A SHAUN THE SHEEP MOVIE: FARMAGEDDON (2019)
Rasyidharry
September 30, 2019
Amalia Vitale
,
Animated
,
John Sparkes
,
Jon Brown
,
Justin Fletcher
,
Kate Harbour
,
Lumayan
,
Mark Burton
,
REVIEW
,
Richard Phelan
,
Will Becher
6 komentar
Dua faktor penentu kepuasan
menonton A Shaun the Sheep Movie:
Farmageddon adalah seberapa suka anda akan humor British dan seberapa banyak referensi soal judul-judul fiksi ilmiah
klasik dalam filmnya yang bisa anda tangkap. Di antara jalinan plot familiar
milik sekuel Shaun the Sheep Movie (2015)
ini, kedua hal di atas berjasa menghadirkan hiburan menyenangkan dengan kreativitas
di luar dugaan. Belum menonton film pertama atau serial televisinya? Bukan
masalah, sebab kisah Farmageddon berdiri
sendiri.
Peternakan Mossy Bottom tampak
seperti biasa. Dipimpin oleh Shaun (Justin Fletcher), para domba selalu memancing
kekacauan, sehingga Bitzer (John Sparkes) si anjing dibuat kerepotan. Hingga
suatu malam sebuah UFO mendarat, menciptakan kehebohan massal di seluruh
penjuru kota. Awak pesawat tersebut adalah Lu-La (Amalia Vitale), alien kecil
menggemaskan yang bisa menggerakkan barang-barang bak pemilik kemampuan
telekinesis.
Shaun pun memutuskan mengantarkan
Lu-La—yang tersasar sampai ke peternakannya—kembali ke pesawat, tanpa menyadari
bahwa sebuah organisasi mirip Men in
Black sedang memburu Lu-La, dalam misi yang dipimpin Agen Red (Kate
Harbour). Bisa ditebak, mayoritas 87 menit durasinya dipenuhi aksi
kejar-kejaran konyol. Naskah garapan Mark Burton dan Jon Brown tidak menerapkan
modifikasi formula sedikit pun, membangun alurnya berbasis kekacauan demi
kekacauan di tiap lokasi yang disinggahi karakternya.
Keunikannya terletak pada gaya
melucu. Burton dan Brown menolak setengah-setengah membangun kekonyolan,
organisasi misterius yang jadi lawan para protagonis pun tidak digambarkan
sebagai sosok mengerikan, jauh dari kesan kompeten, kerap melakukan deretan
kesalahan bodoh, tidak terkecuali Agen Red yang mengira Bitzer dalam balutan
kostum astronot adalah alien. Pun saat menyentuh ranah slapstick yang biasanya kerap jadi jalan keluar malas, Farmageddon menawarkan kreativitas, seperti
dicontohkan “adegan supermarket” saat duo sutradara, Will Becher dan Richard
Phelan, memvisualkan ide-ide absurd para penulisnya guna membangun kekacauan
sarat kelucuan.
Sebagaimana sempat disinggung di
paragraf pertama, gagasan kreatif para pembuat film ini turut tertuang dalam
selipan-selipan referensi untuk berbagai film maupun serial fiksi ilmiah
sebutlah 2001: A Space Odyssey (1968),
E.T. the Extra-Terrestrial (1982), Close Encounters of the Third Kind (1977),
hingga seri The X-Files. Bentuknya
beragam, dari penggunaan musik, adegan, elemen cerita, sampai pernak-pernik
lain.
Diproduksi oleh Aardman Animations
(The Pirates! In an Adventure with
Scientists!, Shaun the Sheep Movie, Early Man),teknik stop-motion claymation masih
tetap memanjakan mata. Sekali waktu Farmageddon
bisa membuat kita lupa bahwa filmnya dibuat menggunakan tanah liat,
khususnya di gambar-gambar wide shot
maupun ketika elemen fiksi ilmiah tengah jadi sorotan (Lu-La memamerkan
kekuatannya, perjalanan luar angkasa, dan lain-lain), kemudian baru tersadar
sewaktu kamera menyorot karakternya dari dekat dan memperlihatkan sisa-sisa
sidik jari di wajah mereka.
Upaya Farmageddon menambahkan elemen dramatik tidak selalu berjalan
lancar. Penggunaan lagu pop berlirik sendu (Everything
I do is just my way to escape you) guna mengekspresikan kegetiran batin
karakternya terasa mengganggu, mengingat ini merupakan animasi di mana
tokoh-tokohnya tidak bertutur kata layaknya manusia pada umunya. Tapi
kekurangan itu mampu terobati melalui konklusi menyentuh hati ketika (secara
tak terduga) salah satu karakter memperoleh bobot emosi. Tatkala reuni keluarga
bertemu terwujudnya kenangan masa kecil. Hangat.
6,9 DETIK (2019)
Rasyidharry
September 29, 2019
Aries Susanti Rahayu
,
Ariyo Wahab
,
Biography
,
Cukup
,
Indonesian Film
,
Kayla Ardiannto
,
Lola Amaria
,
REVIEW
,
Sinar Ayu Massie
Tidak ada komentar
Diam-diam Lola Amaria adalah sineas
produktif, dengan catatan lima film dalam enam tahun terakhir, di mana sejak Jingga pada 2016, ia rutin merilis film setiap
tahun. Kenapa saya sebut “diam-diam”? Karena melihat catatan jumlah penonton,
produktivitas Lola rasanya tak banyak diketahui publik. Pun secara kualitas,
karyanya belakangan mudah terlupakan. Sama sekali tidak buruk, namun selalu
meninggalkan kesan, “Sebenarnya ini bisa bagus, tapi.....”.
Selalu bertindak selaku produser,
berarti Lola jeli mencari materi berpotensi, tapi lemah perihal eksekusi. Tidak
terkecuali 6,9 Detik, yang mengangkat
kisah hidup Aries Susanti Rahayu, atlet panjat tebing peraih medali emas cabang
panjat tebing kategori “speed” di
Asian Games 2018, yang dijuluki “Spider-Woman”.
Kisahnya membawa kita mundur menuju
masa kecil Aries (Kayla Ardianto) di Purwodadi, ketika ia mesti memendam rindu
kepada sang ibu (Brilliana Arfira), yang bekerja sebagai TKW di Arab Saudi.
Berbeda dibanding dua kakak perempuannya, sejak dini Aries sudah memperlihatkan
minat akan olah raga. Dia kerap menjuarai lomba lari antar sekolah, hingga akhirnya
mengenal panjat tebing, mulai mengikuti berbagai pelatihan, sampai akhirnya
meraih emas Asian Games 2018 di bawah tempaan keras pelatihnya, Hendra (Ariyo
Wahab).
Kisahnya mengalir mulus selama
sekitar 35 menit pertama (total durasi 78 menit). Naskah buatan Sinar Ayu
Massie (3 Hari untuk Selamanya, Sebelum
Pagi Terulang Kembali, Lima) merangkum drama ibu-anak hangat di tengah
paparan coming-of-age yang mampu
memberi pemahaman atas bagaimana masa lalu Aries membentuk sosoknya sekarang:
seorang wanita tangguh. Informatif, meski sederana pun belum mencapai tingkat “eksplorasi
mendalam”.
Pengarahan Lola menjauhkan filmnya dari jurang melodrama cengeng,
cenderung mendekati gaya sinema alternatif, di mana keintiman diutamakan,
dramatisasi dilakukan secukupnya, termasuk lewat minimnya pemakaian usik. 6,9 Detik memang ingin tampil sederhana,
memaksimalkan drama lewat interaksi normal sehari-hari. Sentuhan nasionalisme
pun dimunculkan tepat guna. Jargon-jargon macam “Kita satu Indonesia” masih
terdengar, tapi tidak dalam kadar berlebih (“Rumah Merah Putih”, I’m
waving at you).
Sayang, melewati selepas 35 menit, progres
ceritanya bergerak secepat lesatan Aries memanjat. Begitu buru-buru, seolah Lola
dan Sinar hanya tertarik bercerita tentang masa kecil sang protagonis, namun
sadar bahwa meninggalkan fase remaja Aries merupakan kemustahilan. Padahal di
situlah pergolakan batin Aries mencapai titik puncak. Rasa rindu terhadap ibu berubah
jadi benci, kelabakan menghadapi beratnya pelatnas, sempat lari ke alkohol
(dalam sekuen mabuk-mabukkan konyol ketika tim artistik lupa jika minuman keras
tidak berbuih seperti teh), hingga konflik percintaan yang cuma numpang lewat
beberapa detik.
Paling fatal adalah caranya meringkas
gesekan Aries dengan ibu. Mendadak semua usai, mendadak semua baik-baik saja.
Dampaknya, upaya menjembatani antara gejolak di tiap fase hidup Aries dengan
kesuksesannya gagal total tatkala perjalanan panjang penuh lika-liku sang juara
dikemas sebagai proses kilat, yang menjadikan keberhasilan Aries menyabet
medali emas kurang menggetarkan hati. Ini soal momentum. Karena tampil serba
kilat, saya tidak merasa terikat dan menanti-nanti momen bersejarah itu.
Terlebih klimaksnya hanya tersusun atas kompilasi rekaman pertandingan asli
seadanya.
Satu-satunya penyelamat paruh kedua
justru datang dari Aries Susanti Rahayu yang memerankan dirinya sendiri. Jelas
bukan akting kelas ajang penghargaan, tapi sukses mencapai tujuan yang ada di
balik penunjukkan dirinya sebagai pemain. Lola jelas mengincar kesan natural,
baik terkait elemen panjat tebing maupun drama, dan Aries mampu menghadirkan
itu. Andai saja filmnya menyisihkan waktu guna eksplorasi lebih jauh. Respon “andai
saja...” sayangnya masih mengakrabi karya-karya Lola Amaria.
DANUR 3: SUNYARURI (2019)
Rasyidharry
September 27, 2019
Awi Suryadi
,
horror
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Lele Laila
,
Prilly Latuconsina
,
REVIEW
,
Rizky Nazar
12 komentar
Pada review untuk Asih (baca di sini), saya
mengapresiasi bagaimana seri Danur,
meski setapak demi setapak, terus menunjukkan peningkatan. Jadi alangkah
mengecewakan mendapati Danur 3: Sunyaruri
merupakan langkah mundur, yang seolah menekan tombol reset bagi progres
adaptasi novel-novel Risa Saraswati ini.
Menit-menit awal film ini
sebenarnya menjanjikan. Dibuka melalui visualisasi novel buatan Risa (Prilly
Latuconsina), yang memperlihatkannya dikejar oleh Canting, hantu penari dari ending Maddah, di suatu gedung pertunjukkan.
Pemakaian bayangan adalah trik menakut-nakuti sederhana tapi ampuh memancing
kengerian, sementara musik garapan Ricky Lionardi (Asih, Sunyi, Pretty Boys) mampu menggedor jantung ketimbang
menyakiti telinga.
Daya tariknya berlanjut kala krisis
persahabatan Risa dengan Peter dan kawan-kawan mulai diperkenalkan. Khawatir
bakal ditinggalkan, Risa menyembunyikan kemampuan mistisnya dari Dimas (Rizky
Nazar). Risa tidak lagi sempat bermain bersama teman-teman hantunya, bahkan
kerap memarahi mereka. Di mana lagi kita melihat protagonis film horor
mengomeli hantu? Sekilas terdengar konyol, tapi ini keunikan selaku pembeda
Risa dengan karakter horor lain.
Tidak lagi tahan dengan keusilan para
bocah itu, Risa memilih menutup mata batinnya. Alih-alih menyelesaikan masalah,
keputusan itu justru mengundang bahaya kala sesosok hantu wanita misterius
menyatroni rumahnya bersama hujan lokal misterius yang tak kunjung usai, mengancam
keselamatan Risa beserta teman-temannya.
Membahas progres, naskah buatan
penulis langganan Danur, Lele Laila,
setidaknya bukan lagi kompilasi jump
scare sebagaimana dua judul perdana. Tapi serupa Asih (dan deretan horor lokal kebanyakan), penyakit lama masih
menjangkiti. Seolah sang penulis alergi dengan kata “eksplorasi”. Walau tidak
diisi pawai penampakan, alurnya jalan di tempat, terkesan kosong, meski
menyimpan banyak bekal misteri. Siapa identitas si hantu wanita? Mengapa ia
mengincar Peter dkk.? Apa penyebab hujan yang terus turun?
Daripada menggalinya satu per satu,
Lele Laila memilih menerapkan pola lama, yakni menyimpan semuanya hingga
konklusi, sehingga menciptakan fase pengungkapan yang terburu-buru. Kelemahan
itu turut mempengaruhi twist-nya yang
terkesan mencurangi penonton, akibat hadir tiba-tiba tanpa diawali “penanaman
benih” terlebih dahulu.
Urusan teror, Sunyaruri mengeskalasi tingkat bahaya yang mengancam Risa. Bukan
saja teror psikis, kali ini fisiknya pun dihajar habis. Bertambahnya ujian bagi
Risa berbanding lurus dengan beban Prilly, yang berkesempatan menampilkan
jangkauan akting (sedikit) lebih luas, karena dituntut tampak meyakinkan
memerankan seseorang yang tersiksa mental pula fisik. Tugas ini dijalankan
cukup baik oleh Prilly.
Secara mengejutkan, penurunan
justru datang dari penyutradaraan Awi Suryadi. Masih ada segelintir teror
solid, termasuk jump scare mengejutkan
yang melibatkan ember, tapi di sini Awi bagai terbuai akan eksplorasi sudut
kamera. Dia lebih tertarik bergaya, mengaplikasikan sudut-sudut “berbeda” yang
minim substansi perihal membangun kengerian. Ditunjang tata artistik yang
digarap apik, visual Sunyaruri mungkin
tampak cantik dan unik, namun rasa takut gagal dipantik.
Selain jump scare medioker, kurangnya daya cengkeram turut diakibatkan
lemahnya desain hantu. Pasca tampilan ikonik Ivana, Sunyaruri kembali memoles antagonisnya dengan riasan muka rusak
klise. Membosankan. Sama membosankannya dengan lagu Boneka Abdi yang diulang belasan kali (lagu tema tidak wajib
diputar lima menit sekali), maupun babak ketiga yang bak melupakan hakikatnya
sebagai klimaks, dengan mengakhiri konflik secara prematur sebelum mencapai
titik puncak.
GOOD BOYS (2019)
Rasyidharry
September 26, 2019
Bagus
,
Brady Noon
,
Comedy
,
Gene Stupnitsky
,
Izaac Wang
,
Jacob Tremblay
,
Keith L. Williams
,
Lee Eisenberg
,
Lina Renna
,
Millie Davis
,
REVIEW
2 komentar
Good Boys adalah sebenar-benarnya coming-of-age, di mana karakter bocahnya berpetualang merambah
teritori asing seperti seksualitas, perasaan pada lawan jenis, cita-cita, hingga
yang paling kompleks, perceraian orang tua. Jelas bukan tema baru, namun debut
penyutradaraan Gene Stupnitsky ini mempertahankan satu elemen yang belakangan kerap
dikesampingkan sajian coming-of-age (yang
dicap “berkualitas”) khususnya dari sinema arus alternatif, yakni kepolosan.
Kepolosan sering dikesampingkan
atas nama realisme. Good Boys membantah
anggapan tersebut. Menjelang usia remaja awal, anak-anak bukan berkontemplasi
soal esensi hidup, melainkan diam-diam menjadikan karakter gim sebagai bahan
masturbasi dan memendam rasa ke teman sebaya seperti Max (Jacob Tremblay),
ingin dianggap keren seperti Thor (Brady Noon), atau kebingungan menyikapi
perceraian orang tua layaknya Lucas (Keith L. Williams).
Ketiganya adalah sahabat yang
menamakan diri sebagai “Bean Bag Boys”.
Duduk di bangku kelas enam SD, mereka mulai memasuki fase tumbuhnya
ketertarikan untuk melanggar norma dan perintah orang tua, tapi terjebak dilema
ketika pendidikan tentang moralitas masih mengakar kuat di kepala. Alhasil, tatkala
Max hendak menghadiri kissing party yang
diadakan Soren (Izaac Wang) si bocah populer, agar bisa mencium gadis pujaannya,
Brixlee (Millie Davis), ketiganya justru terjebak petualangan penuh masalah.
Naskah buatan Gene Stupnitsky
bersama Lee Eisenberg (keduanya pernah berduet menulis 15 episode The Office) melahirkan observasi
mengenai pendewasaan secara cerdik, tatakala membuktikan bahwa kedalaman
penelusuran tidak melulu wajib disajikan serius. Humor-humornya beberapa kali
menyentuh ranah dewasa, khususnya yang berbau seksual, tapi dijabarkan melalui
kacamata anak, sehingga ketimbang jorok, kesan yang muncul adalah kepolosan.
Apa respon anak-anak bila menemukan
peralatan BDSM, boneka seks, atau narkoba? Bagaimana pula jika—serupa anak pada
umumnya—dengan kenaifannya, tokoh-tokoh film ini bersikap bak orang dewasa? Kelucuan
pun berhasil konsisten dihadirkan, apalagi naskahnya memiliki kreativitas
tinggi dalam memproduksi komedi dari hal-hal yang amat dekat dengan keseharian.
Kecerdikan humornya bukan cuma ada di perihal seksualitas. Salah satu favorit
saya adalah sosok Annabelle (tentu anda tahu karakter yang diperankan Lina
Renna terinspirasi dari mana), kakak perempuan Thor yang gemar muncul tiba-tiba
sambil berbicara dengan nada mengerikan.
Stupnitsky membawa Good Boys melaju dalam kecepatan serta
energi tinggi, penuh letupan hasil cekcok tiga protagonis, yang acap kali
justru menjadi bumerang, akibat monotonitas tempo. Hampir selalu berlangsung
tinggi, terkadang humornya meleset dari target. Tapi di sisi lain, inilah wajah
realisme versi Good Boys. Sebab, anak
kecil mana yang bertengkar dengan lembut bersama sahabat-sahabatnya?
Good Boys takkan sebaik ini kalau tidak didukung kehebatan tiga
pemeran ciliknya menjalin chemistry.
Apa pun kenakalan dan kesalahan yang diperbuat tidak mengurangi simpati saya pada
ketiganya, karena trio Tremblay-Noon-Williams mampu meyakinkan bahwa semuanya didorong
keluguan dan kesetiakawanan. Berkat solidnya para aktor menghidupkan
persahabatan karakternya, konklusi yang ditawarkan pun bisa menyentuh hati,
saat sekali lagi Good Boys melukiskan
realita (kali ini terkait hubungan pertemanan seiring pendewasaan) tanpa
kehilangan jiwa anak-anaknya.
AD ASTRA (2019)
Rasyidharry
September 23, 2019
Bagus
,
Brad Pitt
,
Ethan Gross
,
Hoyte van Hoytema
,
James Gray
,
Kevin Thompson
,
Liv Tyler
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Tommy Lee Jones
12 komentar
Ad Astra bukan soal perjalanan mencari kehidupan baru di luar
Bumi (walau salah satu karakternya menjalani misi tersebut), melainkan
kehidupan dalam diri manusia. Bakal memancing komparasi dengan judul-judul
macam 2001: A Space Odyssey (1968)
dan Solaris (1972) terkait penggunaan
elemen fiksi-ilmiah guna membungkus drama humanis bertempo lambat, serta
karya-karya Terrence Malick karena penggunaan monolog internal bernada
kontemplatif, film teranyar sutradara James Gray (The Immigrant, The Lost City of Z) ini jelas menuntut kesabaran
yang bakal terbayar lunas di akhir.
Perkenalkan Mayor Roy McBride (Brad
Pitt), putera astronot legendaris H. Clifford McBride (Tommy Lee Jones) yang
hilang 16 tahun lalu saat mengorbit di Neputunus kala menjalankan “Lima Project”, sebuah misi dengan tujuan
mencari makhluk ekstraterestrial. Serupa ayahnya,talenta Roy dikagumi.
Kemampuannya menjaga ketenangan (detak jantungnya tak pernah di bawah 80 bpm)
dianggap bukti kapabilitas oleh pihak SpaceCom. Mungkin benar, namun Gray yang
menulis naskahnya bersama Ethan Gross (Klepto)
menawarkan perspektif lain.
Tentu anda sering mendengar
anggapan bahwa orang kuat tidak kenal takut dan/atau tidak pernah menangis. Ad Astra menyanggah asosiasi tersebut. Ketenangan
Roy justru menjauhkannya dari humanisme. Salah satu monolog Roy di awal
menyebut bahwa segala senyum atau ekspresi rasa darinya sebatas “performance”. Sebuah kepura-puraan,
wujud kekosongan layaknya ruang hampa di luar angkasa yang amat dia akrabi.
Apabila eksplorasi angkasa luar
menjadikan lubang hitam sebagai momok, Roy pun terjebak di lubang hitam bernama
kesendirian dan kesepian. Karena itulah sang istri, Eve (Liv Tyler)
meninggalkannya. Roy terlihat tenang di luar, tapi sejatinya, ia mempertanyakan
segalanya. Sehingga saat SpaceCom menginformasikan jika kemungkinan sang ayah
masih hidup bahkan jadi penyebab lonjakan listrik yang mengancam tata surya
akibat eksperimennya, Roy bersedia menjalankan misi menemui Clifford guna
membujuknya menghentikan itu.
Apa yang menyusul berikutnya adalah
observasi tentang manusia melalui pergulatan batin Roy, yang digambarkan
bermental baja kala menatap maut, tidak ragu menantang bahaya dan mengambil
risiko, tetapi seketika runtuh sewaktu dihadapkan pada rasa. Berbeda dibanding
barisan pusi Malick, monolog internal Ad
Astra, biarpun terdengar puitis, amat memudahkan sebagai alat bantu
memahami poin-poin yang ingin Gray sampaikan.
Lambatnya permainan tempo Gray
mungkin menyulitkan bagi banyak penonton, namun berjasa menjembatani penyaluran
rasa sang protagonis kepada penonton. Pun Ad
Astra masih “berbaik hati” menyelipkan beberapa set-piece aksi yang menyiratkan potensi Gray menangani spectacle besar. Bukan suguhan
bombastis, luasnya jangkauan pengadeganan sang sutradara nampak betul. Momen sewaktu
Roy jatuh dari ketinggian menampilkan kemegahan, baku tembak di bulan
menyelipkan teror, pula pertarungan melawan babun yang mengandung kebrutalan
layaknya seri Alien. Bukan cuma Gray,
desain produksi meyakinkan garapan Kevin Thompson (Birdman, Okja, Michael Clayton) juga cerminan keagugan semesta
lewat sinematografi Hoyte van Hoytema (Her,
Interstellar, Dunkirk) yang mengambil gambar menggunakan format 35mm, masing-masing
layak diacungi dua jempol.
Di titik ini, tentu anda telah
banyak mendengar banjir pujian terhadap performa Brad Pitt. Seringkali
mengandalkan kharisma, melalui Ad Astra,
Gray memanfaatkan wibaya sang aktor sebagai media komparasi perbedaan ekstrim sisi
eksternal dan internal individu. Menengok tampilan luar, Roy bak karang kokoh
yang takkan terkikis, sedangkan kondisi dalam hati Roy jadi panggung Pitt menampilkan
ekspresi kerapuhan subtil, yang memuncak selepas third act yang membahas “putusnya sebuah ikatan”. Di situ untuk
kali pertama kita menyaksikan senyum si tokoh utama, yang kali ini bukan
sekadar formalitas, melainkan
wujud kebahagiaan hakiki.
PRETTY BOYS (2019)
Rasyidharry
September 20, 2019
Comedy
,
Cukup
,
Danilla Riyadi
,
Deddy Mahendra Desta
,
Imam Darto
,
Indonesian Film
,
Onadio Leonardo
,
REVIEW
,
Roy Marten
,
Tompi
,
Vincent Rompies
,
Wirawan Sanjaya
15 komentar
Mengangkat seluk-beluk di balik
layar dunia pertelevisian, dibintangi duet maut Deddy Mahendra Desta dan
Vincent Rompies serta ditulis naskahnya oleh Imam Darto (sebelumnya pernah
menulis judul rilisan tahun 2008, Coblos
Cinta), yang mana seluruhnya merupakan pelaku industri tersebut, Pretty Boys semestinya bisa lebih dari “sekadar”
menghibur, andai dibarengi eksplorasi mendalam sekaligus konsistensi dalam
mengutarakan pesan.
Tapi jika anda datang karena ingin
tertawa menyaksikan kekonyolan khas Vincent-Desta, maka debut penyutradaraan
Tompi ini bakal memuaskan. Memerankan Anugerah dan Rahmat, sepasang sahabat
yang sejak kecil bermimpi menjadi pembaca acara televisi, keduanya langsung
melontarkan banyolan berbentuk tebak-tebakan receh, atau berbagai pelesetan
ringan lain yang selama ini terbukti sukses membuat publik menyukai kemunculan
mereka di layar kaca.
Berangkat dari desa menuju Jakarta
berbekal impian (dan kenekatan) tinggi, karir Anugerah dan Rahmat justru mentok
sebagai karyawan restoran. Tapi mereka enggan menyerah. Didukung pula oleh Asty
(Danilla Riyadi), rekan kerja sekaligus gadis yang disukai Anugerah namun tak
kunjung ia tembak, semua jalan dicoba. Hingga tawaran menjadi penonton bayaran untuk
acara bincang-bincang yang dikoordinir oleh Roni (Onadio Leonardo), secara tak
terduga membuka lapang jalan menggapai cita-cita.
Dari judulnya tentu anda bisa
menebak bahwa Pretty Boys hendak
menyentil isu kegemaran stasiun televisi memakai lawakan “banci-bancian”.
Seolah ada aturan tak tertulis bila seseorang ingin terkenal, jadilah komedian
dengan karakter banci. Perihal mengungkap dunia gelap di balik gemerlapnya
industri televisi, kejujuran filmnya pantas dipuji. Walau digawangi para
penggiatnya, Pretty Boys tak berusaha
mempermanis realita.
Hanya saja, sebagai karya “orang
dalam”, naskahnya minim fakta baru. Perihal eksploitasi tokoh transgender,
kongkalikong manajer dan pihak acara, sampai pembayaran honor yang mencapai
berbulan-bulan, sudah jadi rahasia umum (mungkin khusus soal honor saja yang
belum). Pun terkait gimmick transgender,
paparan isunya problematik. Kalau Pretty
Boys ingin mengkritisi poin itu, filmnya sendiri membangun humor
berlandaskan hal serupa. Jangan salah, ini bukan urusan ofensif atau tidak,
melainkan konsistensi narasi. Lain cerita jika soal “kepalsuan demi popularitas”
yang coba disampaikan. Masalahnya, naskah Imam Darto kurang kuat menggiring sindirannya
ke ranah itu.
Biarpun menampilkan dua protagonis,
sosok Anugerah jelas lebih menonjol dengan kehadiran elemen drama dalam story arc-nya. Dia terlibat konflik
dengan sang ayah (Roy Marten), mengalami pergolakan jati diri, juga kesulitan
mengutarakan cinta kepada Asty. Benang merahnya adalah keraguan Anugerah
mengambil kesempatan. Di sini inkonsistensi timbul lagi. Di satu sisi, Pretty Boys berkata “jangan membuang
kesempatan”, padahal kritik utamanya ditujukan bagi para pelaku industri yang
mengambil kesempatan.
Kelemahan narasi setidaknya
berhasil ditambal komedi yang paling tidak bisa memancing senyum. Dalam debut
penyutradaraannya, Tompi juga melahirkan barang langka berupa komedi lokal yang
menolak memakai kemasan artistik seadanya. Sebagai seorang musisi sekaligus
fotografer, tidak heran Tompi melahirkan film bervisual cantik, pula diisi
deretan lagu pembuai telinga, termasuk Kembali
Putih Lagi milik Danilla. Disokong sinematografi Wirawan Sanjaya, visual Pretty Boys begitu memperhatikan
permainan cahaya serta kombinasi warna, alias bukan asal terang.
Di jajaran pemain, Vincent dan
Desta senantiasa bisa diandalkan urusan chemistry
kala mengocok perut. Teruntuk Vincent, kapasitas aktingnya diuji kala harus
menghidupkan pergulatan batin Anugerah. Tidak spesial, namun tidak pula
mengecewakan. Tidak kalah menghibur adalah gaya feminnin Onadio, sedangkan
Danilla tampil solid dalam kapasitas love
interest, meski sayangnya, subplot romansa yang melibatkannya terkesan inkonklusif.
Atau jangan-jangan Anugerah.....
ABIGAIL (2019)
Rasyidharry
September 19, 2019
Aleksandr Boguslavskiy
,
Eddie Marsan
,
European Film
,
Fantasy
,
Gleb Bochkov
,
REVIEW
,
Sangat Jelek
,
Tinatin Dalakishvili
16 komentar
Kalau anda membaca tulisan ini
karena tertarik menonton Abigail,
segera urungkan niat tersebut. Fantasi steampunk
produksi Rusia ini merupakan salah satu film terburuk sepanjang 2019, sewaktu
kekayaan imajinasi khas dunia fantasi digantikan oleh sajian pengantar tidur
akibat kemiskinan kreativitas (juga dana).
Abigail (Tinatin Dalakishvili)
tinggal di suatu kota kecil yang selama ratusan tahun dijangkiti wabah penyakit
mematikan misterius. Akibatnya, kota itu terisolir dari dunia luar, dan
warganya hidup bak narapidana, di mana jam malam diberlakukan, sementara
pasukan keamanan rutin berpatroli mencari para pesakitan. Salah satunya adalah
ayah Abigail (Eddie Marsan), yang dibawa pergi saat Abigail baru berusia
sembilan tahun.
Setelah dewasa, Abigail meyakini
sang ayah masih hidup. Dia pun nekat melakukan pencarian, melawan para pasukan
keamanan, bertemu kelompok pemberontak yang dipimpin Bale (Gleb Bochkov),
hingga menyadari bahwa kota tempat tinggalnya dipenuhi hal-hal ajaib, termasuk
ilmu sihir yang rupanya juga Abigail miliki.
Walau sinopsisnya mengandung kata “sihir”, ketimbang aksi adu ilmu, obrolan membosankan berisi kalimat-kalimat yang mendefinisikan “penulisan buruk” lebih sering mengisi layar, pun acap kali berlangsung berlarut-larut, seolah demi menambal durasi di tengah ketidakmampuan menampilkan banyak spectacle akibat keterbatasan biaya.
Walau sinopsisnya mengandung kata “sihir”, ketimbang aksi adu ilmu, obrolan membosankan berisi kalimat-kalimat yang mendefinisikan “penulisan buruk” lebih sering mengisi layar, pun acap kali berlangsung berlarut-larut, seolah demi menambal durasi di tengah ketidakmampuan menampilkan banyak spectacle akibat keterbatasan biaya.
Ditambah voice over berintonasi monoton cenderung memalukan serta pilihan shot sutradara Aleksandr Boguslavskiy (Beyond the Edge) yang nihil variasi dalam
membungkus obrolan, Abigail bagai
sinetron murahan. Daripada eksplorasi mitologi dunia maupun detail perihal
sihir yang sama-sama tampil bak pernak-pernik remeh ketimbang menu utama, justru
mengedepankan debat kusir selaku panggung bagi penampilan menggelikan dua
pemain utama.
Tinatin Dalakishvili berniat menjadikan
Abigail sosok gadis pemberani, tapi ekspresi berlebihannya malah melahirkan
parodi, sementara Gleb Bochkov seperti menjalani seluruh proses pengambilan
gambar saat menderita sakit perut. Saya pun ikut menderita menyaksikan jalinan
romansa mereka.
Menegaskan kualitas jongkok filmnya
adalah pengarahan Aleksandr Boguslavskiy akan adegan aksi berbalut CGI. Staging-nya membuat sakit mata, ketika
banyak peristiwa tidak terlihat jelas. Sang sutradara nampak bingung mesti
bagaimana mengemas adu “ilmu sihir” yang mengambil wujud asap-asap berwarna
hitam. Beberapa kali pula, entah dengan pertimbangan apa, ia memilih tidak
menangkap dampak serangan yang dilancarkan karakternya. Jauhi bencana satu ini.
RAMBO: LAST BLOOD (2019)
Rasyidharry
September 19, 2019
Action
,
Adriana Barazza
,
Adriann Grunberg
,
Lumayan
,
Matt Cirulnick
,
REVIEW
,
Sylvester Stallone
,
Yvette Monreal
10 komentar
Berawal dari kisah tentang veteran
Perang Vietnam pengidap PTSD yang malah diburu di negeri sendiri dalam First Blood (1982), seri Rambo berevolusi jadi suguhan aksi one-man army pada tiga sekuelnya. Dari
kritik terhadap kelalaian Amerika Serikat menangani kondisi psikis para
veteran, Rambo III (1988) justru
melangkah ke arah berlawanan dengan membawa protagonisnya menyadari bahwa ia
tak bisa lepas dari takdir sebagai mesin pembunuh.
Konsistensi kisah memang bukan
kekuatan utama Rambo, karena satu
tugas yang dibebankan kepada penulis naskahnya adalah mencari cara
mengembalikan John Rambo (Sylvester Stallone)—yang selalu ada di “mode pensiun”
di awal film-filmnya—ke medan pertempuran. Mau sampai kapan pun seri ini
dilanjutkan bukan masalah, selama tujuan menghantarkan hiburan berhasil
dicapai. Tapi film kelima ini jelas membuang kesempatan memberi akhir yang
pantas bagi Rambo, meski sebagai tontonan aksi, daya pikatnya sukar ditolak.
Melanjutkan konklusi film keempat,
kini Rambo menjalani kehidupan damai di rumah peninggalan orang tuanya, di mana
ia menghabiskan hari merawat kuda sambil sesekali menjadi relawan. Ya, ia bukan
lagi sosok apatis yang menganggap menyelamatkan segelintir nyawa takkan
menciptakan perbedaan seperti di Rambo (2008).
Bahkan Rambo rutin dihantui beberapa kegagalannya menyelamatkan orang lain.
Intinya, jagoan kita masih bergulat
dengan masa lalu. Terbukti, biarpun telah memiliki rumah, Rambo memilih tinggal
di rubanah sembari membangun terowongan entah untuk apa. Bedanya, kini dia
tidak sendiri. Ada Maria (Adriana Barazza) yang telah melayani keluarga Rambo
sejak lama, dan Gabrielle (Yvette Monreal), keponakan Rambo yang sudah
dianggapnya puteri sendiri.
Memberi Rambo figur keluarga menghasilkan
nuansa berbeda. Sebuah nuansa keintiman hangat yang tidak dipunyai film-film
sebelumnya, ketika Rambo selalu jadi “serigala penyendiri”. Pun elemen itu,
walau klise, merupakan pilihan jitu dari naskah garapan Matt Cirulnick (Paid in Full) dan Stallone, sebab kali
ini Rambo punya alasan kuat untuk kembali mengangkat parang, busur, dan pistol.
Berniat mencari keberadaan ayah
kandungnya di Meksiko, Gabrielle justru diculik kartel setempat. Setelah
Vietnam, Afghanistan, dan Burma, sekarang giliran Meksiko jadi lahan
pembantaian John Rambo. Tapi Last Blood hadir
dengan pendekatan berbeda, khususnya dibanding film kedua dan ketiga. Sutradara
Adrian Grunberg (Get the Gringo)
membungkus aksinya memakai sadisme serupa
Rambo, sedangkan unsur dramatik First Blood diterapkan dalam wujud drama
keluarga yang membuat penonton mendukung perjuangan sang tokoh utama.
Kemudian, sebelum babak ketiga, datang
momen pengecoh ekspektasi, sekaligus pembuka jalan bagi sekuel. Sekali lagi,
saya dengan senang hati menyambut judul-judul berikutnya, namun tindakan berani
tersebut telah membunuh peluang memproduksi akhir yang pantas bagi seorang John
Rambo, bukan cuma di Last Blood, pula
dalam deretan installment berikutnya
(kalau ada).
Setidaknya kekecewaan saya itu
sedikit terobati kala klimaksnya menghadirkan pembantaian massal brutal,
tatkala Rambo kembali ke mode survival,
memasang perangkap-perangkap mematikan sebagaimana saat ia membantai polisi
lokal di tengah hutan dalam First Blood.
Kadar kekerasannya tidak main-main. Darah mengalir, tubuh meledak, kepala
terbelah, kaki serta tangan terpotong, hingga bentuk sadisme ekstrim lain yang
bakal membuat pecinta gore bersorak.
LORONG (2019)
Rasyidharry
September 13, 2019
Andy Oesman
,
Hestu Saputra
,
horror
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Nova Eliza
,
Prisia Nasution
,
REVIEW
,
Teuku Rifnu Wikana
,
Winky Wiryawan
12 komentar
Kata “klise” didefinisikan dengan
sempurna oleh Lorong, sebuah film
yang bergerak sesuai pakem. “Mudah ditebak” tidak serta merta melahirkan dosa,
namun ketika dilengkapi pula oleh penggarapan ala kadarnya serta tensi yang
datar-datar saja, saya bertanya-tanya, “apa yang coba ditawarkan para
pembuatnya?”.
Selepas proses persalinan, Mayang
(Prisia Nasution) disambut kabar duka dari sang suami, Reza (Winky Wiryawan),
bahwa buah hati mereka—yang hendak dinamai Reno—telah meninggal dunia. Tapi
entah mengapa, Mayang yakin Reno masih hidup. Meyakini Mayang menderita
depresi, Reza dibantu karyawan rumah sakit termasuk dr. Vera (Nova Eliza),
berusaha menyadarkan sang ibu yang malang.
Tapi Mayang tetap ngotot, selalu
nekat kabur dari kamar guna mencari Reno, menggiring kisahnya menuju peristiwa
berulang di mana Mayang akan terbangun dari mimpi buruk, mencabut infus,
bersusah-payah menyusuri lorong rumah sakit, lalu bertemu Darmo (Teuku Rifnu
Wikana) si petugas kebersihan.
Pengulangan tersebut seakan
membuktikan kebingungan Andy Oesman (The
Sacred Riana: Beginning) dalam mengembangkan kisah yang bak diniati jadi
versi jauh lebih sederhana dari Rosemary’s
Baby-nya Roman Polanski. Begitu sederhana, naskahnya merasa tidak perlu
mengangkat ambiguitas soal “apakah Mayang memang mengalami gangguan jiwa?”.
Fakta sesungguhnya langsung diungkap di pertengahan durasi.
Sejatinya itu langkah berani,
berpotensi membawa proses eksplorasi kisahnya ke arah berbeda. Sayangnya itu
urung dilakukan, sehingga Lorong gagal
menyediakan alasan mengapa penonton harus terus menaruh perhatian sampai akhir.
Sementara sebagai usaha memfasilitasi selera penonton kebanyakan, turut
dimasukkan elemen mistis berupa penampakan hantu wanita di beberapa kesempatan.
Naskahnya berniat menjadikan si
hantu lebih dari sebatas penebar teror, meski pada akhirnya, kehadirannya tidak
signifikan mempengaruhi berhasil atau tidaknya Mayang menyibak segala
kebenaran. Pun kemunculannya tak pernah mengerikan akibat lemahnya
penyutradaraan Hestu Saputra (Cinta tapi
Beda, Hujan Bulan Juni, Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar).
Terbiasa mengarahkan drama, Hestu
jelas belum menguasai teknik mengarahkan horor. Pacing maupun pemilihan sudut kamera pilihannya terkesan seadanya,
kurang menunjang pembangunan atmosfer dan intensitas. Babak ketiga jadi korban
terbesar pengarahan lemah sang sutradara. Padahal konsep klimaksnya menarik,
menyimpan kengerian dari suatu peristiwa brutal nan ironis, yang dampaknya
bakal menguat andai bersedia menambahkan kadar kekerasan.
Malang bagi Prisia Nasution. Penampilannya
solid, cukup meyakinkan mengekspresikan keputusasaan seorang ibu yang hatinya
remuk redam, walau cakupan emosi karakter Mayang sebenarnya tidak terlalu luas
(ketakutan dan menangis). Prisia mesti lebih cermat memilih peran. Sempat
digadang-gadang sebagai calon aktris Indonesia nomor satu, entah sudah berapa
tahun ia tidak mendapatkan film berkualitas.
BIKE MAN (2018)
Rasyidharry
September 12, 2019
Comedy
,
Jennifer Kim
,
Kom Chauncheun
,
Lumayan
,
Pachara Chirathivat
,
Prueksa Amaruji
,
REVIEW
,
Romance
,
Sananthachat Thanapatpisal
,
Thai Movie
4 komentar
Menceritakan seorang pemuda yang
menyembunyikan pekerjaannya sebagai tukang ojek dari kelurga, Bike Man bukan kisah mengada-ada di mana
si tokoh utama ingin mempertahankan profesi ala kadarnya untuk selamanya karena
cinta. Di luar kemasan konyolnya, Bike
Man merupakan tontonan dengan relevansi cukup tinggi terkait penggambaran konflik
dan rintangan di dunia (pencarian) kerja.
Sakkarin (Pachara Chirathivat)
membuat sang ibu (Jennifer Kim) bangga, karena serupa mendiang ayahnya, ia
berhasil bekerja di sebuah bank. Bahkan Sakkarin baru saja dipromosikan menjadi
asisten manajer. Tapi siapa sangka, dandanan rapi tiap pagi itu cuma kedok
belaka. Sesampainya di kota, Sakkarin langsung berganti atribut, “beraksi”
sebagai tukang ojek pangkalan akibat selalu gagal dalam proses melamar kerja di
bank.
Sakkarin menyembunyikan fakta
tersebut dari sang ibu dan Paman Preecha (Kom Chauncheun), mantan polisi
sekaligus teman lama ayahnnya, yang selalu menaruh curiga. Dia takut membuat
malu keluarga. Tapi apa takaran suatu pekerjaan disebut baik dan buruk? Uang? Prestise?
Definisi baik/buruk itu makin kabur kala Sakkarin bertemu Jai (Sananthachat
Thanapatpisal), teman lama sekaligus gadis yang dari dulu diam-diam ia taksir.
Jai bekerja di bank impian
Sakkarin, namun kebahagiaannya tak seberapa. Bercita-cita menjadi pilot, Jai
merasa terkekang. Terlebih saat mesti menghadapi tingkah A (Pramote Pathan),
kekasih sekaligus atasannya yang playboy dan semau sendiri. Dari sinilah Bike Man menyinggung perihal nilai sebuah
profesi, yang berbeda-beda tergantung pemiliknya.
Contohnya, bagi Jai, bekerja di
bank mungkin buruk dan penuh kepenatan, namun profesi itu tidak serta merta
dicap buruk, sebagaimana dilakukan banyak film bertema worklife kebanyakan. Sebaliknya, bagi Sakkarin, bank adalah
mimpinya. Karenanya, kita tidak berhak begitu saja menghakimi suatu profesi,
mau itu karyawan bank atau tukang ojek.
Di luar urusan pekerjaan, Bike Man juga komedi-romantis menggemaskan,
yang dibuat berlandaskan cair dan solidnya chemistry
dua pemeran utama. Mengkuti formula romansa Asia, khususnya Thailand dan
Korea, hubungan Sakkarin dan Jai adalah kisah cinta berbalut tawa, di mana
tidak peduli secantik dan seanggun apa pun si wanita, karakternya selalu
mempunyai “cacat” sehingga kerap melakukan kebodohan. Justru di situ inti
keberhasilannya melahirkan percintaan membumi yang menyenangkan diikuti.
Secara keseluruhan, komedi Bike Man pun mengikuti formula kekonyolan
absurd khas sinema Thailand, yang langsung ditegaskan oleh adegan pembuka ketika
Sakkarin mengebut di jalan sembari memboncengkan ibu dan neneknya, melintasi
jalanan kota bak pembalap di lintasan. Banyak humornya berasal dari usaha
Sakkarin mengelabui keluarganya. Menyenangkan, namun acap kali, kucing-kucingannya
terasa tidak perlu. Sering timbul pertanyaan soal dampak andai Sakkarin
tertangkap basah di beberapa situasi (contoh: pasar malam).
Bergerak dengan kekonyolan beruntun,
Bike Man mendadak menghentak lewat
konklusi dramatik, sewaktu tema mengejar mimpi dan keluarga bersinggungan,
menciptakan babak akhir mengharukan ketika sutradara Prueksa Amaruji berhasil
memadukan tiga elemen: penceritaan (pengungkapan sebuah rahasia), akting
emosional Jennifer Kim, dan iringan musik sendu.
WARKOP DKI REBORN (2019)
Rasyidharry
September 12, 2019
Adipati Dolken
,
Aliando Syarief
,
Anggoro Santoro
,
Aurora Ribero
,
Comedy
,
Ganindra Bimo
,
Indonesian Film
,
Indro Warkop
,
Kurang
,
Rako Prijanto
,
Randy Danistha
,
REVIEW
,
Salshabilla Adriani
13 komentar
Selucu-lucunya film klasik Warkop
DKI, rasanya semua setuju kalau media audio, yang dulu banyak beredar dalam
rekaman kaset, lebih mewadahi kelucuan mereka (silahkan cari di YouTube dan
siap-siap sakit perut). Dalam proyek Reborn
ketiga—yang tidak mengusung embel-embel “Part 3”—ini, terdapat usaha memvisualisasikan humor verbal Warkop,
yang malah menegaskan ketidakcocokan alih media tersebut. Bahkan secara keseluruhan,
Warkop DKI Reborn mungkin pertanda
bahwa regenerasi Warkop DKI bukan ide yang baik.
Saya selalu tergelak mendengar
banyolan “Marga Batak”, tapi kala filmnya menerjemahkan itu ke layar, biarpun
intensinya selaku penghormatan patut diapresiasi, tawa tak juga hadir. Selipan
humor-humor Warkop lain pun bernasib sama. Apalagi sewaktu secara beruntun,
naskah buatan Anggoro Santoro (Sang Kiai, Bangkit!, Cahaya Cinta Pesantren)
bersama sutradara Rako Prijanto (Sang
Kiai, Teman Tapi Menikah, Asal Kau Bahagia) bergantung pada lawakan pervert ala film Warkop produksi Soraya
era 90-an.
Ide ceritanya sendiri menarik,
yaitu perekrutan trio penyiar radio, Dono (Aliando Syarief), Kasino (Adipati
Dolken), Indro (Randy Danistha) oleh Komandan Cok (Indro Warkop) untuk menjadi
agen rahasia guna menyibak praktek pencucian uang di industri perfilman tanah
air. Jadilah mereka terlibat proyek film buatan rumah produksi milik Amir Muka
(Ganindra Bimo), menyulut kekacauan di set, lalu bersinggungan dengan aktris
cantik bernama Inka (Salshabilla Adriani).
Sampai di sini, semuanya berjalan
lancar, hingga Warkop DKI Reborn memutuskan
melebarkan sayap dengan memperbesar skala. Tidak main-main, filmnya membawa
Dono-Kasino-Indro berpetualang ke Maroko, bahkan membantu melindungi desa asal
gadis setempat (Aurora Ribero) yang dihantui ancaman bandit. Sejak dulu plot
film Warkop memang selalu bercabang pula dikemas bak sketsa, tapi fokusnya
terjaga, alih-alih terkesan melupakan tema besarnya seperti ini.
Pergantian latar ekstrimnya memang
memfasiliasi humor klasik menggelitik soal “Bahasa Arab” hingga nomor musikal
absurd Ummi, namun di saat bersamaan,
melucuti potensi presentasi kritik tentang industri film. Apalagi sewaktu kisahnya
dipaksa berakhir di tengah-tengah, karena (lagi-lagi) Falcon Pictures memilih
memecah filmnya menjadi dua bagian.
Padahal pergantian pemeran trio
Dono-Kasino-Indro di luar dugaan memberi hasil positif. Adipati tampak lebih
natural dan santai ketimbang Vino dalam memerankan Kasino si playboy mulut besar, Randy punya
tampilan lebih mirip Indro dibanding Tora, sedangkan Aliando—sebagaimana Abimana—muncul
sebagai MVP. Riasan giginya memang mengganggu, tapi baik suara maupun gestur,
Aliando berhasil mereplikasi anggota Warkop DKI favorit saya itu.
Penyutradaraan Rako Prijanto juga
mengungguli Anggy Umbara berkat gaya yang lebih “sederhana”, biarpun banyaknya
penggunaan efek suara konyol layaknya sketsa televisi murahan justru melemahkan
daya bunuh komedi, selain menurunkan kelas filmnya. Beberapa kreativitas
humornya, sebutlah parodi film-film populer Indonesia, memang mampu memancing
senyum. Tapi saya butuh lebih dari sekadar senyum. Saya membutuhkan tawa, yang
sayangnya jarang diproduksi oleh Warkop
DKI Reborn.
MIDSOMMAR (2019)
Rasyidharry
September 08, 2019
Ari Aster
,
Bagus
,
Bobby Krilic
,
Florence Pugh
,
horror
,
Jack Reynor
,
Pawel Pogorzelski
,
REVIEW
,
Vilhelm Blomgren
,
Will Poulter
,
William Jackson Harper
40 komentar
Setelah keluarga disfungsional
dalam Hereditary plus beberapa film
pendeknya seperti The Strange Thing About
the Johnsons dan Munchausen,
sutradara-penulis naskah Ari Aster giliran mengangkat romansa disfungsional berlatar
paganisme melalui Midsommar yang
memantapkan statusnnya sebagai salah satu sineas horor modern paling mumpuni. Film
putus cinta tidak pernah segila, setragis, dan semengerikan ini.
Pasangan yang bermasalah adalah
Dani (Florence Pugh) dan Christian (Jack Reynor). Keduanya sama-sama tengah
mempertimbangkan mengakhiri hubungan. Dani dengan gangguan kecemasannya khawatir
terlalu membebani sang kekasih, sementara Christian pun merasa terperangkap
oleh curhatan tanpa henti dari Dani. Tapi selepas tragedi yang merenggut nyawa
seluruh keluarga Dani, niatan tersebut diurungkan.
Bahkan Christian berujung mengajak
Dani turut serta bersama kedua kawannya, Mark (Will Poulter) dan Josh (William
Jackson Harper), menghadiri undangan Pelle (Vilhelm Blomgren) mengunjungi
perayaan tengah musim panas di Hälsingland, Swedia, yang diadakan Hårga, komune
tempatnya tumbuh. Aster membangun tempat di mana matahari selalu terbit, dan
dibantu sinematografi Pawel Pogorzelski (Hereditary,
Tragedy Girls) yang mengedepankan pewarnaan lembut, tercipta kehangatan
aneh, ketika harmoni berlebih justru mencuatkan rasa ngeri.
Benar saja, keramahan dan kedamaian
segera berubah jadi teror kala orang-orang Hårga mulai melangsungkan ritual demi
ritual, yang memperlihatkan kejelian Aster selaku penulis dalam melahirkan
mitologi berdasarkan tradisi-tradisi masyrakat Eropa masa lalu. Berbanding
durasi 147 menit (atau 138 menit versi sensor Indonesia) miliknya, secara
kuantitas, sadisme Midsommar sejatinya
tak seberapa, namun berdampak tinggi berkat penempatan presisi, ibarat gelegar
petir mengejutkan pemecah keheningan.
Mengangkat horor paganisme yang
sesekali menyelipkan kritik soal keengganan manusia (dalam konteks film ini,
remaja) modern dari kota menghormati adat, Midsommar
tetap konsisten membangun penelusuran tentang terkikisnya sebuah hubungan.
Apakah Dani bersikap berlebihan, ataukah Christian memang pria egois nihil
kepedulian? Nantinya film ini menawarkan jawaban setelah melalui observasi
bertahap yang dibungkus alur bertempo medium cenderung lambat.
Menangani perjalanan menyakitkan
karakternya yang kerap mengalami serangan kecemasan, Florence Pugh bukan
mengekspresikan kesedihan biasa dalam sebuah performa luar bisa. Dia bak
tercekik oleh kesedihan itu, yang bahkan dapat membuat penonton ikut dibuat
sesak napas. Teriakannya menusuk, tangisannya menggetarkan.
Berdurasi hampir dua setengah jam
ditambah pergerakan alur lambat, wajar bila Midsommar
terkesan mengalienasi penonton umum. Tapi penyutradaraan Aster memastikan
tidak ada momen filler, tatkala
adegan sekecil dan sesingkat apa pun ia beri perhatian total lewat konsistensi
permainan atmosfer creepy, yang
berasal dari perilaku maupun ritual orang-orang Hårga, musik menghantui garapan
Bobby Krilic (Triple 9), hingga
sentuhan visual sureal bernuansa psikedelik.
Guna menjaga atensi penonton, Aster
turut menerapkan misteri yang berhasil secara terus menerus memancing segudang
pertanyaan, meski jawaban yang ditawarkan sejatinya kurang sebanding dengan apa
yang disiratkan. Masih mengandung kegilaan khas sang sutraara, namun dari
perspektif horor, konklusi Midsommar bukan
suatu sentuhan baru, bahkan cenderung pengulangan Hereditary (ada lokasi terlarang tempat dilakukannya hal sinting) plus
inspirasi dari The Wicker Man. Tapi
terkait tuturan mengenai putus cinta, ending-nya
merupakan katarsis memuaskan, kala Ari Aster menyamakan mantan kekasih
berperangai buruk dengan setan jahat yang mesti dimusnahkan.
NOTE: Walau amat disayangkan, penyuntingan sensor Midsommar yang sebenarnya cukup panjang
(adegan kental unsur seks jelang akhir), ternyata dilakukan dengan rapi. Jika tidak
tahu soal fakta filmnya disensor, bisa jadi anda takkan menyadarinya. Walau
berpengaruh terhadap kegilaan babak ketiga serta studi karakternya, keseluruha
substansi film tetap dapat ditangkap. Jadi jangan ragu menyaksikannya di bioskop.
KAPAL GOYANG KAPTEN (2019)
Rasyidharry
September 07, 2019
Ananta Rispo
,
Arief Didu
,
Asri Welas
,
Awwe
,
Babe Cabita
,
Comedy
,
Cukup
,
Ge Pamungkas
,
Indonesian Film
,
Mamat Alkatiri
,
Muhadkly Acho
,
Raymond Handaya
,
REVIEW
,
Romaria Simbolon
,
Roy Marten
,
Yuki Kato
,
Yusril
4 komentar
Setelah (gagal) memancing tawa
melalui pembajakan pesawat di Flight 555 tahun
lalu, Raymond Handaya melahirkan sau lagi komedi seputar pembajakan
transportasi, tapi kali ini, latarnya beralih dari udara ke perairan dan pulau
terpencil. Perubahan itu rupanya berdampak, karena cakupan kapal dan pulau tidak
sesempit pesawat, yang berarti bertambahnya hal untuk dieksplorasi. Walau tidak
lebih pintar, Kapal Goyang Kapten jelas
lebih lucu.
Kapal tersebut dimiliki Gomgom
(Babe Cabita), pemilik usaha wisata kecil di Manado. Begitu kecil, posisi
pemandu tur, sopir bus, dan kapten kapal diemban oleh Gomgom seorang, suatu
kondisi yang rutin dijadikan bahan banyolan di paruh awal. Turis yang jadi
kliennya sekarang adalah Tiara (Yuki Kato),
Burhan (Arief Didu) beserta istri (Asri Welas) dan puterinya (Romaria
Simbolon), pasangan suami-istri Darto (Yusril) dan Salma (Naomi Papilaya),
serta tiga mahasiswa Noni (Andi Anissa), Cika (Ryma Gembala) dan Agung (Ananta
Rispo).
Sementara itu, pemuda kaya asal
Jakarta, Daniel (Ge Pamungkas), juga baru tiba di Manado setelah kabur dari
rumah guna membuktikan bahwa ia bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada uang
ayahnya (Roy Marten). Sementara waktu, Daniel menetap di rumah mantan sopir
pribadinya, Cakka (Muhadkly Acho). Cakka sendiri tengah mengalami masalah
berupa ketidakmampuan finansial guna mengobati penyakit sang ibu. Bersama
Bertus (Mamat Alkatiri), ia berencana membajak kapal Gomgom. Walau awalnya
menolak, didorong keinginan membantu Cakka, Daniel memutuskan bergabung.
Bisa ditebak, akibat aksi amatiran
ditambah sisi manja Daniel, pembajakan tersebut berantakan. Alih-alih mendapat
uang, mereka bertiga, bersama seluruh penumpang, justru terdampar di pulau
terpencil setelah kapal kehabisan solar. Kedua belah pihak pun terpaksa
mengesampingkan perbedaan, berdamai demi bertahan hidup dann mencari jalan
pulang.
Humor recehnya, yang mayoritas
berupa kelakar dan plesetan bodoh, tingkah laku bodoh, atau bentuk kebodohan
lain, masih sama, namun ketika Flight 555
menyia-nyiakan premis dan latar uniknya, Kapal Goyang Kapten, walau belum bisa disebut maksimal,
menanganinya dengan lebih baik. Setidaknya humor datang dari situasi khusus
terkait kapal, survival, maupun
pembajakan, daripada sekadar kekonyolan acak.
Banyolan semacam itu punya tingkat
risiko kegagalan tinggi, tapi duo penulis Muhadkly Acho dan Awwe (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1
& 2) memahami itu, memilih menjadikan lelucon garing sebagai sebuah
kesengajaan yang disadari. Contohnya sewaktu puteri Burhan kerap mengomentari
ketidaklucuan Gomgom. Sebuah win-win
solution cerdik. Bagus jika penonton menganggap lawakan Gomgom lucu, tapi
jika tidak, mereka akan menertawakan kritik pedas si gadis cilik.
Kapal Goyang Kapten juga dibantu jajaran pemain yang seolah tengah on fire. Kedua penulis menggunakan polah
absurd Babe hingga celetukan-celetukan Arief Didu dengan cara yang tepat, di
tempat yang tepat, juga dalam dosis memadai. Tentu tidak seluruhnya mengenai
sasaran, namun saya mendapati diri lebih sering tertawa daripada memasang wajah
datar sambil garuk-garuk kepala.
Menyentuh pertengahan durasi,
karakter baru diperkenalkan, yaitu Pak Sentot (Mathias Muchus), yang sudah
terperangkan di pulau selama 10 tahun. Pak Sentot lebih terasa sebagai rip-off Chuck Noland di Cast Away ketimbang parodi dari tokoh
yang dipopulerkan oleh Tom Hanks itu. Baik nasib atau tampilan fisik mereka
serupa. Bahkan Pak Sentot pun berteman dengan bola voli yang diberi nama Mika
(dari Mikasa) sebagaimana Chuck dan Wilson. Beruntung, totalitas sang aktor
berhasil menjadikan Pak Sentot karakter menarik. Melihat Mathias Muchus
bertingkah eksentrik dibalut riasan meyakinkan, menggendong bola voli layaknya
puteri sendiri, merupakan hiburan tersendiri.
Kelemahan terbesar film ini adalah
tiap kali menampilkan sisi serius. Meski Ge tampak berusaha sebaik mungkin
menangani elemen dramatis, perjalanan Daniel membuktikan kapasitasnya,
dipaparkan teramat dangkal, sehingga mustahil bersimpati kepadanya. Begitu pula
benih cintanya dengan Tiara, yang dipaksa masuk. Di antara penumpang, Yuki
paling vokal menyuarakan kebencian terhadap tiga pembajak, sampai tiba-tiba,
hatinya berubah secara radikal dengan begitu mudah. Pun di tengah sederet
individu absurd, Daniel dan Tiara selaku “sosok serius” merupakan karakter
paling kurang menarik yang tak punya cukup daya guna menggoyang hati penonton.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Posting Komentar