27 STEPS OF MAY (2019)

23 komentar
Ada istilah twelve-step program, sebuah tahap-tahap panduan pemulihan masalah perilaku (behavioral problem). Di sini, karakter utamanya melalui 27 langkah, dalam film Indonesia langka—bahkan di antara jajaran judul arus alternatif—yang benar-benar memanfaatkan penceritaan bertempo lambat, yang diterapkan sutradara Ravi Bharwani (Jermal, The Rainmaker) bukan sekedar demi “gaya-gayaan”, melainkan diperlukan agar presentasi dramanya meyakinkan sekaligus efektif.

27 Steps of May dibuka melalui pemandangan mengganggu, bukan saja akibat pemerkosaan terhadap karakter utamanya, juga karena, tidak peduli seberapa memikat aktingnya, memaksa Raihaanun memerankan gadis SMP berambut kepang (trik paling klise guna memudakan usia) adalah keputusan yang dipaksakan. Beruntung kita cuma melihat itu selama beberapa menit sebelum filmnya melakukan lompatan waktu.

Delapan tahun berselang, May masih terguncang, menolak keluar kamar, mengidap kelainan perilaku komplusif. Rutinitasnya selalu sama: bangun, lompat tali, menghitung boneka yang tersusun di lemari, menyetrika baju secara hati-hati, mengatur rapi rambutnya dengan jepit, lalu membuka pintu kamar di mana sang ayah (Lukman Sardi) telah menanti untuk mengeluarkan boneka-boneka buatan May yang dijual lewat bantuan seorang teman (Verdi Solaiman).

Setahu saya, stres takkan menyebabkan OCD (Obsessive Compulsive Disorder), tapi peristiwa traumatis bisa memicu bila seseorang memang menyimpan kecenderungan. Kita urung melihat banyak kehidupan May sebelum pemerkosaan, sehingga sulit memastikan akurasi unsur psikologisnya. Tapi pastinya, bukan dia semata yang menderita. Pula sang ayah, yang merasa gagal melindungi puterinya seperti ia melindungi sebutir telur agar tak menggelinding jatuh dari meja. Dia dikuasai amarah termasuk pada diri sendiri akibat rasa bersalah, mendorongnya bertingkah liar di arena (Dia seorang petinju). Muncul dorongan menghajar orang lain, walau mungkin saja, ia pun ingin dihajar sebagai bentuk hukuman bagi diri sendiri

Rutinitas May dan Ayah dipaparkan bergantian, menghadirkan studi kasus perihal dampak peristiwa traumatis, baik terhadap korban maupun keluarga. Hingga suatu hari keanehan terjadi. Kebakaran kecil meninggalkan lubang pemberi ruang untuk secercah cahaya menyinari kamar May. Sang gadis belum siap melangkah keluar dari kegelapan, memilih menjauh bahkan menutup akses cahaya, namun seiring waktu, rasa penasarannya tersulut. Apalagi setelah May mengintip aksi sesosok pesulap (Ario Bayu) melalui lubang itu.

Naskah buatan Rayya Makarim (Banyu Biru, Jermal, Buffalo Boys) cukup cerdik memposisikan ketertarikan May akan trik-trik si pesulap selaku simbolisasi teruntuk terapi yang May lalui demi mengalahkan depresi. 27 Steps of May pun berjalan layaknya terapi, ketika Ravi dengan penuh kesabaran menyuguhkan satu per satu fase secara mendetail. Pertemuan May dengan sang pesulap mungkin tampak aneh, tapi membawa pesan nyata. Bukan saja soal konflik batin May, pula mengenai bagaimana seharusnya cinta bersemi yang melibatkan tahap-tahap saling kenal, saling pikat, bukan sekadar penyaluran nafsu sepihak (Dengarkan wahai para lelaki).

27 Steps of May juga sebuah kenikmatan visual berkat sinematografi garapan Ipung Rachmat Syaiful (Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur) yang sempurna menangkap keindahan dalam kesederhanaan milik kamar May, yang artistiknya ditata oleh Vida Sylvia (Sweet 20, Critical Eleven). Tiada banyak barang, hanya kasur, lemari boneka, dan tentunya lubang di dinding sebagai perlambang perjalanan May keluar dari kurungan mentalnya.

Walau mengusung tema kelam, proses karakternya mencari kedamaian terasa magis nan memuaskan, salah satunya berkat akting mengagumkan Raihaanun. Di awal kita melihat sorot kosong di matanya yang secara bertahap (bukan perubahan dadakan) makin “bernyawa”. Sang aktris memberi sentuhan-sentuhan kecil, dari mata yang mulai bercahaya sekilas senyum simpul, atau gerakan tergesa-gesa menutup rok sebagai perwujudan kondisi psikis May. Raihaanun menghadirkan akting subtil yang hanya bisa diimpikan banyak pelakon seni peran.

Sebagaimana telah disebut, 27 Steps of May bukan sekadar soal korban, juga betapa rasa bersalah turut menguasai keluarga. Perasaan yang acap kali justru sama sekali tak membantu korban. Ayah May terjebak dalam kesakitan luar biasa, berusaha mencari pelampiasan, berujung menelantarkan sang puteri yang butuh uluran tangan. Dinamika dua manusia terluka itu bertambah kompleks, sewaktu May pelan-pelan membaik, sedangkan sang ayah sebaliknya, seolah betah mendekam dalam penderitaan.

Tatkala perilaku komplusif May berkurang, sang ayah justru menganggap ada kesalahan. 27 Steps of May mengingatkan jika kesedihan tersebut manusiawi, meski tak semestinya kita menemukan kenyamanan dari menghukum diri. Apalagi sewaktu membantu korban semestinya jadi prioritas. Saya memakai kata “mengingatkan”, sebab film ini tidak melontarkan kritik pedas, melainkan “tepukan lembut di pundak”. Sebuah kasih hangat yang diwakili konklusi menyentuh, di mana Raihaanun menyulap sebaris kalimat sederhana menjadi ungkapan mengharukan.


23 komentar :

Comment Page:

AVENGERS: ENDGAME (2019)

245 komentar
(JANGAN MEMBUKA KOLOM KOMENTAR KALAU BELUM MENONTON. 
IT'S A WILD JUNGLE FULL OF SPOILERS THERE!)
Merasa Infinity War merupakan keberhasilan mengeksekusi kemustahilan? Tunggu sampai anda menyaksikan sekuelnya. Marvel Cinematic Universe (MCU) adalah soal kesabaran dalam perencanaan. Total 21 film selama hampir 11 tahun dihabiskan demi membangun kisah, yang dibayar lunas lewat kulminasi epik bernama Avengers: Endgame. Hampir seluruh guratan emosi maupun pertarungan masif miliknya, berpijak pada pondasi yang disusun sekian lama. Begitu film usai (kali ini tanpa post-credits scene) wajar saat penonton bertepuk tangan melihat jajaran kredit, khususnya enam anggota “asli” Avengers.

Karena seperti telah dikonfirmasi, salah satu tujuan Endgame adalah memberi penghormatan bagi perjalanan yang telah dilalui Tony Stark (Robert Downey Jr.), Steve Rogers (Chris Evans), Thor (Chris Hemsworth), Bruce Banner (Mark Ruffalo), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), dan Clint Barton (Jeremy Renner). Saya takkan membocorkan sedikit pun poin plot, kecuali bahwa bersama nama-nama lain yang tidak menjadi debu, mereka berusaha memulihkan akibat perbuatan Thanos (Josh Brolin).

Melanjutkan atmosfer konklusi Infinity War, film ini dibuka dengan melankoli. Bahkan dibanding judul keluaran Marvel Studios lain, selama 181 menit durasinya, Endgame punya proporsi drama terbesar, tatkala duo penulis naskah, Christopher Markus dan Stephen McFeely (The Winter Soldier, Civil War, Infinity War), memilih banyak menggulirkan studi karakter, khususnya proses coping jagoan-jagoan kita pasca tragedi jentikkan jari Thanos. Beberapa menolak menyerah, beberapa tenggelam dalam amarah, ada pula yang coba meneruskan langkah.

Hal di atas bukan sebatas pernak-pernik. Di sinilah penanaman benih selama satu dekade menuai hasil. Kita mengenal karakternya, terikat pada mereka, sehingga memahami keputusan serta respon emosional yang muncul. Berkatnya, paparan dramatik Endgame pun menyentuh ranah detail, di mana tiap gestur, ekspresi, juga baris kalimat pendek, menyimpan makna kaya rasa, yang seringkali merujuk pada peristiwa film-film sebelumnya. Dan semuanya mustahil diraih tanpa kegemilangan jajaran pemain.

Chris Evans, Scarlett Johansson, Jeremy Renner, Mark Ruffalo, hingga Karen Gillan membuktikan diri telah melebur dengan sosok peranan masing-masing, sementara kepiawaian memadukan talenta komedi dan dramatik dipamerkan oleh Chris Hemsworth dan Paul Rudd (that “running scene” is really heartbreaking). Tapi bintang utamanya tetap sang maskot: Robert Downey Jr. Melalui performa yang layak diganjar nominasi Oscar, secara meyakinkan ia tunjukkan konflik batin seorang pahlawan yang dihantui kegagalan dan kehilangan. Apabila Infinity War menggiring Tony menuju tantangan fisik dalam pertarungan satu lawan satu menghadapi Thanos, maka Endgame memberinya ujian psikis terberat.

Ini memang cerita di mana status “pahlawan” para jagoannya diuji, kala pengorbanan mesti dilakukan dan egoisme bukan pilihan. Ketimbang melawan Thanos, Endgame cenderung menonjolkan pertarungan Avengers melawan musuh lain: diri mereka sendiri. Terdengar kelam, namun tak pernah depresif, mengingat jalinan humor tetap dapat ditemukan, yang penempatannya memperhatikan presisi, sehingga alih-alih mendistraksi, kita justru bakal dibuat tertawa sembari meneteskan air mata atau terpaku dalam cengkeraman ketegangan. Menyenangkan pula menyaksikan tokoh-tokoh yang baru bertemu seperti Nebula (Karen Gillan), Rhodey (Don Cheadle) dan Scott Lang (Paul Rudd) saling bertukar interaksi kasual.

Di samping deretan drama humanis, spektakel utama Endgame tetaplah soal mencari jalan “membatalkan” perbuatan Thanos. Beragam teori membanjiri internet. Beberapa jadi kenyataan, namun banyak kejutan masih tersimpan rapat. Akan sulit mempersiapkan hati menyaksikan kecerdikan Markus dan McFeely menyulap petualangan Avengers menjadi penghormatan bagi mereka, dengan membawa kita mengunjungi kumpulan momen (plus sosok) familiar, sementara karakternya coba berdamai dengan permasalahan silam yang belum usai.

Puncaknya adalah pertempuran epik yang menebus perencanaan jangka panjang Marvel Studios. Semua shared universe, tidak peduli dalam media apa pun, bermimpi mencapai titik ini. Russo Bersaudara mengangkangi pencapaian di Infinity War lewat kesuksesan memproduksi salah satu set piece terbesar dan tergila penuh momen fan service, yang berkat tangkapan kamera sang sinematografer langganan, Trent Opaloch, banyak menampilkan heroic money shot. Alhasil, tiap individu memperoleh kesempatan bersinar meski hanya sejenak, termasuk jajaran jagoan wanita. Walau mengharapkan porsi lebih bagi Captain Marvel (Brie Larson), saya bisa memaklumi mengingat Endgame mengutamakan pemberian spotlight untuk keenam anggota asli Avengers.

Belum cukup mendengar pujian? Tunggu sampai anda mendapati keberhasilan Endgame memberi konklusi yang pantas terhadap seluruh konflik personal menahun yang karakternya hadapi, sembari tak lupa menebar petunjuk terkait masa depan. Mungkin anda tak menganggap Avengers: Endgame sempurna, namun jika pulang tanpa merasakan kepuasan, mungkin film blockbuster memang bukan untuk anda.

245 komentar :

Comment Page: «Terlama ‹Lebih tua     Lebih baru› Terbaru» «Terlama   ‹Lebih tua     Lebih baru›   Terbaru»

KALANK (2019)

4 komentar
Diproduseri oleh sang legenda Karan Johar (Kuch Kuch Hota Hai, Kabhi Khushi Kabhie Gham, My Name is Khan), film berdurasi 166 menit ini diisi kisah cinta segitiga, isu pernikahan, hingga keluarga disfungsional dengan rahasia kelam. Kalank bagai usaha menangkap kembali semangat romansa epik khas Bollywood klasik dalam sentuhan modern berupa kemegahan departemen artistik.

Alhasil tatkala Kalank hanya berakhir sebagai “karya yang tidak buruk”, pantaslah rasanya cap “mengecewakan” disematkan. Digawangi oleh sutradara/penulis naskah Abhishek Varman (2 States), filmnnya mengusung ambisi tinggi. Terlampau tinggi malah, sehingga meroket ke tingkat yang tak mampu dijangkau. Selipan konflik sosial-politik setengah matang mengenai pemisahan India malah menciptakan distraksi alih-alih memperkuat dramanya.

Begitu mengetahui usianya hanya tersisa setahun akibat kanker, Satya (Sonakshi Sinha) meminta kerabat masa kecilnya, Roop (Alia Bhatt), agar menikahi sang suami, Dev (Aditya Roy Kapur). Satya berharap, sepeninggalnya, Dev takkan hidup kesepian. Roop dan Dev bersedia menikah demi Satya, namun tak ada cinta di antara mereka. Keduanya tinggal seatap, tapi jangankan berhubungan layaknya suami-istri, mengenali wajah masing-masing saja tidak.

Kehidupan baru di kediaman keluarga Chaudhry ini meninggalkan kekosongan di hati Roop. Mencari hiburan, ia meminta Bahaar (Madhuri Dixit), guru vokal merangkap pemilik rumah bordil, melatihnya bernyanyi. Niatan itu ditentang keras oleh keluarganya, sampai Roop bersedia bekerja di kantor surat kabar milik Dev yang belakangan kerap menyulut kontroversi sekaligus menjadi musuh kelompok Islam setempat akibat sikap kerasnya menolak pemisahan.

Dari situlah awal mula pertemuan Roop dengan Zafar (Varun Dhawan), seorang pandai besi sekaligus anggota kelompok muslim garis keras, yang memendam benci terhadap keluarga Chaudhry. Meski sempat dibuat kesal, lama-lama Roop malah menemukan kenyamanan dari kehadiran Zafar. Ditemukannya sesuatu untuk mengisi kehampaan biduk rumah tangganya. Tapi tanpa Roop ketahui, Zafar menyimpan agenda lain.

Presentasi elemen sosial-politik dalam naskah Abhishek, yang kelak memberi bekal bagi dramatisasi klimaksnya, kesulitan menemukan kadar yang pas. Lebih dari sekadar latar, namun minim eksplorasi bila ingin dijadikan santapan utama. Proporsi romansa pun jadi korban, meski dasarnya, perihal romansanya memang sudah terasa kekurangan jiwa. Abhishek berlebihan memakai kalimat quotable bernuansa puitis maupun bernada filosofis, yang kurang memanusiakan serta melucuti keintiman antar tokoh, pula kerap bergulir terlampau panjang dan terkesan bertele-tele.

Kalank membutuhkan sentuhan humanis, yang beruntung, dapat ditemukan dari performa jajaran pemain. Alia Bhatt memancarkan aura kehadiran kuat yang—sebagaimana banyak pelakon papan atas Bollywood—membedakan antara “aktor baik” dengan “megabintang”. Sedangkan Varun Dhawan mulus melakoni transformasi Zafar, dari pria penuh kebencian yang “takut” akan kebaikan, menjadi sosok baik nan tak individualis berkat cinta.

Sayangnya, itu pula yang film ini gagal maksimalkan: Bagaimana cinta memantik kebaikan hati, dan sebaliknya, ketiadaan cinta bisa membawa kekacauan. Pesan sederhana, kalau bukan klise, yang tertutup bayang-bayang ambisi tampil kompleks, termasuk pemakaian paksa gaya bertutur non-linier, tatkala Roop menuturkan kisahnya kepada pewawancara. Elemen itu hadir tiba-tiba entah dari mana, dan tak membawa pengaruh sedikitpun bagi narasi.

Jalinan cerita Kalank memang bak opera sabun, dan itu bukan hal yang wajib dihindari. Sebab, se-cheesy apa pun, pengungkapan tiap fakta mengejutkan mengenai rahasia masa lalu atau identitas karakter, sudah cukup untuk membuat penonton terkesiap atau merasa gemas. Filmnya tidak perlu merasa malu, karena dengan veteran-veteran hebat seperti  terkesiap atau merasa gemas. Filmnya tidak perlu merasa malu, karena saat veteran-veteran hebat seperti Sanjay Dutt dan Madhuri Dixit beradu rasa, mustahil Kalank terkesan murahan.

Tengok pula pencapaian departemen artistiknya. Biarpun penyutradaraan Abhishek kentara masih jauh di bawah sang mentor (ia pernah menjadi astrada Karan Johar di My Name is Khan dan Student of the Year) terkait cara menangani kemegahan semacam ini, mata kita tetap bakal terpuaskan oleh kain-kain serta dekorasi mahal beraneka warna dan desain. Pun berkat sekuen penutupnya yang indah juga menyentuh, Kalank meninggalkan aftertaste positif.

4 komentar :

Comment Page:

POLICE EVO (2019)

3 komentar
Film produksi gabungan antara Malaysia dengan Indonesia ini bagaikan quasi-reboot bagi seri Polis Evo. Walau masih menampilkan Shaheizy Sam dan Zizan Razak sebagai pemeran utama, filmnya berubah jalur dari buddy cop berbumbu komedi menjadi sajian police procedural yang lebih kelam. Cerita kedua film pun tak berkaitan, sementara pemilihan judulnya dibedakan, antara versi Malaysia (Polis Evo 2) dan internasional termasuk Indonesia (Police Evo).

Ceritanya mengetengahkan usaha pihak kepolisian memberantas kelompok teroris al-Minas, yang punya keterkaitan dengan pengedar narkoba bernama Riky (Tanta Ginting). Polri yang membantu kepolisian Malaysia, menempatkan Rian (Raline Shah) sebagai mata-mata di kubu Riky. Tapi setelah sebuah penyergapan yang gagal, Rian pun sadar bahwa ada pengkhianat yang selama ini selalu membocorkan rencana polisi kepada Riky.

Celaka bagi Rian, suatu insiden membuatnya dituduh sebagai pembunuh. Guna membersihkan namanya, dia pun mesti meringkus Riky, yang menyimpan seluruh barang bukti. Situasi semakin kompleks setelah Riky justru ditangkap pihak al-Minas, yang juga berencana menyandera puluhan warga pulau fiktif bernama Cherong. Al-Minas menuntut pembebasan ketua mereka, yang ditahan polisi pasca tertembak di suatu penyergapan berujung baku tembak.

Secara bersamaan, Inspektur Khai (Shaheizy Sam) dan Inspektur Sani (Zizan Razak) dari Malaysia pun tengah memimpin penyelidikan sebuah tim kecil di Cherong. Terjebak di situasi mematikan yang tidak terduga, kedua aparat beda negara itu pun harus bersatu, bukan hanya untuk melumpuhkan para teroris, pula melindungi nyawa puluhan manusia, termasuk mereka sendiri.

Timbul masalah penceritaan tatkala naskahnya kerepotan membagi fokus antar-karakter, yang masing-masing menyimpan potensi melahirkan konflik kompleks nan menarik. Misalnya Sani, yang sepanjang film menemui berbagai situasi—yang senantiasa melibatkan “pemakaian pistol” serta “menyelamatkan warga sipil”—di mana ia dituntut menarik keputusan cepat. Puncaknya adalah ujian terhadap prinsip sekaligus kondisi psikisnya, walau gejolak yang dihasilkan kurang dieksplorasi, pun berakhir terlampau gampang. Sedangkan story arc milik Rian yang menghadapi tuduhan palsu hanya berakhir selaku hiasan yang tak pernah terasa substansial, tidak peduli semeyakinkan apa pun Raline Shah memerankan jagoan aksi wanita.

Aktor Hasnul Rahmat memerankan Hafsyam, adik pimpinan al-Minas yang untuk sementara menggantikan peran sang kakak menggerakkan aksi para anggotanya “mencari surga”. Hasnul tampil apik memerankan antagonis sinting, seorang teroris seksis yang penuh keyakinan bahwa ia merupakan prajurit Tuhan. Sosoknya semakin mengerikan berkat kemampuannya mempermainkan psikis korban. Di tangan Hasnul, orasi-orasi Hafsyam mengingatkan saya betapa teroris pembawa bendera agama garis keras memang iblis mengerikan. Andai terdapat lebih banyak eksplorasi untuk ideologi Hafsyam, terlebih melihat keterlibatan al-Minas dalam bisnis jual-beli narkoba (yang mana diharamkan) demi membantu tercapainya tujuan mereka.

Jajaran aksi penuh letusan senjata maupun ledakan bom hadir dalam dosis tinggi, walau di banyak kesempatan, duo sutradara, Joel Soh dan Andre Chiew, terlalu bergantung pada quick cuts yang melucuti intensitas. Beruntung kelemahan itu dibayar lunas oleh keseruan babak ketiganya. Menampilkan musik heart-pumping garapan tim Maveriq Studios dan momen heroik tokoh-tokohnya, klimaks menegangkan tercipta. Ketiga tokoh utama digiring menuju pertarungan maha berat yang mampu memancing saya bertanya, “Bagaimana mereka akan lolos dari semua ini?”. Police Evo juga layak diapresiasi atas kesediaan menghormati penonton dengan tak menerapkan deus ex machina sebagai alat penyelesai masalah, meski pilihan itu sejatinya terbuka lebar.

Di dalam medan perang berbahaya di Pulau Cherong, sosok Shaheizy Sam paling menonjol. Dikenal sebagai aktor penuh komitmen yang bersedia mengubah tubuhnya demi peran, Shaheizy bukan cuma terlihat meyakinkan selaku jagoan aksi lewat otot-otot besarnya, pula mengerahkan seluruh daya upaya kala menangani luapan-luapan emosi juga pertarungan hard-hitting.

3 komentar :

Comment Page:

RUMPUT TETANGGA (2019)

6 komentar
Sejauh ini, meski masih menyisakan sedikit kepahitan, 2019 adalah tahun yang menjanjikan bagi industri perfilman Indonesia. Banyak judul berkualitas paten buatan sineas kawakan, tapi hal paling menyenangkan adalah ketika beberapa pihak yang identik dengan produk bermutu jongkok, mulai melahirkan karya yang dapat dipertanggungjawabkan. Setelah minggu lalu MD Pictures merilis Sunyi, kini giliran RA Pictures—salah satu rumah produksi dengan reputasi paling negatif—melepas drama-komedi yang biarpun tetap menyimpan setumpuk kekurangan, sanggup tampil menghibur, bahkan menghangatkan hati.

Kita pernah berada di posisi Kirana (Titi Kamal). Dihantui ketidakpuasan, penyesalan, dan ingin menjalan kehidupan berbeda sesuai impian. Kirana merupakan ibu rumah tangga, sementara suaminya, Ben (Raffi Ahmad) bekerja di bidang jual-beli mobil. Kehidupan mereka berkecukupan, cukup bahagia, meski Kirana kerap kerepotan mengurusi kedua anaknya. Alergi sang puteri, Windy (Aqila Herby), terhadap kacang membuatnya harus selalu waspada, sedangkan puteranya, Rega (Daffa Deddy), mengidap disleksia. Kirana kekurangan percaya diri, merasa status sebagai ibu rumah tangga tak cukup mentereng, apalagi selepas pertemuannya dengan seorang kawan lama, Diana (Donita). Diana adalah konsultan PR ternama yang hidup bergelimang kemewahan dan masih melajang. Kirana menginginkan kehidupan semacam itu.

Mengusung premis fantasi menarik soal “hidup yang tertukar” seperti Freaky Friday, The Change-Up, dan lain-lain, Rumput Tetangga enggan terburu-buru membawa alurnya memasuki materi jualan utamanya itu. Digarap oleh Alim Sudio (99 Cahaya di Langit Eropa, Chrisye, Kuntilanak), naskahnya bergerak penuh kesabaran, terlebih dulu memantapkan pondasi, mendeskripsikan betapa beratnya keseharian Kirana supaya penonton bisa memahami frustrasinya.

Memasuki sekitar setengah jam, barulah elemen fantasi diperkenalkan. Di malam reuni SMA, Kirana bertemu Madam Sri Menyan (diperankan Asri Welas lewat kejenakaan khas yang tak pernah gagal mengocok perut lewat kata-kata tanpa saringan), peramal yang sanggup mengabulkan permintaan Kirana. Pagi berikutnya, Kirana terbangun di apartemen mewah, menyandang gelar CEO perusahaan sekaligus konsultan PR nomor satu, memiliki segala yang telah lama diimpikan. Hanya satu yang sekarang tidak ia punya: keluarga.

Sebaliknya, kini Diana menjadi ibu rumah tangga, istri Ben, sekaligus ibu bagi Windy dan Rega. Seperti telah judulnya tuliskan, mudah menebak ke mana Rumput Tetangga bakal berujung: Kirana akan menyadari betapa ia terlalu dikuasai rasa iri dan selalu merasa “rumput tetangga lebih hijau”. Tapi mudah ditebak atau tidak bukanlah soal. Terpenting adalah bagaimana film karya Guntur Soeharjanto (Jilbab Traveler, Ayat-Ayat Cinta 2, Belok Kanan Barcelona) ini menjadi drama-komedi menyenangkan yang lancar menyampaikan pesan sambil memainkan perasaan.

Sejatinya Rumpu Tetangga berpotensi turut mengolah kisah seputar pemberdayaan wanita, tepatnya membahas bahwa ibu rumah tangga bukan profesi memalukan, terlebih jika itu dijalankan tanpa paksaan alias merupakan pilihan. Cukup disayangkan, naskahnya urung mengeksplorasi isu di atas secara mendalam, tapi toh memang bukan itu fokusnya, melainkan tentang mensyukuri kehidupan.

Dramanya bergerak dengan baik, dihiasi ketepatan Guntur Soeharjanto memilih lagu-lagu pengiring seperti Yang Kumau-nya Krisdayanti atau Andai Aku Bisa milik Chrisye, yang berkontribusi menambah bobot emosional beberapa momen, tatkala Titi Kamal memamerkan talentanya memadukan comic timing dengan akting dramatik. Saya yakin anda akan menemukan banjir pujian bagi Titi di ulasan-ulasan lain, sehingga biarkan saya turut menekankan betapa bagusnya penampilan Gading Marten sebagai Indra, asisten Kirana (dan Diana), bukti betapa kualitasnya di Love for Sale bukan kebetulan. Gading punya sensitivitas yang berguna menghadirkan akting subtil, sehingga ia mampu banyak bicara meski tanpa tuturan kata.

Unsur fantasi pun dipresentasikan lumayan rapi, saat berbagai tebaran petunjuk bisa ditemukan sepanjang durasi sebelum kebenaran sesungguhnya terungkap. Sayang, mencapai babak ketiga, naskahnya keteteran. Berbagai lubang serta ketidakjelasan aturan perihal “tukar-menukar hidup”, datang silih berganti begitu twist diungkap. Mencuat pula beberapa tanya, misalnya, “Mengapa Madam Sri Menyan harus berteka-teki tentang cara kembali ke kehidupan semula?”. Beruntung filmnya memiliki protagonis likeable ditambah cerita yang mendapat eksplorasi memadahi, di mana saya mampu diyakinkan jika kehidupan lama Kirana memang layak diperjuangkan. Alhasil, biarpun telah tercium sedari awal filmnya bergulir, Rumput Tetangga memiliki penutup yang memuaskan.

6 komentar :

Comment Page:

POCONG THE ORIGIN (2019)

13 komentar
Pocong the Origin, selaku (meminjam istilah Monty Tiwa) “reinkarnasi” Pocong (2006) yang dilarang tayang oleh LSF karena dianggap membangkitkan luka lama  terkait tragedi 1998 (konon film ini dibuat berdasarkan naskah sama), berusaha mencampur elemen horor dengan komedi, mengingatkan akan judul-judul legendaris Suzzanna. Tapi ada satu masalah besar: filmnya gagal tampil menyeramkan.

Adegan pembukanya menjanjikan, kala pembunuh berantai bernama Ananta (Surya Saputra) sedang menanti waktu eksekusi sambil mendengarkan lagu Di Bawah Sinar Bulan Purnama milik Sundari Soekotjo. Saya menyukai keputusan film ini memakai nomor-nomor keroncong, yang di balik keindahannya sebagai karya seni, menyimpan mistisisme yang dapat menciptakan kengerian bila digunakan secara tepat.

Selepas dieksekusi, jenazah Ananta mesti dimakamkan di kampung halamannya sebelum lewat 24 jam. Jika tidak, ilmu banaspati yang ia miliki akan terus bangkit. Karenanya, Sasthi (Nadya Arina), puteri tunggal Ananta yang hidup menyendiri di bawah tekanan sosial akibat status sang ayah, ditemani Yama (Samuel Rizal) si sipir penjara, mesti mengantar jenazah itu, dalam sebuah perjalanan penuh gangguan gaib.

Jalur menarik ditempuh Pocong the Origin, sebagai horor lokal langka (kalau bukan satu-satunya) yang meminjam unsur film road trip. Sayang, naskah besutan Monty bersama Eric Tiwa (Laskar Pemimpi, Barakati) tak cukup kreatif dalam menangani elemen tersebut, dan berujung melahirkan repetisi. Gangguan terjadi tiap Yama dan Sasthi menghentikan perjalanan, yang tidak pernah jauh dari dua hal, yakni antara Yama ingin kencing atau mobil yang rusak. Pun respon keduanya hampir selalu sama: membuka telepon genggam, lalu mengeluhkan hilangnya sinyal.

Seperti telah saya sebut, Pocong the Origin berniat menciptakan lagi sensasi horor-horor Suzzanna. Filmnya ingin memancing keriuhan penonton, di mana kita diharapkan berteriak histeris sembari tertawa lepas. Tawa bisa ditemukan berkat humor efektif berupa situasi jenaka saat tokoh-tokohnya dibuat tunggang langgang oleh penampakan hantu, namun teriakan ketakutan urung hadir.

Menolak mengeksploitasi jump scare pantas diapresiasi, tapi pilihan itu tak otomatis membuat terornya lebih berdampak. Padahal Monty adalah orang di balik adegan penampakan pocong paling mengerikan sepanjang masa di Keramat (2009). Bukan cuma itu, kali ini Monty sempat coba melakukan “reka ulang” terhadap adegan “keranda mayat” dari film tersebut, tapi gagal memproduksi intensitas serupa. Terlebih, bagi sebagian penonton, riasan bagi para hantu di momen tersebut mungkin bakal tampak menggelikan.

Sedangkan perihal membangun atmosfer melalui penerangan minimalis justru kerap menjadi bumerang. Tidak jarang adegan tampil terlampau gelap, meski harus diakui, gambar-gambar memikat masih bisa sesekali ditemukan, berkat kelihaian Anggi Frisca (Sekala Niskala, Negeri Dongeng, Night Bus) selaku penata kamera bermain cahaya.

Jajaran pemain berusaha maksimal, khususnya Samuel dan Nadya. Semenjak Target tahun lalu, Samuel mengambil jalur tepat bagi babak baru karir layar lebarnya, dengan menjauh dari peran “cowok keren”, dan berani memainkan sosok konyol. Di sini ia tampil menghibur, meski saya bingung, bagaimana bisa momen saat ia salah mengucap “mas” menjadi “mbak”, lolos dari penyuntingan. Sementara Nadya cukup solid memerankan gadis yang terjebak di konflik batin. Biarpun amat menyayangi sang ayah, ia tak bisa menyangkal  jika Ananta adalah pembunuh berantai. Sebuah dilema menarik yang tidak sanggup dipresentasikan secara memuaskan oleh naskahnya.

“Lawan” Nadya adalah Jayanthi (Della Dartyan), jurnalis yang diam-diam mengikuti Yama dan Sasthi demi memperoleh berita, sambil mengusung alasan personal karena sahabatnya merupakan salah satu korban Ananta. Ketimbang drama thought-provoking berupa gesekan argumen dua pihak berlawanan, kita hanya disuguhi debat kusir tanpa akhir maupun jiwa, tatkala hanya volume suara yang meninggi, bukan kadar emosi.

Sebagaimana nasib banyak horor belakangan baik dalam atau luar negeri, Pocong the Origin kesulitan menciptakan babak ketiga yang mumpuni. Setelah lama menanti, konfrontasi final ketika banaspati mencapai puncak kekuatan berkat keberadaan blood moon, malah berujung pertarungan canggung nan antiklimaks, yang gagal menangkap reputasi pocong sebagai salah satu hantu Indonesia paling mengerikan.

13 komentar :

Comment Page:

THE CURSE OF LA LLORONA (2019)

11 komentar
The Curse of La Llorona jadi kasus langka ketika saya berharap film horor bersedia meningkatkan volume tata suara kala hantu menampakkan diri. Terornya terlampau lirih, kurang bertenaga, dan ketika teror tersebut dijadikan sajian utama alih-alih mengedepankan bangunan kisah—yang berkaca pada modus operandi sosok kuntilanak dengan kearifan Meksiko ini sejatinya berpotensi mengerikan—filmnya pun lebih pantas disebut sebagai “The Curse of the Boring Woman”.

Ditulis naskahnya oleh duet Tobias Iaconis dan Mikki Daughtry yang sebelumnya menelurkan Five Feets Apart, judul keenam dalam seri The Conjuring ini sesungguhnya menjanjikan tiap ceritanya menyentuh ranah mimpi buruk parenting. Kehilangan anak adalah mimpi buruk semua ibu, apalagi jika ia justru dituduh sebagai biang keladi di balik tragedi tersebut.

Itulah yang dialami Patricia Alvarez (Patricia Velásquez), tatkala Anna (Linda Cardellini), seorang pekerja sosial, meyakini ia melakukan tindak kekerasan terhadap dua puteranya. Patricia mengurung mereka, dan bekas luka ditemukan di tangan keduanya. Patricia menyangkal. Dia menyebut, perbuatannya itu terpaksa dilakukan demi mencegah La Llorona, hantu wanita dari legenda Meksiko, menculik anak-anaknya. Patricia ditahan, namun bukannya aman, dua bocah itu justru ditemukan tewas  tenggelam.

Ya, The Curse of La Llorona merupakan horor yang tak segan menghabisi nyawa karakter bocah. Dari situlah kita dibuat yakin bahwa bahaya yang mengintai Anna beserta putera-puterinya, Samantha (Jaynee-Lynne Kinchen) dan Chris (Roman Christou) tidak main-main. Bahkan teror La Llorona sempat menyentuh ranah kengerian psikologis kala Anna, sebagai pekerja sosial di bidang perlindunan anak, terjebak di posisi serupa Patricia. Dia disinyalir bertanggung jawab atas luka-luka yang diderita Samantha dan Chris. Ironis, miris, berpotensi tragis.

Sayang, elemen itu cuma dipaparkan sepintas lalu. Eksplorasi kisah dikesampingkan demi deretan jump scare yang memperlihatkan jika dalam debut penyutradaraan layar lebarnya, Michael Chaves belum terlalu menguasai teknik menggedor jantung. Walau dasarnya ide teror yang dimiliki naskah memang kurang impresif, lemahnya Michael mengatur timing atau memilih sudut kamera jelas tak memperbaiki situasi. Ditambah keputusan menerapkan tata suara “ramah telinga”, kemunculan La Llorona cenderung menjemukan. Kini saya mulai mengkhawatirkan nasib The Conjuring 3 yang bakal ia tangani.

Padahal jajaran pemain telah berkontribusi memberi akting mumpuni. Bukan saja Linda Cardellini selaku ibu yang dihantui kekhawatiran, Jaynee-Lynne Kinchen  dan Roman Christou pun sanggup melahirkan karakter anak yang simpatik. Ketika pertama disambangi La Llorona, mereka memilih diam didorong keraguan apakah semuanya hanya imajinasi atau kenyataan. Penokohan keduanya memiliki kedewasaan tanpa merusak kemurnian keduanya sebagai bocah. Pun hal itu menghindarkan filmnya dari perdebatan mengesalkan dengan sang ibu mengenai benar atau tidaknya eksistensi La Llorona.

Seolah belajar dari kesuksesan Annabelle: Creation (2017), jelang babak ketiga, sedikit sentuhan humor bisa ditemukan, yang ketimbang mendistraksi, justru menambah warna bagi tokoh-tokohnya. Ketegangan bertambah di titik itu, pasca dukun bernama Rafael (Raymond Cruz) terjun ke medan perang, dan secara bersamaan La Llorona turut meningkatkan intensitas serangannya. Sayang, tidak lama kemudian The Curse of La Llorona kembali terjerembab akibat kurang piawainya sang sutradara memproduksi teror serta bertebarannya lubang logika (Jadi apakah La Llorona memerlukan akses ke pintu untuk menginvasi rumah?), walau sesekali, jump scare “menyenangkan” masih dapat ditemui.

11 komentar :

Comment Page:

HOMESTAY (2018)

7 komentar
Homestay, selaku adaptasi novel Jepang berjudul Colorful karya Eto Mori, adalah proyek ambisius berupa peleburan elemen fantasi, romansa, drama keluarga, thriller, dan misteri. Bahkan tone-nya terus berganti, antara sajian ringan menggemaskan khas percintaan remaja Thailand dan suasana kelam dari isu bunuh diri, disfungsi keluarga, hingga penelusuran makna kehidupan.

Kisahnya dibuka saat protagonis tanpa nama kita (Teeradon Supapunpinyo) terbangun di kamar mayat dalam tubuh remaja bernama Min yang baru saja meninggal bunuh diri. Di tengah kebingungan tersebut, ia bertemu sosok misterius yang mengaku sebagai penjaganya. Pertemuan keduanya dibungkus oleh momen melawan gravitasi yang akan kita lihat beberapa kali lagi, sebagai bentuk unjuk gigi kualitas efek visual filmnya dan kepiawaian sutradara Parkpoom Wongpoom (Shutter, Alone, 4bia) menangani adegan bergaya.

Sang penjaga—yang nantinya muncul dalam wujud berbeda-beda termasuk cameo Laila Boonyasak sebagai suster nakal—memberi protagonis kita tugas untuk mencari alasan Min bunuh diri. Dia diberi waktu 100 hari. Jika berhasil, ia mendapat kesempatan kedua untuk hidup, namun bila gagal, ia bakal tewas secara permanen dan kehilangan kesempatan reinkarnasi. Investigasi “Min palsu”, yang dibalut tempo lampat sehingga durasi Homestay membengkak sampai 131 menit—membawa beberapa pemahaman. Min adalah remaja tertutup, hidup di bawah tekanan, selalu menyendiri dan berdiam diri.

Keluarga Min pun jauh dari harmonis. Ayahnya (Roj Kwantham) berhenti mengajar untuk menjalankan bisnis MLM menjual suplemen, Ibunya (Suquan Bulakul) tinggal di kota lain karena tuntutan pekerjaan, sementara sang kakak, Menn (Natthasit Kotimanuswanich), tampak begitu membencinya. Asumsi pun timbul, bahwa Min memilih mengakhiri hidupnya karena tidak tahan menghadapi kondisi keluarganya.

Walau bergerak lambat, investigasi terhadap motivasi Min mampu menciptakan misteri menarik berkat kemampuan naskahnya, yang digarap lima penulis (Thodsapon Thiptinnakorn, Jirassaya Wongsutin, Abhichoke Chandrasen, Eakasit Thairaat, Parkpoom Wongpoom), untuk secara cermat memilah, kapan harus melempar pertanyaan, kapan harus menjawab, atau setidaknya menebar petunjuk. Beberapa twist sempat hadir, yang walau tak sulit ditebak, efektif menambah dinamika.

Kemudian diperkenalkanlah Pi (diperankan Cherprang Areekul, kapten BNK48), gadis cerdas anggota tim Olimpiade sains yang  juga peer tutor bagi Min. “Min palsu” jatuh cinta pada Pi dan dari situlah ia memutuskan bertransformasi. Dia buang gaya rambut dan berpakaian emo, menciptakan Min yang lebih ceria, bersemangat, dan penuh warna. Pi pun terpikat pada Min yang baru, membuka jalan bagi Homestay berpindah sejenak menuju fase bernuansa ringan sebagai kisah cinta remaja menggemaskan yang berhasil memancing senyum. Kuatnya chemistry kedua pemeran utama juga berkontribusi memproduksi romantika bernyawa.

Sampai Homestay kembali melempar penonton menuju keseriusan, yang kali ini lebih kelam dibanding sebelumnya, pula mengoyak perasaan. Serupa protagonisnya, pada titik ini kita dibawa menjalani kehidupan bak neraka milik Min, lalu pelan-pelan memahami, bahkan bisa jadi merasakan hal yang sama dengan remaja malang tersebut. Bukan mustahil pula anda dibuat berandai-andai, apakah bakal mengambil tindakan seperti Min apabila ditempatkan di kondisi yang sama.

Sayangnya di situlah puncak rasa Homestay, sebab konklusi yang menyusul kemudian, hadir terburu-buru juga dengan penuturan sedikit kacau. Alhasil dampak emosional yang semestinya dipunyai, bahkan jadi “gong” bagi momen penutup film semacam ini, tak dapat ditemukan. Pesannya bermakna, namun persepsinya soal isu bunuh diri terkesan dangkal bahkan cenderung kurang sensitif. Homestay mampu membuat penonton memahami pesan tentang “mensyukuri hidup” yang diusung, tapi tak sampai ikut merasakannya.

7 komentar :

Comment Page:

BUMI ITU BULAT (2019)

6 komentar
Pada masa di mana radikalisme tambah mengkhawatirkan, film seperti Bumi itu Bulat bisa menjadi tontonan penting. Dibuat dengan keterlibatan GP Ansor, tidak mengejutkan bila karya penyutradaraan layar lebar perdana Ron Widodo ini menjadi kampanye anti-radikalisme. Tapi ada satu masalah akibat kalimat “Kalau kita tidak bisa bersama, seenggaknya kita bisa saling menghargai”, yang merupakan salah satu jualan utama filmnya.

Mengapa kalimat di atas bermasalah? Bukankah itu pesan damai yang menyejukkan? Karena mengacu pada bagaimana kalimat itu disampaikan, filmya pun mestinya mampu mengajak penonton menghargai eksistensi jajaran Islam garis keras, selama tak menimbulkan bahaya secara nyata. Tapi kenapa? Apa perlunya menghargai radikalisme? Bumi itu Bulat gagal menjawab itu.

Karakter utamanya adalah Rahabi (Rayn Wijaya), anggota grup Rujak Acapella yang membangun kesuksesan via YouTube, dengan jumlah penonton dan subscribers mencapai ratusan ribu. Ciri khas mereka adalah menyanyikan lagu kebangsaan. Inilah cara filmnya mempromosikan nasionalisme pada penonton muda, dengan menyulap lagu yang mungkin dianggap kurang trendi menjadi nomor akapela keren. Walau dibekali aransemen apik, saya cukup terganggu oleh buruknya lip sync jajaran pemain, ditambah tata suara kurang natural, khususnya saat karakternya bernyanyi tanpa mikrofon. Film kita butuh belajar menciptakan adegan live performance supaya terdengar organik.

Nama “Rujak Acapella” sendiri datang dari variasi identitas anggota, yang terdiri atas beragam suku, agama, dan gender. Kini mereka mengincar kontrak rekaman, tapi sayangnya, sang produser, Aldi (Arie Kriting), merasa tampang personel Rujak Acapella kuranng menjual, meski mengakui musikalitasnya. Aldi pun mengajukan syarat: Demi mendapat kontrak, Rujak Acapella harus memasukkan penyanyi muda bernama Aisha (Febby Rastanty) sebagai anggota. Masalahnya, Aisha—walau kebetulan berkuliah di kampus yang sama—telah berhenti bernyanyi pasca berhijrah.

Di tengah penolakan rekan-rekannya, khususnya Tiara (Rania Putrisari), Rahabi bersikeras menerima syarat tersebut. Alasannya, ia membutuhkan uang untuk membiayai sekolah kedokteran adiknya, Rara (Tissa Biani). Rahabi sendiri telah beberapa lama pergi dari rumah akibat pertengkaran dengan ayahnya, Syaiful (Mathias Muchus), yang merupakan anggota Banser. Rahabi merasa sang ayah hanya mementingkan pekerjaan, menelantarkan keluarga, sehingga menyebabkan meninggalnya sang ibu.

Tapi jalan Rahabi membujuk Aisha jauh dari mulus. Selain kukuh meninggalkan dunia tarik usara, Aisha pun terganggu oleh keberadaan non-Islam di Rujak Acapella. Abi terus memaksakan diri, dan dampaknya, perpecahan mulai terjadi, apalagi setelah ia menyetujui persyaratan Aisyah, untuk mewawancarai Bu Farah (Ria Irawan), dosen garis keras yang dipecat karena menyuarakan ujaran kebencian. Melalui elemen inilah Bumi itu Bulat membawa kita menyusuri kenyataan mengerikan soal betapa mudahnya prosedur cuci otak radikalisme berlangsung di dunia kampus.

Bumi itu Bulat memposisikan para radikal sepenuhnya sebagai pihak buruk, yang mana saya setujui. Perspektif satu arah dalam film sah-sah saja dilakukan. Namun ketika filmnya membuat Abi berkata, “Kalau kita tidak bisa bersama, seenggaknya kita bisa saling menghargai” kepada Aisha, secara tidak langsung Bumi itu Bulat mengajak kita menghargai para radikal. Sekali lagi itu sah, selama naskah buatan Andre Supangat berhasil menyuguhkan alasan logis, yang mana gagal dilakukan.  Sampai akhir, saya urung menemukan alasan untuk menghargai tokoh-tokoh seperti Aisha atau Bu Farah.

Di luar itu, Bumi itu Bulat dituturkan dengan cukup baik. Kekhawatiran saya bahwa unsur cinta segitiga cheesy antara Rahabi-Tiara-Aisha bakal mendistraksi nyatanya tidak terbukti. Unsur itu disampaikan secara subtil, di mana Tiara terus bertahan sebagai individu tegas, yang mengajukan keberatan atas bergabungnya Aisha, murni karena alasan kelompok ketimbang perasaan pribadi. Walau di lubuk hati terdalam hal itu pastinya tetap berkontribusi, Tiara sanggup melontarkan opini objektif nan beralasan.

Dramanya turut ditunjang performa solid jajaran pemain. Di antara tim Rujak Acapella, Rania Putrisari paling menonjol berkat ekspresi serta bahasa tugas yang mendukung ketegasan karakternya. Mathias Muchus sekali lagi mampu menghembuskan hati biarpun memerankan sosok pria keras, Tissa Biani masih seorang pencuri perhatian yang jago memancing seyum penonton, sedangkan Christine Hakim tetaplah Christine Hakim yang bakal meninggalkan kesan meski hanya muncul sejenak.

Babak ketiganya dibuat berdasarkan insiden dunia nyata kental intoleransi antara umat beragama. Relevan, tapi sayang diakhiri lewat simplifikasi. Di realita, takkan semudah itu meredakan amukan warga yang mudah terprovokasi akibat mabuk agama. Beruntung, menyusul beriutnya adalah konklusi cheesy tapi menyentuh bagi konflik ayah-anak. Menyentuh, sebab biar bagaimanapun, mayoritas ayah memang pahlawan super untuk anaknya.

Saya turut mengagumi saat Bumi itu Bulat menyelipkan penampilan Rujak Acapella di tengah upacara pembukaan Asian Games 2018 secara cukup meyakinkan. Belum sempurna, tapi setidaknya tampak alamiah. Dan kali ini, karena konteksnya bernyanyi menggunakan mikrofon dan sound system, nyanyian mereka lebih bisa diterima pula terdengar nyaman di telinga.

6 komentar :

Comment Page:

SUNYI (2019)

22 komentar
Sunyi merupakan remake dari Whispering Corridors (1998), yang mana ambil bagian dalam era baru perfilman Korea Selatan pasca pembebasan dari penyensoran selepas kediktatoran militer berakhir. Alhasil, film tersebut dimanfaatkan selaku media menyuarakan kritik terhadap banyak isu, khususnya perundungan dan kerasnya sistem pendidikan. Itulah alasan mengapa karya Park Ki-hyung tersebut jadi fenomena populer, meski kualitasnya sendiri agak mengenaskan. Berbeda dibanding pendahulunya, Sunyi tak kebingungan menentukan jati diri, mencampur horor dan drama dengan cukup apik, menjadikannya remake yang superior.

Tema perundungan bukan saja dipertahankan oleh Sunyi, bahkan diberi eksplorasi lebih dalam. Kisahnya berlatar tahun 2000 di SMA Abdi Bangsa yang prestisius namun digelayuti isu perundungan yang konon telah berlangsung turun-temurun. Pun tersebar rumor bahwa pada dekade lalu, hal tersebut merenggut nyawa tiga siswi, yang hingga kini arwahnya senantiasa bergentayangan di sekolah.

Protagonis kita bernama Alex (Angga Yunanda), putera mediang paranormal terkenal, yang jelang hari pertamanya bersekolah di Abdi Bangsa, makin mengkhawatirkan senioritas di sana. Ketika ia nyatakan kekhawatiran tersebut, sang ibu (Unique Priscilla) merespon, “Senioritas kan bagus buat character building”. Dari situ kita bisa melihat pola yang menyebabkan perundungan terus lestari.

Pada malam pertama, siswa-siswi tahun pertama dikumpulkan oleh ketiga senior mereka: Andre (Arya Vasco), Erika (Naomi Paulinda), dan Fahri (Teuku Ryzki), guna menghadiri malam orientasi. Saat itulah hukum senioritas mulai diberlakukan. Murid tahun pertama adalah budak (tahun kedua disebut “manusia”, tahun ketiga disebut “raja”, alumni disebut “dewa”) yang wajib menuruti perintah senior yang berhak mengambil barang apa pun milik mereka, bahkan dilarang memasuki area-area seperti perpustakaan, kafetaria, juga toilet.

Bu Ningsih (Dayu Wijanto) selaku kepala sekolah merasa khawatir, tapi atas nama tradisi, memilih membiarkan. Sedangkan para junior tetap diam, karena melawan bukan saja menjadikan mereka musuh publik, pula menghilangkan kesempatan mendapat jaringan luas milik alumni. Sampai titik ini, naskah buatan sutradara Awi Suryadi (Danur, Badoet) bersama duet Agasyah Karim dan Khalid Kashogi (Badoet, Mau Jadi Apa?, Reuni Z), terbukti mampu menyediakan pijakan solid dalam penggambaran lingkaran setan budaya perundungan. Tidak berhenti di situ, naskahnya melangkah lebih jauh menelusuri soal kontribusi pola asuh orang tua lewat tro Andre-Erika-Fahri. Orang tua mereka sama-sama bermasalah, entah menerapkan hukuman fisik, menuntut terlalu tinggi, atau tidak hadir di rumah.

Ketiganya membuat hari-hari Alex bak neraka. Beruntung, ia bertemu Maggie (Amanda Rawles). Keduanya semakin dekat, dan dunia SMA Alex tak lagi sesunyi itu. Sialnya, begitu identitas ayahnya diketahui Fahri, Alex dipaksa memanggil arwah para siswi yang konon bergentayangan di sekolah. Awalnya usaha itu nampak gagal, namun tak lama berselang, kematian mulai menyebar dan darah mulai tumpah di SMA Abdi Bangsa.

Sewaktu Whispering Corridors seolah melupakan hakikatnya sebagai horor, Sunyi menerapkan pendekatan familiar sembari tetap memberi jalan bagi elemen-elemen di atas agar mengalir sebagai pondasi cerita, alih-alih sekedar jump scare layaknya banyak horor medioker lokal belakangan. Di luar adegan “listening class” dan “kolam renang” (yang sudah muncul di trailer), terornya tak banyak memperlihatkan kreativitas. Mayoritas formulaik, ditambah riasan hantu seadanya. Tapi saya mengapresiasi penolakannya untuk melempar jump scare membabi-buta atau memakai efek suara berisik. Serupa judulnya, film ini tidak takut menerapkan kesunyian, tahu kapan mesti berdiam diri, kapan mesti tampil menggelegar (yang juga tak pernah terlampau berisik). Tata musik garapan Ricky Lionardi (Danur, Sakral, Lukisan Ratu Kidul) juga sesekali terdengar atmosferik.

Sunyi pun menempatkan hati di tempat yang tepat. Kembali ke adegan “kolam renang”, secara mengejutkan momen tersebut menyimpan bobot emosi. Ada kesedihan di sana, tatkala senior pelaku perundungan ditampakkan kerapuhannya, digambarkan sebagai salah satu korban kegagalan sistem pendidikan, tentunya tanpa berusaha menjustifikasi perbuatan mereka kepada junior. Momen itu meyakinkan saya bahwa mereka tidak pantas mati. Sehingga saya mengamini ketika Alex mengonfrontasi sang hantu di klimaks sambil menyampaikan pernyataan serupa. Semakin memuaskan kala Sunyi ditutup oleh konklusi hangat, sesuatu yang dikorbankan film aslinya demi tambahan twist tak perlu.

Ya, jika sudah menonton Whispering Corridors, anda tahu akan ada twist. Sepanjang durasi, filmnya menyiratkan itu melalui beberapa petunjuk subtil. Apa yang membuatnya spesial adalah, sekalinya kejutan tersebut diungkap (sayangnya lewat eksekusi antiklimaks), penonton tidak dijejali rekap, selaku penjabaran atas sebaran petunjuk-petunjuk tadi. Seolah semua itu adalah “bonus” bagi penonton yang bersedia menaruh perhatian lebih.

22 komentar :

Comment Page:

[BUKAN REVIEW] 'HELLBOY' DAN SALAH KAPRAH SOAL SENSOR

37 komentar
Judul di atas bukan guyonan. Tulisan ini bukan review untuk reboot seri Hellboy, dan saya memang tidak berniat membuat review film tersebut. Sebelum menyentuh alasannya, mungkin beberapa dari anda sudah mendengar perihal kontroversi yang beredar di media sosial pasca special screening filmnya hari Selasa lalu. Konon, Hellboy jadi korban kekejaman gunting sensor, di mana LEBIH DARI 10 MENIT adegannya dipotong. Bahkan ada yang menyebut “SETIDAKNYA 20 MENIT” sembari melaporkan hal ini kepada Lionsgate. Beberapa komentar bernada serupa kemudian menyusul, dan semua menyuarakan satu hal: LSF SUDAH KETERLALUAN!

Citra Lembaga Sensor Film (LSF) memang buruk akibat kebiasaan memotong film seenak jidat. Sehingga amarah warganet gampang tersulut tiap kali ada kabar miring soal penyensoran. Ingat gosip sensor Avengers: Infinity War yang beredar karena perbedaan durasi dengan data IMDb (yang ternyata keliru)? Kasus kali ini mirip. Tapi benarkah realitanya demikian? Tulisan ini dibuat bukan untuk menyerang atau membela pihak mana pun, melainkan usaha meluruskan salah kaprah yang telah lama dianut publik.

Saya akan jelaskan dulu prosedur penyensoran film, tapi hanya secara garis besar (untuk detail langkah-langkahnya silahkan kunjungi lsf.go.id). Pertama, pemilik film (PH untuk film lokal, distributor untuk film luar) mengajukan permohonan sensor disertai penyerahan berkas-berkas.  Selanjutnya, pemilik film menunggu beberapa hari (seingat saya 3-4 hari, sedangkan untuk trailer dan poster bisa 1-2 hari. Tentatif, tergantung kondisi) sampai turun keputusan, apakah film tersebut lulus sensor atau tidak.

Film yang lulus sensor akan mendapat STLS (Surat Tanda Lulus Sensor) yang menyertakan klasifikasi umur (Semua Umur, 13+, 17+, 21+), sebaliknya, film yang tidak lulus sensor diberikan Surat Tanda Tidak Lulus Sensor (STTLS). Di sinilah salah kaprah kerap terjadi. LSF sudah tidak lagi memotong film. Mereka hanya memberi catatan berupa revisi yang mesti dilakukan agar lulus. Berikutnya terserah pemilik film. Mereka bisa langsung mematuhi revisi atau mengajukan “banding”. LSF kini lebih terbuka, bersedia mengadakan dialog bersama empunya film, bahkan bersdia mengoreksi keputusan sensor apabila didukung alasan kuat.

Hal tersebut juga berlaku bagi PH/distributor yang keberatan akan klasifikasi usia yang didapat. Contohnya, Film A mendapat rating 21+, padahal pemilik film menginginkan 17+. Maka diberikanlah arahan, revisi apa yang perlu dilakukan agar rating tersebut bisa didapat. Kesimpulannya, bentuk sensor apa pun, semua dilakukan oleh pemilik film berdasarkan panduan LSF. Istilahnya “sensor mandiri”. Itu sebabnya kita sering mendapati perbedaa gaya sensor. Ada yang menerapkan pemburaman gambar, zoom in, dan yang paling jamak dilakukan, pemotongan.

Bagaimana cara mengetahui film mendapat revisi atau tidak? Anda bisa cek website LSF, tau melihat bumper STLS yang muncul di layar bioskop sebelum film tayang. Jika anda menemukan tulisan “REV”, artinya film itu mendapat revisi. Sebagai contoh, lihat keterangan sensor Deadpool 2 di bawah.



Lalu bagaimana dengan kasus Hellboy? Cukup menarik. Berikut adalah data yang saya dapat dari halaman LSF:


Tidak ada tulisan “REV” di sana, dan filmnya memperoleh rating 21+. Tapi coba bandingkan dengan informasi filmnya di halaman Cinema 21 ini:


Ya, ternyata Hellboy tertulis mendapat rating 17+, dan ketika saya akhirnya menonton, memang itulah rating resminya, lengkap dengan keterangan “REV” di bumper STLS. Apa yang sebenarnya terjadi? Semakin membingungkan karena sampai tulisan ini dimuat, LSF masih mencantumkan Hellboy sebagai film 21+ tanpa revisi. Saya berasumsi, pihak distributor (PT. Prima Cinema Multimedia) mengubah keputusan di saat-saat terakhir. Mungkin mereka merasa rating 21+ berpotensi mencederai potensi komersialitas filmnya, sehingga memutuskan meminta perubahan rating secara dadakan. Apakah melalui konsultasi terlebih dulu dengan LSF mengenai bagian mana yang perlu dipotong tidak bisa saya pastikan.

Tapi saya takkan terkejut jika itu ternyata tidak dilakukan, dan PCM bergerak cepat (baca: terburu-buru) memotong sebagian besar gore. Karena akan memakan waktu lama apabila menunggu peninjauan ulang LSF untuk klasifikasi usia baru. Dengan begini, PCM hanya tinggal mengirimkan versi baru. Metode “asal-potong-yang-penting-banyak” ini menjelaskan inkonsistensi sepanjang film, di mana ada momen brutal justru lolos tatkala adegan lain yang lebih “bersahabat” malah dipangkas. Rasanya penjabaran di atas sudah cukup membantah anggapan bahwa LSF adalah (satu-satunya) pesakitan di kasus ini. Walau harus diakui, jika LSF tidak memiliki pemikiran kolot soal mana yang pantas dan tidak, peristiwa serupa takkan terjadi.

Berikutnya perihal banyaknya pemotongan adegan. Secara resmi, Hellboy punya durasi 121 menit. Saya coba mengukur sendiri. Sampai mid-credits, hasilnya adalah 109 menit. Tapi karena “perintah alam”, terpaksa segera meninggalkan ruangan. Sekarang, mari berhitung. Kredit akhir untuk film blockbuster biasanya cukup panjang karena melibatkan banyak pihak, jadi kita asumsikan saja 5-6 menit. Belum lagi ditambah dua credits-scene yang kabarnya cukup panjang, anggap saja total 3 menit. Berarti, kurang lebih Hellboy punya total durasi 117-118 menit. Perhitungan ini senada dengan data dari Cinema 21 (cek gambar di atas) yang mencantumkan durasi 119 menit (biasanya pembulatan dari 118 menit lebih sekian detik).

Kesimpulannya? Koar-koar soal pemotongan 10-20 menit adalah SALAH BESAR alias HOAX! Mungkin penyebar kabar itu jarang menonton film, sehingga tidak sadar bahwa 10, apalagi 20 menit dalam konteks durasi film itu luar biasa lama. Kalau memakai patokan standar penulisan naskah, itu sama artinya membuang 10-20 halaman. Saya tahu kalian semua kesal dengan sensor. Saya pun demikian. Tapi alangkah bijak untuk mencari informasi dahulu sebelum menyebar kabar burung.

Tapi bagaimana dengan filmnya sendiri? Apakah masih layak disaksikan di bioskop? Walau kenyataannya “hanya” dipotong 2-3 menit, itu sudah termasuk banyak. Karena jumlah itu didapat lewat gabungan banyak momen-momen singkat (5-10 detik). Hampir setiap gore dibuang, padahal saya cukup yakin, 2-3 menit yang hilang itu dapat memberi dorongan kuat bagi keseluruhan kualitas filmnya. Tanpanya, Hellboy tampil lesu. Tapi saya enggan mencap Hellboy buruk, karena tidak adil rasanya menilai film dengan pemotongan sebanyak itu, apalagi yang hilang termasuk salah satu pondasinya.

Sebagai perbandingan, silahkan bayangkan: Anda menonton Iron Man, tapi tanpa mayoritas adegan sang jagoan terbang di angkasa. Apakah kekuatan filmnya melorot drastis? Tentu. Apakah membuatnya tidak layak tonton? Tidak juga. Masih ada kelebihan lain. Tapi maukah anda menonton itu? Silahkan pikirkan baik-baik.   

37 komentar :

Comment Page: