CITY OF GHOSTS / VICTORIA & ABDUL / MARJORIE PRIME
Rasyidharry
Desember 31, 2017
Ali Fazal
,
Bagus
,
Comedy
,
Documentary
,
Drama
,
Geena Davis
,
Jon Hamm
,
Judi Dench
,
Kurang
,
Lois Smith
,
Matthew Heineman
,
REVIEW
,
Sangat Bagus
,
Science-Fiction
,
Stephen Frears
,
Tim Robbins
4 komentar
Anda masih menganggap enteng ancaman ISIS? Saksikan City of Ghosts, dan renungkan betapa Suriah dibuat bak neraka oleh organisasi berkedok agama tersebut. Di belahan dunia lain, Victoria & Abdul yang mengantar Judi Dench meraih nominasi Golden Globe untuk Best Actress - Motion Picture Comedy or Musical, justru merayakan kolonialisme berkedok kisah persahabatan beda kasta, ras, dan agama. Sementara Marjorie Prime memperlihatkan bahwa tidak semua science-fiction memandang artificial intelligence yang makin mendekati manusia sebagai suatu ancaman.
City of Ghosts (2017)
Raqqa Is Being Slaughtered Silently (RBSS). Begitu nama pergerakan citizen journalism yang mewartakan kekejaman ISIS di Raqqa, Suriah, kepada dunia meski nyawa jadi taruhan dan mesti hidup bersembunyi. Nama yang gamblang, menusuk tanpa basa-basi, segamblang footage yang disediakan bagi Matthew Heineman (Cartel Land) guna merangkai dokumenternya. Pembunuhan jadi pertunjukan, kepala manusia dipertontonkan, anak-anak dipaksa "berjihad". City of Ghosts mengerikan bukan saja karena pemandangan kejam. Horor sesungguhnya hadir di benak kita. Melihat video propaganda kelas Hollywood milik ISIS, timbul pertanyaan, "seberapa kuat mereka?". Dan seperti diutarakan satu narasumber, ISIS adalah gagasan, bisa tumbuh cepat di mana saja, termasuk Indonesia. City of Ghosts menyadarkan akan fakta itu. Di satu titik, beberapa anggota RBSS mengungsi ke Jerman hanya untuk menerima cemoohan lain dari para anti-imigran, memperluas cakupan film menuju penindasan oleh hegemoni kaum yang merasa superior. Mengingat mayoritas rekaman berasal dari RBSS, Heineman harus menyesuaikan, sulit berkreasi demi totalitas dampak emosi. Pun terbatasnya sumber (ISIS menutup akses informasi Raqqa) serta alasan keamanan cenderung menghadirkan tanya ketimbang jawaban. Seusai menonton, saya menemukan lebih banyak kisah luar biasa di internet. Tapi apakah aktivitas itu bakal terjadi tanpa City of Ghosts? Mungkin tidak. Film ini membuka mata saya. (4/5)
Victoria & Abdul (2017)
Bayangkan film soal masa kolonialisme Hindia Belanda di mana orang Indonesia diminta mempersembahkan penghargaan bagi Wilhelmina, berinisiatif mencium kaki sang Ratu, bersahabat dengannya, memilih meninggalkan tanah air dan hidup mewah di Kerajaan Belanda. Tidak peduli betapa piawai Stephen Frears (Florence Foster Jenkins, Philomena) merangkai momen jenaka berbentuk olok-olok pada manusia haus kuasa, pemujaan Abdul (Ali Fazal) terhadap Ratu Victoria (Judi Dench) adalah pemandangan mengganggu. Victoria pun menyukai Abdul, bahkan menjadikannya Munshi (Guru) hingga seisi Istana kocar-kacir. Victoria & Abdul punya niat baik menuturkan keberhasilan korban rasisme (Abdul seorang muslim India) menggoyang kenyamanan penguasa, tapi naskah yang dangkal gagal menekankan intensi Abdul selain keinginan memperbaiki hidup, mengesankan dia hanya social climber biasa. Ada usaha memanusiakan Victoria sebagai wanita tua kesepian sekaligus humanis yang memperjuangkan hak minoritas. Lucu, sebab dia yang mengawali nyaris 100 tahun pendudukan Inggris di India. Setidaknya Judi Dench luar biasa melakoni dua sisi Victoria: pimpinan sinis nan intimidatif di depan bawahan, wanita ramah tapi rapuh yang membutuhkan kawan di depan Abdul. Victoria & Abdul bagai bangsawan yang coba merakyat, mengunjungi perkampungan sambil melambaikan tangan dari dalam mobil mewah. (2/5)
Marjorie Prime (2017)
Di suatu versi masa depan, orang mati dapat diwujudkan kembali sebagai kecerdasan buatan berbentuk hologram yang disebut "Prime". Marjorie (Lois Smith), wanita tua penderita demensia menghabiskan hari mengobrol bersama Prime yang memiliki wajah mendiang suaminya, Walter (Jon Hamm) kala muda. Memori Walter Prime (demikian ia dipanggil) berasal dari informasi yang disediakan Marjorie, pula puterinya, Tess (Geena Davis) dan sang suami, Jon (Tim Robbins). Mereka bicara soal kenangan, baik yang indah, maupun yang menjadi indah karena ditutupinya fakta-fakta menyedihkan. Mengadaptasi naskah teater berjudul sama, sutradara sekaligus penulis naskah Michael Almereyda menyusun Marjorie Prime dengan pembicaraan lirih selaku perenungan mengenai memori. Almereyda menebar magis melalui deretan dialog, yang bagi karakternya bagai terapi. Marjorie berusaha mengumpulkan keping-keping ingatan yang tersisa sedangkan Tess ingin memperbaiki hubungan dengan ibunya. Para Prime mungkin bukan manusia utuh, tapi menolong manusia menemukan keutuhan. Ditutup pembicaraan menyihir, Marjorie Prime menampilkan kondisi kala Manusia dan A.I. saling mengisi alih-alih mengancam. (4.5/5)
15 FILM INDONESIA TERPILIH 2017
Terinspirasi dari Piala Maya, saya memakai istilah "Terpilih" karena beberapa alasan. Pertama, tidak adil rasanya menyebut "Terbaik" apabila tidak semua film Indonesia yang rilis saya tonton, di mana total hanya 85 judul berhasil disantap tahun ini baik pada penayangan reguler maupun festival. Kedua, ini bukan ajang penghargaan yang melibatkan juri dari beragam latar keahlian. 15 judul di bawah adalah pilihan pribadi yang dipengaruhi selera, sudut pandang, sekaligus pengalaman hidup selama setahun terakhir. Bukan mustahil, jika kelak diminta menyusun daftar serupa, urutannya bakal berubah. Untuk sekarang, inilah "15 Film Indonesia Terpilih 2017" versi Movfreak. (Beberapa film seperti Istirahatlah Kata-Kata, Turah, dan Salawaku sudah masuk di daftar tahun lalu).
15. GALIH & RATNA
Lucky Kuswandi sanggup menghidupkan lagi kisah cinta klasik sembari menyinggung beragam permasalahan yang relevan di masa kini, baik di dalam maupun luar lingkup dunia SMA. Sederhana, tanpa kehilangan sisi manis. Bila mixtape kembali populer sebagai alat ekspresi cinta, Galih & Ratna rasanya turut berjasa. (Review)
14. ZIARAH
Mengadopsi klenik Jawa sebagai motor penggerak kisah pemahaman hidup lewat pencarian seorang nenek terhadap makam suaminya. Walau masih jauh dari maksimal khususnya terkait penyaluran emosi kepada penonton, tema serupa takkan muncul lagi di perfilman kita dalam waktu dekat. (Review)
13. DEAR NATHAN
Film yang melambungkan nama Jefri Nichol sebagai idola baru remaja, dan sejauh ini masih film terbaik sang aktor. Jika anda mempertanyakan kenapa Jefri dan Amanda Rawles bagai satu paket, Dear Nathan jawabannya. Chemistry solid keduanya mencuatkan romantisme kuat. (Review)
12. BID'AH CINTA
Film religi terbaik Indonesia selama beberapa waktu terakhir setelah Mencari Hilal. Nurman Hakim berani menyenggol praktik Islam yang kaku tanpa melakukan penghakiman berat sebelah. Beragama adalah soal toleransi. Poin yang semestinya dimengerti masyarakat negeri ini. (Review)
11. KARTINI
Andai Hanung bersedia menekan sedikit lagi unsur dramatisasi penuh tangis, niscaya Kartini bertengger di posisi lebih tinggi. Dituturkan dengan pace cermat selaku bukti pengalaman sang sutradara, dibungkus sinematografi indah, disokong akting luar biasa jajaran pemain. (Review)
10. NIGHT BUS
Benar bahwasanya masalah teknis menyelimuti film ini, tapi keunikan serta relevansi tema sekaligus intensitas yang terjaga rapi menjadikan Night Bus thriller yang tak membosankan meski ditonton berulang kali. Kemenangan besar bagi seorang Teuku Rifnu Wikana baik sebagai aktor dan penulis naskah (bersama Rahabi Mandra). (Review)
9. MOBIL BEKAS DAN KISAH-KISAH DALAM PUTARAN
Kesunyian pembungkus tempo lambatnya mungkin menjauhkan beberapa kalangan penonton, tapi Mobil Bekas membuktikan kapasitas Ismail Basbeth sebagai sineas serba bisa. Dirangkainya kondisi sosial-politik Indonesia dalam bingkai perjalanan misterius. (Review)
8. NYAI
Ketika Moon Cake Story membuat saya meragukan apakah Garin Nugroho masih sutradara papan atas Indonesia, Nyai (dan eksperimen lainnya, Setan Jawa) membantah keraguan tersebut. Membawa pertunjukan teater ke layar lebar dalam pengambilan gambar tanpa putus selama 90 menit adalah prestasi luar biasa. (Review)
7. BANDA THE DARK FORGOTTEN TRAIL
Apakah dokumenter karya Jay Subiakto ini sekedar gaya minim substansi? Mungkin, tapi keberhasilan mengangkat sejarah jalur rempah yang di atas kertas kurang menarik jadi tontonan dinamis jelas memikat. Jangan lupakan kemampuan narasumber menuturkan cerita-cerita informatif yang terkadang mencekam. (Review)
6. PENGABDI SETAN
Film Indonesia terlaris sekaligus paling ramai dibicarakan tahun ini. Horor yang kerap dipandang sebelah mata disulap oleh Joko Anwar jadi suguhan roller coaster dengan jump scare kreatif, dibarengi drama keluarga menyentuh plus alur cerdik yang mengundang diskusi panjang penonton. (Review)
5. BALADA BALA SINEMA
Mengungkap perjuangan komunitas film independen di Purbalingga, merupakan progres natural saat alur Balada Bala Sinema turut bicara tentang perlawanan terhadap pembungkaman hak berekspresi sebagaimana diperlihatkan paruh akhir yang begitu menyulut emosi. (Review)
4. CRITICAL ELEVEN
Silahkan sebut film ini berlebihan atau karakternya menyebalkan. Saya melihat adaptasi novel Ika Natassa ini amat peka dalam menghadirkan konflik dalam lingkup rumah tangga, pun hubungan anak-orang tua. Dua kali menonton, dua kali pula saya menangis mendengar petuah Widyawati dan Slamet Rahardjo. (Review)
3. POSESIF
Saya masih kukuh bersikap mengenai apakah Posesif pantas masuk nominasi FFI. Namun itu persoalan legalitas, bukan kualitas. Karena bicara kualitas, tidak ada romansa remaja sebaik Posesif tahun ini. Naskahnya jeli menggarap penokohan, sementara Putri Marino memberikan star-making performance. (Review)
2. SWEET 20
Sebuah paket lengkap. Tawa hingga tangis tumpah dalam remake untuk Miss Granny ini. Apabila ada film lokal yang wajib diputar sebagai tontonan keluarga setiap liburan, Sweet 20 jawabannya. Seperti Putri Marino lewat Posesif, Tatjana Saphira mengukuhkan status bintangnya berkat Sweet 20. (Review)
1. MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK
Adakah film Indonesia tahun ini secerdas Marlina perihal menyelipkan subteks? Adakah film Indonesia tahun ini seunik Marlina di seluruh aspek teknis? Adakah film Indonesia tahun ini sejeli Marlina dalam mengawinkan beberapa genre?Adakah film Indonesia tahun ini serevolusioner Marlina? Adakah film Indonesia tahun ini yang sebaik Marlina? Jawaban seluruh pertanyaan di atas adalah TIDAK. Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak merupakan salah satu film Indonesia terbaik beberapa tahun terakhir yang sudah sepantasnya mewakili negeri ini pada Oscar 2019. Setidaknya peluang mencapai December Shortlist (9 besar) cukup terbuka. (Review)
SURAT CINTA UNTUK STARLA THE MOVIE (2017)
Rasyidharry
Desember 30, 2017
Caitlin Halderman
,
Indonesian Film
,
Jefri Nichol
,
Kurang
,
Ramzy
,
REVIEW
,
Ricky Cuaca
,
Romance
,
Rudi Aryanto
,
Sukhdev Singh
,
Teuku Ryzki
,
Tisa TS
8 komentar
Memerankan empat tokoh serupa dalam empat romansa sepanjang 2017, Jefri Nichol mesti berpindah haluan sejenak tahun depan. Sebelumnya, bolehlah kita sekali lagi menikmati Nichol sebagai bad boy yang (diam-diam) berhati emas. Dia memang terlahir untuk karakter demikian. Dan adaptasi layar lebar lagu buatan Virgoun yang sempat pula diangkat menjadi web series berjudul sama ini jelas memfasilitasi bakat sang aktor.
Jefri menjadi Herma Chandra, remaja yang sulit diatur, seniman graffiti jalanan yang kerap diburu polisi, enggan berkuliah, ke mana-mana mengendarai mobil tua sambil menenteng mesin tik peninggalan mendiang kakeknya. Singkatnya, Herma adalah hipster. Gemar menghabiskan waktu di cafe hipster pula. Tapi dia juga pecinta alam, mengutuk mereka yang membuang sampah sembarangan. Karena tokoh dalam film remaja arus utama kita wajib memiliki kompas moral supaya penonton ABG bisa mengambil contoh, bukan?
Pasangannya tak lain Starla (Caitlin Halderman), gadis kaya pemilik coffee shop yang pertunangannya baru saja kandas. Jika Jefri masih sering lemah soal pengucapan dialog, Caitlin lebih dinamis. Meski berparas cantik dan berasal dari kalangan atas, ia bukan puteri glamor macam aktris Screenplay lain, sebutlah Michelle Ziudith. Caitlin sebagai Starla merupakan gadis idola manis yang dapat kita jumpai di kehidupan nyata. Itulah mengapa sosoknya mudah disukai. Diawali kesalahpahaman, Starla justru jatuh cinta pada Herma, pun sebaliknya.
Dipandang lewat segi filmis, Surat Cinta Untuk Starla jelas penuh cacat. Dialog berupa kalimat puitis yang dipaksa bersatu ketimbang pembicaraan natural manusia, flashback yang tak terjahit rapi dengan setting masa kini, sampai twist tak substansial selaku pemenuhan obligasi terhadap ciri Screenplay. Tapi beda ceritanya bila memandang film ini drama romantika "kental sakarin" dengan tujuan tunggal memancing jeritan penonton muda, tepatnya golongan SMA ke bawah. Di sela-sela romansa, Ramzy dan Ricky Cuaca memberi bumbu komedi tak lucu, sedangkan Teuku Ryzki alias Kiki menegaskan bahwa personil CJR yang mampu berakting hanya Iqbaal.
Walau dangkal, saya urung menentang hiburan seperti itu. Surat Cinta Untuk Starla sanggup membuat para gadis berteriak tiap Jefri Nichol bicara atau membelai wajah Caitlin Halderman (sebelum akhirnya bicara juga). Suatu hari mereka bakal beranjak dewasa, tak lagi menggemari gaya percintaan demikian, lalu geleng-geleng kepala melihat generasi lebih muda yang tergila-gila. Bukan masalah. Ini yang disebut proses perkembangan.
Sama halnya proses berkarya Screenplay yang perlahan berkembang. Biarpun duet penulis naskah, Tisa TS dan Sukhdev Singh jalan di tempat, kehadiran Rudi Aryanto (dulu membuat judul "legendaris", Psikopat) menggantikan Asep Kusdinar sebagai sutradara sedikit menghasilkan rasa baru. Mementingkan fokus pada kedua tokoh alih-alih pemandangan (yang tak lagi memakai setting luar negeri mewah) kala terjadi interaksi, hubungan Herma-Starla terjalin melalui obrolan yang memaksimalkan pesona dua pemain utama. It's more about relationship than luxury. Andai naskahnya tak coba tampil rumit secara berlebihan dalam merangkai twist yang berakhir bak benang kusut.
PITCH PERFECT 3 (2017)
Rasyidharry
Desember 28, 2017
Anna Kendrick
,
Comedy
,
Hailee Steinfeld
,
Hana Mae Lee
,
John Lithgow
,
Kay Cannon
,
Kurang
,
Mike White
,
Musical
,
Rebel Wilson
,
REVIEW
,
Trish Sie
12 komentar
Pitch Perfect 3 ibarat kembalinya sebuah band yang pernah berjaya, namun secara setengah hati, diisi album baru tanpa materi memadahi, pula tur ala kadarnya yang semata bersifat obligasi. It's all about money with no energy and creaticity. Ironisnya, hal yang mirip dialami The Barden Bellas. Selepas gagal menyesuaikan diri dalam realita selepas universitas, mereka bereuni, mencoba lagi peruntungan di panggung hanya untuk mendapati kejayaan masa lalu sulit diulangi. Inilah saat realita (secara kebetulan) mengimitasi karya, sayangnya dalam konteks negatif.
Jajaran cast sama, skenario pun masih dikerjakan oleh Kay Cannon dan Mike White, tapi bangku sutradara kini ditempati Trish Sie. Harapannya, pengalaman menggarap Step Up: All In (2014) menghasilkan sekuen musikal sedap. Namun pesona Bellas lenyap ketika Sie membungkus performa mereka bagai siaran ajang pencarian bakat menyanyi di televisi. Pun kelompok pesaing, Evermoist, band yang terdiri atas empat wanita, ikut melempem. Bergaya serupa rockstar, mereka membawakan pop-rock generik dengan aksi panggung medioker.
Sepertinya daya kreasi Pitch Perfect yang lima tahun lalu menjadikan gelas plastik alat musik keren menguap bersama kesuksesan The Bellas. Beca (Anna Kendrick) adalah produser bagi lagu busuk milik rapper keras kepala, Fat Amy (Rebel Wilson) menganggur sambil sesekali memparodikan Amy Winehouse di tengah kota, sementara anggota lain tidak lebih beruntung. Berniat meraih kejayaan lagi, The Bellas nekat ambil bagian pada tur dunia guna mengibur militer Amerika Serikat yang diselenggarakan oleh United Service Organization (USO).
Realisasi terhadap realita merupakan tema utama, yang mana lebih dewasa dibanding kedua pendahulunya. Bagaimana proses The Bellas mencapai titik tersebut? Itu yang semestinya dijawab alih-alih sibuk mengotak-atik unsur sampingan tak perlu. Momen pembukanya mencuatkan pertanyaan: Apa esensi ledakan ala suguhan laga dalam film seputar grup akapela? Pasca konteksnya dipaparkan pun, fungsinya selain menghabiskan bujet nyaris tiga kali lipat film pertama tetap jadi pertanyaan. Dan pertemuan Fat Amy dengan ayahnya (John Lithgow) hanya ada untuk membuka jalan menyelipkan adegan bombastis di atas.
Sebagai film musik dengan konflik kompetisi musik, mestinya intensitas muncul karena kompetisi tersebut, perseteruan antar peserta, perjuangan tokoh utama mencapai tujuan (entah soal mengejar kemenangan atau penerimaan diri), tidak perlu tetek bengek penculikan berbumbu ledakan. That's cheap. Anna Kendrick dan Hailee Steinfeld sebagai Emily masih mempesona di atas panggung, tapi story arc Beca dangkal dan membosankan, sedangkan Emily lebih parah, sebatas penggembira. Fat Amy selaku "sumber derita" mampu memancing tawa, demikian juga absurditas Lilly (Hana Mae Lee), namun Pitch Perfect 3, dengan sekelompok protagonis wanita berbeda kepribadian dan latar seharusnya lebih berwarna. Sayang, naskahnya kelabakan membagi fokus.
Pertanyaan terpenting: Apakah Pitch Perfect 3 menyenangkan? Komedinya cukup efektif mengocok perut. Mayoritas nomor musikalnya kurang berkesan, walau tatkala The Bellas membawakan Toxic, sulit rasanya menahan tubuh ikut bergoyang biarpun sedikit. Ya, dalam film di mana para protagonis disindir sebagai grup karaoke karena cuma menyanyikan karya orang lain, cover bagi lagu rilisan awal 2000-an justru jadi yang paling memorable. Pitch Perfect 3 memang reuni setengah hati. The Bellas need another new cups if they want to comeback (again).
THE GREATEST SHOWMAN (2017)
Rasyidharry
Desember 24, 2017
Hugh Jackman
,
Lettie Lutz
,
Lumayan
,
Michael Gracey
,
Michelle Williams
,
Musical
,
REVIEW
,
Seamus McGarvey
,
Zac Efron
,
Zendaya
7 komentar
Silahkan buka Google, lalu ketik "Ringling Bros. and Barnum & Bailey Circus" di kolom pencarian gambar. Anda akan melihat penari dan badut memakai kostum aneka warna, hewan-hewan melakukan atraksi, panggung dengan tata artistik meriah. Sirkus itu berhenti beroperasi sejak 21 Mei 2017. Film debut sutradara Michael Gracey ini coba menghidupkan kemegahan serupa di layar lebar, melempar penonton ke 146 tahun lalu saat P. T. Barnum mendirikan Ringling Bros. and Barnum & Bailey Circus yang juga disebut "The Greatest Show on Earth".
Daripada otentitas, pertunjukan Barnum (diperankan Hugh Jackman lewat karisma tanpa tanding) mengedepankan keajaiban supaya publik terperangah, terpukau, tertawa. "Penontonmu tampak lebih bahagia begitu keluar daripada saat masuk", demikian ungkap Phillip Carlyle (Zac Efron), penulis naskah teater yang kelak jadi partner Barnum. Festive and fun entertainment. Itu tujuannya, tak peduli meski sedikit trik perlu diterapkan: menyumpal perut pria tergemuk dengan bantal, memakaikan egrang di kaki pria tertinggi. Bukan sepenuhnya penipuan, hanya melebih-lebihkan atas nama hiburan.
The Greatest Showman mengusung tujuan yang sama, sehingga musikal adalah pilihan tepat, sebab biopic formulaik takkan sanggup mewakili pesta pora di panggung Barnum. Untuk mencapai tujuannya, Pasek & Paul menulis lagu-lagu bertempo menghentak, riuh oleh instrumen serta gemuruh vokal para cast. Film ini menyadari potensi menjadi hiburan meriah, membuatnya berusaha keras (selalu) mengejar kemeriahan itu sejak The Greatest Show selaku nomor pembuka berkumandang, ketimbang memilah berdasarkan ketepatan emosi. Deretan lagu yang bagai versi overproduced dari Fall Out Boy yang sukar dibedakan satu sama lain pun dipoles terlalu mulus di studio, berujung melucuti emosi asli aktor.
Tidak bisa dipungkiri tata dekorasi yang melukiskan semarak sirkus di puncak popularitasnya mengundang decak kagum. Sinematografi arahan Seamus McGarvey (Atonement, The Avengers) punya imaji lebih dari cukup guna merealisasikan pertunjukan visioner P. T. Barnum. Jajaran pemain juga penuh totalitas menangani kompleksitas tiap koreografi. Zendaya sebagai Anne, seniman trapeze, mudah membuat jatuh hati, sementara Lettie Lutz si Wanita Berjenggot mengajak kita bersorak mendukung seruannya. Namun bayangkan menonton La La Land yang seluruhnya terdiri atas momen epilog. Fenomenal, namun sihirnya tak bekerja maksimal bila disajikan terus menerus.
This Is Me dan Rewrite the Stars merupakan nomor musikal paling berhasil, karena mengandung lebih dari sekedar kemegahan: melawan segregasi dan ungkapan cinta. Adegan Barnum dan sang istri, Charity (Michelle Williams) turut bicara soal cinta, tetapi purnama di langit serta tarian Williams menembus lembar-lembar seprai putih tidak seintim maupun seromantis pertukaran rasa Anne dan Phillip. Anne melayang lincah di langit-langit, seolah ingin terbang meninggalkan Phillip, namun tatapannya sulit lepas dari sang pria kulit putih terpandang. Sedangkan Phillip terus berjuang menggapai cintanya.
Naskah karya Jenny Bicks dan Bill Condon mungkin tidak memberi ruang guna meresapi jatuh-bangun kehidupan Barnum yang penuh gejolak pula kontroversi, tapi cukup untuk membuat penonton sebatas memahami. Dia mengumpulkan orang-orang terpinggirkan, menyediakan mereka kesempatan disorot layaknya bintang, karena dia sendiri dipandang sebelah mata. Dia berjuang karena enggan melihat puteri-puteri kesayangannya sengsara seperti dirinya dahulu, meski hal ini menyeret Barnum pada sisi gelap kesuksesannya. Barnum menyuguhkan hiburan, mengajak penonton tertawa, karena lelah mendapati keseharian yang terkekang oleh kesuraman.
SUSAH SINYAL (2017)
Rasyidharry
Desember 22, 2017
Abdur Arsyad
,
Adinia Wirasti
,
Arie Kriting
,
Asri Welas
,
Aurora Ribero
,
Chew Kin Wah
,
Comedy
,
Cukup
,
Dodit Mulyanto
,
Drama
,
Ernest Prakasa
,
Ge Pamungkas
,
Indonesian Film
,
Niniek L. Karim
,
Refal Hady
,
REVIEW
16 komentar
Apakah Ernest Prakasa kelelahan? Atau ia belum menemukan formula mengolah kisah di luar sentilan kultur Cina yang kali ini hanya muncul sekelebat sebagai balutan humor sesaat? Masih menggunakan perpaduan drama keluarga dan komedi "acak" serupa Ngenest dan Cek Toko Sebelah, kedua unsur tersebut sesekali tersampaikan, namun tak jarang luput dari sasaran, kurang mulus pula dikawinkan. Koneksi dengan penonton timbul tenggelam, kadang lancar, kadang terganggu. Sepertinya film ini tengah mengalami susah sinyal.
Seperti kebanyakan drama serupa, hubungan berjarak antara orang tua dan anak film ini disebabkan urusan pekerjaan. Ellen (Adinia Wirasti), pengacara sukses sekaligus ibu tunggal, jarang meluangkan waktu bersama puterinya, Kiara (Aurora Ribero), yang lebih terikat dengan kehidupan media sosial dan sang nenek, Agatha (Niniek L Karim). Di suatu malam, sepulang kerja, Ellen berusaha terlibat pembicaraan tentang film favorit Kiara, Moana, tapi justru menyebut Lilo & Stitch. Nenekmu lebih tahu film yang kamu cintai daripada ibumu, yang notabene jarang memberi perhatian. Tentu menyakitkan.
Alhasil, wajar Kiara amat terpukul saat nenek meninggal. Mengetahui itu, Ellen mengabulkan keinginan Kiara berlibur ke Sumba, sembari berharap menemukan sinyal yang terputus di antara mereka. Tapi liburan ke tempat di mana Asri Welas, Arie Kriting, Abdur Arsyad, Ge Pamungkas, sampai Chew Kin Wah yang menikahi Selfi KDI berkumpul, jelas takkan berlangsung normal. Ernest menyediakan panggung melucu seliar mungkin. Asri yang lebih kalem tetap mengocok perut kala memperagakan capoeira, pun Ge sebagai tokoh penuh trauma yang memfasilitasi gaya ekspresifnya.
Keliaran komedi, yang acap kali tak terkait alur utama, berhasil sebagai bumbu penyedap dalam Cek Toko Sebelah. Susah Sinyal memunculkan kesan berbeda. Menulis naskahnya bersama sang istri, Meira Anastasia, Ernest bagai menabur bumbu terlalu banyak demi menutupi kekurangan di bahan pokok, alias alur yang tipis. Kelakar Arie dan Abdur misalnya. Menggelitik, namun seketika kehilangan daya bunuh sewaktu hadir berkepanjangan. Titik tertinggi komedi film ini terletak pada guyonan sekilas dengan kesempurnaan timing, seperti Asri Welas yang cenderung serius sehingga dampaknya berlipat ganda saat celotehan yang dinanti tiba, atau absurditas Dodit Mulyanto yang mengisi sesuai kebutuhan, tak dieksploitasi.
Ellen berharap perjalanan ke Sumba merekatkan hubungannya dengan Kiara. Kita menghabiskan sepertiga durasi di sana, melewati berbagai peristiwa, termasuk ketertarikan Kiara pada karyawan hotel bernama Abe (Refal Hady), sayangnya itu semua bukan quality time. Terlampau sering distraksi hadir, keduanya telah menemukan kembali sinyal yang terputus sebelum penonton sempat direnggut oleh gesekan yang terjadi. Film ini membawa karakternya ke Sumba, lalu seolah bingung mesti berbuat apa pada mereka. Aspek teknis pun gagal membantu, baik pilihan shot ala kadarnya (Ernest pernah melahirkan gambar luar biasa kuat berupa Chew Kin Wah bersandar di tiang toko kosong dalam Cek Toko Sebelah) maupun transisi kasar musik selaku cue emosi.
Untungnya Susah Sinyal punya Adinia Wirasti, seorang aktris langka yang sanggup menyulap obrolan kasual jadi menarik. Bersama debut memikat Aurora Ribero dalam gaya sinis yang menjadikan ketakutan Ellen mendekatinya terasa masuk akal, Adinia menghembuskan nyawa, menghindarkan filmnya dari kehampaan total. Susah Sinyal is a step back. Tapi bukan kemunduran jauh, apalagi suguhan buruk. Ernest selalu belajar, dan itu membuat kepercayaan saya padanya tidak luntur.
AYAT-AYAT CINTA 2 (2017)
Rasyidharry
Desember 22, 2017
Alim Sudio
,
Arie Untung
,
Chelsea Islan
,
Dewi Irawan
,
Dewi Sandra
,
Drama
,
Fedi Nuril
,
Guntur Soeharjanto
,
Ifan Ismail
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Nur Fazura
,
REVIEW
,
Romance
,
Tatjana Saphira
,
Tya Subiakto
52 komentar
SPOILER ALERT: Fahri kembali menikah di sekuel ini. Melihat track record karakter yang diperankan Fedi Nuril dalam beberapa film religi, fakta tersebut bukan kejutan. Pertanyaannya, dengan siapa? Karena seperti film pertama saat ia diperebutkan Aisha, Maria, Noura sampai Nurul, Fahri masih pria mulia idola wanita. Sesungguhnya penokohan Fahri memang hanya tersusun atas dua kata: mulia dan idola. Pintar, kaya, dan tampan bisa disertakan, tapi tetap tidak menambah kedalaman. Fahri begitu sempurna, sisi manusiawinya nyaris lenyap.
Kini dia tinggal di Edinburgh, Skotlandia, hidup mapan sebagai dosen yang rutin menerima setumpuk hadiah makanan dari penggemar. Tapi hatinya urung tergoda, setia menanti Aisha yang hilang, diduga meninggal di Palestina. Alih-alih dibenamkan kesedihan, Fahri memilih membantu orang-orang tanpa pandang bulu, dari Nenek Catarina (Dewi Irawan dalam kepiawaian bermain rasa) yang seorang Yahudi hingga Keira (Chelsea Islan) yang menyalahkan umat Islam akibat kematian sang ayah. Bisa diduga, kebaikan Fahri layaknya magnet penarik cinta wanita. Hulya (Tatjana Saphira), sepupu Aisha yang hendak menempuh S2, Brenda (Nur Fazura), pengacara yang kerap dia tolong, Sabina (Dewi Sandra), imigran yang ia pekerjakan, semua jatuh hati. Pun menengok trailer-nya, kita tahu pada satu titik, kebencian Keira berubah jadi permohonan agar dinikahi.
Ketiadaan cela dalam diri Fahri menjadikan Ayat-Ayat Cinta 2 sebatas kumpulan episode yang merekam kebaikan-kebaikannya, menutupi gejolak batin soal upaya mengikhlaskan kepergian Aisha. Ini satu-satunya pertanda Fahri masih manusia. Dia menangis menyadari kesedihan pembentuk kelemahannya. Tapi sebelum beranjak menuju eksplorasi lebih jauh, masalah usai pasca obrolan singkat dengan sahabat lamanya, Misbah (Arie Untung). Fahri memperoleh pencerahan agar merelakan sang istri, mengikuti kata hati untuk menikah lagi. Mencapai film kedua, rupanya dilema Fahri tetap berkutat seputar menikah atau tidak.
Bahkan proses mencari keikhlasan itu berakhir sia-sia, karena melihat konklusi yang ditawarkan, Fahri justru makin terjebak di masa lalu. Belum lagi ditambah "keajaiban" medis serta keberadaan twist yang terkesan membohongi, paruh akhir Ayat-Ayat Cinta 2 cenderung memancing tawa daripada haru. Setidaknya bagi penonton umum seperti saya, sebab target pasar utama filmnya yaitu para akhwat pemuja Fedi Nuril terdengar berteriak histeris sembari berurai air mata. Saya memutuskan menahan tawa demi menghormati mereka, sebagaimana Ayat-Ayat Cinta 2 menghormati kelompok penonton yang punya perbedaan cara pandang.
Naskah buatan Alim Sudio dan Ifan Ismail mungkin dangkal mengkaji debat soal toleransi dalam Islam, termasuk mengenai perlakuan terhadap wanita yang dijawab seadanya. Namun jalan pikir film ini tak sesempit perkiraan Meski penempatannya kurang mulus, dialog tentang Pancasila menunjukkan filmnya coba menghargai keragaman. Tidak ada ceramah menggurui, dan itu patut diapresiasi. Tentu terdapat perbedaan ideologi, yang apabila dikeluhkan, saya sama saja dengan para fanatik yang membabi buta membela kepercayaannya.
Ayat-Ayat Cinta 2 bakal berhasil di pasaran, namun takkan mencapai tingkat fenomena setara film pertama yang dibekali setting perkampungan Kairo plus scoring bernuansa etnik garapan Tya Subiakto dan lagu-lagu ikonik yang dibawakan Rossa. Ditangani Guntur Soeharjanto, kemewahan dan kemegahan dipentingkan, membuat filmnya nampak terlalu mirip suguhan religi berlokasi luar negeri kebanyakan, sebutlah 99 Cahaya Di Langit Eropa yang juga karya Guntur. Suguhan religi berlokasi luar negeri dengan tokoh-tokoh Eropa atau Timur Tengah berwajah Indonesia dan fasih bicara Bahasa Indonesia.
JUMANJI: WELCOME TO THE JUNGLE (2017)
Rasyidharry
Desember 21, 2017
Adventure
,
Bobby Cannavale
,
Comedy
,
Dwayne Johnson
,
Jack Black
,
Jake Kasdan
,
Karen Gillan
,
Kevin Hart
,
Lumayan
,
REVIEW
14 komentar
Banyak film berbasis video game menutup mata akan gameplay sumber materinya sehingga gagal menghasilkan pengalaman yang sama. Sebagai adaptasi kegiatan menyenangkan, mereka bersikap terlalu serius. Seperti kita tahu, Jumanji: Welcome to the Jungle adalah sekuel Jumanji (1995) yang diangkat dari buku anak buatan Chris Van Allsburg. Tapi jika timbul pertanyaan "film apa yang menimbulkan kesan serupa bermain video game?", inilah jawabannya. Gamers bakal tertawa sambil mengangguk paham mendapati beragam referensinya, penonton umum pun takkan terasing dan tersesat, sementara keempat tokoh utamanya tersesat di suatu dunia asing.
Dunia itu berada dalam video game. Ya, Jumanji yang 22 tahun lalu berbentuk papan permainan kini adalah Nintendo 90-an. Jangan tanya bagaimana. Anggap saja keajaiban. Keajaiban serupa turut mengubah Spencer, Bethany, Fridge, dan Martha, dari kuartet siswa SMA bermasalah menjadi tokoh video game. Ini membahagiakan bagi Spencer, yang memiliki otot besar sebagai Dr. Smolder Bravestone (Dwayne Johnson) atau Martha sebagai Ruby Roundhouse (Karen Gillan) yang atletis pula jago berkelahi sambil menari. Sebaliknya, Fridge dibuat kesal akibat perawakan tinggi tegapnya mengkerut saat menempati badan Moose Finbar (Kevin Hart).
Setidaknya penderitaan Fridge tidak setara Bethany. Hilang sudah paras cantik dan rambut pirang (dan telepon genggam), berganti jenggot lebat dan perut buncit Professor Sheldon Oberon (Jack Black). Melihat Dwayne Johnson kagum pada tubuh kekarnya, sebagaimana kita para manusia biasa kerap rasakan Kevin Hart heboh mengeluhkan keadaan, hingga ketangguhan bertarung serta kecanggungan Karen Gillan berlagak seksi jelas menghibur. Namun Jack Black dengan tingkah "anggun" yang bukan parodi murahan terhadap pria feminin memberi pesona terkuat, bukti bahwa sang komedian belum habis.
Perjalanan berikutnya sederhana. Keempatnya mesti menyelamatkan dunia Jumanji, menjelajahi hutan, menghadapi serbuan kudanil buas, segerombol badak, sampai ular berbisa. Kemasan aksi dalam penyutradaraan Jake Kasdan (Bad Teacher, Sex Tape) memang menyenangkan walau detail tiap set-piece mudah terlupakan begitu kita meninggalkan bioskop. Menariknya, justru para karakter yang dapat bertahan lama di ingatan berkat penokohan khas, juga porsi merata, baik momen aksi maupun komedi. Bermain video game perlu pemikiran taktis, dan mereka berempat memperlihatkan itu kala menghadapi setumpuk rintangan.
Jatah nyawa, NPC (Non-Player Character) dengan kemampuan bicara sebatas instruksi samar bak sandi, merupakan segelintir cara Jumanji: Welcome to the Jungle bersenang-senang menggunakan ciri video game. Tidak muluk pula usungan pesannya, sekedar "we can make new friends by playing multiplayer video game", yang mana kerap terjadi di keseharian kita. Kisah persahabatan (berbumbu romansa) ditangani dengan baik, menciptakan penutup hangat meski tidak mencapai level emosional setinggi reuni Alan dan Sarah di film pertama.
Jumanji: Welcome to the Jungle memilih menekan nostalgia secukupnya, hanya secuil referensi berupa nama dua tokoh, termasuk versi lain Van Pelt (Bobby Cannavale) selaku antagonis. Tidak seperti pendahulunya, Jumanji: Welcome to the Jungle takkan meraih status tontonan keluarga klasik, apalagi di tengah seringnya keterlibatan Dwayne Johnson pada suguhan aksi petualangan. Pun empat bulan lagi, kita segera melihatnya memerankan action hero, bertarung melawan hewan-hewan liar di tengah hutan belantara (sebelum berlanjut ke pusat kota) sambil mengenakan kemeja berwarna abu-abu yang sama dalam Rampage. But this is fun and that should be enough.
THE KILLING OF A SACRED DEER / BRIGSBY BEAR / CAPTAIN UNDERPANTS: THE FIRST EPIC MOVIE
Rasyidharry
Desember 18, 2017
Animated
,
Bagus
,
Barry Keoghan
,
Colin Farrell
,
Comedy
,
DaveMcCary
,
David Soren
,
Drama
,
Ed Helms
,
horror
,
Jordan Peele
,
Kevin Hart
,
Kyle Mooney
,
Mark Hamill
,
Nick Kroll
,
REVIEW
,
Thomas Middleditch
,
Yorgos Lanthimos
8 komentar
Saat saya merasa 2017 tidak bisa lebih gila pasca menyaksikan Mother!, The Killing of a Sacred Deer yang membawa Yorgos Lanthimos dan Efthymis Filippou memenangkan naskah terbaik di gelaran Festival Film Cannes akhir Mei lalu justru mampu lebih menghantam jiwa daripada karya Darren Aronofsky tersebut. Sebaliknya, Brigsby Bear buatan DaveMcCary menghangatkan jiwa lewat aura positif yang dimiliki, begitu pula Captain Underpants: The First Epic Movie selaku adaptasi dari buku cerita anak Captain Underpants yang imajinatif.
Dalam naskah pertunjukan Iphigenia in Aulis yang dipentaskan pada 405 SM, Agamemmon, pemimpin koalisi Yunani, tidak sengaja membunuh rusa suci milik Artemis. Sebagai balasan, Artemis mengirim badai, memaksa Agamemmon mengorbankan puterinya, Iphigenia, agar badai itu berhenti. Dalam The Killing of a Sacred Deer, keluarga ahli bedah bernama Steven (Colin Farrell) lumpuh dan bakal mati mengenaskan kecuali ia bersedia membunuh satu dari mereka. Kelalaian saat operasi yang mengakibatkan kematian pasien jadi penyebab "kutukan". Martin (Barry Keoghan sebagai tokoh paling mengerikan tahun ini), putera si pasien, mewakili peran Artemis. Seperti biasa, karakter ciptaan Lanthimos bicara dalam nada datar, membangun suasana yang tambah mengerikan seiring tirai cerita tersingkap. Belum lagi ditambah iringan musik menyayat. Metode itu turut berfungsi memaparkan soal "topeng". Semanis apapun lip service diucapkan karakternya, tiada ekspresi tampak. Sebaliknya, mereka bernyawa kala meluapkan kejujuran, walau teramat buruk dan kejam. Di tangan Lanthimos, konflik batin mendorong kesan hilangnya kemanusiaan baik secara fisik maupun mental, menghasilkan setumpuk pemandangan tidak nyaman. Ironisnya, justru saat itu wajah asli manusia terungkap. (4/5)
Brigsby Bear bicara mengenai dampak budaya populer, bahkan menyertakan Mark Hamill selaku ikon geekdom dalam penampilan singkat yang membuat para penggemar berharap ia lebih banyak memamerkan talenta voice acting-nya. Protagonisnya adalah James (Kyle Mooney), seorang geek yang terobsesi pada program anak tentang beruang pahlawan semesta berjudul Brigsby Bear Adventures. Beda dengan Napoleon Dynamite misalnya, Mooney yang turut menulis naskah bersama Kevin Costello menciptakan sosok geek yang "toleran", mau beradaptasi, menyentuh hal di luar obsesinya, bersedia terlibat interaksi sosial, sehingga mudah disukai. Geekiness dalam Brigsby Bear bukan sikap alienasi, melainkan kepolosan. Ada twist di awal yang takkan saya ungkap, intinya James mendapati acara favoritnya berhenti diproduksi, lalu memutuskan membuatnya sendiri. Lubang terkait logika maupun isu psikologis bertebaran seiring proses James melahirkan mahakarya, namun termaafkan berkat usungan semangat positifnya. Berpesan soal berdamai dengan masa lalu untuk memulai awal baru, iringan piano manis gubahan David Wingo melengkapi kehangatan tutur filmnya. (4/5)
"Normal" bukan kata yang cocok diharapkan dari adaptasi novel anak yang memiliki judul-judul seperti The Sensational Saga of Sir Stinks-A-Lot atau The Attack of the Talking Toilets. Itu sebabnya tak perlu kita memusingkan bagaimana mainan hadiah sereal bisa membuat dua bocah usil, George (Kevin Hart) dan Harold (Thomas Middleditch), menghipnotis kepala sekolah mereka yang galak, Mr. Krupp (Ed Helms), menjadi Captain Underpants, pahlawan super dari komik buatan keduanya. Tapi, jangankan kekuatan super, Captain Underpants tidak punya kostum kecuali celana dalam dan jubah berbahan dasar gorden. Professor Poopypants (Nick Kroll), dengan rencana menghapus tawa adalah sang penjahat, pun Melvin (Jordan Peele) si kutu buku penjilat tanpa selera humor. Tapi musuh sejati filmnya adalah kekakuan pengekang hak anak-anak bersenang-senang. Perlawanan penuh kreativitas hadir kala sutradara David Soren mendobrak pola normatif, mencampur aduk gaya animasi (komik strip, muppet, sampai flip-o-rama) sebagaimana Harold gemar seenaknya menyertakan lumba-lumba dalam komik. Amat kaya visualnya, sukar dipercaya film ini merupakan animasi komputer produksi DreamWorks dengan bujet terendah ($38 juta). Captain Underpants: The First Epic Movie dengan dominasi fart jokes dan celana dalam titular character-nya jelas tak sebodoh tampak luarnya. (4/5)
FERDINAND (2017)
Rasyidharry
Desember 15, 2017
Animated
,
Bobby Cannavale
,
Carlos Saldanha
,
David Tennant
,
John Cena
,
Kate McKinnon
,
Lumayan
,
REVIEW
16 komentar
Karakter Ferdinand dalam buku cerita anak The Story of Ferdinand adalah banteng cinta damai berhati lembut. Daripada bertarung melawan matador, ia memilih menikmati aroma bunga. Di realita yang diselimuti prasangka dan amarah, kepribadian macam itu justru kerap dibenci. Jika dalam buku serta filmnya Ferdinand diasingkan oleh banteng lain, maka dunia nyata menjadi saksi buku buatan Munro Leaf ini sempat dilarang beredar. Terbit kala iklim politik tengah tak kondusif, sembilan bulan jelang Perang Sipil Spanyol melanda dan Hitler sedang berkuasa, beragam tuduhan dari fasisme, komunisme, hingga sosialisme pun dialamatkan.
Sindiran terhadap Nazi memang tampak pada penokohan tiga kuda: Hans, Klaus, dan Greta yang memiliki nama sekaligus aksen Jerman, menganggap spesies mereka paling unggul. Tapi intinya, Ferdinand (baik versi buku maupun film) murni soal perdamaian, menjadi diri sendiri, juga bersikap baik tanpa pandang bulu. Barisan pesan yang dapat diajarkan bagi anak di sela-sela gelak tawa mereka melihat Ferdinand (John Cena) terjebak dalam toko barang pecah belah, atau Maquina si banteng dengan gerak robotik dan suara kedipan mata yang terdengar bak besi beradu (bisa ditebak namanya berasal dari "machina"). Untuk Maquina, tawa saya jauh lebih kencang ketimbang para bocah.
Ferdinand kecil yang kabur dari peternakan banteng demi menghindari hidup penuh kekerasan pasca ayahnya tewas di arena pertarungan, tumbuh besar dalam harmoni bersama Nina (Lily Day) dan ayahnya, dikelilingi bunga-bunga yang jadi benda favorit Ferdinand. Melalui montage singkat kita menyaksikan persahabatan berlandaskan cinta antar-spesies terjalin, walau bagaimana Nina mengetahui nama Ferdinand tak pernah terjawab. Tapi filmnya bergerak cepat, segera mengembalikan Ferdinand ke peternakan akibat suatu kecelakaan berujung kesalahpahaman, urung menyisakan waktu bagi kita memikirkan kejanggalan tersebut.
Meski waktu berlalu, namun kondisi peternakan tetap sama. Valiente (Bobby Cannavale) masih memusuhi, mencela keengganan Ferdinand bertarung, sementara banteng-banteng lain pun bertahan mengusung mimpi meraih kejayaan sebagai lawan tanding matador. Satu-satunya perubahan adalah bertambahnya jumlah hewan yang berjasa meramaikan suasana. Lupe si kambing betina mencuri perhatian berkat suara Kate McKinnon yang sempurna mewakili keanehan tokohnya, sedangkan trio landak, Una, Dos, Cuatro terampil mencuri benda-benda di sana. Jangan tanyakan keberadaan Tres. Mereka sudah memperingatkan kita.
Dengan karakter sekaya itu, sutradara Carlos Saldanha punya cukup modal merangkai kemeriahan kreatif. Ambil contoh adegan dance battle yang bukan cuma tentang kekonyolan tingkah hewan, tapi pemanfaatan ciri masing-masing. Trio kuda dengan gaya elegan, Angus (David Tennant) dan sentuhan Skotlandia miliknya, sampai Maquina yang kembali mengocok perut melalui gerak robotik, membabat habis lagu Watch Me-nya Nick Jonas, memancing gadis kecil yang duduk di sebelah saya ikut menari penuh semangat. Sungguh pemandangan menyenangkan.
Ferdinand memang urung menyoroti ambiguitas moral terkait adu banteng di Spanyol, memilih pendekatan bersenang-senang menyikapi aspek kulturalnya, seperti dipertontonkan pada suatu adegan yang memparodikan parade Running of the Bulls. Tapi bukan masalah. Tidak semua animasi wajib menyusuri jalur kompleks sebagaimana Pixar agar menjadi bagus. Terlebih ketika pelajaran berharga tentang kasih sayang bisa dipetik oleh penonton anak, sementara kita, orang dewasa, dibuat merenungkan "siapa monster sesungguhnya?" begitu klimaks bergulir.
Langganan:
Komentar
(
Atom
)




















































4 komentar :
Comment Page:Posting Komentar