A SHAUN THE SHEEP MOVIE: FARMAGEDDON (2019)

6 komentar
Dua faktor penentu kepuasan menonton A Shaun the Sheep Movie: Farmageddon adalah seberapa suka anda akan humor British dan seberapa banyak referensi soal judul-judul fiksi ilmiah klasik dalam filmnya yang bisa anda tangkap. Di antara jalinan plot familiar milik sekuel Shaun the Sheep Movie (2015) ini, kedua hal di atas berjasa menghadirkan hiburan menyenangkan dengan kreativitas di luar dugaan. Belum menonton film pertama atau serial televisinya? Bukan masalah, sebab kisah Farmageddon berdiri sendiri.  

Peternakan Mossy Bottom tampak seperti biasa. Dipimpin oleh Shaun (Justin Fletcher), para domba selalu memancing kekacauan, sehingga Bitzer (John Sparkes) si anjing dibuat kerepotan. Hingga suatu malam sebuah UFO mendarat, menciptakan kehebohan massal di seluruh penjuru kota. Awak pesawat tersebut adalah Lu-La (Amalia Vitale), alien kecil menggemaskan yang bisa menggerakkan barang-barang bak pemilik kemampuan telekinesis.

Shaun pun memutuskan mengantarkan Lu-La—yang tersasar sampai ke peternakannya—kembali ke pesawat, tanpa menyadari bahwa sebuah organisasi mirip Men in Black sedang memburu Lu-La, dalam misi yang dipimpin Agen Red (Kate Harbour). Bisa ditebak, mayoritas 87 menit durasinya dipenuhi aksi kejar-kejaran konyol. Naskah garapan Mark Burton dan Jon Brown tidak menerapkan modifikasi formula sedikit pun, membangun alurnya berbasis kekacauan demi kekacauan di tiap lokasi yang disinggahi karakternya.

Keunikannya terletak pada gaya melucu. Burton dan Brown menolak setengah-setengah membangun kekonyolan, organisasi misterius yang jadi lawan para protagonis pun tidak digambarkan sebagai sosok mengerikan, jauh dari kesan kompeten, kerap melakukan deretan kesalahan bodoh, tidak terkecuali Agen Red yang mengira Bitzer dalam balutan kostum astronot adalah alien. Pun saat menyentuh ranah slapstick yang biasanya kerap jadi jalan keluar malas, Farmageddon menawarkan kreativitas, seperti dicontohkan “adegan supermarket” saat duo sutradara, Will Becher dan Richard Phelan, memvisualkan ide-ide absurd para penulisnya guna membangun kekacauan sarat kelucuan.

Sebagaimana sempat disinggung di paragraf pertama, gagasan kreatif para pembuat film ini turut tertuang dalam selipan-selipan referensi untuk berbagai film maupun serial fiksi ilmiah sebutlah 2001: A Space Odyssey (1968), E.T. the Extra-Terrestrial (1982), Close Encounters of the Third Kind (1977), hingga seri The X-Files. Bentuknya beragam, dari penggunaan musik, adegan, elemen cerita, sampai pernak-pernik lain.

Diproduksi oleh Aardman Animations (The Pirates! In an Adventure with Scientists!, Shaun the Sheep Movie, Early Man),teknik stop-motion claymation masih tetap memanjakan mata. Sekali waktu Farmageddon bisa membuat kita lupa bahwa filmnya dibuat menggunakan tanah liat, khususnya di gambar-gambar wide shot maupun ketika elemen fiksi ilmiah tengah jadi sorotan (Lu-La memamerkan kekuatannya, perjalanan luar angkasa, dan lain-lain), kemudian baru tersadar sewaktu kamera menyorot karakternya dari dekat dan memperlihatkan sisa-sisa sidik jari di wajah mereka.

Upaya Farmageddon menambahkan elemen dramatik tidak selalu berjalan lancar. Penggunaan lagu pop berlirik sendu (Everything I do is just my way to escape you) guna mengekspresikan kegetiran batin karakternya terasa mengganggu, mengingat ini merupakan animasi di mana tokoh-tokohnya tidak bertutur kata layaknya manusia pada umunya. Tapi kekurangan itu mampu terobati melalui konklusi menyentuh hati ketika (secara tak terduga) salah satu karakter memperoleh bobot emosi. Tatkala reuni keluarga bertemu terwujudnya kenangan masa kecil. Hangat.

6 komentar :

Comment Page:

6,9 DETIK (2019)

Tidak ada komentar
Diam-diam Lola Amaria adalah sineas produktif, dengan catatan lima film dalam enam tahun terakhir, di mana sejak Jingga pada 2016, ia rutin merilis film setiap tahun. Kenapa saya sebut “diam-diam”? Karena melihat catatan jumlah penonton, produktivitas Lola rasanya tak banyak diketahui publik. Pun secara kualitas, karyanya belakangan mudah terlupakan. Sama sekali tidak buruk, namun selalu meninggalkan kesan, “Sebenarnya ini bisa bagus, tapi.....”.

Selalu bertindak selaku produser, berarti Lola jeli mencari materi berpotensi, tapi lemah perihal eksekusi. Tidak terkecuali 6,9 Detik, yang mengangkat kisah hidup Aries Susanti Rahayu, atlet panjat tebing peraih medali emas cabang panjat tebing kategori “speed” di Asian Games 2018, yang dijuluki “Spider-Woman”.

Kisahnya membawa kita mundur menuju masa kecil Aries (Kayla Ardianto) di Purwodadi, ketika ia mesti memendam rindu kepada sang ibu (Brilliana Arfira), yang bekerja sebagai TKW di Arab Saudi. Berbeda dibanding dua kakak perempuannya, sejak dini Aries sudah memperlihatkan minat akan olah raga. Dia kerap menjuarai lomba lari antar sekolah, hingga akhirnya mengenal panjat tebing, mulai mengikuti berbagai pelatihan, sampai akhirnya meraih emas Asian Games 2018 di bawah tempaan keras pelatihnya, Hendra (Ariyo Wahab).

Kisahnya mengalir mulus selama sekitar 35 menit pertama (total durasi 78 menit). Naskah buatan Sinar Ayu Massie (3 Hari untuk Selamanya, Sebelum Pagi Terulang Kembali, Lima) merangkum drama ibu-anak hangat di tengah paparan coming-of-age yang mampu memberi pemahaman atas bagaimana masa lalu Aries membentuk sosoknya sekarang: seorang wanita tangguh. Informatif, meski sederana pun belum mencapai tingkat “eksplorasi mendalam”.

Pengarahan Lola menjauhkan filmnya dari jurang melodrama cengeng, cenderung mendekati gaya sinema alternatif, di mana keintiman diutamakan, dramatisasi dilakukan secukupnya, termasuk lewat minimnya pemakaian usik. 6,9 Detik memang ingin tampil sederhana, memaksimalkan drama lewat interaksi normal sehari-hari. Sentuhan nasionalisme pun dimunculkan tepat guna. Jargon-jargon macam “Kita satu Indonesia” masih terdengar, tapi tidak dalam kadar berlebih (“Rumah Merah Putih”, I’m waving at you).

Sayang, melewati selepas 35 menit, progres ceritanya bergerak secepat lesatan Aries memanjat. Begitu buru-buru, seolah Lola dan Sinar hanya tertarik bercerita tentang masa kecil sang protagonis, namun sadar bahwa meninggalkan fase remaja Aries merupakan kemustahilan. Padahal di situlah pergolakan batin Aries mencapai titik puncak. Rasa rindu terhadap ibu berubah jadi benci, kelabakan menghadapi beratnya pelatnas, sempat lari ke alkohol (dalam sekuen mabuk-mabukkan konyol ketika tim artistik lupa jika minuman keras tidak berbuih seperti teh), hingga konflik percintaan yang cuma numpang lewat beberapa detik.

Paling fatal adalah caranya meringkas gesekan Aries dengan ibu. Mendadak semua usai, mendadak semua baik-baik saja. Dampaknya, upaya menjembatani antara gejolak di tiap fase hidup Aries dengan kesuksesannya gagal total tatkala perjalanan panjang penuh lika-liku sang juara dikemas sebagai proses kilat, yang menjadikan keberhasilan Aries menyabet medali emas kurang menggetarkan hati. Ini soal momentum. Karena tampil serba kilat, saya tidak merasa terikat dan menanti-nanti momen bersejarah itu. Terlebih klimaksnya hanya tersusun atas kompilasi rekaman pertandingan asli seadanya.

Satu-satunya penyelamat paruh kedua justru datang dari Aries Susanti Rahayu yang memerankan dirinya sendiri. Jelas bukan akting kelas ajang penghargaan, tapi sukses mencapai tujuan yang ada di balik penunjukkan dirinya sebagai pemain. Lola jelas mengincar kesan natural, baik terkait elemen panjat tebing maupun drama, dan Aries mampu menghadirkan itu. Andai saja filmnya menyisihkan waktu guna eksplorasi lebih jauh. Respon “andai saja...” sayangnya masih mengakrabi karya-karya Lola Amaria.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

DANUR 3: SUNYARURI (2019)

12 komentar
Pada review untuk Asih (baca di sini), saya mengapresiasi bagaimana seri Danur, meski setapak demi setapak, terus menunjukkan peningkatan. Jadi alangkah mengecewakan mendapati Danur 3: Sunyaruri merupakan langkah mundur, yang seolah menekan tombol reset bagi progres adaptasi novel-novel Risa Saraswati ini.

Menit-menit awal film ini sebenarnya menjanjikan. Dibuka melalui visualisasi novel buatan Risa (Prilly Latuconsina), yang memperlihatkannya dikejar oleh Canting, hantu penari dari ending Maddah, di suatu gedung pertunjukkan. Pemakaian bayangan adalah trik menakut-nakuti sederhana tapi ampuh memancing kengerian, sementara musik garapan Ricky Lionardi (Asih, Sunyi, Pretty Boys) mampu menggedor jantung ketimbang menyakiti telinga.

Daya tariknya berlanjut kala krisis persahabatan Risa dengan Peter dan kawan-kawan mulai diperkenalkan. Khawatir bakal ditinggalkan, Risa menyembunyikan kemampuan mistisnya dari Dimas (Rizky Nazar). Risa tidak lagi sempat bermain bersama teman-teman hantunya, bahkan kerap memarahi mereka. Di mana lagi kita melihat protagonis film horor mengomeli hantu? Sekilas terdengar konyol, tapi ini keunikan selaku pembeda Risa dengan karakter horor lain.

Tidak lagi tahan dengan keusilan para bocah itu, Risa memilih menutup mata batinnya. Alih-alih menyelesaikan masalah, keputusan itu justru mengundang bahaya kala sesosok hantu wanita misterius menyatroni rumahnya bersama hujan lokal misterius yang tak kunjung usai, mengancam keselamatan Risa beserta teman-temannya.

Membahas progres, naskah buatan penulis langganan Danur, Lele Laila, setidaknya bukan lagi kompilasi jump scare sebagaimana dua judul perdana. Tapi serupa Asih (dan deretan horor lokal kebanyakan), penyakit lama masih menjangkiti. Seolah sang penulis alergi dengan kata “eksplorasi”. Walau tidak diisi pawai penampakan, alurnya jalan di tempat, terkesan kosong, meski menyimpan banyak bekal misteri. Siapa identitas si hantu wanita? Mengapa ia mengincar Peter dkk.? Apa penyebab hujan yang terus turun?

Daripada menggalinya satu per satu, Lele Laila memilih menerapkan pola lama, yakni menyimpan semuanya hingga konklusi, sehingga menciptakan fase pengungkapan yang terburu-buru. Kelemahan itu turut mempengaruhi twist-nya yang terkesan mencurangi penonton, akibat hadir tiba-tiba tanpa diawali “penanaman benih” terlebih dahulu.

Urusan teror, Sunyaruri mengeskalasi tingkat bahaya yang mengancam Risa. Bukan saja teror psikis, kali ini fisiknya pun dihajar habis. Bertambahnya ujian bagi Risa berbanding lurus dengan beban Prilly, yang berkesempatan menampilkan jangkauan akting (sedikit) lebih luas, karena dituntut tampak meyakinkan memerankan seseorang yang tersiksa mental pula fisik. Tugas ini dijalankan cukup baik oleh Prilly.

Secara mengejutkan, penurunan justru datang dari penyutradaraan Awi Suryadi. Masih ada segelintir teror solid, termasuk jump scare mengejutkan yang melibatkan ember, tapi di sini Awi bagai terbuai akan eksplorasi sudut kamera. Dia lebih tertarik bergaya, mengaplikasikan sudut-sudut “berbeda” yang minim substansi perihal membangun kengerian. Ditunjang tata artistik yang digarap apik, visual Sunyaruri mungkin tampak cantik dan unik, namun rasa takut gagal dipantik.

Selain jump scare medioker, kurangnya daya cengkeram turut diakibatkan lemahnya desain hantu. Pasca tampilan ikonik Ivana, Sunyaruri kembali memoles antagonisnya dengan riasan muka rusak klise. Membosankan. Sama membosankannya dengan lagu Boneka Abdi yang diulang belasan kali (lagu tema tidak wajib diputar lima menit sekali), maupun babak ketiga yang bak melupakan hakikatnya sebagai klimaks, dengan mengakhiri konflik secara prematur sebelum mencapai titik puncak.

12 komentar :

Comment Page:

GOOD BOYS (2019)

2 komentar
Good Boys adalah sebenar-benarnya coming-of-age, di mana karakter bocahnya berpetualang merambah teritori asing seperti seksualitas, perasaan pada lawan jenis, cita-cita, hingga yang paling kompleks, perceraian orang tua. Jelas bukan tema baru, namun debut penyutradaraan Gene Stupnitsky ini mempertahankan satu elemen yang belakangan kerap dikesampingkan sajian coming-of-age (yang dicap “berkualitas”) khususnya dari sinema arus alternatif, yakni kepolosan.

Kepolosan sering dikesampingkan atas nama realisme. Good Boys membantah anggapan tersebut. Menjelang usia remaja awal, anak-anak bukan berkontemplasi soal esensi hidup, melainkan diam-diam menjadikan karakter gim sebagai bahan masturbasi dan memendam rasa ke teman sebaya seperti Max (Jacob Tremblay), ingin dianggap keren seperti Thor (Brady Noon), atau kebingungan menyikapi perceraian orang tua layaknya Lucas (Keith L. Williams).

Ketiganya adalah sahabat yang menamakan diri sebagai “Bean Bag Boys”. Duduk di bangku kelas enam SD, mereka mulai memasuki fase tumbuhnya ketertarikan untuk melanggar norma dan perintah orang tua, tapi terjebak dilema ketika pendidikan tentang moralitas masih mengakar kuat di kepala. Alhasil, tatkala Max hendak menghadiri kissing party yang diadakan Soren (Izaac Wang) si bocah populer, agar bisa mencium gadis pujaannya, Brixlee (Millie Davis), ketiganya justru terjebak petualangan penuh masalah.

Naskah buatan Gene Stupnitsky bersama Lee Eisenberg (keduanya pernah berduet menulis 15 episode The Office) melahirkan observasi mengenai pendewasaan secara cerdik, tatakala membuktikan bahwa kedalaman penelusuran tidak melulu wajib disajikan serius. Humor-humornya beberapa kali menyentuh ranah dewasa, khususnya yang berbau seksual, tapi dijabarkan melalui kacamata anak, sehingga ketimbang jorok, kesan yang muncul adalah kepolosan.

Apa respon anak-anak bila menemukan peralatan BDSM, boneka seks, atau narkoba? Bagaimana pula jika—serupa anak pada umumnya—dengan kenaifannya, tokoh-tokoh film ini bersikap bak orang dewasa? Kelucuan pun berhasil konsisten dihadirkan, apalagi naskahnya memiliki kreativitas tinggi dalam memproduksi komedi dari hal-hal yang amat dekat dengan keseharian. Kecerdikan humornya bukan cuma ada di perihal seksualitas. Salah satu favorit saya adalah sosok Annabelle (tentu anda tahu karakter yang diperankan Lina Renna terinspirasi dari mana), kakak perempuan Thor yang gemar muncul tiba-tiba sambil berbicara dengan nada mengerikan.

Stupnitsky membawa Good Boys melaju dalam kecepatan serta energi tinggi, penuh letupan hasil cekcok tiga protagonis, yang acap kali justru menjadi bumerang, akibat monotonitas tempo. Hampir selalu berlangsung tinggi, terkadang humornya meleset dari target. Tapi di sisi lain, inilah wajah realisme versi Good Boys. Sebab, anak kecil mana yang bertengkar dengan lembut bersama sahabat-sahabatnya?

Good Boys takkan sebaik ini kalau tidak didukung kehebatan tiga pemeran ciliknya menjalin chemistry. Apa pun kenakalan dan kesalahan yang diperbuat tidak mengurangi simpati saya pada ketiganya, karena trio Tremblay-Noon-Williams mampu meyakinkan bahwa semuanya didorong keluguan dan kesetiakawanan. Berkat solidnya para aktor menghidupkan persahabatan karakternya, konklusi yang ditawarkan pun bisa menyentuh hati, saat sekali lagi Good Boys melukiskan realita (kali ini terkait hubungan pertemanan seiring pendewasaan) tanpa kehilangan jiwa anak-anaknya.

2 komentar :

Comment Page:

AD ASTRA (2019)

12 komentar
Ad Astra bukan soal perjalanan mencari kehidupan baru di luar Bumi (walau salah satu karakternya menjalani misi tersebut), melainkan kehidupan dalam diri manusia. Bakal memancing komparasi dengan judul-judul macam 2001: A Space Odyssey (1968) dan Solaris (1972) terkait penggunaan elemen fiksi-ilmiah guna membungkus drama humanis bertempo lambat, serta karya-karya Terrence Malick karena penggunaan monolog internal bernada kontemplatif, film teranyar sutradara James Gray (The Immigrant, The Lost City of Z) ini jelas menuntut kesabaran yang bakal terbayar lunas di akhir.

Perkenalkan Mayor Roy McBride (Brad Pitt), putera astronot legendaris H. Clifford McBride (Tommy Lee Jones) yang hilang 16 tahun lalu saat mengorbit di Neputunus kala menjalankan “Lima Project”, sebuah misi dengan tujuan mencari makhluk ekstraterestrial. Serupa ayahnya,talenta Roy dikagumi. Kemampuannya menjaga ketenangan (detak jantungnya tak pernah di bawah 80 bpm) dianggap bukti kapabilitas oleh pihak SpaceCom. Mungkin benar, namun Gray yang menulis naskahnya bersama Ethan Gross (Klepto) menawarkan perspektif lain.

Tentu anda sering mendengar anggapan bahwa orang kuat tidak kenal takut dan/atau tidak pernah menangis. Ad Astra menyanggah asosiasi tersebut. Ketenangan Roy justru menjauhkannya dari humanisme. Salah satu monolog Roy di awal menyebut bahwa segala senyum atau ekspresi rasa darinya sebatas “performance”. Sebuah kepura-puraan, wujud kekosongan layaknya ruang hampa di luar angkasa yang amat dia akrabi.

Apabila eksplorasi angkasa luar menjadikan lubang hitam sebagai momok, Roy pun terjebak di lubang hitam bernama kesendirian dan kesepian. Karena itulah sang istri, Eve (Liv Tyler) meninggalkannya. Roy terlihat tenang di luar, tapi sejatinya, ia mempertanyakan segalanya. Sehingga saat SpaceCom menginformasikan jika kemungkinan sang ayah masih hidup bahkan jadi penyebab lonjakan listrik yang mengancam tata surya akibat eksperimennya, Roy bersedia menjalankan misi menemui Clifford guna membujuknya menghentikan itu.

Apa yang menyusul berikutnya adalah observasi tentang manusia melalui pergulatan batin Roy, yang digambarkan bermental baja kala menatap maut, tidak ragu menantang bahaya dan mengambil risiko, tetapi seketika runtuh sewaktu dihadapkan pada rasa. Berbeda dibanding barisan pusi Malick, monolog internal Ad Astra, biarpun terdengar puitis, amat memudahkan sebagai alat bantu memahami poin-poin yang ingin Gray sampaikan.

Lambatnya permainan tempo Gray mungkin menyulitkan bagi banyak penonton, namun berjasa menjembatani penyaluran rasa sang protagonis kepada penonton. Pun Ad Astra masih “berbaik hati” menyelipkan beberapa set-piece aksi yang menyiratkan potensi Gray menangani spectacle besar. Bukan suguhan bombastis, luasnya jangkauan pengadeganan sang sutradara nampak betul. Momen sewaktu Roy jatuh dari ketinggian menampilkan kemegahan, baku tembak di bulan menyelipkan teror, pula pertarungan melawan babun yang mengandung kebrutalan layaknya seri Alien. Bukan cuma Gray, desain produksi meyakinkan garapan Kevin Thompson (Birdman, Okja, Michael Clayton) juga cerminan keagugan semesta lewat sinematografi Hoyte van Hoytema (Her, Interstellar, Dunkirk) yang mengambil gambar menggunakan format 35mm, masing-masing layak diacungi dua jempol.

Di titik ini, tentu anda telah banyak mendengar banjir pujian terhadap performa Brad Pitt. Seringkali mengandalkan kharisma, melalui Ad Astra, Gray memanfaatkan wibaya sang aktor sebagai media komparasi perbedaan ekstrim sisi eksternal dan internal individu. Menengok tampilan luar, Roy bak karang kokoh yang takkan terkikis, sedangkan kondisi dalam hati Roy jadi panggung Pitt menampilkan ekspresi kerapuhan subtil, yang memuncak selepas third act yang membahas “putusnya sebuah ikatan”. Di situ untuk kali pertama kita menyaksikan senyum si tokoh utama, yang kali ini bukan sekadar formalitas, melainkan wujud kebahagiaan hakiki.

12 komentar :

Comment Page:

PRETTY BOYS (2019)

15 komentar
Mengangkat seluk-beluk di balik layar dunia pertelevisian, dibintangi duet maut Deddy Mahendra Desta dan Vincent Rompies serta ditulis naskahnya oleh Imam Darto (sebelumnya pernah menulis judul rilisan tahun 2008, Coblos Cinta), yang mana seluruhnya merupakan pelaku industri tersebut, Pretty Boys semestinya bisa lebih dari “sekadar” menghibur, andai dibarengi eksplorasi mendalam sekaligus konsistensi dalam mengutarakan pesan.

Tapi jika anda datang karena ingin tertawa menyaksikan kekonyolan khas Vincent-Desta, maka debut penyutradaraan Tompi ini bakal memuaskan. Memerankan Anugerah dan Rahmat, sepasang sahabat yang sejak kecil bermimpi menjadi pembaca acara televisi, keduanya langsung melontarkan banyolan berbentuk tebak-tebakan receh, atau berbagai pelesetan ringan lain yang selama ini terbukti sukses membuat publik menyukai kemunculan mereka di layar kaca.

Berangkat dari desa menuju Jakarta berbekal impian (dan kenekatan) tinggi, karir Anugerah dan Rahmat justru mentok sebagai karyawan restoran. Tapi mereka enggan menyerah. Didukung pula oleh Asty (Danilla Riyadi), rekan kerja sekaligus gadis yang disukai Anugerah namun tak kunjung ia tembak, semua jalan dicoba. Hingga tawaran menjadi penonton bayaran untuk acara bincang-bincang yang dikoordinir oleh Roni (Onadio Leonardo), secara tak terduga membuka lapang jalan menggapai cita-cita.

Dari judulnya tentu anda bisa menebak bahwa Pretty Boys hendak menyentil isu kegemaran stasiun televisi memakai lawakan “banci-bancian”. Seolah ada aturan tak tertulis bila seseorang ingin terkenal, jadilah komedian dengan karakter banci. Perihal mengungkap dunia gelap di balik gemerlapnya industri televisi, kejujuran filmnya pantas dipuji. Walau digawangi para penggiatnya, Pretty Boys tak berusaha mempermanis realita.

Hanya saja, sebagai karya “orang dalam”, naskahnya minim fakta baru. Perihal eksploitasi tokoh transgender, kongkalikong manajer dan pihak acara, sampai pembayaran honor yang mencapai berbulan-bulan, sudah jadi rahasia umum (mungkin khusus soal honor saja yang belum). Pun terkait gimmick transgender, paparan isunya problematik. Kalau Pretty Boys ingin mengkritisi poin itu, filmnya sendiri membangun humor berlandaskan hal serupa. Jangan salah, ini bukan urusan ofensif atau tidak, melainkan konsistensi narasi. Lain cerita jika soal “kepalsuan demi popularitas” yang coba disampaikan. Masalahnya, naskah Imam Darto kurang kuat menggiring sindirannya ke ranah itu.

Biarpun menampilkan dua protagonis, sosok Anugerah jelas lebih menonjol dengan kehadiran elemen drama dalam story arc-nya. Dia terlibat konflik dengan sang ayah (Roy Marten), mengalami pergolakan jati diri, juga kesulitan mengutarakan cinta kepada Asty. Benang merahnya adalah keraguan Anugerah mengambil kesempatan. Di sini inkonsistensi timbul lagi. Di satu sisi, Pretty Boys berkata “jangan membuang kesempatan”, padahal kritik utamanya ditujukan bagi para pelaku industri yang mengambil kesempatan.

Kelemahan narasi setidaknya berhasil ditambal komedi yang paling tidak  bisa memancing senyum. Dalam debut penyutradaraannya, Tompi juga melahirkan barang langka berupa komedi lokal yang menolak memakai kemasan artistik seadanya. Sebagai seorang musisi sekaligus fotografer, tidak heran Tompi melahirkan film bervisual cantik, pula diisi deretan lagu pembuai telinga, termasuk Kembali Putih Lagi milik Danilla. Disokong sinematografi Wirawan Sanjaya, visual Pretty Boys begitu memperhatikan permainan cahaya serta kombinasi warna, alias bukan asal terang.

Di jajaran pemain, Vincent dan Desta senantiasa bisa diandalkan urusan chemistry kala mengocok perut. Teruntuk Vincent, kapasitas aktingnya diuji kala harus menghidupkan pergulatan batin Anugerah. Tidak spesial, namun tidak pula mengecewakan. Tidak kalah menghibur adalah gaya feminnin Onadio, sedangkan Danilla tampil solid dalam kapasitas love interest, meski sayangnya, subplot romansa yang melibatkannya terkesan inkonklusif. Atau jangan-jangan Anugerah.....

15 komentar :

Comment Page:

ABIGAIL (2019)

16 komentar
Kalau anda membaca tulisan ini karena tertarik menonton Abigail, segera urungkan niat tersebut. Fantasi steampunk produksi Rusia ini merupakan salah satu film terburuk sepanjang 2019, sewaktu kekayaan imajinasi khas dunia fantasi digantikan oleh sajian pengantar tidur akibat kemiskinan kreativitas (juga dana).

Abigail (Tinatin Dalakishvili) tinggal di suatu kota kecil yang selama ratusan tahun dijangkiti wabah penyakit mematikan misterius. Akibatnya, kota itu terisolir dari dunia luar, dan warganya hidup bak narapidana, di mana jam malam diberlakukan, sementara pasukan keamanan rutin berpatroli mencari para pesakitan. Salah satunya adalah ayah Abigail (Eddie Marsan), yang dibawa pergi saat Abigail baru berusia sembilan tahun.

Setelah dewasa, Abigail meyakini sang ayah masih hidup. Dia pun nekat melakukan pencarian, melawan para pasukan keamanan, bertemu kelompok pemberontak yang dipimpin Bale (Gleb Bochkov), hingga menyadari bahwa kota tempat tinggalnya dipenuhi hal-hal ajaib, termasuk ilmu sihir yang rupanya juga Abigail miliki. 

Walau sinopsisnya mengandung kata “sihir”, ketimbang aksi adu ilmu, obrolan membosankan berisi kalimat-kalimat yang mendefinisikan “penulisan buruk” lebih sering mengisi layar, pun acap kali berlangsung berlarut-larut, seolah demi menambal durasi di tengah ketidakmampuan menampilkan banyak spectacle akibat keterbatasan biaya.

Ditambah voice over berintonasi monoton cenderung memalukan serta pilihan shot sutradara Aleksandr Boguslavskiy (Beyond the Edge) yang nihil variasi dalam membungkus obrolan, Abigail bagai sinetron murahan. Daripada eksplorasi mitologi dunia maupun detail perihal sihir yang sama-sama tampil bak pernak-pernik remeh ketimbang menu utama, justru mengedepankan debat kusir selaku panggung bagi penampilan menggelikan dua pemain utama.

Tinatin Dalakishvili berniat menjadikan Abigail sosok gadis pemberani, tapi ekspresi berlebihannya malah melahirkan parodi, sementara Gleb Bochkov seperti menjalani seluruh proses pengambilan gambar saat menderita sakit perut. Saya pun ikut menderita menyaksikan jalinan romansa mereka.

Menegaskan kualitas jongkok filmnya adalah pengarahan Aleksandr Boguslavskiy akan adegan aksi berbalut CGI. Staging-nya membuat sakit mata, ketika banyak peristiwa tidak terlihat jelas. Sang sutradara nampak bingung mesti bagaimana mengemas adu “ilmu sihir” yang mengambil wujud asap-asap berwarna hitam. Beberapa kali pula, entah dengan pertimbangan apa, ia memilih tidak menangkap dampak serangan yang dilancarkan karakternya. Jauhi bencana satu ini.

16 komentar :

Comment Page:

RAMBO: LAST BLOOD (2019)

10 komentar
Berawal dari kisah tentang veteran Perang Vietnam pengidap PTSD yang malah diburu di negeri sendiri dalam First Blood (1982), seri Rambo berevolusi jadi suguhan aksi one-man army pada tiga sekuelnya. Dari kritik terhadap kelalaian Amerika Serikat menangani kondisi psikis para veteran, Rambo III (1988) justru melangkah ke arah berlawanan dengan membawa protagonisnya menyadari bahwa ia tak bisa lepas dari takdir sebagai mesin pembunuh.

Konsistensi kisah memang bukan kekuatan utama Rambo, karena satu tugas yang dibebankan kepada penulis naskahnya adalah mencari cara mengembalikan John Rambo (Sylvester Stallone)—yang selalu ada di “mode pensiun” di awal film-filmnya—ke medan pertempuran. Mau sampai kapan pun seri ini dilanjutkan bukan masalah, selama tujuan menghantarkan hiburan berhasil dicapai. Tapi film kelima ini jelas membuang kesempatan memberi akhir yang pantas bagi Rambo, meski sebagai tontonan aksi, daya pikatnya sukar ditolak.

Melanjutkan konklusi film keempat, kini Rambo menjalani kehidupan damai di rumah peninggalan orang tuanya, di mana ia menghabiskan hari merawat kuda sambil sesekali menjadi relawan. Ya, ia bukan lagi sosok apatis yang menganggap menyelamatkan segelintir nyawa takkan menciptakan perbedaan seperti di Rambo (2008). Bahkan Rambo rutin dihantui beberapa kegagalannya menyelamatkan orang lain.

Intinya, jagoan kita masih bergulat dengan masa lalu. Terbukti, biarpun telah memiliki rumah, Rambo memilih tinggal di rubanah sembari membangun terowongan entah untuk apa. Bedanya, kini dia tidak sendiri. Ada Maria (Adriana Barazza) yang telah melayani keluarga Rambo sejak lama, dan Gabrielle (Yvette Monreal), keponakan Rambo yang sudah dianggapnya puteri sendiri.

Memberi Rambo figur keluarga menghasilkan nuansa berbeda. Sebuah nuansa keintiman hangat yang tidak dipunyai film-film sebelumnya, ketika Rambo selalu jadi “serigala penyendiri”. Pun elemen itu, walau klise, merupakan pilihan jitu dari naskah garapan Matt Cirulnick (Paid in Full) dan Stallone, sebab kali ini Rambo punya alasan kuat untuk kembali mengangkat parang, busur, dan pistol.

Berniat mencari keberadaan ayah kandungnya di Meksiko, Gabrielle justru diculik kartel setempat. Setelah Vietnam, Afghanistan, dan Burma, sekarang giliran Meksiko jadi lahan pembantaian John Rambo. Tapi Last Blood hadir dengan pendekatan berbeda, khususnya dibanding film kedua dan ketiga. Sutradara Adrian Grunberg (Get the Gringo) membungkus aksinya memakai sadisme serupa Rambo, sedangkan unsur dramatik First Blood diterapkan dalam wujud drama keluarga yang membuat penonton mendukung perjuangan sang tokoh utama.

Kemudian, sebelum babak ketiga, datang momen pengecoh ekspektasi, sekaligus pembuka jalan bagi sekuel. Sekali lagi, saya dengan senang hati menyambut judul-judul berikutnya, namun tindakan berani tersebut telah membunuh peluang memproduksi akhir yang pantas bagi seorang John Rambo, bukan cuma di Last Blood, pula dalam deretan installment berikutnya (kalau ada).

Setidaknya kekecewaan saya itu sedikit terobati kala klimaksnya menghadirkan pembantaian massal brutal, tatkala Rambo kembali ke mode survival, memasang perangkap-perangkap mematikan sebagaimana saat ia membantai polisi lokal di tengah hutan dalam First Blood. Kadar kekerasannya tidak main-main. Darah mengalir, tubuh meledak, kepala terbelah, kaki serta tangan terpotong, hingga bentuk sadisme ekstrim lain yang bakal membuat pecinta gore bersorak.

10 komentar :

Comment Page:

LORONG (2019)

12 komentar
Kata “klise” didefinisikan dengan sempurna oleh Lorong, sebuah film yang bergerak sesuai pakem. “Mudah ditebak” tidak serta merta melahirkan dosa, namun ketika dilengkapi pula oleh penggarapan ala kadarnya serta tensi yang datar-datar saja, saya bertanya-tanya, “apa yang coba ditawarkan para pembuatnya?”.

Selepas proses persalinan, Mayang (Prisia Nasution) disambut kabar duka dari sang suami, Reza (Winky Wiryawan), bahwa buah hati mereka—yang hendak dinamai Reno—telah meninggal dunia. Tapi entah mengapa, Mayang yakin Reno masih hidup. Meyakini Mayang menderita depresi, Reza dibantu karyawan rumah sakit termasuk dr. Vera (Nova Eliza), berusaha menyadarkan sang ibu yang malang.

Tapi Mayang tetap ngotot, selalu nekat kabur dari kamar guna mencari Reno, menggiring kisahnya menuju peristiwa berulang di mana Mayang akan terbangun dari mimpi buruk, mencabut infus, bersusah-payah menyusuri lorong rumah sakit, lalu bertemu Darmo (Teuku Rifnu Wikana) si petugas kebersihan.

Pengulangan tersebut seakan membuktikan kebingungan Andy Oesman (The Sacred Riana: Beginning) dalam mengembangkan kisah yang bak diniati jadi versi jauh lebih sederhana dari Rosemary’s Baby-nya Roman Polanski. Begitu sederhana, naskahnya merasa tidak perlu mengangkat ambiguitas soal “apakah Mayang memang mengalami gangguan jiwa?”. Fakta sesungguhnya langsung diungkap di pertengahan durasi.

Sejatinya itu langkah berani, berpotensi membawa proses eksplorasi kisahnya ke arah berbeda. Sayangnya itu urung dilakukan, sehingga Lorong gagal menyediakan alasan mengapa penonton harus terus menaruh perhatian sampai akhir. Sementara sebagai usaha memfasilitasi selera penonton kebanyakan, turut dimasukkan elemen mistis berupa penampakan hantu wanita di beberapa kesempatan.

Naskahnya berniat menjadikan si hantu lebih dari sebatas penebar teror, meski pada akhirnya, kehadirannya tidak signifikan mempengaruhi berhasil atau tidaknya Mayang menyibak segala kebenaran. Pun kemunculannya tak pernah mengerikan akibat lemahnya penyutradaraan Hestu Saputra (Cinta tapi Beda, Hujan Bulan Juni, Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar).

Terbiasa mengarahkan drama, Hestu jelas belum menguasai teknik mengarahkan horor. Pacing maupun pemilihan sudut kamera pilihannya terkesan seadanya, kurang menunjang pembangunan atmosfer dan intensitas. Babak ketiga jadi korban terbesar pengarahan lemah sang sutradara. Padahal konsep klimaksnya menarik, menyimpan kengerian dari suatu peristiwa brutal nan ironis, yang dampaknya bakal menguat andai bersedia menambahkan kadar kekerasan.

Malang bagi Prisia Nasution. Penampilannya solid, cukup meyakinkan mengekspresikan keputusasaan seorang ibu yang hatinya remuk redam, walau cakupan emosi karakter Mayang sebenarnya tidak terlalu luas (ketakutan dan menangis). Prisia mesti lebih cermat memilih peran. Sempat digadang-gadang sebagai calon aktris Indonesia nomor satu, entah sudah berapa tahun ia tidak mendapatkan film berkualitas.

12 komentar :

Comment Page:

BIKE MAN (2018)

4 komentar
Menceritakan seorang pemuda yang menyembunyikan pekerjaannya sebagai tukang ojek dari kelurga, Bike Man bukan kisah mengada-ada di mana si tokoh utama ingin mempertahankan profesi ala kadarnya untuk selamanya karena cinta. Di luar kemasan konyolnya, Bike Man merupakan tontonan dengan relevansi cukup tinggi terkait penggambaran konflik dan rintangan di dunia (pencarian) kerja.

Sakkarin (Pachara Chirathivat) membuat sang ibu (Jennifer Kim) bangga, karena serupa mendiang ayahnya, ia berhasil bekerja di sebuah bank. Bahkan Sakkarin baru saja dipromosikan menjadi asisten manajer. Tapi siapa sangka, dandanan rapi tiap pagi itu cuma kedok belaka. Sesampainya di kota, Sakkarin langsung berganti atribut, “beraksi” sebagai tukang ojek pangkalan akibat selalu gagal dalam proses melamar kerja di bank.

Sakkarin menyembunyikan fakta tersebut dari sang ibu dan Paman Preecha (Kom Chauncheun), mantan polisi sekaligus teman lama ayahnnya, yang selalu menaruh curiga. Dia takut membuat malu keluarga. Tapi apa takaran suatu pekerjaan disebut baik dan buruk? Uang? Prestise? Definisi baik/buruk itu makin kabur kala Sakkarin bertemu Jai (Sananthachat Thanapatpisal), teman lama sekaligus gadis yang dari dulu diam-diam ia taksir.

Jai bekerja di bank impian Sakkarin, namun kebahagiaannya tak seberapa. Bercita-cita menjadi pilot, Jai merasa terkekang. Terlebih saat mesti menghadapi tingkah A (Pramote Pathan), kekasih sekaligus atasannya yang playboy dan semau sendiri. Dari sinilah Bike Man menyinggung perihal nilai sebuah profesi, yang berbeda-beda tergantung pemiliknya.

Contohnya, bagi Jai, bekerja di bank mungkin buruk dan penuh kepenatan, namun profesi itu tidak serta merta dicap buruk, sebagaimana dilakukan banyak film bertema worklife kebanyakan. Sebaliknya, bagi Sakkarin, bank adalah mimpinya. Karenanya, kita tidak berhak begitu saja menghakimi suatu profesi, mau itu karyawan bank atau tukang ojek.

Di luar urusan pekerjaan, Bike Man juga komedi-romantis menggemaskan, yang dibuat berlandaskan cair dan solidnya chemistry dua pemeran utama. Mengkuti formula romansa Asia, khususnya Thailand dan Korea, hubungan Sakkarin dan Jai adalah kisah cinta berbalut tawa, di mana tidak peduli secantik dan seanggun apa pun si wanita, karakternya selalu mempunyai “cacat” sehingga kerap melakukan kebodohan. Justru di situ inti keberhasilannya melahirkan percintaan membumi yang menyenangkan diikuti.

Secara keseluruhan, komedi Bike Man pun mengikuti formula kekonyolan absurd khas sinema Thailand, yang langsung ditegaskan oleh adegan pembuka ketika Sakkarin mengebut di jalan sembari memboncengkan ibu dan neneknya, melintasi jalanan kota bak pembalap di lintasan. Banyak humornya berasal dari usaha Sakkarin mengelabui keluarganya. Menyenangkan, namun acap kali, kucing-kucingannya terasa tidak perlu. Sering timbul pertanyaan soal dampak andai Sakkarin tertangkap basah di beberapa situasi (contoh: pasar malam).

Bergerak dengan kekonyolan beruntun, Bike Man mendadak menghentak lewat konklusi dramatik, sewaktu tema mengejar mimpi dan keluarga bersinggungan, menciptakan babak akhir mengharukan ketika sutradara Prueksa Amaruji berhasil memadukan tiga elemen: penceritaan (pengungkapan sebuah rahasia), akting emosional Jennifer Kim, dan iringan musik sendu.

4 komentar :

Comment Page:

WARKOP DKI REBORN (2019)

13 komentar
Selucu-lucunya film klasik Warkop DKI, rasanya semua setuju kalau media audio, yang dulu banyak beredar dalam rekaman kaset, lebih mewadahi kelucuan mereka (silahkan cari di YouTube dan siap-siap sakit perut). Dalam proyek Reborn ketiga—yang tidak mengusung embel-embel “Part 3”—ini, terdapat usaha memvisualisasikan humor verbal Warkop, yang malah menegaskan ketidakcocokan alih media tersebut. Bahkan secara keseluruhan, Warkop DKI Reborn mungkin pertanda bahwa regenerasi Warkop DKI bukan ide yang baik.

Saya selalu tergelak mendengar banyolan “Marga Batak”, tapi kala filmnya menerjemahkan itu ke layar, biarpun intensinya selaku penghormatan patut diapresiasi, tawa tak juga hadir. Selipan humor-humor Warkop lain pun bernasib sama. Apalagi sewaktu secara beruntun, naskah buatan  Anggoro Santoro (Sang Kiai, Bangkit!, Cahaya Cinta Pesantren) bersama sutradara Rako Prijanto (Sang Kiai, Teman Tapi Menikah, Asal Kau Bahagia) bergantung pada lawakan pervert ala film Warkop produksi Soraya era 90-an.

Ide ceritanya sendiri menarik, yaitu perekrutan trio penyiar radio, Dono (Aliando Syarief), Kasino (Adipati Dolken), Indro (Randy Danistha) oleh Komandan Cok (Indro Warkop) untuk menjadi agen rahasia guna menyibak praktek pencucian uang di industri perfilman tanah air. Jadilah mereka terlibat proyek film buatan rumah produksi milik Amir Muka (Ganindra Bimo), menyulut kekacauan di set, lalu bersinggungan dengan aktris cantik bernama Inka (Salshabilla Adriani).

Sampai di sini, semuanya berjalan lancar, hingga Warkop DKI Reborn memutuskan melebarkan sayap dengan memperbesar skala. Tidak main-main, filmnya membawa Dono-Kasino-Indro berpetualang ke Maroko, bahkan membantu melindungi desa asal gadis setempat (Aurora Ribero) yang dihantui ancaman bandit. Sejak dulu plot film Warkop memang selalu bercabang pula dikemas bak sketsa, tapi fokusnya terjaga, alih-alih terkesan melupakan tema besarnya seperti ini.

Pergantian latar ekstrimnya memang memfasiliasi humor klasik menggelitik soal “Bahasa Arab” hingga nomor musikal absurd Ummi, namun di saat bersamaan, melucuti potensi presentasi kritik tentang industri film. Apalagi sewaktu kisahnya dipaksa berakhir di tengah-tengah, karena (lagi-lagi) Falcon Pictures memilih memecah filmnya menjadi dua bagian.

Padahal pergantian pemeran trio Dono-Kasino-Indro di luar dugaan memberi hasil positif. Adipati tampak lebih natural dan santai ketimbang Vino dalam memerankan Kasino si playboy mulut besar, Randy punya tampilan lebih mirip Indro dibanding Tora, sedangkan Aliando—sebagaimana Abimana—muncul sebagai MVP. Riasan giginya memang mengganggu, tapi baik suara maupun gestur, Aliando berhasil mereplikasi anggota Warkop DKI favorit saya itu.

Penyutradaraan Rako Prijanto juga mengungguli Anggy Umbara berkat gaya yang lebih “sederhana”, biarpun banyaknya penggunaan efek suara konyol layaknya sketsa televisi murahan justru melemahkan daya bunuh komedi, selain menurunkan kelas filmnya. Beberapa kreativitas humornya, sebutlah parodi film-film populer Indonesia, memang mampu memancing senyum. Tapi saya butuh lebih dari sekadar senyum. Saya membutuhkan tawa, yang sayangnya jarang diproduksi oleh Warkop DKI Reborn.

13 komentar :

Comment Page:

MIDSOMMAR (2019)

40 komentar
Setelah keluarga disfungsional dalam Hereditary plus beberapa film pendeknya seperti The Strange Thing About the Johnsons dan Munchausen, sutradara-penulis naskah Ari Aster giliran mengangkat romansa disfungsional berlatar paganisme melalui Midsommar yang memantapkan statusnnya sebagai salah satu sineas horor modern paling mumpuni. Film putus cinta tidak pernah segila, setragis, dan semengerikan ini.

Pasangan yang bermasalah adalah Dani (Florence Pugh) dan Christian (Jack Reynor). Keduanya sama-sama tengah mempertimbangkan mengakhiri hubungan. Dani dengan gangguan kecemasannya khawatir terlalu membebani sang kekasih, sementara Christian pun merasa terperangkap oleh curhatan tanpa henti dari Dani. Tapi selepas tragedi yang merenggut nyawa seluruh keluarga Dani, niatan tersebut diurungkan.

Bahkan Christian berujung mengajak Dani turut serta bersama kedua kawannya, Mark (Will Poulter) dan Josh (William Jackson Harper), menghadiri undangan Pelle (Vilhelm Blomgren) mengunjungi perayaan tengah musim panas di Hälsingland, Swedia, yang diadakan Hårga, komune tempatnya tumbuh. Aster membangun tempat di mana matahari selalu terbit, dan dibantu sinematografi Pawel Pogorzelski (Hereditary, Tragedy Girls) yang mengedepankan pewarnaan lembut, tercipta kehangatan aneh, ketika harmoni berlebih justru mencuatkan rasa ngeri.

Benar saja, keramahan dan kedamaian segera berubah jadi teror kala orang-orang Hårga mulai melangsungkan ritual demi ritual, yang memperlihatkan kejelian Aster selaku penulis dalam melahirkan mitologi berdasarkan tradisi-tradisi masyrakat Eropa masa lalu. Berbanding durasi 147 menit (atau 138 menit versi sensor Indonesia) miliknya, secara kuantitas, sadisme Midsommar sejatinya tak seberapa, namun berdampak tinggi berkat penempatan presisi, ibarat gelegar petir mengejutkan pemecah keheningan.

Mengangkat horor paganisme yang sesekali menyelipkan kritik soal keengganan manusia (dalam konteks film ini, remaja) modern dari kota menghormati adat, Midsommar tetap konsisten membangun penelusuran tentang terkikisnya sebuah hubungan. Apakah Dani bersikap berlebihan, ataukah Christian memang pria egois nihil kepedulian? Nantinya film ini menawarkan jawaban setelah melalui observasi bertahap yang dibungkus alur bertempo medium cenderung lambat.

Menangani perjalanan menyakitkan karakternya yang kerap mengalami serangan kecemasan, Florence Pugh bukan mengekspresikan kesedihan biasa dalam sebuah performa luar bisa. Dia bak tercekik oleh kesedihan itu, yang bahkan dapat membuat penonton ikut dibuat sesak napas. Teriakannya menusuk, tangisannya menggetarkan.

Berdurasi hampir dua setengah jam ditambah pergerakan alur lambat, wajar bila Midsommar terkesan mengalienasi penonton umum. Tapi penyutradaraan Aster memastikan tidak ada momen filler, tatkala adegan sekecil dan sesingkat apa pun ia beri perhatian total lewat konsistensi permainan atmosfer creepy, yang berasal dari perilaku maupun ritual orang-orang Hårga, musik menghantui garapan Bobby Krilic (Triple 9), hingga sentuhan visual sureal bernuansa psikedelik.

Guna menjaga atensi penonton, Aster turut menerapkan misteri yang berhasil secara terus menerus memancing segudang pertanyaan, meski jawaban yang ditawarkan sejatinya kurang sebanding dengan apa yang disiratkan. Masih mengandung kegilaan khas sang sutraara, namun dari perspektif horor, konklusi Midsommar bukan suatu sentuhan baru, bahkan cenderung pengulangan Hereditary (ada lokasi terlarang tempat dilakukannya hal sinting) plus inspirasi dari The Wicker Man. Tapi terkait tuturan mengenai putus cinta, ending-nya merupakan katarsis memuaskan, kala Ari Aster menyamakan mantan kekasih berperangai buruk dengan setan jahat yang mesti dimusnahkan.


NOTE: Walau amat disayangkan, penyuntingan sensor Midsommar yang sebenarnya cukup panjang (adegan kental unsur seks jelang akhir), ternyata dilakukan dengan rapi. Jika tidak tahu soal fakta filmnya disensor, bisa jadi anda takkan menyadarinya. Walau berpengaruh terhadap kegilaan babak ketiga serta studi karakternya, keseluruha substansi film tetap dapat ditangkap. Jadi jangan ragu menyaksikannya di bioskop.

40 komentar :

Comment Page:

KAPAL GOYANG KAPTEN (2019)

4 komentar
Setelah (gagal) memancing tawa melalui pembajakan pesawat di Flight 555 tahun lalu, Raymond Handaya melahirkan sau lagi komedi seputar pembajakan transportasi, tapi kali ini, latarnya beralih dari udara ke perairan dan pulau terpencil. Perubahan itu rupanya berdampak, karena cakupan kapal dan pulau tidak sesempit pesawat, yang berarti bertambahnya hal untuk dieksplorasi. Walau tidak lebih pintar, Kapal Goyang Kapten jelas lebih lucu.

Kapal tersebut dimiliki Gomgom (Babe Cabita), pemilik usaha wisata kecil di Manado. Begitu kecil, posisi pemandu tur, sopir bus, dan kapten kapal diemban oleh Gomgom seorang, suatu kondisi yang rutin dijadikan bahan banyolan di paruh awal. Turis yang jadi kliennya sekarang adalah Tiara (Yuki Kato),  Burhan (Arief Didu) beserta istri (Asri Welas) dan puterinya (Romaria Simbolon), pasangan suami-istri Darto (Yusril) dan Salma (Naomi Papilaya), serta tiga mahasiswa Noni (Andi Anissa), Cika (Ryma Gembala) dan Agung (Ananta Rispo).

Sementara itu, pemuda kaya asal Jakarta, Daniel (Ge Pamungkas), juga baru tiba di Manado setelah kabur dari rumah guna membuktikan bahwa ia bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada uang ayahnya (Roy Marten). Sementara waktu, Daniel menetap di rumah mantan sopir pribadinya, Cakka (Muhadkly Acho). Cakka sendiri tengah mengalami masalah berupa ketidakmampuan finansial guna mengobati penyakit sang ibu. Bersama Bertus (Mamat Alkatiri), ia berencana membajak kapal Gomgom. Walau awalnya menolak, didorong keinginan membantu Cakka, Daniel memutuskan bergabung.

Bisa ditebak, akibat aksi amatiran ditambah sisi manja Daniel, pembajakan tersebut berantakan. Alih-alih mendapat uang, mereka bertiga, bersama seluruh penumpang, justru terdampar di pulau terpencil setelah kapal kehabisan solar. Kedua belah pihak pun terpaksa mengesampingkan perbedaan, berdamai demi bertahan hidup dann mencari jalan pulang.

Humor recehnya, yang mayoritas berupa kelakar dan plesetan bodoh, tingkah laku bodoh, atau bentuk kebodohan lain, masih sama, namun ketika Flight 555 menyia-nyiakan premis dan latar uniknya, Kapal Goyang Kapten, walau belum bisa disebut maksimal, menanganinya dengan lebih baik. Setidaknya humor datang dari situasi khusus terkait kapal, survival, maupun pembajakan, daripada sekadar kekonyolan acak.

Banyolan semacam itu punya tingkat risiko kegagalan tinggi, tapi duo penulis Muhadkly Acho dan Awwe (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 & 2) memahami itu, memilih menjadikan lelucon garing sebagai sebuah kesengajaan yang disadari. Contohnya sewaktu puteri Burhan kerap mengomentari ketidaklucuan Gomgom. Sebuah win-win solution cerdik. Bagus jika penonton menganggap lawakan Gomgom lucu, tapi jika tidak, mereka akan menertawakan kritik pedas si gadis cilik.

Kapal Goyang Kapten juga dibantu jajaran pemain yang seolah tengah on fire. Kedua penulis menggunakan polah absurd Babe hingga celetukan-celetukan Arief Didu dengan cara yang tepat, di tempat yang tepat, juga dalam dosis memadai. Tentu tidak seluruhnya mengenai sasaran, namun saya mendapati diri lebih sering tertawa daripada memasang wajah datar sambil garuk-garuk kepala.

Menyentuh pertengahan durasi, karakter baru diperkenalkan, yaitu Pak Sentot (Mathias Muchus), yang sudah terperangkan di pulau selama 10 tahun. Pak Sentot lebih terasa sebagai rip-off Chuck Noland di Cast Away ketimbang parodi dari tokoh yang dipopulerkan oleh Tom Hanks itu. Baik nasib atau tampilan fisik mereka serupa. Bahkan Pak Sentot pun berteman dengan bola voli yang diberi nama Mika (dari Mikasa) sebagaimana Chuck dan Wilson. Beruntung, totalitas sang aktor berhasil menjadikan Pak Sentot karakter menarik. Melihat Mathias Muchus bertingkah eksentrik dibalut riasan meyakinkan, menggendong bola voli layaknya puteri sendiri, merupakan hiburan tersendiri.

Kelemahan terbesar film ini adalah tiap kali menampilkan sisi serius. Meski Ge tampak berusaha sebaik mungkin menangani elemen dramatis, perjalanan Daniel membuktikan kapasitasnya, dipaparkan teramat dangkal, sehingga mustahil bersimpati kepadanya. Begitu pula benih cintanya dengan Tiara, yang dipaksa masuk. Di antara penumpang, Yuki paling vokal menyuarakan kebencian terhadap tiga pembajak, sampai tiba-tiba, hatinya berubah secara radikal dengan begitu mudah. Pun di tengah sederet individu absurd, Daniel dan Tiara selaku “sosok serius” merupakan karakter paling kurang menarik yang tak punya cukup daya guna menggoyang hati penonton.

4 komentar :

Comment Page: