deretan olok-olok dari lidah tajamnya,
yang alih-alih membuatnya mudah dibenci, malah ampuh meramaikan situasi dan
memancing tawa. Saya berani bertaruh, serupa Alia Bhatt yang tampil perdana di Student of the Year, karir Ananya akan
segera melesat.
Seiring waktu, Shreya terus mengganggu
Rohan, sebaliknya, Manav membuka jalan pertemanan. Tapi kita tahu, dua bentuk
hubungan di atas bakal berbalik, sebab seperti telah disebutkan, Story of the Year 2 memang klise. Tapi sungguh
keklisean menyenangkan, sampai saya berharap kisahnya berakhir seusai prediksi.
Alasannya, Rohan dan Shreya merupakan karakter (dan nantinya pasangan) likeable. Rohan jadi simbol perlawanan kalangan
menengah ke bawah, sementara Shreya adalah gadis kesepian yang rindu kasih
sayang.
Berlangsung selama 145 menit,
naskah tulisan Arshad Sayed (Dasvidaniya,
Chalo Dilli) menuturkan plot yang tak luar biasa, diisi elemen-elemen sederhana
namun relatable, dari kisah cinta
penuh perjuangan dan pengkhianatan, sampai underdog
story formulaik. Kompleksitas urung ditemukan di permukaan, melainkan dalam
perasaan tokoh-tokohnya. Film ini adalah soal menghadapi realita tatkala
sesuatu (atau seseorang) yang kita kejar sekian lama mungkin saja takkan kita
dapatkan, atau malah tidak layak diperjuangkan. Dan mudah bersimpati kepada
Rohan, karena banyak dari kita pasti pernah merasakan kondisi demikian.
Kata “sederhana” layak pula
disematkan di konsep turnamennya. Meski saya tetap mempertanyakan signifikansi disertakannya
olahraga lain tatkala Kabaddi bagai satu-satunya cabang yang menentukan, karena
Dignity Cup murni acara olahraga biasa,tidak ada lagi aturan-aturan problematik
nan memusingkan milik pertama. Alhasil, lebih mudah membiarkan diri kita
terhanyut dalam pertandingan demi pertandingan tanpa memusingkan lubang-lubang
logika.
Student of the Year 2 menyimpan daya hibur tinggi berkat tenaga yang
disuntikkan penyutradaraan Punit Malhotra (I
Hate Luv Storys, Gori Tere Pyaar Mein). Termasuk di dalamnya yaitu sekuen
tarian yang salah satunya memperlihatkan kemeriahan aneka set, dari panggung
berhiaskan kilauan bohlam, hingga dinding berlukiskan rumus-rumus sains (dilengkapi cameo Will Smith).
Dan memanfaatkan talenta terbesar
(atau satu-satunya?) Tiger, Student of
the Year 2 mengandalkan lebih banyak sekuen aksi ketimbang pendahulunya. Ada
beberapa perkelahian hard-hitting, tapi
momen-momen terbaik dihadirkan pertandingan Kabaddi selaku klimaks film, yang
melibatkan berbagai gerak akrobatik
mengesankan. Saya dibuat terpukau (bahkan sebagian penonton berulang kali
bertepuk tangan) setiap stunts rumit—yang
tampak mudah berkat kemampuan fisik Tiger—sukses dilakukan. Jadi, lupakan
kedangkalan ceritanya, cukup nikmati keseruan dan ke-cheesy-an crowd-pleaser ringan
ini.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Posting Komentar