BOHEMIAN RHAPSODY (2018)

17 komentar
Bohemian Rhapsody tampil bak medley, di mana deretan greatest hits dimainkan sebagian demi mengakomodasi sebanyak mungkin lagu dimainkan dalam keterbatasan waktu. Metode tersebut niscaya mampu menghibur, namun takkan terasa lengkap dan penonton bakal berharap lebih dengan ketidakpuasan tertinggal di hati. Karir gemilang Queen, musikalitas mereka, dan tentunya perjalanan hidup sang vokalis, Freddie Mercury, terbukti terlampau besar nan kompleks untuk dituturkan melalui gaya formulaik film biopic.

Di departemen penulisan naskah, Anthony McCarten (The Theory of Everything, Darkest Hour) memahami kata kuncinya, yaitu “keluarga”. Semua hubungan interpersonal film ini bermuara ke sana, dari sulitnya Freddie (Rami Malek) mendapatkan restu sang ayah (Ace Bhatti) yang menganggapnya telah melenceng jauh dari kultur Parsi, romansanya dengan Mary Austin (Lucy Boynton), juga dinamika Queen, yang digambarkan bukan sebatas band, tetapi keluarga. Walau akhirnya, meski kita tak meragukan chemistry antara personel perihal pembuatan musik, penggambaran hubungan mereka urung nampak berbeda dibanding banyak band di luar sana. Artinya, “keluarga” hanya kalimat di atas kertas yang berulang kali diucapkan.

Jelang akhir, terselip pembicaraan mengenai adanya perdebatan soal lagu ciptaan siapa yang disertakan dalam album, lagu siapa yang dipilih jadi single andalan, lagu mana yang menjadi b-side, dan lain-lain, yang kerap terjadi tiap Queen memasuki studio rekaman. Tapi selain saling ejek soal lagu I’m in Love with My Car buatan Roger Taylor (Ben Hardy) sang penggebuk drum, kita tidak pernah menyaksikan konflik di atas secara langsung. Padahal cekcok semacam ini mampu memperkaya substansi film tentang musisi.

Proses musikalnya toh tetap menghibur. Kita diajak menyaksikan Queen bereksperimen dengan beragam sumber bunyi, mengkreasi komposisi unik Bohemian Rhapsody, membuat We Will Rock You yang terdengar sederhana bila disandingkan dengan lagu titular-nya, diciptakan berdasarkan keinginan memberi penonton lagu yang dapat mereka mainkan, namun sejatinya, tetap layak disebut eksperimen (mayoritas cuma tersusun atas hentakan kaki dan tepuk tangan). Di balik kekurangannya, Bohemian Rhapsody sanggup menggambarkan kejeniusan serta kegilaan eksplorasi Queen untuk urusan karya.

Merangkum lebih dari 2 dekade penuh lika-liku, Bohemian Rhapsody memilih gaya presentasi jumpy, bergerak dari waktu ke waktu, lagu ke lagu, konser ke konser, menjadikan filmnya terputus-putus alih-alih naratif utuh yang melaju mulus. Pada titik ini filmnya seolah tersesat, tak tahu ingin menyampaikan apa, lalu memilih pasrah terbawa arus, sebelum mencapai third act, yang mana merupakan fase terbaik Bohemian Rhapsody.

Sekitar 30 menit terakhirnya berhasil mengikat segala cabang plot menggunakan benang merah berupa “keluarga”, menghadirkan beberapa momen personal perihal Freddie dan orang-orang terkasihnya selaku penutup emosional. Khususnya hubungan Freddie-Mary, di mana cinta Freddie terhadap inspirasi di balik lagu Love of My Life itu adalah salah satu cinta tanpa syarat paling murni dan indah yang pernah saya saksikan, walau tambahan satu-dua obrolan intim pada masa awal hubungan mereka bakal lebih menguatkan pondasi kisah keduanya.

Sementara 15 menit pamungkasnya adalah puncak, di mana Bryan Singer (The Usual Suspects, X-Men, Superman Returns) melakukan reka ulang terhadap penampilan Queen di konser amal Live Aid (1985), yang banyak dianggap sebagai salah satu aksi panggung terbaik sepanjang masa. Sekuen ini diambil pada hari pertama produksi, sehingga Singer masih duduk di kursi sutradara sebelum dipecat lalu digantikan Dexter Fletcher (Eddie the Eagle) pada sepertiga akhir proses. Singer bisa saja memasang sistem autopilot dan penonton tetap akan terhibur berkat susunan lagu-lagu seperti Bohemian Rhapsody, Radio Gaga, We Will Rock You, hingga We Are the Champions. Tapi dia menolak bermalas-malasan.

Dibantu sinematografer langganannya, Newton Thomas Sigel, kamera Singer bergerak dinamis menangkap energi Freddie yang bergerak menyusuri panggung layaknya pemimpin massa dan euforia 72 ribu penonton di stadion Wembley. Tapi satu hal spesial dalam sekuen ini adalah, keberhasilannya secara subtil menjelaskan bagaimana Freddie bisa memberi performa luar biasa, walau telah lama ia dan personel Queen lain tak berada di satu panggung, pula kesehatannya makin memburuk akibat AIDS. Jawabannya sama: keluarga. Konser itu pun makin bermakna. Live Aid jadi momen ketika Freddie mencurahkan segala cintanya, dan keputusan Singer sesekali mengalihkan fokus ke ekspresi orang-orang terdekat sang vokasi di sela-sela konser terbukti menambah bobot emosi.

Tapi tanpa akting Rami Malek, niscaya reka ulang Live Aid tidak akan sebaik itu. Secara tampilan fisik, ia mungkin kalah mirip dibanding Gwilym Lee sebagai Brian May atau Joseph Mazzello sebagai John Deacon, namun aktingnya menutupi itu. Di bawah panggung, Malek menjadikan Freddie manusia rapuh yang kesepian dan merindukan cinta, juga musisi jenius yang tubuhnya bergetar tiap menyadari bahwa dirinya sedang menciptakan mahakarya. Tapi ia bukan sosok suci. Malek turut menangkap sisi gelap Freddie sebagai megabintang yang dikuasai ego akibat kesendirian. Di atas panggung, ia adalah pemimpin flamboyan penuh energi. Malek sempurna menampilkan tiap detail kekhasan gerak-gerik Freddie. Malek bukan sekedar meniru. Seolah Freddie sungguh merasuki sang aktor. Mungkin Malek tidak bernyanyi live, tetapi gestur dan ekspresinya (plus tata suara cermat) memudahkan kita mempercayai jika ia mampu bernyanyi serupa Freddie Mercury.

17 komentar :

Comment Page:

THE RETURNING (2018)

8 komentar
Saya pertama menyaksikan The Returning sekitar 2 bulan lalu dalam suatu test screening pagi hari. Mengira bakal disuguhi creature feature (seperti Jeepers Creepers misal), saya terkejut mendapati debut penyutradaraan penuh Witra Asliga—pasca 5 tahun lalu menggarap segmen Insomnights dalam omnibus 3Sum—ini adalah horor psikologis slow burning. Ekspektasi yang meleset ditambah fakta kalau pemutaran dilakukan pukul 9:00 ketika nyawa ini belum sepenuhnya terkumpul, saya pun memutuskan bakal menonton ulang.

Pada pengalaman kedua, walau berbagai kelemahan tetap terpampang nyata, saya dibuat terkesan oleh kesubtilan penulisan naskah Witra. Begitu cerdik ia menyembunyikan intensi asli karakter melalui beberapa perilaku tak mencurigakan, yang rupanya punya maksud lain setelah kebenaran diungkap jelang akhir. The Returning diawali kecelakaan yang menimpa Colin (Ario Bayu). Dia terjatuh ketika sedang memanjat tebing. Pencarian dilakukan, tapi tubuhnya tak jua ditemukan.

Tiga bulan berlalu tanpa progres. Colin meninggalkan 2 anak, Maggie (Tissa Biani Azzahra) dan Dom (Muzakki Ramdhan), juga seorang istri, Natalie (Laura Basuki), yang menolak menerima kenyataan bahwa sang suami telah tiada. Berbagai usaha dilakukan, dari menemui psikolog, sampai menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai pengrajin tanah liat, namun tidak banyak membantu. Akibatnya, hubungan Natalie dengan Maggie memburuk, di mana pertengkaran jadi rutinitas. Belum lagi tekanan dari sang mertua (Dayu Wijanto), yang meski murah senyum serta menyayangi kedua cucunya, gemar melontarkan komentar sinis pada Natalie. Dayu Wijanyo cocok melakoni peran ini, menjadikan Oma karakter yang dengan senang hati kita benci.

The Returning dengan penuh kesabaran memakai mayoritas durasinya mengeksplorasi duka yang Natalie alami, pelan-pelan mengungkap beban demi beban karakternya, disokong oleh penampilan cukup solid dari Laura Basuki yang mampu meletupkan emosi kala dibutuhkan. Tapi kadangkala, eksplorasi film ini terasa melelahkan, bukan dipicut tempo lambatnya, melainkan keberadaan momen maupun karakter minim signifikansi. Sebutlah Yasmin (DJ Yasmin) yang andai dihilangkan pun, takkan seberapa mempengaruhi kondisi psikis Natalie.

Sementara itu, musik dreamy garapan Lie Indra Perkasa (Tabula Rasa, Banda the Dark Forgotten Trail) dan lagu haunting berjudul Kecuali Cahaya yang dibawakan Danilla Riyadi sanggup menghanyutkan dalam isi pikiran Natalie yang memang tengah melayang-layang dihantui angan-angan serta luka. Tata kostum bersama departemen artistik yang menampilkan nuansa 90an tanpa terkesan pamer secara berlebihan, juga sinematografi Abdul Dermawan Hadir (Sinema Purnama) yang mengutamakan pemakaian warna hijau, senantiasa memanjakan mata.

Kemudian, di suatu malam Jumat, secara tiba-tiba Colin pulang ke rumah. Tanpa luka, hanya sikap yang lebih dingin dan sedikit aneh di awal. Tapi seiring waktu, Colin semakin normal. Setidaknya di depan, sebab di belakang, keanehan-keanehan justru makin sering terjadi. Cuma terdapat satu jump scare di sini, yang sayangnya sudah dibocorkan oleh trailer-nya. Dipandang dari cara monsternya muncul, adegan itu tidak spesial, tapi dibangun dengan sempurna, demikian pula pilihan timing Witra, yang efektif membuat penonton tersentak. Sisanya, Witra menolak mengandalkan “trik murahan”. Sang sutradara ingin membuat kita takut, bukan terkejut.

Hasilnya tidak selalu baik. Witra jelas memiliki kreativitas tinggi, yang dibuktikan lewat beberapa momen, semisal kemunculan pertama monster atau teror menggunakan papan scrabble. Masalahnya ada di hook. Seringkali, pilihan sudut kameranya gagal memancing bulu kuduk berdiri. Pembangunannya justru kerap lebih mencekam, di mana saya menyukai beberapa penggunaan voice over guna menyiratkan bahwa sesuatu tidak seperti kelihatannya. Desain monsternya pun menarik, walau mata merah dan aura hijau di sekujur tubuh yang dimaksudkan menguatkan kesan out-of-this-world justru mengganggu karena tampak artificial.

Klimaks yang mestinya jadi puncak justru bergulir lemah. Setelah melewati sepanjang durasi bergerak dengan penuh kesabaran, The Returning justru tampil buru-buru kala third act, luput menekankan berbagai poin yang bisa menambah intensitas pula balutan emosi (elemen “tanda mahar” berpotensi menghadirkan konflik rasa yang lebih rumit bagi karakternya). Untungnya ada satu penyelamat, yang memberikan hati sebagaimana filmnya butuhkan. Penyelamat itu berupa penampilan Muzakki Ramdhan yang sukses memannfaatkan sebuah momen singkat. Pasca The Returning juga A Mother’s Love-nya Joko Anwar, tidak sabar rasanya menantikan masa depan aktor cilik ini, termasuk Gundala tahun depan. Way to go, Kiddo!

8 komentar :

Comment Page:

BAD TIMES AT THE EL ROYALE (2018)

15 komentar
Banyak film bermasalah akibat menjadikan “kebetulan” sebagai jalan pintas malas. Karakter-karakter kebetulan bertemu, terlibat masalah yang dipicu serta diakhiri oleh kebetulan. Tapi melalui Bad Times at the El Royale, Drew Goddard (The Cabin in the Woods) selaku sutradara merangkap penulis naskah, justru sengaja memainkan kondisi tersebut. Bagaimana jika kebetulan (atau nasib sial) membawa sekelompok orang yang masing-masing menyimpan intensi rahasia, saling bersilangan jalan di saat yang kurang tepat? As the title suggests, what a bad time indeed at the El Royale.

El Royale merupakan hotel yang terletak di perbatasan, di mana sebelah sisi berada di California, sementara sisi lainnya di Nevada (terinspirasi Cal Neva Resort & Casino). Empat tamu: Seymour Sullivan (Jon Hamm) si salesman rasis, Daniel Flynn (Jeff Bridges) si Pendeta Katolik, Darlene Sweet (Cynthia Erivo) si penyanyi  berbakat, dan gadis hippie bernama Emily (Dakota Johnson); plus seorang karyawan hotel bernama Miles Miller (Lewis Pullman). Mereka menyimpan niatan terselubung juga masa lalu kelam, yang satu demi satu terungkap di antara title cards bertuliskan nomor kamar tempat masing-masing tokoh menginap (atau nama atau lokasi bagi tokoh tanpa kamar).

Kisahnya mulai menyusuri arah tak terduga tatkala rahasia El Royale terbongkar, yang akhirnya turut membongkar rahasia karakternya. Saya takkan menyebut rahasia seperti apa (trailer-nya telah membongkar beberapa poin), namun satu hal yang bisa saya beri tahu, bahwa titik balik alurnya ditandai momen pembuktian Goddard terkait kapasitas penyutradaraannya. Momen tersebut berupa single take melibatkan mise-en-scène memikat yang memperlihatkan situasi dalam 2 ruangan terpisah, disusun dengan intensitas ketat, sinematografi memukau garapan Seamus McGarvey (Atonement, The Avengers, Nocturnal Animals) di mana pemakaian pantulan cermin jadi highlight, pula cerdiknya pemakaian musik Goddard. Bicara soal musik, pilihan lagu-lagu Goddard plus iringan scoring gubahan Michael Giacchino (Up, Spider-Man: Homecoming, War for the Planet of the Apes) bakal membuatmu tanpa sadar menghentakkan kaki, terhipnotis oleh alunan musik dari era 1950-1960an.

Tapi Bad Times at the El Royale bukan sebatas gaya. Beberapa penonton mungkin bakal menganggapnya sekedar sajian Tarantino-esque berdurasi sama panjang (141 menit) namun dengan dialog kalah tajam untuk menjaga atensi penonton mengarungi perjalanan nyaris 2,5 jam. Tidak sepenuhnya keliru. Durasinya bisa saja dipangkas, meski sejatinya, perjalanan panjang itu memang harga yang harus dibayar dalam upaya menghadirkan kekayaan penokohan. Dan sungguh harga yang setimpal.

Pemakaian flashback menghasilkan kejelasan pemahaman bagi motivasi tiap individu, sekaligus memberi mereka karakterisasi unik yang saling berlainan. Bahkan peran kecil juga memiliki pengaruh, contohnya Buddy Sunday (Xavier Dolan) si produser musik, yang berfungsi membangun kecurigaan serta ketidaknyamanan Darlene kepada pria, khususnya pria pemilik kuasa dan pemegang otoritas. Elemen tersebut berguna pula menciptakan pertarungan psikologis di paruh akhir, yang menghantarkan Bad Times at the El Royale menuju konklusi.

Selama 141 menit, Goddard senantiasa punya cara mempertahankan antusiasme penonton. Misalnya saat muncul flashback di tengah klimaks, yang otomatis memangkas intensitas, sebelum Goddard berhasil membawanya kembali dengan memberi salah satu karakter momen paling badass sepanjang film. Pun menyaksikan jajaran penampilnya saling mengolah peran terasa amat menyenangkan. Bridges seperti biasa menjadi pria tua bersuara growly yang lelah oleh kehidupan; Erivo sebagai penyanyi bersuara emas yang sulit mempercayai dunia; Johnson si wanita tangguh yang tak segan memberantas semua penghalang; Hamm sang mesin kharisma; dan Chris Hemsworth sebagai Billy Lee, pemimpin cult kejam sarat pesona yang gemar memamerkan perut six pack guna memikat para pengikut wanitanya.

Kejutan terbesar dalam Bad Times at the El Royale adalah keberadaan alegori keagamaan. Sejak kemunculan pertama Billy Lee yang terlihat bak kedatangan sesosok messiah, hingga bagaimana filmnya memasang perspetif mengenai Tuhan yang tidak mengenal Pendeta palsu atau Nabi palsu. Hanya ada manusia baik dan buruk, dan Tuhan akan dengan senang hati mengulurkan bantuan bagi sisi baik, meski bantuan itu hadir melalui jalan yang misterius.

15 komentar :

Comment Page:

3 DARA 2 (2018)

1 komentar
Komedi adalah “makhluk” yang sulit ditaklukkan, tapi berkomedi sambil menuturkan pesan ada di tingkatan berbeda. Sekuel dari 3 Dara yang tiga tahun lalu sukses mengumpulkan lebih dari 666 ribu penonton ini hendak menunjukkan pada para misogynist, male chauvinist, hingga pemuja toxic masculinity bahwa pekerjaan rumah tangga yang kerap dibebankan pada wanita sungguh bukan main-main. Belum tentu pria sanggup menjalaninya. Tapi cara 3 Dara 2 melucu justru membuatnya gagal meruntuhkan dinding pembatas  just-for-fun-fiction supaya pesannya dapat ditanggapi serius.

Sejatinya, trio penulis naskah: Monty Tiwa (Rompis, Critical Eleven), Nataya Bagya (7/24, 3 Dara), dan Fatmaningsih Bustamar (Demi Cinta, Meet Me After Sunset), telah memilih jalur yang tepat, bahkan cerdik guna mengembangkan cerita tanpa keluar dari persoalan kesetaran gender dan kisah “pria menjadi wanita”. Masih mengetengahkan Affandy (Tora Sudiro), Jay (Adipati Dolken), dan Richard (Tanta Ginting), kali ini, alih-alih berubah jadi wanita, mereka mesti bertukar peran dengan para istri, alias menjadi bapak rumah tangga.

Akibat kegagalan investasi, mereka pun berhutang puluhan milyar, harus terusir dari rumah, dan terpaksa tinggal di rumah Eyang Putri (Cut Mini), ibunda Aniek (Fanny Fabriana), istri Affandy. Demi melunasi hutang tersebut, Aniek bersama Grace (Ovi Dian) dan Kasih (Rania Putrisari) memutuskan bekerja, sementara ketiga suami gantian mengurus hal-hal rumah tangga. Affandy mencuci, Jay bersih-bersih, Richard berbelanja dan memasak.  Mereka semakin kerepotan akibat keberadaan Jentu (Soleh Solihun), si penjaga rumah yang bertindak semena-mena setelah diberi wewenang kuasa oleh Eyang Putri.

Pondasi memadahi telah ditempatkan, pun sebuah pernyataan dari Windy (Rianti Cartwright) sang psikolog cukup menekankan pesan yang filmnya hendak utarakan (melalui perspektif biologis, sebagai dua jenis kelamin, pria dan wanita jauh berbeda, namun tidak dari sisi gender beserta peran-perannya), tapi kemudian 3 Dara 2 melanglang buana terlalu jauh. Kebodohan Affandy-Jay-Richard dalam usaha menebus cicilan rumah justru dikedepankan ketimbang pergulatan ketiganya sebagai bapak rumah tangga, yang sebatas ditampilkan melalui montase singkat.

Semakin kisahnya bergulir, semakin repetitif, di mana pola “berbuat kebodohan-gagal-dimarahi-menyesal-ulangi kebodohan” disajikan secara terus menerus. Daripada proses belajar gradual, karakternya dibiarkan tanpa perubahan sampai konklusi. Sebuah konklusi bertabur twist yang menempuh jalan pintas guna menyelesaikan segala permasalahan. Twist yang mengejutkan? Ya, karena sulit dipercaya 3 Dara 2 menerapkan resolusi semalas itu.

Dipandang selaku hiburan, balutan humornya bekerja cukup baik. Beberapa ide kentara menunjukkan para penulisnya lebih mencurahkan usaha dan kreativitas dalam membalut komedi daripada konklusi kisah. Tidak semua bekerja maksimal, tapi berkat performa sekaligus chemistry menghibur Tora, Adipati, dan Tanta, setidaknya saya bisa dibuat terus terjaga. Belum lagi Cut Mini yang senantiasa menguasai tiap momen kemunculannya dengan kejenakaan "mengerikan". Sementara Fanny Fabriana mampu melakoni peran sebagai jangkar bagi elemen dramatik filmnya.  

Tapi sekali lagi, 3 Dara 2 ingin tampil lebih. Karenanya, gaya “dilebih-lebihkan” dari leluconnya mencuatkan masalah. Benar komedi harus dilebih-lebihkan selaku pendekatan hiperbolis terhadap realita supaya kelucuan tercipta. Namun hiperbola di sini, yang membuat masalah tokoh-tokohnya nampak konyol, berpotensi “membentengi” pihak-pihak yang dikritisi. Mereka bakal berpikir “Situasi begini takkan terjadi di kehidupan nyata”, atau “Kenyataannya takkan seberat ini” kala menyaksikan susah payahnya Affandy, Jay, dan Richard beradaptasi sebagai bapak rumah tangga, mayoritas diproduksi oleh perilaku absurd Jentu, yang memang benar, takkan kita temui di realita. Para misogynist dan male chauvinist pun rasanya hanya akan terkekeh.

1 komentar :

Comment Page:

DEAR NATHAN HELLO SALMA (2018)

4 komentar
Ironis. Dear Nathan Hello Salma (berikutnya disebut “Hello Salma”) terkena dampak tren “Jefr-Amanda” yang dimulai oleh film pertamanya, yang secara mengejutkan jadi salah satu tontonan terbaik tahun lalu. Setelahnya, selama satu setengah tahun, mereka berpasangan dalam 4 judul (Jailangkung, Jailangkung 2, A: Aku, Benci, dan Cinta, Something in Between), belum ditambah One Fine Day di mana Amanda Rawles mendapat peran kecil. Padahal Hello Salma adalah film solid, tapi serupa pasangan yang selalu bersama tiap hari, pasti ada kejengahan, sehingga kilau-kilau percintaan yang dahulu manis mulai terkikis.

Tapi kembali, Hello Salma tetap film apik. Mengadaptasi novel berjudul sama karya Erisca Febriani, kisahnya melanjutkan romantika Nathan (Jefri Nichol) dan Salma (Amanda Rawles) selepas keduanya memutuskan berpacaran di film pertama. Namun, memasuki tahun akhir SMA, hubungan mereka justru retak, (lagi-lagi) akibat kekisruhan buatan Nathan, yang berujung memaksanya pindah sekolah. Mereka memilih putus. Sewaktu Salma tertekan akibat paksaan ayahnya (Gito Gilas) melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran UI (terjadi pada banyak remaja termasuk di sekitar saya), Nathan bertemu Rebeca (Susan Sameh) di sekolah barunya.

Rebeca tak ubahnya Nathan di masa lalu. Dia hidup sendiri, jauh dari ibu karena enggan tinggal bersama sang suami baru pasca ayahnya meninggal bunuh diri, sebagaimana dahulu konflik Nathan dengan ayahnya (Surya Saputra). Apabila perkelahian jadi pelarian Nathan, Rebeca tenggelam dalam depresi, bahkan mencoba bunuh diri. Kemiripan itu mendorong Nathan tergerak mengulurkan tangan, sesuatu yang akhirnya meluluhkan hati sang gadis.

Bagus Bramanti (Mencari Hilal, Kartini, Benyamin Biang Kerok) mempertahankan elemen terbaik dari naskah film pertama buatannya, yakni perihal motivasi. Kita tak perlu bertanya-tanya “Kenapa?”, sebab senantiasa ada alasan jelas. Sungguh wajar bila Rebeca kepincut. Ketika keluarganya menjauh, pihak sekolah hanya bisa memarahi dan menghukum, juga jadi korban perundungan teman-teman, Nathan justru berdiri, bersedia terlibat perkelahian demi membelanya.

Nathan menghembuskan napas baru bagi hidup Rebeca, mengalunkan kembali musik di telinganya seperti saat Nathan memperbaiki radio tape milik mendiang ayahnya. Sama pula dengan bagaimana Rebeca membawa nyawa baru untuk franchise ini. Nathan tetap sosok yang dicintai penggemarnya berkat kemampuan Jefri Nichol menyeimbangkan sisi bad boy dan sweet boy. Chemistry-nya dengan Amanda Rawles pun sekuat biasanya, kalau bukan bertambah natural.

Tapi mungkin itu penyebabnya. Mereka berdua masih (atau selalu) sama, dan setelah bersama di begitu banyak film dalam waktu berdekatan, saya mulai lelah menyaksikan dinamika yang “itu-itu saja”. Nathan berseloroh, Salma merespon lewat sikap malu-malu mau. Beberapa pihak mungkin bakal berargumen bahwa itu bukan kesalahan filmnya, melainkan eksploitasi berlebihan dari industri. Tapi tidak. Orang-orang di balik Hello Salma sadar betul formula Jefri-Amanda telah diperas habis-habisan, dan ketimbang mencoba arah baru yang segar, mereka memilih jalur mudah dengan mengikuti pola.

Dan begitu Rebeca muncul sebagai sosok likeable berkat kemahiran Susan Sameh memainkan 2 wajah berlainan karakternya, Hello Salma malah tiba di titik jenuhnya kala kedua tokoh utamanya bersama. Khususnya saat sutradara Indra Gunawan (Hijrah Cinta, Dear Nathan, Serendipity) memasang mode autopilot, berbeda dibanding film pertama tatkala ia sanggup mengkreasi beberapa situasi romantis. Tarian slo-mo di bawah ujan sebagai penutup, misalnya.

Bukti kebersamaan Jefri-Amanda mulai menjemukan adalah, setiap Hello Salma menyelipkan elemen tambahan (meski kecil), contohnya menaruh Surya Saputra—dengan sisi kebapakan yang jauh dari kaku—di antara mereka, filmnya selalu menemukan pijakannya lagi. Semua berjalan mulus selama layar tidak cuma menampilkan mereka saja. Satu-satunya modifikasi bagi dinamika Nathan dan Salma, yakni menggiring Salma menuju kondisi yang lebih gelap, pun tak seberapa membantu.

Permasalahan Salma relevan. Tekanan orang tua, depresi pada pelajar akibat tuntutan akademis, semua penting untuk dituturkan. Namun naskahnya urung menghasilkan penelusuran mendalam terhadap masalah-masalah di atas, melainkan sebatas jembatan supaya Nathan dan Salma bisa kembali bersama. Nasib demikian turut dialami Rebeca, yang berujung dikesampingkan selaku penghubung, walau kondisinya lebih kompleks, menarik, pun mampu mengemban peran Salma sebagai penyalur isu.

Untunglah, soal menyusun momen-momen ringan termasuk komedik, naskahnya tampil solid. Walau satu adegan yang menampilkan seorang dukun terasa dipaksakan, sisanya mampu menghadirkan senyum dan tawa, apalagi saat berurusan dengan situasi-situasi canggung yang berujung celetukan jenaka karakternya. Hello Salma menunjukkan bahwa seri Dear Nathan masih menonjol dibanding romansa putih abu-abu kebanyakan. Andai Jefri dan Amanda tak sesering itu bersama. Sebab, sewaktu pasangan utama film romansa yang mestinya didukung penonton justru tenggelam, tentunya ada permasalahan.  

4 komentar :

Comment Page:

BADHAAI HO (2018)

1 komentar
Badhaai Ho (alias “Congratulations”) benar-benar memahami dinamika keluarga. Bagaimana masing-masing berinteraksi, apa peran mereka, konflik macam apa yang terjadi, dan terpenting, bagaimana mereka mencintai. Film karya Amit Sharma (Tevar) ini tahu sosok nenek selalu cerewet, tak jarang sampai taraf menyebalkan, tahu bagaimana harga diri kerap menghalangi ayah dan anak laki-laki bertukar perasaan dengan lantang, tahu bahwa seberapa pun disakiti oleh anak, kasih seorang ibu takkan luntur dan tetap bertanya, “Have you eaten, son?”. Bahaai Ho tahu bagaimana melukiskan serta menuliskan situasi-situasi di atas.

Premisnya jenaka: Apa jadinya jika orang tuamu kembali berhubungan intim dan ibumu hamil saat mereka telah menginjak usia senja dan pantas menimang cucu? Hal itu menimpa Nakul (Ayushmann Khurrana), ketika puisi ciptaan sang ayah, Jeetender (Gajraj Rao), menciptakan malam “panas” di tengah hujan yang berujung pada kehamilan sang ibu, Priyamvada (Neena Gupta). Bagi Nakul, kondisi itu sukar dihadapi. Orang-orang di sekitarnya memberi respon berlainan, dari ucapan selamat, menjadikannya bahan lelucon, sampai memandang jijik keluarganya. Bahkan Sangeeta (Sheeba Chaddha), ibunda kekasih Nakul, Renee (Sanya Malhotra), berkata, “His family is a circus I don't want to buy tickets to”.

Nakul merasa malu. Dia mengambil cuti, menghindari Renee, teman-temannya, keluarganya, pula menolak menghadiri pernikahan sepupunya. Respon Nakul dan masyarakat sekitar menimbulkan pertanyaan, “Apa yang keliru?”. Sebab, meski ada opini beralasan seperti saat Sangeeta membahas perihal resiko kesehatan, kebanyakan orang hanya berhenti di pemikiran bahwa aktivitas seksual di usia tua merupakan tindakan memalukan. Disokong naskah buatan Akshat Ghildial, Badhaai Ho melempar kritik pada standar ganda dan aplikasi sarat kemunafikan akan nilai-nilai sosial. Mereka mencemooh perbuatan yang didasari cinta (bahkan tak berdosa dari perspektif agama), dan malah lupa membagi cinta, mengabaikan nilai kekeluargaan yang tak kalah penting.

Walau mengandung elemen drama di sana-sini, separuh awal Badhaai Ho lebih banyak berkutat dalam komedi. Tidak semua humornya mendarat sempurna, saya mengagumi lagu tema Badhaaiyan Tenu, yang turut membangun kelucuan melalui aransemen sekaligus liriknya. Tapi pemancing tawa terbesar, MVP Badhaai Ho, adalah Surekha Sikri—yang kembali ke layar lebar pasca 12 tahun—sebagai Dadi, nenek Nakul. Dia adalah nenek (kebanyakan) yang enggan menyaring kata-kata dari mulutnya, bicara terlalu jujur, hingga acap kali terdengar menyakitkan, pula menggelitik di saat bersamaan. Surekha menguasai tiap adegan, bicara tanpa henti lewat cara yang membuat lawan bicaranya terdiam membisu.

Badhaai Ho diisi banyak humor, namun sekalinya menyentuh titik dramatik, filmnya berhasil menyentuh hati. Sekali lagi, karakter nenek berjasa mengangkat titik balik tersebut, menunjukkan biarpun kata-katanya kerap menyakitkan, ia sangat mencintai keluarganya. Pengungkapan itu menghasilkan momen menyentuh tanpa henti sampai akhir.  Neena Gupta memudahkan kita mempercayai susah payahnya sang ibu menahan segala tekanan, begitu pula Gajraj Rao sebagai pria lembut penuh cinta dan (sayangnya) keragu-raguan. Sementara Ayushmann Khurrana, yang belum genap 3 minggu lalu tampil apik di Andhadhun, adalah protagonis charming, sehingga walau beberapa keputusannya jelas salah, simpati penonton kepada Nakul takkan lenyap.

Selain kata, Badhaai Ho pun mumpuni bicara lewat visual berkat sensitivitas Amit Sharma. 15 menit terakhirnya tersusun atas gambar-gambar indah. Bukan gambar indah berupa sinematografi cantik atau tata artistik kaya warna. Cukup situasi-situasi sederhana seperti 2 generasi pria sebuah keluarga berdiri dalam kekhawatiran menantikan kabar wanita yang paling mereka sayangi, dua tangan yang saling menggenggam berbagi cinta, sampai ketika satu keluarga berkumpul, merayakan kebahagian terindah dalam hidup mereka.

1 komentar :

Comment Page:

JAGA POCONG (2018)

12 komentar
Menjaga pocong adalah premis mengerikan, utamanya karena kegiatan itu amat mungkin dialami siapa saja. Semakin menarik dua figur kunci Jaga Pocong sama-sama menjajaki dunia horor untuk kali pertama: Acha Septriasa yang kerap memamerkan akting-akting dramatik terbaik, dan Hadrah Daeng Ratu di kursi penyutradaraan yang baru saja mempersembahkan tontonan terlucu tahun lalu melalui dua bagian Mars Met Venus. Saya mulai was-was begitu mendapati nama-nama yang tercantum pada departemen penulisan. Aviv Elham (Alas Pati, Arwah Tumbal Nyai) menulis naskah berdasarkan ide cerita Baskoro Adi Wuryanto (Jailangkung, Sakral, Gasing Tengkorak) terdengar bagai kolaborasi dari neraka.

Mila (Acha Septriasa) adalah suster yang menaruh perhatian besar terhadap pasien anak (ini akan jadi modus operandi naskahnya nanti). Ketika ia bersiap pulang dari giliran jaga di rumah sakit, Mila justru diminta secara mendadak menangani seorang pasien di rumah. Mengapa tugas ini dilimpahkan padanya? Menurut sang atasan, “Karena memang harus kamu”. Kalimat itu, yang nantinya bakal dipakai menjelaskan sebuah poin plot penting jelang akhir, merupakan simplifikasi yang jamak kita temui di karya-karya Aviv maupun Baskoro sebelumnya.

Ada satu elemen menarik, yakni kicau burung kedasih, yang konon memberitakan kematian. Kicau tersebut terdengar sebelum seorang pasien di rumah sakit yang Mia rawat meninggal, juga sesampainya Mia di tujuan, dan mendapati bahwa Sulastri (Jajang C. Noer), pasien yang semestinya dia rawat, sudah tak bernyawa. Hanya ada putera Sulastri, Radit (Zack Lee), dan cucunya, Novi (Aqilla Herby). Kicau burung kedasih dapat memberi sentuhan kecil, subtil, namun efektif membangun kengerian, yang sayangnya urung diterapkan lagi begitu Jaga Pocong melancarkan terornya.

Jaga Pocong mengalun lambat di awal, mengajak kita melihat Mila memandikan jenazah Sulastri, mengafaninya, sampai akhirnya diminta menjaga jenazah karena Radit harus mengurus izin pemakaman. Rangkaian aktvitias tersebut dekat dengan realita, dan itulah alasan pembangunan atmosfernya cukup berhasil. Jaga Pocong menempatkan protagonis dalam situasi yang kengeriannya mudah penonton pahami.

Tapi seiring waktu berlalu, naskahnya mulai memperlihatkan kelemahan demi kelemahan. Salah satunya ketiadaan ide mengenai apa yang harus Mila perbuat selama ditinggal seorang diri bersama pocong Sulastri yang terbaring di tengah ruangan. Alhasil, dibuatlah Mila menjadi karakter penuh rasa penasaran (baca: bodoh). Sewaktu tiba-tiba, entah dari mana kain kafan membentang di hadapannya, Mila menarik itu, berusaha mencari ujungnya. Di lain kesempatan, disorotnya wajah pocong dengan senter, seolah tidak puas cuma melihat bagian bawah tubuhnya.

Karakterisasi lain, seperti sudah saya sebutkan, adalah perhatian besar kepada anak-anak. Mia amat mempedulikan Novi, sampai menghabiskan mayoritas durasi film memanggil nama si bocah. Ketimbang Jaga Pocong, film ini mestinya disebut Jaga Novi. Demi mengakali ketiadaan plot (yang sejatinya bukan masalah asal ditangani secara tepat), naskahnya menggiring Mila dalam kesibukan mencari Novi yang berulang kali menghilang. Aviv Elham perlu memahami jika tidak semua peristiwa wajib diverbalkan. Bahasa non-verbal justru berpeluang memaksimalkan penuturan visual sutradara maupun akting pemain.

Keharusan meneriakkan nama Novi cukup mengganggu penampilan Acha, yang meski bukan akting terbaik sepanjang karirnya, jelas jauh lebih baik dibanding banyak pemeran utama horor medioker kita. Acha berteriak, menangis, dengan cara yang memudahkan kita merasakan keputusasaan Mila. Keputusasaan wanita biasa yang terjebak dalam situasi di mana ia benar-benar tidak berdaya. Hadrah paham betul kapasitas aktrisnya dan berusaha memanfaatkannya sebisa mungkin, membiarkan kamera menangkap emosi Acha secara utuh terlebih dahulu sebelum berpindah ke teror berikutnya.

Perihal menangani teror, Hadrah sanggup menghadirkan beberapa jump scare solid, walau keseluruhan, masih jauh dari spesial. Tapi saya rasa itu masalah pengalaman. Jaga Pocong merupakan pengalaman pertama Hadrah menggarap horor, dan merujuk pada fakta tersebut, debut ini jelas tidak buruk-buruk amat. Terlebih, tidak banyak yang bisa diperbuat ketika diberi modal naskah yang miskin kreativitas. Riasan pocong—yang tampak mumpuni dibanding deretan hantu muka bubur basi dalam deretan horor lokal kelas D—pun tak banyak menolong.

Kemudian, setelah nyaris tak memberi kontribusi, naskahnya menghabiskan 10 menit terakhir mempresentasikan twist yang memancing saya bertanya, “Apabila ada jalan gampang guna mencapai tujuannya, untuk apa repot-repot meneror Mila melalui penampakan-penampakan pocong yang nihil signfikansi dengan tujuan itu?”. Lalu ketika saya mulai melontarkan pertanyaaan berikutnya, “Kenapa harus Mila?”, naskahnya langsung menjawab, “Karena memang harus dia”. Oh, baiklah.

12 komentar :

Comment Page:

A SIMPLE FAVOR (2018)

2 komentar
Paul Feig (Bridesmaids, Spy) bereksperimen lewat A Simple Favor yang merupakan adaptasi novel berjudul sama karya Darcey Bell. Alih-alih sepenuhnya merambah “sisi gelap” sebagaimana dijadikan materi promosi lewat tagline berbunyi “The Darker Side of Paul Feig” dan mengikuti pola Hitchcockian atau Les Diaboliques (1955)—yang bahkan disebut dalam dialog—sang sutradara, bersama penulis naskah Jessica Sharzer (Nerve), berani menyatukan elemen thriller misteri dengan komedi yang jadi keahliannya. Hasilnya menyenangkan, meski acap kali campur aduk.

Itulah kenapa Anna Kendrick jadi pilihan tepat sebagai Stephanie Smothers, ibu tunggal sekaligus vlogger resep masakan dan kerajinan. Kendrick, serupa mayoritas peran-peran sebelumnya, memerankan wanita muda naif dan canggung, yang kerap membuatnya bertingkah konyol di tengah interaksi sosial. Dan dia bagus. Kendrick, selain tentunya kepiawaian pengadeganan Feig, adalah alasan humornya selalu berhasil, walau kejenakaan A Simple Favor seringkali ada di tempat yang aneh.

Tapi inilah tujuan Feig. Dia tidak ingin mencengkeram jantung penonton layaknya Alfred Hitchcock, atau menampilkan gurat-gurat kengerian bak Les Diaboliques. Feig ingin menghibur. Feig ingin kita tertawa, terjaga, terkejut, dan tentunya terpesona sebagaimana Stephanie kala ia pertama bertemu Emily Nelson (Blake Lively) saat keduanya menjemput putera mereka dari sekolah. Emily adalah wanita elegan dengan dandanan menawan seolah baru tiba dari acara peragaan busana di Paris, selaras dengan lantunan musik jazzy garapan Theodore Shapiro, komposer langganan Feig sejak Spy.

Serupa Kendrick, Lively jelas sempurna sebagai Emily, yang membuat bukan saja Stephanie, tapi juga penonton sulit melepaskan pandangan darinya. Hebatnya, ia pun mulus berkomedi. Kata “brotherfucker” takkan selucu itu kalau bukan berkatnya.

Kedua tokoh utama kita cepat akrab. Stephanie mengagumi betapa elegan Emily, sebaliknya, sang kepala divisi hubungan masyarakat suatu perusahaan mode itu menyukai kelucuan Stephanie. Mungkin Stephanie memberi hiburan bagi Emily, yang kesehariannya hanya ditemani pekerjaan serta suaminya, Sean (Henry Golding), novelis yang telah 10 tahun tak menghasilkan karya baru. Hingga suatu hari, Emily mengajukan sebuah permintaan sederhana agar Stephanie menjemput puteranya dari sekolah. Setelahnya, ia menghilang.

Where’s Emily?” merupakan pertanyaan yang filmnya ingin kita pertanyakan. Asumsi-asumsi mampu dimunculkan, teori-teori berseliweran di kepala, usaha menyatukan keping-keping puzzle pun saya lakukan didasari pengalaman menyaksikan film-film misteri bertema serupa. Kemudian filmnya menampar lewat titik balik di pertengahan durasi. Segala teori dan asumsi tadi pun runtuh.

Saya meyakini, kisah misteri yang baik bukan bergantung pada jawaban atau kejutan di akhir, melainkan proses investigasi. Konklusi yang sukar ditebak sebatas bonus. Dan kelebihan A Simple Favor terletak pada caranya mengombang-ambingkan pemikiran penonton. Setiap kita merasa mulai menemukan titik terang, fakta baru yang kontradiktif langsung dipresentasikan. Alurnya pun bergerak dinamis begitu Stephanie memutuskan memulai penyelidikan ketimbang berdiam diri dikuasai kebingungan. Di sinilah humornya berperan. Sesekali otak kita dibawa rehat sejenak dari pencarian fakta, untuk menertawakan polah Stephanie (plus jajaran tokoh pendukung) yang selalu menemukan jalan bertingkah konyol.

Sayang, mencapai babak akhir, filmnya keteteran akibat penyakit lawas: obesi terhadap twist. Kejutan demi kejutan yang mayoritas punya mekanisme absurd dijajarkan terburu-buru, tanpa memberi penonton waktu mencerna fakta yang terungkap sebelumnya. Ditambah lagi, kapasitas Feig menangani momen pengungkapan kejutan dalam misteri belum mumpuni. Mungkin ia enggan “membesar-besarkan” kejutan, namun dampaknya, beberapa titik sebatas hadir sambil lalu. Untunglah A Simple Favor tidak semata menggantungkan garis finish, pula perjalanan mencapai sana. Dan sungguh perjalanan yang menyenangkan.

2 komentar :

Comment Page:

THE NIGHT COMES FOR US (2018)

35 komentar
The Night Comes for Us dibuat oleh pria dewasa gila yang mewujudkan mimpi basah masa kecilnya (dan beberapa kalangan penonton). Jagoan kelewat tangguh yang nyaris tak terkalahkan dengan teman-teman yang bersedia pasang badan, karakter-karakter dengan tampilan, kemampuan, serta latar belakang keren, dan tentunya perkelahian demi perkelahian. Sewaktu bocah, kartun dengan formula di atas jadi kegemaran saya. Serahkan kartun itu pada orang di balik Rumah Dara dan Safe Haven, jadilah sajian laga yang hanya setingkat lebih “realistis” dibanding Riki-Oh: The Story of Ricky.

Saya membubuhkan tanda petik pada kata “realistis” karena sejatinya, dari perspektif umum, film kedua Timo Tjahjanto sepanjang 2018 ini jelas tidak memerlukan logika, baik dalam pembuatan maupun proses penonton menikmatinya. Di sini, seseorang masih bisa melancarkan pukulan meski ususnya berhamburan. Dunia yang Timo bangun adalah dunia sarat kekerasan di mana sadisme dan pembunuhan merupakan makanan sehari-hari manusia di dalamnya . Wajar, sebab dalam dunia ini Triad memegang kendali. Bahkan protagonis kita jadi salah satu pentolannya sebelum membelot.

Ito (Joe Taslim) merupakan salah satu anggota Six Seas, enam pria dan wanita pilihan dengan identitas misterius yang bertugas menjaga keteraturan. “Menjaga keteraturan” di sini berarti menghalalkan segala cara agar semua pihak tunduk pada Triad, termasuk membantai seisi kampung. Tapi ketika diharuskan membunuh gadis cilik bernama Reina (Asha Kenyeri Bermudez), Ito menahan pelatukan, lalu berbalik menghabisi anak buahnya. Menolak tinggal diam, Triad mengirim para pembunuh terbaiknya, termasuk Arian (Iko Uwais), yang sudah bagaikan saudara kandung Ito.

Berikutnya adalah 2 jam pertarungan yang hanya sesekali melambat ketika Timo merasa perlu menyelipkan sedikit flashback, sedikit pembangunan karakter, dan lebih banyak kesempatan bagi penonton bernapas. Cerita tulisan Timo tak mendalam. Sebatas eksposisi dingin tanpa emosi, kecuali saat Reina dan Ito duduk bersama selepas lolos dari usaha pembunuhan. Setitik hati film ini muncul ketika sejenak beralih menuju kisah mengenai bocah polos yang menyaksikan kebrutalan dunia tersaji di hadapannya, dan bukan mustahil, bakal mempengaruhi pertumbuhannya.

Tapi itu cerita di lain hari. The Night Comes for Us tak punya, atau tepatnya tak meluangkan waktu, bagi eksplorasi dramatik. Karena ini adalah proses Timo meluapkan visi gilanya sekaligus menguji sejauh mana dia bisa membungkus tiap kematian sekreatif mungkin. Bola-bola biliar, taser pemicu tarikan picu senapan, hingga tulang sapi cuma segelintir contoh. Pastinya semua berujung muncratan darah bahkan potongan tubuh berhamburan. Ketika seseorang terkena ledakan, kita melihat serpihan tubuh mereka.

Gerak kamera Gunnar Nimpuno (Modus Anomali, Pendekar Tongkat Emas, Killers) mungkin belum semumpuni Matt Flannery dalam dwilogi The Raid soal menangkap koreografi buatan Iko Uwais—yang seperti biasa, rumit nan kaya variasi—tapi cukup sebagai pemberi dinamika serta membuat penonton merasakan dampak dari beberapa pukulan dan tusukan. Sementara musik garapan duet maut Fajar Yuskemal-Aria Prayogi  (The Raid, Headshot) yang memadukan nomor elektronik dan klasik ditambah pilihan-pilihan lagu menarik dari Timo (Benci untuk Mencinta dari Naif paling menonjol) setia mengiringi di belakang.

Sulit memilih mana pertarungan terbaik, tapi 3 di antaranya begitu berkesan. Pertama saat Fatih (Abimana Aryasatya), Bobby (Zack Lee), dan Wisnu (Dimas Anggara) menghadapi pasukan suruhan Yohan (Revaldo dalam comeback luar biasa). Zack Lee menggila sedangkan Abimana menambahkan bobot dramatik plus kematangan menangani dialog yang tak terduga muncul di film macam ini.

Kedua, sewaktu duo pembunuh lesbian anggota Lotus (satu lagi sebutan yang menarik digali bila ada film lanjutan), Elena (Hannah Al Rashid) dan Alma (Dian Sastrowardoyo) mengepung The Operator (Julie Estelle). Bermula di kamar lalu berlanjut ke lorong penuh potongan tubuh manusia, sekuen ini membuktikan kebolehan ketiga aktris. Dian lewat kesintingan yang belum pernah ia tampakkan (termasuk improvisasi menjilat tangah Hannah), Hannah yang meyakinkan melakoni koreografi, juga Julie Estelle yang sekali lagi membuktikan bahwa ia aktris laga nomor satu Indonesia saat ini. Karakter yang bisa memutus jari tangannya sedemikian santai seperti The Operator jelas perlu dibuatkan filmnya sendiri.

Ketiga tentu saja klimaks Joe melawan Iko yang bagai rangkuman keseluruhan film: brutal sekaligus berwarna. Joe dengan gaya bertarung lebih eksplosif dan Iko lewat kecepatan taktis yang tak kalah “meledak”, sama-sama  menembus batas, baik dari sisis karakternya yang bertarung hingga titik (atau banjir?) darah penghabisan, maupun perjuangan keduanya selaku aktor. Ketiadaan alur mumpuni berpotensi menjadikan perjalanan filmnya melelahkan khususnya di pengalaman menonton pertama, namun The Night Comes for Us merupakan satu dari sedikit sajian laga modern yang akan dengan senang hati saya kunjungi lagi kala membutuhkan hiburan, baik menyeluruh atau parsial guna menikmati pertarungannya secara terpisah.

35 komentar :

Comment Page:

DANCING IN THE RAIN (2018)

14 komentar
Sungguh hidup seperti putaran roda yang sulit ditebak arahnya. Baru tiga minggu lalu, Screenplay Films baru saja mempersembahkan karya terbaik mereka lewat Something in Between (review), sekarang muncul Dancing in the Rain sebagai salah satu yang terburuk. Film karya sutradara Rudi Aryanto (Surat Cinta untuk Starla the Movie, The Perfect Husband) ini mendobrak batas kengawuran bertutur disease porn. Setelah sempat beralih ke tangan Titien Wattimena, departemen penulisan naskah dikembalikan pada duo Tisa TS-Sukhdev Singh (Magic Hour, London Love Story) yang beranggapan bahwa penyakit merupakan satu-satunya penghasil penderitaan. Padahal, mereka yang sehat pun bisa menderita. Penonton film ini misalnya.

Saya takkan mengaku paham betul mengenai segala aspek medis film ini. Saya bukan ahli, bukan dokter, bukan pula psikolog. Apalah artinya ilmu saya yang butuh waktu 7,5 tahun menyelesaikan studi psikologi dibanding psikolog profesional yang (konon) jadi konsultan naskah sekaligus pendamping sepanjang proses produksi. Saya hanya bisa menyebut bahwa merujuk pada definisi DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition), akting Dimas Anggara sebagai pengidap gangguan spektrum autisme telah memenuhi simtoma-simtoma yang tertulis. Tapi saya tak bisa mengukur akurasinya secara detail, apalagi kondisi penderita autisme amat beragam. Satu hal pasti, Dimas melakukan yang ia bisa, sesuai keinginan sutradara dan petunjuk sang psikolog dalam proses yang saya yakin cukup singkat.

Pun saya yakin, Tisa dan Sukhdev melakukan wawancara kepada psikolog. Bukan karena naskahnya tersaji mendalam, namun beberapa kalimat terdengar bagai hasil verbatim (menulis ulang kata per kata tanpa pengubahan) dari wawancara formal, ketimbang ucapan manusia normal. Tengok saja voice over Ayu Dyah Pasha yang memerankan psikolog. Itu bukan ucapan psikolog pada klien. Itu pembacaan halaman Wikipedia.

Mari beranjak menuju alurnya, yang mengisahkan penderita spektrum autisme bernama Banyu (Dimas Anggara), yang akibat kondisinya, sulit meneukan teman. Di sekolah ia dijauhi, sementara di lingkungan sekitar rumahnya, ia jadi korban bully. Sampai ia bertemu Radin (Deva Mahenra) yang tumbuh sebagai sahabat sekaligus pelindung bagi Banyu. Kemudian Kinara (Bunga Zainal) turut masuk ke hidup mereka, bahkan saat beranjak memasuki masa kuliah, menjalin cinta dengan Radin. Untunglah film ini urung masuk ke ranah cinta segitiga, sebab kebersamaan Radin-Kinara amat disukai oleh Banyu.

Sebelum kehadiran Radin dan Kinara, Banyu hanya memiliki Eyang Uti (Christine Hakim), yang luar biasa sabar merawat sang cucu pasca ditelantarkan kedua orang tuanya. Tentu Christine Hakim merupakan hal terbaik Dancing in the Rain. Caranya meregulasi emosi luar biasa. Momen favorit saya adalah saat Katrin (Djenar Maesa Ayu), ibu Radin, mendatanginya, memaksa agar ia bersedia memutus pertemanan Banyu dengan Radin. Eyang berusaha sabar, pelan-pelan bicara, mempertahankan senyum, walau kita bisa merasakan amarah siap meledak. Hingga di satu titik ia tak kuat lagi, suaranya “pecah”, namun tak lama. Kembali ia mengatur emosinya. Such a bravura performance.

Tapi itu urung menyembunyikan keburukan naskahnya, termasuk penulisan karakter Eyang Uti. Dia betul-betul menyayangi Banyu, satu dari sedikit orang yang mengerti cara menanganinya, sehingga bagaimana mungkin ia seteledor itu meninggalkan Banyu sendirian di pasar? Tentu keteledoran itu dimaksudkan guna menciptakan momen dramatis, tanpa peduli masuk akal atau tidak. Pola serupa terus diulang. Di cafe, beberapa pria dengan lantang mencela Banyu (yang datang bersama Radin dan Kirana), menyebutnya idiot, mengejek gaya berpakaiannya. That’s a terrible soap opera level of dramatization. Sama halnya dengan penokohan dangkal Katrin, yang tak ubahnya sosok ibu antagonis tanpa nurani di sinetron, yang bicara sendiri di depan kamera mengungkapkan rencana jahatnya.

Saya sering kesal mendengar omongan “Ini film kelas FTV” atau “Sinetron banget deh filmya”. Kalimat-kalimat itu adalah simplifikasi rendahan. Tapi Dancing in the Rain benar-benar cocok akan deskripsi tersebut. Naskahnya eksis di universe yang sama dengan Jenazah Mandor Kejam Mati Terkubur Cor-Coran Dan Tertimpa Meteor. Tisa dan Sukhdev membuat semua karakternya terjangkit penyakit, entah agar hidup mereka lebih menderita, memberi pelajaran pada antagonis, atau menghadirkan haru lewat sebuah pengorbanan. Sekalinya mencoba memancing haru melalui momen tanpa penyakit, hasilnya justru canggung, ketika sang pembantu menyanyikan Lelo Ledhung ketika Banyu tengah menangis di dekapan Eyang Uti.

Menciptakan persamaan nasib di antara ketiga protagonis turut melucuti pesan penting mengenai perbedaan, bahwa kita harus memperlakukan semua orang sama, dan walau kita dianggap “normal” dan lebih sehat, bukan berarti kita berderajat lebih tinggi. Tapi apa peduli film yang seenaknya menggambarkan proses transplantasi jantung (silahkan anda cari dari beragam sumber mengenai detail prosedurnya) mengenai pesan? Setidaknya, saya bersyukur Rudi Aryanto masih mampu membungkus filmnya dalam tempo dinamis, enggan tampil bertele-tele dan membuang waktu. Karena jika tidak, menonton film ini akan semakin terasa membuang waktu.

14 komentar :

Comment Page:

GENERASI MICIN (2018)

5 komentar
Generasi Micin adalah tontonan menghibur, tapi menilik dari usahanya mengangkat jarak antargenerasi sekaligus observasi terhadap remaja kekinian, film ini kosong. Ibarat hidangan penuh micin, terasa sedap namun kurang bergizi. Bukan masalah andai tujuannya memang sebatas hiburan ringan, tapi bahkan sejak sekuen pembukanya bergulir, karya penyutradaraan teranyar Fajar Nugros (Yowis Ben, Terbang: Menembus Langit) ini mengincar lebih.

Sekuen yang dimaksud menampilkan Anggara muda (Brandon Salim), sebagai keturunan Cina masa lalu, menghabiskan hidupnya bekerja keras belajar berdagang. Bahkan setelah dewasa (diperankan Ferry Salim) dan menikah, ia menjanjikan sang istri (Melissa Karim) ruko mewah di Pantai Indah Kapuk. Fakta-fakta tersebut berlaku sebagai perbandingan begitu kita bertemu putera sulung Anggara, Kevin (Kevin Anggara), si generasi micin yang (katanya) ingin semua berjalan instan, enggan bersosialisasi, memilih berkutat dengan gadget dan video game di kamarnya.

Komparasi lain datang dari Trisno (Morgan Oey), generasi pasca reformasi, yang merujuk pada salah satu dialog, punya ciri berkebalikan dengan generasi micin: lambat. Trisno sempat bermimpi jadi penyanyi, sebelum membuangnya, dan kini hanya menghabiskan waktu bermalas-malasan di rumah. Generasi Trisno tak digali cukup dalam, tapi tak jadi soal. Pertama, ini bukan film tentang mereka. Kedua, Morgan menampilkan salah satu performa terbaik, paling natural, paling asyik disimak sepanjang karirnya. Begitu asyik, saya lupa bahwa sosok Trisno tak seberapa berarti. Dia hanya memberi petuah singkat bagi Kevin, sebuah peran yang sejatinya turut diemban Anggara.

Naskah tulisan Faza Meonk (Si Juki the Movie: Panitia Hari Akhir) kebingugnan hendak menyampaikan apa serta bagaimana. Kadang, Generasi Micin bagai ingin menunjukkan perbedaan remaja-remaja micin dengan generasi sebelumnya. Salah satu elemen komedik dari aspek itu adalah cara bicara Kevin saat menjelaskan sesuatu yang secepat berondongan senapan mesin. Karena, well, sebagai generasi micin, ia identik dengan hal-hal instan dan cepat. Pun film ini menampilkan bagaimana remaja sekarang punya keunggulan yang tak dimiliki pendahulunya, semisal memanfaatkan internet demi kebaikan.

Sedangkan di kesempatan lain, filmnya justru menakankan bila semua generasi sama saja. Mereka yang tua selalu merasa generasi di bawah mereka adalah penurunan. Kondisi itu terjadi sejak dulu dan akan terus berulang. Sebab apa pun generasinya, di usia muda, mereka hanya ingin bersenang-senang, termasuk berbuat kenakalan seperti saat Kevin bersama tiga temannya, Dimas (Joshua Suherman) si penggila K-Pop, Bonbon (Teuku Ryzki) si pelupa, dan Johanna (Kamasean Matthews) melakukan kejahilan-kejahilan di sekolah sebagai pemenuhan tantangan dari sebuah situs misterius. Poin di atas (semua generasi sama) bahkan diucapkan secara gamblang oleh Chelsea (Clairine Clay), si pujaan hati Kevin, di ending, yang (biasanya) berperan selaku perangkum pesan.

Dua tuturan kontradiktif di atas saling bertabrakan. Layaknya banyak tokoh remaja di dalamnya, Generasi Micin mengalami krisis identitas, penuh kebingungan, termasuk ketika mengakhiri kisahnya lewat epilog berkepanjangan yang kelabakan menutup berbagai cabang cerita pada sisa durasinya, dari soal kehidupan sekolah Kevin dan kawan-kawan, kehidupan Trisno, romansa Kevin dan Chelsea, hingga perihal situs misterius tadi.

Namun sekali lagi, bila anda sebatas mengharapkan kelezatan seperti masakan bertabur micin, film ini mungkin memuaskan. Naskah ditambah penyutradaraan Fajar Nugros mengisinya dengan semangat bersenang-senang di tiap momen, menertawakan siapa pun, apa pun, di mana pun. Hampir semua tokoh maupun situasi didesain konyol. Terkadang tawa hadir kala humornya terasa dekat, seperti Ibu Dimas (Cici Tegal) yang tergila-gila menonton drama Korea hingga lupa solat meski berjilbab, hingga kisah “telur dipotong sepuluh”, yang saya percaya, kerap anda dengar. Sayangnya tak jarang juga humornya berlangsung datar, tenggelam dalam absurditasnya sendiri, misalnya tiap hansip bermata juling (Erick Estrada) muncul.

Seperti Kevin dengan penjabaran super cepat yang tak memperhatikan apakah lawan bicaranya paham atau tidak, Generasi Micin terus menerjang, membabat habis hampir semua kesempatan dengan humor tanpa peduli apakah tepat sasaran. Seperti kandungan micin dalam masakan pula, itu bisa menghasilkan kelezatan, tapi alangkah baiknya bila kadarnya dikontrol.

5 komentar :

Comment Page: