BOHEMIAN RHAPSODY (2018)
Rasyidharry
Oktober 31, 2018
Anthony McCarten
,
Ben Hardy
,
Biography
,
Bryan Singer
,
Dexter Fletcher
,
Gwilym Lee
,
Joseph Mazzello
,
Lucy Boynton
,
Lumayan
,
Newton Thomas Sigel
,
Rami Malek
,
REVIEW
17 komentar
Bohemian Rhapsody tampil bak medley,
di mana deretan greatest hits
dimainkan sebagian demi mengakomodasi sebanyak mungkin lagu dimainkan dalam
keterbatasan waktu. Metode tersebut niscaya mampu menghibur, namun takkan terasa
lengkap dan penonton bakal berharap lebih dengan ketidakpuasan tertinggal di
hati. Karir gemilang Queen, musikalitas mereka, dan tentunya perjalanan hidup sang
vokalis, Freddie Mercury, terbukti terlampau besar nan kompleks untuk dituturkan
melalui gaya formulaik film biopic.
Di departemen penulisan naskah, Anthony
McCarten (The Theory of Everything,
Darkest Hour) memahami kata kuncinya, yaitu “keluarga”. Semua hubungan
interpersonal film ini bermuara ke sana, dari sulitnya Freddie (Rami Malek)
mendapatkan restu sang ayah (Ace Bhatti) yang menganggapnya telah melenceng
jauh dari kultur Parsi, romansanya dengan Mary Austin (Lucy Boynton), juga
dinamika Queen, yang digambarkan bukan sebatas band, tetapi keluarga. Walau
akhirnya, meski kita tak meragukan chemistry
antara personel perihal pembuatan musik, penggambaran hubungan mereka urung
nampak berbeda dibanding banyak band di luar sana. Artinya, “keluarga” hanya
kalimat di atas kertas yang berulang kali diucapkan.
Jelang akhir, terselip pembicaraan
mengenai adanya perdebatan soal lagu ciptaan siapa yang disertakan dalam album,
lagu siapa yang dipilih jadi single
andalan, lagu mana yang menjadi b-side,
dan lain-lain, yang kerap terjadi tiap Queen memasuki studio rekaman. Tapi selain
saling ejek soal lagu I’m in Love with My
Car buatan Roger Taylor (Ben Hardy) sang penggebuk drum, kita tidak pernah
menyaksikan konflik di atas secara langsung. Padahal cekcok semacam ini mampu
memperkaya substansi film tentang musisi.
Proses musikalnya toh tetap
menghibur. Kita diajak menyaksikan Queen bereksperimen dengan beragam sumber
bunyi, mengkreasi komposisi unik Bohemian
Rhapsody, membuat We Will Rock You yang
terdengar sederhana bila disandingkan dengan lagu titular-nya, diciptakan berdasarkan keinginan memberi penonton lagu
yang dapat mereka mainkan, namun sejatinya, tetap layak disebut eksperimen (mayoritas
cuma tersusun atas hentakan kaki dan tepuk tangan). Di balik kekurangannya, Bohemian Rhapsody sanggup menggambarkan
kejeniusan serta kegilaan eksplorasi Queen untuk urusan karya.
Merangkum lebih dari 2 dekade penuh
lika-liku, Bohemian Rhapsody memilih
gaya presentasi jumpy, bergerak dari
waktu ke waktu, lagu ke lagu, konser ke konser, menjadikan filmnya
terputus-putus alih-alih naratif utuh yang melaju mulus. Pada titik ini filmnya
seolah tersesat, tak tahu ingin menyampaikan apa, lalu memilih pasrah terbawa
arus, sebelum mencapai third act,
yang mana merupakan fase terbaik Bohemian
Rhapsody.
Sekitar 30 menit terakhirnya berhasil mengikat segala cabang plot menggunakan benang merah berupa “keluarga”,
menghadirkan beberapa momen personal perihal Freddie dan orang-orang terkasihnya
selaku penutup emosional. Khususnya hubungan Freddie-Mary, di mana cinta
Freddie terhadap inspirasi di balik lagu Love
of My Life itu adalah salah satu cinta tanpa syarat paling murni dan indah
yang pernah saya saksikan, walau tambahan satu-dua obrolan intim pada masa awal
hubungan mereka bakal lebih menguatkan pondasi kisah keduanya.
Sementara 15 menit pamungkasnya
adalah puncak, di mana Bryan Singer (The
Usual Suspects, X-Men, Superman Returns) melakukan reka ulang terhadap
penampilan Queen di konser amal Live Aid (1985), yang banyak dianggap sebagai
salah satu aksi panggung terbaik sepanjang masa. Sekuen ini diambil pada hari
pertama produksi, sehingga Singer masih duduk di kursi sutradara sebelum
dipecat lalu digantikan Dexter Fletcher (Eddie
the Eagle) pada sepertiga akhir proses. Singer bisa saja memasang sistem
autopilot dan penonton tetap akan terhibur berkat susunan lagu-lagu seperti Bohemian Rhapsody, Radio Gaga, We Will Rock
You, hingga We Are the Champions.
Tapi dia menolak bermalas-malasan.
Dibantu sinematografer
langganannya, Newton Thomas Sigel, kamera Singer bergerak dinamis menangkap
energi Freddie yang bergerak menyusuri panggung layaknya pemimpin massa dan
euforia 72 ribu penonton di stadion Wembley. Tapi satu hal spesial dalam sekuen
ini adalah, keberhasilannya secara subtil menjelaskan bagaimana Freddie bisa
memberi performa luar biasa, walau telah lama ia dan personel Queen lain tak
berada di satu panggung, pula kesehatannya makin memburuk akibat AIDS.
Jawabannya sama: keluarga. Konser itu pun makin bermakna. Live Aid jadi momen
ketika Freddie mencurahkan segala cintanya, dan keputusan Singer sesekali
mengalihkan fokus ke ekspresi orang-orang terdekat sang vokasi di sela-sela
konser terbukti menambah bobot emosi.
Tapi tanpa akting Rami Malek,
niscaya reka ulang Live Aid tidak akan sebaik itu. Secara tampilan fisik, ia
mungkin kalah mirip dibanding Gwilym Lee sebagai Brian May atau Joseph Mazzello
sebagai John Deacon, namun aktingnya menutupi itu. Di bawah panggung, Malek
menjadikan Freddie manusia rapuh yang kesepian dan merindukan cinta, juga
musisi jenius yang tubuhnya bergetar tiap menyadari bahwa dirinya sedang
menciptakan mahakarya. Tapi ia bukan sosok suci. Malek turut menangkap sisi
gelap Freddie sebagai megabintang yang dikuasai ego akibat kesendirian. Di atas
panggung, ia adalah pemimpin flamboyan penuh energi. Malek sempurna menampilkan
tiap detail kekhasan gerak-gerik Freddie. Malek bukan sekedar meniru. Seolah
Freddie sungguh merasuki sang aktor. Mungkin Malek tidak bernyanyi live, tetapi gestur dan ekspresinya
(plus tata suara cermat) memudahkan
kita mempercayai jika ia mampu bernyanyi serupa Freddie Mercury.
THE RETURNING (2018)
Rasyidharry
Oktober 30, 2018
Abdul Dermawan Hadir
,
Ario Bayu
,
Cukup
,
Dayu Wijanto
,
DJ Yasmin
,
horror
,
Indonesian Film
,
Laura Basuki
,
Lie Indra Perkasa
,
Muzakki Ramdhan
,
REVIEW
,
Tissa Biani Azzahra
,
Witra Asliga
8 komentar
Saya pertama menyaksikan The Returning sekitar 2 bulan lalu dalam
suatu test screening pagi hari.
Mengira bakal disuguhi creature feature
(seperti Jeepers Creepers misal),
saya terkejut mendapati debut penyutradaraan penuh Witra Asliga—pasca 5 tahun
lalu menggarap segmen Insomnights
dalam omnibus 3Sum—ini adalah horor
psikologis slow burning. Ekspektasi
yang meleset ditambah fakta kalau pemutaran dilakukan pukul 9:00 ketika nyawa
ini belum sepenuhnya terkumpul, saya pun memutuskan bakal menonton ulang.
Pada pengalaman kedua, walau
berbagai kelemahan tetap terpampang nyata, saya dibuat terkesan oleh kesubtilan
penulisan naskah Witra. Begitu cerdik ia menyembunyikan intensi asli karakter
melalui beberapa perilaku tak mencurigakan, yang rupanya punya maksud lain
setelah kebenaran diungkap jelang akhir. The
Returning diawali kecelakaan yang menimpa Colin (Ario Bayu). Dia terjatuh
ketika sedang memanjat tebing. Pencarian dilakukan, tapi tubuhnya tak jua
ditemukan.
Tiga bulan berlalu tanpa progres.
Colin meninggalkan 2 anak, Maggie (Tissa Biani Azzahra) dan Dom (Muzakki
Ramdhan), juga seorang istri, Natalie (Laura Basuki), yang menolak menerima
kenyataan bahwa sang suami telah tiada. Berbagai usaha dilakukan, dari menemui
psikolog, sampai menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai pengrajin tanah
liat, namun tidak banyak membantu. Akibatnya, hubungan Natalie dengan Maggie
memburuk, di mana pertengkaran jadi rutinitas. Belum lagi tekanan dari sang
mertua (Dayu Wijanto), yang meski murah senyum serta menyayangi kedua cucunya, gemar
melontarkan komentar sinis pada Natalie. Dayu Wijanyo cocok melakoni peran ini,
menjadikan Oma karakter yang dengan senang hati kita benci.
The Returning dengan penuh kesabaran memakai mayoritas durasinya
mengeksplorasi duka yang Natalie alami, pelan-pelan mengungkap beban demi beban
karakternya, disokong oleh penampilan cukup solid dari Laura Basuki yang mampu
meletupkan emosi kala dibutuhkan. Tapi kadangkala, eksplorasi film ini terasa
melelahkan, bukan dipicut tempo lambatnya, melainkan keberadaan momen maupun
karakter minim signifikansi. Sebutlah Yasmin (DJ Yasmin) yang andai dihilangkan
pun, takkan seberapa mempengaruhi kondisi psikis Natalie.
Sementara itu, musik dreamy garapan Lie Indra Perkasa (Tabula Rasa, Banda the Dark Forgotten Trail)
dan lagu haunting berjudul Kecuali Cahaya yang dibawakan Danilla
Riyadi sanggup menghanyutkan dalam isi pikiran Natalie yang memang tengah melayang-layang
dihantui angan-angan serta luka. Tata kostum bersama departemen artistik yang menampilkan
nuansa 90an tanpa terkesan pamer secara berlebihan, juga sinematografi Abdul
Dermawan Hadir (Sinema Purnama) yang
mengutamakan pemakaian warna hijau, senantiasa memanjakan mata.
Kemudian, di suatu malam Jumat,
secara tiba-tiba Colin pulang ke rumah. Tanpa luka, hanya sikap yang lebih
dingin dan sedikit aneh di awal. Tapi seiring waktu, Colin semakin normal.
Setidaknya di depan, sebab di belakang, keanehan-keanehan justru makin sering
terjadi. Cuma terdapat satu jump scare
di sini, yang sayangnya sudah dibocorkan oleh trailer-nya. Dipandang dari cara monsternya muncul, adegan itu
tidak spesial, tapi dibangun dengan sempurna, demikian pula pilihan timing Witra, yang efektif membuat
penonton tersentak. Sisanya, Witra menolak mengandalkan “trik murahan”. Sang
sutradara ingin membuat kita takut, bukan terkejut.
Hasilnya tidak selalu baik. Witra
jelas memiliki kreativitas tinggi, yang dibuktikan lewat beberapa momen,
semisal kemunculan pertama monster atau teror menggunakan papan scrabble.
Masalahnya ada di hook. Seringkali,
pilihan sudut kameranya gagal memancing bulu kuduk berdiri. Pembangunannya
justru kerap lebih mencekam, di mana saya menyukai beberapa penggunaan voice over guna menyiratkan bahwa
sesuatu tidak seperti kelihatannya. Desain monsternya pun menarik, walau mata
merah dan aura hijau di sekujur tubuh yang dimaksudkan menguatkan kesan out-of-this-world justru mengganggu
karena tampak artificial.
Klimaks yang mestinya jadi puncak
justru bergulir lemah. Setelah melewati sepanjang durasi bergerak dengan penuh
kesabaran, The Returning justru
tampil buru-buru kala third act,
luput menekankan berbagai poin yang bisa menambah intensitas pula balutan emosi
(elemen “tanda mahar” berpotensi menghadirkan konflik rasa yang lebih rumit
bagi karakternya). Untungnya ada satu penyelamat, yang memberikan hati sebagaimana
filmnya butuhkan. Penyelamat itu berupa penampilan Muzakki Ramdhan yang sukses
memannfaatkan sebuah momen singkat. Pasca The
Returning juga A Mother’s Love-nya
Joko Anwar, tidak sabar rasanya menantikan masa depan aktor cilik ini, termasuk
Gundala tahun depan. Way to go, Kiddo!
BAD TIMES AT THE EL ROYALE (2018)
Rasyidharry
Oktober 29, 2018
Bagus
,
Chris Hemsworth
,
Cynthia Erivo
,
Dakota Johnson
,
Drew Goddard
,
Jeff Bridges
,
Jon Hamm
,
Lewis Pullman
,
Michael Giacchino
,
REVIEW
,
Seamus McGarvey
,
Thriller
,
Xavier Dolan
15 komentar
Banyak film bermasalah akibat menjadikan
“kebetulan” sebagai jalan pintas malas. Karakter-karakter kebetulan bertemu,
terlibat masalah yang dipicu serta diakhiri oleh kebetulan. Tapi melalui Bad Times at the El Royale, Drew Goddard
(The Cabin in the Woods) selaku
sutradara merangkap penulis naskah, justru sengaja memainkan kondisi tersebut.
Bagaimana jika kebetulan (atau nasib sial) membawa sekelompok orang yang
masing-masing menyimpan intensi rahasia, saling bersilangan jalan di saat yang
kurang tepat? As the title suggests, what
a bad time indeed at the El Royale.
El Royale merupakan hotel yang
terletak di perbatasan, di mana sebelah sisi berada di California, sementara
sisi lainnya di Nevada (terinspirasi Cal Neva Resort & Casino). Empat tamu:
Seymour Sullivan (Jon Hamm) si salesman rasis, Daniel Flynn (Jeff Bridges) si
Pendeta Katolik, Darlene Sweet (Cynthia Erivo) si penyanyi berbakat, dan gadis hippie bernama Emily
(Dakota Johnson); plus seorang karyawan hotel bernama Miles Miller (Lewis Pullman).
Mereka menyimpan niatan terselubung juga masa lalu kelam, yang satu demi satu
terungkap di antara title cards
bertuliskan nomor kamar tempat masing-masing tokoh menginap (atau nama atau
lokasi bagi tokoh tanpa kamar).
Kisahnya mulai menyusuri arah tak
terduga tatkala rahasia El Royale terbongkar, yang akhirnya turut membongkar
rahasia karakternya. Saya takkan menyebut rahasia seperti apa (trailer-nya telah membongkar beberapa
poin), namun satu hal yang bisa saya beri tahu, bahwa titik balik alurnya
ditandai momen pembuktian Goddard terkait kapasitas penyutradaraannya. Momen
tersebut berupa single take melibatkan
mise-en-scène memikat yang
memperlihatkan situasi dalam 2 ruangan terpisah, disusun dengan intensitas
ketat, sinematografi memukau garapan Seamus McGarvey (Atonement, The Avengers, Nocturnal Animals) di mana pemakaian
pantulan cermin jadi highlight, pula
cerdiknya pemakaian musik Goddard. Bicara soal musik, pilihan lagu-lagu Goddard
plus iringan scoring gubahan Michael Giacchino (Up, Spider-Man: Homecoming, War for the Planet of the Apes) bakal
membuatmu tanpa sadar menghentakkan kaki, terhipnotis oleh alunan musik dari
era 1950-1960an.
Tapi Bad Times at the El Royale bukan sebatas gaya. Beberapa penonton
mungkin bakal menganggapnya sekedar sajian Tarantino-esque berdurasi sama
panjang (141 menit) namun dengan dialog kalah tajam untuk menjaga atensi
penonton mengarungi perjalanan nyaris 2,5 jam. Tidak sepenuhnya keliru. Durasinya
bisa saja dipangkas, meski sejatinya, perjalanan panjang itu memang harga yang
harus dibayar dalam upaya menghadirkan kekayaan penokohan. Dan sungguh harga
yang setimpal.
Pemakaian flashback menghasilkan kejelasan pemahaman bagi motivasi tiap
individu, sekaligus memberi mereka karakterisasi unik yang saling berlainan.
Bahkan peran kecil juga memiliki pengaruh, contohnya Buddy Sunday (Xavier
Dolan) si produser musik, yang berfungsi membangun kecurigaan serta
ketidaknyamanan Darlene kepada pria, khususnya pria pemilik kuasa dan pemegang
otoritas. Elemen tersebut berguna pula menciptakan pertarungan psikologis di
paruh akhir, yang menghantarkan Bad Times
at the El Royale menuju konklusi.
Selama 141 menit, Goddard
senantiasa punya cara mempertahankan antusiasme penonton. Misalnya saat muncul flashback di tengah klimaks, yang
otomatis memangkas intensitas, sebelum Goddard berhasil membawanya kembali
dengan memberi salah satu karakter momen paling badass sepanjang film. Pun menyaksikan jajaran penampilnya saling
mengolah peran terasa amat menyenangkan. Bridges seperti biasa menjadi pria tua
bersuara growly yang lelah oleh
kehidupan; Erivo sebagai penyanyi bersuara emas yang sulit mempercayai dunia;
Johnson si wanita tangguh yang tak segan memberantas semua penghalang; Hamm sang
mesin kharisma; dan Chris Hemsworth sebagai Billy Lee, pemimpin cult kejam sarat pesona yang gemar
memamerkan perut six pack guna
memikat para pengikut wanitanya.
Kejutan terbesar dalam Bad Times at the El Royale adalah
keberadaan alegori keagamaan. Sejak kemunculan pertama Billy Lee yang terlihat
bak kedatangan sesosok messiah, hingga bagaimana filmnya memasang perspetif
mengenai Tuhan yang tidak mengenal Pendeta palsu atau Nabi palsu. Hanya ada
manusia baik dan buruk, dan Tuhan akan dengan senang hati mengulurkan bantuan bagi sisi baik,
meski bantuan itu hadir melalui jalan yang misterius.
3 DARA 2 (2018)
Rasyidharry
Oktober 27, 2018
Adipati Dolken
,
Comedy
,
Cut Mini
,
Fanny Fabriana
,
Fatmaningsih Bustamar
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Monty Tiwa
,
Nataya Bagya
,
Ovi Dian
,
Rania Putrisari
,
REVIEW
,
Soleh Solihun
,
Tanta Ginting
,
Tora Sudiro
1 komentar
Komedi adalah “makhluk” yang sulit
ditaklukkan, tapi berkomedi sambil menuturkan pesan ada di tingkatan berbeda. Sekuel
dari 3 Dara yang tiga tahun lalu
sukses mengumpulkan lebih dari 666 ribu penonton ini hendak menunjukkan pada
para misogynist, male chauvinist, hingga pemuja toxic
masculinity bahwa pekerjaan rumah tangga yang kerap dibebankan pada wanita
sungguh bukan main-main. Belum tentu pria sanggup menjalaninya. Tapi cara 3 Dara 2 melucu justru membuatnya gagal
meruntuhkan dinding pembatas just-for-fun-fiction supaya pesannya
dapat ditanggapi serius.
Sejatinya, trio penulis naskah:
Monty Tiwa (Rompis, Critical Eleven),
Nataya Bagya (7/24, 3 Dara), dan
Fatmaningsih Bustamar (Demi Cinta, Meet
Me After Sunset), telah memilih jalur yang tepat, bahkan cerdik guna
mengembangkan cerita tanpa keluar dari persoalan kesetaran gender dan kisah “pria
menjadi wanita”. Masih mengetengahkan Affandy (Tora Sudiro), Jay (Adipati
Dolken), dan Richard (Tanta Ginting), kali ini, alih-alih berubah jadi wanita,
mereka mesti bertukar peran dengan para istri, alias menjadi bapak rumah
tangga.
Akibat kegagalan investasi, mereka
pun berhutang puluhan milyar, harus terusir dari rumah, dan terpaksa tinggal di
rumah Eyang Putri (Cut Mini), ibunda Aniek (Fanny Fabriana), istri Affandy.
Demi melunasi hutang tersebut, Aniek bersama Grace (Ovi Dian) dan Kasih (Rania
Putrisari) memutuskan bekerja, sementara ketiga suami gantian mengurus hal-hal
rumah tangga. Affandy mencuci, Jay bersih-bersih, Richard berbelanja dan
memasak. Mereka semakin kerepotan akibat
keberadaan Jentu (Soleh Solihun), si penjaga rumah yang bertindak semena-mena
setelah diberi wewenang kuasa oleh Eyang Putri.
Pondasi memadahi telah ditempatkan,
pun sebuah pernyataan dari Windy (Rianti Cartwright) sang psikolog cukup
menekankan pesan yang filmnya hendak utarakan (melalui perspektif biologis,
sebagai dua jenis kelamin, pria dan wanita jauh berbeda, namun tidak dari sisi
gender beserta peran-perannya), tapi kemudian 3 Dara 2 melanglang buana terlalu jauh. Kebodohan
Affandy-Jay-Richard dalam usaha menebus cicilan rumah justru dikedepankan
ketimbang pergulatan ketiganya sebagai bapak rumah tangga, yang sebatas
ditampilkan melalui montase singkat.
Semakin kisahnya bergulir, semakin
repetitif, di mana pola “berbuat kebodohan-gagal-dimarahi-menyesal-ulangi
kebodohan” disajikan secara terus menerus. Daripada proses belajar gradual,
karakternya dibiarkan tanpa perubahan sampai konklusi. Sebuah konklusi bertabur
twist yang menempuh jalan pintas guna
menyelesaikan segala permasalahan. Twist
yang mengejutkan? Ya, karena sulit dipercaya 3 Dara 2 menerapkan resolusi semalas itu.
Dipandang selaku hiburan, balutan
humornya bekerja cukup baik. Beberapa ide kentara menunjukkan para penulisnya
lebih mencurahkan usaha dan kreativitas dalam membalut komedi daripada konklusi
kisah. Tidak semua bekerja maksimal, tapi berkat performa sekaligus chemistry menghibur
Tora, Adipati, dan Tanta, setidaknya saya bisa dibuat terus terjaga. Belum lagi
Cut Mini yang senantiasa menguasai tiap momen kemunculannya dengan kejenakaan "mengerikan".
Sementara Fanny Fabriana mampu melakoni peran sebagai jangkar bagi elemen
dramatik filmnya.
Tapi sekali lagi, 3 Dara 2 ingin tampil lebih. Karenanya,
gaya “dilebih-lebihkan” dari leluconnya mencuatkan masalah. Benar komedi harus
dilebih-lebihkan selaku pendekatan hiperbolis terhadap realita supaya kelucuan tercipta.
Namun hiperbola di sini, yang membuat masalah tokoh-tokohnya nampak konyol, berpotensi
“membentengi” pihak-pihak yang dikritisi. Mereka bakal berpikir “Situasi begini
takkan terjadi di kehidupan nyata”, atau “Kenyataannya takkan seberat ini” kala
menyaksikan susah payahnya Affandy, Jay, dan Richard beradaptasi sebagai bapak
rumah tangga, mayoritas diproduksi oleh perilaku absurd Jentu, yang memang
benar, takkan kita temui di realita. Para misogynist
dan male chauvinist pun rasanya hanya
akan terkekeh.
DEAR NATHAN HELLO SALMA (2018)
Rasyidharry
Oktober 26, 2018
Amanda Rawles
,
Cukup
,
Gito Gilas
,
Indonesian Film
,
Indra Gunawan
,
Jefri Nichol
,
REVIEW
,
Romance
,
Surya Saputra
,
Susan Sameh
4 komentar
Ironis. Dear Nathan Hello Salma (berikutnya disebut “Hello Salma”) terkena dampak tren “Jefr-Amanda” yang dimulai oleh
film pertamanya, yang secara mengejutkan jadi salah satu tontonan terbaik tahun
lalu. Setelahnya, selama satu setengah tahun, mereka berpasangan dalam 4 judul
(Jailangkung, Jailangkung 2, A: Aku,
Benci, dan Cinta, Something in Between), belum ditambah One Fine Day di mana Amanda Rawles
mendapat peran kecil. Padahal Hello Salma
adalah film solid, tapi serupa pasangan yang selalu bersama tiap hari, pasti
ada kejengahan, sehingga kilau-kilau percintaan yang dahulu manis mulai
terkikis.
Tapi kembali, Hello Salma tetap film apik. Mengadaptasi novel berjudul sama karya
Erisca Febriani, kisahnya melanjutkan romantika Nathan (Jefri Nichol) dan Salma
(Amanda Rawles) selepas keduanya memutuskan berpacaran di film pertama. Namun,
memasuki tahun akhir SMA, hubungan mereka justru retak, (lagi-lagi) akibat
kekisruhan buatan Nathan, yang berujung memaksanya pindah sekolah. Mereka
memilih putus. Sewaktu Salma tertekan akibat paksaan ayahnya (Gito Gilas)
melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran UI (terjadi pada banyak remaja
termasuk di sekitar saya), Nathan bertemu Rebeca (Susan Sameh) di sekolah
barunya.
Rebeca tak ubahnya Nathan di masa
lalu. Dia hidup sendiri, jauh dari ibu karena enggan tinggal bersama sang suami
baru pasca ayahnya meninggal bunuh diri, sebagaimana dahulu konflik Nathan
dengan ayahnya (Surya Saputra). Apabila perkelahian jadi pelarian Nathan,
Rebeca tenggelam dalam depresi, bahkan mencoba bunuh diri. Kemiripan itu mendorong
Nathan tergerak mengulurkan tangan, sesuatu yang akhirnya meluluhkan hati sang
gadis.
Bagus Bramanti (Mencari Hilal, Kartini, Benyamin Biang Kerok)
mempertahankan elemen terbaik dari naskah film pertama buatannya, yakni perihal
motivasi. Kita tak perlu bertanya-tanya “Kenapa?”, sebab senantiasa ada alasan
jelas. Sungguh wajar bila Rebeca kepincut. Ketika keluarganya menjauh, pihak
sekolah hanya bisa memarahi dan menghukum, juga jadi korban perundungan
teman-teman, Nathan justru berdiri, bersedia terlibat perkelahian demi
membelanya.
Nathan menghembuskan napas baru
bagi hidup Rebeca, mengalunkan kembali musik di telinganya seperti saat Nathan
memperbaiki radio tape milik mendiang ayahnya. Sama pula dengan bagaimana
Rebeca membawa nyawa baru untuk franchise
ini. Nathan tetap sosok yang dicintai penggemarnya berkat kemampuan Jefri
Nichol menyeimbangkan sisi bad boy
dan sweet boy. Chemistry-nya dengan Amanda Rawles pun sekuat biasanya, kalau bukan
bertambah natural.
Tapi mungkin itu penyebabnya.
Mereka berdua masih (atau selalu) sama, dan setelah bersama di begitu banyak
film dalam waktu berdekatan, saya mulai lelah menyaksikan dinamika yang “itu-itu
saja”. Nathan berseloroh, Salma merespon lewat sikap malu-malu mau. Beberapa
pihak mungkin bakal berargumen bahwa itu bukan kesalahan filmnya, melainkan
eksploitasi berlebihan dari industri. Tapi tidak. Orang-orang di balik Hello Salma sadar betul formula
Jefri-Amanda telah diperas habis-habisan, dan ketimbang mencoba arah baru yang
segar, mereka memilih jalur mudah dengan mengikuti pola.
Dan begitu Rebeca muncul sebagai sosok
likeable berkat kemahiran Susan Sameh
memainkan 2 wajah berlainan karakternya, Hello
Salma malah tiba di titik jenuhnya kala kedua tokoh utamanya bersama.
Khususnya saat sutradara Indra Gunawan (Hijrah
Cinta, Dear Nathan, Serendipity) memasang mode autopilot, berbeda dibanding
film pertama tatkala ia sanggup mengkreasi beberapa situasi romantis. Tarian slo-mo di bawah ujan sebagai penutup,
misalnya.
Bukti kebersamaan Jefri-Amanda
mulai menjemukan adalah, setiap Hello
Salma menyelipkan elemen tambahan (meski kecil), contohnya menaruh Surya
Saputra—dengan sisi kebapakan yang jauh dari kaku—di antara mereka, filmnya
selalu menemukan pijakannya lagi. Semua berjalan mulus selama layar tidak cuma
menampilkan mereka saja. Satu-satunya modifikasi bagi dinamika Nathan dan
Salma, yakni menggiring Salma menuju kondisi yang lebih gelap, pun tak seberapa
membantu.
Permasalahan Salma relevan. Tekanan
orang tua, depresi pada pelajar akibat tuntutan akademis, semua penting untuk
dituturkan. Namun naskahnya urung menghasilkan penelusuran mendalam terhadap
masalah-masalah di atas, melainkan sebatas jembatan supaya Nathan dan Salma
bisa kembali bersama. Nasib demikian turut dialami Rebeca, yang berujung dikesampingkan
selaku penghubung, walau kondisinya lebih kompleks, menarik, pun mampu
mengemban peran Salma sebagai penyalur isu.
Untunglah, soal menyusun
momen-momen ringan termasuk komedik, naskahnya tampil solid. Walau satu adegan
yang menampilkan seorang dukun terasa dipaksakan, sisanya mampu menghadirkan
senyum dan tawa, apalagi saat berurusan dengan situasi-situasi canggung yang
berujung celetukan jenaka karakternya. Hello
Salma menunjukkan bahwa seri Dear
Nathan masih menonjol dibanding romansa putih abu-abu kebanyakan. Andai
Jefri dan Amanda tak sesering itu bersama. Sebab, sewaktu pasangan utama film
romansa yang mestinya didukung penonton justru tenggelam, tentunya ada
permasalahan.
BADHAAI HO (2018)
Rasyidharry
Oktober 24, 2018
Akshat Ghildial
,
Amit Sharma
,
Ayushmann Khurrana
,
Bagus
,
Comedy
,
Drama
,
Gajraj Rao
,
Hindi Movie
,
Neena Gupta
,
REVIEW
,
Sanya Malhotra
,
Surekha Sikri
1 komentar
Badhaai Ho (alias “Congratulations”)
benar-benar memahami dinamika keluarga. Bagaimana masing-masing berinteraksi, apa
peran mereka, konflik macam apa yang terjadi, dan terpenting, bagaimana mereka mencintai.
Film karya Amit Sharma (Tevar) ini
tahu sosok nenek selalu cerewet, tak jarang sampai taraf menyebalkan, tahu bagaimana
harga diri kerap menghalangi ayah dan anak laki-laki bertukar perasaan dengan
lantang, tahu bahwa seberapa pun disakiti oleh anak, kasih seorang ibu takkan
luntur dan tetap bertanya, “Have you
eaten, son?”. Bahaai Ho tahu
bagaimana melukiskan serta menuliskan situasi-situasi di atas.
Premisnya jenaka: Apa jadinya jika
orang tuamu kembali berhubungan intim dan ibumu hamil saat mereka telah
menginjak usia senja dan pantas menimang cucu? Hal itu menimpa Nakul (Ayushmann
Khurrana), ketika puisi ciptaan sang ayah, Jeetender (Gajraj Rao), menciptakan malam
“panas” di tengah hujan yang berujung pada kehamilan sang ibu, Priyamvada (Neena
Gupta). Bagi Nakul, kondisi itu sukar dihadapi. Orang-orang di sekitarnya
memberi respon berlainan, dari ucapan selamat, menjadikannya bahan lelucon,
sampai memandang jijik keluarganya. Bahkan Sangeeta (Sheeba Chaddha), ibunda
kekasih Nakul, Renee (Sanya Malhotra), berkata, “His family is a circus I don't want to buy tickets to”.
Nakul merasa malu. Dia mengambil
cuti, menghindari Renee, teman-temannya, keluarganya, pula menolak menghadiri
pernikahan sepupunya. Respon Nakul dan masyarakat sekitar menimbulkan
pertanyaan, “Apa yang keliru?”. Sebab, meski ada opini beralasan seperti saat
Sangeeta membahas perihal resiko kesehatan, kebanyakan orang hanya berhenti di
pemikiran bahwa aktivitas seksual di usia tua merupakan tindakan memalukan.
Disokong naskah buatan Akshat Ghildial, Badhaai
Ho melempar kritik pada standar ganda dan aplikasi sarat kemunafikan akan nilai-nilai
sosial. Mereka mencemooh perbuatan yang didasari cinta (bahkan tak berdosa dari
perspektif agama), dan malah lupa membagi cinta, mengabaikan nilai kekeluargaan
yang tak kalah penting.
Walau mengandung elemen drama di
sana-sini, separuh awal Badhaai Ho
lebih banyak berkutat dalam komedi. Tidak semua humornya mendarat sempurna,
saya mengagumi lagu tema Badhaaiyan Tenu,
yang turut membangun kelucuan melalui aransemen sekaligus liriknya. Tapi
pemancing tawa terbesar, MVP Badhaai Ho,
adalah Surekha Sikri—yang kembali ke layar lebar pasca 12 tahun—sebagai Dadi,
nenek Nakul. Dia adalah nenek (kebanyakan) yang enggan menyaring kata-kata dari
mulutnya, bicara terlalu jujur, hingga acap kali terdengar menyakitkan, pula
menggelitik di saat bersamaan. Surekha menguasai tiap adegan, bicara tanpa
henti lewat cara yang membuat lawan bicaranya terdiam membisu.
Badhaai Ho diisi banyak humor, namun sekalinya menyentuh titik
dramatik, filmnya berhasil menyentuh hati. Sekali lagi, karakter nenek berjasa
mengangkat titik balik tersebut, menunjukkan biarpun kata-katanya kerap
menyakitkan, ia sangat mencintai keluarganya. Pengungkapan itu menghasilkan
momen menyentuh tanpa henti sampai akhir. Neena Gupta memudahkan kita mempercayai susah
payahnya sang ibu menahan segala tekanan, begitu pula Gajraj Rao sebagai pria
lembut penuh cinta dan (sayangnya) keragu-raguan. Sementara Ayushmann Khurrana,
yang belum genap 3 minggu lalu tampil apik di Andhadhun, adalah protagonis charming,
sehingga walau beberapa keputusannya jelas salah, simpati penonton kepada Nakul
takkan lenyap.
Selain kata, Badhaai Ho pun mumpuni bicara lewat visual berkat sensitivitas Amit
Sharma. 15 menit terakhirnya tersusun atas gambar-gambar indah. Bukan gambar
indah berupa sinematografi cantik atau tata artistik kaya warna. Cukup
situasi-situasi sederhana seperti 2 generasi pria sebuah keluarga berdiri dalam
kekhawatiran menantikan kabar wanita yang paling mereka sayangi, dua tangan
yang saling menggenggam berbagi cinta, sampai ketika satu keluarga berkumpul,
merayakan kebahagian terindah dalam hidup mereka.
JAGA POCONG (2018)
Rasyidharry
Oktober 23, 2018
Acha Septriasa
,
Aqilla Herby
,
Aviv Elham
,
Baskoro Adi Wuryanto
,
Hadrah Daeng Ratu
,
horror
,
Indonesian Film
,
Jajang C. Noer
,
Kurang
,
REVIEW
,
Zack Lee
12 komentar
Menjaga pocong adalah premis
mengerikan, utamanya karena kegiatan itu amat mungkin dialami siapa saja.
Semakin menarik dua figur kunci Jaga
Pocong sama-sama menjajaki dunia horor untuk kali pertama: Acha Septriasa yang
kerap memamerkan akting-akting dramatik terbaik, dan Hadrah Daeng Ratu di kursi
penyutradaraan yang baru saja mempersembahkan tontonan terlucu tahun lalu
melalui dua bagian Mars Met Venus. Saya
mulai was-was begitu mendapati nama-nama yang tercantum pada departemen
penulisan. Aviv Elham (Alas Pati, Arwah
Tumbal Nyai) menulis naskah berdasarkan ide cerita Baskoro Adi Wuryanto (Jailangkung, Sakral, Gasing Tengkorak)
terdengar bagai kolaborasi dari neraka.
Mila (Acha Septriasa) adalah suster
yang menaruh perhatian besar terhadap pasien anak (ini akan jadi modus operandi
naskahnya nanti). Ketika ia bersiap pulang dari giliran jaga di rumah sakit,
Mila justru diminta secara mendadak menangani seorang pasien di rumah. Mengapa
tugas ini dilimpahkan padanya? Menurut sang atasan, “Karena memang harus kamu”.
Kalimat itu, yang nantinya bakal dipakai menjelaskan sebuah poin plot penting
jelang akhir, merupakan simplifikasi yang jamak kita temui di karya-karya Aviv
maupun Baskoro sebelumnya.
Ada satu elemen menarik, yakni
kicau burung kedasih, yang konon memberitakan kematian. Kicau tersebut terdengar
sebelum seorang pasien di rumah sakit yang Mia rawat meninggal, juga
sesampainya Mia di tujuan, dan mendapati bahwa Sulastri (Jajang C. Noer),
pasien yang semestinya dia rawat, sudah tak bernyawa. Hanya ada putera
Sulastri, Radit (Zack Lee), dan cucunya, Novi (Aqilla Herby). Kicau burung
kedasih dapat memberi sentuhan kecil, subtil, namun efektif membangun
kengerian, yang sayangnya urung diterapkan lagi begitu Jaga Pocong melancarkan terornya.
Jaga Pocong mengalun lambat di awal, mengajak kita melihat Mila
memandikan jenazah Sulastri, mengafaninya, sampai akhirnya diminta menjaga
jenazah karena Radit harus mengurus izin pemakaman. Rangkaian aktvitias
tersebut dekat dengan realita, dan itulah alasan pembangunan atmosfernya cukup
berhasil. Jaga Pocong menempatkan
protagonis dalam situasi yang kengeriannya mudah penonton pahami.
Tapi seiring waktu berlalu,
naskahnya mulai memperlihatkan kelemahan demi kelemahan. Salah satunya
ketiadaan ide mengenai apa yang harus Mila perbuat selama ditinggal seorang
diri bersama pocong Sulastri yang terbaring di tengah ruangan. Alhasil,
dibuatlah Mila menjadi karakter penuh rasa penasaran (baca: bodoh). Sewaktu tiba-tiba,
entah dari mana kain kafan membentang di hadapannya, Mila menarik itu, berusaha
mencari ujungnya. Di lain kesempatan, disorotnya wajah pocong dengan senter,
seolah tidak puas cuma melihat bagian bawah tubuhnya.
Karakterisasi lain, seperti sudah
saya sebutkan, adalah perhatian besar kepada anak-anak. Mia amat mempedulikan
Novi, sampai menghabiskan mayoritas durasi film memanggil nama si bocah.
Ketimbang Jaga Pocong, film ini
mestinya disebut Jaga Novi. Demi
mengakali ketiadaan plot (yang sejatinya bukan masalah asal ditangani secara
tepat), naskahnya menggiring Mila dalam kesibukan mencari Novi yang berulang
kali menghilang. Aviv Elham perlu memahami jika tidak semua peristiwa wajib
diverbalkan. Bahasa non-verbal justru berpeluang memaksimalkan penuturan visual
sutradara maupun akting pemain.
Keharusan meneriakkan nama Novi
cukup mengganggu penampilan Acha, yang meski bukan akting terbaik sepanjang
karirnya, jelas jauh lebih baik dibanding banyak pemeran utama horor medioker
kita. Acha berteriak, menangis, dengan cara yang memudahkan kita merasakan
keputusasaan Mila. Keputusasaan wanita biasa yang terjebak dalam situasi di
mana ia benar-benar tidak berdaya. Hadrah paham betul kapasitas aktrisnya dan
berusaha memanfaatkannya sebisa mungkin, membiarkan kamera menangkap emosi Acha
secara utuh terlebih dahulu sebelum berpindah ke teror berikutnya.
Perihal menangani teror, Hadrah
sanggup menghadirkan beberapa jump scare
solid, walau keseluruhan, masih jauh dari spesial. Tapi saya rasa itu masalah
pengalaman. Jaga Pocong merupakan pengalaman
pertama Hadrah menggarap horor, dan merujuk pada fakta tersebut, debut ini
jelas tidak buruk-buruk amat. Terlebih, tidak banyak yang bisa diperbuat ketika
diberi modal naskah yang miskin kreativitas. Riasan pocong—yang tampak mumpuni
dibanding deretan hantu muka bubur basi dalam deretan horor lokal kelas D—pun tak
banyak menolong.
Kemudian, setelah nyaris tak memberi
kontribusi, naskahnya menghabiskan 10 menit terakhir mempresentasikan twist yang memancing saya bertanya, “Apabila
ada jalan gampang guna mencapai tujuannya, untuk apa repot-repot meneror Mila melalui
penampakan-penampakan pocong yang nihil signfikansi dengan tujuan itu?”. Lalu
ketika saya mulai melontarkan pertanyaaan berikutnya, “Kenapa harus Mila?”, naskahnya
langsung menjawab, “Karena memang harus dia”. Oh, baiklah.
A SIMPLE FAVOR (2018)
Rasyidharry
Oktober 21, 2018
Anna Kendrick
,
Blake Lively
,
Henry Golding
,
Jessica Sharzer
,
Lumayan
,
Mystery
,
Paul Feig
,
REVIEW
,
Theodore Shapiro
,
Thriller
2 komentar
Paul Feig (Bridesmaids, Spy) bereksperimen lewat A Simple Favor yang merupakan adaptasi novel berjudul sama karya
Darcey Bell. Alih-alih sepenuhnya merambah “sisi gelap” sebagaimana dijadikan
materi promosi lewat tagline berbunyi
“The Darker Side of Paul Feig” dan
mengikuti pola Hitchcockian atau Les Diaboliques (1955)—yang bahkan
disebut dalam dialog—sang sutradara, bersama penulis naskah Jessica Sharzer (Nerve), berani menyatukan elemen thriller misteri dengan komedi yang jadi
keahliannya. Hasilnya menyenangkan, meski acap kali campur aduk.
Itulah kenapa Anna Kendrick jadi
pilihan tepat sebagai Stephanie Smothers, ibu tunggal sekaligus vlogger resep masakan dan kerajinan. Kendrick,
serupa mayoritas peran-peran sebelumnya, memerankan wanita muda naif dan
canggung, yang kerap membuatnya bertingkah konyol di tengah interaksi sosial.
Dan dia bagus. Kendrick, selain tentunya kepiawaian pengadeganan Feig, adalah
alasan humornya selalu berhasil, walau kejenakaan A Simple Favor seringkali ada di tempat yang aneh.
Tapi inilah tujuan Feig. Dia tidak
ingin mencengkeram jantung penonton layaknya Alfred Hitchcock, atau menampilkan
gurat-gurat kengerian bak Les Diaboliques.
Feig ingin menghibur. Feig ingin kita tertawa, terjaga, terkejut, dan tentunya
terpesona sebagaimana Stephanie kala ia pertama bertemu Emily Nelson (Blake
Lively) saat keduanya menjemput putera mereka dari sekolah. Emily adalah wanita
elegan dengan dandanan menawan seolah baru tiba dari acara peragaan busana di
Paris, selaras dengan lantunan musik jazzy
garapan Theodore Shapiro, komposer langganan Feig sejak Spy.
Serupa Kendrick, Lively jelas sempurna
sebagai Emily, yang membuat bukan saja Stephanie, tapi juga penonton sulit
melepaskan pandangan darinya. Hebatnya, ia pun mulus berkomedi. Kata “brotherfucker” takkan selucu itu kalau
bukan berkatnya.
Kedua tokoh utama kita cepat akrab.
Stephanie mengagumi betapa elegan Emily, sebaliknya, sang kepala divisi
hubungan masyarakat suatu perusahaan mode itu menyukai kelucuan Stephanie.
Mungkin Stephanie memberi hiburan bagi Emily, yang kesehariannya hanya ditemani
pekerjaan serta suaminya, Sean (Henry Golding), novelis yang telah 10 tahun tak
menghasilkan karya baru. Hingga suatu hari, Emily mengajukan sebuah permintaan
sederhana agar Stephanie menjemput puteranya dari sekolah. Setelahnya, ia
menghilang.
“Where’s Emily?” merupakan pertanyaan yang filmnya ingin kita
pertanyakan. Asumsi-asumsi mampu dimunculkan, teori-teori berseliweran di
kepala, usaha menyatukan keping-keping puzzle pun saya lakukan didasari
pengalaman menyaksikan film-film misteri bertema serupa. Kemudian filmnya
menampar lewat titik balik di pertengahan durasi. Segala teori dan asumsi tadi
pun runtuh.
Saya meyakini, kisah misteri yang
baik bukan bergantung pada jawaban atau kejutan di akhir, melainkan proses investigasi.
Konklusi yang sukar ditebak sebatas bonus. Dan kelebihan A Simple Favor terletak pada caranya mengombang-ambingkan pemikiran
penonton. Setiap kita merasa mulai menemukan titik terang, fakta baru yang
kontradiktif langsung dipresentasikan. Alurnya pun bergerak dinamis begitu
Stephanie memutuskan memulai penyelidikan ketimbang berdiam diri dikuasai
kebingungan. Di sinilah humornya berperan. Sesekali otak kita dibawa rehat
sejenak dari pencarian fakta, untuk menertawakan polah Stephanie (plus jajaran
tokoh pendukung) yang selalu menemukan jalan bertingkah konyol.
Sayang, mencapai babak akhir,
filmnya keteteran akibat penyakit lawas: obesi terhadap twist. Kejutan demi kejutan yang mayoritas punya mekanisme absurd dijajarkan
terburu-buru, tanpa memberi penonton waktu mencerna fakta yang terungkap
sebelumnya. Ditambah lagi, kapasitas Feig menangani momen pengungkapan kejutan
dalam misteri belum mumpuni. Mungkin ia enggan “membesar-besarkan” kejutan,
namun dampaknya, beberapa titik sebatas hadir sambil lalu. Untunglah A Simple Favor tidak semata
menggantungkan garis finish, pula perjalanan mencapai sana. Dan sungguh
perjalanan yang menyenangkan.
THE NIGHT COMES FOR US (2018)
Rasyidharry
Oktober 20, 2018
Abimana Aryasatya
,
Action
,
Bagus
,
Dian Sastrowardoyo
,
Dimas Anggara
,
Gunnar Nimpuno
,
Hannah Al-Rashid
,
Iko Uwais
,
Indonesian Film
,
Joe Taslim
,
Julie Estelle
,
REVIEW
,
Timo Tjahjanto
,
Zack Lee
35 komentar
The Night Comes for Us dibuat oleh pria dewasa gila yang
mewujudkan mimpi basah masa kecilnya (dan beberapa kalangan penonton). Jagoan
kelewat tangguh yang nyaris tak terkalahkan dengan teman-teman yang bersedia
pasang badan, karakter-karakter dengan tampilan, kemampuan, serta latar
belakang keren, dan tentunya perkelahian demi perkelahian. Sewaktu bocah,
kartun dengan formula di atas jadi kegemaran saya. Serahkan kartun itu pada
orang di balik Rumah Dara dan Safe Haven, jadilah sajian laga yang
hanya setingkat lebih “realistis” dibanding Riki-Oh:
The Story of Ricky.
Saya membubuhkan tanda petik pada
kata “realistis” karena sejatinya, dari perspektif umum, film kedua Timo
Tjahjanto sepanjang 2018 ini jelas tidak memerlukan logika, baik dalam
pembuatan maupun proses penonton menikmatinya. Di sini, seseorang masih bisa
melancarkan pukulan meski ususnya berhamburan. Dunia yang Timo bangun adalah
dunia sarat kekerasan di mana sadisme dan pembunuhan merupakan makanan
sehari-hari manusia di dalamnya . Wajar, sebab dalam dunia ini Triad memegang
kendali. Bahkan protagonis kita jadi salah satu pentolannya sebelum membelot.
Ito (Joe Taslim) merupakan salah
satu anggota Six Seas, enam pria dan wanita pilihan dengan identitas misterius
yang bertugas menjaga keteraturan. “Menjaga keteraturan” di sini berarti
menghalalkan segala cara agar semua pihak tunduk pada Triad, termasuk membantai
seisi kampung. Tapi ketika diharuskan membunuh gadis cilik bernama Reina (Asha
Kenyeri Bermudez), Ito menahan pelatukan, lalu berbalik menghabisi anak
buahnya. Menolak tinggal diam, Triad mengirim para pembunuh terbaiknya,
termasuk Arian (Iko Uwais), yang sudah bagaikan saudara kandung Ito.
Berikutnya adalah 2 jam pertarungan yang hanya sesekali melambat ketika Timo merasa perlu menyelipkan
sedikit flashback, sedikit
pembangunan karakter, dan lebih banyak kesempatan bagi penonton bernapas. Cerita
tulisan Timo tak mendalam. Sebatas eksposisi dingin tanpa emosi, kecuali saat
Reina dan Ito duduk bersama selepas lolos dari usaha pembunuhan. Setitik hati
film ini muncul ketika sejenak beralih menuju kisah mengenai bocah polos yang menyaksikan
kebrutalan dunia tersaji di hadapannya, dan bukan mustahil, bakal mempengaruhi
pertumbuhannya.
Tapi itu cerita di lain hari. The Night Comes for Us tak punya, atau
tepatnya tak meluangkan waktu, bagi eksplorasi dramatik. Karena ini adalah
proses Timo meluapkan visi gilanya sekaligus menguji sejauh mana dia bisa
membungkus tiap kematian sekreatif mungkin. Bola-bola biliar, taser pemicu tarikan picu senapan,
hingga tulang sapi cuma segelintir contoh. Pastinya semua berujung muncratan
darah bahkan potongan tubuh berhamburan. Ketika seseorang terkena ledakan, kita
melihat serpihan tubuh mereka.
Gerak kamera Gunnar Nimpuno (Modus Anomali, Pendekar Tongkat Emas,
Killers) mungkin belum semumpuni Matt Flannery dalam dwilogi The Raid soal menangkap koreografi
buatan Iko Uwais—yang seperti biasa, rumit nan kaya variasi—tapi cukup sebagai pemberi
dinamika serta membuat penonton merasakan dampak dari beberapa pukulan dan
tusukan. Sementara musik garapan duet maut Fajar Yuskemal-Aria Prayogi (The
Raid, Headshot) yang memadukan nomor elektronik dan klasik ditambah
pilihan-pilihan lagu menarik dari Timo (Benci
untuk Mencinta dari Naif paling menonjol) setia mengiringi di belakang.
Sulit memilih mana pertarungan
terbaik, tapi 3 di antaranya begitu berkesan. Pertama saat Fatih (Abimana
Aryasatya), Bobby (Zack Lee), dan Wisnu (Dimas Anggara) menghadapi pasukan
suruhan Yohan (Revaldo dalam comeback
luar biasa). Zack Lee menggila sedangkan Abimana menambahkan bobot dramatik plus
kematangan menangani dialog yang tak terduga muncul di film macam ini.
Kedua, sewaktu duo pembunuh lesbian
anggota Lotus (satu lagi sebutan yang menarik digali bila ada film lanjutan),
Elena (Hannah Al Rashid) dan Alma (Dian Sastrowardoyo) mengepung The Operator
(Julie Estelle). Bermula di kamar lalu berlanjut ke lorong penuh potongan tubuh
manusia, sekuen ini membuktikan kebolehan ketiga aktris. Dian lewat kesintingan
yang belum pernah ia tampakkan (termasuk improvisasi menjilat tangah Hannah),
Hannah yang meyakinkan melakoni koreografi, juga Julie Estelle yang sekali lagi
membuktikan bahwa ia aktris laga nomor satu Indonesia saat ini. Karakter yang
bisa memutus jari tangannya sedemikian santai seperti The Operator jelas perlu
dibuatkan filmnya sendiri.
Ketiga tentu saja klimaks Joe
melawan Iko yang bagai rangkuman keseluruhan film: brutal sekaligus berwarna.
Joe dengan gaya bertarung lebih eksplosif dan Iko lewat kecepatan taktis yang
tak kalah “meledak”, sama-sama menembus batas,
baik dari sisis karakternya yang bertarung hingga titik (atau banjir?) darah
penghabisan, maupun perjuangan keduanya selaku aktor. Ketiadaan alur mumpuni berpotensi
menjadikan perjalanan filmnya melelahkan khususnya di pengalaman menonton pertama,
namun The Night Comes for Us
merupakan satu dari sedikit sajian laga modern yang akan dengan senang hati saya
kunjungi lagi kala membutuhkan hiburan, baik menyeluruh atau parsial guna
menikmati pertarungannya secara terpisah.
DANCING IN THE RAIN (2018)
Rasyidharry
Oktober 19, 2018
Ayu Dyah Pasha
,
Bunga Zainal
,
Christine Hakim
,
Deva Mahenra
,
Dimas Anggara
,
Djenar Maesa Ayu
,
Drama
,
Indonesian Film
,
Jelek
,
REVIEW
,
Rudi Aryanto
,
Sukhdev Singh
,
Tisa TS
14 komentar
Sungguh hidup seperti putaran roda
yang sulit ditebak arahnya. Baru tiga minggu lalu, Screenplay Films baru saja
mempersembahkan karya terbaik mereka lewat Something
in Between (review), sekarang muncul Dancing
in the Rain sebagai salah satu yang terburuk. Film karya sutradara Rudi
Aryanto (Surat Cinta untuk Starla the
Movie, The Perfect Husband) ini mendobrak batas kengawuran bertutur disease porn. Setelah sempat beralih ke
tangan Titien Wattimena, departemen penulisan naskah dikembalikan pada duo Tisa
TS-Sukhdev Singh (Magic Hour, London Love
Story) yang beranggapan bahwa penyakit merupakan satu-satunya penghasil
penderitaan. Padahal, mereka yang sehat pun bisa menderita. Penonton film ini
misalnya.
Saya takkan mengaku paham betul
mengenai segala aspek medis film ini. Saya bukan ahli, bukan dokter, bukan pula
psikolog. Apalah artinya ilmu saya yang butuh waktu 7,5 tahun menyelesaikan
studi psikologi dibanding psikolog profesional yang (konon) jadi konsultan
naskah sekaligus pendamping sepanjang proses produksi. Saya hanya bisa menyebut
bahwa merujuk pada definisi DSM-5 (Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition), akting Dimas
Anggara sebagai pengidap gangguan spektrum autisme telah memenuhi
simtoma-simtoma yang tertulis. Tapi saya tak bisa mengukur akurasinya secara
detail, apalagi kondisi penderita autisme amat beragam. Satu hal pasti, Dimas melakukan
yang ia bisa, sesuai keinginan sutradara dan petunjuk sang psikolog dalam
proses yang saya yakin cukup singkat.
Pun saya yakin, Tisa dan Sukhdev
melakukan wawancara kepada psikolog. Bukan karena naskahnya tersaji mendalam,
namun beberapa kalimat terdengar bagai hasil verbatim (menulis ulang kata per kata tanpa pengubahan) dari
wawancara formal, ketimbang ucapan manusia normal. Tengok saja voice over Ayu Dyah Pasha yang
memerankan psikolog. Itu bukan ucapan psikolog pada klien. Itu pembacaan
halaman Wikipedia.
Mari beranjak menuju alurnya, yang
mengisahkan penderita spektrum autisme bernama Banyu (Dimas Anggara), yang
akibat kondisinya, sulit meneukan teman. Di sekolah ia dijauhi, sementara di
lingkungan sekitar rumahnya, ia jadi korban bully.
Sampai ia bertemu Radin (Deva Mahenra) yang tumbuh sebagai sahabat sekaligus
pelindung bagi Banyu. Kemudian Kinara (Bunga Zainal) turut masuk ke hidup
mereka, bahkan saat beranjak memasuki masa kuliah, menjalin cinta dengan Radin.
Untunglah film ini urung masuk ke ranah cinta segitiga, sebab kebersamaan
Radin-Kinara amat disukai oleh Banyu.
Sebelum kehadiran Radin dan Kinara,
Banyu hanya memiliki Eyang Uti (Christine Hakim), yang luar biasa sabar merawat
sang cucu pasca ditelantarkan kedua orang tuanya. Tentu Christine Hakim
merupakan hal terbaik Dancing in the Rain.
Caranya meregulasi emosi luar biasa. Momen favorit saya adalah saat Katrin
(Djenar Maesa Ayu), ibu Radin, mendatanginya, memaksa agar ia bersedia memutus
pertemanan Banyu dengan Radin. Eyang berusaha sabar, pelan-pelan bicara,
mempertahankan senyum, walau kita bisa merasakan amarah siap meledak. Hingga di
satu titik ia tak kuat lagi, suaranya “pecah”, namun tak lama. Kembali ia
mengatur emosinya. Such a bravura performance.
Tapi itu urung menyembunyikan
keburukan naskahnya, termasuk penulisan karakter Eyang Uti. Dia betul-betul
menyayangi Banyu, satu dari sedikit orang yang mengerti cara menanganinya,
sehingga bagaimana mungkin ia seteledor itu meninggalkan Banyu sendirian di pasar?
Tentu keteledoran itu dimaksudkan guna menciptakan momen dramatis, tanpa peduli
masuk akal atau tidak. Pola serupa terus diulang. Di cafe, beberapa pria dengan
lantang mencela Banyu (yang datang bersama Radin dan Kirana), menyebutnya
idiot, mengejek gaya berpakaiannya. That’s
a terrible soap opera level of dramatization. Sama halnya dengan penokohan
dangkal Katrin, yang tak ubahnya sosok ibu antagonis tanpa nurani di sinetron,
yang bicara sendiri di depan kamera mengungkapkan rencana jahatnya.
Saya sering kesal mendengar omongan
“Ini film kelas FTV” atau “Sinetron banget deh filmya”. Kalimat-kalimat itu
adalah simplifikasi rendahan. Tapi Dancing
in the Rain benar-benar cocok akan deskripsi tersebut. Naskahnya eksis di universe yang sama dengan Jenazah Mandor Kejam Mati Terkubur Cor-Coran
Dan Tertimpa Meteor. Tisa dan Sukhdev membuat semua karakternya terjangkit
penyakit, entah agar hidup mereka lebih menderita, memberi pelajaran pada
antagonis, atau menghadirkan haru lewat sebuah pengorbanan. Sekalinya mencoba
memancing haru melalui momen tanpa penyakit, hasilnya justru canggung, ketika
sang pembantu menyanyikan Lelo Ledhung
ketika Banyu tengah menangis di dekapan Eyang Uti.
Menciptakan persamaan nasib di
antara ketiga protagonis turut melucuti pesan penting mengenai perbedaan, bahwa
kita harus memperlakukan semua orang sama, dan walau kita dianggap “normal” dan
lebih sehat, bukan berarti kita berderajat lebih tinggi. Tapi apa peduli film yang
seenaknya menggambarkan proses transplantasi jantung (silahkan anda cari dari
beragam sumber mengenai detail prosedurnya) mengenai pesan? Setidaknya, saya
bersyukur Rudi Aryanto masih mampu membungkus filmnya dalam tempo dinamis,
enggan tampil bertele-tele dan membuang waktu. Karena jika tidak, menonton film
ini akan semakin terasa membuang waktu.
GENERASI MICIN (2018)
Rasyidharry
Oktober 19, 2018
Brandon Salim
,
Cici Tegal
,
Comedy
,
Erick Estrada
,
Fajar Nugros
,
Faza Meonk
,
Ferry Salim
,
Indonesian Film
,
Joshua Suherman
,
Kamasean Matthews
,
Kevin Anggara
,
Kurang
,
Melissa Karim
,
Morgan Oey
,
REVIEW
,
Teuku Ryzki
5 komentar
Generasi Micin adalah tontonan menghibur, tapi menilik dari usahanya
mengangkat jarak antargenerasi sekaligus observasi terhadap remaja kekinian,
film ini kosong. Ibarat hidangan penuh micin, terasa sedap namun kurang
bergizi. Bukan masalah andai tujuannya memang sebatas hiburan ringan, tapi
bahkan sejak sekuen pembukanya bergulir, karya penyutradaraan teranyar Fajar
Nugros (Yowis Ben, Terbang: Menembus
Langit) ini mengincar lebih.
Sekuen yang dimaksud menampilkan
Anggara muda (Brandon Salim), sebagai keturunan Cina masa lalu, menghabiskan
hidupnya bekerja keras belajar berdagang. Bahkan setelah dewasa (diperankan
Ferry Salim) dan menikah, ia menjanjikan sang istri (Melissa Karim) ruko mewah
di Pantai Indah Kapuk. Fakta-fakta tersebut berlaku sebagai perbandingan begitu
kita bertemu putera sulung Anggara, Kevin (Kevin Anggara), si generasi micin
yang (katanya) ingin semua berjalan instan, enggan bersosialisasi, memilih
berkutat dengan gadget dan video game
di kamarnya.
Komparasi lain datang dari Trisno
(Morgan Oey), generasi pasca reformasi, yang merujuk pada salah satu dialog, punya
ciri berkebalikan dengan generasi micin: lambat. Trisno sempat bermimpi jadi
penyanyi, sebelum membuangnya, dan kini hanya menghabiskan waktu bermalas-malasan
di rumah. Generasi Trisno tak digali cukup dalam, tapi tak jadi soal. Pertama,
ini bukan film tentang mereka. Kedua, Morgan menampilkan salah satu performa
terbaik, paling natural, paling asyik disimak sepanjang karirnya. Begitu asyik,
saya lupa bahwa sosok Trisno tak seberapa berarti. Dia hanya memberi petuah
singkat bagi Kevin, sebuah peran yang sejatinya turut diemban Anggara.
Naskah tulisan Faza Meonk (Si Juki the Movie: Panitia Hari Akhir)
kebingugnan hendak menyampaikan apa serta bagaimana. Kadang, Generasi Micin bagai ingin menunjukkan
perbedaan remaja-remaja micin dengan generasi sebelumnya. Salah satu elemen
komedik dari aspek itu adalah cara bicara Kevin saat menjelaskan sesuatu yang secepat
berondongan senapan mesin. Karena, well,
sebagai generasi micin, ia identik dengan hal-hal instan dan cepat. Pun film
ini menampilkan bagaimana remaja sekarang punya keunggulan yang tak dimiliki
pendahulunya, semisal memanfaatkan internet demi kebaikan.
Sedangkan di kesempatan lain,
filmnya justru menakankan bila semua generasi sama saja. Mereka yang tua selalu
merasa generasi di bawah mereka adalah penurunan. Kondisi itu terjadi sejak
dulu dan akan terus berulang. Sebab apa pun generasinya, di usia muda, mereka
hanya ingin bersenang-senang, termasuk berbuat kenakalan seperti saat Kevin
bersama tiga temannya, Dimas (Joshua Suherman) si penggila K-Pop, Bonbon (Teuku
Ryzki) si pelupa, dan Johanna (Kamasean Matthews) melakukan kejahilan-kejahilan
di sekolah sebagai pemenuhan tantangan dari sebuah situs misterius. Poin di
atas (semua generasi sama) bahkan diucapkan secara gamblang oleh Chelsea
(Clairine Clay), si pujaan hati Kevin, di ending,
yang (biasanya) berperan selaku perangkum pesan.
Dua tuturan kontradiktif di atas
saling bertabrakan. Layaknya banyak tokoh remaja di dalamnya, Generasi Micin mengalami krisis
identitas, penuh kebingungan, termasuk ketika mengakhiri kisahnya lewat epilog
berkepanjangan yang kelabakan menutup berbagai cabang cerita pada sisa
durasinya, dari soal kehidupan sekolah Kevin dan kawan-kawan, kehidupan Trisno,
romansa Kevin dan Chelsea, hingga perihal situs misterius tadi.
Namun sekali lagi, bila anda
sebatas mengharapkan kelezatan seperti masakan bertabur micin, film ini mungkin
memuaskan. Naskah ditambah penyutradaraan Fajar Nugros mengisinya dengan
semangat bersenang-senang di tiap momen, menertawakan siapa pun, apa pun, di
mana pun. Hampir semua tokoh maupun situasi didesain konyol. Terkadang tawa hadir
kala humornya terasa dekat, seperti Ibu Dimas (Cici Tegal) yang tergila-gila
menonton drama Korea hingga lupa solat meski berjilbab, hingga kisah “telur
dipotong sepuluh”, yang saya percaya, kerap anda dengar. Sayangnya tak jarang
juga humornya berlangsung datar, tenggelam dalam absurditasnya sendiri,
misalnya tiap hansip bermata juling (Erick Estrada) muncul.
Seperti Kevin dengan penjabaran
super cepat yang tak memperhatikan apakah lawan bicaranya paham atau tidak, Generasi Micin terus menerjang, membabat
habis hampir semua kesempatan dengan humor tanpa peduli apakah tepat sasaran.
Seperti kandungan micin dalam masakan pula, itu bisa menghasilkan kelezatan, tapi
alangkah baiknya bila kadarnya dikontrol.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
17 komentar :
Comment Page:Posting Komentar