27 STEPS OF MAY (2019)
Rasyidharry
April 28, 2019
Drama
,
Indonesian Film
,
Ipung Rachmat Syaiful
,
Lukman Sardi
,
Raihaanun
,
Ravi Bharwani
,
Rayya Makarim
,
REVIEW
,
Sangat Bagus
,
Verdi Solaiman
23 komentar
Ada istilah twelve-step program, sebuah tahap-tahap panduan pemulihan masalah
perilaku (behavioral problem). Di sini,
karakter utamanya melalui 27 langkah, dalam film Indonesia langka—bahkan di
antara jajaran judul arus alternatif—yang benar-benar memanfaatkan penceritaan
bertempo lambat, yang diterapkan sutradara Ravi Bharwani (Jermal, The Rainmaker) bukan sekedar demi “gaya-gayaan”, melainkan
diperlukan agar presentasi dramanya meyakinkan sekaligus efektif.
27 Steps of May dibuka melalui pemandangan mengganggu, bukan saja akibat
pemerkosaan terhadap karakter utamanya,
juga karena, tidak peduli seberapa memikat aktingnya, memaksa Raihaanun
memerankan gadis SMP berambut kepang (trik paling klise guna memudakan usia)
adalah keputusan yang dipaksakan. Beruntung kita cuma melihat itu selama
beberapa menit sebelum filmnya melakukan lompatan waktu.
Delapan tahun berselang, May masih
terguncang, menolak keluar kamar, mengidap kelainan perilaku komplusif.
Rutinitasnya selalu sama: bangun, lompat tali, menghitung boneka yang tersusun di
lemari, menyetrika baju secara hati-hati, mengatur rapi rambutnya dengan jepit,
lalu membuka pintu kamar di mana sang ayah (Lukman Sardi) telah menanti untuk mengeluarkan
boneka-boneka buatan May yang dijual lewat bantuan seorang teman (Verdi
Solaiman).
Setahu saya, stres takkan
menyebabkan OCD (Obsessive Compulsive
Disorder), tapi peristiwa traumatis bisa memicu bila seseorang memang menyimpan kecenderungan. Kita urung melihat banyak kehidupan May sebelum
pemerkosaan, sehingga sulit memastikan akurasi unsur psikologisnya. Tapi pastinya, bukan dia semata
yang menderita. Pula sang ayah, yang merasa gagal melindungi puterinya seperti ia melindungi sebutir telur agar tak menggelinding jatuh
dari meja. Dia dikuasai amarah termasuk pada diri sendiri akibat rasa bersalah, mendorongnya bertingkah liar di arena (Dia seorang petinju). Muncul
dorongan menghajar orang lain, walau mungkin saja, ia pun
ingin dihajar sebagai bentuk hukuman bagi diri sendiri
Rutinitas May dan Ayah dipaparkan
bergantian, menghadirkan studi kasus perihal dampak peristiwa traumatis, baik terhadap
korban maupun keluarga. Hingga suatu hari keanehan terjadi. Kebakaran kecil
meninggalkan lubang pemberi ruang untuk secercah cahaya menyinari kamar May.
Sang gadis belum siap melangkah keluar dari kegelapan, memilih menjauh
bahkan menutup akses cahaya, namun seiring waktu, rasa penasarannya tersulut. Apalagi setelah May mengintip aksi sesosok pesulap (Ario Bayu) melalui
lubang itu.
Naskah buatan Rayya Makarim (Banyu Biru, Jermal, Buffalo Boys) cukup
cerdik memposisikan ketertarikan May akan trik-trik si pesulap selaku simbolisasi
teruntuk terapi yang May lalui demi mengalahkan depresi. 27 Steps of May pun berjalan layaknya terapi, ketika Ravi dengan
penuh kesabaran menyuguhkan satu per satu fase secara mendetail. Pertemuan May dengan sang pesulap
mungkin tampak aneh, tapi membawa pesan nyata. Bukan saja soal konflik batin May, pula mengenai bagaimana seharusnya cinta bersemi yang melibatkan tahap-tahap saling kenal, saling pikat, bukan sekadar penyaluran nafsu sepihak (Dengarkan wahai para lelaki).
27 Steps of May juga sebuah kenikmatan visual berkat sinematografi
garapan Ipung Rachmat Syaiful (Wiro
Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur)
yang sempurna menangkap keindahan dalam kesederhanaan milik kamar May, yang
artistiknya ditata oleh Vida Sylvia (Sweet
20, Critical Eleven). Tiada banyak barang, hanya kasur, lemari boneka,
dan tentunya lubang di dinding sebagai perlambang perjalanan May keluar dari kurungan mentalnya.
Walau mengusung tema kelam,
proses karakternya mencari kedamaian terasa magis nan memuaskan, salah satunya
berkat akting mengagumkan Raihaanun. Di awal kita melihat sorot kosong di
matanya yang secara bertahap (bukan perubahan dadakan) makin “bernyawa”. Sang
aktris memberi sentuhan-sentuhan kecil, dari mata yang mulai bercahaya sekilas
senyum simpul, atau gerakan tergesa-gesa menutup rok sebagai perwujudan kondisi
psikis May. Raihaanun menghadirkan akting subtil yang hanya bisa diimpikan
banyak pelakon seni peran.
Sebagaimana telah disebut, 27 Steps of May bukan sekadar soal
korban, juga betapa rasa bersalah turut menguasai keluarga. Perasaan yang acap
kali justru sama sekali tak membantu korban. Ayah May terjebak dalam kesakitan
luar biasa, berusaha mencari pelampiasan, berujung menelantarkan sang puteri
yang butuh uluran tangan. Dinamika dua manusia terluka itu bertambah kompleks,
sewaktu May pelan-pelan membaik, sedangkan sang ayah sebaliknya, seolah betah
mendekam dalam penderitaan.
Tatkala perilaku komplusif May
berkurang, sang ayah justru menganggap ada kesalahan. 27 Steps of May mengingatkan jika kesedihan tersebut manusiawi,
meski tak semestinya kita menemukan kenyamanan dari menghukum diri. Apalagi sewaktu membantu
korban semestinya jadi prioritas. Saya memakai kata “mengingatkan”, sebab film
ini tidak melontarkan kritik pedas, melainkan “tepukan lembut di pundak”. Sebuah kasih hangat yang diwakili konklusi menyentuh, di mana
Raihaanun menyulap sebaris kalimat sederhana menjadi ungkapan mengharukan.
AVENGERS: ENDGAME (2019)
Rasyidharry
April 24, 2019
Action
,
Brie Larson
,
Chris Evans
,
Chris Hemsworth
,
Don Cheadle
,
Fantasy
,
Jeremy Renner
,
Josh Brolin
,
Karen Gillan
,
Luar Biasa
,
Mark Ruffalo
,
Paul Rudd
,
REVIEW
,
Robert Downey Jr.
,
Russo Brothers
,
Scarlett Johansson
245 komentar
(JANGAN MEMBUKA KOLOM KOMENTAR KALAU BELUM MENONTON.
IT'S A WILD JUNGLE FULL OF SPOILERS THERE!)
Merasa Infinity War merupakan keberhasilan mengeksekusi kemustahilan?
Tunggu sampai anda menyaksikan sekuelnya. Marvel
Cinematic Universe (MCU) adalah soal kesabaran dalam perencanaan. Total 21
film selama hampir 11 tahun dihabiskan demi membangun kisah, yang dibayar lunas
lewat kulminasi epik bernama Avengers:
Endgame. Hampir seluruh guratan emosi maupun pertarungan masif miliknya,
berpijak pada pondasi yang disusun sekian lama. Begitu film usai (kali ini
tanpa post-credits scene) wajar saat
penonton bertepuk tangan melihat jajaran kredit, khususnya enam anggota “asli”
Avengers.IT'S A WILD JUNGLE FULL OF SPOILERS THERE!)
Karena seperti telah dikonfirmasi,
salah satu tujuan Endgame adalah memberi
penghormatan bagi perjalanan yang telah dilalui Tony Stark (Robert Downey Jr.),
Steve Rogers (Chris Evans), Thor (Chris Hemsworth), Bruce Banner (Mark
Ruffalo), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), dan Clint Barton (Jeremy
Renner). Saya takkan membocorkan sedikit pun poin plot, kecuali bahwa bersama
nama-nama lain yang tidak menjadi debu, mereka berusaha memulihkan akibat
perbuatan Thanos (Josh Brolin).
Melanjutkan atmosfer konklusi Infinity War, film ini dibuka dengan
melankoli. Bahkan dibanding judul keluaran Marvel Studios lain, selama 181
menit durasinya, Endgame punya proporsi
drama terbesar, tatkala duo penulis naskah, Christopher Markus dan Stephen
McFeely (The Winter Soldier, Civil War,
Infinity War), memilih banyak menggulirkan studi karakter, khususnya proses
coping jagoan-jagoan kita pasca
tragedi jentikkan jari Thanos. Beberapa menolak menyerah, beberapa tenggelam
dalam amarah, ada pula yang coba meneruskan langkah.
Hal di atas bukan sebatas
pernak-pernik. Di sinilah penanaman benih selama satu dekade menuai hasil. Kita
mengenal karakternya, terikat pada mereka, sehingga memahami keputusan serta
respon emosional yang muncul. Berkatnya, paparan dramatik Endgame pun menyentuh ranah detail, di mana tiap gestur, ekspresi,
juga baris kalimat pendek, menyimpan makna kaya rasa, yang seringkali merujuk
pada peristiwa film-film sebelumnya. Dan semuanya mustahil diraih tanpa kegemilangan
jajaran pemain.
Chris Evans, Scarlett Johansson, Jeremy
Renner, Mark Ruffalo, hingga Karen Gillan membuktikan diri telah melebur dengan
sosok peranan masing-masing, sementara kepiawaian memadukan talenta komedi dan dramatik
dipamerkan oleh Chris Hemsworth dan Paul Rudd (that “running scene” is really heartbreaking). Tapi bintang
utamanya tetap sang maskot: Robert Downey Jr. Melalui performa yang layak
diganjar nominasi Oscar, secara meyakinkan ia tunjukkan konflik batin seorang
pahlawan yang dihantui kegagalan dan kehilangan. Apabila Infinity War menggiring Tony menuju tantangan fisik dalam
pertarungan satu lawan satu menghadapi Thanos, maka Endgame memberinya ujian psikis terberat.
Ini memang cerita di mana status “pahlawan”
para jagoannya diuji, kala pengorbanan mesti dilakukan dan egoisme bukan
pilihan. Ketimbang melawan Thanos, Endgame
cenderung menonjolkan pertarungan Avengers melawan musuh lain: diri mereka
sendiri. Terdengar kelam, namun tak pernah depresif, mengingat jalinan humor
tetap dapat ditemukan, yang penempatannya memperhatikan presisi, sehingga
alih-alih mendistraksi, kita justru bakal dibuat tertawa sembari meneteskan air
mata atau terpaku dalam cengkeraman ketegangan. Menyenangkan pula menyaksikan
tokoh-tokoh yang baru bertemu seperti Nebula (Karen Gillan), Rhodey (Don
Cheadle) dan Scott Lang (Paul Rudd) saling bertukar interaksi kasual.
Di samping deretan drama humanis,
spektakel utama Endgame tetaplah soal
mencari jalan “membatalkan” perbuatan Thanos. Beragam teori membanjiri
internet. Beberapa jadi kenyataan, namun banyak kejutan masih tersimpan rapat.
Akan sulit mempersiapkan hati menyaksikan kecerdikan Markus dan McFeely menyulap
petualangan Avengers menjadi penghormatan bagi mereka, dengan membawa kita
mengunjungi kumpulan momen (plus sosok) familiar, sementara karakternya coba
berdamai dengan permasalahan silam yang belum usai.
Puncaknya adalah pertempuran epik
yang menebus perencanaan jangka panjang Marvel Studios. Semua shared universe, tidak peduli dalam
media apa pun, bermimpi mencapai titik ini. Russo Bersaudara mengangkangi
pencapaian di Infinity War lewat
kesuksesan memproduksi salah satu set
piece terbesar dan tergila penuh momen fan
service, yang berkat tangkapan kamera sang sinematografer langganan, Trent
Opaloch, banyak menampilkan heroic money
shot. Alhasil, tiap individu memperoleh kesempatan bersinar meski hanya sejenak,
termasuk jajaran jagoan wanita. Walau mengharapkan porsi lebih bagi Captain
Marvel (Brie Larson), saya bisa memaklumi mengingat Endgame mengutamakan pemberian spotlight
untuk keenam anggota asli Avengers.
Belum cukup mendengar pujian?
Tunggu sampai anda mendapati keberhasilan Endgame
memberi konklusi yang pantas terhadap seluruh konflik personal menahun yang
karakternya hadapi, sembari tak lupa menebar petunjuk terkait masa depan.
Mungkin anda tak menganggap Avengers:
Endgame sempurna, namun jika pulang tanpa merasakan kepuasan, mungkin film blockbuster memang bukan untuk anda.
245 komentar :
Comment Page: «Terlama ‹Lebih tua Lebih baru› Terbaru» «Terlama ‹Lebih tua Lebih baru› Terbaru»KALANK (2019)
Rasyidharry
April 23, 2019
Abhishek Varman
,
Aditya Roy Kapur
,
Alia Bhatt
,
Cukup
,
Drama
,
Hindi Movie
,
Karan Johar
,
Madhuri Dixit
,
REVIEW
,
Romance
,
Sanjay Dutt
,
Sonakshi Sinha
,
Varun Dhawan
4 komentar
Diproduseri oleh sang legenda Karan
Johar (Kuch Kuch Hota Hai, Kabhi Khushi
Kabhie Gham, My Name is Khan),
film berdurasi 166 menit ini diisi kisah cinta segitiga, isu pernikahan, hingga
keluarga disfungsional dengan rahasia kelam. Kalank bagai usaha menangkap kembali semangat romansa epik khas
Bollywood klasik dalam sentuhan modern berupa kemegahan departemen artistik.
Alhasil tatkala Kalank hanya berakhir sebagai “karya
yang tidak buruk”, pantaslah rasanya cap “mengecewakan” disematkan. Digawangi
oleh sutradara/penulis naskah Abhishek Varman (2 States), filmnnya mengusung ambisi tinggi. Terlampau tinggi
malah, sehingga meroket ke tingkat yang tak mampu dijangkau. Selipan konflik
sosial-politik setengah matang mengenai pemisahan India malah menciptakan
distraksi alih-alih memperkuat dramanya.
Begitu mengetahui usianya hanya
tersisa setahun akibat kanker, Satya (Sonakshi Sinha) meminta kerabat masa
kecilnya, Roop (Alia Bhatt), agar menikahi sang suami, Dev (Aditya Roy Kapur).
Satya berharap, sepeninggalnya, Dev takkan hidup kesepian. Roop dan Dev
bersedia menikah demi Satya, namun tak ada cinta di antara mereka. Keduanya
tinggal seatap, tapi jangankan berhubungan layaknya suami-istri, mengenali wajah
masing-masing saja tidak.
Kehidupan baru di kediaman keluarga
Chaudhry ini meninggalkan kekosongan di hati Roop. Mencari hiburan, ia meminta
Bahaar (Madhuri Dixit), guru vokal merangkap pemilik rumah bordil, melatihnya
bernyanyi. Niatan itu ditentang keras oleh keluarganya, sampai Roop bersedia
bekerja di kantor surat kabar milik Dev yang belakangan kerap menyulut
kontroversi sekaligus menjadi musuh kelompok Islam setempat akibat sikap
kerasnya menolak pemisahan.
Dari situlah awal mula pertemuan
Roop dengan Zafar (Varun Dhawan), seorang pandai besi sekaligus anggota
kelompok muslim garis keras, yang memendam benci terhadap keluarga Chaudhry.
Meski sempat dibuat kesal, lama-lama Roop malah menemukan kenyamanan dari
kehadiran Zafar. Ditemukannya sesuatu untuk mengisi kehampaan biduk rumah
tangganya. Tapi tanpa Roop ketahui, Zafar menyimpan agenda lain.
Presentasi elemen sosial-politik dalam
naskah Abhishek, yang kelak memberi bekal bagi dramatisasi klimaksnya, kesulitan
menemukan kadar yang pas. Lebih dari sekadar latar, namun minim eksplorasi bila
ingin dijadikan santapan utama. Proporsi romansa pun jadi korban, meski dasarnya,
perihal romansanya memang sudah terasa kekurangan jiwa. Abhishek berlebihan memakai
kalimat quotable bernuansa puitis maupun
bernada filosofis, yang kurang memanusiakan serta melucuti keintiman antar
tokoh, pula kerap bergulir terlampau panjang dan terkesan bertele-tele.
Kalank membutuhkan sentuhan humanis, yang beruntung, dapat ditemukan
dari performa jajaran pemain. Alia Bhatt memancarkan aura kehadiran kuat yang—sebagaimana
banyak pelakon papan atas Bollywood—membedakan antara “aktor baik” dengan “megabintang”.
Sedangkan Varun Dhawan mulus melakoni transformasi Zafar, dari pria penuh
kebencian yang “takut” akan kebaikan, menjadi sosok baik nan tak individualis
berkat cinta.
Sayangnya, itu pula yang film ini
gagal maksimalkan: Bagaimana cinta memantik kebaikan hati, dan sebaliknya,
ketiadaan cinta bisa membawa kekacauan. Pesan sederhana, kalau bukan klise,
yang tertutup bayang-bayang ambisi tampil kompleks, termasuk pemakaian paksa
gaya bertutur non-linier, tatkala Roop menuturkan kisahnya kepada pewawancara.
Elemen itu hadir tiba-tiba entah dari mana, dan tak membawa pengaruh sedikitpun
bagi narasi.
Jalinan cerita Kalank memang bak opera sabun, dan itu bukan hal yang wajib dihindari.
Sebab, se-cheesy apa pun, pengungkapan
tiap fakta mengejutkan mengenai rahasia masa lalu atau identitas karakter,
sudah cukup untuk membuat penonton terkesiap atau merasa gemas. Filmnya tidak
perlu merasa malu, karena dengan veteran-veteran hebat seperti terkesiap atau merasa gemas. Filmnya tidak
perlu merasa malu, karena saat veteran-veteran hebat seperti Sanjay Dutt dan Madhuri
Dixit beradu rasa, mustahil Kalank terkesan
murahan.
Tengok pula pencapaian departemen
artistiknya. Biarpun penyutradaraan Abhishek kentara masih jauh di bawah sang
mentor (ia pernah menjadi astrada Karan Johar di My Name is Khan dan Student
of the Year) terkait cara menangani kemegahan semacam ini, mata kita tetap
bakal terpuaskan oleh kain-kain serta dekorasi mahal beraneka warna dan desain.
Pun berkat sekuen penutupnya yang indah juga menyentuh, Kalank meninggalkan aftertaste
positif.
POLICE EVO (2019)
Rasyidharry
April 22, 2019
Action
,
Andre Chiew
,
Cukup
,
Hasnul Rahmat
,
Indonesian Film
,
Joel Soh
,
Malaysian Movie
,
Raline Shah
,
REVIEW
,
Shaheizy Sam
,
Tanta Ginting
,
Zizan Razak
3 komentar
Film produksi gabungan antara
Malaysia dengan Indonesia ini bagaikan quasi-reboot
bagi seri Polis Evo. Walau masih
menampilkan Shaheizy Sam dan Zizan Razak sebagai pemeran utama, filmnya berubah
jalur dari buddy cop berbumbu komedi
menjadi sajian police procedural yang
lebih kelam. Cerita kedua film pun tak berkaitan, sementara pemilihan judulnya
dibedakan, antara versi Malaysia (Polis
Evo 2) dan internasional termasuk Indonesia (Police Evo).
Ceritanya mengetengahkan usaha
pihak kepolisian memberantas kelompok teroris al-Minas, yang punya keterkaitan
dengan pengedar narkoba bernama Riky (Tanta Ginting). Polri yang membantu
kepolisian Malaysia, menempatkan Rian (Raline Shah) sebagai mata-mata di kubu
Riky. Tapi setelah sebuah penyergapan yang gagal, Rian pun sadar bahwa ada
pengkhianat yang selama ini selalu membocorkan rencana polisi kepada Riky.
Celaka bagi Rian, suatu insiden
membuatnya dituduh sebagai pembunuh. Guna membersihkan namanya, dia pun mesti meringkus
Riky, yang menyimpan seluruh barang bukti. Situasi semakin kompleks setelah
Riky justru ditangkap pihak al-Minas, yang juga berencana menyandera puluhan
warga pulau fiktif bernama Cherong. Al-Minas menuntut pembebasan ketua mereka,
yang ditahan polisi pasca tertembak di suatu penyergapan berujung baku tembak.
Secara bersamaan, Inspektur Khai
(Shaheizy Sam) dan Inspektur Sani (Zizan Razak) dari Malaysia pun tengah
memimpin penyelidikan sebuah tim kecil di Cherong. Terjebak di situasi
mematikan yang tidak terduga, kedua aparat beda negara itu pun harus bersatu,
bukan hanya untuk melumpuhkan para teroris, pula melindungi nyawa puluhan
manusia, termasuk mereka sendiri.
Timbul masalah penceritaan tatkala naskahnya
kerepotan membagi fokus antar-karakter, yang masing-masing menyimpan potensi
melahirkan konflik kompleks nan menarik. Misalnya Sani, yang sepanjang film
menemui berbagai situasi—yang senantiasa melibatkan “pemakaian pistol” serta “menyelamatkan
warga sipil”—di mana ia dituntut menarik keputusan cepat. Puncaknya adalah
ujian terhadap prinsip sekaligus kondisi psikisnya, walau gejolak yang
dihasilkan kurang dieksplorasi, pun berakhir terlampau gampang. Sedangkan story arc milik Rian yang menghadapi
tuduhan palsu hanya berakhir selaku hiasan yang tak pernah terasa substansial,
tidak peduli semeyakinkan apa pun Raline Shah memerankan jagoan aksi wanita.
Aktor Hasnul Rahmat memerankan Hafsyam,
adik pimpinan al-Minas yang untuk sementara menggantikan peran sang kakak
menggerakkan aksi para anggotanya “mencari surga”. Hasnul tampil apik
memerankan antagonis sinting, seorang teroris seksis yang penuh keyakinan bahwa
ia merupakan prajurit Tuhan. Sosoknya semakin mengerikan berkat kemampuannya
mempermainkan psikis korban. Di tangan Hasnul, orasi-orasi Hafsyam mengingatkan
saya betapa teroris pembawa bendera agama garis keras memang iblis mengerikan.
Andai terdapat lebih banyak eksplorasi untuk ideologi Hafsyam, terlebih melihat
keterlibatan al-Minas dalam bisnis jual-beli narkoba (yang mana diharamkan) demi
membantu tercapainya tujuan mereka.
Jajaran aksi penuh letusan senjata
maupun ledakan bom hadir dalam dosis tinggi, walau di banyak kesempatan, duo
sutradara, Joel Soh dan Andre Chiew, terlalu bergantung pada quick cuts yang melucuti intensitas.
Beruntung kelemahan itu dibayar lunas oleh keseruan babak ketiganya. Menampilkan
musik heart-pumping garapan tim
Maveriq Studios dan momen heroik tokoh-tokohnya, klimaks menegangkan tercipta. Ketiga
tokoh utama digiring menuju pertarungan maha berat yang mampu memancing saya bertanya,
“Bagaimana mereka akan lolos dari semua ini?”. Police Evo juga layak diapresiasi atas kesediaan menghormati
penonton dengan tak menerapkan deus ex
machina sebagai alat penyelesai masalah, meski pilihan itu sejatinya
terbuka lebar.
Di dalam medan perang berbahaya di
Pulau Cherong, sosok Shaheizy Sam paling menonjol. Dikenal sebagai aktor penuh
komitmen yang bersedia mengubah tubuhnya demi peran, Shaheizy bukan cuma
terlihat meyakinkan selaku jagoan aksi lewat otot-otot besarnya, pula
mengerahkan seluruh daya upaya kala menangani luapan-luapan emosi juga
pertarungan hard-hitting.
RUMPUT TETANGGA (2019)
Rasyidharry
April 21, 2019
Alim Sudio
,
Aqila Herby
,
Asri Welas
,
Comedy
,
Cukup
,
Daffa Deddy
,
Donita
,
Drama
,
Gading Marten
,
Guntur Soeharjanto
,
Indonesian Film
,
Raffi Ahmad
,
REVIEW
,
Titi Kamal
6 komentar
Sejauh ini, meski masih menyisakan
sedikit kepahitan, 2019 adalah tahun yang menjanjikan bagi industri perfilman
Indonesia. Banyak judul berkualitas paten buatan sineas kawakan, tapi hal paling
menyenangkan adalah ketika beberapa pihak yang identik dengan produk bermutu
jongkok, mulai melahirkan karya yang dapat dipertanggungjawabkan. Setelah
minggu lalu MD Pictures merilis Sunyi,
kini giliran RA Pictures—salah satu rumah produksi dengan reputasi paling
negatif—melepas drama-komedi yang biarpun tetap menyimpan setumpuk kekurangan,
sanggup tampil menghibur, bahkan menghangatkan hati.
Kita pernah berada di posisi Kirana
(Titi Kamal). Dihantui ketidakpuasan, penyesalan, dan ingin menjalan kehidupan
berbeda sesuai impian. Kirana merupakan ibu rumah tangga, sementara suaminya,
Ben (Raffi Ahmad) bekerja di bidang jual-beli mobil. Kehidupan mereka
berkecukupan, cukup bahagia, meski Kirana kerap kerepotan mengurusi kedua
anaknya. Alergi sang puteri, Windy (Aqila Herby), terhadap kacang membuatnya harus
selalu waspada, sedangkan puteranya, Rega (Daffa Deddy), mengidap disleksia. Kirana kekurangan percaya diri,
merasa status sebagai ibu rumah tangga tak cukup mentereng, apalagi selepas
pertemuannya dengan seorang kawan lama, Diana (Donita). Diana adalah konsultan
PR ternama yang hidup bergelimang kemewahan dan masih melajang. Kirana
menginginkan kehidupan semacam itu.
Mengusung premis fantasi menarik
soal “hidup yang tertukar” seperti Freaky
Friday, The Change-Up, dan lain-lain, Rumput
Tetangga enggan terburu-buru membawa alurnya memasuki materi jualan
utamanya itu. Digarap oleh Alim Sudio (99
Cahaya di Langit Eropa, Chrisye, Kuntilanak), naskahnya bergerak penuh
kesabaran, terlebih dulu memantapkan pondasi, mendeskripsikan betapa beratnya
keseharian Kirana supaya penonton bisa memahami frustrasinya.
Memasuki sekitar setengah jam,
barulah elemen fantasi diperkenalkan. Di malam reuni SMA, Kirana bertemu Madam
Sri Menyan (diperankan Asri Welas lewat kejenakaan khas yang tak pernah gagal
mengocok perut lewat kata-kata tanpa saringan), peramal yang sanggup
mengabulkan permintaan Kirana. Pagi berikutnya, Kirana terbangun di apartemen mewah,
menyandang gelar CEO perusahaan sekaligus konsultan PR nomor satu, memiliki
segala yang telah lama diimpikan. Hanya satu yang sekarang tidak ia punya:
keluarga.
Sebaliknya, kini Diana menjadi ibu
rumah tangga, istri Ben, sekaligus ibu bagi Windy dan Rega. Seperti telah
judulnya tuliskan, mudah menebak ke mana Rumput
Tetangga bakal berujung: Kirana akan menyadari betapa ia terlalu dikuasai
rasa iri dan selalu merasa “rumput tetangga lebih hijau”. Tapi mudah ditebak
atau tidak bukanlah soal. Terpenting adalah bagaimana film karya Guntur
Soeharjanto (Jilbab Traveler, Ayat-Ayat
Cinta 2, Belok Kanan Barcelona) ini menjadi drama-komedi menyenangkan yang
lancar menyampaikan pesan sambil memainkan perasaan.
Sejatinya Rumpu Tetangga berpotensi turut mengolah kisah seputar pemberdayaan
wanita, tepatnya membahas bahwa ibu rumah tangga bukan profesi memalukan,
terlebih jika itu dijalankan tanpa paksaan alias merupakan pilihan. Cukup
disayangkan, naskahnya urung mengeksplorasi isu di atas secara mendalam, tapi
toh memang bukan itu fokusnya, melainkan tentang mensyukuri kehidupan.
Dramanya bergerak dengan baik, dihiasi
ketepatan Guntur Soeharjanto memilih lagu-lagu pengiring seperti Yang Kumau-nya Krisdayanti atau Andai Aku Bisa milik Chrisye, yang
berkontribusi menambah bobot emosional beberapa momen, tatkala Titi Kamal
memamerkan talentanya memadukan comic
timing dengan akting dramatik. Saya yakin anda akan menemukan banjir pujian
bagi Titi di ulasan-ulasan lain, sehingga biarkan saya turut menekankan betapa
bagusnya penampilan Gading Marten sebagai Indra, asisten Kirana (dan Diana),
bukti betapa kualitasnya di Love for Sale
bukan kebetulan. Gading punya sensitivitas yang berguna menghadirkan akting
subtil, sehingga ia mampu banyak bicara meski tanpa tuturan kata.
Unsur fantasi pun dipresentasikan lumayan
rapi, saat berbagai tebaran petunjuk bisa ditemukan sepanjang durasi sebelum
kebenaran sesungguhnya terungkap. Sayang, mencapai babak ketiga, naskahnya
keteteran. Berbagai lubang serta ketidakjelasan aturan perihal “tukar-menukar hidup”,
datang silih berganti begitu twist diungkap.
Mencuat pula beberapa tanya, misalnya, “Mengapa Madam Sri Menyan harus
berteka-teki tentang cara kembali ke kehidupan semula?”. Beruntung filmnya
memiliki protagonis likeable ditambah
cerita yang mendapat eksplorasi memadahi, di mana saya mampu diyakinkan jika
kehidupan lama Kirana memang layak diperjuangkan. Alhasil, biarpun telah
tercium sedari awal filmnya bergulir, Rumput
Tetangga memiliki penutup yang memuaskan.
POCONG THE ORIGIN (2019)
Rasyidharry
April 19, 2019
Anggy Frica
,
Della Dartyan
,
Eric Tiwa
,
horror
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Monty Tiwa
,
Nadya Arina
,
REVIEW
,
Samuel Rizal
,
Surya Saputra
13 komentar
Pocong the Origin, selaku (meminjam istilah Monty Tiwa) “reinkarnasi” Pocong (2006) yang dilarang tayang oleh
LSF karena dianggap membangkitkan luka lama
terkait tragedi 1998 (konon film ini dibuat berdasarkan naskah sama), berusaha
mencampur elemen horor dengan komedi, mengingatkan akan judul-judul legendaris
Suzzanna. Tapi ada satu masalah besar: filmnya gagal tampil menyeramkan.
Adegan pembukanya menjanjikan, kala
pembunuh berantai bernama Ananta (Surya Saputra) sedang menanti waktu eksekusi
sambil mendengarkan lagu Di Bawah Sinar
Bulan Purnama milik Sundari Soekotjo. Saya menyukai keputusan film ini
memakai nomor-nomor keroncong, yang di balik keindahannya sebagai karya seni,
menyimpan mistisisme yang dapat menciptakan kengerian bila digunakan secara
tepat.
Selepas dieksekusi, jenazah Ananta
mesti dimakamkan di kampung halamannya sebelum lewat 24 jam. Jika tidak, ilmu
banaspati yang ia miliki akan terus bangkit. Karenanya, Sasthi (Nadya Arina), puteri
tunggal Ananta yang hidup menyendiri di bawah tekanan sosial akibat status sang
ayah, ditemani Yama (Samuel Rizal) si sipir penjara, mesti mengantar jenazah
itu, dalam sebuah perjalanan penuh gangguan gaib.
Jalur menarik ditempuh Pocong the Origin, sebagai horor lokal
langka (kalau bukan satu-satunya) yang meminjam unsur film road trip. Sayang, naskah besutan Monty bersama Eric Tiwa (Laskar Pemimpi, Barakati) tak cukup
kreatif dalam menangani elemen tersebut, dan berujung melahirkan repetisi.
Gangguan terjadi tiap Yama dan Sasthi menghentikan perjalanan, yang tidak
pernah jauh dari dua hal, yakni antara Yama ingin kencing atau mobil yang
rusak. Pun respon keduanya hampir selalu sama: membuka telepon genggam, lalu
mengeluhkan hilangnya sinyal.
Seperti telah saya sebut, Pocong the Origin berniat menciptakan
lagi sensasi horor-horor Suzzanna. Filmnya ingin memancing keriuhan penonton,
di mana kita diharapkan berteriak histeris sembari tertawa lepas. Tawa bisa
ditemukan berkat humor efektif berupa situasi jenaka saat tokoh-tokohnya dibuat
tunggang langgang oleh penampakan hantu, namun teriakan ketakutan urung hadir.
Menolak mengeksploitasi jump scare pantas diapresiasi, tapi
pilihan itu tak otomatis membuat terornya lebih berdampak. Padahal Monty adalah
orang di balik adegan penampakan pocong paling mengerikan sepanjang masa di Keramat (2009). Bukan cuma itu, kali ini
Monty sempat coba melakukan “reka ulang” terhadap adegan “keranda mayat” dari
film tersebut, tapi gagal memproduksi intensitas serupa. Terlebih, bagi
sebagian penonton, riasan bagi para hantu di momen tersebut mungkin bakal
tampak menggelikan.
Sedangkan perihal membangun
atmosfer melalui penerangan minimalis justru kerap menjadi bumerang. Tidak
jarang adegan tampil terlampau gelap, meski harus diakui, gambar-gambar memikat
masih bisa sesekali ditemukan, berkat kelihaian Anggi Frisca (Sekala Niskala, Negeri Dongeng, Night Bus)
selaku penata kamera bermain cahaya.
Jajaran pemain berusaha maksimal,
khususnya Samuel dan Nadya. Semenjak Target
tahun lalu, Samuel mengambil jalur tepat bagi babak baru karir layar
lebarnya, dengan menjauh dari peran “cowok keren”, dan berani memainkan sosok
konyol. Di sini ia tampil menghibur, meski saya bingung, bagaimana bisa momen
saat ia salah mengucap “mas” menjadi “mbak”, lolos dari penyuntingan. Sementara
Nadya cukup solid memerankan gadis yang terjebak di konflik batin. Biarpun amat
menyayangi sang ayah, ia tak bisa menyangkal
jika Ananta adalah pembunuh berantai. Sebuah dilema menarik yang tidak
sanggup dipresentasikan secara memuaskan oleh naskahnya.
“Lawan” Nadya adalah Jayanthi
(Della Dartyan), jurnalis yang diam-diam mengikuti Yama dan Sasthi demi
memperoleh berita, sambil mengusung alasan personal karena sahabatnya merupakan
salah satu korban Ananta. Ketimbang drama thought-provoking
berupa gesekan argumen dua pihak berlawanan, kita hanya disuguhi debat kusir
tanpa akhir maupun jiwa, tatkala hanya volume suara yang meninggi, bukan kadar
emosi.
Sebagaimana nasib banyak horor
belakangan baik dalam atau luar negeri, Pocong
the Origin kesulitan menciptakan babak ketiga yang mumpuni. Setelah lama
menanti, konfrontasi final ketika banaspati mencapai puncak kekuatan berkat
keberadaan blood moon, malah berujung
pertarungan canggung nan antiklimaks, yang gagal menangkap reputasi pocong
sebagai salah satu hantu Indonesia paling mengerikan.
THE CURSE OF LA LLORONA (2019)
Rasyidharry
April 17, 2019
horror
,
Jaynee-Lynne Kinchen
,
Kurang
,
Linda Cardellini
,
Michael Chaves
,
Mikki Daughtry
,
Patricia Velásquez
,
Raymond Cruz
,
REVIEW
,
Roman Christou
,
Tobias Iaconis
11 komentar
The Curse of La Llorona jadi kasus langka ketika saya
berharap film horor bersedia meningkatkan volume tata suara kala hantu
menampakkan diri. Terornya terlampau lirih, kurang bertenaga, dan ketika teror
tersebut dijadikan sajian utama alih-alih mengedepankan bangunan kisah—yang berkaca
pada modus operandi sosok kuntilanak dengan kearifan Meksiko ini sejatinya
berpotensi mengerikan—filmnya pun lebih pantas disebut sebagai “The Curse of the Boring Woman”.
Ditulis naskahnya oleh duet Tobias
Iaconis dan Mikki Daughtry yang sebelumnya menelurkan Five Feets Apart, judul keenam
dalam seri The Conjuring ini sesungguhnya
menjanjikan tiap ceritanya menyentuh ranah mimpi buruk parenting. Kehilangan anak adalah mimpi buruk semua ibu, apalagi
jika ia justru dituduh sebagai biang keladi di balik tragedi tersebut.
Itulah yang dialami Patricia
Alvarez (Patricia Velásquez), tatkala Anna (Linda Cardellini), seorang pekerja
sosial, meyakini ia melakukan tindak kekerasan terhadap dua puteranya. Patricia
mengurung mereka, dan bekas luka ditemukan di tangan keduanya. Patricia
menyangkal. Dia menyebut, perbuatannya itu terpaksa dilakukan demi mencegah La
Llorona, hantu wanita dari legenda Meksiko, menculik anak-anaknya. Patricia ditahan,
namun bukannya aman, dua bocah itu justru ditemukan tewas tenggelam.
Ya, The Curse of La Llorona merupakan horor yang tak segan menghabisi
nyawa karakter bocah. Dari situlah kita dibuat yakin bahwa bahaya yang
mengintai Anna beserta putera-puterinya, Samantha (Jaynee-Lynne Kinchen) dan
Chris (Roman Christou) tidak main-main. Bahkan teror La Llorona sempat
menyentuh ranah kengerian psikologis kala Anna, sebagai pekerja sosial di
bidang perlindunan anak, terjebak di posisi serupa Patricia. Dia disinyalir
bertanggung jawab atas luka-luka yang diderita Samantha dan Chris. Ironis,
miris, berpotensi tragis.
Sayang, elemen itu cuma dipaparkan
sepintas lalu. Eksplorasi kisah dikesampingkan demi deretan jump scare yang memperlihatkan jika dalam
debut penyutradaraan layar lebarnya, Michael Chaves belum terlalu menguasai
teknik menggedor jantung. Walau dasarnya ide teror yang dimiliki naskah memang
kurang impresif, lemahnya Michael mengatur timing
atau memilih sudut kamera jelas tak memperbaiki situasi. Ditambah keputusan menerapkan
tata suara “ramah telinga”, kemunculan La Llorona cenderung menjemukan. Kini
saya mulai mengkhawatirkan nasib The
Conjuring 3 yang bakal ia tangani.
Padahal jajaran pemain telah
berkontribusi memberi akting mumpuni. Bukan saja Linda Cardellini selaku ibu
yang dihantui kekhawatiran, Jaynee-Lynne Kinchen dan Roman Christou pun sanggup melahirkan
karakter anak yang simpatik. Ketika pertama disambangi La Llorona, mereka
memilih diam didorong keraguan apakah semuanya hanya imajinasi atau kenyataan. Penokohan
keduanya memiliki kedewasaan tanpa merusak kemurnian keduanya sebagai bocah.
Pun hal itu menghindarkan filmnya dari perdebatan mengesalkan dengan sang ibu
mengenai benar atau tidaknya eksistensi La Llorona.
Seolah belajar dari kesuksesan Annabelle: Creation (2017), jelang babak
ketiga, sedikit sentuhan humor bisa ditemukan, yang ketimbang mendistraksi,
justru menambah warna bagi tokoh-tokohnya. Ketegangan bertambah di titik itu,
pasca dukun bernama Rafael (Raymond Cruz) terjun ke medan perang, dan secara
bersamaan La Llorona turut meningkatkan intensitas serangannya. Sayang, tidak
lama kemudian The Curse of La Llorona kembali
terjerembab akibat kurang piawainya sang sutradara memproduksi teror serta
bertebarannya lubang logika (Jadi apakah La Llorona memerlukan akses ke pintu
untuk menginvasi rumah?), walau sesekali, jump
scare “menyenangkan” masih dapat ditemui.
HOMESTAY (2018)
Rasyidharry
April 13, 2019
Cherprang Areekul
,
Drama
,
Fantasy
,
Lumayan
,
Natthasit Kotimanuswanich
,
Parkpoom Wongpoom
,
REVIEW
,
Roj Kwantham
,
Suquan Bulakul
,
Teeradon Supapunpinyo
,
Thai Movie
,
Thriller
7 komentar
Homestay, selaku adaptasi novel Jepang berjudul Colorful karya Eto Mori, adalah
proyek ambisius berupa peleburan elemen fantasi, romansa, drama keluarga, thriller, dan misteri. Bahkan tone-nya terus berganti, antara sajian
ringan menggemaskan khas percintaan remaja Thailand dan suasana kelam dari isu
bunuh diri, disfungsi keluarga, hingga penelusuran makna kehidupan.
Kisahnya dibuka saat protagonis
tanpa nama kita (Teeradon Supapunpinyo) terbangun di kamar mayat dalam tubuh
remaja bernama Min yang baru saja meninggal bunuh diri. Di tengah kebingungan
tersebut, ia bertemu sosok misterius yang mengaku sebagai penjaganya. Pertemuan
keduanya dibungkus oleh momen melawan gravitasi yang akan kita lihat beberapa
kali lagi, sebagai bentuk unjuk gigi kualitas efek visual filmnya dan
kepiawaian sutradara Parkpoom Wongpoom (Shutter,
Alone, 4bia) menangani adegan bergaya.
Sang penjaga—yang nantinya muncul
dalam wujud berbeda-beda termasuk cameo Laila
Boonyasak sebagai suster nakal—memberi protagonis kita tugas untuk mencari
alasan Min bunuh diri. Dia diberi waktu 100 hari. Jika berhasil, ia mendapat
kesempatan kedua untuk hidup, namun bila gagal, ia bakal tewas secara permanen
dan kehilangan kesempatan reinkarnasi. Investigasi “Min palsu”, yang dibalut
tempo lampat sehingga durasi Homestay membengkak
sampai 131 menit—membawa beberapa pemahaman. Min adalah remaja tertutup, hidup
di bawah tekanan, selalu menyendiri dan berdiam diri.
Keluarga Min pun jauh dari
harmonis. Ayahnya (Roj Kwantham) berhenti mengajar untuk menjalankan bisnis MLM
menjual suplemen, Ibunya (Suquan Bulakul) tinggal di kota lain karena tuntutan
pekerjaan, sementara sang kakak, Menn (Natthasit Kotimanuswanich), tampak
begitu membencinya. Asumsi pun timbul, bahwa Min memilih mengakhiri hidupnya
karena tidak tahan menghadapi kondisi keluarganya.
Walau bergerak lambat, investigasi
terhadap motivasi Min mampu menciptakan misteri menarik berkat kemampuan naskahnya,
yang digarap lima penulis (Thodsapon Thiptinnakorn, Jirassaya Wongsutin,
Abhichoke Chandrasen, Eakasit Thairaat, Parkpoom Wongpoom), untuk secara cermat
memilah, kapan harus melempar pertanyaan, kapan harus menjawab, atau setidaknya
menebar petunjuk. Beberapa twist
sempat hadir, yang walau tak sulit ditebak, efektif menambah dinamika.
Kemudian diperkenalkanlah Pi
(diperankan Cherprang Areekul, kapten BNK48), gadis cerdas anggota tim
Olimpiade sains yang juga peer tutor bagi Min. “Min palsu” jatuh cinta pada Pi dan dari situlah ia memutuskan bertransformasi.
Dia buang gaya rambut dan berpakaian emo,
menciptakan Min yang lebih ceria, bersemangat, dan penuh warna. Pi pun
terpikat pada Min yang baru, membuka jalan bagi Homestay berpindah sejenak menuju fase bernuansa ringan sebagai
kisah cinta remaja menggemaskan yang berhasil memancing senyum. Kuatnya chemistry kedua pemeran utama juga
berkontribusi memproduksi romantika bernyawa.
Sampai Homestay kembali melempar penonton menuju keseriusan, yang kali ini
lebih kelam dibanding sebelumnya, pula mengoyak perasaan. Serupa protagonisnya,
pada titik ini kita dibawa menjalani kehidupan bak neraka milik Min, lalu
pelan-pelan memahami, bahkan bisa jadi merasakan hal yang sama dengan remaja
malang tersebut. Bukan mustahil pula anda dibuat berandai-andai, apakah bakal
mengambil tindakan seperti Min apabila ditempatkan di kondisi yang sama.
Sayangnya di situlah puncak rasa Homestay, sebab konklusi yang menyusul
kemudian, hadir terburu-buru juga dengan penuturan sedikit kacau. Alhasil
dampak emosional yang semestinya dipunyai, bahkan jadi “gong” bagi momen
penutup film semacam ini, tak dapat ditemukan. Pesannya bermakna, namun
persepsinya soal isu bunuh diri terkesan dangkal bahkan cenderung kurang
sensitif. Homestay mampu membuat
penonton memahami pesan tentang “mensyukuri hidup” yang diusung, tapi tak
sampai ikut merasakannya.
BUMI ITU BULAT (2019)
Rasyidharry
April 12, 2019
Andre Supangat
,
Arie Kriting
,
Christine Hakim
,
Cukup
,
Drama
,
Febby Rastanty
,
Indonesian Film
,
Mathias Muchus
,
Rania Putrisari
,
Rayn Wijaya
,
REVIEW
,
Ria Irawan
,
Ron Widodo
,
Tissa Biani Azzahra
6 komentar
Pada masa di mana radikalisme tambah
mengkhawatirkan, film seperti Bumi itu
Bulat bisa menjadi tontonan penting. Dibuat dengan keterlibatan GP Ansor,
tidak mengejutkan bila karya penyutradaraan layar lebar perdana Ron Widodo ini
menjadi kampanye anti-radikalisme. Tapi ada satu masalah akibat kalimat “Kalau kita
tidak bisa bersama, seenggaknya kita bisa saling menghargai”, yang merupakan
salah satu jualan utama filmnya.
Mengapa kalimat di atas bermasalah?
Bukankah itu pesan damai yang menyejukkan? Karena mengacu pada bagaimana
kalimat itu disampaikan, filmya pun
mestinya mampu mengajak penonton menghargai eksistensi jajaran Islam garis
keras, selama tak menimbulkan bahaya secara nyata. Tapi kenapa? Apa perlunya
menghargai radikalisme? Bumi itu Bulat gagal
menjawab itu.
Karakter utamanya adalah Rahabi
(Rayn Wijaya), anggota grup Rujak Acapella yang membangun kesuksesan via
YouTube, dengan jumlah penonton dan subscribers
mencapai ratusan ribu. Ciri khas mereka adalah menyanyikan lagu kebangsaan.
Inilah cara filmnya mempromosikan nasionalisme pada penonton muda, dengan
menyulap lagu yang mungkin dianggap kurang trendi menjadi nomor akapela keren.
Walau dibekali aransemen apik, saya cukup terganggu oleh buruknya lip sync jajaran pemain, ditambah tata
suara kurang natural, khususnya saat karakternya bernyanyi tanpa mikrofon. Film
kita butuh belajar menciptakan adegan live
performance supaya terdengar organik.
Nama “Rujak Acapella” sendiri
datang dari variasi identitas anggota, yang terdiri atas beragam suku, agama,
dan gender. Kini mereka mengincar kontrak rekaman, tapi sayangnya, sang
produser, Aldi (Arie Kriting), merasa tampang personel Rujak Acapella kuranng
menjual, meski mengakui musikalitasnya. Aldi pun mengajukan syarat: Demi
mendapat kontrak, Rujak Acapella harus memasukkan penyanyi muda bernama Aisha
(Febby Rastanty) sebagai anggota. Masalahnya, Aisha—walau kebetulan berkuliah
di kampus yang sama—telah berhenti bernyanyi pasca berhijrah.
Di tengah penolakan rekan-rekannya,
khususnya Tiara (Rania Putrisari), Rahabi bersikeras menerima syarat tersebut.
Alasannya, ia membutuhkan uang untuk membiayai sekolah kedokteran adiknya, Rara
(Tissa Biani). Rahabi sendiri telah beberapa lama pergi dari rumah akibat
pertengkaran dengan ayahnya, Syaiful (Mathias Muchus), yang merupakan anggota
Banser. Rahabi merasa sang ayah hanya mementingkan pekerjaan, menelantarkan
keluarga, sehingga menyebabkan meninggalnya sang ibu.
Tapi jalan Rahabi membujuk Aisha
jauh dari mulus. Selain kukuh meninggalkan dunia tarik usara, Aisha pun
terganggu oleh keberadaan non-Islam di Rujak Acapella. Abi terus memaksakan
diri, dan dampaknya, perpecahan mulai terjadi, apalagi setelah ia menyetujui
persyaratan Aisyah, untuk mewawancarai Bu Farah (Ria Irawan), dosen garis keras
yang dipecat karena menyuarakan ujaran kebencian. Melalui elemen inilah Bumi itu Bulat membawa kita menyusuri
kenyataan mengerikan soal betapa mudahnya prosedur cuci otak radikalisme
berlangsung di dunia kampus.
Bumi itu Bulat memposisikan para radikal sepenuhnya sebagai pihak
buruk, yang mana saya setujui. Perspektif satu arah dalam film sah-sah saja
dilakukan. Namun ketika filmnya membuat Abi berkata, “Kalau kita tidak bisa
bersama, seenggaknya kita bisa saling menghargai” kepada Aisha, secara tidak
langsung Bumi itu Bulat mengajak kita
menghargai para radikal. Sekali lagi itu sah, selama naskah buatan Andre
Supangat berhasil menyuguhkan alasan logis, yang mana gagal dilakukan. Sampai akhir, saya urung menemukan alasan
untuk menghargai tokoh-tokoh seperti Aisha atau Bu Farah.
Di luar itu, Bumi itu Bulat dituturkan dengan cukup baik. Kekhawatiran saya
bahwa unsur cinta segitiga cheesy antara
Rahabi-Tiara-Aisha bakal mendistraksi nyatanya tidak terbukti. Unsur itu
disampaikan secara subtil, di mana Tiara terus bertahan sebagai individu tegas,
yang mengajukan keberatan atas bergabungnya Aisha, murni karena alasan kelompok
ketimbang perasaan pribadi. Walau di lubuk hati terdalam hal itu pastinya tetap
berkontribusi, Tiara sanggup melontarkan opini objektif nan beralasan.
Dramanya turut ditunjang performa
solid jajaran pemain. Di antara tim Rujak Acapella, Rania Putrisari paling
menonjol berkat ekspresi serta bahasa tugas yang mendukung ketegasan
karakternya. Mathias Muchus sekali lagi mampu menghembuskan hati biarpun
memerankan sosok pria keras, Tissa Biani masih seorang pencuri perhatian yang
jago memancing seyum penonton, sedangkan Christine Hakim tetaplah Christine
Hakim yang bakal meninggalkan kesan meski hanya muncul sejenak.
Babak ketiganya dibuat berdasarkan
insiden dunia nyata kental intoleransi antara umat beragama. Relevan, tapi
sayang diakhiri lewat simplifikasi. Di realita, takkan semudah itu meredakan
amukan warga yang mudah terprovokasi akibat mabuk agama. Beruntung, menyusul
beriutnya adalah konklusi cheesy tapi
menyentuh bagi konflik ayah-anak. Menyentuh, sebab biar bagaimanapun, mayoritas
ayah memang pahlawan super untuk anaknya.
Saya turut mengagumi saat Bumi itu Bulat menyelipkan penampilan
Rujak Acapella di tengah upacara pembukaan Asian Games 2018 secara cukup
meyakinkan. Belum sempurna, tapi setidaknya tampak alamiah. Dan kali ini,
karena konteksnya bernyanyi menggunakan mikrofon dan sound system, nyanyian mereka lebih bisa diterima pula terdengar
nyaman di telinga.
SUNYI (2019)
Rasyidharry
April 12, 2019
Agasyah Karim
,
Amanda Rawles
,
Angga Yunanda
,
Arya Vasco
,
Awi Suryadi
,
Dayu Wijanto
,
horror
,
Indonesian Film
,
Khalid Kashogi
,
Lumayan
,
Naomi Paulinda
,
REVIEW
,
Ricky Lionardi
,
Teuku Ryzki
,
Unique Priscilla
22 komentar
Sunyi merupakan remake dari
Whispering Corridors (1998), yang mana
ambil bagian dalam era baru perfilman Korea Selatan pasca pembebasan dari
penyensoran selepas kediktatoran militer berakhir. Alhasil, film tersebut
dimanfaatkan selaku media menyuarakan kritik terhadap banyak isu, khususnya
perundungan dan kerasnya sistem pendidikan. Itulah alasan mengapa karya Park
Ki-hyung tersebut jadi fenomena populer, meski kualitasnya sendiri agak
mengenaskan. Berbeda dibanding pendahulunya, Sunyi tak kebingungan menentukan jati diri, mencampur horor dan
drama dengan cukup apik, menjadikannya remake
yang superior.
Tema perundungan bukan saja
dipertahankan oleh Sunyi, bahkan diberi
eksplorasi lebih dalam. Kisahnya berlatar tahun 2000 di SMA Abdi Bangsa yang
prestisius namun digelayuti isu perundungan yang konon telah berlangsung
turun-temurun. Pun tersebar rumor bahwa pada dekade lalu, hal tersebut
merenggut nyawa tiga siswi, yang hingga kini arwahnya senantiasa bergentayangan
di sekolah.
Protagonis kita bernama Alex (Angga
Yunanda), putera mediang paranormal terkenal, yang jelang hari pertamanya
bersekolah di Abdi Bangsa, makin mengkhawatirkan senioritas di sana. Ketika ia
nyatakan kekhawatiran tersebut, sang ibu (Unique Priscilla) merespon, “Senioritas
kan bagus buat character building”.
Dari situ kita bisa melihat pola yang menyebabkan perundungan terus lestari.
Pada malam pertama, siswa-siswi
tahun pertama dikumpulkan oleh ketiga senior mereka: Andre (Arya Vasco), Erika
(Naomi Paulinda), dan Fahri (Teuku Ryzki), guna menghadiri malam orientasi.
Saat itulah hukum senioritas mulai diberlakukan. Murid tahun pertama adalah
budak (tahun kedua disebut “manusia”, tahun ketiga disebut “raja”, alumni
disebut “dewa”) yang wajib menuruti perintah senior yang berhak mengambil
barang apa pun milik mereka, bahkan dilarang memasuki area-area seperti
perpustakaan, kafetaria, juga toilet.
Bu Ningsih (Dayu Wijanto) selaku
kepala sekolah merasa khawatir, tapi atas nama tradisi, memilih membiarkan.
Sedangkan para junior tetap diam, karena melawan bukan saja menjadikan mereka
musuh publik, pula menghilangkan kesempatan mendapat jaringan luas milik
alumni. Sampai titik ini, naskah buatan sutradara Awi Suryadi (Danur, Badoet) bersama duet Agasyah
Karim dan Khalid Kashogi (Badoet, Mau
Jadi Apa?, Reuni Z), terbukti mampu menyediakan pijakan solid dalam penggambaran
lingkaran setan budaya perundungan. Tidak berhenti di situ, naskahnya melangkah
lebih jauh menelusuri soal kontribusi pola asuh orang tua lewat tro
Andre-Erika-Fahri. Orang tua mereka sama-sama bermasalah, entah menerapkan
hukuman fisik, menuntut terlalu tinggi, atau tidak hadir di rumah.
Ketiganya membuat hari-hari Alex
bak neraka. Beruntung, ia bertemu Maggie (Amanda Rawles). Keduanya semakin
dekat, dan dunia SMA Alex tak lagi sesunyi itu. Sialnya, begitu identitas ayahnya
diketahui Fahri, Alex dipaksa memanggil arwah para siswi yang konon
bergentayangan di sekolah. Awalnya usaha itu nampak gagal, namun tak lama
berselang, kematian mulai menyebar dan darah mulai tumpah di SMA Abdi Bangsa.
Sewaktu Whispering Corridors seolah melupakan hakikatnya sebagai horor, Sunyi menerapkan pendekatan familiar
sembari tetap memberi jalan bagi elemen-elemen di atas agar mengalir sebagai
pondasi cerita, alih-alih sekedar jump
scare layaknya banyak horor medioker lokal belakangan. Di luar adegan “listening class” dan “kolam renang” (yang
sudah muncul di trailer), terornya
tak banyak memperlihatkan kreativitas. Mayoritas formulaik, ditambah riasan
hantu seadanya. Tapi saya mengapresiasi penolakannya untuk melempar jump scare membabi-buta atau memakai
efek suara berisik. Serupa judulnya, film ini tidak takut menerapkan kesunyian,
tahu kapan mesti berdiam diri, kapan mesti tampil menggelegar (yang juga tak
pernah terlampau berisik). Tata musik
garapan Ricky Lionardi (Danur, Sakral,
Lukisan Ratu Kidul) juga sesekali terdengar atmosferik.
Sunyi pun menempatkan hati di tempat yang tepat. Kembali ke adegan “kolam
renang”, secara mengejutkan momen tersebut menyimpan bobot emosi. Ada kesedihan
di sana, tatkala senior pelaku perundungan ditampakkan kerapuhannya, digambarkan
sebagai salah satu korban kegagalan sistem pendidikan, tentunya tanpa berusaha
menjustifikasi perbuatan mereka kepada junior. Momen itu meyakinkan saya bahwa
mereka tidak pantas mati. Sehingga saya mengamini ketika Alex mengonfrontasi
sang hantu di klimaks sambil menyampaikan pernyataan serupa. Semakin memuaskan
kala Sunyi ditutup oleh konklusi
hangat, sesuatu yang dikorbankan film aslinya demi tambahan twist tak perlu.
Ya, jika sudah menonton Whispering Corridors, anda tahu akan ada
twist. Sepanjang durasi, filmnya
menyiratkan itu melalui beberapa petunjuk subtil. Apa yang membuatnya spesial
adalah, sekalinya kejutan tersebut diungkap (sayangnya lewat eksekusi
antiklimaks), penonton tidak dijejali rekap, selaku penjabaran atas sebaran
petunjuk-petunjuk tadi. Seolah semua itu adalah “bonus” bagi penonton yang
bersedia menaruh perhatian lebih.
[BUKAN REVIEW] 'HELLBOY' DAN SALAH KAPRAH SOAL SENSOR
Judul di atas bukan guyonan.
Tulisan ini bukan review untuk reboot seri Hellboy, dan saya memang tidak berniat membuat review film tersebut. Sebelum menyentuh alasannya, mungkin beberapa
dari anda sudah mendengar perihal kontroversi yang beredar di media sosial
pasca special screening filmnya hari
Selasa lalu. Konon, Hellboy jadi
korban kekejaman gunting sensor, di mana LEBIH DARI 10 MENIT adegannya
dipotong. Bahkan ada yang menyebut “SETIDAKNYA 20 MENIT” sembari melaporkan hal
ini kepada Lionsgate. Beberapa komentar bernada serupa kemudian menyusul, dan
semua menyuarakan satu hal: LSF SUDAH KETERLALUAN!
Citra Lembaga Sensor Film (LSF)
memang buruk akibat kebiasaan memotong film seenak jidat. Sehingga amarah warganet gampang tersulut tiap kali ada kabar
miring soal penyensoran. Ingat gosip sensor Avengers:
Infinity War yang beredar karena perbedaan durasi dengan data IMDb (yang
ternyata keliru)? Kasus kali ini mirip. Tapi benarkah realitanya demikian?
Tulisan ini dibuat bukan untuk menyerang atau membela pihak mana pun, melainkan
usaha meluruskan salah kaprah yang telah lama dianut publik.
Saya akan jelaskan dulu prosedur
penyensoran film, tapi hanya secara garis besar (untuk detail langkah-langkahnya
silahkan kunjungi lsf.go.id). Pertama, pemilik film (PH untuk film lokal,
distributor untuk film luar) mengajukan permohonan sensor disertai penyerahan
berkas-berkas. Selanjutnya, pemilik film
menunggu beberapa hari (seingat saya 3-4 hari, sedangkan untuk trailer dan poster bisa 1-2 hari.
Tentatif, tergantung kondisi) sampai turun keputusan, apakah film tersebut
lulus sensor atau tidak.
Film yang lulus sensor akan
mendapat STLS (Surat Tanda Lulus Sensor) yang menyertakan klasifikasi umur
(Semua Umur, 13+, 17+, 21+), sebaliknya, film yang tidak lulus sensor diberikan
Surat Tanda Tidak Lulus Sensor (STTLS). Di sinilah salah kaprah kerap terjadi.
LSF sudah tidak lagi memotong film. Mereka hanya memberi catatan berupa revisi
yang mesti dilakukan agar lulus. Berikutnya terserah pemilik film. Mereka bisa
langsung mematuhi revisi atau mengajukan “banding”. LSF kini lebih terbuka,
bersedia mengadakan dialog bersama empunya film, bahkan bersdia mengoreksi
keputusan sensor apabila didukung alasan kuat.
Hal tersebut juga berlaku bagi
PH/distributor yang keberatan akan klasifikasi usia yang didapat. Contohnya,
Film A mendapat rating 21+, padahal pemilik film menginginkan 17+. Maka
diberikanlah arahan, revisi apa yang perlu dilakukan agar rating tersebut bisa
didapat. Kesimpulannya, bentuk sensor apa pun, semua dilakukan oleh pemilik
film berdasarkan panduan LSF. Istilahnya “sensor mandiri”. Itu sebabnya kita
sering mendapati perbedaa gaya sensor. Ada yang menerapkan pemburaman gambar, zoom in, dan yang paling jamak
dilakukan, pemotongan.
Bagaimana cara mengetahui film
mendapat revisi atau tidak? Anda bisa cek website LSF, tau melihat bumper STLS yang muncul di layar bioskop
sebelum film tayang. Jika anda menemukan tulisan “REV”, artinya film itu
mendapat revisi. Sebagai contoh, lihat keterangan sensor Deadpool 2 di bawah.
Lalu bagaimana dengan kasus Hellboy? Cukup menarik. Berikut adalah
data yang saya dapat dari halaman LSF:
Ya, ternyata Hellboy tertulis mendapat rating 17+, dan ketika saya akhirnya
menonton, memang itulah rating resminya,
lengkap dengan keterangan “REV” di bumper
STLS. Apa yang sebenarnya terjadi? Semakin membingungkan karena sampai
tulisan ini dimuat, LSF masih mencantumkan Hellboy
sebagai film 21+ tanpa revisi. Saya berasumsi, pihak distributor (PT. Prima
Cinema Multimedia) mengubah keputusan di saat-saat terakhir. Mungkin mereka
merasa rating 21+ berpotensi mencederai potensi komersialitas filmnya, sehingga
memutuskan meminta perubahan rating secara dadakan. Apakah melalui konsultasi
terlebih dulu dengan LSF mengenai bagian mana yang perlu dipotong tidak bisa
saya pastikan.
Tapi saya takkan terkejut jika itu
ternyata tidak dilakukan, dan PCM bergerak cepat (baca: terburu-buru) memotong
sebagian besar gore. Karena akan
memakan waktu lama apabila menunggu peninjauan ulang LSF untuk klasifikasi usia
baru. Dengan begini, PCM hanya tinggal mengirimkan versi baru. Metode “asal-potong-yang-penting-banyak”
ini menjelaskan inkonsistensi sepanjang film, di mana ada momen brutal justru
lolos tatkala adegan lain yang lebih “bersahabat” malah dipangkas. Rasanya
penjabaran di atas sudah cukup membantah anggapan bahwa LSF adalah (satu-satunya)
pesakitan di kasus ini. Walau harus diakui, jika LSF tidak memiliki pemikiran
kolot soal mana yang pantas dan tidak, peristiwa serupa takkan terjadi.
Berikutnya perihal banyaknya
pemotongan adegan. Secara resmi, Hellboy punya
durasi 121 menit. Saya coba mengukur sendiri. Sampai mid-credits, hasilnya adalah 109 menit. Tapi karena “perintah alam”,
terpaksa segera meninggalkan ruangan. Sekarang, mari berhitung. Kredit akhir
untuk film blockbuster biasanya cukup
panjang karena melibatkan banyak pihak, jadi kita asumsikan saja 5-6 menit. Belum
lagi ditambah dua credits-scene yang
kabarnya cukup panjang, anggap saja total 3 menit. Berarti, kurang lebih Hellboy punya total durasi 117-118
menit. Perhitungan ini senada dengan data dari Cinema 21 (cek gambar di atas)
yang mencantumkan durasi 119 menit (biasanya pembulatan dari 118 menit lebih
sekian detik).
Kesimpulannya? Koar-koar soal
pemotongan 10-20 menit adalah SALAH BESAR alias HOAX! Mungkin penyebar kabar itu
jarang menonton film, sehingga tidak sadar bahwa 10, apalagi 20 menit dalam
konteks durasi film itu luar biasa lama. Kalau memakai patokan standar
penulisan naskah, itu sama artinya membuang 10-20 halaman. Saya tahu kalian
semua kesal dengan sensor. Saya pun demikian. Tapi alangkah bijak untuk mencari
informasi dahulu sebelum menyebar kabar burung.
Tapi bagaimana dengan filmnya
sendiri? Apakah masih layak disaksikan di bioskop? Walau kenyataannya “hanya”
dipotong 2-3 menit, itu sudah termasuk banyak. Karena jumlah itu didapat lewat
gabungan banyak momen-momen singkat (5-10 detik). Hampir setiap gore dibuang, padahal saya cukup yakin, 2-3
menit yang hilang itu dapat memberi dorongan kuat bagi keseluruhan kualitas
filmnya. Tanpanya, Hellboy tampil
lesu. Tapi saya enggan mencap Hellboy
buruk, karena tidak adil rasanya menilai film dengan pemotongan sebanyak itu, apalagi
yang hilang termasuk salah satu pondasinya.
Sebagai perbandingan, silahkan
bayangkan: Anda menonton Iron Man,
tapi tanpa mayoritas adegan sang jagoan terbang di angkasa. Apakah kekuatan
filmnya melorot drastis? Tentu. Apakah membuatnya tidak layak tonton? Tidak juga.
Masih ada kelebihan lain. Tapi maukah anda menonton itu? Silahkan pikirkan
baik-baik.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
23 komentar :
Comment Page:Posting Komentar